Anda di halaman 1dari 5

Merefleksikan Titik Balik Peradaban: Review Fritjof Capra

Dwi Wulan Pujiriyani

In the systems view of health, every illness is in essence a mental phenomenon, and in many cases
the process of getting sick is reversed most effecrively through an approach that integrates both
physical and psychological therapie (Capra, 1982: 359)

Manusia sedang berada pada titik krusial untuk menghadapi kehancuran dari capaian-capaian
atau prestasi-pretasi yang selama ini telah dihasilkannya. Untuk selanjutnya, tulisan ini akan
mencoba untuk menelusuri ide ‘titik balik peradaban’ yang dimunculkan Capra dengan
mencoba mengkontekstualisasikannya dengan problem-problem utama yang dihadapi di
zaman ini yang disebutnya sebagai ‘residu peradaban’. Zaman dimana kita dihadapkan pada
krisis global yang serius menyentuh semua aspek kehidupan dari mulai kesehatan, mata
pencaharian, kualitas lingkungan, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik.
Kehidupan masyarakat yang modern telah menciptakan masyarakat yang serba mekanistik.
Sebagaimana disebutkan Capra, berbagai dinamika yang mendasari problem-problem di
zaman ini diantaranya aids (penyakit), kriminalitas, perlombaan senjata nuklir, polusi, inflasi,
dan krisis energi yang satu dengan lainnya merupakan residu peradaban yang tidak tereduksi
oleh sistem yang dikenal dengan modernisme. Satu hal mendasar yang juga menjadi
persoalan adalah problem hubungan sosial yang tereduksi karena cara berpikir yang
mekanistik.
‘Krisis dan ancaman kepunahan ras umat manusia’ adalah gambaran yang dilukiskan
Capra dalam bagian pertama bukunya ‘The Turning Point, Science Society and the Rising
Culture' untuk mengingatkan sekaligus menegaskan bahwa ‘dunia yang sedang kita tinggali
ini tidak sedang berada dalam kondisi yang baik-baik saja’. Manusia sedang berada pada titik
krusial untuk menghadapi kehancuran dari capaian-capaian atau prestasi-pretasi yang selama
ini telah dihasilkannya. Inilah zaman dimana orang-orang yang seharusnya ahli dalam
berbagai bidang, tidak lagi mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang telah
muncul di dalam bidang keahliannya yang dapat dicermati dalam kutipan berikut ini:

“It is a striking sign of our time that the people who are supposed to be experts in various fields
can no longer deal with the urgent problems that have arisen in their areas of expertise.
Economist are unable to understand inflation, oncologist are totally confused about the causes
of cancer, psychiatrists are mystified by schizophrenia, police are helpless in the face of rising
crime and the list goes on.” (Capra, 1982: 25)

Siapa harus dipersalahkan atau bagaimana semua ini akan dipertanggungjawabkan? Tentu
tidak bijak jika kemudian yang ditekankan adalah mencari pembenaran bahwa semua ini
adalah kekhilafan yang manusiawi. Capra kembali menegaskan bahwa pilihan kita yang begitu
konsisten pada nilai-nilai, sikap dan pola perilaku yang telah menghasilkan suatu sistem
lembaga akademik, politik dan ekonomi, mengakibatkan kebutaan terhadap bahaya
ketidakseimbangan sistem nilai. Kebanggaan kita dengan ‘keilmiahan’ dan dominasi
rasionalitas, telah menyebabkan semacam pemujaan terhadap pengetahuan ilmiah sebagai
satu-satunya jenis pengetahuan yang bisa diterima. Kita telah lupa bagaimana ‘berpikir’
dengan tubuh, menggunakannya sebagai alat untuk mengetahui. Kita telah memutuskan
hubungan kita dengan lingkungan alam dan lupa bagaimana bermasyarakat dan bekerjasama
dengan berbagai macam organisme hidup. Penekanan yang berlebihan pada metode ilmiah
dan pada pikiran rasionalistis telah menimbulkan sikap-sikap yang antiekologis.
Kemajuan yang telah dicapai, sebagian besar merupakan wilayah rasional dan
intelektual serta evolusi yang saat ini mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan, suatu
situasi yang paradoksal. Ketika di satu sisi bisa mengirimkan peneliti ke ruang angkasa dan
mendaratkan mereka dengan teknologi penerbangan yang sangat canggih, di sisi lain
persoalan nyata di bumi seperti polusi tidak bisa dikendalikan. Begitu juga dengan industri-
industri makanan binatang kesayangan dan kosmetika yang mencerminkan standar hidup
yang semakin tinggi, sementara di sisi lain persoalan mendasar pendidikan dan kesehatan
tidak mampu teratasi. Disinilah terlihat bahwa dunia yang dibangun melalui serangkaian
prestasi dan kemajuan intelektual itu seolah bekerja di dunia yang lain, dunia utopis yang jauh
dari kenyataan.
Sebagai seorang fisikawan, Capra secara jelas menunjukan posisi dan refleksinya
sebagai seorang ilmuwan yang ingin menunjukan titik perubahan itu pada minatnya dalam
bidang fisika. Konsep dari Descartes dan Newton, digunakannya untuk melihat perubahan
pandangan dunia. Sebuah pandangan yang juga diyakini Capra memiliki kesamaan dengan
pandangan mistis dari semua tradisi di sepanjang zaman. Capra menyadari sepenuhnya
bahwa dirinya pun juga para ahli fisika, menyadari keterbatasan-keterbatan konsep klasik dan
perlu melakukan revisi radikal terhadap banyak konsep dasar mereka tentang realitas. Satu
penekanan yang dimunculkan Capra adalah kenyataan bahwa semua konsep dan teori yang
digunakan untuk menggambarkan alam semesta sangat terbatas. Teori-teori ilmiah tidak
pernah memberikan gambaran realitas secara lengkap dan pasti. Teori-teori tersebut berupa
perkiraan-perkiraan tentang hakikat benda-benda sejati. Para ilmuwan tidak berkaitan
dengan kebenaran melainkan gambaran realitas yang berupa perkiraan yang sangat terbatas.

Krisis dan Titik Balik Peradaban

Istilah peradaban atau Civilizations, secara meluas digunakan untuk merujuk kepada
tamadun. Disebutkan dalam Oxford Latin Dictionary istilah civilize merujuk kepada kata
kerja, yaitu memperbaiki tingkah laku yang kasar atau kurang sopan, menjinakkan (to
tame) dan menyelaraskannya dengan keperluan masyarakat. Secara sederhana
terminologi ini bisa diartikan sebagai ‘keluar dari kehidupan primitif kepada kehidupan
yang mempunyai kehalusan akal budi dan kesopanan. Terminologi ini juga berarti human
society: of people living together (Mahdi Shuid, 2000). Sementara itu Istilah ‘peradaban’
dalam bahasa Inggris sering dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap
perkembangan kebudayaan.
Peradaban juga dapat dikatakan sebagai bagian dan unsur kebudayaan yang halus,
maju, dan indah seperti misalnya kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan,
kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi
dan masyarakat kota yang maju dan kompleks. Pada waktu perkembangan kebudayaan
mencapai puncaknya berwujud unsur-unsur budaya yang bersifat halus, indah, tinggi, sopan,
luhur dan sebagainya, maka masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dikatakan telah
memiliki peradaban yang tinggi (Koentjaraningrat, 1948:9-10). Sementara itu, dalam bahasa
Indonesia, kata peradaban sering diidentikkan dengan kata kebudayaan. Peradaban adalah
identik dengan gagasan tentang kemajuan sosial, baik dalam bentuk kemenangan akal dan
rasionalitas terhadap dogma maupun doktrin agama, memudarnya norma - norma lokal
tradisional dan perkembangan pesat ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Segala hal,
berupa perbuatan dan pemikiran manusia tak bisa dilepaskan dari peradaban. Jadi, konsep
peradaban bersifat mencakup semua. Oleh karena itu, menjadi beradab adalah menjadi
santun dan berakhlak baik dan peduli pada orang lain, bersih dan sopan dan higienis dalam
kebiasaan pribadi dan sebagainya. Sebuah peradaban tinggi seharusnya bisa menjaga
keagungan manusianya, memberikan kepuasan terhadap fisik, estetika psikis, dan kreativitas
manusianya. Oleh sebab itu, ia meniscayakan adanya fleksibilitas yang saling menunjang
antara manusia dan peradabannya.
Berkaitan dengan peradaban, Capra secara jelas menggunakan konsep dari Arnold
Toynbee mengenai pola kebangkitan dan keruntuhan peradaban. Sebagaimana disebutkan
Toynbee, peradaban terjadi dari suatu transisi dari kondisi statis ke aktivitas dinamis. Transisi
ini mungkin terjadi secara spontan melalui pengaruh beberapa peradaban yang telah ada atau
melalui disintegrasi dari suatu peradaban atau lebih dari generasi yang lebih tua. Pola dasar
dari terjadinya peradaban itu adalah suatu pola interaksi yang terdiri dari ‘tantangan dan
tanggapan’. Tantangan dari lingkungan alam dan sosial memancing tanggapan kreatif dalam
suatu masyarakat atau kelompok sosial yang mendorong masyarakat itu memasuki proses
peradaban. Peradaban terus tumbuh ketika tanggapan terhadap tantangan awal berhasil
membangkitkan momentum budaya yang membawa masyarakat keluar dari kondisi
equilibrium memasuki suatu keseimbangan yang berlebihan (overbalance) yang tampil
sebagai tantangan baru. Dengan cara ini, pola tantangan dan tanggapan awal terulang dalam
fase-fase pertumbuhan berikutnya, dimana masing-masing tanggapannya berhasil
menimbulkan suatu disequilibrium yang menuntut penyesuaian kreatif baru.
Dalam konteks fase pertumbuhan, setelah mencapai puncak vitalitasnya, peradaban
cenderung kehilangan tenaga budayanya dan runtuh. Pada waktu struktur sosial dan pola
perilaku menjadi kaku (kehilangan fleksibilitasnya), sehingga masyarakat tidak mampu lagi
menyesuaikan dengan situasi yang berubah, peradaban itu tidak akan mampu melanjutkan
proses kreatifnya. Dia akan hancur dan segera mengalami disintegrasi. Disinilah Capra
menjelaskan konsep titik baliknya dimana manusia tengah mengalami titik balik peradaban.
Ini terlihat dari menurunnya kemampuan modernitas dalam mencapai tujuan kemanusiaan.
Satu gerak yang terbarengi oleh dahaga spiritual dan kesadaran ekologis atas tata hidup kita
yang menjadi penyempurna kemanusiaan tersebut. Modernitas yang pada awalnya menjadi
alternatif tak mampu lagi mengangkat kemanusiaan karena telah melenceng dari prinsip
dasar kebudayaan. Telah terjadi krisis multidimensional, yaitu dimensi-dimensi intelektual,
moral, dan spriritual yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah perjalanan umat manusia.
Kini dimensi tersebut telah melahirkan berbagai fenomena sosial dan masyarakat pada
tingkat yang sangat memprihatinkan seperti kejahatan tindak kekerasan, kecelakaan, bunuh
diri, alkoholisme, penyalahgunaan obat-obatan, cacat mental, penyakit kejiwaan dan
sebagainya. Dampak krisis terhadap lingkungan berupa pencemaran akibat limbah kimia dan
nuklir sebagaimana terjadi di negara-negara maju.
Fritjof Capra berargumen bahwa kepercayaan ala Descartes pada kebenaran ilmiah
masih tersebar luas pada saat ini tercermin dalam “scientism” yang telah menjadi ciri
kebudayaan barat. Penerimaan pandangan Cartesian sebagai kebenaran mutlak dan sebagai
satu-satunya cara shahih bagi pengetahuan telah memainkan peranan penting dalam
menghasilkan ketidakseimbangan budaya manusia sampai saat ini. Selanjutnya, Capra
mengatakan bahwa antara tahun 1500 dan 1700 itu terdapat satu perubahan dramatis pada
cara manusia dalam menggambarkan duniannya dan cara berpikir mereka. Sebelum tahun
1500 pandangan dunia di Eropa dan sebagian peradaban lain bersifat organik, ditandai
dengan saling ketergantungan antara fenomena spiritual dan fenomena material dan prinsip
bahwa kebutuhan masyarakat umum lebih utama daripada kepentingan pribadi.
Pandangan abad pertengahan itu berubah secara mendasar pada abad keenam belas
dan ketujuh belas. Pengertian alam semesta yang berbentuk organik digantikan oleh
pengertian bahwa dunia laksana sebuah mesin, dan mesin dunia itu kemudian menjadi
metafora yang dominan pada jaman modern. Perkembangan ini diakibatkan oleh perubahan-
perubahan revolusioner dalam ilmu fisika dan astronomi yang puncaknya pada prestasi yang
dicapai oleh Copernicus, Galileo, dan Newton. Fritjof Capra mengemukakan bahwa krisis-
krisis global tersebut dapat dilacak pada cara pandang dunia manusia modern. Pandangan
dunia yang diterapkan selama ini adalah pandangan dunia mekanistik-linier Cartesian dan
Newtonian (disebut sebagai Paradigma Cartesian-Newtonian. Epistemology Cartesian-
Newtonian inilah yang menurut Fritjof Capra sebagai penyebab kemunduran peradaban,
yakni ketika terjadinya pemisahan antara jiwa dan raga (ruh dan materi) dari suatu
pengetahuan serta ketika diyakini bahwa kehidupan di bumi (dunia) ini seperti mesin.
Krisis multidimensional telah melanda seluruh belahan dunia paling tidak puncaknya di abad
ke-20. Krisis ekologis, degradasi moral, kesenjangan ekonomi dan sosial, meningkatnya
kriminalitas, penyebaran penyakit, dan masih banyak lagi, adalah merupakan suatu
keseluruhan yang saling terkait. Peradaban modern dinilai sebagai pemicunya. Kehidupan
tradisional yang dahulu ditandai dengan keharmonisan. Penghormatan terhadap semua yang
ada di dunia ini. Antara manusia dan Tuhan, sesama manusia, manusia dan alam (lingkungan)
dilihat sebagai suatu keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan. Namun semua itu perlahan-
lahan terkikis bahkan telah hilang di zaman sekarang. Peradaban lama telah hancur dan
melahirkan peradaban baru (modern).
Segala krisis yang terjadi tak kurang lagi dipengaruhi oleh pola fikir dan cara pandang
yang telah menguasai dunia. Rene Descartes, seorang filsuf yang dinobatkan sebagai Bapak
Filsafat Modern yang telah memperkenalkan cara berfikir modern. Bahwa tradisi ataupun
dogma-dogma gereja yang selama ini menguasai manusia harus dihapuskan. Semua pun
dibalikkan, bahwa manusialah titik sentral dari segalanya. Akal (rasio) adalah satu-satunya hal
yang dapat dipercaya. Segala sesuatu yang ada di luar diri (kesadaran) harus diragukan
kebenarannya, termasuk tubuh kita sendiri. Selain Descartes, Newton, seorang fisikawan
yang menjadikan ilmu pengetahuan (science) di atas segalanya, mendudukkan ilmu
pengetahuan sebagai sesuatu yang dapat menguasai alam semesta. Kedua paradigma
tersebut, telah menyebabkan dunia dipandang secara mekanistik-reduksionis. Bahwa realitas
dapat dipahami dengan menganalisis dan memecahnya menjadi bagian-bagian kecil, lalu
disimpulkan secara keseluruhan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi telah membuat
sebagian besar manusia semakin jauh dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan dan budaya
(kearifan lokal).
Pendekatan mekanistik-reduksionis telah menimbulkan berbagai masalah. Oleh
karena itu, kita perlu mereorientasi kembali peradaban yang telah berdiri kokoh selama ini.
Bukan berarti menghilangkannya dengan kembali ke masa lampau, tapi lebih kepada
bagaimana memahami dunia ini secara holistik (keseluruhan). Bahwa Semua yang ada di
dunia ini, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan mempunyai fungsi dan kedudukan
masing-masing. Ketiganya (manusia, binatang, tumbuhan) merupakan keseluruhan yang
saling terkait dan tidak dapat direduksi ke dalam hal apapun.
Dalam konteks residu persoalan masyarakat modern jugalah kita bisa menemukan
betapa banyak orang mengalami krisis terhadap lingkungan sosialnya. Muncul sebuah
perasaan keterasingan yang sebenarnya mencerminkan melonggarnya ikatan sosial. Orang
sudah tidak lagi percaya pada orang-orang terdekat, bahkan keyakinan religiusnya hingga
meyakini bahwa sakit yang dialaminya harus dicarikan jalan keluar dengan mendatangi ahli
kesehatan. Perasaan seolah-olah sakit inilah yang secara jelas menunjukan tentang sebuah
potret kecil dari persoalan yang juga harus menjadi perenungan bahwa kita perlu bersikap
lebih arif, baik dalam memandang diri kita sendiri, orang lain di sekitar kita dan tentu saja
lingkungan. Semuanya harus dilihat sebagai sebuah kesatuan holistik yang saling mengisi.

Capra, Fitjof. 2014. The Turning Point. Titik Balik Peradaban, Sains Masyarakat, dan
Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Promethea.

Anda mungkin juga menyukai