Anda di halaman 1dari 11

APATISME TERHADAP GLOBALISASI DALAM KASUS KEMANUSIAAN

(BERCERMIN PADA KISAH BAYI YUE - YUE DAN DALAI LAMA)

People are made to be loved and things are made to be used


the confusion in this world is that people are used and things are loved
-----from positive outlooks

Perkembangan dunia selalu dikaitkan dengan globalisasi dan kemajuan dalam hal
yang bersifat fisik atau kasat mata seperti gedung-gedung pencakar langit, manusia pintar,
teknologi canggih, tumpukan uang, sistem ekonomi-politik yang selama ini menjadi
“euphoria” cerita kesuksesan manusia yang dipengaruhi globalisasi. Peradaban memang
erat kaitan dengan pencapaian segala hal yang terlihat oleh mata telanjang. Namun, tidak
sedikit yang lupa bahwa peradaban justru tegak di atas fondasi yang tak kasat mata, yaitu
komitmen pada moralitas. Saat peradaban itu tegak dan tumbuh, barangkali moralitas
terabaikan untuk dilihat, mengingat hal-hal kasat mata segera memenjarakan setiap orang
yang melihatnya. Banyak orang baru tersadar bahwa moralitaslah fondasi dari kokohnya
peradaban saat peradaban sudah runtuh. Keruntuhan peradaban selalu bersamaan dengan
kisah penyelewengan moral tingkat tinggi. Maka dengan landasan pernyataan diatas yang
menjadi fokus utama dalam esai ini adalah permasalahan lunturnya keberadaban dalam
peradaban manusia ditengah arus globalisasi.
Antara manusia dan peradaban mempunyai hubungan yang erat karena diantara
keduanya saling mendukung dan menciptakan kehidupan sesuai kodratnya. Peradaban bisa
muncul karena manusia yang menciptakannya dan manusia juga yang menjalankannya.
Suatu peradaban mempunyai wujud, tahapan dan dapat berubah sesuai dengan
perkembangan jaman. Peradaban mengakibatkan berubahan kehidupan sosial dan menjadi
manusia yang beradab diartikan sebagai manusia yang memiliki budi pekerti yang tinggi.
Istilah peradaban dalam bahasa Inggris disebut civilization. Definisi peradaban menurut
Koentjaraningrat adalah unsur kebudayaan yang halus, maju, indah, misalnya seperti
kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun, pergaulan, organisasi kenegaraan, sistem
teknologi dan masyarakat kota yang maju dan kompleks dengan wujud moral, norma, etika
dan estetika. Sedangkan menurut Samuel Huttington mengemukakan bahwa peradaban
atau civilization adalah:
“The highest culture grouping of people and the broadest level of cultural identity
people have short of that which distinguishes humans from other species…Civilization are
the biggest “we” within which we feel culturally at home as distinguished from all other
“thems” out there.” (Huntington, 1996:43)[2]
Menurut Huttington manusia akan terbagi dalam kelompok-kelompok dan konflik
antarperadaban akan didominasi oleh hal-hal yang bersifat kultural. Ia membagi peradaban
manusia kedalam tujuh macam yaitu peradaban Barat, Amerika Latin, Confucian, Japanese,
Islam, Hindu dan Slavic-Orthodox (Huntington, 1993: 26). Huntington mengatakan bahwa
konflik di masa depan akan terjadi saat negara-negara Non-barat bereaksi terhadap
kekuatan yang dimiliki oleh Barat dan nilai terpenting dari kebudayaan Barat seperti hak
asasi manusia tidak terlalu diperhatikan di negara - negara Non-Barat. Teori yang
dikemukannya mendapat kritik karena terlalu tersimplifikasi dengan mengabaikan konflik
yang terjadi di dalam masing-masing peradaban dan konflik antar-manusia itu sendiri.
Globalisasi dipahami sebagai suatu gelombang yang melanda dunia dalam interaksi
yang menghubungkan aktivitas manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, dengan
meningkatnya interdependensi yang tidak lagi dibatasi oleh batas-batas wilayah negara,
sebagai hasil dari hilangnya penghalang ruang dan waktu. Globalisasi mengguncang
kehidupan manusia dengan banjir informasi yang memasuki pemikiran manusia dengan
begitu deras akibat kemajuan teknologi yang sangat cepat. Berbagai bidang kehidupan
mendapat pengaruh globalisasi mulai dari kebudayaan, ekonomi, politik, sosial yang
mengalami transformasi yang cepat dan luas sehingga kadang dipahami sebagai

[2] Martin Hall and Patrick Thaddeus. 2007. Discourses of Civilizational Identity. In Martin Hall and
Patrick Thaddeus Jackson., Civilization Identity: the Production and Reproduction of “Civilization”
in International Relations. New York. Palgrave Macmillan.
keterputusan hubungan dengan masa lalu. Semakin banyak yang setuju bahwa sekarang ini
terjadi metamorphosis sejati dalam hubungan antarmanusia atau terjadinya perubahan
peradaban. Perubahan ini menimbulkan berbagai gejala komulatif yang menimbulkan
keresahan dan ketakutan bahwa saat kemajuan ekonomi yang begitu diagung-agungkan,
kekuasaan politik yang begitu dibanggakan akan menggeser manusia yang memiliki
keterampilan yang kurang sehingga tidak dapat menikmati manfaat dari peradaban baru
yang sedang muncul ini. Metamorphosis sosial oleh globalisasi mempengaruhi setiap aspek
kehidupan pribadi masyarakat, hubungan kemanusiaan dengan ruang dan waktu, hubungan
sosial di tempat kerja dan lingkungan masyarakat, status perempuan, adat istiadat, nilai dan
hubungan kekuasaan. Hal ini diawali dengan penyebaran ilmu pengetahuan ke dalam
seluruh aktivitas manusia yang memunculkan masalah yang akut dalam pengaturan
ekonomi dan keseimbangan lingkungan, serta menuntut kemajuan fundamental dalam
bidang etika. Hal ini menuntut diterimanya pembaruan atau modernisasi kebudayaan dan
evolusi ikatan sosial, yang memerlukan perombakan menyeluruh dalam cara berfikir
mengenai sistem organisasi, politik dan pendidikan. Globalisasi saat ini sebaiknya tidak
dipandang hanya pada kekuatan finansial dan ekonomi, namun lebih pada hubungan timbal
balik terhadap kondisi kehidupan dan hubungan antar manusia yang menuntut partisipasi
setiap warga dunia bukan hanya pribadi atau kelompok-kelompok pemegang kekuasaan
dalam hal politik, ekonomi maupun informasi.
Gencarnya globalisasi mewarnai peradaban manusia saat ini ditandai dengan
berbagai penemuan baru dan terobosan baru yang melahirkan kemajuan di berbagai bidang
kehidupan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah globalisasi mengarahkan manusia pada
budaya yang homogen atau heterogen? Negara-negara Barat menghegemoni pemikiran
manusia ketika globalisasi dikaitkan dengan modernisasi. Masyarakat yang modern identik
dengan pandangan kekinian yang mengutamakan pencapaian individu (individual
achievement) yang berakibat pada terjadinya perlombaan antar-manusia guna
mengkukuhkan eksistensinya masing-masing. Ditambah dengan revolusi ilmiah dari
teknologi dan komunikasi yang mampu menghipnotis dan mengubah pandangan manusia
tentang dunia. Dunia menjadi semakin sempit, jarak semakin tidak terasa oleh alat-alat
komunikasi seperti televisi, handpone, internet yang memudahkan manusia untuk
berkomunikasi, mengakses berita terbaru, dan memperoleh temuan-temuan lainnya. Namun
benarkah semua itu membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik dan bahagia atau
justru hal-hal tersebut membuat manusia tenggelam dalam ruang privasi keindividuannya
karena merasa mengerjakan sesuatu sendiri menjadi semakin mudah. Semua hal itu mulai
mencederai kesadaran manusia untuk membina hubungan sesama yang sebenarnya berguna
untuk mengasah rasa kemanusiaannya. Hubungan antarmanusia sering menimbulkan friksi
dan goncangan yang terlihat dari banyaknya konflik individu, kelompok, etnis, ras bahkan
antarnegara. Hal ini wajar terjadi dalam kehidupan kita sehingga kemampuan untuk
berkomunikasi dan menjaga keberlanjutan komunikasi agar selalu dibina untuk
menghindari salahpahaman antarbudaya yang dianut. Minimnya komunikasi budaya inilah
yang sering menimbulkan perselisihan yang akan berdampak turunnya ketahanan
mentalitas dan kepercayaan dalam hubungan antarmanusia.
Hal yang sangat disayangkan dari segala kemewahan yang disajikan oleh globalisasi
dalam peradaban manusia saat ini adalah mulai tergerusnya rasa keberadaban yang
seharusnya menjadi roh dari setiap peradaban manusia. Hal itu tidak sepenuhnya menjadi
kesalahan manusia itu sendiri karena segala pencapaian yang mendominasi kehidupan
manusia mau tidak mau memaksa mereka berpikir bahwa pencapaian fisik menjadi hal
yang begitu menggiurkan untuk dikejar dan mulai melupakan pemeliharaan kesadaran
mental kemanusiaannya. Pemikiran modern dapat meningkatkan daya saing dan hal-hal
yang tradisional dianggap menghambat kemajuan sehingga cenderung ditinggalkan. Hal
inipun tercermin dari pendidikan modern generasi muda yang mengadaptasi kurikulum
Barat yang mengarahkan mereka untuk mencapai pekerjaan yang berhubungan dengan hal-
hal fisik.
Sebenarnya ada hal-hal yang begitu tak ternilai harganya dari nilai-nilai tradisional
yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat modern seperti local wisdom, social capital,
harmonisasi hubungan antarmanusia dan alam yang dapat menjadi penangkal virus-virus
mematikan dari globalisasi itu sendiri. Hal tersebut memberi koridor pembatas tentang hal
mana yang positif dan negatif globalisasi. Rasa keberadaban manusia memang benar-benar
diuji oleh kemegahan globalisasi dan modernisasi. Manusia modern mulai
mengenyampingkan nilai-nilai budaya asli, mengabaikan hukum kesadaran dan semakin
jauhnya manusia dari tindakan moral serta nilai luhur yang di pegang teguh sebelumnya.
Salah satu persoalan krusial sebagai efek samping proses globalisasi, yakni pengabaian
terhadap ruang-ruang religiusitas, sebab aspek ini menjadi pemegang kendali terpenting
nilai-nilai religious mem-back up sisi minus hadirnya globalisasi.
Thomas L. Friedman menulis buku yang begitu dikagumi dunia yang berjudul “The
World Is Flat” tentang bagaimana realita dunia saat ini yang ‘rupanya menuju pada
bentuknya yang datar’ bahkan dalam buku ini Friedman mengatakan “seorang insinyur
paling cerdas di India, sekolah lulusan terbaik di negerinya, didukung teknologi paling
modern, mengatakan padaku bahwa dunia ini datar, sedatar layar tempat ia memandu
seluruh mata rantai pemasok dunia yang dipimpinnya”. Artinya manusia tidak lagi
dibatasi ruang dan waktu dan teknologi telah membantu manusia menjelajahi tempat yang
sebelumnya belum pernah mereka jelajahi….”. Efek globalisasi sangat berperan besar
terhadap pola perilaku manusia yang berlomba-lomba menciptakan pola-pola untuk
mempertahankan kesejahteraan masing-masing. Fokus terhadap kegiatan ekonomi menjadi
perhatian besar masyarakat dunia yang oleh Friedman dikatakan masa Globalisasi tahap 3.0
dimana cyber world menjadi primadona dari penyatuan dunia dalam lingkup produksi,
distribusi dan konsumsi pasar global. Lalu apakah dunia yang seolah datar tersebut telah
membuat hati manusia menjadi datar pula? Proses globalisasi tahap 3.0 ini sangat riskan
bagi peradaban manusia, karena keterhubungan manusia satu sama lainnya tidak terjadi
antar face to face dimana banyak hal yang seharusnya dapat dipahami jika komunikasi
individu dapat terjadi secara langsung. Ditengah populernya dunia virtual sebagai
pemenuhan kemakmuran global telah menggeser kesadaran manusia untuk menjaga
hubungan real antarmanusia.
Saat manusia mulai sibuk dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi masing-masing
dan hubungan-hubungan yang dibangun bukan lagi atas landasan moralitas dan toleransi
namun lebih ke landasan kepentingan maka itulah awal dari penggerusan nilai keberadaban.
Manusia lebih memilih untuk berhubungan dengan manusia lainnya yang hanya dirasa
dapat menguntungkan dan rasa malu mulai diabaikan. Hal ini dapat menimbulkan benih-
benih sikap apatis dan menyuburkan sikap tidak peduli terhadap sesama. Sebuah kasus
yang dapat menggambarkan keadaan itu adalah kisah bocah Cina yang ditabrak lari oleh
dua orang pengendara mobil dan dibiarkan sekarat oleh 18 orang pelajan kaki yang
melintas di pasar yang sibuk di kota Foshan, Provinsi Guangdong, Cina. Muncul banyak
pertanyaan apa yang terjadi pada masyarakat disana. Booming ekonomi China dan
kesenjangan yang menganga antara yang kaya dan yang miskin telah merupah nilai-nilai
sosial. Dan materialisme telah berhasil menggantikan nilai-nilai moral. Hal ini membuat
hati orang-orang disana tidak lagi memiliki rasa kemanusiaan karena terlalu dipenuhi hasrat
untuk mengejar kemakmuran pribadi. Padahal peradaban kemanusiaan Cina begitu tersohor
dan dikagumi masyarakat dunia dengan konsep yin dan yang yang mengutamakan
keseimbangan yang dalam konteks ini adalah pemenuhan material dan spiritual yang
menjadi prinsip dasar filsafat Cina. Para filsuf Cina seperti Laozi dengan Taoisme-nya
ataupun prinsip Confusianisme yang humanis berhasil memegahkan peradaban bangsanya
yang mempercayai kekuatan moral dan toleransi untuk mengakhiri konflik dan
mempertahankan keharmonisan. Kejadian yang memilukan terhadap Yue - Yue ini
mengindikasikan terlenanya masyarakat dalam pengaruh material globalisasi menyebabkan
filsafat humanis tersebut seolah hilang tidak berbekas. Kejadian yang terjadi terhadap Yue-
Yue ternyata bukan kasus satu-satunya. Selang beberapa minggu seorang saksi juga melihat
pengendara truk sengaja melindas seorang anak yang ditabraknya.
Sejumlah kalangan menduga hukum negara itu juga menjadi penyebab keputusan
masyarakat Cina untuk tidak membantu orang yang mengalami kecelakaan. Tidak ada
Undang-Undang yang melindungi orang-orang yang melakukan penyelamatan terhadap
korban kecelakaan. Tahun 2006, seorang pria Nanjing mendampingi perempuan tua yang
patah kaki justru diperintahkan membayar 40 persen biaya rumah sakit. Pengadilan yang
menangani kasus ini mengatakan jika anda tidak melakukan penabrakan mengapa anda
harus membawa korban ke rumah sakit? Hal yang dikatakan hakim benar-benar mencederai
rasa kemanusiaan masyarakat Cina. Sejumlah sumber menduga bahwa kompensasi untuk
kematian lebih ringan daripada kompensasi cedera jangka panjang yang termasuk biaya
medis dan hilangnya kesempatan kerja selama bertahun-tahun. Sopir van yang menabrak
Yue-Yue mengaku hanya akan membayar 20.000 yuan untuk kompensasi kematian namun
jika gadis itu cedera pelaku harus membayar hingga ratusan ribu yuan. Hal ini membuat
orang Cina berpikir bahwa kematian korban akan lebih baik bagi para pelaku dan menolong
korban akan menimbulkan masalah bagi para saksi. Sungguh ironis sekali melihat
peradaban manusia saat ini tergerus oleh hukum dan perilaku yang menyimpang.
Peribahasa diawal tulisan ini tentang “the confusion of today is that people are used and
things are loved” tampaknya cocok sekali untuk menggambarkan lunturnya nilai-nilai
keberadaban manusia ditengah arus globalisasi yang mementingkan pencapaian material.
Unsur-unsur kebendaan tampaknya telah menggantikan tempat untuk manusia di hati
kaumnya yang berimbas pada hilangnya rasa humanisme.
Permasalahan lain yang dihadapi Cina adalah konflik Cina dan Tibet. Ada hal yang
menarik ketika penulis membaca sebuah makalah yang mengenai pernyataan Pemerintah
Cina yang menolak saran Presiden Amerika Serikat, George Bush untuk segera
menyelesaikan pertikaian dengan Tibet. Hal ini kembali mencuat setelah aksi damai para
bikhsu di Lasha untuk memperingati perjuangan rakyat Tibet untuk lepas dari pendudukan
Tiongkok berubah menjadi kerusuhan ketika aparat keamanan Cina menindak pengunjuk
rasa dengan kejam. Menurut Cina ada perbedaan konsep hak asasi manusia yang dianut
budaya Barat dan Cina. Menurut pemerintah Cina penerapan prinsip HAM barat yang lebih
banyak mementingkan hak-hak individu tidak menguntungkan bagi stabilitas pembangunan
ekonomi. Pemerintah Cina memberikan hak-hak ekonomi terlebih dahulu. Sehingga
pemerintah Cina lebih mementingkan hak ekonomi daripada hak-hak sipil. Seperti
tanggapan Presiden Hu Jintao dan Perdana menteri Wen Jiabao bahwa mereka menganggap
serius permasalahan hak-hak asasi manusia, namun kebebasan ekonomilah yang lebih
utama harus diwujudkan. Ketidaksetujuan pemerintahan Cina tentang perbedaan agama dan
budaya yang dianut oleh masyarakat Tibet yang sangat berbeda dengan kepercayaan yang
dimiliki oleh Cina sehingga penyatuan Tibet ke Cina semakin sulit. Cina yang diramalkan
akan menggantikan Amerika Serikat untuk menduduki posisi adidaya dengan pengaruh
ekonominya menganggap pemberontakan rakyat Tibet menjadi penghambat peluang dan
kepentingan nasioanal Cina. Hal ini berpengaruh dengan pada pengasingan pemimpin
Tibet, Dalai Lama yang tinggal di pengasingan Dharmasala selama bertahun-tahun.
Pemerintah Cina menganggap Dalai Lama menjadi tokoh pemicu konflik berkepanjangan
antara Cina dan Tibet. Dalai lama tidak hanya diasingkan oleh pemerintah Cina namun
ancaman Cina pemutusan hubungan ekonomi pada negara-negara partner dagangnya yang
mencoba menerima Dalai Lama di negara mereka. Hal ini berhasil membuat pemerintah
Afrika Selatan menolak kedatangan Dalai Lama untuk mengunjungi perayaan ulang tahun
Uskup Desmon Tutu di negara tersebut dengan alasan posisi ekonomi mereka yang tidak
menguntungkan karena Cina adalah mitra dagang terbesar Afrika Selatan. Permasalahan
ekonomi politik di era globalisasi ini memang semakin kompleks dan sensitif, disatu sisi
memberikan kemudahan bagipemenuhan negara-negara yang bekerjasama, namun disisi
lain sangat mudah menjadi alat untuk mengancam pihak-pihak yang dianggap tidak
menguntungkan.
Permasalahan Yue – Yue dan Dalai lama dengan Cina menjadi salah dua dari
segudang permasalahan dampak globalisasi bagi peradaban manusia. Globalisasi seolah
member peremajaan yang tiada hentinya bagi pencapaian ekonomi, ilmu pengetahuan dan
teknologi, namun disisi lain menjadi virus pengeroposan rasa keberadaban manusia. Hal ini
coba penulis rekatkan dengan ide kosmopolitanisme sebagai secercah harapan rasa
keberadaban manusia ditengah pesatnya arus globalisasi. Pemikiran kosmopolitanisme
dibangun atas dua prinsip yaitu setiap individu adalah dan harus dilihat sebagai bagian dari
umat manusia. Kedua, sebagai konsekuensinya, karena umat manusia adalah sebuah
kategori yang alami, keberadaan setiap individu di seluruh dunia adalah sederajat dan
bersifat absolut dalam arti bahwa manusia tidak dapat dinilai atau diperlakukan berbeda
hanya karena mereka dikelompokkan berdasarkan atribut-atribut artifisial seperti misalnya
kewarganegaraan. Konkretnya, status kewarganegaraan seseorang tidak menjadikan hak
atau kewajiban seseorang lebih tinggi atau lebih rendah daripada hak dan kewajiban orang
lain dalam kaitannya dengan keberadaan mereka sebagai bagian umat manusia secara
keseluruhan. Secara umum, pemikiran kosmopolitanisme muncul dalam dua manifestasi:
kultural dan politik. Secara kultural, kosmopolitanisme dimanifestasikan dalam bentuk
sikap yang terbuka terhadap perbedaan kultur. Kosmopolitanisme menggambarkan
toleransi dan keterbukaan pikiran untuk menerima orang lain tanpa diskriminasi apapun
basisnya. Kosmopolitanisme memiliki signifikansi yang semakin besar saat ini dengan
berkembangnya realitas sosial yang cenderung bersifat global.
Dalam tataran ide, kosmopolitanisme cenderung terlihat sempurna sebagai salah
satu penyelesaian konflik kemanusiaan yang terjadi di abad ini, namun saat
pengimplementasiannya begitu banyak friksi-friksi membahayakan karena ide ini
mendobrak tatanan hukum, hubungan politik, ekonomi, ideologi, kepercayaan dalam
lingkup masyarakat yang berbeda-beda. Alasan-alasan itu didukung oleh kenyataan dari
kasus Yue-Yue dan Dalai Lama. Masyarakat Cina dengan ketakutannya akan masalah yang
dihadapi ketika menolong Yue-Yue (bercermin dari hukum pengadilan yang memvonis
bersalah penolong korban kecelakaan di Nanjing) dan kecaman pemerintah Cina setelah
Presiden Felipe Calderon menerima Dalai Lama di Mexico.
Dua hal yang menjadi tragedi peradaban manusia tersebut membuat penulis melihat
nilai-nilai kosmopolitanisme menjadi suatu aset yang sangat berharga untuk dikembangkan
dan dipercaya tidak sebagai pandangan utopis hanya karena pertimbangan kompleksnya
hubungan yang terjadi antarmanusia, kelompok, masyarakat dan negara. Tatanan hidup saat
ini benar-benar telah membawa manusia pada abad yang krisis rasa humanisasi. Sangat
jarang orang yang siap mati sebagai Mahatma Gandhi dan sanggup hidup sebagai Aung
San Suu Kyi yang mempertahankan kepercayaannya akan nilai-nilai kemanusiaan tanpa
penggunaan kekerasan. Namun ide tentang setiap individu harus dilihat sebagai bagian dari
umat manusia itu sendiri (tanpa mempertimbangkan unsur diluar kemanusiaan) harus
segera dikembangkan dan ditanamkan dalam pendidikan umat manusia. Dengan cara itu
memungkinkan melahirkan manusia-manusia yang melihat komunikasi beradab sebagai
cara stategis dalam penyelesaian konflik. Hal ini sebagai harapan atas ideologi
kosmopolitanisme sebagai tatanan global baru yang menjadi pengarah peradaban dunia di
masa depan.
Dunia sekarang ini teramat penuh dengan masalah kemanusiaan, dan sangat mudah
menimbulkan masalah kemanusiaan yang baru, namun sangat sulit menemukan cara
penyelesaian kemanusiaan tersebut. Itulah mengapa menumbuhkan peradaban yang
beradab melalui ide kosmopolitanisme teramat urgent untuk dilaksanakan saat ini, karena
seberapapun dirasakan datarnya dunia, dan setinggi apapun pencapaian peradaban
manusia, namun disaat mereka telah kehilangan rasa keberadabannya, maka saat itu pula
manusia mulai kebingungan tentang apakah ‘apa (things)’ atau ‘siapa (people)’ yang
dipilih untuk lebih dicintai. Dan bagaimana tidak saat pada itulah manusia harus mulai
meragukan unsur kemanusiaanya.
Daftar Pustaka

Brunsvick, Yves & Andre Danzin. 2005. Lahirnya Sebuah Peradaban, Goncangan
Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius. Dalam
http://www.docstoc.com/docs/70163679/Makalah-Manusia-dan-Peradaban
Devania Anessya. Pandangan Hidup dan Kepercayaan Orang-Orang Cina dalam
http://frenndw.wordpress.com/2010/03/29/pandangan-hidup-dan-kepercayaan-
orang-cina-taoisme-konfusianisme-dan-budhisme/
Egidius Patnistik. 2011. Benarkah Masyarakat Cina Menjadi Apatis?
http://internasional.kompas.com/read/2011/10/20/0953167/Benarkah.Masyaraka
t.China.Jadi.Apatis.
Fitri Fadhilla 2010. Perbedaan Pandangan Amerika Serikat dan Cina Tentang Hak Azazi
Manusia dalam Kasus Cina-Tibet. Universitas UMY tentang Kongres Rakyat
Cina Dimulai. http://www.mailarchive.
com/berita@listerv.rnw.nl/msg0024.html.
Friedman, Thomas L. The World Is Flat. Jakarta: Dian Rakyat. (dalam
http://www.portalhr.com/publikasi/ketika-dunia-menjadi-datar/)
Hall, Martin and Patrick Thaddeus. 2007. Discourses of Civilizational Identity. In Martin
Hall and Patrick Thaddeus pada Jackson., Civilization Identity: the Production
and Reproduction of “Civilization” in International Relations. New York.
Palgrave Macmillan.
Sugiono, Muhadi. Pengembangan Human Capital dan Pendidikan Kosmopolitan pada
Hannerz, Ulf. 2006. 'Two Faces of Cosmopolitanism: Culture and Politics.' Serie
Dinámicas interculturales Número Barcelona: Fundació CIDOB

Anda mungkin juga menyukai