Anda di halaman 1dari 32

LABEL: I LMU BUDAYA DASAR, UMUM

0 KOMENTAR:
POS KAN KOMENTAR
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
L I N K O N L I N E V I R U S S C A N E R
Virus Total
D A I L Y C A L E N D A R
L A B E L
Ilmu Budaya Dasar (23)
Ilmu Sosial Dasar (3)
Interaksi Manusia Komputer (1)
Teknologi (16)
Tips (7)
Umum (41)
A R S I P B L O G
2012 (1)
2010 (29)
o Juni (20)
Conficker dan Hydraq
Hari Pertama iPad Terjual 300 Ribu Unit
Persaingan Sistem Operasi Handset
Flash Menyatu Dengan Chrome
Google Chrome Masih Yang Terbaik
Problematika Lintas Budaya
Problematika Lingkungan Sosial Budaya
GOOGLE Meninggalkan Cina
Kualitas Penduduk dan Lingkungan Terhadap Kesejate...
Dinamika Peradaban Global
Penyalahgunaan IPTEKS
Bentuk Apresiasi Kebudayaan
Budaya dan Hukum
Dinamika Interaksi Sosial
Etika dan Estetika
Problematika Kebudayaan
Hakikat Keragaman dan Kesetaraan Manusia
Hakikat Keragaman dan Kesetaraan Manusia
Hakikat dan Makna Lingkungan Bagi Manusia
Moral
o Mei (2)
o Maret (2)
o Februari (5)
2009 (15)
P E N G I K U T
L I N K S U G
Gunadarma University
Staff Site
Student Site
Open Coure Ware
BAAK
P I C T U R E S O F R A I N B O WS


Multikulturalisme dan Problem Kebudayaan di Era
Global
ABSTRAK
Di dalam pola-pola keseharian itu,terkandung nilai-nilai atau tata-aturan
dari adat istiadat yang berlaku.Tata-aturan yang berlaku tersebut
merupakan ejawantah dari pandangan hidup atau sistem nilai dalam
masyarakat tertentu, di mana pandangan hidup ini merupakan wujud ketiga
dari kebudayaan.Wujud ketiga ini bersifat lebih abstrak dibanding kedua
wujud sebelumnya.Sistem nilai atau pandangan hidup ini bisa berupa
falsafah hidup atau kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam memandang
atau memaknai lingkungan sekitarnya. Hal ini tiada lain adalah representasi
dari pola pikir atau pengetahuan atau logika masyarakat pengampu
kebudayaan tertentu.

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan
manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga,
atau pranata yang ada dalam masyarakat.Negeri kita kaya raya akan
sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia
yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa Indonesia,
tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke
dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup. Salah satu sebab
utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam
mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai.Pedoman etika yang
menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang
dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan
mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya
yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam
pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau
pranata; tetapi juga akan mampu memberikan pemecahan yang terbaik
mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai
dengan konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.

Kata kunci: nilai-nilai budaya, pedoman etika, kebudayaan



A. PENDAHULUAN

Memasuki milenium ketiga, Indonesia sudah selayaknya mampu menjawab
beragam tantangan dari ombak besar bernama globalisasi, yakni tantangan
untuk terus berlari kencang dari ketertinggalan di pelbagai bidang, yang
senyatanya tidak dapat dielakkan lagi.Globalisasi ini mendera hampir di
seluruh aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga praktik
politik-ketatanegaraan. Manifestasi tantangan-tantangan tersebut antara
lain berupa munculnya gagasan tentang perdagangan bebas lintas
negara di seluruh dunia, di mana telah melepaskan prinsip-prinsip trading
kuno yang ditandai oleh munculnya korporasi-korporasi multinasional,
berafiliasinya beberapa negara dalam sebuah organisasi ekonomi regional
demi penguatan posisi tawar dalam percaturan ekonomi global (Uni Eropa,
misalnya), memupusnya sekat-sekat geografis-politis yang tegas
(deteritorisasi) dalam praktik-praktik interaksi sosial karena kemutakhiran
teknologi (lahirnya gadget canggih dan koneksi internet dengan tingkat
kecepatan tinggi, sehingga memapankan industri media), homogenisasi
rancangan arsitektur bercorak Barat pada kota-kota besar di seluruh dunia,
hingga industri pariwisata global yang memiliki efek diffusi (persebaran)
kebudayaan serta meningkatnya konsumsi pada tataran global dan lokal
sebagaimana disinggung Friedman (1994) dalam bukunya Cultural Identity
and Global Process.

Contoh-contoh akibat globalisasi di atas menunjukkan bahwa, dalam
realitanya, globalisasi mampu menjadi penentu arah perkembangan
kebudayaan dan peradaban manusia di dunia.Dalam lingkup sosio-kultural
yang lebih sempit,salah satu implikasi globalisasi ialah pada munculnya
pola-pola baru dari suatu kebudayaan dalam beragam bentuk dan
tatanannya. Kebudayaan dengan corak baru ini kerap kita sebut sebagai
kebudayaan pascaindustri, pascamodern, ataupun postmodern.Keadaan
masyarakat di milenium kelima tersebut memiliki konsekuensi logis pada
situasi yang akan menggiring kita, sebagai warga dunia, untuk berpikir,
berkeputusan, hingga bertindak dalam ritme yang relatif cepat. Dari
kenyataan itu, tidak bisa dipungkiri bahwa realita sosial semacam ini
sesungguhnya lahir karena transformasi yang signifikan pada core
kebudayaan itu sendiri, yakni pola atau cara berpikir dan cara memandang
dunia (Al Mudra, 2007a dan 2008a).

Dalam konteks sosial-budaya masyarakat Indonesia, implikasi lain dari
lahirnya bentuk-bentuk baru dari peradaban dan kebudayaan postmodern di
atas ialah mulai ditinggalkannya produk-produk kebudayaan lokal (seni,
bahasa, pola-pola perilaku, maupun benda budaya lainnya) oleh
masyarakatnya. Produk-produk budaya lokal mulai ditinggalkan lantaran
dianggap ketinggalan zaman, tidak up to date, kuno, dan semacamnya.Oleh
karenanya, generasi terkini dengan basis kulturalnya masing-masing
kemudian, meski tidak semua, akhirnya lebih memilih untuk mengadopsi
budaya baru atau budaya kekinian (hybrid culture) yang telah berasimilasi
dengan budaya Barat.Persoalannya bukan terletak pada boleh tidaknya
diterima dan dipraktikkannya budaya hybrid tersebut, melainkan terletak
pada sikap penafian budaya lama (peninggalan nenek-moyang) oleh
generasi masa kini.Ketika warisan budaya tiada lagi diindahkan, maka yang
akan terjadi ialah sebuah krisis identitas (jatidiri).

Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita berupaya menjaga, merawat,
mengemas, dan mempublikasikan kekayaan warisan budaya kita kepada
dunia untuk mengukuhkan identitas kita sebagai bangsa yang
bermartabat.Sebab, hanya dengan memahami dan menjaga kekayaan
warisan budaya dan sejarah, bangsa ini akan dihargai dan dipandang secara
terhormat oleh bangsa lain. Benefit lain yang bisa dipetik ialah bahwa
bangsa ini juga dapat berangsur melepaskan diri dari hegemoni budaya
asing (Al Mudra, 2007b). Penting untuk digarisbawahi di sini, masyarakat
yang dinamis tidak selalu menolak pengaruh budaya luar.Produk budaya
asing yang mendorong kepada perbaikan hidup dan kemajuan, tidak perlu
serta-merta ditolak.Hal ini berpegang pada prinsip al muhafadhatu ala al
qadimi as sholih wal akhdzu bi al jadidi al ashlah, yang maknanya adalah
menjaga warisan (budaya) lama yang baik, dan mengadopsi sesuatu
(budaya) yang baru yang lebih baik (Ibid, 2007b).

Sebelum melangkah pada bahasan lebih lanjut, tentu dibutuhkan
pemahaman mengenai apa yang dimaksud dengan: (1) budaya dan
warisan budaya, (2)Konsep multikulturalisme dan persebarannya, (3)
Pemahaman tentang multikulturalisme, (4) Upaya-upaya yang dapat
dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.

B. PEMBAHASAN

1. Budaya dan Warisan Budaya
Hanya manusia yang memiliki kebudayaan, begitu kira-kira teori Erns
Cassirer, seorang ahli lingustik asal Swiss, dalam bukunya An Essay on Man
(1945 via Ahimsa-Putra, 2002; 2004; 2005).Disebutkan olehnya bahwa
kebudayaan atau budaya merupakan ciri penting (khas) dari manusia,yang
membedakan manusia dengan binatang.Mengapa hanya manusia yang
memiliki kebudayaan, sedangkan binatang atau makhluk lainnya
tidak?Pendapat ini berangkat dari pemahaman bahwa manusia merupakan
animal symbolicum atau binatang yang mengkreasi simbol.Sebab itu,hanya
manusia yang dapat melakukan simbolisasi terhadap sesuatu.Manusia
merupakan makhluk yang mampu menggunakan, mengembangkan, dan
menciptakan lambang-lambang atau simbol-simbol untuk berkomunikasi
dengan sesamanya (Ahimsa-Putra, 2004: 29).Sementara itu, apa yang
dimaksud dengan simbol?Definisi konsep simbol atau lambang ialah segala
sesuatu yang dimaknai di mana makna dari suatu simbol itu mengacu pada
sesuatu (konsep) yang lain.Wujud lambang-lambang ini bisa berupa teks
(tulisan), suara, bunyi, gerak, gambar, dan lain sebagainya (Ibid).

Oleh karena hanya manusia yang dapat melakukan pemaknaan terhadap
sesuatu dan sesuatu yang dimaknai ini merupakan sebuah lambang hasil
kreasi manusia sendiri, dan proses simbolisasi ini melahirkan kebudayaan,
maka kebudayaan dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai: seperangkat
atau keseluruhan simbol yang digunakan atau dimiliki manusia dalam
hidupnya untuk bisa melakukan reproduksi dan menghadapi lingkungannya,
yang diperoleh lewat proses belajar dalam kehidupannya sebagai anggota
suatu masyarakat atau komunitas (Ibid). Di sini perlu dicatat bahwa setiap
manusia beserta komunitasnya memiliki perangkat simbol (baca:
kebudayaan) dan proses simbolisasinya (proses berkembangnya
kebudayaan) masing-masing, sehingga pemaknaan atau penafsiran yang
lahir juga beragam (lihat juga Geertz, 1973: 89).Hal inilah yang kemudian
melahirkan diversitas budaya dalam kehidupan manusia.

Lebih lanjut,perlu diketahui bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan
menurut Koentjaraningrat.Pertama adalah gagasan, ide, atau sistem
nilai.Karena gagasan ini beroperasi pada tataran kognitif, maka agak sulit
mengidentifikasinya. Selain itu, dapat diketahui simbol-simbol lain yang
wujudnya lebih konkret dari wujud pertama untuk dapat menjadi pembeda
atau berlaku sebagai cultural traits antara kebudayaan yang satu dengan
lainnya.Wujud konkret dari simbol-simbol tersebut ialah perilaku, kebiasaan,
habitus (sebagaimana sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menyebutnya),
atau yang kita kenal dengan istilah adat-istiadat sebagai wujud kedua dari
kebudayaan.Selain adat-istiadat, elemen lainnya ialah budaya
material.Budaya material (material culture) atau artefak atau benda-benda
hasil produksi suatu kebudayaan merupakan hal-hal dalam kebudayaan
yang paling konkret (empirik).

Ada empat bentuk yang dapat diidentifikasi dan dikategorikan sebagai
peninggalan budaya.Pertama, benda-benda fisik atau material
culture.Wujud pertama ini mencakup seluruh benda-benda hasil kreasi
manusia, mulai dari benda-benda dengan ukuran yang relatif kecil hingga
benda-benda yang sangat besar (dari emblem kerajaan Sultan Nata Sintang,
kain songket, keris, sampai Candi Borobudur, misalnya).Kemudian, wujud
kedua ialah pola-pola perilaku yang merupakan representasi dari
adat-istiadat sebuah kebudayaan tertentu. Bentuk kedua ini meliputi hal-hal
keseharian,seperti pola makan, pola kerja, pola belajar, pola berdoa, hingga
pola-pola yang bersangkutan dengan aktivitas sebuah komunitas, seperti
pola upacara adat ataupun ritual Ngaben di masyarakat Bali.

Di dalam pola-pola keseharian itu,terkandung nilai-nilai atau tata-aturan
dari adat istiadat yang berlaku.Tata-aturan yang berlaku tersebut
merupakan ejawantah dari pandangan hidup atau sistem nilai dalam
masyarakat tertentu, di mana pandangan hidup ini merupakan wujud ketiga
dari kebudayaan.Wujud ketiga ini bersifat lebih abstrak dibanding kedua
wujud sebelumnya.Sistem nilai atau pandangan hidup ini bisa berupa
falsafah hidup atau kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam memandang
atau memaknai lingkungan sekitarnya. Hal ini tiada lain adalah representasi
dari pola pikir atau pengetahuan atau logika masyarakat pengampu
kebudayaan tertentu.

Selain itu, dalam konteks tinggalan budaya di sini, terdapat satu lagi bentuk
peninggalan yang merupakan wujud keempat, yakni lingkungan.Barangkali,
muncul pertanyaan dalam benak kita mengapa lingkungan dapat
dikategorikan sebagai warisan budaya?Lantas, lingkungan seperti apa yang
termasuk peninggalan budaya?Sebelum masuk pada pemaparan atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya bila mengetahui terlebih
dahulu pengertian lingkungan di dalam tulisan ini.

Ahimsa-Putra (2004: 38) menjelaskan bahwa lingkungan atau
environment secara garis besar dapat dibedakan berdasarkan (1) sifat atau
keadaannya dan (2) asal-usulnya.Lingkungan atas dasar kategori sifat ini
masih dapat dipilah lagi menjadi:

1. Lingkungan fisik. Lingkungan fisik berupa benda-benda yang ada di
sekitar kita, makhluk hidup, dan segala unsur-unsur alam;
2. Lingkungan sosial. Lingkungan sosial meliputi perilaku-perilaku manusia
atau pelbagai aktivitas sosial yang berupa interaksi antarindividu serta
berbagai aktivitas individu; dan
3. Lingkungan budaya. Lingkungan ini mencakup pandangan-pandangan,
pengetahuan,norma-norma serta aturan-aturan yang berlaku dalam suatu
masyarakat.

Sedangkan, lingkungan yang dilihat dari asal-usulnya berupa: (1)
lingkungan alami (natural environment), di mana lingkungan jenis ini
memiliki pengertian keseluruhan unsur di luar diri manusia yang bukan
ciptaan manusia, dan (2) lingkungan buatan (built environment) yakni
lingkungan yang merupakan hasil kreasi manusia.

Lingkungan dapat menjadi bagian dari tinggalan budaya oleh karena
lingkungan memainkan peran sebagai bagian yang tak terpisahkan bagi
terciptanya kebudayaan itu sendiri.Sebagai ilustrasi, dapat dibandingkan
masyarakat pesisir atau nelayan di sepanjang Pantai Utara Jawa di Cirebon,
masyarakat nelayan di Kepulauan Karimunjawa, atau masyarakat Suku Laut
di Thailand Selatan dengan masyarakat agraris, seperti masyarakat petani
salak di Yogyakarta atau masyarakat petani kopi di kawasan pegunungan
Minahasa. Letak perbedaan pertama yang tampak dengan jelas ialah
kawasan atau lingkungan di mana mereka menjalani siklus kehidupannya
(lahir, bekerja, berinteraksi, kawin, dan sebagainya),yakni pegunungan
atau dataran tinggi dan pesisir atau pantai. Perbedaan kedua ialah pola pikir
masyarakatnya atau cara pandang mereka terhadap hidupnya. Pola pikir
masyarakat pesisir dengan masyarakat pegunungan sudah tentu
berlainan.Perbedaan ini terletak pada tataran perangkat pengetahuan
(sistem simbol) masyarakat yang pada gilirannya mempengaruhi cara
mereka memaknai persoalan-persoalan atau hal-hal yang berkaitan dengan
lingkungannya, dengan hidupnya.Inilah yang dinamakan kearifan lokal,
sebuah pengetahuan yang khas pada masyarakat tertentu, yang muncul
lewat penghayatan manusia atas lingkungannya.Penghayatan terhadap
lingkungan inilah yang kemudian menghasilkan kearifan lokal atau
kebudayaan yang khas pula, yakni sistem nilai, adat-istiadat, dan
artefak-artefak budaya (periksa Ahimsa-Putra, 2008: 1112).

Dengan demikian, lingkungan sebagai salah satu entitas penting dalam
pembentukan sebuah kebudayaan dapat dikategorikan sebagai warisan
atau tinggalan budaya, sehingga ia harus dilindungi dan dilestarikan.

2. Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa
Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia,tetapi pada
umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah sebuah
konsep asing. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan
konsep keanekaragaman secara suku-bangsa atau kebudayaan
suku-bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan.Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak
mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi
ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum,
kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu
produktivitas.

Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara
Eropah Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2
masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan,
yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen.Golongan-golongan lainnya yang
ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas
dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di Amerika
Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan
kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun
1950an.Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya
perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam
dan Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan
dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui
berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang
tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar
ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai
posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat
Suparlan 1999).

Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam
perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit
Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang
Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai
kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas
sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang
di-edit oleh Reed (1997).Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat
pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan
diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep
multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di
sekolah-sekolah di tahun 1970an.Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan
berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan
menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap
tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa we are
all multiculturalists now dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada
masa sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk
dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang
dilakukan sejak tahun 1970an.

Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang
harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya
demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup
masyarakatnya.Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri
sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme
membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan
konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan
mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat.Untuk dapat
memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang
berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung
keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan
manusia.Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para
ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang
multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling
mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang
relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan
dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan
yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa,
keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan
publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan
(Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002).

3. Pemahaman Tentang Multikulturalisme
Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan.Pengertian
kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya
tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli
dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya.Karena
multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana
untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep
kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan
manusia.Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena
itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia.Yang
juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan
pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui
pranata-pranata sosial.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai
interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia
yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan
kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang
bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan
antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber
daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya
mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Salah satu isyu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam
kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya
adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada
corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan
pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian
pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan
mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi
nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang
dikaji. Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap
seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan
sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put)
menjadi keluaran.(out-put).Apakah memang ada pedoman etika dalam
setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah
pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang
dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul digunakan dalam
proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan
umum)?

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan
manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga,
atau pranata yang ada dalam masyarakat.Negeri kita kaya raya akan
sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia
yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa Indonesia,
tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke
dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup. Salah satu sebab
utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam
mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai.Pedoman etika yang
menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang
dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan
mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya
yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam
pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau
pranata; tetapi juga akan mampu memberikan pemecahan yang terbaik
mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai
dengan konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.

Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai Pedoman yang
berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan pelaku
dalam sebuah profesi, yang di dalam pedoman tersebut terserap
prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mendukung dan menjamin
dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai
dengan hak dan kewajibannya.Sehingga peranannya dalam sesuatu
struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses masukan menjadi
keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno 1987). Dalam ruang
lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya etika
politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan birokrasi, dan
sebagainya.Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat berbagai
pedoman etika yang ada atau tidak ada dalam berbagai struktur kehidupan
atau pengelolaan sumber-sumberdaya yang lebih khusus,misalnya
pembahasan mengenai Akbar Tanjung dan Etika Politik sebagaimana yang
telah dikemukakanoleh Alfian M (2002).

Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat
Indonesia yang multikultural adalah sangat kompleks.Apakah kita para ahli
antropologi sudah siap untuk itu?Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang
ada di Indonesia ini juga sudah siap untuk itu?Dalam kesempatan ini saya
ingin menghimbau bahwa mungkin ada baiknya bila kita semua memeriksa
diri kita masing-masing mengenai kesiapan tersebut.Pertama, apakah
secara konseptual dan teoretikal kita cukup mampu untuk melakukan
penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari
masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari 32 tahun kita jalani, dan
apakah kita juga akan mampu untuk membuat semacam blueprint untuk
merubahnya menjadi bercorak multikultural? Kalau kita belum mampu,
sebaiknya kita persiapkanlah diri kits melalui berbagai kegiatan diskusi,
seminar, atau lokakarya untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita
dan mempertajam konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam
kajian mengenai ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan
multikultural. Kalau merasa diperlukan, sebaiknya pimpinan dan
dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi dapat duduk bersama untuk
membicarakan isyu-isyu penting berkenaan dengan peranan antropologi
dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita reformasi.Pembicaraan para
pimpinan jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk
mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi yang
sesuai dengan itu.

Kedua,apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu?Kajian-kajian
etnografi yang teradisional, yang bercorak butterfly collecting sebagaimana
yang selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa
untuk skripsi dan dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai
dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan sesuai dengan upaya
pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang
multikultural.Penelitian etnografi yang bercorak penulisan jurnalisme juga
sebaiknya dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang terfokus
dan mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang tersembunyi
dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang akan
mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu
juga kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk
mendapat respons dari respeonden atas sejumlah pertanyaan sebaiknya
ditinggalkan dalam kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini.Karena,
kajian seperti ini hanya akan mampu menghasilkan informasi mengenai
kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan
menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan
melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian. Pendekatan kualitatif dan
etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada
angka-angka statistiknya, sebaiknya digunakan dengan menggunakan
metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit
oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif inilah
yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau
gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya.Untuk itu perlu juga diperiksa
tulisan Guba dan tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-editnya
(1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang menjadi
landasan utama dari metodologi kualitatif.

Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian
multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan oleh
ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli
sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu
hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat,
mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model
penerapan multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut
perspektif dan keahlian akademik masing-masing.Sehingga secara
bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan
masing-masing, upaya-upaya untuk menuju masyarakat Indonesia yang
multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil
dilaksanakan.

Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi,
atau gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau sejumlah jurusan lainnya
yang ada dalam sebuah universitas atau sejumlah universitas dalam sebuah
kota untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan diskusi, seminar kecil, atau
lokakarya. Kegiatan-kegiatan ini akan dapat dijadikan landasan bagi
dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya yang lebih luas ruang
lingkupnya. Dengan cara ini maka konsep-konsep dan teori-teori serta
metodologi berkenaan dengan kajian mengenai multikulturalisme,
masyarakat multikultural, dan perubahan serta proses-prosesnya dan
berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan itu semua akan dapat
dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di lapangan.

Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap masalah
multikulturalisme, ahli-ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan
antropologi sebaiknya mulai memikirkan untuk memberikan informasi
mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan
organisasi pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau
tidak langsung berkaitan dengan masalah multikulturalisme. Hal yang sama
juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh
masyarakat atau partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi
pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar,
dan lokakarya sebagai peserta aktif.Mereka ini adalah kekuatan sosial yang
akan mendukung dan bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita
reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan bangunan
konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga
menentang multikulturalisme dan ide tentang masyarakat multikultural
Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak
berkepentingan untuk turut melakukan reformasi.

4. Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan
Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan
dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali.Alat penggulir bagi
proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan
dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk
meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki
masyarakat multikultural Indoneaia.Sebagai model maka masyarakat
multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada
ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural,
yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional
dan lokal.

Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya
masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya
adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan
organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia.Isi
dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup
reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada,
dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum
dan penegakkan hukum bagi keadilan.Dalam upaya ini harus dipikirkan
adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan
yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional
dan berbagai corak dinamikanya.

Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan
pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral
dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari
pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen.Pedoman
etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.

Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila
pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam
berbagai tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya.
Ketidak inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan
berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para
pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang
ada dan pendistribusiannya.Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan
itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan pendapatan
para pejabat,sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau
ditiadakan.

Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas,sebaiknya Depdiknas R.I.
mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam
pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat
SLTA.Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan
pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau
menjadi bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah
bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di Poso, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah diskusi
dengan tokoh-tokoh Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru
ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang
diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam
upaya mencegah terulangnya kembali di masa yang akan datang konflik
berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat
Suparlan 2002)

Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah
multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung cita-cita demokrasin
akan hanya kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai
sebuah tema utama dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan
sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan masyarakat
Indonesia.Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama.

Perilaku masyarakat akibat perubahan sosial dapat berupa pemberontakan,
aksi pastes, demonstrasi, data tindakan kriminal. Berikut beberapa contoh
perubahan sosial budaya di Indonesia:
a. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) terjadi ketika sebagian kecil
kelompok masyarakat Ambon yang dipimpin oleh Christian Robert Steven
Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Titnur (NIT) tidak puas
dengan terjadinya proses kembali ke negara kesatuan setelah Konfe-rensi
Meja Bandar (KMB).Pemberontakan ini menggunakan unsur KNIL yang
merasa tidak pasti tentang status mereka setelah KMB. Pemberontakan ini
berlangsung sekitar 4 balms dan berakhir setelah pemimpin mereka,dr.
Soumokil, ditangkap.Sebagian dari yang berhasil lolos dari kejaran tentara
RI melarikan diri ke Belanda data bergabung dengan mereka yang telah
bermigrasi lebih awal serta membentuk RMS di pengasingan.Di sini jelas
bahwa pemberontakan yang mereka lakukan karena adanya perubahan
sosial-budaya khususnya status mereka anggota KNIL setelah KMB.
b. Pemberontakan Darul Islam (DI/TII) di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan
Aceh
Pemberontakan ini merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan
membentuk negara Indonesia berazaskan hukum Islam.Pemberontakan di
daerah-daerah tersebut pada umumnya terjadi karena ketidakpuasan
terhadap pemerintah pusat yang tidak memberikan penghargaan yang
pastas untuk mereka yang telah berjuang membela dan mempertahankan
RI.Bentuk ketidakpuasan itu tentu mempunyai latar belakang yang
berbeda.Yang pasti pars pemimpin gerakan merasa tidak puas karena
adanya perubahan sosial budaya.Di Aceh misalnya Daud Beureh tidak puas
akan kedudukannya yang semula sebagai gubemur Daerah istimewa Aceh
menjadi salah satu karesidenan Sumatra utara bukan lagi
provinsi.Pemerintah RI setelah kembali menjadi negara kesatuan
melakukan penyederhanaan administrasi, sehingga status Daud Beureh
tidak lagi menjadi gubernur Aceh melainkan hanya seorang residen.
c. Pemberontakan PRRI/Permesta
Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) terjadi
di Sumatra Barat dan Permesta di Sulawesi Utara.Kedua pemberontakan ini
terjadi karena ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi tersentralisir
yang dikeluarkan pemerintah pusat yang semula otonomi.Sebab dalam
kenyataannya hasil yang diperoleh dari daerah ke pusat tidak dimanfaatkan
untuk mensejahterakan penduduk daerah mereka sendiri.Mereka menuntut
kembali adanya desentralisasi ekonomi khususnya di bidang ekspor.

C. PENUTUP

Multikulturalisme hanya sekedar wacana titipan di negeri ini, kenapa harus
belajaar pada refrensi asing tentang wacana Multikulturalisme bdhal bangsa
ini, jika rujukunnya kenusanatra dan tradisi perbedaan yang sering dihadapi
banagsa ini, kita tellah bnyak belajar dengan trasdisi kita dimasa lalu, hanya
saja hari ini kita, kamu n u pade..kanyaknya lebih percaya sama semangat
multikulturalisme yang ditawarkan oleh Eropa modern..yang lahir dari
berbagai konflik yang lebih banyak terjadi akibat konsprirasi politik para
penguasa dunia di tingkat global. jika itu terjadi bisa jadi Wacana
multikulturalisme hari ini hanya sekedar titipan proyek bagi orang-orang
tertentu untuk hadir sebagai pahlawan di negri ini.

Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme
pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat
diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan
tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan
multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.Multikulturalisme
dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan
dalam politics of recognition (Azyumardi Azra, 2007).Lawrence Blum
mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman,
penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan
dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian
mengenai multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari
multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap
suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain.
Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap
kebudayaan yang ada di masyarakat.Apapun bentuk suatu kebudayaan
harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara
satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan
akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam
dan luas.Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau
dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang
membentuk suatu masyarakat.Dari masyarakat tersebut terbentuklah
sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri.Tentu saja hal ini
berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka
ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi
pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta
mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi
bangsa Indonesia.Namun,dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai
hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
http://puturistik.blogspot.com/2010/06/problematika-kebudayaan.html
diakses pada hari senin 10 januari 2011 jam 13.35 WIB
http://www.puspek.averroes.or.id/2008/09/24/multikulturalisme-dan-prob
lem-kebudayaan-di-era-global/ diakses pada hari senin 10 januari 2011 jam
13.59 WIB

http://requestartikel.com/contoh-perubahan-sosial-budaya-di-indonesia-2
01011225.html diakses pada hari senin 10 januari 2011 jam 20.35 WIB

http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme diakses pada hari senin 10
januari 2011 jam 21.15 WIB
Media Massa, Berbangsa, dan Spirit
Kebudayaan

Sihar Ramses Siamtupang

SENI dan kebudayaan di Indonesia belum diimbangi dengan ruang di
media massa.

"Mereaktualisasi, merevitalisasi rubrik kebudayaan agar rubrik
kebudayaan yang sudah ada lebih menarik, bergizi, dan berkualitas,
agar bisa turut mengawal tegaknya kebudayaan Indonesia di tengah
perkembangan zaman yang mengglobal."

Barisan kalimat di atas adalah keputusan yang mengemuka dalam forum
Temu Redaktur Kebudayaan Se-Indonesia 2012, di Jakarta, tanggal 9-11
Oktober 2012 yang diikuti oleh utusan Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) Cabang dan para redaktur kebudayaan dari 33 cabang di 32
provinsi.

Para peserta berhasil membeberkan persoalan antara lain halaman
yang memadai untuk media massa, dari yang memiliki halaman budaya,
peristiwa kebudayaan yang hanya mendapat porsi kecil di koran atau
pun majalah, hingga yang mampu mengisi halaman utama, misalnya
dimuat di halaman satu koran harian.

Problem seni dan kebudayaan di Indonesia hingga sekarang nyatanya
belum diimbangi dengan keberadaan dan ruang di media massa, baik
media cetak maupun elektronik.

Padahal, peristiwa kebudayaan semisal adat istiadat, tradisi, ranah
kearifan lokal dalam arti luas, serta peristiwa kebudayaan dalam artian
kesenian berbagai dimensi dan genre seperti tari, seni rupa,
kesusastraan dan beragam genre seni rupa kontemporer lainnya,
memerlukan media untuk disampaikan ke masyarakat.

Perspektif insan pers terhadap peristiwa kebudayaan, termasuk
"mengakalinya", menjadi penting dihadirkan di tengah gelanggang arena
politik, sosial, hingga kemanusiaan dan kebangsaan yang aktual.

Peristiwa orasi kebudayaan, pementasan teater, peluncuran puisi, kerap
kali berhubungan dengan kondisi aktual yang ada di masyarakat. Hal
yang menarik adalah bahwa banyak kearifan tema dari teks-teks
kesenian masih berguna untuk tema aktual kebangsaan dari masalah
hak asasi manusia, antikorupsi, bahkan memerangi kemiskinan.

Sekadar menyebutkan peristiwa kesenian yang masih aktual,
pementasan Teater Syahid di Gedung Kesenian Jakarta memberikan
perspektif lain untuk isu di masyarakat luas. Sinar Harapan pada tulisan
terbitan tanggal 5 Oktober, misalnya, mengangkat judul "Cerita Para
Nelayan" yang 'kalah'.

Nusantara yang katanya kaya hasil alam nyatanya tak dirasakan
manfaatnya oleh nelayan. Hidup mereka tergambarkan miskin.
Nelayan-nelayan tradisional beberapa minggu tidak bisa melaut akibat
ketiadaan solar dan cuaca yang buruksebuah potret realitas nelayan
Indonesia yang dihadirkan dalam panggung teater.

Dalam dimensi yang lebih luas, sebagaimana yang diungkapkan oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh dalam orasi pembukanya,
tren peradaban ada tiga skenario, yaitu pertempuran peradaban,
benturan peradaban sebagaimana dinyatakan oleh Samuel Huntington
dalam teorinya Clash of Civilizations, dan terakhir adalah converse
peradaban, seperti spektrum cahaya warna pelangi (warna
merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu) yang bila digabungkan justru
akan menghasilkan warna cahaya putih. Kebudayaan dunia memberikan
spektrum kepada kebudayaan lokal di belahan bumi.

Menangkap fenomena dan visi kebudayaan lokal, media massa juga
memegang peranan penting di tengah arus global. Menyuarakannya,
menyosialisasikannya, dan memublikasikannya ke masyarakat luas.
Dengan demikian, kehadiran seorang Rasinah atau komunitas bissu di
Sulawesi Selatan, dapat hadir tak hanya di Taman Ismail Marzuki tapi
juga di dunia.

Bahkan "Sureq Galigo" atau "La Galigo" kembali aktual, dari sebuah
kitab dari masyarakat di wilayah Sulawesi Selatan kuno.

Bukan hanya sebatas dipentaskan oleh sutradara Amerika Robert
Wilson, diadaptasi oleh Rhoda Grauer, tapi juga memberikan narasi baru
tentang sebuah sumbangan kosmologi lain dari masyarakat tradisi yang
dibeberkan oleh media massa.

Acara yang diprakarsai oleh kerja sama Kemendikbud dan PWI Pusat ini,
selain memprogramkan peningkatan kualitas wartawan kebudayaan,
juga mengusahakan adanya sekolah jurnalisme kebudayaan.

Salah satu poin rekomendasi pertemuan lainnya adalah memberikan
arahan tentang sikap media massa, bahwa "Sikap membabi buta dan
silau terhadap kebudayaan asing di sembarang tempat dan waktu,
hanya akan menjadikan masyarakat Indonesia kehilangan martabat
kebudayaannya. Mencintai kebudayaan Indonesia dengan cara
mengamalkan nilai-nilai kegunaan dan nilai-nilai luhurnya secara
rasional merupakan cara kita menyelamatkan Tanah Air Indonesia dan
seisinya."

Simbol dan Definisi Seni

Sebagaimana dikatakan salah satu penyaji dalam acara ini, budayawan
Radhar Panca Dahana tentang apa yang dilakukan para pelaku seni dan
kebudayaan adalah usaha membongkar dan memperbarui simbol.

Lebih jauh dia ungkapkan bahwa kehidupan manusia sebagai homo
ludens dan homo faber (makhluk bermain dan makhluk berkarya) adalah
usaha memperjuangkan simbol. Simbol-simbol inilah yang menyatukan
komunitas manusia dalam identitas kebangsaan, lebih jauh identitas
kesukuan, bahkan identitas dalam bentuk lagu, bendera, bahkan dasar
negara.

Di konteks lain, Temu Redaktur Kebudayaan ini mendapat sumbangan
dari kehadiran budayawan Goenawan Mohamad yang menawarkan
pembebasan definisi kesenian. Seni, sebagaimana yang dianut di
periode romantisme, kerap dikaitkan dengan dulce et utile - pendapat
Horace.

Anggapan itu dibebaskan atau dibongkar, salah satunya oleh Marchel
Duchamp yang berasal dari Prancis dan penggerak aliran dadais, juga
pergerakan surealisme yang menghasilkan karya Fountain (atau "Air
Mancur" berupa media urinoir berbubuh tanda tangannya.

Karya yang mulanya ditolak dalam sebuah kurasi pameran itu, kemudian
menjadi salah satu tawaran lain tentang medium seni yang dapat
dipungut dari berbagai objek untuk sebuah permaknaan kesenian.
Media Massa, Berbangsa, dan Spirit Kebudayaan

Sihar Ramses Siamtupang

SENI dan kebudayaan di Indonesia belum diimbangi dengan ruang di media massa.

"Mereaktualisasi, merevitalisasi rubrik kebudayaan agar rubrik kebudayaan yang sudah
ada lebih menarik, bergizi, dan berkualitas, agar bisa turut mengawal tegaknya
kebudayaan Indonesia di tengah perkembangan zaman yang mengglobal."

Barisan kalimat di atas adalah keputusan yang mengemuka dalam forum Temu Redaktur
Kebudayaan Se-Indonesia 2012, di Jakarta, tanggal 9-11 Oktober 2012 yang diikuti oleh
utusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang dan para redaktur kebudayaan
dari 33 cabang di 32 provinsi.

Para peserta berhasil membeberkan persoalan antara lain halaman yang memadai untuk
media massa, dari yang memiliki halaman budaya, peristiwa kebudayaan yang hanya
mendapat porsi kecil di koran atau pun majalah, hingga yang mampu mengisi halaman
utama, misalnya dimuat di halaman satu koran harian.

Problem seni dan kebudayaan di Indonesia hingga sekarang nyatanya belum diimbangi
dengan keberadaan dan ruang di media massa, baik media cetak maupun elektronik.

Padahal, peristiwa kebudayaan semisal adat istiadat, tradisi, ranah kearifan lokal dalam
arti luas, serta peristiwa kebudayaan dalam artian kesenian berbagai dimensi dan genre
seperti tari, seni rupa, kesusastraan dan beragam genre seni rupa kontemporer lainnya,
memerlukan media untuk disampaikan ke masyarakat.

Perspektif insan pers terhadap peristiwa kebudayaan, termasuk "mengakalinya", menjadi
penting dihadirkan di tengah gelanggang arena politik, sosial, hingga kemanusiaan dan
kebangsaan yang aktual.

Peristiwa orasi kebudayaan, pementasan teater, peluncuran puisi, kerap kali berhubungan
dengan kondisi aktual yang ada di masyarakat. Hal yang menarik adalah bahwa banyak
kearifan tema dari teks-teks kesenian masih berguna untuk tema aktual kebangsaan
dari masalah hak asasi manusia, antikorupsi, bahkan memerangi kemiskinan.

Sekadar menyebutkan peristiwa kesenian yang masih aktual, pementasan Teater Syahid di
Gedung Kesenian Jakarta memberikan perspektif lain untuk isu di masyarakat luas.
Sinar Harapan pada tulisan terbitan tanggal 5 Oktober, misalnya, mengangkat judul
"Cerita Para Nelayan" yang 'kalah'.

Nusantara yang katanya kaya hasil alam nyatanya tak dirasakan manfaatnya oleh nelayan.
Hidup mereka tergambarkan miskin. Nelayan-nelayan tradisional beberapa minggu
tidak bisa melaut akibat ketiadaan solar dan cuaca yang buruksebuah potret realitas
nelayan Indonesia yang dihadirkan dalam panggung teater.

Dalam dimensi yang lebih luas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan M Nuh dalam orasi pembukanya, tren peradaban ada tiga skenario,
yaitu pertempuran peradaban, benturan peradaban sebagaimana dinyatakan oleh
Samuel Huntington dalam teorinya Clash of Civilizations, dan terakhir adalah converse
peradaban, seperti spektrum cahaya warna pelangi (warna
merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu) yang bila digabungkan justru akan
menghasilkan warna cahaya putih. Kebudayaan dunia memberikan spektrum kepada
kebudayaan lokal di belahan bumi.

Menangkap fenomena dan visi kebudayaan lokal, media massa juga memegang peranan
penting di tengah arus global. Menyuarakannya, menyosialisasikannya, dan
memublikasikannya ke masyarakat luas. Dengan demikian, kehadiran seorang Rasinah
atau komunitas bissu di Sulawesi Selatan, dapat hadir tak hanya di Taman Ismail
Marzuki tapi juga di dunia.

Bahkan "Sureq Galigo" atau "La Galigo" kembali aktual, dari sebuah kitab dari masyarakat
di wilayah Sulawesi Selatan kuno.

Bukan hanya sebatas dipentaskan oleh sutradara Amerika Robert Wilson, diadaptasi oleh
Rhoda Grauer, tapi juga memberikan narasi baru tentang sebuah sumbangan kosmologi
lain dari masyarakat tradisi yang dibeberkan oleh media massa.

Acara yang diprakarsai oleh kerja sama Kemendikbud dan PWI Pusat ini, selain
memprogramkan peningkatan kualitas wartawan kebudayaan, juga mengusahakan
adanya sekolah jurnalisme kebudayaan.

Salah satu poin rekomendasi pertemuan lainnya adalah memberikan arahan tentang sikap
media massa, bahwa "Sikap membabi buta dan silau terhadap kebudayaan asing di
sembarang tempat dan waktu, hanya akan menjadikan masyarakat Indonesia
kehilangan martabat kebudayaannya. Mencintai kebudayaan Indonesia dengan cara
mengamalkan nilai-nilai kegunaan dan nilai-nilai luhurnya secara rasional merupakan
cara kita menyelamatkan Tanah Air Indonesia dan seisinya."

Simbol dan Definisi Seni

Sebagaimana dikatakan salah satu penyaji dalam acara ini, budayawan Radhar Panca
Dahana tentang apa yang dilakukan para pelaku seni dan kebudayaan adalah usaha
membongkar dan memperbarui simbol.

Lebih jauh dia ungkapkan bahwa kehidupan manusia sebagai homo ludens dan homo faber
(makhluk bermain dan makhluk berkarya) adalah usaha memperjuangkan simbol.
Simbol-simbol inilah yang menyatukan komunitas manusia dalam identitas kebangsaan,
lebih jauh identitas kesukuan, bahkan identitas dalam bentuk lagu, bendera, bahkan
dasar negara.

Di konteks lain, Temu Redaktur Kebudayaan ini mendapat sumbangan dari kehadiran
budayawan Goenawan Mohamad yang menawarkan pembebasan definisi kesenian. Seni,
sebagaimana yang dianut di periode romantisme, kerap dikaitkan dengan dulce et utile -
pendapat Horace.

Anggapan itu dibebaskan atau dibongkar, salah satunya oleh Marchel Duchamp yang
berasal dari Prancis dan penggerak aliran dadais, juga pergerakan surealisme yang
menghasilkan karya Fountain (atau "Air Mancur" berupa media urinoir berbubuh
tanda tangannya.

Karya yang mulanya ditolak dalam sebuah kurasi pameran itu, kemudian menjadi salah
satu tawaran lain tentang medium seni yang dapat dipungut dari berbagai objek untuk
sebuah permaknaan kesenian.
PROBLEMATIKA KEBUDAYAAN

Adalah sesuatu yang indah jika kebudayaan yang merupakan harta yang
turun temurun dari nenek moyang kita, dapat kita pertahankan
kelestariannya. Tapi perkembangan jaman tidak dapat dibendung,
seiring dengan berjalanya waktu, maka kelestarian kebudayaan tersebut
harus dijaga karena kebudayaan hanyalah identitas diri dan merupakan
identitas bangsa. Bangsa yang memiliki identitas akan menjadi bangsa
yang kuat dan menjadi bangsa yang tidak mudah untuk dijajah oleh
bangsa lain. Problematika kebudayaan sangat berbahaya jika dibiarkan,
karena kebudayaan merupkan jati diri bangsa, bila itu hilang maka
dengan sangat mudah bangsa itu akan hancur dan dijajah oleh bangsa
lain. Oleh sebab itu bagaimanapun juga caranya kita harus
mempertahankan identitas bangsa kita yaitu kebudayaan. Mulailah
dengan mencintai kebudayaan daerah, dan serukan dalam hati yaitu:
Aku Cinta Indonesia.

UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN
Kebudayaan mengandung unsur antara lain; Kenyakinan, Mata pencarian,
Bahasa, pengetahuan, Teknologi, Sistem
sosial,Kekerabatan,penanggalan,Tata pemukiman.
Berkembangnya kebudanyaan dikarenakan adanya kesadarn manusia,
kondisi masyarakat dan hubungan dan kebudaan lain.
AKTIVITAS KEBUDAYAAN
Terminologi yang menunjukan aktifitas kebudayaan antara akulturasi,
asimilasi, difusi, dan lain-lain. Kebudayaan itu memiliki jiwa, ibarat
manusia hidup yang dinamis dan tidak statis. Selain kebudaaan itu hidup,
kebudayaan pun dapat terkena kematian. Kematian kebudayaan terjadi
karena manusia yang dulu hidup di dalam sebuah kebudayaan,
meninggalkan baik secara sadar atau tidak kebudayaan itu, biasanya,
karena ketertarikan kepada kebudayaan lain.Manusia adalah jiwa
kebudayaan.Ketika manusia meninggalkan kebudayaan yang telah
melembaga tersebut kematian bagi sebuah kebudayaan.

Keunggulan kebudayaan Indonesia;
- Kekayaan akan keragaman kebudayaan daerah Indonesia
- Sumber daya alam yang melimpah dan berkualitas
- Wilayah yang strategis



Problematika;

- Adanya pandangan bahwa kebudayaan itu statis
- Rendahnya minat sebagian masyarakat dalam menghayati kebudayaan
daerah
- Rendahnya apresiasimasyarakat dalam menghayati kebudayaan daerah
- Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai budaya daerah
- Ketertarikan sebagian masyarakat terhadap pengaruh kebudayaan
barat/asing
- Pencitraan yang kuat tentang kebudayaan Indonesia.

KEBUDAYAAN INDONESIA
Kebudayaan Indonesia adalah salah satu dari sekian banyak kebudayaan
yang ada di dunia. Keberadaannya sama dengan kebudayaan lain
telah memakan waktu yang cukup lama.Berbicara tentang kebudayaan
Indonesia maka kita akan berbicara tentang sejarah panjang pertemuan
antar kebudayaan daerah Indonesia dengan kebudayaan dari luar
Indonesia.
Pertemuan antar kebudayan-kebudayaan di Indonesia, sudah dimulai sejak
masuknya agama Hindu dan Budha. Kebudayaan daerah Indonesia
yang masih sederhana kemudian bertemu dengan agama Hindu dan
Budha yang menjadi sedemikian meluas dan dianut oleh banyak
masyarakat di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya
kerajaan yang pernah ada di wilayah Barat dan Tengah

Indonesia yang menganut agama tersebut seperti Kutai, Tarumanegara,
Sriwijaya, Pejajaran dan Majapahit. Pada masa kerjaan Majapahit,
kebudayaan Indonesia mencapai kebersamaannya dengan menyatukan
kerajaan yang ada di Indonesia oleh Patih Gajah Mada, yang terkenal
dengan Sumpah Palapa.

Kesatuan ini jelas menjadikan kebudayaan di Indonesia semakin
menunjukkan dinamis. Terlihat mulai munculnya berbagai persoalan
kebudayaan, salah satunya seperti hubungan kerajaan di daerah
dengan Majapahit. Keadaan ini semakin terlihat, ketika agama Islam
mulai banyak dianut oleh masyarakat di Indonesia, bahkan hingga
tingkat kerajaan. Perubahan keyakinan ini membuat banyak perubahan
di bidang lain, kesetaraan antara sesama manusia, semakin
berkembangnya sastra, berdirinya kerajaan-kerjaan baru dan lain-lain.
Perjalanan kebudayaan Indonesia dipengaruhi oleh, masuknya Portugis
menandakan sebuah masa ketika penjajahan melanda wilayah
nusantara. Ditutupnya Terusan Suez membuat banyak negara di
belahan dunia Barat mengalihkan perhatiannya untuk mencari
rempah-rempah. Tokoh-tokoh seperti Vasco da Gama, Marcopolo,
Bartholomeus Diaz, mencari sebuah wilayah perdagangan baru. Salah
satu wilayah yang ditemukan sampailah mereka di tanah nusantara dan
memulai sebuah masa yang panjang, dalam penjajahan. Nusantara
yang memiliki kesabaran tersebut mulai menapaki jalan menuju
persatuan. Masa tersebut, dipenuhi dengan berbagai peperangan di
berbagai daerah, mulai dari Aceh hingga Maluku. Peperangan yang
digerakan oleh semangat mempertahankan diri. Dengan menggunakan
taktik memecah belah atau devide et impera, perlawanan yang diberikan
oleh para pejuang di daerah mulai tidak berarti. Perlawanan masih
diberikan, mulai dari kecil-kecilan hingga memuncak pada perlawanan
secara keseluruhan terhadap penjajahan. Akhirnya memperoleh
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945
Penjajahan yang terjadi selama masa tersebut, bukan hanya kisah
perlawanan fisik, tetapi juga tentang perlawanan kebudayaan. Oleh
karena,terjadi perubahan yang besar dalam banyak bidang.Dalam hal ini
dapat disoroti perubahan bentuk pemerintahan. Perubahan bentuk
pemerintahan, dari kerajaan kepada negara, menjadi sebuah perubahan
yang menuntut adanya kesatuan wilayah dan kebudayaan di Indonesia.
Pada masa ini pula, polemik tentang dasar negara, bahasa,
Undang-Undang Dasar, dan persoalan kebudayaan nasional mulai
terlhat. Sudah banyak usaha yang dilakukan untuk merumuskan apa itu
kebudayaan Indonesia.Kekayaan Kebudayaan yang sedemikian hebat
dari wilayah Indonesia, membuat para perumus tidak ingin
menghilangkan kebudayan yang sudah lama hidup. Kekayaan
kebudayaan yang telah telah terkenal kebesarannya ke Tiongkok dan
Eropa.Namun, usaha perumusan belum membuahkan hasil yang
memuaskan.Masyarakat Indonesia telah teralihkan perhatiannya kepada
kebudayaan yang dibawa oleh Eropa dan Amerika.
Upaya pengembangan kebudayaan Indonesia
a. Jujur
b. Tanggung Jawab
c. Menepati janji
d. Toleransi
e. Membiasakan hidup bersih
f. Menuntut ilmu kapan dan dimanapun juga
g. Menjalaini kehidupan sehari-hari dengan berpedoman pada
kebudayaan Indonesia
h. Tanamkan minat sejak dini pada kebudayaan daerah Indonesia
i. Mempelajari dan mengenali kebudayaan daerah Indonesia
(tarian,kerajinan tangan, Seni bertutur, alat musik daerah membangun
rumah teknik kebudayaan daerah dan lain-lain).

Sudah saatnya kebudayaan Indonesia memiliki kesejajaran dengan
budaya barat. Oleh karena itu, mulai disadari bahwa kebudayaan daerah
di Indonesia memiliki keunggulan mulai dari pandangan tentang alam
hingga pranata sosial. Dan masyarakat barat juga mulai menyadari
kekurangan kebudayaan mereka sendiri, yang terlihat lewat gairah dan
ketertarikan kepada kebudayaan Timur sebagai penawar kegelisahan
mereka.

Mengenali dan mengembangkan kebudayaan Indonesia adalah tugas
yang diemban oleh setiap warga negara Indonesia. Jangan tinggalkan
kebudayaan Indonesia karena kekayaan menunggu untuk dikenali,
dikembangkan, hingga akhirnya dapat hidup mencapai kebesarannya,
yang dulu pernah dimiliki.


PROBLEMATIKA KEBUDAYAAN INDONESIA

Menelusuri pergulatan kebudayaan di Indonesia, akan ditemukan
sebuah fenomena yang lazim dihidupi yaitu, ke-rendah-diri-an
masyarakat Indonesia terhadap kebudayaannya sendiri.
Ke-rendah-diri-an ini muncul dari hubungan antara kebudayaan Barat
dengan kebudayaan daerah di Indonesia, Barat yang sering diposisikan
sebagai pihak superior dan kebudayaan daerah di Indonesia sebagai
pihak inferior.Rendah diri ini disebabkan oleh penjajahan, kerusakan
perilaku masyarakat Indonesia, dan pencitraan yang kuat dari media
tentang keunggulan kebudayaan Barat. Namun, dari beberapa sebab
tersebut, yang terus terjadi hingga saat ini dan yang paling mendasar
adalah pencitraan. Dikatakan mendasar karena pada saat penjajahan
pun sudah terjadi pencitraan tersebut.

Ungkapan khusus seperti, ilmiah, keren, funky, dan gaul adalah
ungkapan yang menujukkan kondisi rendah diri. Ungkapan-ungkapan
tersebut seringkali dilekatkan kepada kebudayaan Barat, sedangkan
kebudayaan daerah di Indonesia, sepertinya jauh dari
ungkapanungkapan tersebut. Hal ini memang tidak sepenuhnya
bermasalah, karena Barat memang memiliki keunggulan dalam
bidang-bidang tertentu, seperti sains. Namun, penilaian kebudayaan
Barat lebih superior dan kemudian fenomena masyarakat Indonesia
meninggalkan kebudayaan yang sudah lama dihidupi, tentu menjadi
suatu masalah. Kebudayaan daerah di Indonesia ditingglakan hanya
karena dicitrakan tidak ilmiah, keren dan sebagainya. Padahal, mulai
disadari bahwa kebudayaan daerah di Indonesia memiliki
keunggulanmulai dari pandangan tentang alam hingga pranata sosial.
Dan juga masyarakat Barat mulai menyadari kekurangan kebudayaan
mereka sendiri-yang terlihat lewat gairah dan ketertarikan kebudayaan
Timur sebagai penawar kegelisahan mereka.

Secara singkat, dapat dikatakan permasalahan ini muncul karena
pencitraan dan harus juga diselesaikan dengan pencitraan. Sudah
saatnya kita melihat bahwa kebudayaan Indonesia memiliki kesejajaran
dengan kebudayaan Barat, hanya saja kebudayaan Indonesia kurang
dicitrakan dan kurang dikenali oleh sebagian masyarakat Indonesia yang
hidup mulai masa 70-an. Tentu, usaha untuk mengenali kebudayaan
Indonesia adalah tugas yang diemban oleh setiap warga negara
Indonesia.Pengenalan ini merupakan salah satu modal untuk memiliki
dan mengembangkan kebudayaan Indonesia. Minimnya pengenalan ini,
merupakan salah satu faktor yang membuat rendahnya rasa kepemilikan
dan keinginan untuk mengembangkan kebudayaan. Mengembangkan
kebudayaan, adalah hal yang harus dilakukan oleh masyarakat
Indonesia. Jangan tinggalkan kebudayaan Indonesia karena
kekayaannya menunggu untuk dikenali, dikembangkan, hingga akhirnya
dapat hidup mencapai kebesarannya, yang dulu pernah dimiliki.




Diposkan oleh satria rizki di 17.22

Anda mungkin juga menyukai