Anda di halaman 1dari 10

KONSELING LINTAS BUDAYA

TENTANG:

PANDANGAN GLOBAL MASA DEPAN KONSELING LINTAS BUDAYA

OLEH KELOMPOK 6:

NOLA NIKA 1830108053

NORMATIKA 1830108054

RAHAYU SISKA 1830108061

RIRIN KURNIA 1930108068

TESYA MARTALINA 1930108080

DOSEN PENGAMPU

Dra. FADHILAH SYAFWAR, M.Pd

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR

2021 M / 1442 H
PEMBAHASAN

A. Pandangan Global Tentang Budaya

Budaya bersifat dinamis serta dapat tumbuh dan berkembang mengikuti


perubahan zaman, karena budaya dikontruksi dan direkontruksi oleh manusia.
Namun, terdapat budaya yang tidak dapat di ubah. Koentjaraningrat membagi
budaya menjadi dua wujud budaya, yaitu fisik dan non-fisik (Koentjaraningrat
1982). Budaya yang berwujud fisik berbentuk produk dan sulit mengalami pe-
rubahan, contohnya candi dan prasasti. Sedangkan budaya non-fisik berbentuk
ide-ide dan aktivitas manusia yang dinamis dan terbuka terhadap perubahan serta
menyesuaikan dengan konteks zaman. Oleh karena itu, dalam konteks globalisasi
definisi budaya merujuk pada budaya non-fisik dalam bentuk ide dan aktivitas.

Selain pengenalan terhadap seluk beluk budaya lokal dan sikap-sikap yang
menyertai perbedaan antar-budaya, isu dalam kajian anatar-budaya umumnya
konseling lintas budaya khususnya juga berkaitan dengan pergeseran hubungan
antar-peradaban yang mempengaruhi pola-pola hubungan antar individu dan
antar-kelompok individu. Dalam hal ini, siapapun yang terlibat dalam kajian antar
budaya dituntut untuk memiliki perspektif global. Mungkin perspektif ini tidak
langsung berkaitan dengan pemahaman konselor terhadap perilaku klien, tetapi
memberikan perspektif pada bagaimana seorang konselor lintas budaya
memposisikan diri dalam perkembangan global. Sebagai contoh, dari
perkembangan terakhir yaitu serangan terhadap WTC (World Trade Center) dan
Pantagon pada tanggal 11 September 2001 bersama implikasi-implikasi global
yang menyertainya, kita dapat mengerti mengapa, Amerika Serikat dan sekutu
Baratnya segera mengangkat peristiwa itu sebagai serangan terhadap peradaban
Barat dan bahkan peradaban Dunia. Kita juga dapat menditeksi, betapa stereotipe,
prasangka, dan bias-bias Barat terhadap Islam yang secara historis diwariskan dari
generasi ke generasi dan bahkan cendrung skizophrenik.

1
Multikulturalisme adalah pengakuan terhadap adanya pluralisme budaya yang
perlu dipelihara sebagai khazanah kekayaan kebudayaan umat manusia. Karena
adanya pengakuan, maka kebudayaan yang beragam itu hidup sejajar dalam
harmoni dan toleransi. Sekalipun selalu ada yang menjadi “budaya utama” atau
budaya mayoritas yang menjadi “mainstream” dalam suatu komunitas,
multikulturalisme memastikan adanya hak hidup, pengakuan, dan bahkan
perlunya tindakan afirmatif terhadap budaya kelompok minoritas.

Diantara peradaban-peradaban tersebut akan terjadi persaingan untuk merebut


hegemoni dunia. Dari pola-pola hubungan antar-peradaban yang terjadi selama ini,
akan ada 3 kekuatan di masa depan yang dominan, yaitu: peradaban Barat, Islam,
dan Konfusius. Sejak dilontarkan pada tahun 1993, paradigma Huntington hingga
saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Salah satu bagian penting dicatat dalam
paradigma ini ialah bahwa sebagai akibat terjadinya konflik antar-peradaban, ada
kecendrungan dewasa ini yang mengarahkan dunia pada „monokulturalisme‟
global‟ dengan memberlakukan universalitas budaya Barat (khususnya Amerika
Serikat) di setiap bagian dunia sesuatu yang dimasa lalu belum pernah dicapai
oleh peradaban manapun sepanjang sejarah.

Dengan segala kontroversi yang menyertainya, paradigma tersebut diakui


dapat membantu kita dalam membaca berbagai pergeseran global berkenaan
dengan hubungan antarperadaban yang terjadi selam 10 tahun terakhir. Lieber &
Weisberg (2002) memberi penjelasan bahwa di era globalisasi, reaksi kultural
yang muncul memiliki dua macam pandangan. Di satu sisi, globalisasi dianggap
mendorong integrasi dan menghilangkan batas-batas serta dimensi-dimensi
negatif dari kultur. Globalisasi dianggap sebagai langkah vital menuju dunia yang
lebih stabil untuk orang-orang di dalamnya. Sedangkan di sisi lain, terdapat
pandangan bahwa globalisasi membawa dampak buruk bagi kelangsungan budaya
di dunia karena adanya power besar yang dapat merusak dan menggeser budaya
yang telah ada. Seringkali bentuk protes terhadap globalisasi diwujudkan dalam

2
demonstrasi-demonstrasi keras di jalanan oleh para anti-globalis. Lieber &
Weisberg (2002) menjelaskan lebih lanjut bahwa kultur kemudian menjadi arena
kontestasi yang penting di era globalisasi, serta memengaruhi manusia dari
berbagai dimensi. Arena yang dimaksud mencakup macam-macam kultur yang
ada seperti pop culture, folk culture, dan high culture.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa globalisasi memiliki kompleksitas yang


tinggi dan dapat memengaruhi eksistensi budaya dan identitas di dunia dalam
berbagai cara dan tingkatan. Meski seringkali dikaitkan dengan istilah-istilah
seperti konsumerisme, kapitalisme, individualisme, dan modernisasi, globalisasi
kultur tidak kemudian merujuk pada kemungkinan kultur global yang satu dan
singular, namun juga dapat meningkatkan signifikansi penyebaran kultur plural di
seluruh dunia. Globalisasi telah menjadi cara untuk mengonstruksi identitas baru
dan menghasilkan pluralisme di masyarakat. Tantangan yang kemudian
didapatkan adalah bagaimana cara masyarakat untuk dapat hidup berdampingan
dan menghormati diversitas budaya dan identitas yang terbentuk baik yang
disebabkan oleh globalisasi maupun yang tidak.

B. Perubahan Budaya Akibat Pandangan Manusia

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi kegenerasi. Sebagaimana
juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga
banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu
dipelajari.Bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri untuk pengaruh teknologi
komunikasi terhadap seluruh aspek kebudayaan kehidupan bangsa.

Karena perkembangan teknologi saat ini begitu luar biasa terutama yang
berhubungan dengan telekomunikasi dan informasi. Teknologi yang ada

3
diciptakan dengan tujuan untuk membantu dan memberikan kemudahan dalam
berbagai aspek kehidupan manusia, baik pada saat manusia bekerja, beraktivitas,
bahkan berkomunikasi. Hal positif dari teknologi komunikasi misalnya
menandakan bahwa teknologi di Indonesia mulai berkembang dan meningkatkan
produktivitas.Tetapi tidak berarti bahwa perkembangan teknologi komunikasi
tidak menimbulkan persoalan atau dampak bagi kebudayaan. Teknologi dapat
membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan
teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak.

Perkembangan teknologi komunikasi diabad moderen ini sebagai sebuah


kemajuan dalam bidang kebudayaan yang bersifat massal, sehingga
pengaruhnyapun terjadi dalam segala segi kehidupan. Baik masyarakat perkotaan
maupun masyarakat yang berada jauh dari pusat-pusat pemerintahan turut
mengalami perubahan yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan teknologi
komunikasi. Teknologi dan kebudayaan itu sendiri pada dasarnya tumbuh dan
berkembang seiring dengan kemajuan peradaban manusia yang mempunyai
konsep agama dan negara. Juga sekilas tinjauan tentang perubahan dan
pembangunan dalam pandangan Islam, bagaimana konsep ini menjadi bagian
yang urgen dalam perubahan sosial budaya masyarakat kaitannya dengan Dakwah
Islam dan kemaslahatan umat. Berangkat dari pokok dan sub bahasan tersebut
tulisan ini menelusuri secara singkat hubungan antara keduanya dan dampak
perubahan yang ditimbulkan.

C. Kebutuhan Konseling Lintas Budaya

Dilihat dari sisi identitas budaya, konseling lintas budaya merupakan


hubungan konseling pada budaya yang berbeda antara konselor dengan konseli.
Burn (1992) menjelaskan cross cultural counseling is the process of counseling
individuals who are of different culture/cultures than that of the therapist. Oleh

4
sebab itu menurutnya sensitivitas konselor terhadap budaya konseli menjadi
sangat penting.

Dalam pandangan Rendon (1992) perbedaan budaya bisa terjadi pada ras atau
etnik yang sama ataupun berbeda. Oleh sebab itu definisi konseling lintas budaya
yang dapat dijadikan rujukan adalah sebagai berikut. Konseling lintas budaya
adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda
etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang
melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial dan etnik sama, tetapi
memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain seperti seks,
orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten, dan Sue,
1989:37).

Sue (Dalam Corey, G. 1997. 37-38) dan kawan-kawan mengusulkan sejumlah


kompetensi minimum yang harus dimiliki konselor yang memiliki wawasan lintas
budaya, yaitu:

1. Keyakinan dan sikap konselor yang efektif secara kultural

2. Mereka sadar akan sistim nilai, sikap dan bias yang mereka miliki dan sadar
batapa ini semua mungkin mempengaruhi klien dari kelompok minoritas

3. Mereka mau menghargai kebinekaan budaya, mereka merasa tidak terganggu


kalau klien mereka adalah berbeda ras dan menganut keyakinan yang berbeda
dengan mereka

4. Mereka percaya bahwa integrasi berbagai sistem nilai dapat memberi


sumbangan baik terhadap pertumbuhan terapis maupun klien

5. Mereka ada kapasitas untuk berbagai pandangan dengan kliennya tentang


dunia tanpa menilai pandangan itu sendiri secara kritis

5
6. Mereka peka terhadap keadaan (seperti bias personal dan keadaan identitas
etnik) yang menuntut adanya acuan klien pada kelompok ras atau budaya
masing-masing.

Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus


memahami masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994)
mengemukakan bahwa konselor professional hendaknya selalu meingkatkan
pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya,
yang meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi

2. Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat


kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.
3. Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik
umum konseling dan terapi.
4. Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
5. Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal
6. Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien
7. Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat
mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.

Dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor


dapat memberikan pelayanan konseling yang efektif dengan klien yang memiliki
latar belakang budaya yang bereda. Dalam hubungan dengan isu ini, Lorion dan
Parron (1985) mengemukakan persyarakat konselor lintas budaya, yaitu :

1. Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya, baik
akademik maupun pengalaman.

6
2. Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara klien dan
konselor, terutama yang berkaitan dengan dengan kemampuan mereka dalam
mengembangkan hubungan kerja teurapetik.
3. Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap situasi-situasi
khusus klien.
4. Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.
5. Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar konselor
menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan prasangka-
prasangkanya.
6. Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku umum.

7
PENUTUP

A. Kesimpulan

Selain pengenalan terhadap seluk beluk budaya lokal dan sikap-sikap yang
menyertai perbedaan antar-budaya, isu dalam kajian anatar-budaya umumnya
konseling lintas budaya khususnya juga berkaitan dengan pergeseran hubungan
antar-peradaban yang mempengaruhi pola-pola hubungan antar individu dan
antar-kelompok individu.Dalam hal ini, siapapun yang terlibat dalam kajian antar-
budaya dituntut untuk memiliki perspektif global.Mungkin perspektif ini tidak
langsung berkaitan dengan pemahaman konselor terhadap perilaku klien, tetapi
memberikan perspektif pada bagaimana seorang konselor lintas-budaya
memposisikan diri dalam perkembangan global. Sebagai contoh, dari
perkembangan terakhir yaitu serangan terhadap WTC (World Trade Center) dan
Pantagon pada tanggal 11 September 2001 bersama implikasi-implikasi global
yang menyertainya, kita dapat mengerti mengapa, Amerika Serikat dan sekutu
Baratnya segera mengangkat peristiwa itu sebagai serangan terhadap peradaban
Barat dan bahkan peradaban Dunia. Kita juga dapat menditeksi, betapa stereotipe,
prasangka, dan bias-bias Barat terhadap Islam yang secara historis diwariskan dari
generasi ke generasi dan bahkan cendrung skizophrenik

B. Saran

Pemakalah menyadari dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah


terdapat banyak kesalahan dan kekhilafan, pemakalah sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk pemakalah. Guna mengingatkan dan
memperbaiki setiap kesalahan yang ada dalam proses pembuatan dan
penyampaian makalah. Terakhir tidak lupa pemakalah mengucapkan rasa syukur
kehadirat Allah SWT serta terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu
dalam proses pembuatan makalah.

8
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anak Agung Ngurah Adhiputra. 2013. Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha
Ilmu.

Corey, G. 1991. Theory And Practice Of Group Counseling. California. Brooks/Cole


Publishing Company.

Dayakisni, Tri & Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang. Umm Press.

Dedi Supriadi. 2001. Konseling Lintas Budaya: Isu – Isu Dan Relevansinya Di
Indonesia. Bandung. UPI.

Fukuyama, M. A. (1990). “Taking A Universal Approach To Multicultural


Counseling.” Counselor Education And Supervision, 30, 6-17.

Palmer, Stephen & Laungani, Pittu. (2008). Counseling In A Multicultural Society.


London : Sage Publisher.

Supriadi, D. (2001). Konseling Lintas-Budaya: Isu-Isu Dan Relevansinya Di


Indonesia. (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar). Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.

Sue, D.W. Dan Sue, D. 2003. Counseling The Culturally Diverse Theory And
Practice. New York John Wiley And Sons, Inc.

Anda mungkin juga menyukai