Kelompok 12 :
Kristian Wijaya 161324004
Claudia Armitha Kurnia Putri 161324022
Vivi Destiana Sari 161324037
2) Barukh Spinoza
Baruch de Spinoza (24 November 1632 – 21 Februari 1677)
adalah filsuf keturunan Yahudi-Portugis berbahasa Spanyol yang lahir
dan besar di Belanda. Pikiran Spinoza berakar dalam tradisi Yudaisme.
Pemikiran Spinoza yang terkenal adalah ajaran mengenai Substansi
tunggal Allah atau alam. Hal ini ia katakan karena baginya Tuhan dan
alam semesta adalah satu dan Tuhan juga mempunyai bentuk yaitu
seluruh alam jasmaniah. Oleh karena pemikirannya ini, Spinoza pun
disebut sebagai penganut panteisme-monistik. Menurut Spinoza, sifat
substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh. Bagi
Spinoza, hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah.
Hanya Allah yang memiliki sifat yang tak terbatas, abadi, mutlak,
tunggal, dan utuh. Selain itu, Spinoza juga mengajarkan apabila Allah
adalah satu-satunya substansi, maka segala yang ada harus dikatakan
berasal daripada Allah. Hal ini berarti semua gejala pluralitas dalam
alam baik yang bersifat jasmaniah (manusia, flora dan fauna, bahkan
bintang) maupun yang bersifat rohaniah (perasaan, pemikiran, atau
kehendak) bukanlah hal yang berdiri sendiri melainkan tergantung
sepenuhnya dan mutlak pada Allah.
3) Mahatma Gandhi
Mohandas Karamchand Gandhi (lahir di Porbandar, Gujarat,
India Britania, 2 Oktober 1869 – meninggal di New Delhi, India, 30
Januari 1948 pada umur 78 tahun) adalah seorang pemimpin spiritual
dan politikus dari India. Gandhi adalah salah seorang yang paling
penting yang terlibat dalam Gerakan Kemerdekaan India. Ia adalah
aktivis yang tidak menggunakan kekerasan, mengusung gerakan
kemerdekaan melalui aksi demonstrasi damai. Mahatma Gandhi dalam
wisdom terkenalnya mengakatan bahwa kebesaran beserta kemajuan
moral suatu bangsa ditentukan dari bagaimana hewan-hewan yang
hidup di sana diperlakukan. Wisdom ini mendorong deep ecology
mengembangkan prinsip-prinsip politik hijaunya dan kesetaraan asasi
semua mahkluk hidup.
C. SUBSTANSI TEORI
Deep Ecology merupakan salah satu pendekatan dalam memandang isu
lingkungan. Konsep ini di kemukakan oleh Naess, ia mengemukakan dengan
istilah Ecosophy. Secara gramatikal Ecosophy terdiri dari 2 suku kata yaitu
Eco yang berarti rumah tangga dan Sophy yang berarti kearifan. Secara
harfiah Ecosophy dapat diartikan sebagai kearifan mengatur hidup selaras
dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas.
Kearifan ini menjelma sebagai suatu pola hidup atau gaya hidup (way of
life). Sehingga mereka yang menganut pendekatan ini mereka selalu hidup
selaras dengan lingkungan sekitarnya. Mereka akan merawat atau menjaga
lingkungan seperti mereka menjaga dan merawat rumah tangganya. Sehingga
manusia tidak lagi dilihat dalam suatu kesatuan yang terpisah, tetapi
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling berhubungan.
Pendekatan Deep Ecology ini menekankan pada tidak hanya sekedar
teori semata namun juga bergerak pada tataran praksis. Arne Naess sangat
menekankan perubahan gaya hidup karena melihat krisis ekologi yang
dialami saat ini semua berakar pada perilaku manusia, seperti pola produksi
dan konsumsi yang sangat eksesif dan tidak ekologis, semua teknologi yang
ditemukan oleh manusia cenderung untuk merusak lingkungan baik secara
langsung maupun tidak.
Konsekuensi dari pendapat Naess ini harus ada perubahan mendasar
dari perilaku manusia yang pada awalnya melihat lingkungan sebagai obyek,
sehingga lingkungan dilihat sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Manusia kurang bahkan hampir tidak menganggap lingkungan
sebagai ”mitra sejajar” manusia. Seharusnya lingkungan berkedudukan
sejajar dengan manusia, manusia dan lingkungan saling tergantung dan saling
mengisi.
Deep Ecology dari Arne Naess ini harus dilihat sebagai latar belakang
kritiknya terhadap antroposentrisme atau lebih luas dikenal sebagai shallow
ecological movement yang memusatkan perhatian pada bagaimana mengatasi
masalah pencemaran dan pengrusakan sumber daya alam. Salah satu pilar
utama dari shallow ecological movement adalah asumsi bahwa krisis
lingkungan merupakan persoalan teknis, yang tidak membutuhkan perubahan
dalam kesadaran manusia dan sistem ekonomi. Shallow ecological movement
lebih cenderung mengatasi gejala-gejala dari sebuha isu lingkungan bukan
akar permasalahan atau sebab utama dampak, termasuk faktor manusia dan
sosial yang lupa untuk diperhatikan.
Deep Ecology memiliki delapan platform aksi yang dirumuskan oleh
Naess dan Sessions. Adapun platform deep ecology adalah sebagai berikut:
Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan mahkluk
lain di bumi, memiliki nilai pada dirinya sendiri. Nilai-nilai ini tidak
bergantung apakah dunia selain manusia mempunyai kegunaan atau
tidak bagi kehidupan manusia.
Kekayaan dan keanekaragaman bentuk kehidupan mempunyai
sumbangsih bagi perwujudan nilai-nilai tersebut dan juga nilai pada
dirinya sendiri, serta mempunyai sumbangsih bagi perkembangan
manusia dan mahkluk lain di bumi.
Manusia tidak memiliki hak untuk mereduksi kekayaan dan
keanekaragaman alam, kecuali untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
vital.
Perkembangan kehidupan manusia dan kebudayaanya berjalan seiring
dengan penurunan yang cukup berarti dari populasi penduduk.
Perkembangan kehidupan mahkluk lain, membutuhkan penurunan
tersebut.
Kehadiran manusia dalam mencampuri dunia diluar manusia sudah
berlebihan. Hal tersebut berlangsung terus memburuk dengan cepat.
Perubahan yang signifikan untuk kondisi lingkungan yang lebih baik,
dibutuhkan perubahan kebijakan. Sehingga akan mempengaruhi dasar
dari struktur ekonomi, teknologi dan idologi.
Tujuan utama perubahan ideologi adalah mencapai kualitas hidup yang
baik, bukanya menetapkan standar hidup. Selanjutnya akan ada
kesadaran perbedaan antara suatu hal yang besar dan suatu yang hebat.
Orang-orang yang telah menerima pemikiran deep ecology, memiliki
kewajiban secara langsung maupun tidak langsung untuk ambil bagian
dalam memperjuangkan perubahan penting ini.
1) Prinsip-Prinsip Keilmuwan
Dari platform-platform tersebut, kamudian Naess juga menentukan 4
prinsip dalam deep ecologynya.
a. Prinsip biospheric egalitarianism – in principle, yaitu pengakuan
bahwa semua organisme dan mahluk hidup adalah anggota yang
sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga
mempunyai martabat yang sama. Bagi Naess hak semua bentuk
kehidupan untuk hidup adalah sebuah hak universal yang tidak bisa
diabaikan.
b. Prinsip Non Antroposentrisme, yaitu manusia merupakan bagian
dari alam, bukan di atas atau terpisah dari alam. Manusia tidak
dilihat sebagai penguasa dari alam semesta, tetapi sama statusnya
sebagai ciptaan Tuhan. Deep Ecology melihat bahwa manusia
tergantung pada lingkungan (perspektif bioregional).
c. Manusia berpartisipasi dengan alam, sejalan dengan kearifan
prinsip-prinsip ekologis. Hal ini mengarahkan bahwa manusia
harus mengakui keberlangsungan hidupnya dan spesies lainnya
tergantung dari kepatuhan pada prinsip-prinsip ekologis. Disini
sikap dominasi digantikan dengan sikap hormat kepada alam.
d. Prinsip Realisasi Diri (Self-Realization), manusia merealisasikan
dirinya dengan mengembangkan potensi diri. Hanya melalui itu
manusia dapat mempertahankan hidupnya. Bagi Naess realisasi diri
manusia beralngsung dalam komunitas ekologis.
Pada pendekatan Deep Ecology adanya pengakuan dan penghargaan
terhadap keanekaragaman dan kompleksitas ekologis dalam suatu
hubungan simbiosis. Hubungan simbiosis ini mengarahkan bahwa hidup
secara bersama dan saling menggantungkan, sehingga keberadaan yang
satu menunjang keberadaan yang lain.
Naess, Arne. 1993. Ecology, community, and Life Style, Outline of an Ecoshophy.
Trans by David Rothenberg Cambridge: Cambridge University Press.
Reksohadiprodjo, Sukanto. 1989. Ekonomi Lingkungan (suatu pengantar).
Yogyakarta: BPFE.
Zen, M T. 1981. Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: PT Gramedia.