Anda di halaman 1dari 8

Tugas individu

Mata kuliah : Paradigma Antropologi


Dosen Pengampuh : Dr. Tasrifin Tahara, M.Si

PARADIGMA ETNOSAINS

DWI FUJI ASTUTI


E042181002

PROGRAM STUDI MAGISTER ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
PARADIGMA ETNOSAINS

Etnosains berasal dari kata Yunani yakni “Ethnos” yang berarti bangsa dan “Scientia”
yang berarti pengetahuan (Werner dan Fenton dalam sebuah website Cha2n:2012). Etnosains
adalah pengetahuan yang khas dimiliki oleh suatu bangsa. Tujuan etosains, adalah melukiskan
lingkungan sebagaimana dilihat oleh masyarakat yang diteliti. Asumsi dasarnya adalah bahwa
lingkungan bersifat kultural, sebab lingkungan yang sama pada umumnya dapat dilihat dan
dipahami secara berlainan oleh masyarakat yang berbeda latar belakang kebudayaannya
(Heddy:1994). Dengan pendekatan ini diharapkan kita akan mampu menebak prilaku
masyarakat dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan. Pengaruh pendapat
masyarakat terhadap lingkungan merupakan bagian dari mekanisme yang menghasilkan
perilaku yang nyata dari masyarakat itu sendiri dalam menciptakan perubahan dalam
lingkungan mereka.
Etnosains sebagai suatu perkembangan dalam aliran baru antropologi,
antopologi kognitif, telah dikenal beberapa metode etnografi yang dilakukan oleh antropolog.
Pada bentuknya yang mula-mula, peneliti awal antropologi yang terkenal adalah W.H.R.
Rivers dari Inggris dan Franz Boas dari Amerika. Pada tahap ini, metode wawancaranya secara
khas disebut dengan istilah “genealogical method”. Teknik etnografinya yang utama adalah
wawancara yang panjang, berkali-kali, dengan beberapa informan kunci. Tipe
penelitiannya lebih bertujuan mendapatkan gambaran masa lalu suatu kelompok masyarakat
(Spradley 2006).

Etnosains sebagai sebuah pengetahuan yang terakumulasi dari pengalaman masing-


masing etnik, bukan sebagai bentuk fisik. Kajian etnosain lebih kepada kajian perilaku
manusia terhadap lingkungan yang berupa benda yang di pandang melalui aspek budaya dan
persepsi masyarakat lokal dengan menggunakan bahasa lokal.

Adapun pendapat lain yang dikemukakan oleh W.H Goodenough dalam Ahimsa (1964)
tentang definisi konsep Etnosains, yakni:

Konsep etnosains mengacu pada paradigma kebudayaan yang menyatakan bahwa


kebudayaan tidak berwujud fisik tapi berupa pengetahuan yang ada pada manah manusia.
Etnosains banyak mengkaji klasifikasi untuk mengetahui struktur yang digunakan untuk
mengatur lingkungan dan apa yang dianggap penting oleh suatu etnik, penduduk suatu
kebudayaan. Setiap suku bangsa membuat klasisfikasi yang beda atas lingkungannya dan hal
ini tercermin pula pada kata-kata atau leksikon yang mengacu benda, hal, kegiatan bahkan juga
struktur sintaksis yang diperlukan untuk memprensentasikan pengalaman yang berbeda, unik”.

Adapun persamaan antar pendekatan etnosains dan etnometodologi yaitu:

1. keduanya sama-sama menggunakan bahasa atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan


oleh orang yang diteliti sebagai bahan untuk analisis.
2. Kedua, keduanya sama-sama terlibat dalam relativisme budaya sebab salah satunya tidak
menyatakan bahwa satu kebudayaan lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.
3. Ketiga, baik etnometodologi dan sebagian etnosciencetist berusaha mendapatkan aturan-
aturan yang mendasari tingkah laku manusia, dengan caranya masing-masing.
4. Keempat, bahwa keduanya berangkat dari asumsi yang sama tentang manusia, bahwa
manusia pada dasarnya memberikan makna terhadap gejala yang dihadapi. Pemberian
makna terhadap situasi inilah yang membedakan manusia dengan binatang.

Etnosains lebih banyak memperhatikan komponen-komponen yang ada dalam sistem


pengetahuan si pelaku, sedangkan etnometodologi lebih menyibukkan diri dengan usaha untuk
menemukan “basic features (essence, perhaps) of everyday interaction so that the problem of
how meanings are constructed and how social reality…”(hlm.128).

Sebuah perilaku manusia dalam hidup membuat dan memaksa manusia agar
beradaptasi dengan alam lingkungan, dimana sebuah simbiosis yang saling menguntungkan
akan tercipta, dimana manusia mengambil manfaat dari alam untuk memenuhi kebutuhan dan
alam juga dapat dijaga kelestariannya oleh manusia agar tetap memberikan manfaat. Semua
bentuk perubahan diupayakan sebagai sebuah bentuk bertahan hidup agar keberlangsungannya
tetap terjaga dalam jangka panjang. Adaptasi masyaraat dapat diartikan sebagai proses
penyesuaian diri yang dilakukan sekelompok orang yang mempunyai tujuan bersama semua
demi kesesuaian dengan kondisi lingkungan.

Penyesuaian masyarakat dengan lingkungan sosial dapat ditandai dengan perubahan


yang terjadi dalam suatu masyarakat atau respon terhadap suatu kebudayaan. Penyesuaian
tersebut dipandang secara positif dengan menggunkan pemikiran, perasaan dan juga kehendak,
dimana manusia hidup dengan sesamanya untuk menyempurnakan dan memperluas sikap dan
tindakan agar terpenuhinya kebutuhan dan juga tercapainya kedamaian dengan lingkungan nya.
Dengan demikian menurut (Soerjono Soekanto,2006) berikut tentang adaptasi atau
penyesuaian diri manusia dengan lingkungan: “suatu masyarakat sebenarnya merupakan
sistem Adaptif, karena masyarakat merupakan wadah untuk memenuhi pelbagai kepentingan
dan untuk bertahan”.

Dalam sosiologi lingkungan konsep ekologi sangat popular digunakan, dimana sebuah
kehidupan masyarakat bergantung pada ekologi itu sendiri. Banyak para ahli sosiologi
lingkungan yang terfokus pada masalah manusia dengan ekologi. Salah satunya adalah sebuah
hubungan simbiosis antara manusia dengan alam lingkungan manusia. Dalam kenyataan nya
masyarakat pedesaan lah yang banyak memanfaatkan alam atau ekologi sebagai media
bertahan hidup. Masyarakat desa yang menganut sistem masyarakat organis lebih peka
terhadap ekologi, hal ini dikarenakan masyarakat organis atau masyarakat desa ketergantungan
dengan alam masih sangat tinggi (Anita Rahma Putri, 2013).

Kebudayaan adalah sistem aturan-aturan, aturan ini adanya dalam pengetahuan, oleh
karena itu para ahli ethnosains mendefinisikan kebudayaan sebagai perangkat atau system
kebudayaan yang membimbing perilaku orang yang mengetahui oleh karena itu untuk
memahami perilaku kita harus memahami pengetahuannya.
Dengan demikian ethnosains adalah paradigma yang bertujuan untuk mengungkap
pengetahuan suatu masyarakat. Filosofinya kebudayaan diumpamakan seperti bahasa,
karena bahasa adalah wujud pengetahuan, asumsinya manusia memiliki pengetahuan yang
tersimpan dalam bahasa. Manusia memiliki kesadaran basisnya adalah fenomenology. Oleh
karena itu Edmund Husserl (1930) mengeritik positivisme Ia menyatakan apakah ilmu social
harus mengikuti ilmu alam. Lebih jauh Husserl menyebutkan bahwa manusia memiliki apa
yang ia sebut sebagai consciousness of some thing (kesadaran terhadap “sesuatu”) dan sesuatu
adalah kesadaran itu sendiri yang disebut dengan consciousness of consciousness (kesadaran
tentang kesadaran). Contoh kalau kita merenung (refleksi) kita sadar tentang apa!, kesadaran
inilah yang mengendalikan perilaku. Gejala-gejela yang hadir dalam diri kita hadir tidak
sebagaimana adanya.
Misalnya sekarang kita ketemu Pak Heidy maka disini lahir kesadaran tentang Pak
Heidy. Oleh karena itu menghadapi Pak Heidy setelah kita memiliki kedaran tentang dia akan
sangat berbeda sebelum kitan memiliki kesadaran tersebut.
Gejala itu bukan yang hadir diluar sana tetapi gejala itu adalah yang hadir dalam
kesadaran. Kesadaran ini berkembang terus karena terjadi interaksi. Oleh karena itu melihat
gejala diluar sana bukan dengan mata tetapi dengan kesadaran; atau dengan kata lain fenomena
bukan yang ada di sana tetapi yang berada dalam kesadaran.
Alfred Scultz (Sudz): kemudian memasukkan gagasan fenomenologi Husserl dalam
ilmu social. Dalam paradigm positivism kesadaran tidak masuk bagian dari ilmu, karena
kesadaran tidak bias diobservasi, karena asumsi dasar keilmuan dalam positivism adalah:
reason and observation: dalam konsep ini kesadaran tidak penting karena tidak bias diamati,
pada tahap inilah kita melihat peredaan antara ilmu alam dan ilmu social. Aspek consciousness
inilah yang tidak dijangkau oleh paradigm positivism.
Menurut Husserl Counciousness bisa berupa sesuatu dan juga bias berupa tujuann
(intention). Contoh; kotoran kerabau/sapi? Apa maknanya. Tidak ada maknanya bagi seorang
sopir angkot, atau penjaga toko, tetapi ketika tahi itu oleh sopir dan penjaga toko ingin
menyuburkan tanamannya maka tahi kerbau menjadi penting dan bermakna
Gunung, angina tau gejala alam tidak punya consciousness, oleh karena itu adanya
consciousness menyebabkan ilmu alam tidak bias sepenuhnya dipakai dalam ilmu-ilmu social
humaniora. Asum ethnosains bahasa menyimpan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu ethnosains
menggunakan fenomenologi karena pendekatan ini berupaya untuk mengungkap kesadaran.
Apa yang ingin diungkap oleh ethnosains, mau tidak mau kita harus focus pada salah satu
bidang: misalnya;
Pandangan masyarakat tentang lingkungan maka jawabnya ethnoecologi, atau kita
dapat memunculkan ethno-ethno lain yang berbasis pada minat dan kecenderungan kita
masing-masing; misalnya dalam bidang fiqhi ada ethnofiqhi, dalam bidang farmasi ada
ethnofarmacologi, dalam bidang kehutanan ada ethno forestry, dalam bidang hewan ada
ethnozoologi, dalam bidang pertanian ada ethnobotany, dalam bidang makanan ada ethno
kuliner, dalam bidang seni ada ethno art, dalam bidang sex ada ethnosexiology, dalam bidang
kedokteran ada ethnomedician, dll.
Tetapi intinya dalam ethnosains harus mendeskripsikan pengetahuan lokal isinya
system klasifikasi, misanya system klasifikasi makhluk halus. Sistem klasifikasi ini
membimbing perilaku. Mengapa orang kampung Melayu lebih memilih menggunakan air
sunga ciliwung untuk mandi maupun minum,ketimbang air ledeng, karena ternyata define
bersih yang kita pahami berbeda dengan yang mereka pahami berbeda/ atau define bersih
berbeda-beda. Mereka memandang air ciliwung, mengalir, bening dan tidak berbau;
ethnoecology tentang air
Etnometodologi dari Scultz kemudian di kembangkan lagi oleh Harold Grafingkel,
ethnometodologi lebih condong kepada kajian sosiologi sedangkan ethnosains condongnya ke
anthropology.
Ethnografi studi perbandingan versus ethnografi ethnosains hasilnya system klasifikasi.
Analisis Spradley lebih pada ethnosains, dalam kajian ethnografi yang berprespektif ethnosains
maka istilah local harus muncul.

Pendekatan dalam Etnosains


Dalam studi etnosains terdapat dua pendekatan yang saling berkomparasi, pendekatan tersebut
ialah:
a. Pendekatan Prosesual

Vayda dalam Yunita (1999) mengemukakan bahwa untuk membentuk suatu proses,
harus ada suatu peristiwa-periatiwa yang saling terkait satu sama lain secara berkesinambungan
yang diamini juga oleh Moore dalam Yunita(1999) dengan pendapat tentang rangkaian
peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan manusia berakumulasi membentuk suatu proses.
Dari pendapat para antropolog ini kita dapat menjabarkan, bahwasannya rangkain
peristiwa yang dapat diamati dan melibatkan tindakan manusia dapat merupakan peristiwa
yang menyumbang pada pengalihan, penciptaan, pemproduksian atau pentaransformasian
budaya(termasuk lingkungan di dalamnya). Kasus pembentukan pengetahuan dikalangan para
petambak merupakan salah satu kasus untuk menunjukan bagaimana proses pembentukan itu
berlangsung dari hari-ke hari, musim- ke musim, melalui rangkain peristiwa tindakan para
petambak dalam mensiasati berbagai kesempatan, kendala dan ancaman merekayasa
lingkungan bagi kelangsungan hidup mereka.

b. Pendekatan Ekologi
Bibit pendekatan ini telah ditanamkan sejak 1930 0leh Julian H. Steward dalam esai
yang berjudul “The Economics and Sosial Basis of Primitive Bonds”, dalam esai inilah Steward
pertama kali menyatakan tentang “interaksi budaya dan lingkungan dapat dianalisis dalam
kerangka sebab-akibat” melalui sebuah perspektif ekologi budaya. Pendapat Steward di
lanjutkan Murphy dalam Heddy (1994) yang mengatakan titik perhatian dari perspektif ini
adalah analisis struktur sosial dan kebudayaan. Perhatian baru diarahkan pada lingkungan
bilamana lingkungan mempengaruhi atau menentukan tingkahlaku atau organisasi kerja.
Perspektif ini menegaskan bahwa penyesuaian berbagai masyarakat pada lingkungannya
memerlukan bentuk-bentuk perilaku tertentu, perilaku-perilaku ini berfungsi sebagai proses
adaptasi terhadap lingkungannya dan tunduk pada suatu sistem seleksi. Sebagai contoh bentuk
adaptasi masyarakat dan lingkungan adalah perilaku penyesuaian kegiatan ekonomi paga
petambak dan petani dipengaruhi oleh situasi lingkungan yang berbeda.

Sikap Masyarakat untuk Alam


Banyaka kalangan yang menyatakan, bahwa kehidupan masyarakat sangat dipengaruhi oleh
alam. Alam memberikan apapun yang masyarakat butuhkan dari tempat tinggal sampai
kebutuhan untuk bernafas. Namun kini masyarakat sudah menunjukan ciri modernnya. Yakni
masyarakat yang mulai menunjukan tanda yang berbeda dari masyarakat sebelumnya, sebuah
masyarakat yang berproses menuju kemajuan disertai pola pikir yang rasional dan kompetitif.
Tapi fenomena ketimpangan pembangunan yang berbeda di tiap daerah juga mempengaruhi
pola sikap masyarakat terhadap alam. Oleh karena itu Rahmad K.Dwi Susilo (2008)
membedakan sikap masyarakat menjadi dua macam yaitu:

a. Antroposentrisme

Antroposentrisme menyatakan bahwa, tumbuhan disediakan untuk hewan dan hewan


disediakan untuk manusia selain itu manusia lebih terhormat karena selain memiliki badan
manusia juga memiliki jiwa yang memungkinkan untuk berfikir. Sehingga manusia dipandang
sebagai pihak yang memiliki kebebasan untuk menterjamahkan kepentingannya terhadap alam.
dalam kenyataan sikap ini muncul dalam bentuk pengerusakan, pencemaran, eksploitasi dan
lain-lain.

b. Ekosentrisme
Sikap ekosentrisme ialah sikap perjuangan menyelamatkan dan keperdulian terhadap
lingkungan yang tidak hanya mengutamakan penghormatan atas spesies tapi perhatian setara
atas seluruh kehidupan. Dalam masyarakat, sikap ini muncul sebagai tindakan pelestarian,
penghijauan dan penanaman, dan perawatan alam.
DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, H.S. 1985. “Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan”


dalam “Masyarakat Indonesia” Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia Jilid XII Nomor 2. Hlm.103-133

Coulon, A. 2008. Cetakan Ketiga. Etnometodologi. Jakarta: Lengge. Diterbitkan atas


kerjasama Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK) Jakarta dan Yayasan Lengge Mataram.

Spradley, J.P. 2007. Edisi Kedua. Metode Etnografi. (diterjemahan oleh Misbah Zulfa
Elizabeth). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Anda mungkin juga menyukai