Anda di halaman 1dari 13

ANTROPOLOGI PERKOTAAN [Parsudi

Suparlan]
Pengertian, Sasaran Kajian, Ruang Lingkup, dan Metode-Metodenya
Antropologi Perkotaan berasal dari dua istilah atau dua konsep, yaitu antropologi dan
perkotaan. Makna dari istilah atau konsep antropologi perkotaan adalah pendekatan-pendekatan
antropologi mengenai masalah-masalah perkotaan. Yang dimaksud dengan pendekatanpendekatan antropologi adalah pendekatan-pendekatan yang baku yang menjadi ciri-ciri dari
metodologi yang ada dalam antropologi, dan yang dimaksudkan dengan pengertian masalahmasalah perkotaan adalah masalah-masalah yang muncul dan berkembang dalam kehidupan kota
dan yang menjadi ciri-ciri dari hakekat kota itu sendiri yang berbeda dari ciri-ciri kehidupan
desa. Kota dengan demikian diperlakukan sebagai konteks atau variabel yang menjelaskan
keberadaan permasalahan yang ada di dalam kehidupan perkotaan, dan kota adalah juga sebagai
permasalahan perkotaan itu sendiri. Permasalahan perkotaan yang menjadi sasaran kajian
antropologi perkotaan berpangkal pada kebudayaan perkotaan dan pranata-pranata sosial yang
hidup dan berkembang di kota. Dari kajian utama mengenai kebudayaan dan pranata-pranata
sosial tersebut, kehidupan sehari-hari, pola-pola kelakuan, kehidupan komuniti, ekonomi,
hubungan antar sukubangsa atau antar etnik, kemunculan dan mantapnya golongan-golongan
sosial, hierarki dan stratifikasi sosial, kemiskinan, kekumuhan, permasalahan permukiman,
rumah, hunian serta berbagai masalah lain itu dilihat keberadaannya, hakekatnya, dan
kecenderungan-kecenderungannya sebagai mengacu pada kondisi-kondisi kota yang merupakan
lingkungan hidup perkotaan.
Begitu juga kajian kota sebagai sebuah kota haruslah dilihat sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari suatu rangkaian antar hubungan kota tersebut dengan kota-kota lain ataupun
dengan lingkungan pedesaan dan lingkungan alam yang menjadi tulang punggung keberadaan
kota tersebut, baik secara administratif, politik, ekonomi, dan bisnis, budaya, maupun secara
sosial di antara para warganya. Rangkaian hubungan-hubungan tersebut dapat berupa hubungan
yang sejajar dengan prinsip timbal balik yang saling menguntungkan di antara kota dengan kota
maupun kota dengan desa-desa yang ada di sekeliling kota tersebut. Tetapi, dan bersamaan
dengan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak tersebut juga dapat muncul

hubungan-hubungan yang tidak seimbang antara satu kota dengan kota lainnya atau antara satu
kota dengan desa-desa yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaaan administrasinya, yang
terwujud sebagai hubungan hierarki atau berjenjang.
Hubungan-hubungan hierarki antara satu kota dengan kota atau kota lainnya dan
hubungan antara satu kota dengan desa-desa yang menjadi wilayah administrasinya dapat berupa
hubungan formal administratif maupun hubungan-hubungan sosial, ekonomi dan bisnis,
hubungan politik, dan hubungan antar budaya. Dalam kondisi seperti ini, terutama hubungan
antara kota dengan desa-desa yang menjadi wilayah administrasi pemerintahan dari kota
tersebut, dapat dilihat sebagai hubungan pendominasian oleh kota tersebut. Hubungan
pendominasian ini dapat juga dilihat coraknya sebagai hubungan yang berorientasi ke kota,
dalam hampir keseluruhan aspek-aspeknya. Berbagai permasalahan urbanisasi, urbanisme,
kepadatan jumlah penduduk kota yang terus berkembang, kekumuhan dan berbagai masalah
lingkungan hidup kota, ketidakteraturan sosial dan hukum serta kriminalitas yang terus
berkembang di kota, serta berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik yang ada di kota dapat
diacu penjelasannya dengan melihat hubungan dominasi kota-desa atau orientasi desa pada kota,
maupun pada berbagai aspek yang lebih khusus yang menjadi bagian dari perwujudan hubungan
desa-kota, antara satu kota dengan kota atau kota-kota lainnya.

Pendekatan-Pendekatan Antropologi dan


Antropologi Perkotaan
Di antara berbagai pendekatan antropologi yang secara tradisional lazim berlaku dalam
antropologi adalah: (1) Holistik atau Sistemik; (2) Perbandingan Silang Budaya (cross cultural
comparison); (3) Evolusi; (4) Perubahan Kebudayaan danTranformasi-Transformasi Budaya; (5)
Adaptasi Budaya dan Perubahan Ekologi;

(6) Kebudayaan Kemiskinan; (7) Akulturasi, dan

(8) pendekatan Etnografi yang bercorak tasonomik kebudayaan. Di samping itu juga muncul dan
berkembang pendekatan sistem-sistem makna atau kajian interpretif. Hampir semua pendekatanpendekatan tersebut menekankan pentingnya penggunaan metodologi kwalitatif. Di samping itu
para ahli antropologi masa kini juga menggunakan metode kwantitatif dalam kegiatan-kegiatan
penelitian mereka terutama untuk penelitian-penelitian survai. Karena itu, para ahli antropologi
masa kini cenderung untuk melakukan kajian atau penelitian dengan menggunakan metodologi
kwalitatif saja, atau kwantitatif saja, atau kombinasi dari ke-dua metodologi ini.

Kajian-kajian tradisional antropologi pada umumnya adalah kajian-kajian mengenai


masyarakat atau komuniti kecil, yang biasanya digolongkan sebagai masyarakat-masyarakat
dengan tingkat ekonomi dan teknologi rendah atau primitif, yang mereka perlakukan sebagai
sebuah satuan kehidupan yang terisolasi dari berbagai faktor yang ada di luar komuniti yang
menjadi sasaran kajiannya. Kajian-kajian seperti ini terwujud sebagai sebuah kajian yang holistik
atau sistemik, di mana keseluruhan unsur-unsur kebudayaan yang terdapat di dalam komuniti
tersebut diteliti dan diungkapkan secara mendalam dan menyeluruh. Kajian antropologi
tradisional seperti ini cenderung untuk menjadi deskriptif, tanpa sesuatu fokus permasalahan, dan
bercorak taksonomik kebudayaan dengan mengacu pada pendefinisian kebudayaan sebagai
segala sesuatu yang dipunyai oleh masyarakat manusia, yaitu masyarakat yang menjadi sasaran
kajiannya, yang terdiri atas keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka

kehidupan

masyarakat

yang

dijadikan

milik

diri

manusia

dengan

belajar

(Koentjaraningrat, 1979:193). Perhatikan penekanan atau fokus definisi kebudayaan tersebut


yang terletak pada keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia Fokus
atas pengertian kebudayaan tersebut, yang memperlakukan gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia sebagai kebudayaan, yang dengan demikian tidak memperlihatkan adanya hubungan
sistemik di antara gagasan dengan tindakan dan dengan hasil karya, menyebabkan kajian-kajian
antropologi yang mengacu pada konsep kebudayaan seperti tersebut di atas telah hanya
menghasilkan identifikasi secara taksonomik mengenai masyarakat dan kebudayaan yang dikaji.
Taksonomi kebudayaan dan masyarakat tersebut, dilakukan dengan menggunakan penggolongan
kebudayaan yang terdiri atas unsur-unsurnya sebagaimana yang diajukan oleh Kluckhohn pada
tahun 1953.
Kajian-kajian yang deskriptif-taksonomik dan tanpa sesuatu masalah yang berupa
etnografi-etnografi banyak dihasilkan oleh para ahli antropologi sebelum Perang Dunia II, dan
merupakan khasanah etnografi yang berharga karena telah dilakukan secara mendalam. Tetapi,
para ahli antropologi yang merupakan tokoh-tokoh antropologi justru tidak melakukannya secara
taksonomik, yang hanya untuk membuat deskripsi yang mendalam guna kepentingan pembuatan
deskripsi saja. Malinowski misalnya, dalam bukunya Argonauts of the Western Pasifik (1961)
yang merupakan hasil penelitiannya antara tahun 1914-1918 dan pertama kali terbit pada tahun
1922, membuat sebuah etnografi mengenai kebudayaan Orang Trobriand yang terfokus pada
masalah lingkaran kula yang dilihat dan diperlakukannya sebagai sebuah fokus dalam

kehidupan Orang Trobriand, yang tujuannya adalah membuat teori mengenai fungsi kula dalam
kebudayaan Orang Trobriand. Ahli-ahli antropologi masa kini cenderung untuk membuat
etnografi dengan model etnografi yang telah dikembangkan oleh Malinowski tersebut, dimana
berbagai gejala yang ada dalam kehidupan masyarakat yang diteliti diperlakukan sebagai
kategori-kategori atau konsep-konsep yang dihasilkan oleh sistem pengkategorisasian yang
dilakukan oleh warga masyarakat yang bersangkutan dengan mengacu pada kebudayaan mereka
dan bukan mengacu pada taksonomi kebudayaan yang dibuat oleh si ahli antropologi yang
melandaskan kajiannya dengan berpedoman pada cultural universals dari Kluckhohn. Contoh
klasik dari kajian non-taksonomik kebudayaan ini dapat diperiksa dalam tulisan-tulisan Clifford
Geertz (1973, 1981), misalnya. Dari penelitian Malinowski tersebut di atas, diperlihatkan bahwa
keberadaan kulaadalah karena fungsi-fungsinya dalam memberadakan dan memfungsikan unsurunsur kebudayaan yang ada dalam kehidupan Orang Trobriand untuk pemenuhan berbagai
kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Dengan kata lain, pendekatan yang digunakan adalah sistem
atau holistik.
Dalam pendekatan-pendekatan ahli antropologi yang mengkaji berbagai permasalahan
perkotaan, pendekatan yang sistemik atau holistik ini menggunakan pendekatan yang kwalitatif
atau etnografi, dan menghasilkan deskripsi mengenai kehidupan masyarakat yang diteliti sebagai
sebuah satuan kehidupan yang diisolasi dari berbagai sistem kehidupan lainnya yang ada di kota
yang bersangkutan. Kajian seperti ini menghasilkan deskripsi kehidupan sosial-mikro (micro
social) yang penekanannya pada kedalaman dari masyarakat yang ditelitinya, dan yang biasanya
terpusat pada sebuah pranata saja, dan karena itu penekanan kajiannya adalah pada satuan
kehidupan yang kecil atau mikro. Kajian mikro seperti tersebut di atas, tidak dapat dikatakan
sebagai kajian antropologi perkotaan, bila kajian tersebut hanya memusatkan perhatiannya pada
kehidupan masyarakat yang dikajinya tanpa melihat konteks kota yang bersangkutan. Jadi, bila
kajian yang mikro tersebut juga memperhitungkan konteks kota yang bersangkutan, yang
mempunyai pengaruh terhadap dan dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat yang mikro tersebut,
maka kajian tersebut dapat dikatakan sebagai kajian antropologi perkotaan.
Di samping kajian-kajian yang bercorak sosial-mikro, terdapat kajian-kajian yang
bercorak sosial-makro (macro social). Kajian sosial yang makro mencakup kajian-kajian
mengenai hubungan-hubungan-hubungan antara kehidupan perkotaan dengan pedesaan dan
mengenai kota dengan bangsa dan negara. Garis-garis hubungan antar pranata-pranata dari dan

dengan kota dan negara, antara populasi di daerah perkotaan dengan di daerah pedesaan, dan
antara tahapan-tahapan perkembangan individu yang semula hidup di daerah pedesaan dengn
kehidupannya di daerah perkotaan.
Kajian-kajian yang telah dilakukan oleh para ahli antropologi seharusnya mencakup
keduanya, dan seharusnya menggabungkan ke-dua tipe kajian tersebut dalam metodologinya
sebagai sebuah kajian yang holistik atau sistemik. Dengan kata lain, kajian antropologi perkotaan
sebenarnya menjembatani kajian-kajian kehidupan sosial mikro yang bercorak antar hubungan
perseorangan atau individual, dengan kajian makro sosial dari struktur-struktur perkotaan.
Sehingga, misalnya, kajian-kajian mengenai transformasi budaya dari kehidupan pendatang dari
daerah pedesaan atau para petani yang menjadi warga kota, pekerja pabrik, atau yang kemudian
menjadi golongan menengah atau elite kota, sebenarnya harus memperhatikan faktor-faktor luar
dari proses-proses transformasi budaya tersebut; yaitu faktor-faktor lingkungan fisik, sosial, dan
budaya yang ada dalam tahapan-tahapan kehidupan mereka di daera hperkotaan maupun di
daerah pedesaan tempat asal mereka atau orang tua mereka.
Corak kehidupan kota yang berbeda dari corak kehidupan desa dapat ditandai oleh
keberadaan kebudayaan asing atau pengaruh kebudayaan asing dan bahkan keberadaan orang
asing sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari struktur kehidupan kota itu sendiri. Pola-pola
akulturasi yang terjadi dalam kehidupan perkotaan merupakan serangkaian proses yang
menghasilkan kecenderungan-kecenderungan dan dengan pola-pola khusus yang tidak sama
antara satu kota dengan kota-kota lainnya.
Apa yang harus juga diperhatikan dalam kajian mengenai perkotaan adalah bahwa kotakota itu tidak mempunyai corak yang homogen atau seragam. Hal yang sama juga berlaku untuk
desa-desa. Cara yang terbaik untuk menghindari kekisruhan karena tipe-tipe kota dan desa
tersebut adalah dengan cara menggolongkan kota-kota menurut patokan administrasi yang
berlaku, menurut patokan sistem-sistem pelayanan yang dipunyainya, menurut tingkat
kompleksitas kebudayaan dan pranata-pranatanya, menurut standar kehidupan ekonominya, dan
berbagai patokan lainnya yang dapat dibuat guna menggolongkannya demi ketepatan
kedudukannya dalam sistem penggolongan tersebut, demi kesahihan data yang diperoleh.
Tradisi dalam kajian-kajian perkotaan oleh para ahli antropologi yang biasanya
bercorak holistik atau sistemik, dapat mencakup kehidupan kota sebagai sebuah sistem
kehidupan yang bulat dan menyeluruh ataupun hanya mengenai sesuatu masalah perkotaan yang

kemudian diperlakukan sebagai sebuah satuan kehidupan yang bulat dan menyeluruh dengan
memperhitungkan faktor-faktor lingkungan kota tersebut sebagai sistem-sistem luar yang
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan dari satuan kehidupan yang menjadi
masalah kajian. Para ahli antropologi perkotaan, dalam laporan-laporan penelitiannya (misalnya,
Cohen, 1969) mempunyai kemampuan yang meyakinkan dalam menguraikan gejala-gejala yang
sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya melalui bukti-bukti yang lengkap
dan menyeluruh.
Secara singkat antropologi perkotaan menekankan pendekatan metodologi dalam
kajian-kajiannya pada suatu perspektif yang holistik mengenai kota dalam latar sosial dan
budayanya. Kajian seperti ini menekankan pada pendekatan yang kwalitatif, walaupun data
kwantitatif juga tetap digunakan. Pendekatan seperti ini menurut kemampuan si peneliti untuk
dapat menggunakan pendekatan pengamatan terlibat, melakukan wawancara dengan pedoman,
mewawancara dengan menggunakan kuesioner, dan melakukan pengamatan yang seksama dan
teliti atas gejala-gejala yang tercakup dalam masalah yang ditelitinya. Di samping itu,
pendekatan kwantitatif, dan terutama penggunaan metode survai juga penting untuk dilakukan
guna memperoleh data yang mendasar dan umum mengenai ciri-ciri atau kecenderungankecenderungan yang terdapat dalam kehidupan dari masyarakat yang ditelitinya, yang berada
dalam latar sosial dan budaya kota yang bersangkutan, melihat kota dan garis-garis hubungannya
dengan pola-pola kelakuan dan ideologinya dengan masyarakat yang lebih luas, menurut Miner
(1965:6) dan Arensberg (1968:3), haruslah merupakan tujuan utama dalam kajian antropologi
perkotaan. Penekanan pada kota sebagai sebuah dunia tersendiri, atau dunia perkotaan, dengan
dinamikanya sendiri, dan perwujudannya yang khusus, yang berbeda dari dunia pedesaan,
keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan dari warga masyarakatnya, serta corak
arsitekturnya yang khusus telah memungkinkan bagi kita untuk melihat kota sebagai sebuah
kebudayaan yang tersendiri. Setiap kota dan begitu juga ciri-ciri yang dipunyai oleh sebuah kota
tidak begitu saja muncul dan berkembang, tetapi telah mengalami perkembangan-perkembangan
yang terwujud dalam sejarah kota tersebut. Perkembangan kota tersebut dapat dihubungkan
dengan sejarah hubungannya dengan masyarakat dan ideologi politik negara yang bersangkutan,
dengan hubungan sosial, budaya, ekonomi, dan politik dengan kota-kota atau dengan negaranegara lain, dan dengan pertumbuhan kependudukan dan ekonomi kota tersebut. Karena itu,

dalam kajian perkotaan pendekatan diakronik (dalam perspektif sejarahnya) juga penting dalam
upaya pemahaman mengenai teori-teori pertumbuhan dan perkembangan kota.
Kajian sebuah kota karena itu dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan
diakronik maupun sinkronik. Kajian yang telah dilakukan oleh Marvin Harris (1956), misalnya
antara lain menunjukkan adanya etos perkotaan dari sebuah kota kecil di pedalaman Brazil.
Dalam bukunya tersebut Harris (1956:279-280) menunjukkan bahwa warga kota tersebut
menekankan pentingnya etos perkotaan, dengan mengutuk kerja pertanian dan kehidupan desa.
Lebih lanjut ditunjukkannya bahwa keberadaan dan mantapnya etos perkotaan tersebut telah
disebabkan oleh adanya tradisi sejarah yang berasal dari Mediteranian dan Latin Amerika, yang
merupakan asal kebudayaan Orang Brazil pada umumnya, yang diperkuat oleh keterlibatan
warga kota kecil tersebut dalam ekonomi industri yang non-pertanian. Kajian Harris tersebut
dapat dijadikan sebagai sebuah contoh mengenai penggunaan dari pendekatan diakronik dan
sinkronik dalam kajian kebudayaan yang berlaku di kota dan terfokus pada menunjukkan ciri
etos perkotaan.
Pendekatan lain dalam kajian antropologi perkotaan yang patut disebut, karena banyak
digunakan dalam kajian-kajian antropologi perkotaan adalah adaptasi. Pendekatan adaptasi ini
mengacu pada kajian mengenai permasalahan perkembangan kota, dan perubahan-perubahan
kebudayaan dari kota tersebut. Setiap kota, di manapun dan kapanpun, sedang dan telah berada
dalam proses-proses penyesuaian secara berkesinambungan terhadap pengaruh-pengaruh
lingkungan sosial dan budaya yang berasal dari luar dan terhadap berbagai kondisi ekonomi dan
politik yang ada dalam kehidupan kota tersebut. Untuk dapat melihat kota dalam keadaannya
sebagai sebuah masyarakat, maka kajian-kajian antropologi perkotaan harus dapat melihat,
melalui hasil-hasil kajiannya mengenai pola-pola yang lestari dari hubungan-hubungan di antara
suasana perkotaan dengan faktor sosial budaya dari luar yang mengkondisikan keberadaannya.
Adaptasi tidak harus dilihat sebagai terhadap lingkungan fisik saja, tetapi juga terhadap
lingkungan sosial dan budaya. Sehingga, adaptasi terhadap faktor-faktor dari luar haruslah dilihat
sebagai bentuk-bentuk perubahan karena penyesuaian secara ideologi melalui garis-garis
hubungan penyesuaian antara kota dengan masyarakat dari waktu ke waktu.
Sebuah bentuk kajian adapatasi, dalam antropologi perkotaan yang telah menjadi karya
klasik adalah yang dilakukan oleh Bruner (1973) mengenai adaptasi Orang Batak yang
bermigrasi ke Bandung, Jakarta dan Medan. Dari hasil penelitiannya tersebut ditemukan bahwa
pola-pola penyesuaian atau adaptasi dari para pendatang di tiga kota tersebut tidak sama.
Perbedaan pola-pola adaptasi tersebut ditentukan oleh ada atau tidaknya kebudayaan dominan
dalam struktur kehidupan kota yang bersangkutan. Teori Bruner tersebut dinamakannya
dominant culture hypothesis atau hipotesa kebudayaan dominan. Bila dalam struktur kehidupan
sebuah kota terdapat sebuah kebudayaan dominan maka para pendatang Orang Batak akan

menyesuaikan dirinya dengan kebudayaan dominan tersebut, contohnya adalah kota Bandung.
Dan sebaliknya bila kota tersebut tidak mempunyai kebudayaan yang dominan maka para
pendatang Batak dan dari berbagai golongan etnik lainnya akan hidup di antara sesama
kelompok etniknya dan mengembangkan kebudayaan etnik yang dipunyai masing-masing
sebagai pedoman bagi kehidupan mereka. Contohnya adalah kota Medan.
Kajian antropologi perkotaan bukanlah kajian yang hanya memperlakukan kota sebagai
latar, atau lokasi dilakukannya penelitian, atau sebuah situs tempat kajian masalah yang diteliti
yang terwujud sebagai kajian sosial-mikro itu dilakukan, atau kajian tempat hidupnya komuniti
miskin. Kajian-kajian yang tercakup dalam antropologi perkotaan harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:

Kajian atau penelitian yang dilakukan harus dapat mendefinisikan kota atau kota-kota yang
tercakup dalam kajiannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sasaran konseptual dari
penelitiannya.

Kajian atau penelitian yang memfokuskan pada melihat penelitian silang budaya harus tidak
terpaku pada model urbanisme yang telah terjadi di kota-kota di dunia Barat, tetapi betul-betul
harus dapat menggali dan menemukan pola-pola yang berlaku secara empirik dalam kehidupan
kota-kota yang ditelitinya.

Harus menggunakan pendekatan yang holistik mengenai kota dan berbagai kaitan hubungan kota
tersebut dengan pola-pola kelakuan dan pola-pola budaya dengan masyarakat yang lebih luas, di
samping perlunya digunakan metode survai dan sampling. Bila dirasa perlu dan relevan dengan
masalah yang diteliti, harus juga digunakan pendekatan kwantitatif yang dapat digunakan untuk
mengukur hubungan-hubungan di antara variabel-variabel.

Tidak hanya semata-mata terpaku pada penggunaan pendekatan sinkronik yang berasal dari kajian
etnografi mengenai masyarakat-masyarakat primitf. Tetapi juga menggunakan pendekatan
diakronik untuk dapat menelusuri sebab-sebab kemunculan dan kemantapan sesuatu gejala atau
permasalahan yang ada.

Kajian-kajian Perkotaan dan Antropologi


Perkotaan
Seperti diuraikan oleh Fox (1977), Gullick (1973), dan oleh Uzell dan Provencher
(1976), kajian para ahli antropologi mengenai masalah-masalah perkotaan sangat minim bila

dilihat dalam perspektif sejarah pertumbuhan antropologi. Di antara para ahli antropologi
Amerika, nama-nama Loyd Warner (1963) yang menulis lima jilid mengenai Yankee City dan
suami isteri Lynd (1973, 1956) adalah nama-nama yang dikenal sebagai pemula dalam kajian
antropologi mengenai perkotaan. Tetapi, mereka itu justru dikenal bukan sebagai ahli antropologi
tetapi sebagai ahli sosiologi. Sebabnya adalah karena kajian-kajian para ahli antropologi Amerika
pada waktu itu terpusat pada kajian-kajian mengenai masyarakat-masyarakat dan kebudayaan di
luar Amerika Serikat dan Eropa Barat, dan lebih khusus lagi terpusat pada masyarakatmasyarakat yang kecil yang terisolasi atau yang masih primitif. Di samping mereka, terdapat
nama Whyte (1943) yang menulis mengenai struktur sosial dari permukiman kumuh Orang Itali
di Boston. Mereka itu dapat digolongkan sebagai pemula dari antropologi perkotaan di Amerika
Serikat, tetapi kajian-kajian mereka tidak berpengaruh terhadap corak atau perhatian dari para
ahli antropologi di Amerika pada waktu itu, tetapi sebaliknya justru berpengaruh terhadap kajiankajian sosiologi.
Pada tahun 1941 Robert Redfield menerbitkan tulisannya mengenai model hubungan
kutub perkotaan dan pedesaan. Karyanya ini dapat dilihat sebagai sebuah kajian antropologi
perkotaan yang terfokus pada hubungan antara kebudayaan perkotaan dan kebudayaan pedesaan.
Kajian Redfield ini dapat digolongkan sebagai sebuah model antara masyarakat patembayan atau
gesselschaft di satu pihak, dengan masyarakat paguyuban atau gemeischaft di pihak lain. Tulisan
Redfield ini dikritik oleh Oscar Lewis (1951) yang melakukan penelitiannya di tempat yang
sama dengan Redfield. Kritik dari Oscar Lewis terpusat pada teori Redfield bahwa sebagai akibat
dari hubungan kebudayaan perkotaan dan pedesaan maka migrasi ke kota telah menyebabkan
hancurnya struktur kehidupan keluarga dan berbagai hubungan-hubungan utama (kekerabatan,
tolong menolong, dan sebagainya).
Dalam Kata Pengantar yang saya berikan untuk penerbitan buku terjemahan tulisan
Clifford Geertz (Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, 1981), saya tunjukkan
bahwa sebenarnya karya Clifford Geertz dapat dilihat sebagai sebuah revisi atas teori dua kutub
dalam hubungan perkotaan dan pedesaan. Karena, karya Geertz tersebut memperlihatkan adanya
tiga golongan yang saling berinteraksi, yaitu Priyayi (kota), Abangan atau petani (desa), dan
Santri atau pedagang (pasar). Bila diperhatikan lebih lanjut, hubungan antara kebudayaan
perkotaan yang diwakilkan oleh kebudayaan priyayi dengan kebudayaan pedesaan yang diwakili
oleh abangan, adalah hubungan yang sistemik atau struktural, dimana kedudukan dan peranan

dari priyayi berada di atas dari kedudukan dan peranan para petani. Golongan priyayi dan
golongan petani berada dalam hubungan saling ketergantungan yang tidak seimbang yang baku
menurut kebudayaan feodal Jawa yang berlaku pada waktu itu. Sedangkan hubungan antara
golongan santri dengan golongan priyayi dan petani dapat dilihat sebagai hubungan yang
mengantarai priyayi dengan petani, yaitu melalui peranan santri di pasar. Posisi santri, melalui
mekanisme pasar, berada dalam kondisi yang tidak mantap karena posisi ini tidak didefinisikan
dalam sistem feodalisme. Dengan demikian, dinamika yang dipunyai oleh golongan santri lebih
besar daripada yang dipunyai oleh priyayi maupun oleh petani, yaitu santri dapat meningkatkan
derajat hidupnya sebagai priyayi atau santri dapat memperoleh posisi yang lebih baik dalam
kehidupan petani di pedesaan.
Kajian-kajian mengenai perkotaan telah menjadi perhatian yang besar oleh ahli-ahli
arkeologi, salah satu cabang dari antropologi yang memusatkan perhatian pada kebudayaan dan
peradaban kuno. Kajian-kajian yang mereka lakukan terutama pada pusat-pusat kebudayaan dan
peradaban yang berupa peninggalan-peninggalan atau reruntuhan kota-kota kuno di India, Timur
Tengah, Mesir, dan Amerika Selatan. Kajian-kajian para ahli arkeologi tersebut menghasilkan
sejumlah teori-teori mengenai asal mula peradaban perkotaan, hubungan antara kehidupan kota
dengan desa-desa dan lingkungan alam di sekelilingnya yang menjadi wilayah-wilayah
penyangga kehidupan kota tersebut, pertumbuhan kota yang didasarkan atas corak dan kapasitas
sistem pelayanan dan administrasinya dan bukannya karena pertumbuhannya dari sebuah desa
pertanian, kota sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan, kesenian, hiburan, agama, dan
kota sebagai pusat-pusat kegiatan perdagangan internasional dan transito bagi perdagangan jarak
jauh melalui kafilah atau pelayaran.
Kajian-kajian mengenai perkotaan oleh para ahli arkeologi tersebut, sebagaimana dapat
dilihat dalam kutipan-kutipan yang ada dalam tulisan-tulisan yang tercakup dalam diktat ini,
telah memberikan masukan-masukan yang berharga dalam pemahaman-pemahaman mengenai
hakekat kota bagi para ahli antropologi perkotaan masa kini. Perhatian para ahli antropologi
perkotaan sebenarnya belum lama, karena merasa bahwa kajian-kajian mengenai masalahmasalah perkotaan sebenarnya adalah kajian-kajian yang dilakukan oleh ahli-ahli sosiologi.
Karena itu, pidato sebagai presiden American Anthropologist Association yang dilakukan oleh
Ralp Beals pada tahun 1950 isinya menenkankan pentingnya kajian-kajian perkotaan dan
akulturasi bagi pengembangan teori-teori perkotaan bukan untuk dan bagi perkembangan

antropologi perkotaan tetapi untuk membantu pengembangan teori-teori sosiologi dan dalam
kaitan kerjasama yang baik dengan ahli-ahli sosiologi (Gullick, 1973:980).
Kajian-kajian mengenai masalah-masalah perkotaan di Indonesia telah dilakukan dalam
masa penjajahan Belanda. Penekanan kajian terutama terfokus pada kehidupan sosial ekonomi
golongan buruh, para pendatang di kota, dan golongan miskin di daerah perkotaan. Kumpulan
tulisan yang editingnya dipimpin oleh Wertheim (1958) memperlihatkan perhatian kajian-kajian
tersebut dengan penekanan pendekatannya yang kwantitatif. Mungkin kajian pertama yang
dilakukan mengenai komuniti perkotaan, yaitu komuniti gelandangan, adalah kajian yang
dilakukan oleh Parsudi Suparlan, yang ditulisnya sebagai sebuah skripsi sarjana muda
Antropologi U.I. pada tahun 1961. Setelah itu banyak kajian-kajian mengenai masalah-masalah
perkotaan terutama mengenai kota dan berbagai permasalahannya sebagaimana yang diterbitkan
oleh majalah Prisma, Widyakarya, dan lain-lain.
Sebagai penutup bagi uraian mengenai pengertian, ruang lingkup, sasaran kajian, dan
metode-metode antropologi perkotaan, patut dikemukakan bahwa apa yang dikemukakan dalam
tulisan ini adalah uraian yang mendasar dan berlaku umum. Begitu juga tulisan-tulisan yang
tercakup dalam Bab-bab yang ada dalam diktat ini masih bersifat mendasar dan umum dan hanya
mencakup permasalahan berkenaan dengan salah satu aspek dari sasaran kajian perkotaan.
Berbagai aspek lainnya, seperti kemiskinan dan kebudayaan kemiskinan dapat diperiksa dalam
tulisan Suparlan (1993), dan berbagai aspek lain dari antropologi perkotaan akan menyusul
setelah diterbitkannya diktat ini.

Kepustakaan
Arensberg, Conrad

The Urban in Cross-Cultural Perspective, dalam Urban Anthropology: Research


Perspective and Strategies (di-edit oleh Elizabeth M. Eddy), Southern Anthropological
Proceedings, No.2, Athens: University of Georgia Press.
Bruner, Edward M.
1974

The Expression of Ethnicity in Indonesia, dalam Urban Ethnicity (di-edit oleh Abner
Cohen), London: Tavistock, ASA Monograph.
Cohen, Abner
1969
Custom and Politics in Urban Africa, Berkeley: University of California Press.
Fox, Richard G.
1977
Urban Anthropology: Cities and Their Cultural Settings, Englewood Cliffs, N.J.:
Prentice-Hall.
Geertz, Clifford
1973
Penjaja dan Raja, Jakarta: Obor.
1981
Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya.
Harris, Marvin
1956
Town and Country in Brazil, New York: Columbia University Press.
Koentjaraningrat
1979
Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru.
Lynd, Roberts S. dan Heleln Merryill Lynd
1937
Middletown in Transition, New York: Harcourt, Brace.
1956
Middletown: A Study in Modern American Culture, New York: Harcourt, Brace, Naskah
asli pertama kali diterbitkan pada tahun 1929.
Malinowski, Bronislaw
1961
Argounauts of the Western Pacific, New York: Dutton.
Miner, Horace
1965
The Primitive City of Timbucto, New York: Anchor Books, Doubleday.
Redfield, Robert
1941
The Folk Culture of Yucatan, Chicago: University of Chicago Press.
1968

Suparlan, Parsudi
1993
Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta: Obor.
1981

Kata Pengantar, dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (oleh Clifford
Geertz), Jakarta: Pustaka Jaya.
1961
Gambaran Tentang Suatu Masyarakat Gelandangan Yang Sudah Menetap, Skripsi Sarjana
Muda, Antropologi Fakultas Sastra U.I.
Uzell, J. Douglas dan Ronald Provencher
1976
Urban Anthropology, Dubuque, Iowa: WM. C. Brown.
Warner, W. Lloyd (Ed.)
1963
Yankee City, diringkas dan diedit, New Haven: Yale University Press. Naskah aslinya
diterbitkan dalam 5 Jilid pada tahun 1941, 1945, 1947, dan 1959.
Wertheim, W.F. dkk. (Eds.)
1958
The Indonesian Town, The Hague: Vorhoove.
Whyte, William F.
1943
Street Corner Society: The Social Structure of An Italian Slum, Chicago: University of
Chicago Press.

Anda mungkin juga menyukai