Anda di halaman 1dari 35

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI-TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL,

TEORI KONFLIK, TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK, SERTA TEORI


STRUKTURASI

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Sosiologi Pendidikan

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Jumri Hapippudin


NIM : L1C018047
Fakultas&Prodi : FISIPOL & Sosiologi Murni
Semester :5

PROGRAM STUDI SOSIOLGI


UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya tugas
makalhini.Atas rahmat dan hidayah-nya lah penulis dapat menyelesekan makalah yang berjudul
Pendidikan Dalam perspektif Teori-teori Fungsional Struktural, Teori Konflik, Teori
Interaksionisme Simbolik, Serta Teori Strukturasi, dengan tepat waktu.

Makalah Pendidikan Dalam perspektif Teori-teori Fungsional Struktural, Teori Konflik, Teori
Interaksionisme Simbolik, Serta Teori Strukturasi disusun guna memenuhi tugas Dr. Taufiq
Ramdani, S.Th.I., M.Sos pada matakuliah sosiologi pendidikan di Universitas Mataram. Selain itu
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
Pendidikan Dalam perspektif Teori-teori Fungsional Struktural, Teori Konflik, Teori
Interaksionisme Simbolik, Serta Teori Strukturasi.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak , Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos sebagai
dosen pengampuh Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan. Tugas yang telah diberikan inidapat
menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karna itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi
kesempurnaan makalah ini.

Penyusun, Mataram 15 Oktober 2020

Nama : Jumri Hapippudin


NIM : L1C018047

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii

BAB I PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF FUNGSIONAL STRUKTURAL................1

1. Pengertian Teori Fungsional Struktural......................................................................1


2. Pendidikan dalam Perspektif Struktural Fungsional.................................................4

BAB II PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI KONFLIK....................................8

1. Pengertian Teori Konflik..............................................................................................8


2. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik..............................................................10

BAB III PENDIDIKAN DALAM PERPEKTIF TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK


...................................................................................................................................................16

1. Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik..............................................................16

BAB IV PENDIDIKAN DALAM PERPEKTIF TEORI STRUKTURISASI......................21

1. Pengertian Teori Strukturisasi...................................................................................21

KESIMPULAN.........................................................................................................................26

ANALISIS KRITIS..................................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................29

LEMBAR JAWABAN UJIAN TENGAH SEMETER..........................................................31

ii
iii
BAB I
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF FUNGSIONAL STRUKTURAL

1. Pengertian Teori Fungsional Struktural


Struktural Fungsional dinamakan juga sebagai fungsionalisme struktural.Fungsionalisme
struktural memiliki domain di teori Konsensus. Masyarakat dalam perspektif teori ini dilihat
sebagai jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi dan bekerja secara teratur,
menurut norma dan teori yang berkembang (Purwanto, 2008:12.) Struktural Fungsional
adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya
menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling
berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi
dari elemen-elemen konstituenya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi (Idi, 2013:24).
Teori ini juga merupakan bangunan yang bertujuan mencapai keteraturan sosial.Pemikiran
Struktural Fungsional sangat terpengaruh dengan pemikiran biologis yaitu terdiri dari
organorgan yang mempunyai saling ketergantungan yang merupakan konsekwensi agar
organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.
Teori Fungsional Struktural menekankan pada unsur-unsur stabilitas, Integritas, Fungsi,
Koordinasi dan Konsensus.Konsep fungsionalisme maupun unsur-unsur normative maupun
perilaku sosial yang menjamin stabilitas sosial.Teori fungsional menggambarkan masyarakat
yang merupakan sistem sosial yang kompleks, terdiri atas bagian-bagian yang saling
berhubungan dan saling ketergantungan.
Parsons mengatakan bahwa teori-teori sosiologi modern tahun 1986, masyarakat akan
berada dalam keadaan harmonis dan seimbang bila institusi/atau lembaga-lembaga yang ada
pada masyarakat dan negara mampu menjaga stabilitas pada masyarakat tersebut. Struktur
masyarakat yang dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan tetap menjaga nilai dan
norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, maka hal ini akan menciptakan stabilitas pada
masyarakat maka hal ini akan menciptakan stabilitas pada masyarakat itu sendiri (Sidi, 2014).
Adapun menurut Geoge Ritzer bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang
terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang mempunyai kaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula
terhadap bagian yang lain (Ritzer, 2004:v).
Menurut Kaplan dalam Kresna mengatakan bahwa Fungsionalisme mempunyai kaidah
yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorentasi pada teori, yakni metodologi

1
bahwa kita harus mengekplorasi ciri sistemik budaya, hal ini dikandung maksud bahwa kita
harus mengetahui bahwa bagaimana keterkaitan antara instuisi-instuisi atau struktur-struktur
suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat, akan tetapi biasanya klaim
para fungsionalisme adalah metodologi untuk mengeksplorasi saling ketergantungan,
disamping itu para fungsionalis menyatakan pula bahwa fungsionalisme merupakan Teori
tentang proses kultural (Kresna, 2015:20).
Perspektif fungsionalisme ini menemukan dirinya sebagai fungsionalisme structural yang
fokus utamanya terhadap persyaratan fungsional atau kebutuhan dari suatu sistem sosial yang
harus dipenuhi apabila sistem tersebut survive dan hubunganya dengan struktur. Sesuai
dengan pandangan tersebut, suatu sistem sosial selalu cenderung menampilkan tugas-tugas
tertentu yang diperlukan untuk mempertahankan hidupnya dan analisis sosiologi yang
mencakup usaha untuk menemukan struktur sosial yang dapat melaksanakan tugas-tugas
tersebut atau yang dapat memenuhi kebutuhan sistem sosial tersebut.
Teori Struktural fungsional dikenal dengan teori fungsionalisme dan fungsionalisme
struktural.Struktural Fungsional mempunyai dalam teorinya menekankan pada
keteraturan.Teori ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial (social system) yang
terdiri dari bagian-bagian yang terkait dan menyatu dalam keseimbangan. Asumsi teori ini
adalah bahwa setiap struktur maupun tatanan dalam sistem sosial akan berfungsi pula pada
yang lain, sehingga bila tidak ada fungsional, maka stuktur ini tidak akan hilang dengan
sendirinya. Stuktur dan tatanan adalah merupakan fungsional bagi masyarakat tertentu. Teori
ini cenderung memusatkan kajianya pada fungsi dari suatu fakta sosial (social fact) terhadap
fakta sosial lain. Talcott Parson maupun Robert K Merton dianggap sebagai structural
fungsionalist perspektif (perspektif functionalism) karena dua alasan, yaitu (1) menjelaskan
hubungan fungtionalis dengan pendahulunya, terutama Durkheim, Brown dan Malinowski;
(2) tokoh aliran ini menyebutnya dengan istilah fungsionalisme (Mere, 2007:90).
Teori fungsional Struktural yang sering disebut dengan teori integrasi atau teori konsensus
yang dilahirkan oleh pemikir-pemikir klasik, diantaranya Socrates, Plato, Augus Comte,
Spencer, Emile Durkheim, Robert K Merton dan Talcot Parson. Mereka membicarakan
bagaimana perspektif fungsionalisme memandang dan menganalisis phenomena sosial dan
kultural.Langkah-langkah utama dalam elaborasi teori sosial yang menghadang aktor-aktor
sosial yang meletakkan tantangan-tantangan yang dihadapi sistemsistem sosial bila ingin
stabilitas sosial selalu terjaga.

2
Adapun fungsionalisme modern sumbernya adalah Augus Comte, Spencer, Pareto, Emile
Durkheim dan ahli antropologi seperti Radcliffe, Brown dan Malinowwski. Pelopor yang
menekankan pada hubungan interdependen antara bagian-bagian dalam sistem sosial antara
lain adalah: Augus Comte, Spencer dan Pareto. Pendapat Comte bahwa terdapat hubungan
ketergantungan antara bagian-bagian dalam sistem sosial. Jika hubungan keharmonisan antara
keseluruhan dan bagian-bagian tersebut terganggu, maka sistem tersebut akan mengalami
suatu keadaan patologis. Penekanan pada integrasi dan solidaritas integrasi dan solidaritas di
tekankan oleh Durkheim.
Teori struktural fungsional menganggap bahwa masyarakat adalah sebagai suatu sistem dari
bagian-bagian yang saling berhubungan.Teori ini memusatkan perhatian pada integrasi sosial,
stabilitas sosial dan konsensus nilai (Nata, 2012:338).Strukturalisme dari segi lingualistik,
menekankan pengkajianya kepada segala hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan
sistem sosial.Fungsionalisme struktural atau analisa sistem pada prinsipnya berkisar pada
beberapa konsep, tetapi yang paling menonjol adalah konsep dalam berbagai bidang
kehidupan manusia baik secara individu maupun kelompok yang dapat menunjukkan kepada
aktifitas dan dinamika dalam mencapai tujuan kehidupan.Apabila dilihat dari tujuan hidup,
semua kegiatan-kegiatan manusia merupakan fungsi dan dapat berfungsi.Secara kualitatif
maupun kuantitatif fungsi-fungsi itu dapat dilihat dari manfaat, faedah dan kegunaan secara
individula maupun kelompok, organissai serta asosiasi yang ada.
Fungsi menunjuk pada suatu proses yang akan maupun sedang berlangsung, yaitu
menunjukkan pada benda-benda tertentu yang merupakan elemen maupun bagian dari
prosesproses tersebut, sehingga terdapat perkataan “masih berfungsi” atau “tidak berfungsi’.
Fungsifungsi itu tergantung pada predikatnya, contonya fungsi gedung, fungsi istana, fungsi
apangan, fungsi rumah, fungsi mobil mapun fungsi organisasi-organisasi tertentu.
Michael J. Jucius mengatakan bahwa: Fungsi sebagai aktifitas yang dilakukan oleh manusia
dengan harapan dapat tercapai apa yang diinginkan (Idi, 2011:6). Secara umum teori
Struktural fungsional mengemukakan konsep tentang tindakan sosial (social action) yang
mempunyai anggapan bahwa perilaku sukarela mencakup beberapa elemen pokok, yaitu: (a)
aktor sebagai individu, (b) aktor memiliki tujuan utama yang dicapai, (c) aktor memiliki
berbagai cara untuk melaksanakan tujuan tersebut, (d) aktor dihadapkan pada berbagai
kondisi dan situasi yang dapat mempengaruhi pilihan cara-cara yang akan digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut, (e) aktor dikomando oleh nilai-nilai, norma-norma, ide-ide dalam
menentukan tujuan yang diinginkan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut, (f)

3
perilaku termasuk bagaimana aktor mengambil eputusan tentang cara-cara yang akan
digunakan akan mencapai tujuan dipengaruhi ide-ide dan kondisi yang ada (Hanik, 2007:11).
Teori ini juga merupakan salah satu teori komunikasi yang termasuk dalam kelompok teori
umum atau general theories.Teori ini mempunyai ciri utama adanya suatu kepercayaan
pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri pengamat
(Mahmud, 2011:43).
Dalam upaya menginterpretasikan makna fenomena sosial, menyingkap sebabsebabnya,
dan hal-hal yang mendasari fenomena sosial itu, maka para ilmuwan sosial ingin menduga
asumsi-asumsi dalam yang berada di baliknya dan memungkinkan timbulnya aktifitas
semacam itu.
2. Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Fungsional
Gejala-gejala dan kondisi pendidikan tidak pernah dapat dilepaskan dari sistem
sosial.Dalam hal ini khususnya pendidikan Islam dalam nilai-nilai sosial harus menciptakan
hubungan yang interaktif dan senantiasa menanamkan nilai-nilai sosial.Sedangkan dalam
menerapkan nilai-nilai sosial dimasyarakat mengandung cara-cara edukatif (Mujamil Qomar,
2013:111). Pengelompokan serta penggolongan yang terdapat di masyarakat mempunyai
peran, bentuk serta fungsi, konsep-konsep tersebut yang di pakai landasan dalam teori
struktural fungsional..teori ini mempunyai ektrimisme yang terintegrasi dalam semua even
dalam sebuah tatanan fungsional. Bagi suatu masyarakat, sehingga berimplikasi terhadap
bentuk kepaduan dalam setiap sendi-sendi struktur dalam wilayah fungsional
masyarakat.Pendidikan dalam era global saat ini juga mempunyai peran yang sangat besar
dalam membentuk struktur maupun startifikasi sosial.
Dalam perspektif teori struktural fungsional mempunyai relevansi dengan pemikiran Emile
Durkheim dan Weber, karena dua pakar sosiologi klasik ini terkenal dalam bidang fungsional
stryuktural. Kemudia fungsional strukural dipengaruhi oleh karya dari Talcott Parson dan
juga Merton, dua orang ahli sosiologi kontemporer yang sangat terkenal.
Durkheim melihat “pendidikan sebagai pemegang peran dalam proses sosialisasi atau
homogenisasi, seleksi atau heterogenisasi, dan alokasi serta distribusi peran-peran sosial,
yang berakibat jauh pada struktur sosial yaitu distribusi peran-peran dalam masayarkat.
Durkheim memahami masyarakat dengan beberapa perspektif (pokok pikiranya) antara lain
adalah: (1) setiap masyarakat secara relatif bersifat langgeng, (2) Setiap masyarakat
merupakan struktur elemen yang terintregrasi dengan baik, (3) setiap elemen di dalam suatu
masyarakat memiliki satu fungsi, yaitu menyumbang pada bertahanya sistem itu, dan (4)

4
setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsesnsus nilai antara para anggotanya
(Wirawan, 2006:47).
Teori Struktural Fungsional tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan maupun
masyarakat.Stratifikasi yang berada di masyarakat mempunyai fungsi. Ekstrimisme teori ini
adalah mendarah dagingnya asumsi bahwa semua even dalam tatanan adalah fungsional bagi
suatu masyarakat. Berbicara tentang masyarakat maka hal tersebut tidak bisa dipisahkan
dengan “integrasi” --satu kesatuam yang utuh, padu (Dahlan, 2001:264). Hal ini seperti yang
telah dikemukakan Talcott Parsons dalam pengertian Sosiologi Pendidikan, yang berarti
bahwa struktur dalam masyarakat mempunyai keterkaitan atau hubungan satu dengan yang
lain. Pendidikan khususnya, tidak bisa dipisahkan dengan struktur yang terbentuk oleh
pendidikan itu sendiri.Demikian pula, pendidikan meruipakan alat untuk mengembangkan
kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial (Wahyu, 2006:1).
Fungsionalisme Struktural tidak hanya berlandaskan pada sumsi-asumsi tertentu tentang
keteraturan masyarakat, tetapi juga memantulkan asumsi-asumsi tertentu tentang hakikat
manusia.Di dalam fungsionalisme, manusia diperlakukan sebagai abstaksi yang menduduki
status dan peranan yang membentuk lembaga-lembaga atau struktur sosial.Didalam
perwujudanya yang ekstrim, fungsionalisme struktural secara implisit memperlakukan
manusia sebagai pelaku yang memainkan ketentuan-ketentuan yang telah dirancang
sebelumnya, sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan masyarakat.Di dalam tradisi
pemikiran Durkheim untuk menghindari reduksionisme, yaitu fenomena alamiah yang
diciutkan dalam suatu hal yang lebih kecil (Dahlan, 2001:659).Psikologis para nggota
masyarakat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh norma-norma dan lembaga-
lembaga yang memelihara norma-norma itu (Poloma, 2007:43).Kita dapat menghubungkan
individu dengan sistem sosial dan menganalisisnya melalui konsep status (stuktur) dan peran
(fungsi).Status adalah kedudukan dalam sistem sosial (Poloma, 2007:171).
Peran pendidikan dalam teori struktural fungsional antara lain adalah: (1) Pendidikan dalam
peranan kelompok. Peranan kelompok yang ada diharapkan dapat memenuhi dan memuaskan
kebutuhan sesorang, hal ini akan membiasakan kebutuhan dan kepentingan serta
mendekatkan harapan para anggota. Peristiwa ini diharapkan dapt menjadikan suatu asosiasi
atau lapiran, strata maupun struktur masyarakat, baik secara kasta, golongan, statifikasi,
kedaerahan, kelompok dan lain sebagainya di lingkungan masyarakata tertentu.
Kelompok sosial tersebut dalam menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif, rukun,
damai, saling menghormati, stabil, tertib, lancar dan sebagainya, maka pemimpinya dari

5
masing-masing anggota harus dapat bertindak dan dapat memainkan peranan-peranan antara
lain: (a) Dalam memainkan peranan kelompok tidak memaksakan peranan-peranan tersebut
kepada para anggota kelompok lainya, (b) Dalam memainkan peranan kelompok harus
bersama-sama dengan kelompok yang lain, jika kelompok-kelompok itu telah membuat suatu
kesepakatan bersama maupun perjanjian, maka dimungkinkan kelompok itu menjadi
kelompok yang besar dan mengharapkan adanya perkembangan, (c) Tidak ada batasan
peranan kelompok dan menyesuaikan dengan penanaman sosial dalam melakukan interaksi
maupun hubungan antar kelompok dalam lingkungan masyarakat serta mengelola benturan
dengan cara lebih menghargai dan menghormati peranan sosial. (2) Pendidikan dalam
Peranan Masyarakat, yang terdiri dari: (a) Langkah-langkah yang harus ditempuh dan
dilakukan bagi seseorang yang mendapat peran dan tugas kepemimpinan, (b) Menunjukkan
perbuatan sebagai anggota anggota organisasi dari status kelompok/ perkumpulan maupun
kelembagaan.
Anggota masyarakat jika sesuai dengan perananya akan membatasi mengenai peranan
(fungsi): misalnya sebagai orang tua, anggota militer, usahawan, pembentuk serikat kerja,
konsumen, produsen, penduduk dan lain sebagainya. Hal tersebut mempunyai guna dan
manfaat dalam pengendalian masyarakat, masing-masing akan mengetahui batas-batas
kewenanganya, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan terjadi konflik serta
benturan peranan satu dengan yang lainya, karena berjalan sesuai dengan fungsi
masingmasing.Anggota masyarakat jika sesuai dengan perananya akan membatasi mengenai
peranan (fungsi): misalnya sebagai orang tua, anggota militer, usahawan, pembentuk serikat
kerja, konsumen, produsen, penduduk dan lain sebagainya. Hal tersebut mempunyai guna dan
manfaat dalam pengendalian masyarakat, masing-masing akan mengetahui batas-batas
kewenanganya, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan terjadi konflik serta
benturan peranan satu dengan yang lainya, karena berjalan sesuai dengan fungsi
masingmasing.
1) Pendidikan dalam Status Kelompok Stuktural Sosial. Struktur masyarakat jika dilihat dari
persilangan yang terjadi terdapat: (a) Kesukuan /Kedaerahan, (b) Kelas Sosial / Strata
(struktur / lapisan ) masyarakat, (c) Status Pekerjaan / Jenjang jabatan dalam bagian
masyarakat.
Ada beberapa suku yang hidup dalam masayarakat tertentu, masing-masing dari
masayarakat itu menunjukkan dan merasakan adanya ikatan suatu geografis maupun
kebudayaan tertentu yang senada dan berlaku secara turun menurun serta para anggotanya

6
dilahirkan, dikembangkan dan bertahan dalam kelngsungan hidupnya (viabilitas)
persilangan-persilangan yang terjadi akan mewujudkan rasa kedaerahan. Kelas-kelas
sosial merasakan juga adanya ikatan, tujuan, tuntutan, gerakan maupun jenjang, mereka
akan mengadakan persilangan antara masing-masing keals dan akan mewujudkan
segmentasi maupun pembentukan bagian yang semakin besar, dalam hal ini berbentuk
lapisan masyarakat dan memupunyai pengaruh terhadap kelangsungan hidup masyarakat.
Individu dalam masyarakat yang telah mencukupi umur haruslah bekerja sesuai dengan
bidang dan kemampuan masing-masing. Kenyataan ini menunjukkan interaksi antar
sesama yang mempunyai status pekerjaan yang sama atau mirip sehingga dapat
menimbulkan pertukaran pengalaman, penegetahuan, pikiran serta gagasan-gagasan
penting. Persilangan-persilangan status pekerja/pekerjaan akan melahirkan jenjang
pekerjaan yang lebih besar dalam masyarakat (Kreimers, 1984:33).
2) Pendidikan Dalam fungsi-fungsi Masyarakat.
Dalam lembaga menyelenggarakan berbagai macam fungsi, dalam lembaga keluarga
memperhatiakan dan memberikan perlindungan keluarga satu dengan yang lain,
menyelenggarakan fungsi-fungsi ekonomi, ayah ibu dan kakak juga berfungsi sebagai
pengganti guru ketika berada di rumah, memberikan gizi dan obat-obatan serta gizi
maupun pelayanan sosial-sosial lainya.
Lembaga masyarakatpun juga mempunyai fungsi dan tugas yang serupa dengan
lembaga keluarga.Dalam lembaga, fungsi-fungsi itu dipisah-pisah dan di bagi-bagi.Tidak
dapat diperkirakan bahwa suatu fungsi sosial tertentu diselenggarakan secara eksklusif
oleh suatu lembaga.Jika kita memahami pendidikan dengan seluruh kegiatankegiatannya,
dimana anak-anak belajar dan dipelajari teknik-teknik, kebiasaan-kebiasaan serta
perasaan-perasaan pada masyarakat dimana hidup, adalah nyata bahwa sekolah tidak
melakukan monopoli atas pendidikan (Kreimers, 1984:220).

7
BAB II
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI KONFLIK

2.1. Pengertian Teori Konflik


Teori konflik berkembang sebagai counter terhadap fungsional struktural. Teori ini
menganggap bahwa masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok dan golongan yang berbeda
kepentingan.Konflik ini diharapkan mampu memperteguh identitas.Sehingga dalam teori
konflik dibutuhkan katup pengaman untuk mengamankan konflik tersebut.
Karl Marx dianggap sebagai orang yang paling banyak memberi sumbangsi dalam
pengembangan teori sosial konflik.Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana-
sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.Marx mengajukan
konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan
kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di
Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal – borjuis dan kelas pekerja miskin
sebagai kelas proletar (Lukacs, 2010: 95 - 100 dan Umar, 1999: 43-51). Kedua kelas ini berada
dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar
dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis –false
consiousness– dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa
adanya tetap terjaga.
Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya
gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar
akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka. Teori ini belakangan dikembangkan oleh
Merton dan Parsons (Faqih: 80).
Teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa terjadinya class struggle antara satu kelompok
dengan kelompok lain karena adanya perbedaan kepentingan maka akan melicinkan jalan
terciptanya sebuah masyarakat (AlNadwi, 1983: 49-50 dan Rex, 1985: 150-155). Ini
dikarenakan suatu masyarakat harus memilih salah satu kelompok.Dari hasil persaingan
perebutan kekuaasaan itu lahir tatanan kelas masyarakat pemenang yang kemudian mampu
membentuk tatanan ekonomi dan peradaban yang maju dalam masyarakat.Secara sederhana
dapat dicontohkan dalam kelompok kecil misalnya keluarga, teori sosial konflik melihat
keluarga bukan sebagai bagian yang harmonis dan seimbang tetapi dianggap sebagai bahagian
dari sebuah sistem yang penuh dengan konflik (Megawangi, 1999: 91).Suatu hal yang ironis
diperlihatkan dari teori ini yaitu dianggapnya hubungan antara suami dan isteri tidak ubahnya

8
dengan penguasa dan yang dikuasai (Susan, 2009: 5).Hal ini terkait dengan persaingan peran
dan dominasi di dalam keluarga. Situasi konflik yang terjadi di masyarakat atau di dalam rumah
tangga bukanlah sesuatu yang abnormal tetapi dianggap sebagai suatu proses secara alami
menuju kepada terjadinya suatu perubahan.
Menurut Dahrendorf, dalam setiap kelompok orang berada pada posisi dominan berupaya
mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada pada posisi marginal atau subordinat
berusaha mengadakan perubahan (Ritzer dan Goodman, 2008: 156). Konflik dapat merupakan
proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur
sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih
kelompok.Misalnya generasi tua dan muda dan seterusnya (Soekanto, 2009: 290). Konflik
dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar
tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya (Rahayu, 2007: 117). Seluruh fungsi positif
konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik
dengan kelompok lain. Misalnya, perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur
Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua: pertama, konflik realistis, berasal dari
kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan
kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap
mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa
kenaikan upah atau gaji dinaikkan.Kedua, konflik non- realistis, konflik yang bukan berasal dari
tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan,
paling tidak dari salah satu pihak.Pada masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam
biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain-lain.Sebagaimana halnya masyarakat
maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok
yang seharusnya menjadi lawan mereka.Terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam
konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi.Contohnya, dua pengacara yang selama
masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara
dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau.
Masing-masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah
meinggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk
membicarakan masa lalu.
Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan yang intim, maka
pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan.

9
Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga
semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa
permusuhan.Sedang pada hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis,
rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam
hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan
perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut.
Coser mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam
suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap
masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan
peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan (Rahayu: 117). Bila konflik dalam
kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan
masyarakat.Dalam struktur besar atau kecil conflict in-group merupakan indikator adanya suatu
hubungan yang sehat.Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik
hanya dalam pandangan negatif saja.Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya
dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian, ia menolak pandangan bahwa ketiadaan
konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.
Teori Konflik tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat. Menurut Weber,
stratifikasi merupakan kekuatan sosial yang berpengaruh besar. Pendidikan akan mengantar
sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang membedakan dengan kaum buruh. Namun
tekanan disini bukan pada pendidikannya melainkan pada unsur kehidupan yang memisahkan
dengan golongan lain. Menurut Weber, dalam dunia kerja mereka yang berpendidikan tinggi
yang menduduki kelas penting. Jadi pendidikan seperti dikuasai oleh kaum elit, dan
melanggengkan posisinya untuk mendapatkan status dan kekuasaannya.

2.2 Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik


Pendidikan dalam struktural konflik dimulai dengan menelusuri pemikiran perspektif
stuktural konflik.Teori struktural konflik muncul sebagai pengritik utama structural fungsional
(Rifa’i, 2011:189).
Adapun resolusi konflik mulai berkembang era pasca perang dingin.Mengenai
penyelesaianya selalu berhadapan dengan tantangan-tantangan yang sangat fundamental.
Bidang ini mulai muncul pada tahun 1950-an dan 1960-an, pada puncak Perang Dingin, ketika
pengembangan senjata nuklir dan konflik antara adikuasa tampaknya mengancam kelangsungan
hidup manusia. (Oliver, dkk, 2002).

10
Teori konflik berpendapat bahwa kehidupan sosial di masyarakat terdapat berbagai bentuk
pertentangan.Paksaan dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama untuk memelihara
lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi (property), perbudakan (slavery), kapital yang
menimbulkan ketidaksamaan hak kesamaan.Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat
karena bekerjanya lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara kekerasan,
penipuan dan penindasan.Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalah kesenjangan
sosial.
Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk
memperebutkan aset-aset yang bernilai.Jenis dari konflik antara individu, konflik antar
kelompok, dan bahkan antar bangsa. Tetapi bentuk konflik yang paling menonjol menurut Mark
adalah konflik yang disebabkan oleh cara produksi barang-barang yang material.
Karl Mark memandang masyarakat terdiri dari dua kelas yang didasarkan pada kepemilikan
sarana dan alat produksi yaitu kelas borjuis dan proletar (Elly, 2011:348).Teori ini terkenal
dengan teori Fungsional konflik, yang menekankan fungsi konflik bagi system sosial atau
masyarakat (Poloma, 1994:113).
Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan
pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat memperkuat antara kelompom satu dengan
kelompok yang lain agar tidak menyatu dengan kelompok yang ada di sekitarnya. Coser
membagi dua kelompok.
Pertama, konflik realitas, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus bahwa
yang terjadi dalam hubungan dan perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang
ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan.
Kedua, konflik nonrealistis adalah, konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan yang
antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu
pihak.Dalam kelompok masyarakat yang telah maju membuat “kambing hitam” sebagai
pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka
(Poloma, 1994:113).
Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional positif maupun negatif. Fungsional positif
apabila konflik melawan struktur.Dalam kaitan dengan sistem nilai yang ada di masyarakat,
konflik dapat bersifat fungsional apabila menyerang suatu nilai inti (Soetomo,
1986:35).Selanjutnya Coser mengatakan bahwa konflik seringkali disebabkan oleh adanya
kelompok masyarakat lapisan bawah yang semakin mempertanyakan legitimasi tersebut

11
diakibatkan oleh kecilnya saluran untuk menyampaikan keluhan-keluhan yang ada (Turner,
1991).
Berdasarkan pemikiran Coser tersebut diatas, secara teoritis dapat dijelaskan bahwa
kekerasan yang terjadi bisa disebabkan oleh adanya isu-isu yang tidak realistis, isu tidak
realistis adalah isu yang tujuanya tidak dapat direalisir.Coser mencontohkan isu tentang agama,
etnis dan suku merupakan sesuatu yang tidak realistis. Konflik yang terjadi karena isu tersebut
dikonsepsikan akan berlangsung secara keras (Halcvy, Etzioni, Eva and Amitai Etzioni, 1973).
Plerre van dea Bergine dalam Ritzer (1992:28) mencoba mempertemukan kedua teori
struktural fungsional dan teori konflik, yang menunjukkan beberapa persamaan analisa yaitu
sama-sama bersifat holistik, dalam arti sama-sama melihat masyarakat sebagai bagian yang
saling berkaitan satu dengan yang lainya, dan perhatian utamanya ditunjukkan kepada adanya
hubungan antar bagian-bagian. Kedya teori tersebut mengakui bahwa konflik dapat
memberikan sumbangan terhadap integhrasi, dan sebaliknya integrasi dapat pula melahirkan
konflik.
Pusat perhatian Turner pada konflik adalah sebagai proses dari peristiwa-peristiwa yang
mengarah kepada interkasi yang disertai kekerasan antara kedua kelompok bahkan bisa lebih.
Turner membagi 9 tahapan untuk menuju konflik secara terbuka (Elly, 2011:371). Adapun
sembilan tahap itu adalah: 1) Sistem sosial terdiri dari unit-unit atau kelompokkelompok itu
terdapat ketidak seimbangan pembagian kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan. 2) Unit-
unit ataupun kelompok itu terdapat ketidak seimbangan dalam pembagian kekuasaan maupun
sumber-sumber penghasilan. 3) Kelompok-kelompok yang tidak mempunyai kekuasaan
maupun sumber penghasilan mulai mempertanyakan legitimasi sistem tersebut. 4) Legitimasi
itu membawa mereka kepada kesadran bahwa mereka harus mengubah sistem alokasi
kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan itu demi untuk memenuhi keentingan kelompok. 5)
Kesadaran itu menyebabkan mereka secara emosional terpancing untuk marah. 6) Kemarahan
tersebut seringkali meledak begitu saja atas cara yang tidak terorganisir. 7) Keadaan yang
demikian menyebabkan mereka semakin tegang. 8) Ketegangan yang semakin hebat
menyebabkan mereka mencari jalan untuk mengorganisisr diri guna melawan kelompok yang
berkuasa. 9) Akhirnya konflik terbuka bisa terjadi antara kelompok yang berkuasa dan tidak
berkuasa. Tingkatan kekerasan dalam konflik sangat tergantung kepada kemampuan masing-
masing pihak yang bertikai untuk mendefinisikan kembali kepentingan mereka secara obyektif
atau kemampuan masing-masing pihak menanggapi, mengatur, dan mengontrol konflik itu.

12
Menurut Ralf Dahrendof masyarakat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dasar
pendidikan kewenangan (authority), yaitu kelas yang memiliki kewenangan (dominan) dan
kelas yang tidak memiliki kewenangan (subyeksi): 1) Setiap kehidupan sosial berada dalam
proses perubahan, sehingga perubahan merupakan gejala yang bersifat permanen yang mengisi
setiap perubahan kehidupan sosial. Gejala perubahan kebanyakan sering diikuti oleh konflik
baik secara personal maupun secara interpersonal. 2) Setiap kehidupan sosial selalu terdapat
konflik didalam dirinya sendiri, oleh sebab itu konflik merupakan gejala yang permanen yang
mengisis setiap kehidupan sosial. Gejala konflik akan berjalan seiring dengan kehidupan sosial
itu sendiri, sehingga lenyapnya kehidupan sosial. 3) Setiap elemen dalam kehidupan sosial
memberikan andil bagi pertumbuhan dan variabel yang saling berpengaruh. Elemen-elemen
tersebut akan selalu dihadapkan pada persamaan dan perbedaan. Sehingga persamaan akan
mengantarkan pada akomodasi sedangkan perbedaan akan mengantarkan timbulnya konflik. 4)
Setiap kehidupan sosial, masyarakat akan terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi
sejumlah kekuatan-kekuatan lain. Dominasi kekluatan secara berpihak akan menimbulkan
konsiliasi, akan tetapi memandang simpanan benih-benih konflik yang bersifat laten, yang
sewaktu-waktu akan meledak menjadi konflik terbuka (Elly, 2011:369-370).
Konflik memiliki perspektif yang berbeda dengan perspektif fungsional karena melihat
kontribusi yang positif kepada lembaga pendidikan dalam masyarakat.Dalam perspektif ini
terdapat penekanan-penekanan adanya perbedaan yang sangatmenyolok yang ada pada setiap
diri individu dalam mendukung suatu sistem sosial.Konflik menunjukkan adanya perbedaan
pada masing-masing individu disebabkan karena mempunyai kebutuhan yang sangat
terbatas.Adapun kemampuan untuk memenuhi kebutuhan individu tersebut saling berbeda satu
dengan yang lainya.
Teori konflik berpandangan perubahan sosial terjadi melalui proses penyesuaian nilainilai
yang berdampak pada perubahan dan menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan
kondisi semula. Proses konflik bersifat instrumental dalam penyatuan, pemeliharaan dan
pembentukan dalam struktur sosial.
Konflik kekerasan dan kerusuhan sosial bernuansa agama, rasa dan antar golongan yang
mengiringi krisis ekonomi-politik pada waktu yang lalu, menunjukkan betapa rapuhnya relasi
antar agama antar etnik yang kita bangun dan kita banggakan selama ini (Soleh Isre, 2003:iii).
Adapun hal-hal yang menyebabkan munculnya konflik antara lain: 1) Konflik diri sendiri
dengan seseorang dapat terjadi karena perbedaan peranan, kepribadian dan kebutuhan. 2)
Konflik diri sendiri dengan kelompok dapat terjadi karena individu tersebut mendapat tekanan,

13
atau individu bersangkutan telah melanggar norma-norma kelompok sehingga dimusuhi atau
dikucilkan oleh kelompoknya. 3) Konflik terjadi karena adanya suatu ambisi salah satu
kelompok untuk berkuasa. (Husaini Usman, 2006:389).
Dari cara menghadapi dan menyelesaikan konflik sosial dapat diklasifikasikan: 1) Konflik
kalah versus kalah. Dalam sebuah konflik pasti terdapat pihak-pihak yang saling berselisih dan
melakukan aksi saling mengalahkan, menyingkirkan atau melenyapkan.Dalam hal ini masing-
masing pihak saling kalah, jadi berakhir saling kalahnya kedua pihak. 2) Konflik kalah versus
menang. Konflik akan berakhir dalam bentuk kalah versus menang apabila salah satu pihak
yang bertikai mencapai keinginanya dengan mengorbankan keinginan pihak lain. 3) Konflik
menang versus menang. Konflik akan berakhir menang versus menang jika pihak-pihak yang
berkaitan bersedia satu sama lain untuk mencapai kesepakatan baru yang saling menguntungkan
(Usman, 2006:389).
Untuk memahami Stratifikasi Sosial harus melihat teori kelas yaitu” manusia semenjak nabi
Adam sampai sekarang mempunyai sejarah pertikaian dan konflik antar klas.Hubungan
manusia terjadi adanya hubungan posisi masing-masing terhadap sarana produksi.
Teori konflik mempunyai implikasi kepada pendidikan di masyarakat dan strategi
perencanaan antara lain: 1) membebaskan kurikulum dari idiologi yang mendominasi, 2)
menciptakan pendidikan yang tertib, herarkhis dan kondusif tanpa dipengaruhi struktur sekolah,
3) konflik dan eksploitasi, 4) kekuatan maupun kekuasaan yang dapat menciptakan ketertiban
sosial, 5) mengembangkan pendidikan yang dapat membebaskan, dan 6) memperrjuangkan
kelas secara terus menerus.
Dalam teori konflik nampak jelas didominasi oleh kaum borjuis sebagai pemegang kendali
maupun kebijkan dan keputusan, mereka dengan mudah mendapatkan stratifikasi sosial dalam
masyarakat, demikian dalam dunia pendidikan, karena yang dapat mengendalikan adalah status
ekonomi.
Dalam stratifikasi sosial kita mengenal bahwa klas bawah tidak akan mempunyai dan
memperoleh pendidikan dibandingkan dengan kelas menengah dan tinggi. Contoh dalam halini
adalah kelas tinggi tidak akan dapat dipahami oleh kelas tengah dan kelas bawah, dikarenakan
pengalaman yang diperolehnya sangat berbeda satu dengan yang lainya. Realita menunjukkan
bahwa pendidikan ditentukan oleh penguasa, sehingga kebijakan untuk mendapatkan
kesempatan dalam mengenyam pendidikan dan keilmuan kurang bahkan tidak sesuai dengan
yang kita harapkan , sekaligus buka bagian dari keinginan pesesrta didik dan bidang
kompetensinya.

14
Uraian di atas dapat memberikan informasi bahwa pendidikan dalam struktural konflik
melihat bahwa setiap individu di dalam kelas mempunyai perbedaan pendapat, kepentingan,
dan keinginan yang dapat memunculkan konflik.Sebagaimana diketahui, kelas yang ada saat ini
berisi siswa dari multikultur atau multi etnis.Bahkan, kelas yang ada saat ini juga multi budaya,
multi agama, multi gender, multi ras, multi umur, dan multi tingkat kecerdasan. Oleh karena itu,
sangat wajar akan mudah terjadi konflik.
Konflik dapat berakibat posisit dan negatif.Konflik di dalam kelas bersifat positif manakala
terjadi persaingan yang sehat antarsiswa.Siswa saling berlomba untuk menjadi yang
terbaik.Mereka saling berlomba untuk menjadi juara satu.Ketika hal itu yang terjadi, guru perlu
membuat konflik agar terjadi persaingan siswa secara rasional.
Konflik di kelas dalam arti negatif, akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat dengan
saling menjatuhkan antara siswa yang satu dengan lainnya. Menyontek adalah salah satu contoh
konflik yang tidak fair.Mengapa hal itu dikatakan tidak fair karena siswa yang sudah belajar
dengan baik, bisa jadi nilainya kalah dengan siswa yang berhasil menyontek dan tidak
terdeteksi oleh guru.
Konflik dapat diciptakan, dikelola, dan bahkan dicegah.Konflik negatif yang terjadi di kelas
dapat menjadi positif manakala guru mampu mengelola konflik dengan baik.kemampuan guru
dalam mengelola konflik menjadi tumpuhan manakala menghendaki proses belajar mengajar
dapat berjalan dengan baik. Ketika guru tidak mampu mengelola konflik dengan baik, maka
konflik yang terjadi antar siswa menjadi kontra produktif, merusak, tidak konstruktif, dan
merugikan semua pihak.Oleh kerana itu, seluruh guru hendaknya mampu mengelola konflik
yang terjadi di kelas dengan baik.

15
BAB III

PENDIDIKAN DALAM PRSPEKTIF TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

3.1. Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik

Inti pandangan pendekatan ini adalah individu.Para ahli di belakang perspektif ini
mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Teori
ini beranggapan bahwa individu adalah obyek yang dapat secara langsung ditelaah dan
dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863– 1931), Charles
Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan
kelompok (Poloma, 2007: 254-255). Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut
berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat
dan kata-kata.Interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang
bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan
berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentukbentuk kongkret dari perilaku individual atau
sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat
interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri
dianggap sebagai unit analisis, sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang
( Soeprapto, htt://www.averroes.or.id./ teoriinteraksionisme-simbolik.html).

Dapat dicontohkan, hubungan seorang guru dengan peserta didik. Dalam hubungan tersebut
ada pola yang telah diatur, peserta didik sebagai orang yang akan menerima informasi dan guru
sebagai orang yang akan melakukan trasformasi pengetahuan. Guna mengetahui keberhasilan
peserta didiknya, ia harus melakukan penilaian. Pandangan peserta didik terhadap dirinya dan
teman-temannya dipengaruhi oleh penilaian guru yang bersangkutan. Lalu diberilah lebel atas
dasar interpretasi bahwa peserta didik yang duduk di bangku depan berkelakuan baik, sopan,
rajin, dan pintar. Peserta didik yang berada di baris belakang sepertinya kurang pintar, tidak
perhatian terhadap pelajarannya, dan malas. Sehingga perhatian guru terhadap mereka yang
diinterprestasikan subordinat dalam prestasi belajar akan berbeda. Padahal, dapat saja
kemampun semua peserta belajar di satu kelas tidak signifikan perbedaannya atau mirip (Jones,

16
2009: 144). Oleh karena itu, dibutuhkan interaksi langsung dengan melihat dari dekat –tidak
sepintas– serta memberi perlakuan sama yang mendorong peserta didik tersebut mempunyai
progress akademik yang positif sehingga interpretasinya benar dan sesuai dengan fakta
lapangan.

Teori interaksi simbolik berangkat dari pemikiran bahwa realitas sosial merupakan sebuah
proses yang dinamis. Individu-individu berinteraksi melalui simbol, yang maknanya dihasilkan
dari proses negosiasi yang terusmenerus oleh mereka yang terlibat dengan kepentingan masing-
masing (Abdullah, 2006, p. 5). Makna suatu simbol bersifat dinamis dan variatif, tergantung
pada perkembangan dan kepentingan individu, yang dibingkai oleh ruang dan waktu.Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, individu diletakkan sebagai pelaku aktif, sehingga konsep
mengenai diri (self) menjadi penting. Konsep diri yang dikaitkan dengan emosi, nilai,
keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan, serta pertimbangan masa lalu dan masa depan, turut
mempengaruhi diri dalam pengambilan peran.

Namun demikian, diri tidak terisolasi, sebab ia bertindak dalam kelompok individu. Diri
tidak dapat memaknai suatu simbol tanpa adanya individu lain yang berperan sebagai cermin
untuk melihat diri sendiri (Arrianie, 2008, p. 35). Dalam kehidupan sosial, manusia
menggunakan simbol untuk mempresentasikan maksud mereka, demikian juga sebaliknya.
Proses penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam
interaksi sosial pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling
mereka. Individu memilih perilaku sebagai hal yang layak dilakukan, berdasarkan cara individu
mendefinisikan situasi yang ada. Makna muncul karena ada interaksi antar individu, yang
muncul dari hasil interpretasi pikiran manusia mengenai diri, serta hubungannya di dalam
masyarakat.Pemahaman terhadap simbol harus dipahami bahwa simbol adalah objek sosial
yang muncul dari hasil kesepakatan bersama dari individu-individu yang
menggunakannya.Individu-individu tersebut memberi arti, menciptakan, dan mengubah objek
di dalam interaksi.Simbol sosial tersebut dapat mewujud dalam bentuk objek fisik, bahasa, serta
tindakan.

Dalam interaksi manusia dengan menggunakan simbol, manusia menginterpretasi situasi


dengan pikiran (mind).Pikiran manusia melibatkan kegiatan mental di dalamnya. Manusia
menggunakan pikiran untuk dapat menempatkan diri di dalam posisi orang lain dan
kemampuan menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, sehingga manusia

17
mampu menafsirkan arti dari suatu pikiran dengan tepat. Kemampuan tersebut diekspresikan
melalui bahasa, baik bahasa verbal maupun non-verbal, yang disebut sebagai simbol. Serupa
dengan pikiran manusia, diri (self) juga merupakan suatu proses sadar yang memiliki beberapa
kemampuan yang terus berkembang melalui interaksi dengan individu lain.

Perkembangan tersebut dilakukan melalui proses sosialisasi, mulai dari masa kanak-kanak
hingga menjadi dewasa. Proses tersebut memungkinkan individu memiliki kemampuan untuk
melihat dirinya sebagaimana ia melihat obyek yang berada di luar dirinya. Konsep tersebut
disebut sebagai looking-glass self. Artinya, diri individu bisa membayangkan bagaimana ia
seharusnya tampil di hadapan orang lain; ia juga dapat membayangkan bagaimana penilaian
orang lain terhadap penampilannya; dan ia dapat mengembangkan perasaan tertentu sebagai
akibat dari bayangan diri individu terhadap perasaan oran lain. Diri di antara individu-individu
lain berinteraksi dalam suatu kelompok masyarakat, menciptakan simbol.Dalam kehidupan
sosial, simbol-simbol tersebut diciptakan, digunakan, dan dimaknai berdasarkan kesepakatan
bersama. Simbol yang dimaknai secara bersama-sama, menjadi dasar yang kuat dalam proses
menciptakan dan mengkonstruksikan hubungan sosial oleh setiap individu di tengah
masyarakat, di mana setiap individu terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif.
Tindakan individu tersebut mengantarkannya dalam proses pengambilan peran di tengah
masyarakat.

Pemikiran interaksionisme simbolik didasari oleh tiga premis Herbert Blumer yang
menyatakan bahwa, premis pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang
dimiliki benda-benda itu bagi mereka. Dengan kata lain, manusia dianggap aktif dalam
menentukan dan memaknai lingkungan atau situasi. Premis kedua, makna-makna tersebut
merupakan hasil interaksi sosial yang terus-menerus dan terjadi berulangulang dalam suatu
masyarakat.Makna pada suatu tanda, yaitu objek, peristiwa, atau gagasan tidak melekat pada
tanda tersebut, tetapi merupakan hasil dari negosiasi. Premis ketiga, makna-makna tersebut
diperbaharui melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam
keterlibatannya dengan objek yang dihadapinya. Berdasarkan premis tersebut, maka makna
dapat berubah sesuai dengan konteks dalam ruang dan waktu yang membingkai interaksi.

Teori interaksi simbolik memiliki perspektif teoritik yang cenderung menekankan perilaku
manusia dalam masyarakat atau kelompok, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial, dan
hubungan sosial.Hubungan dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks,

18
lebih tak terduga, dan aktif.Di sisi ini masyarakat terdiri dari individu-individu yang
berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak,
dan mencipta.Perspektif teoritik tersebut melahirkan pendekatan dramaturgis dari Erving
Goffman (1922- 1982), etnometodologi dari Harold Garfinkel, dan fenomenologi.Orientasi
metodologi dalam teori interaksionisme simbolik adalah interaksi manusia yang saling
menginterpretasikan tindakan masing-masing melalui penggunaan simbol-simbol untuk
memperoleh pemahaman makna. Interaksionisme simbolik pada intinya menjelaskan tentang
metode individu yang dilihat bersama dengan orang lain, menciptakan sistem simbolik dan
bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia membutuhkan pengetahuan untuk menghadapi


seluruh permasalahan di dunia yang bersifat dinamis, penuh ketidakpastian dan selalu berubah
(Case, 2002, p. 8).Untuk mengatasinya, manusia baik secara individu maupun kelompok,
menjadikan sistem pengetahuan sebagai pedoman dan pengarah dalam bertindak dan
berperilaku (Clifford Geertz).Di bidang ilmu perpustakaan dan informasi, gagasan atau konsep
tersebut setara dengan pengetahuan dan diwujudkan ke dalam perilaku simbolis dan juga dalam
bentuk simbol berupa karya, baik fiksi maupun non-fiksi (Case, 2002, p. 43; Gorman &
Clayton, 2005, p. 5).

Kajian ilmu perpustakaan dan informasi merangkumnya ke dalam budaya pengetahuan atau
budaya informasi.Budaya pengetahuan tersebut dimanifestasikan ke dalam tataran sosial dan
tataran karya.Dalam tataran sosial, manifestasinya berupa perilaku terhadap pengetahuan,
yaitumencakup perilaku pencarian informasi, literasi informasi, layanan oleh pustakawan
kepada pemustaka atau pengguna, adaptasi manusia dengan teknologi, perpustakaan
membangun budaya populer, dan masih banyak lagi (Case, 2002, p. 138-140).Lembaga
informasi sebagai ruang sosial tidak terlepas dari adanya tarik-menarik kepentingan oleh
sekelompok orang, pertentangan nilai, resistensi, maupun negosiasi atau kesepakatan (Laksmi
& Wijayanti, 2012, p. 117). Dalam tataran karya, manifestasinya berupa karya fiksi seperti
novel dan film, maupun non-fiksi seperti teks DDC, teks undang-undang, lembaran surat, dan
sebagainya. Karya fiksi merupakan manifestasi konsep manusia dalam bentuk narasi fiktif,
yaitu suatu imajinasi dengan tokoh dan rangkaian peristiwa yang merupakan representasi dari
kehidupan nyata yang dirangkai ke dalam sebuah plot yang kompleks (Hall, 2013, p. 173;
Leckie, et al (eds.), 2010, p. 306).

19
20
BAB IV
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI STRUKTURASI

4.1 Pengertian Teori Strukturasi


Problem hubungan antara manusia dan masyarakat atau tindakan danstruktur sosial berada
pada inti persoalan teori sosial dan filsafat ilmu sosial.25 Perdebatannya berkaitan lebih penting
mana antara individu dan struktur. Biasanya, beberapa pemecahan yang diambil dititikberatkan
pada satu istilah dengan cara mengabaikan yang lain, baik struktural sosial yang diambil
sebagai objek pokok penerapan analisanya dan alat yang secara efektif justru berlebihan. Atau
individu-individu yang hanya dilihat sebagai unsur pokok dari kelompok aksi dan reaksi sosial.
Dalam teori sosial terdapat pertanyaan yang kadang diajukan sebagai keinginan kuat untuk
membangun analisa yang mapan, seperti pertanyaan bagaimana dan dengan cara apa tindakan
yang dihasilkan agen-agen individu berkaitan dengan ciriciri struktural masyarakat yang
didiami.
Teori Strukturasi sebagai bagian dari contoh hasil perdebatan atas hubungan agen-struktur
(di Eropa), dan hubungan makro-mikro (di Amerika).27 Giddens menawarkan konseptualisasi
ulang antara makro dan mikro berkaitan dengan cara bagaimana interaksi dalam konteks
pertemuan muka dilibatkan secara struktural dalam sistem-sistem perentangan ruang dan waktu
yang luas, dengan kata lain, bagaimana sistem-sistem seperti ini menjangkau sektor-sektor luas
dari ruang dan waktu.28 Teori Strukturasi muncul berasal dari kekosongan teori aksi dalam
ilmu-ilmu sosial.29 Isu utama yang diperdebatkan adalah seputar bagaimana konsep-konsep
tindakan, makna dan subjektivitas harus dijelaskan dan bagaimana kaitannya dengan gagasan-
gagasan tentang struktur dan kekangan. Jika sosiologi interpretatif didasarkan atas imperialisme
subjek, fungsionalisme dan strukturalisme mengetengahkan imperialisme objek sosial.Salah
satu tujuan utama dalam merumuskan teori Strukturasi adalah mengakhiri masing-masing
imperialisme ini.
Problem hubungan antara manusia dan masyarakat atau tindakan dan struktur sosial berada
pada inti persoalan teori sosial dan filsafat ilmu sosial (Thompson, 1994:56).Perdebatannya
berkaitan diantara mana yang lebih penting antara individu dan struktur. Biasanya, beberapa
pemecahan yang diambil dititikberatkan pada satu istilah dengan cara mengabaikan yang lain,
baik struktural sosial yang diambil sebagai objek pokok penerapan analisanya dan alat yang
secara efektifjustru berlebihan. Atau individu-individu yang hanya dilihat sebagai unsur pokok
dari kelompok aksi dan reaksi sosial. Dalam teori sosial terdapat pertanyaan yang kadang

21
diajukan sebagai keinginan kuat untuk membangun analisa yang mapan, seperti pertanyaan
“bagaimana” dan “dengan cara apa” tindakan yang dihasilkan agen-agen individu berkaitan
dengan ciri-ciri struktural masyarakat yang didiami (Thompson, 1984:238). Teori Strukturasi
sebagai bagian dari contoh hasil perdebatan atas hubungan agen-struktur (di Eropa), dan
hubungan makro-mikro (di Amerika) (Ritzer, 203:471-505). Giddens menawarkan
konseptualisasi ulang antara ‘makro’ dan ‘mikro’ berkaitan dengan cara bagaimana interaksi
dalam konteks pertemuan muka dilibatkan secara struktural dalam sistem-sistem perentangan
ruang dan waktu yang luas, dengan kata lain, bagaimana sistem-sistem seperti ini menjangkau
sektor-sektor luas dari ruang dan waktu (Giddens, 1984:xxvii). Teori Strukturasi muncul berasal
dari kekosongan teori aksi dalam ilmu-ilmu sosial (Giddens, 1979:xiii). Isu utama yang
diperdebatkan adalah seputar bagaimana konsep-konsep tindakan, makna dan subjektivitas
harus dijelaskan dan bagaimana kaitannya dengan gagasan-gagasan tentang struktur dan
kekangan.Jika sosiologi interpretatif didasarkan atas imperialisme subjek, fungsionalisme dan
strukturalisme mengetengahkan imperialisme objek sosial.Salah tujuan utama merumuskan
teori Strukturasi adalah mengakhiri masing-masing imperialisme ini (Giddens, 1984: 3).
Giddens memulai pikirannya dengan mengkritik Fungsionalisme dan Strukturalisme.Ada 3
kritik Giddens atas Fungsionalisme, pertama, Fungsionalisme menghilangkan fakta bahwa
anggota masyarakat bukanlah orang-orang dungu.Individu bukan robot yang bergerak
berdasarkan naskah. Kedua, Fungsionalisme merupakan cara berfikir yang mengklaim bahwa
sistem sosial mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi. Dan ketiga, Fungsionalisme
membuang dimensi waktu dan ruang dalam menjelaskan proses sosial. Sementara, terkait
Strukturalisme, Giddens menganggap Strukturalisme terlalu menyingkirkan subjek (Priyono,
2000:17).Strukturalisme dan Fungsionalisme menekankan secara kuat keunggulan keseluruhan
sosial atas bagian-bagian individualnyanya (Giddens, 1984:2).Strukturalisme sangat menentang
tradisi Hermeneutik yang dianggap memberi kekuasaan subjektivitas sebagai pusat kebudayaan
dan sejarah (Giddens, 1984:2).Begitu juga dengan Fungsionalis, Fungsionalis menentang tradisi
sosiologi interpretatif.Sebab, dalam sosiologi interpretatif, tindakan dan makna mendapat posisi
utama dalam penjelasan tentang perilaku manusia.Konsep-konsep struktural tidak dianggap
begitu penting dan tidak ada banyak pembahasan tentang kekangan.Akan tetapi,
Fungsionalisme dan Strukturalisme lebih diutamakan ketimbang tindakan dan sifat-sifat
mengekang dari struktur sangatlah ditekankan (Giddens, 1984:2).
Fungsioanalisme dan Strukturalisme berangkali merupakan tradisi besarta intelektual yang
terkemuka dalam teori sosial sepanjang tiga atau empat puluh

22
tahun yang silam. Baik Fungsionalisme dan Strukturalisme, jika ditelusuri, akar pikirannya
masih kembali ke Durkheim. Walaupun demikian, dalam menyusun Teori Strukturasi, Giddens
juga meminjam beberapa term Strukturalisme dan Fungsionalisme. Biarpun teori Strukturasi
berusaha mencari titik temu antara hubungan agen-struktur atau makro-mikro, Teori Strukturasi
masih bernuansa memberi tekanan pada agen.Agen Giddens lebih banyak mempunyai
kekuasaan, Hal ini berbeda dengan teori yang dikembangkan oleh Bourdieu.Bourdieu lebih
menekankan Habitus, sehingga nuansa teori yang dibangunnya lebih mekanis (Ritzer, 2003,
541).Dalam menyusun Teori Strukturasi, Giddens sedikit banyak berhutang pada gagasan-
gagasan Strukturalisme. Hal tampak dalam catatancatatannya Giddens (1979:68-73) atas
Strukturalisme, yaitu (1) Teori Strukturalis menunjukkan pentingnya penciptaan ruang melalui
perbedaan dalam proses konstitusi bahasa dan masyarakat, (b) pemikiran Strukturalis berupaya
memasukkan dimensi waktu ke dalam pusat analisis itu sendiri, (c) pemikiran strukturalis
menunjukkan bahwa ‘jarak dalam waktu’ dalam beberapa aspek pentingnya sama dengan ‘jarak
etnografis’, (d) Teori Strukturalis menawarkan kemungkinan pemahaman yang lebih
memuaskan tentang totalitas sosial daripada yang ditawarkan oleh Fungsionalisme. Menurut
Fungsionalisme, masyarakat bisa dipotret sebagai pola hubungan diantara ‘bagian-bagian’,
sementara Teori Strukturalis mengajukan gagasan bahwa masyarakat seperti bahasa, sebaiknya
dipandang sebagai ”sistem maya’8 dengan sifat berulang, dan (e) dalam Teori Strukturalisme
ada upaya gerakan untuk melampaui dualisme subjek/objek.
Sementara itu, Giddens (1979:108-111) juga memberikan catatan atas gagasan Levi-
Strauss, yaitu (1) struktur bermakna sebuah model yang dibangun oleh pengamat, dan menurut
kata-katanya ‘tidak ada sangkut pautnya dengan dunia empiris.Giddens berpendapat struktur
memiliki “eksistensi maya”, (2) strukturalisme Levi-Strauss kekurang konsep stuktur sebagai
strukturasi, (3) pendekatan Levi-Strauss tampaknya ambigu ketika menganggap struktur
sebagai relasi diantara serangkaian unsur atau opisisi simpulan.Giddens tidak memandang
struktur, dalam pengertiannya yang paling dasar, merujuk pada bentuk-bentuk himpunan,
namun lebih mengacu kepada aturan dan sumber daya, yang dalam reproduksi sosial “mengikat
waktu, (4) gagasan tentang struktur yang digunakanoleh Levi-Strauss berkaitan dengan
kelemahan dasar, dalam kaitannya penciptaan ruang semantik Praksis. Berbicara secara ketat itu
tidak ada sesuatu yang disebut ‘aturan transformatif; semua aturan sosial berciri
transformasional, dalam pengertian bahwa struktur tidak termanifestasikan ke dalam empiris
aspek-aspek sosia, (5) jikalau struktur hadir (dalam ruang-waktu) hanya dalam wujud sekilas,
maka struktur pasti meliputi acuan ke fenomena yang sangat asing bagai upaya Strauss untuk

23
mengatasi formalisme dengan menekankan bentuk sebagai perwujudan isi;fenomena yang
berkaitan dengan kekuasaan.

24
KESIMPULAN

1. Pendidikan adalah proses guna mewujudkan kualitas sumber daya manusia secara utuh agar
dapat melaksanakan peran dalam kehidupan kelompok maupun individual baik secara
fungsional dan optimal. Teori Struktural Fungsional adalah merupakan teori analisis yang
memusatkan perhatian pada integrasi sosial, stabilitas sosial dan konsensus nilai. Penekanan
teori Struktural Fungsional adalah pada perspektif keseimbangan dan keharmonisan.
Tokoh-tokoh teori truktural Fungsional adalah Talcott Parsons, Emilew Durkheim.
Pendidikan dalam perspektif Teoti strukturaal fungsional Segala proses kondisi pendidikan
tidak dapat dilepaskan dari system sosial, dimana ditelaah dari Teori fungsionalisme
Struktural pendidikan merupakan suatu kumpulan dimana didalamnya terdapat sebuah
struktur dengan bagian yang saling berhubungan seperti guru dengan siswa, guru dengan
kepala sekolah, guru dengan guru. Yang terdapat hubungan yang sangat penting dalam
struktur sosial tersebut.
2. Pendidikan dalam struktural konflik melihat bahwa setiap individu di dalam kelas
mempunyai perbedaan pendapat, kepentingan, dan keinginan yang dapat memunculkan
konflik.Konflik dapat berakibat posisit dan negatif. Konflik di dalam kelas bersifat
positifmanakala terjadi persaingan yang sehat antarsiswa, sehingga saling berlomba untuk.
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan
dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali
identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial.
Sehingga ketiadaan konflik bukanlah indicator dari kekuatan dan kestabilan suatu
hubungan. Pendidikan yang dilaksanakan baik pemerintah maupun suasta adalah
pendidikan yang tidak statis, akan tetapi penuh dengan dinamika sosial. Konflik yang
terjadi dalam pendidikan adalah bagaian dari proses konstruksi pendidikan kea rah yang
lebih baik.
3. Teori Interaksionime simboistik berasumsi bahwa kehidupan sosial hanya bermakna pada
tingkat individual yang realitas sosial itu tidak ada. Sebagai contoh buku bagi seorang
berpendidikan merupakan suatu hal yang penting, namun bagi orang yang tidak
mengenyam pendidikan tidak
bermanfaat. Dari sini, dapat dibedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori
lainnya. Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses

25
interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari
cara-cara di mana orang
lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis memandang “arti”
sebagai produk sosial; Sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang
terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi.Seorang pendidik tidak cukup hanya
menjastifikasi peserta didiknya dari hasil penilaian sesaat dan parsial, tetapi penilaian itu
harus holistik dan berkelanjutan yang didasarkan pada interaksi timbal balik.
4. Perubahan yang berlangsung di sektor pendidikan s meliputi aspek kelembagaan,
kurikulum, materi dan metode pembelajaran, sumber rujukan pemikiran yang
ditransmisikan melalui pendidikan yang dikembangkan.

26
ANALISIS KRITIS

1. Segala proses kondisi pendidikan tidak dapat dilepaskan dari system sosial, dimana
ditelaah dari Teori fungsionalisme Struktural pendidikan merupakan suatukumpulan
dimana didalamnya terdapat sebuah struktur dengan bagian yang saling berhubungan
seperti guru dengan siswa, guru dengan kepala sekolah, guru dengan guru. Yang terdapat
hubungan yang sangat penting dalam struktur sosial tersebut. Pendidikan dalam perspektip
teori structural fungsional yang dimana terdapat struktur ayang ada di sekolah yang dimana
ada kepala sekolah, ada stap-stap sekolah, gugu, dan siswa yang saling berhubungan daan
mempunyai fungsi masing-masing dan struktur yang baik.
2. Pendidikan dalam struktur konflik dimulai dengan menelusuri pemikiran persfektif
structural konflik. Teori konflik berpendapat bahwa kehidupan sosial di masyarakat
terdapat berbagai bentuk pertentangan. Paksaan dalam wujud hukum dipandang sebagai
faktor utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi (property),
perbudakan (slavery), kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak kesamaan.
Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat karena bekerjanya lembaga paksaan tersebut
yang bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan dan penindasan. Dengan demikian, titik
tumpu dari konflik sosial adalah kesenjangan sosial. Dimana perubahan sosial terjadi akibat
adanya konflik yang terjadi dalam masyarakat yang menghasilkan kompromi yang berbeda
dengan kondisi semula. Seperti DPR yang mengesahkan UU cipta kerja yang
mengakibatkan konflik, mengakibatkan terjadinya perubahan.
3. Dalam interaksi manusia dengan menggunakan simbol, manusia menginterpretasi situasi
dengan pikiran (mind). Pemikiran manusiamelibatkan kegiatan mental di dalamnya. Seperti
dalam pendidikan yang dimana guru mencoba mengamati siswanya yang duduk di depan
dengan mahasiswanya yang duduk di belakang dengan memberikan tugas untuk
mengetahui tingkat pemahaman siswa yang duduk di belakang dengan mahasiswa yang
duduk di depan, dengan hasilnya nilai siswa yang duduk di depan lebih tinggi dengan siswa
yang duduk di belakanhg, dengan melihat hasil tugasnya dan memberikan nilai sebagai
simbol bahwa siswa yang duduk di belakang kurang memahami mata pelajaran daripada
siswa yang duduk di depan lebih menguasai dan memahami mata pelajaran.
4. Teori Strukturasi muncul berasal dari kekosongan teori aksi dalam ilmu-ilmu sosia.

27
Yang dimana dalam pendidikan.adanya agaen sosial dan struktur sosial. Agen sosial nya itu
anak muridnyadan struktur sosial yaitu orang atau guru, sebagai wadah atau setruktur agen
sosial, yang saling berhubungan.

28
DAFTAR FUSTAKA

Rasyid Muhammad Rusydi. 2 Desember 2015.Pendidikan dalam perspektif teori sosiologi. 274
-286 .
MaghfiraTasyaAulia, MahadianAdi Bayu. 1 November 2018. Intraksi simbolik pengajar dan siswa
di komonitas matahari kecil.Volume 7.
ROHMANMUHAMMAD.2016.jurnal skripdi interaksionisme simbolik dalam pendidikan karakter
pada kegiatan pramuka di SMA Negri 1 Mmojolaba.
Laksmi.1 Desember 2017.Teori interaksi simbolik dalam kajian ilmu perpustakaan dan
informasi.Volume 1.
Uchah Luluk. 15 Iuni 2019.Dimensi religious dalam pendidikan politik partai nasdem jaea timur.
Wadi Abdul, Mudzkkir Moh. 1 Maret 2013.Srukturasi perubahan pendidikan pesantren di Madura
( fenomena perubahan pendidikan pesantren darusalam al-faisholiyah di dampang Madura).
Volume 1.
Munah Binti. 2 Oktober 2016.Pendidikan dalam perspektif strukturan fungsional.Volume 10.
Maunah Binti. 1 April 2015. Pendidikan dalam perspektif strukturan fungsional.Volume 9.
Rasyid Muhammad.2 Desember 2015.Pendidikan dalam perspektif teori sosiologi.Volume 2.
Syahri Moch. September 2015. Tuhas matakuliah penunjang desertasi teori Anthony giddens dan
teori strukturasi.

29
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
Jl. Majapahit No. 62 Mataram
e-mail :sosiologi@unram.ac.id, Website : www.sosiologi.unram.ac.id

LEMBAR JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


SEMESTER GANJIL TA. 2020/2021

Mata Kuliah : SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Kelas : SOSIOLOGI A

Hari/tanggal : Jum’at, 16 Oktober 2020Nama

Mhs : Jumri Hapippudin No. Mhs: L1C018047

PERNYATAAN

Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni hasil
pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang lain, baik dari
sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki kesamaan dengan tulisan rekan-
rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang diberikan oleh dosen pengasuh matakuliah ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan bertanggung jawab.

Tanda Tangan :

30
31

Anda mungkin juga menyukai