Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masyarakat Indonesia dikenal dengan masyarakatnya yang multietnis dan


multi budaya/multi kultur, memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing.
Keragaman budaya tersebut dapat menjadi suatu hal yang positif bila dikelola
dengan baik.Dengan tidak menafikan bahwa keragaman tersebut dapat pula
menjadi sumber potensial terjadinya masalah sosial.tentunya bila tidak dikelola
dengan baik.Oleh karenanya seorang pekerja sosial dituntut mampu memahami
keragaman budaya yang menunjuk pada saling penghormatan dan menghargai
perbedaan budaya dalam melaksanakan intervensinya.

B. TUJUAN
 Mengetahui dan memahami pengertian teori
 Mengetahui dan memahami pengertian teori nature
 Mengetahui dan memahami pengertian teori culture
 Mengetahui dan memahami hubungan multicultural dengan pekerja sosial

BAB II

1
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN TEORI
Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang
mengindikasikan adanya hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang
membantu kita memahami sebuah fenomena. Sehingga bisa dikatakan bahwa suatu
teori adalah suatu kerangka kerja konseptual untuk mengatur pengetahuan dan
menyediakan suatu cetak biru untuk melakukan beberapa tindakan selanjutnya.

2. PENGERTIAN TEORI NATURE


Teori Nature adalah teori mengatakan adanya perbedaan wanita dan pria
adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menimbulkan peran dan tugas yang
berbeda antara pria dan wanita. Perbedaan itu membuat wanita selalu tertinggal dan
terabaikan perannya dan kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga, pergaulan
bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Konstruksi sosial menempatkan wanita
dan pria dalam perbedaan kelas / tingkatan-tingkatan.
Telah bertahun-tahun para psikolog menggeluti masalah perbedaan antarmanusia
dan mereka terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang pertama yaitu nativist, adalah
pihak yang menekankan pada gen dan karakteristik dasar (yang ada sejak lahir)
atau nature.
Kubu yang lain adalah golongan empiricist yang lebih menitikberatkan proses belajar
dan pengalaman, yang disebut nurture.

Edward L. Thorndike (1903), salah seorang psikolog terkemuka pada tahun 1900-an
memihak kubu pertama ketika ia membuat pernyataan bahwa “Dalam kehidupan
manusia, faktor yang paling menentukan adalah hereditas”. Akan tetapi, peneliti
yang sezaman dengannya, yaitu John B. Watson (1925), seorang tokoh behavioris
dalam ungkapannya yang sangat terkenal, menyatakan bahwa pengalaman mampu
menuliskan segala pesan pada tabula rasa-lembaran putih bersih-sifat dasar
manusia.

Konstribusi nature dan nurture membentuk kesamaan maupun perbedaan


antarmanusia. Penelitian dalam genetika perilaku (behavioral genetic) berupaya
mengungkap konstribusi dari hereditas (faktor keturunan) dan faktor lingkungan
untuk menjelaskan perbedaan individual dalam karakteristik manusia.

2
Hampir semua psikolog dewasa ini memahami bahwa pembawaan hasil keturunan
dan lingkungan selalu berinteraksi dan menghasilkan bukan hanya sifat-sifat
psikologis, namun juga sebagian besar ciri-ciri fisik. Pertama, gen mempunyai
dampak bagi pengalaman kita. Di sisi lain, pengalaman memengaruhi gen. Tekanan
stres, pola makan, emosi, dan perubahan hormon dapat memengaruhi gen yang
aktif maupun yang tidak aktif pada saat-saat tertentu selama hidup seseorang.
Pentingnya perbandingan hereditas dan lingkungan adalah persoalan besar di
antara para psikolog dan masyarakat umum. Saat ini telah jelas bahwa walaupun
beberapa gangguan fisik langka 100 persen adalah keturunan, kecenderungan
untuk kebanyakan kondisi normal merupakan hasil kekuatan herediter dan
lingkungan yang kompleks.

3. PENGERTIAN TEORI CULTURE


Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya
terbenuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan
Eropa, Tionghoa, India, Arab dan lain sebagainya. Kata Kebudayaan, berasal dari
kata Sanskerta buddhayah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau
“kekal”. (Koentjaraningrat. 2003:73). Menurut BAKKER kata kebudayaan dari
“Abhyudaya”, Sansekerta Kata “Abhyudaya” menurut Sanskrit Dictionary
(Macdonell, 1954): Hasil baik, kemajuan, kemakmuran yang serba Iengkap.
Menurut Koentjaraningrat (2000:181) kebudayaan dengan kata dasar budaya
berasal dari bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai
“daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil
dari cipta, karsa dan rasa itu.
Culture dari kata Latin colere “mengolah”, “mengerjakan”, dan berhubungan
dengan tanah atau bertani sama dengan “kebudayaan”, berkembang menjadi”
“segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah
alam”. (Koentjaraningrat. 2003:74)

Konsep ketertinggalan budaya (Cultural lag) dikemukakan oleh William F


Ogburn. Konsep ini mengacu pada kecenderungan dari kebiasaan-kebiasaan sosial
dan pola-pola organisasi sosial yang tertinggal di belakang (lag behind) perubahan
dalam kebudayaan materil. Akibatnya adalah bahwa perubahan sosial selalu
ditandai oleh ketegangan antara kebudayaan materil dan nonmateril.

3
Jelas hal ini bertentangan dengan Comte dan Sorokin. Bagi Ogburn, segi
yang paling penting dari perubahan sosial adalah kemajuan dalam kebudayaan
materil, termasuk penemuan-penemuan dan perkembangan teknologi; sedangkan
Comte dan Sorokin menekankan perubahan dalam bentuk-bentuk pengetahuan atau
pandangan dunia sebagai rangsangan utama untuk perubahan sosial, di mana
perubahan dalam kebudayaan materil mencerminkan perubahan dalam aspek-
aspek kebudayaan nonmateril.

Penemuan dan inovasi paling sering terjadi dalam dunia kebudayaan materil.
Perubahan-perubahan ini terbentang mulai dari penemuan-penemuan awal seperti
roda dan perkakas sampai ke komputer dan satelit-satelit komunikasi. Kebudayaan
nonmateril seperti – kebiasaan, tata cara, pola organisasi sosial – akhirnya harus
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil tetapi
karena adanya pelbagai sumber yang menolak perubahan, proses penyesuaian itu
selalu ketinggalan di belakang perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil.
Hasilnya adalah ketegangan antara kebudayaan materil dan kebudayaan
nonmateril.

Perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil sudah terjadi dari masa ke


masa dalam sejarah, tetapi derap perubahan menjadi sangat cepat karena
datangnya Revolusi Industri dan tekanan yang terus-menerus pada perkembangan
teknologi. Jadi kebudayaan nonmateril tidak mampu “mengejar”, karena kecepatan
perubahan dalam kebudayaan materil terus-menerus melaju. Hasilnya adalah suatu
ketegangan yang terus meningkat antara kebudayaan materil dan yang beradaptasi
atau kebudayaan nonmateril. Banyak masalah sosial zaman sekarang dapat
ditelusuri pada kegagalan kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-pola institusional
untuk mengikuti kemajuan tekonologi dalam kebudayaan materil.

Kajian budaya (cultural studies) adalah hubungan kajian budaya dengan soal-soal
kekuasaan dan politik, dengan keinginan akan perubahan dan ‘untuk’ kelompok-
kelompok sosial yang terpinggirkan, terutama kelompok kelas, gender dan ras (tapi
juga kelompok usia, kecacatan, kebangsaan, dan sebagainya)

Meski sulit didefinisikan, namun ada beberapa karakteristik yang dapat dikemukakan
untuk mengidentifikasi apa. yang disebut Cultural Studies itu. Yaitu antara lain:

4
a) Cultural Studies bertujuan meneliti/mengkaji berbagai kebudayaan dan praktik
budaya serta kaitannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah untuk
mengungkapkan dimensi kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu mempengaruhi
berbagai bentuk kebudayaan (sosial-politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum dan
lain-lain. Bandingkan dengan konsep kuasa dan pengetahuan, kuasa dan kebenaran
pada Foucault, kuasa dan kepentingan pada Habermas).

b) Cultural Studies tidak membahasakan kebudayaan yang terlepas dari konteks


sosial-politik, akan tetapi mengkaji masalah budaya dalam konteks sosial-politik
dimana masalah kebudayaan itu tumbuh dan berkembang.

c) Dalam Cultural Studies budaya dikaji baik dari aspek obyek maupun lokasi
tindakan selalu dalam tradisi kritis, maksudnya kajian itu tidak hanya bertujuan
merumuskan teori-teori (intelektual), akan tetapi juga sebagai suatu tindakan
(praksis) yang bersifat emansipatoris (Bandingkan dengan teori kritis Mazhab
Frankfurt).

d) Cultural Studies berupaya mendemonstrasi (membongkar, mendobrak) aturan-


aturan, dan pengkotak- kotakan ilmiah konvensional, lalu berupaya mendamaikan
pengetahuan yang objektif,-subjektif (intuitif), universal lokal.

e) Cultural Studies bukan hanya memberikan penghargaan pada identitas


bersama (yang plural), kepentingan bersama, akan tetapi mengakui saling
keterkaitan dimensi subjek (tivitas) dan objek(tivitas) dalam penelitian.

f) Cultural Studies tidak merasa harus steril dari nilai-nilai (tidak bebas nilai) akan
tetapi melibatkan diri dengan nilai dari pertimbangan moral masyarakat modern serta
tindakan politik dan konstruksi sosial.

g) Dengan demiklan Cultural Studies bukan hanya bertujuan memahami realitas


masyarakat atau budaya, akan tetapi merubah struktur dominasi, struktur sosial-
budaya yang menindas, khususnya dalam masyarakat kapitalis-industrial (Sardar &
Van Loon, 2001:9).

4. HUBUNGAN MULTICULTURAL DENGAN PEKERJAAN SOSIAL

5
Beberapa pengertian dari pekerjaan social menurut para ahli, diantaranya :
1) Max Siporin : Pekerjaan social sebagai suatu metode institusi sosial untuk
membantu orang mencegah dan memecahkan masalah mereka serta untuk
memperbaiki dan meningkat kan keberfungsian sosial mereka.
2) Alen Pincus dan Anne Minahan : Pekerjaan social berkepentingan dengan
permasalahan interaksi antara orang dengan lingkungan sosialnya, sehingga
mereka mampu melasanakan tugas-tugaskehidupan, mengurangi ketegangan,
mewujudkan aspirasi dan nilai-nilai mereka.
3) Charles Zastrow : Pekerjaan social merupakan kegiatan profesional untuk
membantu individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat guna
meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi sosial
serta menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka mencapai
tujuan.
4) W. Friedlander dan Robert Z. Apte : Pekerjaan social merupakan suatu
pelayanan profesional, yang prakteknya didasaran kepada pengetahuan dan
ketrampilan ilmiah tentang relasi manusia, sehingga dapat membantu individu,
kelompok, dan masyarakat mencapai kepuasan pribadi dan sosial serta
kebebasan.
Dari beberapa pengertian menurut para ahli diatas dapat diatarik kesimpulan :
1) Pekejaan sosial merupakan kegiatan professional. Kegiatan tersebut
berlandaskan kepada ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai ilmiah.
Kegiatan pekejaan social merupakan kegiatan ilmiah dan dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya.
2) Pekerjaan sosial adalah kegiatan pertolongan.Orientasi pertolongan
pekerjaan sosial dipusatkan kepada kepentingan orang-orang yang ditolong
(klien), untuk kepentingan pemecahan masalah klien bukan kepentingan pekerja
sosial.Pekerja sosial selalu bekerja sama dengan klien, dan menuntut adanya
partisipasi aktif dari kliennya (perencanaan, pelaksanaan, pengevaluasian).
3) Klien yang dibantu pekerja sosial adalah baik individu maupun kolektivitas
(keluarga,klompok,organisasi dan masyarakat) yang tidak dapat berinteraksi
dengan lingkungannya, sehingga tidak mampu berfungsi sosial. Pekerjaaan
social menggunakan berbagai metode casework, social group work, community
development, community organization, serta metode bantu
4) Intervensi pekerjaan sosial diarahkan kepada klien dengan lingkungan
sosialnya.

6
a. Masyarakat Multikultur
Beberapa pengertian masyarakat multikultur menurut para ahli, diantarnya :
1) Furnival : Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang terdiri atas
dua atau lebih komunitas (kelompok) yang secara kultural dan ekonomiterpisah-
pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda satu sama lain.
2) Dr. Nasikun : Masyarakat majemuk merupakan suatu masyarakat yang
menganut berbagai sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang
menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota
masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai suatu
keselutuhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, atau bahkan kurang
memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.

Pendidikan multikultural (Multicultural Education) merupakan respon terhadap


perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak
bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan
pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai
pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa.
Sedangkan secara luas, pendidikan multicultural itu mencakup seluruh siswa tanpa
membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata
sosial dan agama.
Menurut Tilaar bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi
diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural dominan atau
mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural
yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang
berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang
pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke
dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multicultural sebenarnya merupakan
sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau politics of recognition (politik
pengakuan terhadap orang-orang dari kelompokminoritas).

Dalam pendekatan pendidikan multikultural juga diperlukan kajian dasar


terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar tentang masyarakat yang
dimaksud adalah sebagai berikut :

7
a. Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang
hidup dinamis, dan selalu berkembang.
b. Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi
kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi
kebutuhan masing-masing.
c. Individu-individu, dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi
kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa
yang disebut tentang sosial.
d. Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku
antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.P
e. Pertumbuhan individu dalam komunitas, keterkaitan dengannya, dan
perkembangannya dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggung jawab
terhadap tingkah lakunya.
Terhadap hubungan keanekaragaman dan perubahan budaya dalam
menghadapi hubungan keanekaragaman dan perubahan kebudayaan di
masyarakat, dibutuhkan sikap yang kritis, disertai toleransi dan empati social
terhadap perbedaan-perbedaan tersebut.
Berikut ini adalah beberapa sikap kritis yang harus dikembangkan dalam
masyarakat yang beranekaragam, yaitu :
a. Mengembangkan sikap saling menghargai (toleransi) terhadap nilai-nilai dan
norma sosial yang berbeda-beda dari angota masyarakat yang kita temui, tidak
mementingkan kelompok, ras, etnik, atau kelompok agamanya sendiri dalam
menyelenggarakan tugas-tugasnya.
b. Meninggalkan sikap primodialisme, terutama yang menjurus pada sikap
etnosentrisme dan ekstrimisme (berlebih-lebihan).
c. Menegakkan supremasi hukum, artinya bahwa suatu peraturan formal harus
berlaku pada semua warga negara tanpa memandang kedudukan sosial, ras,
etnik dan agama yang mereka anut.
d. Mengembangkan rasa nasionalisme terutama melalui penghayatan wawasan
berbangsa dan bernegara namun menghindarkan sikap chauvimisme yang akan
mengarah pada sikap ekstrim dan menutup diri akan perbedaan kepentingan
dengan masyarakat yang berada di negara-negara lain.
e. Menyelesaikan semua konflik dengan cara yang akomodatif melalui mediasi,
kompromi, dan adjudikasi.
f. Mengembangkan kesadaran sosial dan menyadari peranan bagi setiap
individu terutama para pemegang kekuasaan dan penyelenggara kenegaraan
secara formal.
8
Beberapa alternatif pemecahan masalah yang ditimbulkan oleh masyarakat
multicultural, yaitu :
a. Asimilasi
Proses di mana seseorang meninggalkan tradisi budaya mereka sendiri untuk
menjadi dari bagian dari budaya yang berbeda. Dengan demikian kelompok etnis
yang berbeda secara bertahap dapat mengadopsi budaya dan nilai-nilai yang ada
dalam kelompok besar, sehingga setelah beberapa generasi akan menjadi bagian
dari masyarakat tersebut.
b. Self-regregation
Suatu kelompok etnis mengasingkan diri dari dari kebudayaan mayoritas, sehingga
interaksi antar kelompok sedikit sekali, atau tidak terjadi. Sehingga potensi konflik
menjadi kecil
c. Integrasi
Merupakan keadaan ketika kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap
konformistis, terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, tetapi dengan tetap
mempertahankan kebudayaan mereka sendiri

d. Pluralisme
Suatu masyarakat di mana kelompok-kelompok sub ordinat tidak harus
mengorbankan gaya hidup dan tradisi mereka, bahkan kebudayaan kelompok-
kelompok tersebut memiliki pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat secara
keseluruhan

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Di Dalam menyelenggarakan hubungan multicultural ini memiliki
pendekatan pendekatan sehingga lebih mudah dalam menyampaikannya. Selain itu,
hubungan keanekaragaman dan perubahan kebudayaan di masyarakat juga
dibutuhkan sikap yang kritis, disertai toleransi dan empati social terhadap
perbedaan-perbedaan tersebut.
Pekerjaan social sebagai profesi pertolongan tentunya juga memiliki peran
dalam mencapai kedamaian oleh multikulural ini. Dalam dewasa ini, pekerjaan social
9
dapat menggunakan pendekatan, diantarnya pendekatan hukum, pendekatan
agama, pendekatan system, dan sebagainya. Selain itu seorang pekerja social juga
dapat mengupayakan asimilasi, self-regregation, integrasi, dan pluralisme dalam
prakteknya kemudian kepada klien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Dictionary of Feminist theories, penj. Mundi Rahayu, (Jogjakarta: Fajar
Pustaka, 2007) Ilyas, Hanim, et. al
2. Wade, Carol. Dan Tavriz, Carol. 2007.Psikologi, Edisi Kesembilan, Jilid 2.
Jakarta: Penerbit Erlangga
3. Diakses pada tanggal 1 Desember 2015
http://justinlase.blogspot.co.id/2013/01/pendekatan-pekerjaaan-sosial-
dalam.html
4. Diakses pada tanggal 1 Desember 2015
https://ahmadfatoniofficial.wordpress.com/2010/04/27/cultural-studies/

10
5. Diakses pada tanggal 2 Desember 2015
http://gagoknursing.blogspot.co.id/2012/11/teori-nature-dan-nurture.html
6. Diakses pada tanggal 2 Desember 2015
http://www.pojokpedia.com/teoriperubahan-sosial-cultural-lag-william-f-
ogburn.html

PENDEKATAN MULTICULTURAL DALAM PEKERJAAN SOSIAL

11
KELOMPOK 1
1. Sabitatul Izzah
2. Nina Florentina Raisa
3. Sr. Endang Sugiastuti
4. Sarnubi Said
5. Rosadi

SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN POLITIK WIDURI

JAKARTA BARAT

2015/2016

12

Anda mungkin juga menyukai