Anda di halaman 1dari 25

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI-TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL,

TEORI KONFLIK, TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK, SERTA TEORI


STRUKTURASI

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Sosiologi Pendidikan

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Sri Nurhayati


NIM : L1C018101
Fakultas&Prodi : FISIPOL (SOSIOLOGI)
Semester : LIMA (V)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas tugas
Makalah Sosiologi Pendidikan dengan judul Pendidikan Dalam Perspektif Teori-Teori
Fungsional Struktural, Teori Konflik, Teori Interaksionalisme Simbolik, Serta Teori
Strukturalisasi dapat penulis selesaikan.

Makalah dengan judul Perspektif Teori-Teori Fungsional Struktural, Teori


Konflik, Teori Interaksionalisme Simbolik, Serta Teori Strukturalisasi ditulis untuk
melengkapi tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan. Tidak lupa, saya juga ingin
mengucapkan terimakasih kepada bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos selaku
dosen mata kuliah Sosiologi Pendidikan.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi para pembaca
karena saya selaku penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekuraangan dan perlu untuk diperbaiki, untuk itu saya mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Mataram, Oktober 2020

Penyusun

Sri Nurhayati
(L1C018101)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................……. .........i

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii

BAB I. Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural...................................1

BAB II. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik..........................................................7

BAB III. Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik.............................11

BAB IV. Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi...................................................13

KESIMPULAN..................................................................................................................17

ANALISIS KRITIS............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 20

LAMPIRAN....................................................................................................................... 21

iii
BAB I
Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural

A. Hakikat Pendidikan
Pendidikan dari bahasa adalah perbuatan mendidik (hal, cara dan sebagainya)
dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik atau pemeliharaan (latihan-latihan dan
sebagainya) badan, dan batin (Poerwadarminto, 1991:250). Para pakar biasanya
menggunakan istilah tarbiyah, dalam bahasa arab. Penggunaan kata tarbiyah untuk
arti pendidikan (education) merupakan pengertian yang sifatnya ijtihad (interpretable)
(Nata, 2012:21). Hal yang sama diungkapkan oleh Abdul Mujib bahwa: Pendidikan
dalam bahasa arab biasanya memakai istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad,
dan tadris (Mujib, 2006:10).
Adapun pendidikan dari segi istilah antara lain adalah:Pendidikan sebagai
setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju
kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa
(atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-
hari dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa (Hasbullah,
2001:2). Hal senada juga dikatakan bahwa: Pendidikan merupakan rangkaian usaha
membimbing mengarahkan potensi hidup manusia yang beruopa kemampuan-
kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan di dalam
kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual dan sosial serta hubunganya dengan
alam sekitar di mana ia hidup (Arifin, 1993:54). Kalau kita liat dari segi masa depan
maka pendidikan juga terdapat proses humanissai seperti yang dikatakan oleh Idris
bahwa:Pendidikan pada hakekatnya menyangkut masa depan, peradaban manusia
dan proses humanisasi (memanusiakan manusia) (Idris, 2012:2). Selanjutnya Ki Hajar
Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional seperti yang dikutip oleh Abudin Nata,
beliau mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan
pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tumbuh anak
antara yang satu dengan lainya saling berhubungan agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup, yakni kehiduipan anak-anak yang kita didik selaras dengan
dunianya (Nata, 2012:43).

B. Pengertian Teori Struktural Fungsional


Fungsional dinamakan juga sebagai fungsionalisme struktural. Fungsionalisme
struktural memiliki domain di teori Konsensus. Masyarakat dalam perspektif teori ini
dilihat sebagai jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi dan bekerja
secara teratur, menurut norma dan teori yang berkembang (Purwanto, 2008:12.)
Struktural Fungsional adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan
antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan
bagian-bagian yang saling berhubungan). Teori ini juga merupakan bangunan yang
bertujuan mencapai keteraturan sosial. Pemikiran Struktural Fungsional sangat
terpengaruh dengan pemikiran biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang mempunyai
saling ketergantungan yang merupakan konsekwensi agar organisme tersebut tetap
dapat bertahan hidup. Teori Fungsional Struktural menekankan pada unsur-unsur
stabilitas, Integritas, Fungsi, Koordinasi dan Konsensus. Konsep fungsionalisme
maupun unsur-unsur normatif maupun perilaku sosial yang menjamin stabilitas sosial.
Teori fungsional menggambarkan masyarakat yang merupakan sistem sosial yang
kompleks, terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling
ketergantungan.
Parsons mengatakan bahwa teori-teori sosiologi modern tahun 1986,
masyarakat akan berada dalam keadaan harmonis dan seimbang bila institusi/atau

1
lembaga-lembaga yang ada pada masyarakat dan negara mampu menjaga stabilitas
pada masyarakat tersebut. Struktur masyarakat yang dapat menjalankan fungsinya
dengan baik dan tetap menjaga nilai dan norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat,
maka hal ini akan menciptakan stabilitas pada masyarakat itu sendiri (Sidi, 2014).
Adapun menurut Geoge Ritzer bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial
yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang mempunyai kaitan dan saling
menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan
membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain (Ritzer, 2004). Perspektif
fungsionalisme ini menemukan dirinya sebagai fungsionalisme struktural yang fokus
utamanya terhadap persyaratan fungsional atau kebutuhan dari suatu sistem sosial
yang harus dipenuhi apabila sistem tersebut survive dan hubunganya dengan struktur.
Sesuai dengan pandangan tersebut, suatu sistem sosial selalu cenderung
menampilkan tugas-tugas tertentu yang diperlukan untuk mempertahankan hidupnya
dan analisis sosiologi yang mencakup usaha untuk menemukan struktur sosial yang
dapat melaksanakan tugas-tugas tersebut atau yang dapat memenuhi kebutuhan
sistem sosial tersebut.
Talcott Parson maupun Robert K Merton dianggap sebagai struktural
fungsionalist perspektif (perspektif functionalism) karena dua alasan, yaitu (1)
menjelaskan hubungan fungtionalis dengan pendahulunya, terutama Durkheim, Brown
dan Malinowski; (2) tokoh aliran ini menyebutnya dengan istilah fungsionalisme (Mere,
2007:90). Teori fungsional Struktural yang sering disebut dengan teori integrasi atau
teori konsensus yang dilahirkan oleh pemikir-pemikir klasik, diantaranya Socrates,
Plato, Augus Comte, Spencer, Emile Durkheim, Robert K Merton dan Talcot Parson.
Mereka membicarakan bagaimana perspektif fungsionalisme memandang dan
menganalisis phenomena sosial dan kultural. Pendapat Comte bahwa terdapat
hubungan ketergantungan antara bagian-bagian dalam sistem sosial. Jika hubungan
keharmonisan antara keseluruhan dan bagian-bagian tersebut terganggu, maka sistem
tersebut. akan mengalami suatu keadaan patologis. Secara umum teori Struktural
fungsional mengemukakan konsep tentang tindakan sosial (social action) yang
mempunyai anggapan bahwa perilaku sukarela mencakup beberapa elemen pokok,
yaitu: (a) aktor sebagai individu, (b) aktor memiliki tujuan utama yang dicapai, (c) aktor
memiliki berbagai cara untuk melaksanakan tujuan tersebut, (d) aktor dihadapkan pada
berbagai kondisi dan situasi yang dapat mempengaruhi pilihan cara-cara yang akan
digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, (e) aktor dikomando oleh nilai-nilai, norma-
norma, ide-ide dalam menentukan tujuan yang diinginkan dan cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut, (f) perilaku termasuk bagaimana aktor mengambil
keputusan tentang cara-cara yang akan digunakan akan mencapai tujuan dipengaruhi
ide-ide dan kondisi yang ada (Hanik, 2007:11).

D. Asumsi Dasar Teori Fungsional Struktural


Masyarakat adalah sebuah kelompok yang di dalam masyarakat itu sendiri
terdapat bagian-bagaian yang dibedakan. Bagian-bagian tersebut fungsinya satu
dengan yang lain berbeda-beda, tetapi masing-masing membuat sistem itu menjadi
seimbang. Bagian-bagian itu saling mandiri dan mempunyai fungsional, sehingga jika
satu diantaranya tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan suatu sistem. Hal
inilah yang menjadi pemikiran Emile Durkheim dalam teorinya Parson dan Merton
mengenal teori Struktural Fungsional. Emile Durkheim dalam teorinya struktural
fungsional juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Ada dua aspek dari studi Max
Weber dan pengaruhnya sangat kauat adalah: (1) Visi Subtantif mengenai tindakan
sosial, dan (2) Strateginya dalam menganalisa struktur sosial. Dalam pemikiran Max
Weber tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parson dalam
menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam mempresentasikan keadaan. Pada
tataran kelembagaan Talcott Parson berpendapat bahwa semua lembaga yang ada

2
pada hakekatnya adalah suatu sistem dan setiap lembaga akan menjalankan empat
fungsi dasar yang disebut A-G-I-L yang berasal dari empat konsep utama yang sangat
penting dalam teori Struktural Fungsional, yaitu: Adaptation, Goal Attainment,
Integration dan Latency (Johson, 1986:128-135). Penekanan teori struktural fungsional
adalah pada perspektif harmoni dan keseimbangan. Asumsi-asumsi dasar dari teori ini
adalah: (1) Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem yang kompleks, terdiri dari
bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian
tersebut berpenngaruh secara signifikan terhadap bagianbagian lainnya; (2) Semua
masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri; sekalipun integrasi
sosial tidak pernah tercapai dengan sempurna, namun sistem sosiaal akan senantiasa
berproses ke arah itu; (3) Perubahan dalam sistem sosial umumnya terjadi secara
gradual, melalui proses penyesuaian, dan tidak terjadi secara revolusioner; (4) Faktor
terpenting yang mengintegrasikan masyarakat adalah adanya kesepakatan di antara
para anggotanya terhadap nilai-nilai masyarakat tertentu; dan (5) Masyarakat
cenderung mengarah kepada suatu keadaan equalibrium. Struktural Fungsional
merupakan teori yang mengacu pada asumsi bahwa: (1) Harus dianalisis sebagai satu
kesatuan yang utuh yang terdiri dari berbagai bagian yang saling berinteraksi, dan (2)
Hubungan yang ada dapat bersifat satu arah atau timbal balik (Rosyidi, 2006:11).
Tindakan sosial merupakan suatu proses, di mana aktor terlibat dalam pengambilan
keputusan-keputusan subjektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu
yang telah terpilih, yang kesemuanya itu dibatasi oleh kemungkinan-kemungkinan,
oleh sistem kebudayaan dalam bentuk norma-norma, ide-ide, dan nilai-nilai sosial. Di
dalam menghadapi situasi yang penuh dengan kendala atau hambatan, aktor
mempunyai sesuatu di dalam dirinya berupa kemauan bebas. Teori fungsionalisme
struktural parsons yang paling terkenal adalah skema AGIL. Yang memuat empat
fungsi penting yang diperlukan untuk semua sistem “tindakan” yaitu (Adaption; Goal
attainment; Intregration; Latency).
Adaption: (adaptasi), artinya sebuah sistem harus menanggulangi situasi
eksternal yang gawat. Sistem diharuskan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta
lingkungan itu dengan kebutuhanya. sistem sosial (masyarakat) selalu berubah untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi, baik secara internal
ataupun eksternal. Adaption yaitu merupakan fungsi penyesuaian diri yang berarti
bahwa suatu sistem sosial jika ingin bertahan, maka harus ada struktur atau institusi
yang mampu melaksanakan fungsi adaptasi terhadap lingkungan sekitar.
Goal Attainment: (pencapaian tujuan), artinya sebuah sistem harus
mendefinisikan dan mencapai tujuan utama. setiap sistem sosial (masyarakat) selalu
ditemui tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai oleh system sosial tersebut. Goal
Attainment ini adalah merupakan tujuan yang akan dicapai oleh suatu sistem yaitu
kebutuhan sistem untuk memobilisasi sumber-sumber dan energi guna mencapai
tujuan sistem dan menentukan suatu prioritas tujuan-tujuan tersebut. Integration
(integrasi), artinya sebuha sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang
menjadi komponenya, sistem juga harus mengelola hubungan antar ketiga fungsi
lainya. setiap sysstem selalu terintegrasi dan cenderung bertahan pada equalibrian
(keseimbangan). Kecenderungan ini dipertahankan melalui kemampuan bertahan
hidup demi system. Integration ini merupakan suatu kebutuhan guna
mengkoordinasikan, menyesuaikan, mengendalikan relasi-relasi antar aktor, unit dalam
sistem agar sistem tersebut tetap mempunyai fungsi.
Latency (pemeliharaan pola), artinya sebuah sistem harus melengkapi,
memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola kultural yang
menciptakan dan menopang motivasi. system sosial selalu berusaha mempertahankan
bentuk-bentuk interaksi yang relatif tetap dan setiap perilaku menyimpang selalu
diakomodasi mellaui kspakatankesepakatan yang diperbaharui secara terus-
menerus.Latency merupakan suatu pola dari suatu sistem guna mempertahankan dari

3
ancaman atau buday, supaya nilai-nilai dapat ditarnsformasikan dan konformitas
dapat dipelihara. Dalam penerapan skema AGIL dapat dilihat bahwa pada organisme
perilaku yang merupakan sistem tindakan yang melkasanakan fungsi adaptasi dengan
menyesuaikan diri/mengubah lingkungan eksternal. Sistem kepribadian melaksanakan
fungsi pencapaian tujuan dengan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada
untuk mencapainya. Sistem sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan
mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponenya. Sistem kultural
melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat
norma dan nilai-nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.

E. Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Fungsional


Gejala-gejala dan kondisi pendidikan tidak pernah dapat dilepaskan dari sistem
sosial. Dalam hal ini khususnya pendidikan Islam dalam nilai-nilai sosial harus
menciptakan hubungan yang interaktif dan senantiasa menanamkan nilai-nilai sosial.
Sedangkan dalam menerapkan nilai-nilai sosial dimasyarakat mengandung cara-cara
edukatif (Mujamil Qomar, 2013:111). Pengelompokan serta penggolongan yang
terdapat di masyarakat mempunyai peran, bentuk serta fungsi, konsep-konsep
tersebut yang di pakai landasan dalam teori struktural fungsional. Teori ini mempunyai
ektrimisme yang terintegrasi dalam semua even dalam sebuah tatanan fungsional.
Bagi suatu masyarakat, sehingga berimplikasi terhadap bentuk kepaduan dalam setiap
sendi-sendi struktur dalam wilayah fungsional masyarakat. Pendidikan dalam era
global saat ini juga mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk struktur
maupun startifikasi sosial. Dalam perspektif teori struktural fungsional mempunyai
relevansi dengan pemikiran Emile Durkheim dan Weber, karena dua pakar sosiologi
klasik ini terkenal dalam bidang fungsional stryuktural. Kemudia fungsional strukural
dipengaruhi oleh karya dari Talcott Parson dan juga Merton, dua orang ahli sosiologi
kontemporer yang sangat terkenal. Teori Struktural Fungsional tidak bisa dipisahkan
dengan pendidikan maupun masyarakat. Stratifikasi yang berada di masyarakat
mempunyai fungsi. Ekstrimisme teori ini adalah mendarah dagingnya asumsi bahwa
semua even dalam tatanan adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Berbicara
tentang masyarakat maka hal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan “integrasi” satu
kesatuam yang utuh, padu (Dahlan, 2001:264). Hal ini seperti yang telah dikemukakan
Talcott Parsons dalam pengertian Sosiologi Pendidikan, yang berarti bahwa struktur
dalam masyarakat mempunyai keterkaitan atau hubungan satu dengan yang lain.
Pendidikan khususnya, tidak bisa dipisahkan dengan struktur yang terbentuk oleh
pendidikan itu sendiri. Fungsionalisme Struktural tidak hanya berlandaskan pada
sumsi-asumsi tertentu tentang keteraturan masyarakat, tetapi juga memantulkan
asumsi-asumsi tertentu tentang hakikat manusia. Di dalam fungsionalisme, manusia
diperlakukan sebagai abstaksi yang menduduki status dan peranan yang membentuk
lembaga-lembaga atau struktur sosial. Didalam perwujudanya yang ekstrim,
fungsionalisme struktural secara implisit memperlakukan manusia sebagai pelaku yang
memainkan ketentuan-ketentuan yang telah dirancang sebelumnya, sesuai dengan
norma-norma atau aturan-aturan masyarakat. Kita dapat menghubungkan individu
dengan sistem sosial dan menganalisisnya melalui konsep status (stuktur) dan peran
(fungsi). Status adalah kedudukan dalam sistem sosial (Poloma, 2007:171). Peran
pendidikan dalam teori struktural fungsional antara lain adalah: (1) Pendidikan dalam
peranan kelompok. Peranan kelompok yang ada diharapkan dapat memenuhi dan
memuaskan kebutuhan sesorang, hal ini akan membiasakan kebutuhan dan
kepentingan serta mendekatkan harapan para anggota. Peristiwa ini diharapkan dapt
menjadikan suatu asosiasi atau lapiran, strata maupun struktur masyarakat, baik
secara kasta, golongan, statifikasi, kedaerahan, kelompok dan lain sebagainya di
lingkungan masyarakata tertentu. Kelompok sosial tersebut dalam menciptakan
lingkungan masyarakat yang kondusif, rukun, damai, saling menghormati, stabil, tertib,

4
lancar dan sebagainya, maka pemimpinya dari masing-masing anggota harus dapat
bertindak dan dapat memainkan peranan-peranan antara lain: (a) Dalam memainkan
peranan kelompok tidak memaksakan peranan-peranan tersebut kepada para anggota
kelompok lainya, (b) Dalam memainkan peranan kelompok harus bersama-sama
dengan kelompok yang lain, jika kelompok-kelompok itu telah membuat suatu
kesepakatan bersama maupun perjanjian, maka dimungkinkan kelompok itu menjadi
kelompok yang besar dan mengharapkan adanya perkembangan, (c) Tidak ada
batasan peranan kelompok dan menyesuaikan dengan penanaman sosial dalam
melakukan interaksi maupun hubungan antar kelompok dalam lingkungan masyarakat
serta mengelola benturan dengan cara lebih menghargai dan menghormati peranan
sosial. (2) Pendidikan dalam Peranan Masyarakat, yang terdiri dari: (a) Langkah-
langkah yang harus ditempuh dan dilakukan bagi seseorang yang mendapat peran dan
tugas kepemimpinan, (b) Menunjukkan perbuatan sebagai anggota anggota organisasi
dari status kelompok/ perkumpulan maupun kelembagaan. Anggota masyarakat jika
sesuai dengan perananya akan membatasi mengenai peranan (fungsi): misalnya
sebagai orang tua, anggota militer, usahawan, pembentuk serikat kerja, konsumen,
produsen, penduduk dan lain sebagainya. Hal tersebut mempunyai guna dan manfaat
dalam pengendalian masyarakat, masing-masing akan mengetahui batas-batas
kewenanganya, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan terjadi konflik
serta benturan peranan satu dengan yang lainya, karena berjalan sesuai dengan
fungsi masing-masing. 1) Pendidikan dalam Status Kelompok Stuktural Sosial.
Struktur masyarakat jika dilihat dari persilangan yang terjadi terdapat: (a) Kesukuan
/Kedaerahan, (b) Kelas Sosial / Strata (struktur / lapisan ) masyarakat, (c) Status
Pekerjaan / Jenjang jabatan dalam bagian masyarakat. Ada beberapa suku yang hidup
dalam masayarakat tertentu, masing-masing dari masayarakat itu menunjukkan dan
merasakan adanya ikatan suatu geografis maupun kebudayaan tertentu yang senada
dan berlaku secara turun menurun serta para anggotanya dilahirkan, dikembangkan
dan bertahan dalam kelngsungan hidupnya (viabilitas) persilangan-persilangan yang
terjadi akan mewujudkan rasa kedaerahan. Kelas-kelas sosial merasakan juga adanya
ikatan, tujuan, tuntutan, gerakan maupun jenjang, mereka akan mengadakan
persilangan antara masing-masing keals dan akan mewujudkan segmentasi maupun
pembentukan bagian yang semakin besar, dalam hal ini berbentuk lapisan masyarakat
dan memupunyai pengaruh terhadap kelangsungan hidup masyarakat. Individu dalam
masyarakat yang telah mencukupi umur haruslah bekerja sesuai dengan bidang dan
kemampuan masing-masing. Kenyataan ini menunjukkan interaksi antar sesama yang
mempunyai status pekerjaan yang sama atau mirip sehingga dapat menimbulkan
pertukaran pengalaman, penegetahuan, pikiran serta gagasan-gagasan penting.
Persilangan-persilangan status pekerja/pekerjaan akan melahirkan jenjang pekerjaan
yang lebih besar dalam masyarakat (Kreimers, 1984:33). 2) Pendidikan Dalam fungsi-
fungsi Masyarakat. Dalam lembaga menyelenggarakan berbagai macam fungsi, dalam
lembaga keluarga memperhatiakan dan memberikan perlindungan keluarga satu
dengan yang lain, menyelenggarakan fungsi-fungsi ekonomi, ayah ibu dan kakak juga
berfungsi sebagai pengganti guru ketika berada di rumah, memberikan gizi dan obat-
obatan serta gizi maupun pelayanan sosial-sosial lainya. Lembaga masyarakatpun
juga mempunyai fungsi dan tugas yang serupa dengan lembaga keluarga. Dalam
lembaga, fungsi-fungsi itu dipisah-pisah dan di bagi-bagi. Tidak dapat diperkirakan
bahwa suatu fungsi sosial tertentu diselenggarakan secara eksklusif oleh suatu
lembaga. Jika kita memahami pendidikan dengan seluruh kegiatankegiatannya,
dimana anak-anak belajar dan dipelajari teknik-teknik, kebiasaan-kebiasaan serta
perasaan-perasaan pada masyarakat dimana hidup, adalah nyata bahwa sekolah tidak
melakukan monopoli atas pendidikan (Kreimers, 1984:220).
Aplikasi Fungsional Stuktural dalam Pendidikan Lembaga pendidikan didorong
untuk melakukan manajemen transformatif, model dan gaya kepemimpinan yang

5
diharapkan dan diperlukan di saat globlalisasi ini adalah dengan “gaya kepemimpinan
transformatif”. Lembaga pendidikan seharusnya mempunyai indikator dalam
mengimplementasikan manajemenya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Muhyi
Batu Bara bahwa Manajemen Pendidikan Mutu Berbasis Sekolah itu menjadi konsep
dan juga merefleksikan dan peran serta tanggung jawab masing-masing pihak antara
lain: (1) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (2) sekolah memiliki misi dan target
mutu yang ingin dicapai, (3) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (4) adanya
harapan yang tinggi dari personil sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainya,
termasuk siswa) (5) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai
dengan tuntutan IPTEK, (6) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus
terhadap berbagai aspek akademik dan administrative, dan pemanfaatan hasilnya
untuk penyempurnaan dan atau perbaikan mutu, (7) adanya komunikasi dan dukungan
insentif dan orang tua siswa dan masyarakat lainya.

6
BAB II
Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik

A. Hakikat Pendidikan
Pendidikan dari segi etimologis berasal dari bahasa yunani “paedagogike”.
Pendidikan merupakan kata majamuk “pais” yang berarti anak dan “ago” yang berarti
aku membimbing. Jadi paedagogike artinya aku membimbing anak (Hadi, 2005:27).
Adapun rumusan pendidikan mempunyai inti: pendidikan adalah pemanusiaan anak
dan pendidikan adalah pelaksanaan nilai-nilai (Driyarkara, 1980: 18). Dalam pengertian
yang sederhana dan umum, makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk
menumbuhkan dab mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani
maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.
Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mendidik manusia menjadi manusia yang
lebih baik.

Pendidikan merupakan sebagai proses perkembangan kecakapan seseorang


dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakat dan proses sosial
dimana seseorang dipengaruhi oleh suatu lingkungan yang terpimpin misalnyasekolah
sehingga dia dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkannya. Tujuan
pendidikan merupakan salah satu factor yang terpenting di dalam pendidikan, karena
tujuannya adalah salah satu arah yang hendak dicapai atau yang tujuan utama dalam
pendidikan. Tujuan pendidikan adalah meningkatkan derajat kemanusiaan manusia
(Tafsir, 2006:47).

Dalam rangka melakukan dan membangun penguatan peserta didik harus


memperhatikan dan mensinergikan beberapa yang terkait dengan pendidikan yaitu :
orang tua, masyarakat, pemerintah sekolah sehingga dapat memecahkan bersama jka
terdapat masalah-masalah atau gejala-gejala negatif, antara lain mempunyai keinginan
mandiri, malas, jenuh, gelisah, kurang percaya diri, tertarik kepada lawan jenis, rasa
malu yang berlebihan, kurang adanya kemauan bekerja, adanya pertentangan sosial
dan suka menghayal. Adanya gejala-gejala negatif yang ada pada remaja pada
umumnya, pendidik dalam hal ini guru dan dosen juga orang tua seharusnya
menyadari dan melakukan upaya perbaikkan perlakuan sikap terhadap anak dalam
proses pendidikann onformal maupun formal.

B. Teori Konflik

Teori konflik adalah pengkritik teori fungsional, dinyatakan bahwa teori


fungsional tidak mampu memberikan gambaran situasi masyarakat yang sebenarnya,
teori fungsional melihat masyarakat secara seimbang, padahal sesungguhnya
masyarakat penuh ketegangan dan selalu berpotensi melakukan konflik. Bagi
pendukung teori konflik, teori fungsional tidak lain hanyalah koalisi dari kaum dominan.
Tokoh gerakan ini tidak lain adalah Karl Marx. Teori konflik Karl Marx didasarkan pada
pemilikan sarana-sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam
masyarakat. Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan
perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia
menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke-19 di Eropa di mana dia hidup,
terdiri dari kelas pemilik modal, borjuis, dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar

7
(Lukacs, 2010: 95100 dan Umar, 1999: 43-51). Kedua kelas ini berada dalam suatu
struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar
dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu
eksis false consiousness dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri,
menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum
proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu
revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi
kaum borjuis terhadap mereka. Teori ini belakangan dikembangkan oleh Merton dan
Parsons (Faqih: 80). Teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa terjadinya class
struggle antara satu kelompok dengan kelompok lain karena adanya perbedaan
kepentingan maka akan melicinkan jalan terciptanya sebuah masyarakat (AlNadwi,
1983: 49-50 dan Rex, 1985: 150-155). Ini dikarenakan suatu masyarakat harus
memilih salah satu kelompok. Dari hasil persaingan perebutan kekuaasaan itu lahir
tatanan kelas masyarakat pemenang yang kemudian mampu membentuk tatanan
ekonomi dan peradaban yang maju dalam masyarakat.
Secara sederhana dapat dicontohkan dalam kelompok kecil misalnya keluarga,
teori sosial konflik melihat keluarga bukan sebagai bagian yang harmonis dan
seimbang tetapi dianggap sebagai bahagian dari sebuah sistem yang penuh dengan
konflik (Megawangi, 1999: 91). Suatu hal yang ironis diperlihatkan dari teori ini yaitu
dianggapnya hubungan antara suami dan isteri tidak ubahnya dengan penguasa dan
yang dikuasai (Susan, 2009: 5). Hal ini terkait dengan persaingan peran dan dominasi
di dalam keluarga. Situasi konflik yang terjadi di masyarakat atau di dalam rumah
tangga bukanlah sesuatu yang abnormal tetapi dianggap sebagai suatu proses secara
alami menuju kepada terjadinya suatu perubahan. Menurut Dahrendorf, dalam setiap
kelompok orang berada pada posisi dominan berupaya mempertahankan status quo,
sedangkan orang yang berada pada posisi marginal atau subordinat berusaha
mengadakan perubahan (Ritzer dan Goodman, 2008: 156). Konflik dapat merupakan
proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan
struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau
lebih kelompok. Misalnya generasi tua dan muda dan seterusnya (Soekanto, 2009:
290). Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya (Rahayu, 2007:
117). Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok
yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, perang yang terjadi
bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok
Negara Arab dan Israel.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua: pertama, konflik realistis, berasal
dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan
dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada
obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja
agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan. Kedua, konflik non-
realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi
dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Pada
masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti
teluh, santet dan lain-lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan
pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang
seharusnya menjadi lawan mereka. Terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat
dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi.

C. Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Konflik


Pendidikan dalam perspektif structural konflik dimulai dengan menelusuri
pemikiran dalam perspektif structural konflik. Teori konflik berpendapat bahwa
kehidupan sosial di masyarakat terdapat berbagai bentuk pertentangan. Paksaan

8
dalam wujud hukum dipandang sebagai factor utama untuk memelihara lembaga-
lembaga sosial, seperti milik pribadi (property), perbudakan (slavery), capital yang
menimbulkan ketidaksamaan hak. Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat
karena bekerjanya lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara
kekerasan, penipuan dan penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial
adalah kesenjangan sosial. Pendidikan dalam structural konflik melihat bahwa setiap
individu di dalam kelas mempunyai perbedaan pendapat, kepentingan, dan keinginan
yang dapat memunculkan konflik. Sebagaimana diketahui, kelas yang berada saat ini
berisi siswa dari multikultur atau multi etnis. Bahkan, kelas kelas yang ada saat ini juga
multi budaya, multi agama, multi gender, multi ras, multi umur, multi tingkat
kecerdasan. Oleh karena itu, sangat wajar akan mudah terjadi konflik. Konflik dapat
berakibat positif dan negatif. Konflik didalam kelas bersifat positif manakala terjadi
persaingan yang sehat antarsiswa. Siswa saling berlomba untuk menjadi yang terbaik.
Mereka saling berlomba untuk menjadi juara satu. Ketika hal itu terjadi, guru perlu
membuat konflik agar terjadi persaingan siswa secara rasional. Adapun konflik dalam
arti negatif, akan menimbulkan persaingan tidak sehat dengan saling menjatuhkan
antar siswa yang satu dengan lainnya. Menyontek adalah salah satu contoh konflik
yang tidak fair. Mengapa hal itu dikatakan tidak fair, karena siswa yang sudah belajar
dengan baik bisa jadi nilainya kalah dengan siswa yang berhasil menyontek dan tidak
terdeteksi oleh guru. Konflik dapat diciptakan, dikelola, dan bahkan dicegah. Konflik
negatif yang terjadi di kelas menjadi postif manakala guru mampu mengelola konflik
dengan baik. Kemampuan guru dalam mengelola konflik menjadi tumpuhan manakala
menghendaki proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik. Ketika guru tidak
mampu mengelola konflik dengan baik, maka konflik yang terjadi antar siswa menjadi
kontra produktif, merusak, tidak konstruktif, dan merugikan semua pihak. Oleh karena
itu, seluruh guru hendaknya mampu mengelola konflik yang terjadi di kelas dengan
baik.
Contoh lain misalnya, dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa
berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu
masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing-
masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah
meinggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk
membicarakan masa lalu. Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan-
hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan
lebih sulit untuk dipertahankan. Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa
kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan
untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada
hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa
permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam
hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat
pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut.
Coser mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi
dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan
terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan
dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan (Rahayu: 117).
Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi
kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil conflict in-
group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat
menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan
negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat
memperkuat struktur sosial. Dengan demikian, ia menolak pandangan bahwa
ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.
Teori Konflik tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat. Menurut Weber,

9
stratifikasi merupakan kekuatan sosial yang berpengaruh besar. Pendidikan akan
mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang membedakan
dengan kaum buruh. Namun tekanan disini bukan pada pendidikannya melainkan pada
unsur kehidupan yang memisahkan dengan golongan lain. Menurut Weber, dalam
dunia kerja mereka yang berpendidikan tinggi yang menduduki kelas penting. Jadi
pendidikan seperti dikuasai oleh kaum elit, dan melanggengkan posisinya untuk
mendapatkan status dan kekuasaannya.

10
BAB III
Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik

A. Teori Interaksionisme Simbolik


Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang perspektif
ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep
sosiologi. Teori ini beranggapan bahwa individu adalah obyek yang dapat secara
langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Dalam
perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863– 1931), Charles
Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara
individu dan kelompok (Poloma, 2007: 254-255). Mereka menemukan bahwa individu-
individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya
berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Interaksionisme simbolik pada hakikatnya
merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan
untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial,
bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat
dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-
pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap
sebagai unit analisis, sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang
(Soeprapto,http://www.averroes.or.id/research/teoriinteraksionisme-simbolik.html).
Adapun Blumer, menuliskan tiga prinsip utam teori interaksionalisme simbolik.
Pertama, kita bertindak dan berprilaku berdasarkan makna yang kita interpretasikan
dari perilaku atau tindakan kita. Kedua, makna sosial merupakan hasil konstruksi
sosial. Ketiga, lanjutan dari sebelumnya penciptaan makna sosial biasanya sudah
eksis jauh sebelumnya. Proses interaksi bisa melanggengkannya, mengubahnya
perlawan atau menggantikannya secara radikal. Teori interaksionalisme simbolik
melihat realitas sebagai kontruksi sosial yang dibentuk melalui proses interaksi yang
terus berlangsung. Teori ini sering digolongkan sebagai teori mikro sosiologi karena
ramah analisisnya sampai pada aspek individu.

B. Pendidikan Dalam Perspektif Teori Interaksionalisme Simbolik


Pendidikan dalam perspektif teori interaksionalisme simbolik dapat dilihat dalam
hubungan seorang guru dengan peserta didik. Dalam hubungan tersebut ada pola
yang telah diatur, peserta didik sebagai orang yang akan menerima informasi dan guru
sebagai orang yang akan melakukan trasformasi pengetahuan. Guna mengetahui
keberhasilan peserta didiknya, ia harus melakukan penilaian. Pandangan peserta didik
terhadap dirinya dan teman-temannya dipengaruhi oleh penilaian guru yang
bersangkutan. Lalu diberilah lebel atas dasar interpretasi bahwa peserta didik yang
duduk di bangku depan berkelakuan baik, sopan, rajin, dan pintar. Peserta didik yang
berada di baris belakang sepertinya kurang pintar, tidak perhatian terhadap
pelajarannya, dan malas. Sehingga perhatian guru terhadap mereka yang
diinterprestasikan subordinat dalam prestasi belajar akan berbeda. Padahal, dapat saja
kemampun semua peserta belajar di satu kelas tidak signifikan perbedaannya atau
mirip (Jones, 2009: 144). Oleh karena itu, dibutuhkan interaksi langsung dengan
melihat dari dekat –tidak sepintas– serta memberi perlakuan sama yang mendorong
peserta didik tersebut mempunyai progres akademik yang positif sehingga
interpretasinya benar dan sesuai dengan fakta lapangan. Blumer mengemukakan tiga
prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan dengan meaning, language,
dan thought. Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan

11
diri seseorang dan sosialisasinya dalam komunitas (community) yang lebih besar
(Siburian, http://blog.unila.ac. id/rone/mata-kuliah/interaksionisme-simbolik), yaitu:
Meaning (Makna) Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku
seseorang terhadap sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia
pahami tentang obyek atau orang tersebut.
Languange (Bahasa) Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui
interaksi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial.
Makna tidak melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan
bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itu, teori ini kemudian disebut
sebagai interaksionisme simbolik. Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang
kemudian dapat memberi nama yang berguna untuk membedakan satu obyek, sifat,
atau tindakan dengan obyek, sifat, atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis
Blumer yang kedua adalah manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu.
Simbol, termasuk nama, adalah tanda yang arbitrer. Percakapan adalah sebuah media
penciptaan makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik
adalah basis terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya
mengetahui sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan
bahwa Interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.
Thought (Pemikiran) Premis ketiga Blumer adalah interaksionisme simbolik
menjelaskan proses berpikir sebagai inner conversation, Secara sederhana proses
menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika
berhadapan dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut.
Seseorang memerlukan bahasa untuk berpikir dan berinteraksi secara simbolik.
Bahasa merupakan software untuk menjalankan mind. Penganut interaksionisme
simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi dari bahasa. Tanpa pembicaraan tidak
akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang harus
menjadi anggota komunitas. I adalah kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini
adalah bagian dari diri yang tidak terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri
yang tampak dalam the looking-glass dari reaksi orang lain. Me hanya dapat dibentuk
melalui interaksi simbolik yang terus menerus mulai dari keluarga, teman bermain,
sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itu, seseorang membutuhkan komunitas untuk
mendapatkan konsep dirinya. Seseorang membutuhkan the generalized other, yaitu
berbagai hal (orang, obyek, atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir
dan berinteraksi dalam komunitas. Me adalah organized community dalam diri seorang
individu. Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks,
lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektifperspektif sosiologis
yang konvensional.
Disisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak
hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta.
Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis
dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai
terbentuk sepenuhnya. Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori
maka lebih mudah memahami fenomena sosial melalui pencermatan individu. Ada tiga
premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak
berdasarkan makna-makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang
lain; makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut
berlangsung.

12
BAB IV
Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi

A. Teori Strukturasi
Teori Strukturasi melihat problem hubungan antara manusia dan masyarakat
atau tindakan dan struktur sosial berada pada inti persoalan teori sosial dan filsafat
ilmu sosial (Thompson, 1994:56). Perdebatannya berkaitan diantara mana yang lebih
penting antara individu dan struktur. Biasanya, beberapa pemecahan yang diambil
dititik beratkan pada satu istilah dengan cara mengabaikan yang lain, baik struktural
sosial yang diambil sebagai objek pokok penerapan analisanya dan alat yang secara
efektif justru berlebihan. Atau individu-individu yang hanya dilihat sebagai unsur pokok
dari kelompok aksi dan reaksi sosial. Dalam teori sosial terdapat pertanyaan yang
kadang diajukan sebagai keinginan kuat untuk membangun analisa yang mapan,
seperti pertanyaan “bagaimana” dan “dengan cara apa” tindakan yang dihasilkan agen
agen individu berkaitan dengan ciri-ciri struktural masyarakat yang didiami (Thompson,
1984:238). Teori Strukturasi sebagai bagian dari contoh hasil perdebatan atas
hubungan agen-struktur (di Eropa), dan hubungan makro-mikro (di Amerika) (Ritzer,
203:471-505). Giddens menawarkan konseptualisasi ulang antara ‘makro’ dan ‘mikro’
berkaitan dengan cara bagaimana interaksi dalam konteks pertemuan muka dilibatkan
secara struktural dalam sistem-sistem perentangan ruang dan waktu yang luas,
dengan kata lain, bagaimana sistem-sistem seperti ini menjangkau sektor-sektor luas
dari ruang dan waktu (Giddens,1984: xxvii). Teori Strukturasi muncul berasal dari
kekosongan teori aksi dalam ilmu-ilmu sosial (Giddens, 1979: xiii). Isu utama yang
diperdebatkan adalah seputar bagaimana konsep-konsep tindakan, makna dan
subjektivitas harus dijelaskan dan bagaimana kaitannya dengan gagasan-gagasan
tentang struktur dan kekangan. Jika sosiologi interpretatif didasarkan atas imperialisme
subjek, fungsionalisme dan strukturalisme mengetengahkan imperialisme objek sosial.
Salah tujuan utama merumuskan teori Strukturasi adalah mengakhiri masing-masing
imperialisme ini(Giddens, 1984: 3).

Giddens memulai pikirannya dengan mengkritik Fungsionalisme dan


Strukturalisme. Ada 3 kritik Giddens atas Fungsionalisme, pertama, Fungsionalisme
menghilangkan fakta bahwa anggota masyarakat bukanlah orang orang dungu.
Individu bukan robot yang bergerak berdasarkan naskah. Kedua, Fungsionalisme
merupakan cara berfikir yang mengklaim bahwa sistem sosial mempunyai kebutuhan
yang harus dipenuhi. Dan ketiga, Fungsionalisme membuang dimensi waktu dan ruang
dalam menjelaskan proses sosial. Sementara, terkait Strukturalisme, Giddens
menganggap Strukturalisme terlalu menyingkirkan subjek (Priyono, 2000:17).
Strukturalisme dan Fungsionalisme menekankan secara kuat keunggulan keseluruhan
sosial atas bagian-bagian individualnyanya (Giddens, 1984:2). Strukturalisme sangat
menentang tradisi Hermeneutik yang dianggap memberi kekuasaan subjektivitas
sebagai pusat kebudayaan dan sejarah (Giddens,1984:2). Begitu juga dengan
Fungsionalis, Fungsionalis menentang tradisi sosiologi interpretatif. Sebab, dalam
sosiologi interpretatif, tindakan dan makna mendapat posisi utama dalam penjelasan
tentang perilaku manusia. Konsep-konsep struktural tidak dianggap begitu penting dan
tidak ada banyak pembahasan tentang kekangan. Akan tetapi, Fungsionalisme dan
Strukturalisme lebih diutamakan ketimbang tindakan dan sifat-sifat mengekang dari
struktur sangatlah ditekankan (Giddens, 1984:2). Fungsioanalisme dan Strukturalisme
berangkali merupakan tradisi besar intelektual yang terkemuka dalam teori sosial
sepanjang tiga atau empat puluh tahun yang silam. Baik Fungsionalisme dan
Strukturalisme, jika ditelusuri, akar pikirannya masih kembali ke Durkheim. Walaupun
demikian, dalam menyusun Teori Strukturasi, Giddens juga meminjam beberapa term

13
Strukturalisme dan Fungsionalisme. Biarpun teori Strukturasi berusaha mencari titik
temu antara hubungan agen-struktur atau makro-mikro, Teori Strukturasi masih
bernuansa memberi tekanan pada agen. Agen Giddens lebih banyak mempunyai
kekuasaan, Hal ini berbeda dengan teori yang dikembangkan oleh Bourdieu. Bourdieu
lebih menekankan Habitus, sehingga nuansa teori yang dibangunnya lebih mekanis
(Ritzer, 2003, 541).
Dalam menyusun Teori Strukturasi, Giddens sedikit banyak berhutang pada
gagasan-gagasan Strukturalisme. Hal tampak dalam catatan catatannya Giddens
(1979:68-73) atas Strukturalisme, yaitu (1) Teori Strukturalis menunjukkan pentingnya
penciptaan ruang melalui perbedaan dalam proses konstitusi bahasa dan masyarakat,
(b) pemikiran Strukturalis berupaya memasukkan dimensi waktu ke dalam pusat
analisis itu sendiri, (c) pemikiran strukturalis menunjukkan bahwa ‘jarak dalam waktu’
dalam beberapa aspek pentingnya sama dengan ‘jarak etnografis’, (d) Teori
Strukturalis menawarkan kemungkinan pemahaman yang lebih memuaskan tentang
totalitas sosial daripada yang ditawarkan oleh Fungsionalisme. Menurut
Fungsionalisme, masyarakat bisa dipotret sebagai pola hubungan diantara ‘bagian-
bagian’, sementara Teori Strukturalis mengajukan gagasan bahwa masyarakat seperti
bahasa, sebaiknya dipandang sebagai ”sistem maya’8 dengan sifat berulang, dan (e)
dalam Teori Strukturalisme ada upaya gerakan untuk melampaui dualisme
subjek/objek.
Sementara itu, Giddens (1979:108-111) juga memberikan catatan atas
gagasan Levi-Strauss, yaitu (1) struktur bermakna sebuah model yang dibangun oleh
pengamat, dan menurut kata-katanya ‘tidak ada sangkut pautnya dengan dunia
empiris. Giddens berpendapat struktur memiliki “eksistensi maya”, (2) strukturalisme
Levi-Strauss kekurang konsep stuktur sebagai strukturasi, (3) pendekatan Levi-
Strauss tampaknya ambigu ketika menganggap struktur sebagai relasi diantara
serangkaian unsur atau opisisi simpulan. Giddens tidak memandang struktur, dalam
pengertiannya yang paling dasar, merujuk pada bentuk-bentuk himpunan, namun lebih
mengacu kepada aturan dan sumber daya, yang dalam reproduksi sosial “mengikat
waktu, (4) gagasan tentang struktur yang digunakan oleh Levi-Strauss berkaitan
dengan kelemahan dasar, dalam kaitannya penciptaan ruang semantik Praksis.
Berbicara secara ketat itu tidak ada sesuatu yang disebut ‘aturan transformatif; semua
aturan sosial berciri transformasional, dalam pengertian bahwa struktur tidak
termanifestasikan ke dalam empiris aspek-aspek sosia, (5) jikalau struktur hadir (dalam
ruang-waktu) hanya dalam wujud sekilas, maka struktur pasti meliputi acuan ke
fenomena yang sangat asing bagai upaya Strauss untuk mengatasi formalisme dengan
menekankan bentuk sebagai perwujudan isi; fenomena yang berkaitan dengan
kekuasaan. Pada sisi lain, Interaksionalisme simbolik sangat menitikberatkan
pandangan tentang kehidupan sosial sebagai sebuah prestasi aktif dari para aktor
yang berpengetahuan dan bertujuan, dan interaksionisme simbolik dikaitkan dengan
teori subjek, seperti yang diuraiakan Mead bahwa asal usul sosial bagi kesadaran
refleksif (Giddens, 1979:84). Bagi Giddens, apa yang dipaparkan interaksionalisme
simbolik tidak memadai untuk menjelaskan perilaku manusia. Bagi Giddens, pelaku
pertama harus dikaitkan dengan teori tentang subjek yang beraksi, dan kedua harus
menempatkan aksi ke dalam ruang dan waktu sebagai arus perilaku yang terus
mengalir, bukannya memperlakukan tujuan, alasan, dan lain-lain sebagai sesuatu yang
dihimpun bersama-sama (Giddens, 1979: xiv). Perilaku aktor di dalam masyarakat
harus disikapi sebagai hasil dari perpaduan antara determinan sosial dan psikologis,
ketika determinan sosial mendominasi determinan yang dialamatkan kepada unsur-
unsur normatif (Giddens, 1979:87). Giddens memahami teori subjek mencakup model
stratifikasi kepribadian yang disusun berdasarkan tiga lapis hubungan, yaitu alam tak
sadar, kesadaran praktis, dan kesadaran diskursif. Inilah yang nantinya menjadi
fundamental Teori Strukturasi (Giddens, 1979: xiv). Giddens berusaha melintasi

14
orientasi yang bermacam-macam itu dengan memikirkan kembali tujuan, dan
hubungan antara tindakan dan struktur. Term yang digunakan adalah dualitas struktur.
“Melalui dualitas struktur”, Giddens memaksudkan bahwa struktur sosial (keduanya)
terdapat dalam lembaga sosial dan pada saat yang sama struktur tersebut menjadi
aturan yang sangat sederhana. Setiap tindakan produksi secara bersamaan berarti
tindakan reproduksi:struktur yang memungkinkan suatu tindakan dikembangkan
(Thompson, 1984:240-241).
Menurut Teori Strukturasi, domain kajian ilmu-ilmu sosial adalah praktik-praktik
sosial yang terjadi disepanjang ruang dan waktu. Maksudnya, aktivitas-aktivitas sosial
itu tidak dihadirkan oleh para aktor sosial, melainkan terus menerus diciptakan oleh
mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka sebagai aktor. Di dalam dan
melalui aktivitas-aktivitas mereka, para agen memproduksi kondisi-kondisi yang
memungkinkan keberadaan aktivitas-aktivitas itu (Giddens, 1984:3). Konsep Teori
Strukturasi terletak pada ide-ide mengenai agen, struktur, sistem, dan dualitas struktur.

B. Pendidikan Dalam Perspektif Teori Strukturasi

Teori Strukturasi Anthony Gildens menyatakan bahwa individu adalah agen


sosial dengan kemampuan dapat merombak struktur soisal yang ada. Individu yang
berperan sebagai agen sosial setidaknya memiliki kepribadian kuat sehingga tidak
hanya memberi warna terhadap struktur sosial yang ada tetapi juga dapat merubah
struktur yang ada. Pendidikan memiliki tujuan untuk membekali individu dengan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap sehingga mampu meningkatkan kualitas dirinya.
Pendidikan yang berkaitan erat dengan anak didik, tentu saja dapat dikategorikan
sebagai pencetak agen-agen sosial di masa depan. Anak didik yang berperan sebagai
agen sosial perlu untuk dipersiapkan. Tugas keluarga, guru, sekolah, pemerintah, dan
masyarakat berkewajiban untuk melancarkan proses pencapaian tujuan pendidikan.
Keunikan setiap anak didik sudah sepantasnya dipandang sebagai suatu kelebihan
yang dimiliki dalam upayanya menjadi seorang agen sosial. Agen sosial yang dibentuk
tentu memiliki berbagai kualitas yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik,
sehingga agen sosial tersebut akan berpengaruh terhadap pencapain struktur sosial
yang ada. Maka, dapat dikatakan bahwa adanya sifat saling mempengaruhi antar agen
sosial dan struktur sosial. Dengan adanya peserta didik dengan kualitas yang baik,
maka struktur sosial pun akan tercapai karena telah berhasil menciptakan agen sosial
yang berkualitas. Begitu pula sebaliknya, terciptanya agen-agen sosial yang
berkualitas karena adanya struktur sosial yang baik karena menjadi salah satu wadah
dalam membentuk karakter individu itu sendiri. Pendidikan telah menyediakan wadah
untuk membentuk karakter peserta didik dengan berbagai konsep pembelajaran yang
telah disusun oleh pusat dan seterusnya akan dipelajari dan disampaikan oleh para
pengajar (guru atau dosen) serta akan disampaikan dengan cara yang berbeda-beda
kepada peserta didik. Untuk membuat kesan pembelajaran lebih baik seorang
pengajar dituntut untuk melakukan berbagai cara dalam membuat situasi menjadi
nyaman. Hal tersebut akan membuat peserta didik dengan mudah memahami maksut
yang disampaikan oleh guru atau dosennya. Apabila peserta didik telah mengerti
materi yang disampaikan maka para pengajar telah dikatakan berhasil dalam
membimbing peserta didik. Peserta didik yang telah memahami materi yang
disampaikan serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sosialnya maka menurut
Anthony Gildens menyatakan bahwa individu tersebut telah menjadi agen sosial.
Tetapi, proses diatas tidak akan selamanya berjalan dengan baik, karena peserta didik
memiliki kemampuan dan latar belakang yang berbeda-beda. Hal inilah yang
dikemukakan oleh Anthony Gildens bahwa Individu yang berperan sebagai agen
sosial tidak hanya memberi warna terhadap struktur sosial yang ada tetapi juga dapat
merubah struktur yang ada. Oleh karena itu, dibutuhkan keseimbangan antara

15
pembentukan agen sosial dengan struktur sosial yang ada agar tercapainya tujuan
yang diinginkan.

16
KESIMPULAN

1. Struktural Fungsional menekankan pada keteraturan. Teori ini memandang


masyarakat sebagai suatu sistem sosial (social system) yang terdiri dari bagian-bagian
yang terkait dan menyatu dalam keseimbangan, sehingga jika satu diantaranya tidak
berfungsi maka akan merusak keseimbangan suatu sistem. Aplikasi Fungsional
Stuktural dalam Pendidikan Lembaga pendidikan didorong untuk melakukan
manajemen transformatif, model dan gaya kepemimpinan yang diharapkan dan
diperlukan di saat globlalisasi ini.
2. Teori interaksionalisme simbolik beranggapan bahwa individu adalah obyek yang
dapat secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu
lain, interaksi antara individu dan kelompok, dan interaksi antar kelompok dengan
kelompok dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda,
isyarat dan kata-kata. Pengaplikasian teori Interaksionalisme Simbolik dapat dilihat dari
hubungan seorang guru dengan peserta didik yang diatur oleh sebuah pola dimana
peserta didik sebagai orang yang akan menerima informasi dan guru sebagai orang
yang akan melakukan trasformasi pengetahuan. Biasanya dalam proses ini terbentuk
label terhadap peserta didik dan mengandung makna-makna yang diberikan guru
dengan interpretasi penilaian yang ada.

3. Teori konflik berangkat dari asumsi dasar bahwa terjadinya perbedaan kelas antar
suatu individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena adanya
perbedaan kepentingan yang akan melicinkan jalan terciptanya sebuah masyarakat.
Pendidikan dalam structural konflik melihat bahwa setiap individu di dalam kelas
mempunyai perbedaan pendapat, kepentingan, dan keinginan yang dapat
memunculkan konflik karena sebagaimana diketahui, didalam satu kelas berisi siswa
dari multikultur atau multi etnis sehingga dapat menimbulkan konflik baik konflik yang
bersifat negatif maupun konflik yang bersifat positif.

4. Teori Strukturasi Anthony Gildens menyatakan bahwa individu adalah agen-agen


sosial dengan kemampuan dapat merombak struktur soisal yang ada. Dalam perpektif
pendidikan agen yang dibahas disini adalah peserta didik sedangkan struktur sosialnya
adalah guru, orang tua, dan pemerintah.

17
ANALISIS KRITIS

Pendidikan merupakan upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana


belajar dan proses pembelajaran untuk peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat. Pendidikan adalah salah satu wadah untuk membentuk karakter individu
dalam pola fikir dan tingkah laku baik dalam bermasyarakat dan bernegara. Pendidikan
yang didapatkan seorang indivdu dimulai ketika ia baru lahir. Tempat sosialiasi
pertama seorang anak adalah pendidikan yang berasal dari kedua orang tuanya.
Orang tua akan senantiasa membimbing anaknya untuk menanamkan nilai-nilai baik
dalam bertingkah laku. Selanjutnya, seorang anak akan mendapatlkan pendidikan
formal dari SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi. Dengan adanya pendidikan
seorang anak akan dilatih untuk mengembangkan bakat yang ia miliki, melalui
pendidikan juga seseorang akan mengetahui berbagai informasi yang tidak pernah dia
dapat sebelumnya. Perspektif pendidikan yang ada dapat dikaji dengan menggunakan
beberapa teori sosiologi yaitu: teori structural fungsional, teori konflik, teori
interaksionalisme simbolik, dan teori strukturasi.
Teori structural fungsional adalah teori yang menitikberatkan pada keteraturan
soisal. Teori ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial (social system)
yang terdiri dari bagian-bagian yang terkait dan menyatu dalam keseimbangan,
sehingga jika satu diantaranya tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan
suatu sistem. Teori ini berasumsi bahwa sistem sosial adalah suatu struktur yang
tersusun dari beberapa bagian yang saling berkaitan, apabila terjadi disfungsi pada
satu bagian maka akan mempengaruhi bagian lainnya. Comte berpendapat bahwa
dalam teori struktural fungsional terdapat hubungan ketergantungan antara bagian-
bagian dalam sistem sosial. Jika hubungan keharmonisan antara keseluruhan dan
bagian-bagian tersebut terganggu, maka sistem tersebut akan mengalami suatu
keadaan patologis. Implikasi pendidikan dalam perspektif teori structural fungsional
yaitu pendidikan sebagai wadah dalam pembentukan karakter diri dari peserta didik.
Didalam wadah tersebut terdapat sebuah strukutur seperti kepala sekolah dan wakil
kepala sekolah, devisi kemahasiswaan, Tata Usaha dan para guru serta peserta didik
yang terdapat didalam sebuah lembaga atau institusi formal. Jika terdapat salah satu
bagian yang disfungsi maka bagian lainnya akan berubah. Hal inilah dibutuhkan kerja
sama dalam bagian-bagian tersebut dengan fungsi masing-masing untuk senantiasa
mencapai tujuan bersama. Manajemen yang terdapat dalam pendidikan juga dituntut
untuk selalu berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi yang ada baik kualitas
para pengajar, kelengkapan fasilitas sekolah, serta terciptanya lingkungan belajar yang
nyaman dan menyenangkan.
Teori konflik berasumsi dasar bahwa terjadinya perbedaan kelas antar
suatu individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena adanya
perbedaan kepentingan yang akan melicinkan jalan terciptanya sebuah masyarakat.
Biasanya untuk menggapai sebuah perubahan kearah yang lebih baik perlu melewati
konflik atau perbedaan kepentingan yang ada. Apabila konflik telah dilewati maka akan
menemukan solusi yang dapat membuat suatu keputusan bersama kearah yang lebih
baik. Konflik dapat dibagi menjadi dua yaitu konflik yang bersifat vertikal dan horizontal.
Konflik vertikal adalah konflik yang lumrah terjadi, yaitu adanya konflik antar pemilik
modal dan para buruh yang didasarkan pada tuntutan hak-hak para buruh yang
menuntut gaji sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Terkadang, konflik
vertikal terjadi karena adanya eksploitasi yang dilakukan pemilik modal terhadap para
buruh mengenai upah yang tidak sesuai dengan waktu mereka bekerja. Sedangkan
konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat

18
lain atau antara masyarakat dengan pemerintah. Konflik horizontal biasanya terjadi
karena adanya perebutan sengketa kepemilikan lahan. Aplikasi dalam perspektif teori
konflik dalam pendidikan sendiri yaitu ketika peserta didik yang ada dalam satu
kawasan sekolah memiliki ras, agama, bahkan suku bangsa yang berbeda-beda. Hal
ini tentu akan menimbulkan konflik karena dengan adanya konflik maka mereka akan
dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap teman-temannya. Konflik yang
terjadipun akan bersifat positif dan negatif bagi peserta didik.
Teori interaksionalisme simbolik beranggapan bahwa individu adalah obyek
yang dapat secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan
individu lain, interaksi antara individu dan kelompok, dan interaksi antar kelompok
dengan kelompok dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi
tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Menurut perspektif interaksionalisme simbolik yang
dapat dilihat dari pendidikan yaitu ketika seorang guru menyatakan bahwa barisan
depan dalam suatu kelas adalah orang-orang pintar sedangkan barisan belakang
adalah orang-orang yang nakal, maka seorang guru telah memberikan simbol kepada
peserta didik berdasarkan posisi duduknya. Simbol-simbol yang diberikan oleh guru
tersebut karena didasarkan hasil observasi selama proses belajar mengajar serta
ditambah dengan penilaian yang diberikan guru kepada peserta didiknya.
Teori Strukturasi Anthony Gildens menyatakan bahwa individu adalah agen-
agen sosial dengan kemampuan dapat merombak struktur soisal yang ada. Individu
yang berperan sebagai agen sosial setidaknya memiliki kepribadian kuat sehingga
tidak hanya memberi warna terhadap struktur sosial yang ada tetapi juga dapat
merubah struktur yang ada. Pendidikan memiliki tujuan untuk membekali individu
dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap sehingga mampu meningkatkan
kualitas dirinya. Dengan adanya pendidikan dari seorang guru, orang tua, dan
pemerintah yang merupakan struktur sosial yang dapat membentuk agen-agen sosial
yang berkualitas. Terciptanya agen-agen sosial yang berkulaitas juga dapat mengubah
struktur sosial yang ada seperti struktur sosial dalam dunia pendidikan bahkan struktur-
struktur yang ada pada masyarakat. Oleh karena itu, pembentukan agen-agen sosial
sangat berpengaruh dengan struktur-struktur sosial yang ada begitu pula sebaliknya
perubahan pada struktur sosial terjadi karena adanya agen-agen sosial yang
berkualitas didalamnya.
Didalam dunia pendidikan serta proses pembelajaran terdapat beberapa hal
yang dapat ditelaah dengan mengguanakan teori-teori sosiologi. Perspektif pendidikan
dapat dikaji dengan menggunakan teori structural fungsional, teori konflik, teori
interaksionalisme simbolik, dan teori strukturasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli
sosiologi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Maunah, Binti. 2016. Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Fungsional. Maunah,


Binti Pendidikan dalam Perspektif Struktural Fungsional Cendekia. 10(2): 159-178

Bahri, Samsul. 2016. Perspektif TeoriI Struktural Fungsionalisme Tentang Ketahanan


Sistem Pendidikan Pesantren. Jurnal ilmu keislaman.Vol 40 No 1

Maunah, Binti. 2015. Pendidikan Dalam Perpektif Teori Konflik. Cendikia Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran. 9(1):71

Muhammad Bahtiar Taufiqur Rohman. 2016. Interaksionalisme Simbolik Dalam


Pendidikan Karakter Pada Kegiatan Pramuka Di SMA NEGERI 1 MOJOLABAN
(skripsi). Surakarta. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret

Muhammad Rusydi Rasyid. 2015. Pendidikan Dalam Perspektif Teori Sosiologi.


Pendidikan Dalam Perspektif Teori Sosiologi Muhammad Rusydi Rasyid. Vol. 2 No. 2:
274-286

Moch Syahri. 2015. Anthony Giddens dan Teori Strukturasi (skripsi). Surabaya.
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Univesitas Airlangga Surabaya

https://masdwihatmoko.blogspot.com/2016/11/melihat-pendidikan-dari-kacamata-
teori.html?m=1

https://www.researchgate.net/publication/323909873

https://djauharul28wordpresscom.cdn.ampproject.org/v/s/djauharul28.wordpress.com/2
011/06/18/pendidikan-dalam-perspektif-struktural-konflik/amp/

http://jurnalmiqotojs.uinsu.ac.id/indek.php/auladuna/article/dwonload/882/852

20
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
Jl. Majapahit No. 62 Mataram
e-mail : sosiologi@unram.ac.id, Website : www.sosiologi.unram.ac.id

LEMBAR JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


SEMESTER GANJIL TA. 2020/2021

Mata Kuliah : SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Kelas : SOSIOLOGI A

Hari/tanggal : Jumat, 16 Oktober 2020

Nama Mhs : Sri Nurhayati No. Mhs: L1C018101

PERNYATAAN

Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni
hasil pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang
lain, baik dari sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki
kesamaan dengan tulisan rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang
diberikan oleh dosen pengasuh matakuliah ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan
bertanggung jawab.

Tanda Tangan :

21
22

Anda mungkin juga menyukai