Anda di halaman 1dari 22

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI-TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL,

TEORI KONFLIK, TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK, SERTA TEORI


STRUKTURASI

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Sosiologi Pendidikan

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Iin Marya Rizka


NIM : L1C018037
Fakultas&Prodi : FISIPOL & Sosiologi
Semester : 5 (lima)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

UNIVERSITAS MATARAM

T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya
tugas PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI-TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL,
TEORI KONFLIK, TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK, SERTA TEORI
STRUKTURASI yang disusun sebagai tugas terstruktur.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr Dr. Taufiq Ramdani,
S.Th.I., M.Sos sebagai dosen pengampuh Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan yang telah
memberikan tugas ini sehingga menambah pengetahuan dan wawasan saya.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat yang bisa menambah
wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu
pengetahuan khususnya dibidang Sosiologi.

Mataram, 16 Oktober 2020

(Iin Marya Rizka, L1C018037)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR IS.................................................................................................................... iii

BAB I. Pendidikan Dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural...................................1

BAB II. Pendidikan Dalam Perspektif Teori Konflik........................................................7

BAB III. Pendidikan Dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik.........................10

BAB IV. Pendidikan Dalam Perspektif Teori Strukturasi...............................................13

KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS........................................................................16

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................18

LAMPIRAN................................................................................................................... 19

iii
BAB I

Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural

A. Hakikat Pendidikan

Hakikat Pendidikan dari bahasa adalah perbuatan mendidik (hal, cara dan
sebagainya) danberarti pula pengetahuan tentang mendidik atau pemeliharaan (latihan-
latihan dan sebagainya)badan, dan batin (Poerwadarminto, 1991:250). Para pakar
biasanya menggunakan istilahtarbiyah, dalam bahasa arab. Penggunaan kata tarbiyah
untuk arti pendidikan (education)merupakan pengertian yang sifatnya ijtihad
(interpretable) (Nata, 2012:21). Hal yang samadiungkapkan oleh Abdul Mujib bahwa:
Pendidikan dalam bahasa arab biasanya memakaiistilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah,
irsyad, dan tadris (Mujib, 2006:10).Adapun pendidikan dari segi istilah antara lain
adalah:Pendidikan sebagai setiapusaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang
diberikan kepada anak tertuju kepadapendewasaan anak itu, atau lebih tepatnya
membantu anak agar cukup cakap melaksanakantugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu
datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan olehorang dewasa seperti sekolah,
buku, putaran hidup sehari-hari dan sebagainya) dan ditujukankepada orang yang belum
dewasa (Hasbullah, 2001:2). Hal senada juga dikatakan bahwa:Pendidikan merupakan
rangkaian usaha membimbing mengarahkan potensi hidup manusiayang beruopa
kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga
terjadilahperubahan di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual dan
sosial sertahubunganya dengan alam sekitar di mana ia hidup (Arifin, 1993:54).

B. Pengertian Teori Struktural Fungsional

Struktural Fungsional dinamakan juga sebagai fungsionalisme struktural.


Fungsionalisme struktural memiliki domain di teori Konsensus. Masyarakat dalam
perspektif teori ini dilihat sebagai jaringan kelompok yang bekerja sama secara
terorganisasi dan bekerja secara teratur, menurut norma dan teori yang berkembang
(Purwanto, 2008:12.) Struktural Fungsional adalah sebuah sudut pandang luas dalam
sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah
struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan
masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituenya;
terutama norma, adat, tradisi dan institusi (Idi, 2013:24). Teori ini juga merupakan
bangunan yang bertujuan mencapai keteraturan sosial. Pemikiran Struktural Fungsional
sangat terpengaruh dengan pemikiran biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang
mempunyai saling ketergantungan yang merupakan konsekwensi agar organis meter
sebut tetap dapat bertahan hidup.Teori Fungsional Struktural menekankan pada unsur-
unsur stabilitas, Integritas,Fungsi, Koordinasi dan Konsensus. Konsep fungsionalisme
maupun unsur-unsur normative maupun perilaku sosial yang menjamin stabilitas sosial.
Teori fungsional menggambarkan masyarakat yang merupakan sistem sosial yang
kompleks, terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling

1
ketergantungan.Parsons mengatakan bahwa teori-teori sosiologi modern tahun 1986,
masyarakat akan berada dalam keadaan harmonis dan seimbang bila institusi/atau
lembaga-lembaga yang adapada masyarakat dan negara mampu menjaga stabilitas pada
masyarakat tersebut. Strukturmasyarakat yang dapat menjalankan fungsinya dengan
baik dan tetap menjaga nilai dan norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, maka
hal ini akan menciptakan stabilitas pada masyarakat maka hal ini akan menciptakan
stabilitas pada masyarakat itu sendiri (Sidi, 2014).Adapun menurut Geoge Ritzer bahwa
masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen
yang mempunyai kaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang
terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pulaterhadap bagian yang lain
(Ritzer, 2004:v).

C. Teori Struktural Fungsional

Teori fungsional struktural menurut Veeger (1990:16) memiliki suatu pemikiran


dariAugust Comte (1798-1857) yang merupakan bapak Sosiologi. Tradisi August Comte
dapatdilihat dari karyanya Herbert Spencer (1820-1903) (Veeger, 1990:36) dan Emile
Durkheim(1857-1917) (Veeger, 1990:139). Struktural Fungsional muncul karena semangat
Renaisance, pada masa August Comte sekitar abad ke 17 M. Pada abad ini muncul
kesadaran yang mula-mula beranggapan bahwa manusia tidak mempunyai otoritas
untuk menjelaskan danmengelola fenomena yang terjadi dalam masyarakat, semua
sudah ditentuakn oleh yang “diAtas”, kemudian dipahami aturan dari yang “di Atas”
bukan selama-lamanya. Artinya ada“celah” yang diberikan oleh yang “di Atas “
kepada manusia untuk mengelolanya(Puspitasari, 2009:10). Merton dalam Y Bunu
mengatakan bahwa obyek analisis sosiologi adalah fakta sosialseperti; peranan sosial,
pola-pola institusi, proses sosial, organisasi kelompok, pengendaliansosial, dan
sebagainya. Mereka yang menganut teori ini cenderung memusatkan perhatiankepada
fungsi dari satu fakta sosial terhadap fakta sosial yang lain. Meskipun
menurutMerton, pengertian fungsionalisme struktural lebih banyak ditujukan pada
fungsi-fungsidibandingkan dengan motif-motif. Fungsi adalah akibat yang dapat diamati
menuju adaptasiatau penyesuaian dalam suatu sistem (Bunu, 2012:26).

D. Asumsi Dasar Teori Struktural Fungsional

Masyarakat adalah sebuah kelompok yang di dalam masyarakat itu sendiri


terdapatbagian-bagaian yang dibedakan. Bagian-bagian tersebut fungsi nya satu
dengan yang lainberbeda-beda, tetapi masing-masing membuat sistem itu menjadi
seimbang. Bagian-bagian itusaling mandiri dan mempunyai fungsional, sehingga jika
satu diantaranya tidak berfungsimaka akan merusak keseimbangan suatu sistem. Hal
inilah yang menjadi pemikiran EmileDurkheim dalam teorinya Parson dan Merton
mengenal teori Struktural Fungsional. EmileDurkheim dalam teorinya struktural fungsional
juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber.

2
Penekanan teori struktural fungsional adalah pada perspektif harmoni
dankeseimbangan. Asumsi-asumsi dasar dari teori ini adalah: Pertama, Masyarakat
harus dilihatsebagai susatu sistem yang kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang saling
berhubungan dansaling tergantung, dan setiap bagian tersebut berpenngaruh secara
signifikan terhadap bagian-bagian lainnya; Kedua, Semua masyarakat mempunyai
mekanisme untuk mengintegrasikan diri;sekalipun integrasi sosial tidak pernah tercapai
dengan sempurna, namun sistem sosiaal akansenantiasa berproses ke arah itu; Ketiga,
Perubahan dalam sistem sosial umumnya terjadi secaragradual, melalui proses
penyesuaian, dan tidak terjadi secara revolusioner. Keempat, Faktor terpenting yang
mengintegrasikan masyarakat adalah adanya kesepakatan di antara paraanggotanya
terhadap nilai-nilai masyarakat tertentu; dan yang ke lima, Masyarakat cenderung
mengarahkepada suatu keadaan equalibrium.

E. Teori Fungsionalisme Struktural Merton

Merton adalah seorang ahli sosiologi terkemuka masa kini yang kritis terhadaqp
gayaberteori Parsons yang abstrak dan agak muluk (granddiose) (Johnson, 1986:145).
Mertondengan fasih mengemukakan bahwa para ahli sosiologi harus lebih maju lagi
dalammeningkatkan disiplinya dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah”
(theories ofmidle-range) daripada teori-teori besar, sekurang-kurangnya pada tahap
kematangan disiplinsekarang ini (Johnson, 1986:146).Merton menaruh perhatian besar
akan dampak suatu tindakan manusia terhadapmasyarakat yang dapat bersifat
fungsional, dalam arti meningkatkan fungsi masyarakat, tetapi apat pula bersifat
disfungsional. Implikadsi teori Merton mengajak untuk lebih waspada jikakita akan
melakukan suatu tindakan, karenamungkin keberhasilan dalam bertindak itu justruakan
menciptakan masalah yang berat.Bagi Merton, pendekatan fungsional bukanlah suatu
teori komprehensif dan terpadu,melainkan suatu strategi untu analisa. Merton
memperkenalkan beberapa kualifikasi danpengecualian dari beberapa asumsi, implisit
yang kelihatanya sudah dipergunakan oleh parafungsionalis. Ini termasuk dalam
“paradigma”-nya untuk analisa fungsional yang pada intinyamemberikan suatu daftar isian
pertanyaan yang harus diingat oleh para fungsionalis dalampenelitianya (Merton,
1968:39).

F. Teori Fungsionalisme Talcott Parsons (1902) (Vegeer, 1990:199)

Teori Fungsional dari Parson (Parson, 1977:251) menganggap bahwa masyarakat


padadasarnya terintegrasi atas dasar kata sepakat para nggotanya akan nilai
kemasyarakatan. Teorimemandang sebagai suatu sistem secara fungsional terintegrasi ke
dalam suatu equilibrium.Dengan demikian teori ini disebut juga sebagai teori
konsensus atau integration theory(Ellwood, 1988:23). Dalam perspektif Parsons
pendidikan merupakan proses sosialisasi yangdalam diri individu-individu
memungkinkan berkembangnya rasa tanggung jawab dankecakapan-kecakapan
(commitment dan capacities) yang semuanya diperlukan dalammelaksanakan peran
social.

3
Teori fungsionalisme struktural parsons yang paling terkenal adalah skema
AGIL.Yang memuat empat fungsi penting yang diperlukan untuk semua sistem “tindakan”
yaitu(Adaption; Goal attainment; Intregration; Latency). Pada tataran kelembagaan
TalcottParson berpendapat bahwa semua lembaga yang ada pada hakekatnya adalah
suatu sistem dansetiap lembaga akan menjalankan 4 (empat) fungsi dasar yang disebut
A-G-I-L yang berasaldari empat konsep utama yang sangat penting dalam teori
Struktural Fungsional, yaitu :Adaptation, Goal Atainment, Integration dan Latency
(Johson, 1986:128-135). Dengan empatpersyaratan yang disebut sebagai model AGIL
atau paradigma fungsi AGIL, maka dapatlahdipertahankan fungsi dan dapat memenuhi
kebutuhan individu. Parson menilai bahwasesungguhnya perilaku sebagai subsistem
yang adaptif dan sebagai tempat bagi fasilitasmanusia. Masing-masing sub sistem
tersebut (sistem kultural sosial, kepribadian, danorganisme perilaku fungsional
imperatif) yang disebut sebagai AGIL tersebut.

Adaption: (adaptasi), artinya sebuah sistem harus menanggulangi situasi


eksternalyang gawat. Sistem diharuskan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta
lingkungan itudengan kebutuhanya. sistem sosial (masyarakat) selalu berubah untuk
menyesuaikan diridengan perubahan-perubahan yang terjadi, baik secara internal
ataupun eksternal. Adaptionyaitu merupakan fungsi penyesuaian diri yang berarti bahwa
suatu sistem sosial jika inginbertahan, maka harus ada struktur atau institusi yang mampu
melaksanakan fungsi adaptasiterhadap lingkungan sekitar.

Goal Attainment: (pencapaian tujuan), artinya sebuah sistem harus


mendefinisikandan mencapai tujuan utama. setiap sistem sosial (masyarakat) selalu
ditemui tujuan-tujuanbersama yang ingin dicapai oleh system sosial tersebut.

Integration (integrasi), artinya sebuha sistem harus mengatur hubungan antar


bagian yangmenjadi komponenya, sistem juga harus mengelola hubungan antar
ketiga fungsi lainya.setiap sysstem selalu terintegrasi dan cenderung bertahan pada
equalibrian (keseimbangan).Kecenderungan ini dipertahankan melalui kemampuan
bertahan hidup demi system.Integration ini merupakan suatu kebutuhan guna
mengkoordinasikan, menyesuaikan,mengendalikan relasi-relasi antar aktor, unit dalam
sistem agar sistem tersebut tetapmempunyai fungsi.

Latency (pemeliharaan pola), artinya sebuah sistem harus melengkapi,


memeliharadan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola kultural yang
menciptakan danmenopang motivasi. system sosial selalu berusaha mempertahankan
bentuk-bentuk interaksiyang relatif tetap dan setiap perilaku menyimpang selalu
diakomodasi mellaui kspakatan-kesepakatan yang diperbaharui secara terus-
menerus.Latency merupakan suatu pola dari suatusistem guna mempertahankan dari
ancaman atau buday, supaya nilai-nilai dapatditarnsformasikan dan konformitas dapat
dipelihara.

4
G. Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Fungsional

Gejala-gejala dan kondisi pendidikan tidak pernah dapat dilepaskan dari sistem
sosial.Dalam hal ini khususnya pendidikan Islam dalam nilai-nilai sosial harus
menciptakanhubungan yang interaktif dan senantiasa menanamkan nilai-nilai sosial.
Sedangkan dalammenerapkan nilai-nilai sosial dimasyarakat mengandung cara-cara
edukatif (Mujamil Qomar, 2013:111). Pengelompokan serta penggolongan yang
terdapat di masyarakat mempunyaiperan, bentuk serta fungsi, konsep-konsep
tersebut yang di pakai landasan dalam teoristruktural fungsional.. teori ini mempunyai
ektrimisme yang terintegrasi dalam semua evendalam sebuah tatanan fungsional. Bagi
suatu masyarakat, sehingga berimplikasi terhadapbentuk kepaduan dalam setiap
sendi-sendi struktur dalam wilayah fungsional masyarakat.Pendidikan dalam era
global saat ini juga mempunyai peran yang sangat besar dalammembentuk struktur
maupun startifikasi social.

Teori Struktural Fungsional tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan maupun


masyarakat.Stratifikasi yang berada di masyarakat mempunyai fungsi. Ekstrimisme
teori ini adalahmendarah dagingnya asumsi bahwa semua even dalam tatanan adalah
fungsional bagi suatumasyarakat. Berbicara tentang masyarakat maka hal tersebut tidak
bisa dipisahkan dengan“integrasi” --satu kesatuam yang utuh, padu (Dahlan, 2001:264).
Hal ini seperti yang telahdikemukakan Talcott Parsons dalam pengertian Sosiologi
Pendidikan, yang berarti bahwastruktur dalam masyarakat mempunyai keterkaitan
atau hubungan satu dengan yang lain.Pendidikan khususnya, tidak bisa dipisahkan
dengan struktur yang terbentuk oleh pendidikanitu sendiri. Demikian pula, pendidikan
meruipakan alat untuk mengembangkan kesadaran dirisendiri dan kesadaran sosial
(Wahyu, 2006:1).

Anggota masyarakat jika sesuai dengan perananya akan membatasi mengenai


peranan(fungsi): misalnya sebagai orang tua, anggota militer, usahawan, pembentuk
serikat kerja,konsumen, produsen, penduduk dan lain sebagainya. Hal tersebut
mempunyai guna danmanfaat dalam pengendalian masyarakat, masing-masing akan
mengetahui batas-bataskewenanganya, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat
tidak akan terjadi konflik sertabenturan peranan satu dengan yang lainya, karena
berjalan sesuai dengan fungsi masing-masing.1) Pendidikan dalam Status Kelompok
Stuktural Sosial. Struktur masyarakat jika dilihat daripersilangan yang terjadi terdapat: (a)
Kesukuan /Kedaerahan, (b) Kelas Sosial / Strata(struktur / lapisan ) masyarakat, (c)
Status Pekerjaan / Jenjang jabatan dalam bagianmasyarakat.Ada beberapa suku
yang hidup dalam masayarakat tertentu, masing-masing darimasayarakat itu
menunjukkan dan merasakan adanya ikatan suatu geografis maupunkebudayaan
tertentu yang senada dan berlaku secara turun menurun serta para anggotanyadilahirkan,
dikembangkan dan bertahan dalam kelngsungan hidupnya (viabilitas)persilangan-
persilangan yang terjadi akan mewujudkan rasa kedaerahan. Kelas-kelassosial
merasakan juga adanya ikatan, tujuan, tuntutan, gerakan maupun jenjang, merekaakan

5
mengadakan persilangan antara masing-masing keals dan akan
mewujudkansegmentasi maupun pembentukan bagian yang semakin besar, dalam hal ini
berbentuklapisan masyarakat dan memupunyai pengaruh terhadap kelangsungan hidup
masyarakat.Individu dalam masyarakat yang telah mencukupi umur haruslah bekerja
sesuaidengan bidang dan kemampuan masing-masing. Kenyataan ini menunjukkan
interaksiantar sesama yang mempunyai status pekerjaan yang sama atau mirip
sehingga dapatmenimbulkan pertukaran pengalaman, penegetahuan, pikiran serta
gagasan-gagasanpenting. Persilangan-persilangan status pekerja/pekerjaan akan
melahirkan jenjangpekerjaan yang lebih besar dalam masyarakat (Kreimers, 1984:33).2)
Pendidikan Dalam fungsi-fungsi Masyarakat.

Dalam lembaga menyelenggarakan berbagai macam fungsi, dalam lembaga


keluargamemperhatiakan dan memberikan perlindungan keluarga satu dengan yang
lain,menyelenggarakan fungsi-fungsi ekonomi, ayah ibu dan kakak juga berfungsi
sebagai engganti guru ketika berada di rumah, memberikan gizi dan obat-obatan
serta gizimaupun pelayanan sosial-sosial lainya.

Lembaga masyarakatpun juga mempunyai fungsi dan tugas yang serupa


denganlembaga keluarga. Dalam lembaga, fungsi-fungsi itu dipisah-pisah dan di bagi-
bagi. Tidakdapat diperkirakan bahwa suatu fungsi sosial tertentu diselenggarakan secara
eksklusifoleh suatu lembaga. Jika kita memahami pendidikan dengan seluruh
kegiatan-kegiatannya, dimana anak-anak belajar dan dipelajari teknik-teknik, kebiasaan-
kebiasaanserta perasaan-perasaan pada masyarakat dimana hidup, adalah nyata bahwa
sekolah tidakmelakukan monopoli atas pendidikan (Kreimers, 1984:220).

6
BAB II

Pendidikan Dalam Perspektif Teori Konflik

A. Hakikat Pendidikan

Pendidikan dari segi etimologis berasal dari bahasa Yunani


“Paedagogike”.Pendidikan merupakan kata majemuk “pais” yang berarti “Anak” dan
“Ago” yang berarti“Aku membimbing”. Jadi,Paedagogike artinya aku membimbing
anak (Hadi, 2005:27).Adapun rumusan pendidikan mempunyai inti: pendidikan
adalah pemanusiaan anak danpendidikan adalah pelaksanaan nilai-nilai (Driyarkara,
1980:18).Dalam pengertian yang sederhana dan umum, makna pendidikan
sebagai usahamanusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-
potensi pembawaan, baikjasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat dan kebudayaan.Dengan kata lain, pendidikan harus mampu
mendidik manusia menjadi manusia.Pendidikan merupakan sebagai proses
perkembangan kecakapan seseorang dalambentuk sikap dan perilaku yang
berlaku dalam masyarakat dan proses sosial di manaseseorang dipengaruhi oleh
suatu lingkungan yang terpimpin misalnya sekolah sehingga diadapat mencapai
kecakapan sosial dan mengembangkanya.

Dalam rangka melakukan dan membangun penguatan peserta didik harus


memperhatikan dan mensin ergikan beberapa yang terkait dengan pendidikan yaitu;
orang tua,masyarakat, pemerintah sekolah sehingga dapat memecahkan bersama jika
terdapat masalah-masalah atau gejala-gejala negatif, antara lain mempunyai
keinginan menyendiri, malas,jenuh, gelisah, kurang percaya diri, tertarik kepada
lawan jenis, rasa malu yang berlebihan,kurang adanya kemauan untuk bekerja,
adanya pertentangan sosialdan suka mengkhayal.Adanya gejala-gejala negatif yang
ada pada remaja pada umumnya, pendidik dalam hal iniguru dan dosen juga orang
tua seharusnya menyadari dan melakukan upaya perbaikanperlakuan sikap
terhadap anak dalam proses pendidikan nonformal maupun formal.

B. Pendidikan dalam Perspektif Struktural Konflik

Pendidikan dalam struktural konflik dimulai dengan menelusuri pemikiran


perspektifstuktural konflik. Teori struktural konflik muncul sebagai pengritik utama
strukturalfungsional (Rifa’i, 2011:189).Adapun resolusi konflik mulai berkembang
era pasca perang dingin. Mengenaipenyelesaianya selalu berhadapan dengan
tantangan-tantangan yang sangat fundamental.Bidang ini mulai muncul pada
tahun 1950-an dan 1960-an, pada puncak Perang Dingin, ketika pengembangan
senjata nuklir dan konflik antara adikuasa tampaknya mengancamkelangsungan
hidup manusia. (Oliver, dkk, 2002).

Teori konflik berpendapat bahwa kehidupan sosial di masyarakat terdapat


berbagaibentuk pertentangam. Paksaan dalam wujud hukum dipandang sebagai

7
faktor utama untukmemelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi
(property), perbudakan (slavery),kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak
kesamaan. Kesenjangan sosial terjadi dalammasyarakat karena bekerjanya
lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-carakekerasan, penipuan
dan penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalahkesenjangan
sosial.

Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat


untukmemperebutkan aset-aset yang bernilai. Jenis dari konflik antara individu,
konflik antarkelompok, dan bahkan antar bangsa. Tetapi bentuk konflik yang paling
menonjol menurutMark adalah konflik yang disebabkan oleh cara produksi barang-
barang yang material.

Karl Mark memandang masyarakat terdiri dari dua kelas yang didasarkan
padakepemilikan sarana dan alat produksi yaitu kelas borjuis dan proletar (Elly,
2011:348). Teoriini terkenal dengan teori Fungsional konflik, yang menekankan
fungsi konflik bagi sistemsosial atau masyarakat (Poloma, 1994:113).

Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,


penyatuandan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat memperkuat antara
kelompom satu dengankelompok yang lain agar tidak menyatu dengan kelompok
yang ada di sekitarnya. Cosermembagi dua kelompok.

Pertama, konflik realitas, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan


khususbahwa yang terjadi dalam hubungan dan perkiraan kemungkinan keuntungan
para partisipandan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan.

Kedua, konflik nonrealistis adalah, konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan
yangantagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak
dari salah satupihak. Dalam kelompok masyarakat yang telah maju membuat
“kambing hitam” sebagaipengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang
seharusnya menjadi lawan mereka(Poloma, 1994:113).

Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional positif maupun negatif.


Fungsionalpositif apabila konflik melawan struktur. Dalam kaitan dengan sistem
nilai yang ada dimasyarakat, konflik dapat bersifat fungsional apabila menyerang
suatu nilai inti (Soetomo,1986:35). Selanjutnya Coser mengatakan bahwa konflik
seringkali disebabkan oleh adanyakelompok masyarakat lapisan bawah yang
semakin mempertanyakan legitimasi tersebutdiakibatkan oleh kecilnya saluran
untuk menyampaikan keluhan-keluhan yang ada (Turner,1991). Berdasarkan
pemikiran Coser tersebut diatas, secara teoritis dapat dijelaskan bahwakekerasan
yang terjadi bisa disebabkan oleh adanya isu-isu yang tidak realistis, isu
tidakrealistis adalah isu yang tujuanya tidak dapat direalisir. Coser mencontohkan
isu tentangagama, etnis dan suku merupakan sesuatu yang tidak realistis. Konflik yang

8
terjadi karena isutersebut dikonsepsikan akan berlangsung secara keras (Halcvy,
Etzioni, Eva and AmitaiEtzioni, 1973).

Menurut Ralf Dahrendof masyarakat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu


kelompokdasar pendidikan kewenangan (authority), yaitu kelas yang memiliki
kewenangan (dominan)dan kelas yang tidak memiliki kewenangan (subyeksi): 1)
Setiap kehidupan sosial beradadalam proses perubahan, sehingga perubahan
merupakan gejala yang bersifat permanen yangmengisi setiap perubahan kehidupan
sosial. Gejala perubahan kebanyakan sering diikuti olehkonflik baik secara personal
maupun secara interpersonal. 2) Setiap kehidupan sosial selaluterdapat konflik
didalam dirinya sendiri, oleh sebab itu konflik merupakan gejala yangpermanen
yang mengisis setiap kehidupan sosial. Gejala konflik akan berjalan seiring
dengankehidupan sosial itu sendiri, sehingga lenyapnya kehidupan sosial. 3) Setiap
elemen dalamkehidupan sosial memberikan andil bagi pertumbuhan dan variabel yang
saling berpengaruh.Elemen-elemen tersebut akan selalu dihadapkan pada
persamaan dan perbedaan. Sehinggapersamaan akan mengantarkan pada
akomodasi sedangkan perbedaan akan mengantarkantimbulnya konflik. 4) Setiap
kehidupan sosial, masyarakat akan terintegrasi di ataspenguasaan atau dominasi
sejumlah kekuatan-kekuatan lain. Dominasi kekluatan secaraberpihak akan
menimbulkan konsiliasi, akan tetapi memandang simpanan benih-benih konflikyang
bersifat laten, yang sewaktu-waktu akan meledak menjadi konflik terbuka
(Elly,2011:369-370).

9
BAB III

Pendidikan Dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik

A. Teori Interaksionisme Simbolik

Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang perspektif ini
mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep
sosiologi. Teori ini beranggapan bahwa individu adalah obyek yang dapat secara
langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–1931),
Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi
antara individu dan kelompok (Poloma, 2007: 254-255). Mereka menemukan bahwa
individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di
dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata Interaksionisme simbolik pada
hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama
relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur-
struktur sosial, bentukbentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang
bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi,
pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri
dianggap sebagai unit analisis, sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar
belakang (Soeprapto, http://www.averroes.or.id/research/teoriinteraksionisme-
simbolik.html).

Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang


berhubungan dengan meaning, language, dan thought. Premis ini kemudian mengarah
pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang dan sosialisasinya dalam
komunitas (community) yang lebih besar (Siburian, http://blog.unila.ac. id/rone/mata-
kuliah/interaksionisme-simbolik), yaitu:

Meaning (Makna)

Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap


sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang obyek
atau orang tersebut.

Languange (Bahasa)

Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Dengan


demikian dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak
melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa
adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itu, teori ini kemudian disebut sebagai
interaksionisme simbolik.

10
Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi
nama yang berguna untuk membedakan satu obyek, sifat, atau tindakan dengan
obyek, sifat, atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua
adalah Manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk
nama, adalah tanda yang arbitrer. Percakapan adalah sebuah media penciptaan
makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah basis
terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui
sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa
Interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.

Thought (Pemikiran)

Premis ketiga Blumer adalah interaksionisme simbolik menjelaskan proses berpikir


sebagai inner conversation, Secara sederhana proses menjelaskan bahwa seseorang
melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi
dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut. Seseorang memerlukan bahasa untuk
berpikir dan berinteraksi secara simbolik. Bahasa merupakan software untuk
menjalankan mind.

Penganut interaksionisme simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi dari


bahasa. Tanpa pembicaraan tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk
mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi anggota komunitas. I adalah
kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah bagian dari diri yang tidak
terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang tampak dalam the looking-
glass dari reaksi orang lain.

Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi simbolik yang terus menerus mulai dari
keluarga, teman bermain, sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itu, seseorang
membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang
membutuhkan the generalized other, yaitu berbagai hal (orang, obyek, atau peristiwa)
yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan berinteraksi dalam komunitas. Me
adalah organized community dalam diri seorang individu.

Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih
tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektifperspektif sosiologis yang
konvensional. Disisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi
yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan
mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang
dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah
selesai terbentuk sepenuhnya.

Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka lebih mudah


memahami fenomena sosial melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama
dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-

11
makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut
berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.

12
BAB IV

Pendidikan Dalam Perspektif Teori Strukturasi

A. Asumsi Dasar Teori Strukturasi (Anthony Giddens)

Dalam teori strukturasi ini, hubungan antara struktur dan agensi tidakdipandang
sebagai dua hal yang terpisah, karena jika demikian akan munculdualisme struktur-
agensi. Struktur dan agensi, menurut Giddens, harus dipandangsebagai dualitas
( duality ), dua sisi mata uang yang sama. Hubungan antarakeduanya bersifat
dialektik, dimana struktur dan agensi ini saling mempengaruhidiantara keduanya dan
hal ini berlangsung terus menerus, tanpa henti.

Menurut Priyono, agen atau pelaku adalah orang-orang yang kongkrit


dalamarus kontinum tindakan dan peristiwa di dunia. Struktur adalah aturan dan
sumber-daya (rules and resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan
prakteksosial. Konsep ruang dan waktu menurut Giddens bersifat konstitutif, yaitu
denganadanya ruang dan waktu maka individu melakukan kecenderungan
tersebutdiklasifikasikan oleh Ritzer sebagai ilmu yang berparadigma ganda yakni
paradigmafakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial. Lihat;
GeorgeRitzer, Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda (Jakarta: Rajawali Pers, 2007).

Giddens memulai pikirannya dengan mengkritik Fungsionalisme dan


Strukturalisme. Ada 3 kritik Giddens atas Fungsionalisme, pertama,
Fungsionalismemenghilangkan fakta bahwa anggota masyarakat bukanlah orang-
orang dungu.Individu bukan robot yang bergerak berdasarkan naskah. Kedua,
Fungsionalismemerupakan cara berfikir yang mengklaim bahwa sistem sosial
mempunyai kebutuhanyang harus dipenuhi. Dan ketiga, Fungsionalisme membuang
dimensi waktu danruang dalam menjelaskan proses sosial. Sementara, terkait
Strukturalisme, Giddens menganggap Strukturalisme terlalu menyingkirkan subjek.
Strukturalisme danFungsionalisme menekankan secara kuat dibangunnya lebih
mekanis.

Menurut Teori Strukturasi, domain kajian ilmu-ilmu sosial adalah praktik-praktik


sosial yang terjadi disepanjang ruang dan waktu. Maksudnya, aktivitas-aktivitas sosial
itu tidak dihadirkan oleh para aktor sosial, melainkan terus menerusdiciptakan oleh
mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka sebagaiaktor. Melalui
aktivitas-aktivitas mereka, para agen memproduksi kondisi-kondisiyang
memungkinkan keberadaan aktivitas-aktivitas itu. Giddens membedakan 3(tiga)
dimensi internal pelaku, yaitu motivasi tak sadar (unconscious motives),kesadaran
praktis ( practical consciousness), dan kesadaran diskursif (discursiveconsciousness)
(Priyono, 2002 :28-31).

Konsep Teori Strukturasi terletak pada ide-ide mengenai agen, struktur,sistem,


dan dualitas struktur kepribadian yang disusun berdasarkan tiga lapishubungan, yaitu

13
alam tak sadar, kesadaran praktis, dan kesadaran diskursif. Inilahyang nantinya
menjadi fundamental Teori Strukturasi. Giddens berusaha melintasiorientasi yang
bermacam-macam itu dengan memikirkan kembali tujuan, danhubungan antara
tindakan dan struktur. Term yang digunakan adalah dualitasstruktur. Melalui dualitas
struktur, Giddens memaksudkan bahwa struktur sosial(keduanya) terdapat dalam
lembaga sosial dan pada saat yang sama struktur tersebut menjadi aturan yang
sangat sederhana. Setiap tindakan produksi secarabersamaan berarti tindakan
reproduksi: struktur yang memungkinkan suatu tindakandikembangkan.

Teori ini menyatakan bahwa manusia adalah proses mengambilkan danmeniru


beragam sistem sosial. Dengan kata lain, tindakan manusia adalah sebuahproses
memproduksi dan mereproduksi sistem-sistem sosial yang beraneka ragam.Interaksi
antar individu dapat menciptakan struktur yang memiliki range darimasyarakat yang
lebih besar dan institusi budaya yang lebih kecil yang masuk dalamhubungan individu
itu sendiri. Individu yang menjadi komunikator bertindak secarastrategis berdasarkan
pada peraturan untuk meraih tujuan mereka dan tanpa sadar menciptakan struktur
baru yang mempengaruhi aksi selanjutnya. Hal ini karena padasaat individu itu
bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhannya, tindakan tersebutmenghasilkan
konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences) yangmemapankan
suatu struktur sosial dan mempengaruhi tindakan individu ituselanjutnya.

Strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu sebagai berikut:

1) Pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan


caraagen memahami sesuatu.
2) Moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara
bagaimanaseharusnya sesuatu itu dilakukan.
3) Kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen
mencapaisuatu keinginan.

Tiga dimensi strukturasi ini mempengaruhi tidakan agen. Tindakan agendiperkuat


oleh struktur pemahaman, moralitas, dan kekuasaan. Dalam hal ini agenmenggunakan
aturan-aturan untuk memperkuat tindakannya. Dalam satu kelompoktelah terbentuk
strukturnya, masing-masing individu saling membicarakan satu topiktertentu. Dalam
strukturasi, hal ini tidaklah direncanakan melainkan merupakankonsekuensi yang tidak
diharapkan dari perilaku anggota-anggota kelompok. Norma atau aturan yang ada
diinterpretasi oleh tiap individu dan menjadi arahan tingkahlaku mereka. Kekuatan
yang mereka miliki memungkinkan mereka untuk mencapaitujuan dan mempengaruhi
tindakan orang lain.

B. Pendidikan Dalam Perspektif Teori Strukturasi

Teori struktur Anthony Giddens menyatakan bahwa individu adalah agen-agen


sosial dengan kemampuan dapat merombak struktur sosial yang ada. Individuyang

14
berperan sebagai agen sosial setidaknya memiliki kepribadian kuat sehingga tidak
hanya member warna terhadap struktur sosial yang ada tetapi juga dapatmerubah
struktur yang ada.pendidikan memiliki tujuan untuk membekali individu dengan
pengetahuan,keterampilan, dan sikap sehingga mampu meningkatkan kualitas dirinya.
Pendidikanyang berkaitan erat dengan anak didik, tentu saja dapat dikategorikan
sebagaipencetak agen-agen sosial dimasa depan. Anak didik yang berperan sebagai
agensosial perlu untuk dipersiapkan. Hal ini sudah menjadi tugas keluarga, guru,
sekolah,pemerintah, dan masyarakat berkewajiban untuk melancarkan proses
pencapaiantujuan pendidikan. Keunikan setiap anak didik sudah sepantasnya
dipandangsebagai suatu kelebihan yang dimiliki dalam upayanya menjagi agen social.

15
KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS

Berdasarkan uraian diatas terebut dapat kita ketahui bahwa dari teori-teori Sosiologi
tersebut diatas yang dikemukakan oleh para ahli dibidang Sosiologi memiliki implementasi
yang berbeda terhadap pendidikan dan disimpulkan bahwa :

1. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian


antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh
konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan
kekacauan antar fakta sosial, serta gagasan mengenai keteratura
dipertahankan melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat. Dalam
pendidikan, suasana kondusif selalu harus dijaga dan menghindari konflik
dengan stake holders.
2. Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam
pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dengan
kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Perbedaan
merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur
sosial. Sehingga ketiadaan konflik bukanlah indicator dari kekuatan dan
kestabilan suatu hubungan. Pendidikan yang dilaksanakan baik pemerintah
maupun suasta adalah pendidikan yang tidak statis, akan tetapi penuh dengan
dinamika sosial. Konflik yang terjadi dalam pendidikan adalah bagaian dari
proses konstruksi pendidikan kea rah yang lebih baik.
3. Teori Interaksionime simboistik berasumsi bahwa kehidupan sosial hanya
bermakna pada tingkat individual yang realitas sosial itu tidak ada. Sebagai
contoh buku bagi seorang berpendidikan merupakan suatu hal yang penting,
namun bagi orang yang tidak mengenyam pendidikan tidak bermanfaat. Dari
sini, dapat dibedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya.
Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses
interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang
tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut.
Sehingga interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai
kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat
mereka berinteraksi. Seorang pendidik tidak cukup hanya menjastifikasi
peserta didiknya dari hasil penilaian sesaat dan parsial, tetapi penilaian itu
harus holistik dan berkelanjutan yang didasarkan pada interaksi timbal balik.

Seperti kenyataan yang dapat kita lihat dan saksiskan bersama bahwa masyarakat
begitu mengalami perubahan social yang begitu cepat dan maju, hal tersebut tentu
mempengaruhi bidang pendidikan baik dari segi ilmu maupun yang lainnya, karena itulah
hubungan pendidikan dengan masyarakat begitu kuat dimana pendidikan dapat tumbuh di
masyarakat, begitupun sebaliknya. Jadi diantara masyarakat an pendidikan memiliki

16
hubungan yang kuat yang saling menguntungkan dan begitu susah bahkan tidak bisa
untuk dipisahkan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Idi, 2011. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Damsar. 2015.Pengantar Teori Sosiologi . Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Doyle Paul Johnson, 1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II, terj. Robert
M.Z.Lawang, Jakarta: PT. Gramedia.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2014.

Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan MutakhirTeori Sosial
Postmodern (Edisi terbaru). Perum SidorejoBumi Indah: Kreasi Wacana

Mashluchah, Luluk. 2019. Dimensi Religius Dalam Pendidikan Politik Partai Nasdem
JawaTimur (Perspektif Teori Strukturasi). Disertasi. Pasca Sarjana Universitas Islam
NegeriSunan Ampel Surabaya. Hal. 1-371

Maunah, Binti. 2016. Pendidikan dalam Perspektif Struktural Fungsional. IAIN


Tulungagung.CENDEKIA, Vol. 10, No.2. Hal. 1-20.

Putri, Gana Royana. 2012. Analisis Teori Strukturasi Pada Proses


PembentukanPandangan, Pemahaman Dan Minat Terhadap Profesi Pustakawan (Studi
Etnometodologi tentang Profesi Pustakawan di Kalangan Mahasiswa Ilmu Informasi
danPerpustakaan Universitas Airlangga). Skripsi studi S1 Ilmu Informasi dan
Perpustakaanpada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Hal. 1-197

Soekanto, Soerjono, 1988. Seri Pengenalan Sosiologi: Talcott Parsons,


FungsionalismeImperatif, Jakarta: Rajawali Press.

Purnomo Sidi, 2014. Krisis Karakter Dalam Perspektif Teori Struktural Fungsional,
JurnalPembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, 2014(2):1-16.

18
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
Jl. Majapahit No. 62 Mataram
e-mail : sosiologi@unram.ac.id, Website : www.sosiologi.unram.ac.id

LEMBAR JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


SEMESTER GANJIL TA. 2020/2021

Mata Kuliah : SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Kelas : SOSIOLOGI A

Hari/tanggal : JUMAT, 16 OKTOBER 2020

Nama Mhs : IIN MARYA RIZKA No. Mhs: L1C018037

PERNYATAAN

Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni hasil
pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang lain, baik
dari sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki kesamaan dengan
tulisan rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang diberikan oleh dosen
pengasuh matakuliah ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan bertanggung
jawab.

Tanda Tangan :

19

Anda mungkin juga menyukai