Anda di halaman 1dari 22

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI-TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL,

TEORI KONFLIK, TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK, SERTA TEORI


STRUKTURASI

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Sosiologi Pendidikan


Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Mariani

Nim : L1C018055

Fakultas&Prodi: Sosiologi

Smester : 5 (Lima)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MATARAM

T. A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas


selesainya tugas ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Pendidikan Dalam Perspektif Teori-teori Fungsional Struktural,
Teori Konflik, Teori Interaksionisme Simbolik, Serta Teori Strukturasi” ini tepat waktu.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani,
S.Th.I., M.Sos sebagai dosen pengampuh Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan yang
telah memberikan kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Saya menyadari makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, kritik dan saran yang membangun tentu saya terima demi
kesempurnaan makalah ini.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat dan dapat menambah
wawasan bagi para pembaca yang hendak mendalami pengetahuan tentang Sosiologi
Pendidikan.

Mataram, 16 Oktober 2020

(Mariani, L1C018055)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I. Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural 1

BAB II. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik 7

BAB III. Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik 11

BAB IV. Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi 14

KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS 17

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN

iii
BAB I

Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural

A. Sejarah Lahirnya Teori Struktural Fungsional


Teori fungsional struktural berkembang pada tahun 1940-1950-an, dan
dianggap sebagai standard theory yang banyak dianut oleh sosiolog. Emile
Durkheim dan Max Weber dianggap sebagai inspirator fungsional struktural.
Durkheim menganggap bahwa masyarakat adalah totalitas organis dengan
realitasnya masing-masing yang mempunyai sejumlah kebutuhan dan fungsi yang
harus dipenuhi sehingga masyarakat tetap sustainable (Susdiyanto, 2009: 27).
Struktural Fungsional muncul karena semangat Renaisance, pada masa
August Comte sekitar abad ke 17 M. Pada abad ini muncul kesadaran beranggapan
bahwa manusia tidak mempunyai otoritas untuk menjelaskan dan mengelola
fenomena yang terjadi dalam masyarakat, karena semua sudah ditentuakn oleh
Tuhan.
Teori fungsional struktural menjelaskan bagaimana berfungsinya suatu
struktur. Setiap struktur akan tetap ada sepanjang ia memiliki fungsi. Teori ini
menekankan pada unsur-unsur stabilitas, integritas, fungsi, koordinasi dan
konsensus. Konsep fungsionalisme maupun unsur-unsur normatif maupun perilaku
sosial yang menjamin stabilitas sosial. Teori fungsional menggambarkan masyarakat
sebagai sistem sosial yang kompleks, terdiri atas bagian-bagian yang saling
berhubungan dan saling ketergantungan antara satu dengan lainnya.
Masyarakat adalah sebuah kelompok yang di dalam masyarakat itu sendiri
terdapat bagian-bagaian yang dibedakan. Bagian-bagian tersebut memiliki fungsi
antara satu dengan yang lain berbeda-beda, tetapi masing-masing membuat sistem
itu menjadi seimbang. Bagian-bagian itu saling mandiri dan mempunyai fungsional,
sehingga jika satu diantaranya tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan
suatu sistem. Hal inilah yang menjadi pemikiran Emile Durkheim dalam teorinya
Parson dan Merton mengenal teori Struktural Fungsional. Emile Durkheim dalam
teorinya struktural fungsional juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber.
Adapun menurut Geoge Ritzer bahwa masyarakat merupakan suatu sistem
sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang mempunyai kaitan dan
saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian
akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain (Ritzer, 2004:5).

1
B. Asumsi Dasar Teori Fungsional Struktural
Teori ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial (social system)
yang terdiri dari bagian-bagian, terkait dan menyatu dalam keseimbangan. Asumsi
teori ini adalah bahwa setiap struktur maupun tatanan dalam sistem sosial akan
berfungsi pula pada yang lain, sehingga bila tidak ada fungsional, maka stuktur ini
tidak akan hilang dengan sendirinya. Stuktur dan tatanan adalah merupakan
fungsional bagi masyarakat tertentu.

Adapun asumsi-asumsi dasar dari Teori Fungsional Struktural yaitu:

1) Masyarakat harus dilihat sebagai susatu sistem yang kompleks, terdiri dari
bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap
bagian tersebut berpenngaruh secara signifikan terhadap bagianbagian
lainnya.
2) Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri;
sekalipun integrasi sosial tidak pernah tercapai dengan sempurna, namun
sistem sosiaal akan senantiasa berproses ke arah itu.
3) Perubahan dalam sistem sosial umumnya terjadi secara gradual, melalui
proses penyesuaian, dan tidak terjadi secara revolusioner.
4) Faktor terpenting yang mengintegrasikan masyarakat adalah adanya
kesepakatan di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai masyarakat
tertentu.
5) Masyarakat cenderung mengarah kepada suatu keadaan equalibrium.
C. Teori-teori Fungsional Struktural menurut para tokoh sosiologi (Emile Durkheim,
Robert K. Merton, dan Talcott Parsons) yaitu:
 Teori Fungsionalisme Emile Durkheim (1858-1917)
Durkheim memahami masyarakat dengan beberapa perspektif (pokok
pikiranya) antara lain adalah: (1) setiap masyarakat secara relatif bersifat
langgeng, (2) Setiap masyarakat merupakan struktur elemen yang terintregrasi
dengan baik, (3) setiap elemen di dalam suatu masyarakat memiliki satu fungsi,
yaitu menyumbang pada bertahanya sistem itu, dan (4) setiap struktur sosial
yang berfungsi didasarkan pada konsesnsus nilai antara para anggotanya
(Wirawan, 2006:47).
Durkheim memandang masyarakat sebagai keseluruhan organisasi yang
memiliki realitas tersendiri dan memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-
fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi
anggotanya agar tetap normal dan menjadi langgeng. Bilamana kebutuhan tidak

2
terpenuhi maka akan terjadi keadaan yang ”patologis” yang menunjuk pada
ketidak seimbangan sosial. Oleh sebab itulah fungsionalisme selalu
mengedepankan masalah ketertiban sosial.
Ada tiga asumsi yang dianut oleh fungsionalisme yaitu: (1) realitas sosial
dianggap sebagai suatu sistem, (2) proses sistem hanya dapat dimengerti
dalam hubungan timbal balik antar bagian-bagian, (3) suatu sistem terikat
dengan upaya mempertahankan integrasi (Soekamto, 1988:21). Teori
fungsionalisme struktural pada dasarnya menginginkan masyarakat hidup dalam
suasana damai dan stabil yang diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma
masyarakat.
Fungsionalisme mempunyai pendapat bahwa suatu fakta sosial terjadi karena
adanya kebutuhan akan ketertiban sosial. Oleh karena itu suatu sistem sosial
dapat diprogramkan guna memenuhi tujuan-tujuan atau kebutuhan-kebutuhan
tertentu sehingga mempunyai fungsi dalam membangun unsur-unsur
masyarakat dan kebudayaan.
Jadi menurut Fungsionalisme, bahwa suatu fakta sosial terjadi karena adanya
kebutuhan akan ketertiban sosial. Oleh karena itu suatu sistem sosial dianggap
dapat diprogramkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau tujuan-tujuan
tertentu sehingga mempunyai fungsi dalam membangun unsur-unsur
kebudayaan /masyarakat.
 Teori Fungsionalisme Struktural Merton
Merton menekankan tindakan-tindakan yang berulang kali atau yang baku
yang berhubungan dengan bertahanya suatu sistem sosial di mana tindakan itu
berakar (Merton, 1968:75). Merton tidak menaruh perhatian pada orientasi
subjektif individu yang terlibat dalam tindakan seperti itu, melainkan pada
konsekkuensi-konsekuensi sosial objektifnya. Merton tetap mempertahankan
suatu perbedaan yang tajam antara motif-motif subjektif (tujuan atau orientasi)
individu dan konsekuensi sosial objektif itu memperbesar kemampuan sistem
sosial itu untuk bertahan atau tidak, terlepas dari motif dan tujuan subjektif
individu itu (Merton, 1968:76).
Perhatian Robert K. Merton dipusatkan pada struktur sosial. Asumsi-asumsi
teori fungsional Merton adalah: (1) Kesatuan fungsional masyarakat merupakan
suatu keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam
suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa
menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur;
(2) fungsionalisme universal, asumsi ini menganggap bahwa “seluruh bentuk
sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif”; (3)

3
asumsi indispensabilty, yaitu “dalam setiap tipe peradaban setiap kebiasaan,
ide, objek material, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting,
memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting
yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan“
(Khairani, 2014:84).
Robert K Merton mengatakan bahwa struktur yang ada dalam sistem sosial
adalah realitas sosial yang dianggap otonom dan merupakan organisasi
keseluruhan dari bagianbagian yang saling bergantung. Dalam suatu sistem
terdapat pola-pola perilaku yang relatif abadi (Wirawan, 2012:50). Merton juga
mengatakan bahwa struktur yang mempunyai tujuan dapat melahirkan fungsi
manifes dan fungsi laten.
 Teori Fungsionalisme Talcott Parsons (1902)
Teori Fungsional dari Parson (Parson, 1977:251) menganggap bahwa
masyarakat pada dasarnya terintegrasi atas dasar kata sepakat para nggotanya
akan nilai kemasyarakatan. Teori memandang sebagai suatu sistem secara
fungsional terintegrasi ke dalam suatu equilibrium. Dengan demikian teori ini
disebut juga sebagai teori konsensus atau integration theory (Ellwood, 1988:23).
Dalam perspektif Parsons pendidikan merupakan proses sosialisasi yang dalam
diri individu-individu memungkinkan berkembangnya rasa tanggung jawab dan
kecakapan-kecakapan (commitment dan capacities) yang semuanya diperlukan
dalam melaksanakan peran sosial.
Teori fungsionalisme struktural parsons yang paling terkenal adalah skema
AGIL. Yang memuat empat fungsi penting yang diperlukan untuk semua sistem
“tindakan” yaitu Adaption, Goal attainment, Intregration, Latency (George Ritzer,
2014:257). Utuk bisa bertahan hidup, sistem harus menjalankan ke empat fungsi
tersebut:
1) Adaptasi: sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang dating dari
luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan
lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.
2) Pencapaian tujuan (Goal attainment): sistem harus mendefinisikan dan
mencapai tujuan-tujuan utamanya.
3) Integrasi (Intregration): sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian
yang menjadi komponenya. Ia pun harus mengatur hubungan antar
ketiga imperative fungsional tersebut (A, G, L)
4) Latensi (pemeliharaan pola): sistem harus melengkapi, memelihara dan
memperbarui motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan
dan mempertahankan motivasi tersbut.

4
Adapun asumsi parsons di dalam teori fungsional struktural yaitu:

1) Sistem memiliki tatanan dan bagian-bagian yang tergantung satu sama


lain.
2) Sistem cendrung menjadi tatanan yang memelihara dirinya (equilibrium).
3) Sistem bisa jadi statis atau mengalami proses perubahan secara tertata.
4) Sifat satu bagian sistem berdampak pada kemungkinan bentuk bagian
lain.
5) Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungan mereka.
6) Alokasi dan integrasi adalah dua proses fundamendal yang diperlukan
bagi kondisi equilibrium sistem.
7) Sistem cendrung memelihara dirinya yang meliputi pemeliharaan batas
dan hubungan bagian-bagian dengan keseluruhan, kontrol variasi
lingkungan, dan kontrol kecendrungan untuk mengubah sistem dari alam.

D. Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Fungsional

Teori Struktural Fungsional tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan maupun


masyarakat. Stratifikasi yang berada di masyarakat mempunyai fungsi. Ekstrimisme
teori ini adalah mendarah dagingnya asumsi bahwa semua even dalam tatanan
adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Seperti yang telah dikemukakan Talcott
Parsons dalam pengertian Sosiologi Pendidikan, yang berarti bahwa struktur dalam
masyarakat mempunyai keterkaitan atau hubungan satu dengan yang lain.
Khususnya pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan struktur yang terbentuk oleh
pendidikan itu sendiri. Demikian pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan
kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial (Wahyu, 2006:1).

Menurut Weber, stratifikasi merupakan kekuatan sosial yang berpengaruh


besar. Seperti halnya dalam sekolah, pendidikan merupakan variabel kelas atau
status. Pendidikan akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi
yang menuju kearah konsumeris yang membedakan dengan kaum buruh.

Teori ini menekankan pada fungsi peran dari struktur sosial yang didasarkan
pada konsensus dalam suatu masyarakat. Struktur itu sendiri berarti suatu sistem
yang terlembagakan dan saling berkaitan. Kaitannya dengan pendidikan, Talcot
Parson, mempunyai pandangan terhadap fungsi sekolah diantaranya:

5
1) Sekolah sebagai sarana sosialisasi. Sekolah mengubah orientasi kekhususan
ke universalitas salah satunya yaitu mainset selain mewarisi budaya yang
ada juga membuka wawasan baru terhadap dunia luar. Selain itu juga
mengubah alokasi seleksi (sesuatu yang diperoleh bukan dengan usaha
seperti hubungan darah, kerabat dekat dan seterusnya) ke peran dewasa
yang diberikan penghargaan berdasarkan prestasi yang sesungguhnya.
2) Sekolah sebagai seleksi dan alokasi, sekolah memberikan motivasi-motivasi
prestasi agar dapat siap dalam dunia pekerjaan dan dapat dialokasikan bagi
mereka yang unggul.
3) Sekolah memberikan kesamaan kesempatan. Suatu sekolah yang baik
pastinya memberikan kesamaan hak dan kewajiban tanpa memandang siapa
dan bagaimana asal usul peserta didiknya (Wulandari, 2009: 174176).

Peran pendidikan dalam teori struktural fungsional antara lain adalah: (1)
Pendidikan dalam peranan kelompok. Peranan kelompok yang ada diharapkan dapat
memenuhi dan memuaskan kebutuhan sesorang, hal ini akan membiasakan
kebutuhan dan kepentingan serta mendekatkan harapan para anggota. (2)
Pendidikan Dalam fungsi-fungsi Masyarakat. Dalam lembaga menyelenggarakan
berbagai macam fungsi, dalam lembaga keluarga memperhatiakan dan memberikan
perlindungan keluarga satu dengan yang lain, menyelenggarakan fungsi-fungsi
ekonomi, ayah ibu dan kakak juga berfungsi sebagai pengganti guru ketika berada di
rumah, memberikan gizi dan obat-obatan serta gizi maupun pelayanan sosial-sosial
lainya.

6
BAB II

Pendidikan dalam perspektif teori konflik

A. Asumsi dasar teori konflik


Teori konflik berkembang sebagai counter terhadap fungsional struktural.
Teori ini menganggap bahwa masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok dan
golongan yang berbeda kepentingan. Konflik ini diharapkan mampu memperteguh
identitas.
Menurut Karl Marx sejarah dari semua masyarakat hingga saat ini adalah
perjuangan kelas. Perjuangan kelas yang berakar dari adanya pembagian kerja dan
pemilik modal pribadi. Keberadaan pembagian kerja dan pemilikan pribadi
menghasilkan kontradiksi yang dalam dan luas pada masyarakat yaitu antara
kelompok yang memiliki (pemilik) dan kelompok yang tidak memiliki serta
menciptakan stratifikasi sosial dalam masyarakat yaitu kelas borjuis dan proletar
(Damsar, 2015:69). Marx juga dianggap sebagai orang yang paling banyak memberi
sumbangsi dalam pengembangan teori sosial konflik. Teori konflik Karl Marx
didasarkan pada pemilikan sarana-sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan
kelas dalam masyarakat.
Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong
terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika
kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka. Teori ini
belakangan dikembangkan oleh Merton dan Parsons (Faqih: 80).
Menurut Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah ( konflik dan konsensus)
dank arena itulah teori sosiologi harus dibagi kedalam dua bagian yaitu teori konflik
dan teori konsensus. Teori onsensus ini menelaah integrasi nilai di tengah-tengah
masyarakat. Sedangkan teoritis konflik menelaah konflik kepentingan dan koersi
yang menyatukan masyarakat dibawah tekanan-tekanan tersebut (Ritzer dan
Goodman, 2014: 282).
Masyarakat tidak mungkin ada tanpa konflik dan konsensus, yang merupakan
prasyarat bagi masing-masing. Jadi tidak akan ada konflik kecualintelah terjadi
konsensus sebelumnya.
Menurut Dahrendorf, dalam setiap kelompok orang berada pada posisi
dominan berupaya mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada
pada posisi marginal atau subordinat berusaha mengadakan perubahan (Ritzer dan
Goodman, 2008: 156).

7
Teori konflik berpendapat bahwa kehidupan sosial di masyarakat terdapat
berbagai bentuk pertentangam. Paksaan dalam wujud hukum dipandang sebagai
faktor utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi
(property), perbudakan (slavery), kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak
kesamaan. Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat karena bekerjanya
lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan dan
penindasan.
Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalah kesenjangan sosial.
Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk
memperebutkan aset-aset yang bernilai. Jenis dari konflik antara individu, konflik
antar kelompok, dan bahkan antar bangsa. Tetapi bentuk konflik yang paling
menonjol menurut Mark adalah konflik yang disebabkan oleh cara produksi barang-
barang yang material.
Karl Mark memandang masyarakat terdiri dari dua kelas yang didasarkan
pada kepemilikan sarana dan alat produksi yaitu kelas borjuis dan proletar (Elly,
2011:348). Teori ini terkenal dengan teori Fungsional konflik, yang menekankan
fungsi konflik bagi sistem sosial atau masyarakat (Poloma, 1994:113).
Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,
penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat memperkuat antara
kelompom satu dengan kelompok yang lain agar tidak menyatu dengan kelompok
yang ada di sekitarnya.
Coser membagi dua kelompok. Pertama, konflik realitas, berasal dari
kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus bahwa yang terjadi dalam hubungan
dan perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang ditujukan pada
obyek yang dianggap mengecewakan. Kedua, konflik nonrealistis adalah, konflik
yang bukan berasal dari tujuan-tujuan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk
meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Dalam kelompok
masyarakat yang telah maju membuat “kambing hitam” sebagai pengganti
ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka
(Poloma, 1994:113).
Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional positif maupun negatif.
Fungsional positif apabila konflik melawan struktur. Dalam kaitan dengan sistem nilai
yang ada di masyarakat, konflik dapat bersifat fungsional apabila menyerang suatu
nilai inti (Soetomo, 1986:35). Selanjutnya Coser mengatakan bahwa konflik
seringkali disebabkan oleh adanya kelompok masyarakat lapisan bawah yang
semakin mempertanyakan legitimasi tersebut diakibatkan oleh kecilnya saluran untuk
menyampaikan keluhan-keluhan yang ada (Turner, 1991).

8
Berdasarkan pemikiran Coser tersebut diatas, secara teoritis dapat dijelaskan
bahwa kekerasan yang terjadi bisa disebabkan oleh adanya isu-isu yang tidak
realistis, isu tidak realistis adalah isu yang tujuanya tidak dapat direalisir. Coser
mencontohkan isu tentang agama, etnis dan suku merupakan sesuatu yang tidak
realistis. Konflik yang terjadi karena isu tersebut dikonsepsikan akan berlangsung
secara keras (Halcvy, Etzioni, Eva and Amitai Etzioni, 1973).
Konflik memiliki perspektif yang berbeda dengan perspektif fungsional karena
melihat kontribusi yang positif kepada lembaga pendidikan dalam masyarakat.
Dalam perspektif ini terdapat penekanan-penekanan adanya perbedaan yang
sangatmenyolok yang ada pada setiap diri individu dalam mendukung suatu sistem
sosial. Konflik menunjukkan adanya perbedaan pada masing-masing individu
disebabkan karena mempunyai kebutuhan yang sangat terbatas. Adapun
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan individu tersebut saling berbeda satu
dengan yang lainya.
Teori konflik berpandangan perubahan sosial terjadi melalui proses
penyesuaian nilainilai yang berdampak pada perubahan dan menghasilkan
kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Proses konflik bersifat
instrumental dalam penyatuan, pemeliharaan dan pembentukan dalam struktur
sosial.
B. Pendidikan dalam perspektif teori konflik
Teori Konflik tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat. Menurut
Weber, stratifikasi merupakan kekuatan sosial yang berpengaruh besar. Pendidikan
akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang membedakan
dengan kaum buruh. Namun tekanan disini bukan pada pendidikannya melainkan
pada unsur kehidupan yang memisahkan dengan golongan lain. Menurut Weber,
dalam dunia kerja mereka yang berpendidikan tinggi yang menduduki kelas penting.
Jadi pendidikan seperti dikuasai oleh kaum elit, dan melanggengkan posisinya untuk
mendapatkan status dan kekuasaannya.
Teori konflik mempunyai implikasi kepada pendidikan di masyarakat dan
strategi perencanaan antara lain: 1) membebaskan kurikulum dari idiologi yang
mendominasi, 2) menciptakan pendidikan yang tertib, herarkhis dan kondusif tanpa
dipengaruhi struktur sekolah, 3) konflik dan eksploitasi, 4) kekuatan maupun
kekuasaan yang dapat menciptakan ketertiban sosial, 5) mengembangkan
pendidikan yang dapat membebaskan, dan 6) memperrjuangkan kelas secara terus
menerus.
Dalam teori konflik nampak jelas didominasi oleh kaum borjuis sebagai
pemegang kendali maupun kebijkan dan keputusan, mereka dengan mudah

9
mendapatkan stratifikasi sosial dalam masyarakat, demikian dalam dunia pendidikan,
karena yang dapat mengendalikan adalah status ekonomi.
Dalam stratifikasi sosial kita mengenal bahwa kelas bawah tidak akan
mempunyai dan memperoleh pendidikan dibandingkan dengan kelas menengah dan
tinggi. Contoh dalam hal ini adalah kelas tinggi tidak akan dapat dipahami oleh kelas
tengah dan kelas bawah, dikarenakan pengalaman yang diperolehnya sangat
berbeda satu dengan yang lainya. Realita menunjukkan bahwa pendidikan
ditentukan oleh penguasa, sehingga kebijakan untuk mendapatkan kesempatan
dalam mengenyam pendidikan dan keilmuan kurang bahkan tidak sesuai dengan
yang kita harapkan , sekaligus buka bagian dari keinginan pesesrta didik dan bidang
kompetensinya.
Dari contoh diatas dapat memberikan informasi bahwa pendidikan dalam
struktural konflik melihat bahwa setiap individu di dalam kelas mempunyai perbedaan
pendapat, kepentingan, dan keinginan yang dapat memunculkan konflik.
Sebagaimana diketahui, kelas yang ada saat ini berisi siswa dari multikultur atau
multi etnis. Bahkan, kelas yang ada saat ini juga multi budaya, multi agama, multi
gender, multi ras, multi umur, dan multi tingkat kecerdasan.
Oleh karena itu, sangat wajar akan mudah terjadi konflik. Konflik dapat
berakibat posisit dan negatif. Konflik di dalam kelas bersifat positif manakala terjadi
persaingan yang sehat antarsiswa. Siswa saling berlomba untuk menjadi yang
terbaik. Mereka saling berlomba untuk menjadi juara satu. Sedangkan menyontek
adalah salah satu contoh konflik didalam kelas yang bersifat negatif karena akan
menimbulkan persaingan yang tidak sehat dengan saling menjatuhkan antara siswa
yang satu dengan lainnya.
Konflik dapat diciptakan, dikelola, dan bahkan dicegah. Konflik negatif yang
terjadi di kelas dapat menjadi positif manakala guru mampu mengelola konflik
dengan baik. kemampuan guru dalam mengelola konflik menjadi tumpuhan
manakala menghendaki proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik. Ketika
guru tidak mampu mengelola konflik dengan baik, maka konflik yang terjadi antar
siswa menjadi kontra produktif, merusak, tidak konstruktif, dan merugikan semua
pihak. Oleh kerana itu, seluruh guru hendaknya mampu mengelola konflik yang
terjadi di kelas dengan baik.

10
BAB III

Pendidikan Dalam Perspektif Interaksionisme Simbolik

A. Sejarah lahirnya Teori Interaksionisme Simbolik


Teori Interaksionisme Simbolik lahir dari pemikirannya George Harbert Mead
(1863-1931). Mead dilahirkan di Hadley, satu kota kecil di Massachusetts. Karir
Mead berawal saat beliau menjadi seorang professor di kampus Oberlin, Ohio,
kemudian Mead berpindah pindah mengajar dari satu kampus ke kampus lain,
sampai akhirnya saat beliau di undang untuk pindah dari Universitas Michigan ke
Universitas Chicago oleh John Dewey. Disinilah Mead sebagai seseorang yang
memiliki pemikiran yang original dan membuat catatan kontribusi kepada ilmu sosial
dengan meluncurkan “the theoretical perspective” yang pada perkembangannya
nanti menjadi cikal bakal “Teori Interaksi Simbolik”, dan sepanjang tahunnya,
Mead dikenal sebagai ahli sosial psikologi untuk ilmu sosiologis. Mead
menetap di Chicago selama 37 tahun, sampai beliau meninggal dunia pada tahun
1931 (Rogers. 1994: 166).
Mead tertarik pada interaksi, dimana isyarat nonverbal dan makna dari suatu
pesan verbal, akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi. Dalam
terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat nonverbal (seperti body language,
gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (seperti kata-kata, suara, dll) yang
dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat
dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang
sangat penting (a significant symbol).
Selain Mead, telah banyak ilmuwan yang menggunakan pendekatan teori
interaksi simbolik dimana teori ini memberikan pendekatan yang relatif khusus pada
ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia, dan banyak
memberikan kontribusi intelektual, diantaranya John Dewey, Robert E. Park,
William James, Charles Horton Cooley, Ernest Burgess, James Mark Baldwin
(Rogers. 1994: 168). Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan
interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi
dua Mahzab (School), dimana kedua mahzab tersebut berbeda dalam hal
metodologi, yaitu (1) Mahzab Chicago (Chicago School) yang dipelopori oleh Herbert
Blumer, dan (2) Mahzab Iowa (Iowa School) yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan
Kimball Young (Rogers. 1994: 171).

11
B. Asumsi dasar teori interaksionisme simbolik
Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan
interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu. Dimana individu
merupakan objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang lain.
Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi
kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna
”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan
bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan
mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif
interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.
Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner
(2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi
untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan
dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.
Ada tiga konsep pemikiran George Herbert Mead yang paling terkenal yaitu
“Mind, Self and Society” dan ini menjadi ide dasar dalam teori interaksionisme
simbolik (Mead. 1934 dalam West-Turner. 2008: 96).
1) Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang
mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus
mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.
2) Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari
penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme
simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang
mengemukakan tentang diri sendiri (The-Self) dan dunia luarnya.
3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan,
dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan
tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif
dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses
pengambilan peran di tengah masyarakatnya.

Dari tiga konsep di atas yang berkaitan dengan interaksi simbolik, diperoleh
tujuh asumsi-asumsi karya Herbert Blumer (1969) yang merupakan murid Mead
yaitu :

1) Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang


diberikan orang lain pada mereka.

12
2) Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia.
3) Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif.
4) Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan
orang lain.
5) Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku.
6) Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan
sosial.
7) Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

C. Pendidikan dalam perspektif interaksionisme simbolik


hubungan seorang guru dengan peserta didik. Dalam hubungan tersebut ada
pola yang telah diatur, peserta didik sebagai orang yang akan menerima informasi
dan guru sebagai orang yang akan melakukan trasformasi pengetahuan. Guna
mengetahui keberhasilan peserta didiknya, ia harus melakukan penilaian.
Pandangan peserta didik terhadap dirinya dan teman-temannya dipengaruhi oleh
penilaian guru yang bersangkutan. Lalu diberilah lebel atas dasar interpretasi bahwa
peserta didik yang duduk di bangku depan berkelakuan baik, sopan, rajin, dan pintar.
Peserta didik yang berada di baris belakang sepertinya kurang pintar, tidak perhatian
terhadap pelajarannya, dan malas. Sehingga perhatian guru terhadap mereka yang
diinterprestasikan subordinat dalam prestasi belajar akan berbeda. Padahal, dapat
saja kemampun semua peserta belajar di satu kelas tidak signifikan perbedaannya
atau mirip (Jones, 2009: 144). Oleh karena itu, dibutuhkan interaksi langsung dengan
melihat dari dekat –tidak sepintas– serta memberi perlakuan sama yang mendorong
peserta didik tersebut mempunyai progres akademik yang positif sehingga
interpretasinya benar dan sesuai dengan fakta lapangan.

13
BAB IV

Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi

A. Asumsi dasar Teori Strukturasi (Anthony Giddens)


Dalam teori strukturasi ini, hubungan antara struktur dan agensi tidak
dipandang sebagai dua hal yang terpisah, karena jika demikian akan muncul
dualisme struktur-agensi. Struktur dan agensi, menurut Giddens, harus dipandang
sebagai dualitas ( duality ), dua sisi mata uang yang sama. Hubungan antara
keduanya bersifat dialektik, dimana struktur dan agensi ini saling mempengaruhi
diantara keduanya dan hal ini berlangsung terus menerus, tanpa henti.
Menurut Priyono, agen atau pelaku adalah orang-orang yang kongkrit dalam
arus kontinum tindakan dan peristiwa di dunia. Struktur adalah aturan dan sumber-
daya (rules and resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktek
sosial. Konsep ruang dan waktu menurut Giddens bersifat konstitutif, yaitu dengan
adanya ruang dan waktu maka individu melakukan kecenderungan tersebut
diklasifikasikan oleh Ritzer sebagai ilmu yang berparadigma ganda yakni paradigma
fakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial. Lihat; George
Ritzer, Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda (Jakarta: Rajawali Pers, 2007).
Giddens memulai pikirannya dengan mengkritik Fungsionalisme dan
Strukturalisme. Ada 3 kritik Giddens atas Fungsionalisme, pertama, Fungsionalisme
menghilangkan fakta bahwa anggota masyarakat bukanlah orang- orang dungu.
Individu bukan robot yang bergerak berdasarkan naskah. Kedua, Fungsionalisme
merupakan cara berfikir yang mengklaim bahwa sistem sosial mempunyai kebutuhan
yang harus dipenuhi. Dan ketiga, Fungsionalisme membuang dimensi waktu dan
ruang dalam menjelaskan proses sosial. Sementara, terkait Strukturalisme, Giddens
menganggap Strukturalisme terlalu menyingkirkan subjek. Strukturalisme dan
Fungsionalisme menekankan secara kuat dibangunnya lebih mekanis.
Menurut Teori Strukturasi, domain kajian ilmu-ilmu sosial adalah praktik-
praktik sosial yang terjadi disepanjang ruang dan waktu. Maksudnya, aktivitas-
aktivitas sosial itu tidak dihadirkan oleh para aktor sosial, melainkan terus menerus
diciptakan oleh mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka sebagai
aktor. Melalui aktivitas-aktivitas mereka, para agen memproduksi kondisi-kondisi
yang memungkinkan keberadaan aktivitas-aktivitas itu. Giddens membedakan 3
(tiga) dimensi internal pelaku, yaitu motivasi tak sadar (unconscious motives),
kesadaran praktis (practical consciousness), dan kesadaran diskursif (discursive
consciousness) (Priyono, 2002 :28-31).

14
Konsep Teori Strukturasi terletak pada ide-ide mengenai agen, struktur,
sistem, dan dualitas struktur kepribadian yang disusun berdasarkan tiga lapis
hubungan, yaitu alam tak sadar, kesadaran praktis, dan kesadaran diskursif. Inilah
yang nantinya menjadi fundamental Teori Strukturasi. Giddens berusaha melintasi
orientasi yang bermacam-macam itu dengan memikirkan kembali tujuan, dan
hubungan antara tindakan dan struktur. Term yang digunakan adalah dualitas
struktur. Melalui dualitas struktur, Giddens memaksudkan bahwa struktur sosial
(keduanya) terdapat dalam lembaga sosial dan pada saat yang sama struktur
tersebut menjadi aturan yang sangat sederhana. Setiap tindakan produksi secara
bersamaan berarti tindakan reproduksi: struktur yang memungkinkan suatu tindakan
dikembangkan.
Teori ini menyatakan bahwa manusia adalah proses mengambilkan dan
meniru beragam sistem sosial. Dengan kata lain, tindakan manusia adalah sebuah
proses memproduksi dan mereproduksi sistem-sistem sosial yang beraneka ragam.
Interaksi antar individu dapat menciptakan struktur yang memiliki range dari
masyarakat yang lebih besar dan institusi budaya yang lebih kecil yang masuk dalam
hubungan individu itu sendiri. Individu yang menjadi komunikator bertindak secara
strategis berdasarkan pada peraturan untuk meraih tujuan mereka dan tanpa sadar
menciptakan struktur baru yang mempengaruhi aksi selanjutnya. Hal ini karena pada
saat individu itu bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhannya, tindakan tersebut
menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences) yang
memapankan suatu struktur sosial dan mempengaruhi tindakan individu itu
selanjutnya.
Strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu sebagai berikut:
1) Pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan cara
agen memahami sesuatu.
2) Moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana
seharusnya sesuatu itu dilakukan.
3) Kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai
suatu keinginan.

Tiga dimensi strukturasi ini mempengaruhi tidakan agen. Tindakan agen


diperkuat oleh struktur pemahaman, moralitas, dan kekuasaan. Dalam hal ini agen
menggunakan aturan-aturan untuk memperkuat tindakannya. Dalam satu kelompok
telah terbentuk strukturnya, masing-masing individu saling membicarakan satu topik
tertentu. Dalam strukturasi, hal ini tidaklah direncanakan melainkan merupakan
konsekuensi yang tidak diharapkan dari perilaku anggota-anggota kelompok. Norma

15
atau aturan yang ada diinterpretasi oleh tiap individu dan menjadi arahan tingkah
laku mereka. Kekuatan yang mereka miliki memungkinkan mereka untuk mencapai
tujuan dan mempengaruhi tindakan orang lain.

B. Pendidikan dalam perspektif teori strukturas

Teori struktur Anthony Giddens menyatakan bahwa individu adalah agen-


agen sosial dengan kemampuan dapat merombak struktur sosial yang ada. Individu
yang berperan sebagai agen sosial setidaknya memiliki kepribadian kuat sehingga
tidak hanya member warna terhadap struktur sosial yang ada tetapi juga dapat
merubah struktur yang ada.

pendidikan memiliki tujuan untuk membekali individu dengan pengetahuan,


keterampilan, dan sikap sehingga mampu meningkatkan kualitas dirinya. Pendidikan
yang berkaitan erat dengan anak didik, tentu saja dapat dikategorikan sebagai
pencetak agen-agen sosial dimasa depan. Anak didik yang berperan sebagai agen
sosial perlu untuk dipersiapkan. Hal ini sudah menjadi tugas keluarga, guru, sekolah,
pemerintah, dan masyarakat berkewajiban untuk melancarkan proses pencapaian
tujuan pendidikan. Keunikan setiap anak didik sudah sepantasnya dipandang
sebagai suatu kelebihan yang dimiliki dalam upayanya menjagi agen sosial.

16
KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS

Teori-teori sosiologi yang dikemukan oleh para ahli sosiologi memiliki implementasi
yang berbeda-beda terhadap pendidikan seperti:

1. Perspektif fungsionalisme struktural melihat bahwa didalam dunia pendidikan itu


fungsi-fungsi yang ada harus dijalankan sesuai dengan peran masing-masing demi
terciptanya keteraturan dan kesejahteraan sosial.
2. Perspektif teori konflik melihat bahwa dalam dunia pendidikan pasti ada perbedaan
antara siswa yang satu dengan yang lainnya. Seperti perbedaan ras, budaya,
agama, gender, umur, dan tingkat kecerdasan. Hal inilah yang akan berujung pada
konflik, baik itu konflik yang bersifat positif dan negatif.
3. Perspektif teori interaksionisme simbolik memandang bahwa didalam dunia
pendidikan tersebut dibutuhkan sebuah intraksi antara siswa dan murid. Tujuannya
untuk mengetahui bagaimana pemaknaan individu atau masing-masing siswa dari
hasil interaksi yang sedang berlangsung didalam kelas pada saat proses
pembelajaran.
4. Perspektif teori strukturasi dalam memandang dunia pendidikan yaitu pendidikan
memiliki tujuan untuk membekali individu dengan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap sehingga mampu meningkatkan kualitas dirinya. Dimana anak didik tersebut
menjadi agen sosial yang akan membawa pada perubahan di masa depan.

Dari perbedaan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan tersebut akan membawa
pengaruh besar terhadap kehidupan individu ataupun masyarakat yang berdampak pada
berubahan. Pendidikan menjadi salah satu tolak ukur yang membedakan status individu
satu dengan individu yang lainya. Karena pendidikan dapat merubah pola perilaku individu
yang lebih bermoral sehingga individu memiliki pengetahuan yang tinggi, keterampilan dan
kemampuan yang akan membuat dirinya untuk bisa menguasai dunia.

17
Daftar Pustaka

Damsar. 2015. Pengantar Teori Sosiologi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Marganet, Poloma.1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grapindo Persada.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2014. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan MutakhirTeori Sosial Postmodern (Edisi terbaru). Perum Sidorejo
Bumi Indah: Kreasi Wacana.

Ritzer, George. 2007. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers.

Ashaf, Abdul Firman. 2006. Pola Relasi Media, Negara, Dan Masyarakat: Teori Strukturasi
Anthony Giddens Sebagai Alternatif. Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas
Lampung. Vol. 8, No. 2, Hal. 1-14.

Mashluchah, Luluk. 2019. Dimensi Religius Dalam Pendidikan Politik Partai Nasdem Jawa
Timur (Perspektif Teori Strukturasi). Disertasi. Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya. Hal. 1-371

Maunah, Binti. 2016. Pendidikan dalam Perspektif Struktural Fungsional. IAIN Tulungagung.
CENDEKIA, Vol. 10, No.2. Hal. 1-20.

Putri, Gana Royana. 2012. Analisis Teori Strukturasi Pada Proses Pembentukan
Pandangan, Pemahaman Dan Minat Terhadap Profesi Pustakawan (Studi
Etnometodologi tentang Profesi Pustakawan di Kalangan Mahasiswa Ilmu Informasi dan
Perpustakaan Universitas Airlangga). Skripsi studi S1 Ilmu Informasi dan Perpustakaan
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Hal. 1-197.

Rusydi Rasyid, Muhammad. 2015. Pendidikan Dalam Perspektif Teori Sosiologi. Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar. AULADUNA, Volume 2. No. 2. Hal. 1-
13.

Salmaniah Siregar, Nina Siti. 2011. Kajian Tentang Interaksionisme Simbolik. Jurnal Ilmu
Sosial-Fakultas ISIPOL UMA. Volume 4. No. 2. Hal. 1-11.

18
LAMPIRAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
Jl. Majapahit No. 62 Mataram
e-mail : sosiologi@unram.ac.id, Website : www.sosiologi.unram.ac.id

LEMBAR JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


SEMESTER GANJIL TA. 2020/2021

Mata Kuliah : Sosiologi Pendidikan

Kelas : Sosiologi A

Hari/tanggal : Jumat, 16 Oktober 2020

Nama Mhs : Mariani No. Mhs: L1C018055

PERNYATAAN

Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni hasil
pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang lain, baik
dari sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki kesamaan dengan
tulisan rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang diberikan oleh dosen
pengasuh matakuliah ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan bertanggung
jawab

Tanda Tangan:

19

Anda mungkin juga menyukai