Disusun Oleh:
Nama : Mariani
Nim : L1C018055
Fakultas&Prodi: Sosiologi
Smester : 5 (Lima)
UNIVERSITAS MATARAM
T. A. 2020/2021
i
KATA PENGANTAR
Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani,
S.Th.I., M.Sos sebagai dosen pengampuh Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan yang
telah memberikan kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Saya menyadari makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, kritik dan saran yang membangun tentu saya terima demi
kesempurnaan makalah ini.
Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat dan dapat menambah
wawasan bagi para pembaca yang hendak mendalami pengetahuan tentang Sosiologi
Pendidikan.
(Mariani, L1C018055)
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR PUSTAKA 18
LAMPIRAN
iii
BAB I
1
B. Asumsi Dasar Teori Fungsional Struktural
Teori ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial (social system)
yang terdiri dari bagian-bagian, terkait dan menyatu dalam keseimbangan. Asumsi
teori ini adalah bahwa setiap struktur maupun tatanan dalam sistem sosial akan
berfungsi pula pada yang lain, sehingga bila tidak ada fungsional, maka stuktur ini
tidak akan hilang dengan sendirinya. Stuktur dan tatanan adalah merupakan
fungsional bagi masyarakat tertentu.
1) Masyarakat harus dilihat sebagai susatu sistem yang kompleks, terdiri dari
bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap
bagian tersebut berpenngaruh secara signifikan terhadap bagianbagian
lainnya.
2) Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri;
sekalipun integrasi sosial tidak pernah tercapai dengan sempurna, namun
sistem sosiaal akan senantiasa berproses ke arah itu.
3) Perubahan dalam sistem sosial umumnya terjadi secara gradual, melalui
proses penyesuaian, dan tidak terjadi secara revolusioner.
4) Faktor terpenting yang mengintegrasikan masyarakat adalah adanya
kesepakatan di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai masyarakat
tertentu.
5) Masyarakat cenderung mengarah kepada suatu keadaan equalibrium.
C. Teori-teori Fungsional Struktural menurut para tokoh sosiologi (Emile Durkheim,
Robert K. Merton, dan Talcott Parsons) yaitu:
Teori Fungsionalisme Emile Durkheim (1858-1917)
Durkheim memahami masyarakat dengan beberapa perspektif (pokok
pikiranya) antara lain adalah: (1) setiap masyarakat secara relatif bersifat
langgeng, (2) Setiap masyarakat merupakan struktur elemen yang terintregrasi
dengan baik, (3) setiap elemen di dalam suatu masyarakat memiliki satu fungsi,
yaitu menyumbang pada bertahanya sistem itu, dan (4) setiap struktur sosial
yang berfungsi didasarkan pada konsesnsus nilai antara para anggotanya
(Wirawan, 2006:47).
Durkheim memandang masyarakat sebagai keseluruhan organisasi yang
memiliki realitas tersendiri dan memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-
fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi
anggotanya agar tetap normal dan menjadi langgeng. Bilamana kebutuhan tidak
2
terpenuhi maka akan terjadi keadaan yang ”patologis” yang menunjuk pada
ketidak seimbangan sosial. Oleh sebab itulah fungsionalisme selalu
mengedepankan masalah ketertiban sosial.
Ada tiga asumsi yang dianut oleh fungsionalisme yaitu: (1) realitas sosial
dianggap sebagai suatu sistem, (2) proses sistem hanya dapat dimengerti
dalam hubungan timbal balik antar bagian-bagian, (3) suatu sistem terikat
dengan upaya mempertahankan integrasi (Soekamto, 1988:21). Teori
fungsionalisme struktural pada dasarnya menginginkan masyarakat hidup dalam
suasana damai dan stabil yang diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma
masyarakat.
Fungsionalisme mempunyai pendapat bahwa suatu fakta sosial terjadi karena
adanya kebutuhan akan ketertiban sosial. Oleh karena itu suatu sistem sosial
dapat diprogramkan guna memenuhi tujuan-tujuan atau kebutuhan-kebutuhan
tertentu sehingga mempunyai fungsi dalam membangun unsur-unsur
masyarakat dan kebudayaan.
Jadi menurut Fungsionalisme, bahwa suatu fakta sosial terjadi karena adanya
kebutuhan akan ketertiban sosial. Oleh karena itu suatu sistem sosial dianggap
dapat diprogramkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau tujuan-tujuan
tertentu sehingga mempunyai fungsi dalam membangun unsur-unsur
kebudayaan /masyarakat.
Teori Fungsionalisme Struktural Merton
Merton menekankan tindakan-tindakan yang berulang kali atau yang baku
yang berhubungan dengan bertahanya suatu sistem sosial di mana tindakan itu
berakar (Merton, 1968:75). Merton tidak menaruh perhatian pada orientasi
subjektif individu yang terlibat dalam tindakan seperti itu, melainkan pada
konsekkuensi-konsekuensi sosial objektifnya. Merton tetap mempertahankan
suatu perbedaan yang tajam antara motif-motif subjektif (tujuan atau orientasi)
individu dan konsekuensi sosial objektif itu memperbesar kemampuan sistem
sosial itu untuk bertahan atau tidak, terlepas dari motif dan tujuan subjektif
individu itu (Merton, 1968:76).
Perhatian Robert K. Merton dipusatkan pada struktur sosial. Asumsi-asumsi
teori fungsional Merton adalah: (1) Kesatuan fungsional masyarakat merupakan
suatu keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam
suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa
menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur;
(2) fungsionalisme universal, asumsi ini menganggap bahwa “seluruh bentuk
sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif”; (3)
3
asumsi indispensabilty, yaitu “dalam setiap tipe peradaban setiap kebiasaan,
ide, objek material, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting,
memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting
yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan“
(Khairani, 2014:84).
Robert K Merton mengatakan bahwa struktur yang ada dalam sistem sosial
adalah realitas sosial yang dianggap otonom dan merupakan organisasi
keseluruhan dari bagianbagian yang saling bergantung. Dalam suatu sistem
terdapat pola-pola perilaku yang relatif abadi (Wirawan, 2012:50). Merton juga
mengatakan bahwa struktur yang mempunyai tujuan dapat melahirkan fungsi
manifes dan fungsi laten.
Teori Fungsionalisme Talcott Parsons (1902)
Teori Fungsional dari Parson (Parson, 1977:251) menganggap bahwa
masyarakat pada dasarnya terintegrasi atas dasar kata sepakat para nggotanya
akan nilai kemasyarakatan. Teori memandang sebagai suatu sistem secara
fungsional terintegrasi ke dalam suatu equilibrium. Dengan demikian teori ini
disebut juga sebagai teori konsensus atau integration theory (Ellwood, 1988:23).
Dalam perspektif Parsons pendidikan merupakan proses sosialisasi yang dalam
diri individu-individu memungkinkan berkembangnya rasa tanggung jawab dan
kecakapan-kecakapan (commitment dan capacities) yang semuanya diperlukan
dalam melaksanakan peran sosial.
Teori fungsionalisme struktural parsons yang paling terkenal adalah skema
AGIL. Yang memuat empat fungsi penting yang diperlukan untuk semua sistem
“tindakan” yaitu Adaption, Goal attainment, Intregration, Latency (George Ritzer,
2014:257). Utuk bisa bertahan hidup, sistem harus menjalankan ke empat fungsi
tersebut:
1) Adaptasi: sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang dating dari
luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan
lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.
2) Pencapaian tujuan (Goal attainment): sistem harus mendefinisikan dan
mencapai tujuan-tujuan utamanya.
3) Integrasi (Intregration): sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian
yang menjadi komponenya. Ia pun harus mengatur hubungan antar
ketiga imperative fungsional tersebut (A, G, L)
4) Latensi (pemeliharaan pola): sistem harus melengkapi, memelihara dan
memperbarui motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan
dan mempertahankan motivasi tersbut.
4
Adapun asumsi parsons di dalam teori fungsional struktural yaitu:
Teori ini menekankan pada fungsi peran dari struktur sosial yang didasarkan
pada konsensus dalam suatu masyarakat. Struktur itu sendiri berarti suatu sistem
yang terlembagakan dan saling berkaitan. Kaitannya dengan pendidikan, Talcot
Parson, mempunyai pandangan terhadap fungsi sekolah diantaranya:
5
1) Sekolah sebagai sarana sosialisasi. Sekolah mengubah orientasi kekhususan
ke universalitas salah satunya yaitu mainset selain mewarisi budaya yang
ada juga membuka wawasan baru terhadap dunia luar. Selain itu juga
mengubah alokasi seleksi (sesuatu yang diperoleh bukan dengan usaha
seperti hubungan darah, kerabat dekat dan seterusnya) ke peran dewasa
yang diberikan penghargaan berdasarkan prestasi yang sesungguhnya.
2) Sekolah sebagai seleksi dan alokasi, sekolah memberikan motivasi-motivasi
prestasi agar dapat siap dalam dunia pekerjaan dan dapat dialokasikan bagi
mereka yang unggul.
3) Sekolah memberikan kesamaan kesempatan. Suatu sekolah yang baik
pastinya memberikan kesamaan hak dan kewajiban tanpa memandang siapa
dan bagaimana asal usul peserta didiknya (Wulandari, 2009: 174176).
Peran pendidikan dalam teori struktural fungsional antara lain adalah: (1)
Pendidikan dalam peranan kelompok. Peranan kelompok yang ada diharapkan dapat
memenuhi dan memuaskan kebutuhan sesorang, hal ini akan membiasakan
kebutuhan dan kepentingan serta mendekatkan harapan para anggota. (2)
Pendidikan Dalam fungsi-fungsi Masyarakat. Dalam lembaga menyelenggarakan
berbagai macam fungsi, dalam lembaga keluarga memperhatiakan dan memberikan
perlindungan keluarga satu dengan yang lain, menyelenggarakan fungsi-fungsi
ekonomi, ayah ibu dan kakak juga berfungsi sebagai pengganti guru ketika berada di
rumah, memberikan gizi dan obat-obatan serta gizi maupun pelayanan sosial-sosial
lainya.
6
BAB II
7
Teori konflik berpendapat bahwa kehidupan sosial di masyarakat terdapat
berbagai bentuk pertentangam. Paksaan dalam wujud hukum dipandang sebagai
faktor utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi
(property), perbudakan (slavery), kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak
kesamaan. Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat karena bekerjanya
lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan dan
penindasan.
Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalah kesenjangan sosial.
Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk
memperebutkan aset-aset yang bernilai. Jenis dari konflik antara individu, konflik
antar kelompok, dan bahkan antar bangsa. Tetapi bentuk konflik yang paling
menonjol menurut Mark adalah konflik yang disebabkan oleh cara produksi barang-
barang yang material.
Karl Mark memandang masyarakat terdiri dari dua kelas yang didasarkan
pada kepemilikan sarana dan alat produksi yaitu kelas borjuis dan proletar (Elly,
2011:348). Teori ini terkenal dengan teori Fungsional konflik, yang menekankan
fungsi konflik bagi sistem sosial atau masyarakat (Poloma, 1994:113).
Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,
penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat memperkuat antara
kelompom satu dengan kelompok yang lain agar tidak menyatu dengan kelompok
yang ada di sekitarnya.
Coser membagi dua kelompok. Pertama, konflik realitas, berasal dari
kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus bahwa yang terjadi dalam hubungan
dan perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang ditujukan pada
obyek yang dianggap mengecewakan. Kedua, konflik nonrealistis adalah, konflik
yang bukan berasal dari tujuan-tujuan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk
meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Dalam kelompok
masyarakat yang telah maju membuat “kambing hitam” sebagai pengganti
ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka
(Poloma, 1994:113).
Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional positif maupun negatif.
Fungsional positif apabila konflik melawan struktur. Dalam kaitan dengan sistem nilai
yang ada di masyarakat, konflik dapat bersifat fungsional apabila menyerang suatu
nilai inti (Soetomo, 1986:35). Selanjutnya Coser mengatakan bahwa konflik
seringkali disebabkan oleh adanya kelompok masyarakat lapisan bawah yang
semakin mempertanyakan legitimasi tersebut diakibatkan oleh kecilnya saluran untuk
menyampaikan keluhan-keluhan yang ada (Turner, 1991).
8
Berdasarkan pemikiran Coser tersebut diatas, secara teoritis dapat dijelaskan
bahwa kekerasan yang terjadi bisa disebabkan oleh adanya isu-isu yang tidak
realistis, isu tidak realistis adalah isu yang tujuanya tidak dapat direalisir. Coser
mencontohkan isu tentang agama, etnis dan suku merupakan sesuatu yang tidak
realistis. Konflik yang terjadi karena isu tersebut dikonsepsikan akan berlangsung
secara keras (Halcvy, Etzioni, Eva and Amitai Etzioni, 1973).
Konflik memiliki perspektif yang berbeda dengan perspektif fungsional karena
melihat kontribusi yang positif kepada lembaga pendidikan dalam masyarakat.
Dalam perspektif ini terdapat penekanan-penekanan adanya perbedaan yang
sangatmenyolok yang ada pada setiap diri individu dalam mendukung suatu sistem
sosial. Konflik menunjukkan adanya perbedaan pada masing-masing individu
disebabkan karena mempunyai kebutuhan yang sangat terbatas. Adapun
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan individu tersebut saling berbeda satu
dengan yang lainya.
Teori konflik berpandangan perubahan sosial terjadi melalui proses
penyesuaian nilainilai yang berdampak pada perubahan dan menghasilkan
kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Proses konflik bersifat
instrumental dalam penyatuan, pemeliharaan dan pembentukan dalam struktur
sosial.
B. Pendidikan dalam perspektif teori konflik
Teori Konflik tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat. Menurut
Weber, stratifikasi merupakan kekuatan sosial yang berpengaruh besar. Pendidikan
akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang membedakan
dengan kaum buruh. Namun tekanan disini bukan pada pendidikannya melainkan
pada unsur kehidupan yang memisahkan dengan golongan lain. Menurut Weber,
dalam dunia kerja mereka yang berpendidikan tinggi yang menduduki kelas penting.
Jadi pendidikan seperti dikuasai oleh kaum elit, dan melanggengkan posisinya untuk
mendapatkan status dan kekuasaannya.
Teori konflik mempunyai implikasi kepada pendidikan di masyarakat dan
strategi perencanaan antara lain: 1) membebaskan kurikulum dari idiologi yang
mendominasi, 2) menciptakan pendidikan yang tertib, herarkhis dan kondusif tanpa
dipengaruhi struktur sekolah, 3) konflik dan eksploitasi, 4) kekuatan maupun
kekuasaan yang dapat menciptakan ketertiban sosial, 5) mengembangkan
pendidikan yang dapat membebaskan, dan 6) memperrjuangkan kelas secara terus
menerus.
Dalam teori konflik nampak jelas didominasi oleh kaum borjuis sebagai
pemegang kendali maupun kebijkan dan keputusan, mereka dengan mudah
9
mendapatkan stratifikasi sosial dalam masyarakat, demikian dalam dunia pendidikan,
karena yang dapat mengendalikan adalah status ekonomi.
Dalam stratifikasi sosial kita mengenal bahwa kelas bawah tidak akan
mempunyai dan memperoleh pendidikan dibandingkan dengan kelas menengah dan
tinggi. Contoh dalam hal ini adalah kelas tinggi tidak akan dapat dipahami oleh kelas
tengah dan kelas bawah, dikarenakan pengalaman yang diperolehnya sangat
berbeda satu dengan yang lainya. Realita menunjukkan bahwa pendidikan
ditentukan oleh penguasa, sehingga kebijakan untuk mendapatkan kesempatan
dalam mengenyam pendidikan dan keilmuan kurang bahkan tidak sesuai dengan
yang kita harapkan , sekaligus buka bagian dari keinginan pesesrta didik dan bidang
kompetensinya.
Dari contoh diatas dapat memberikan informasi bahwa pendidikan dalam
struktural konflik melihat bahwa setiap individu di dalam kelas mempunyai perbedaan
pendapat, kepentingan, dan keinginan yang dapat memunculkan konflik.
Sebagaimana diketahui, kelas yang ada saat ini berisi siswa dari multikultur atau
multi etnis. Bahkan, kelas yang ada saat ini juga multi budaya, multi agama, multi
gender, multi ras, multi umur, dan multi tingkat kecerdasan.
Oleh karena itu, sangat wajar akan mudah terjadi konflik. Konflik dapat
berakibat posisit dan negatif. Konflik di dalam kelas bersifat positif manakala terjadi
persaingan yang sehat antarsiswa. Siswa saling berlomba untuk menjadi yang
terbaik. Mereka saling berlomba untuk menjadi juara satu. Sedangkan menyontek
adalah salah satu contoh konflik didalam kelas yang bersifat negatif karena akan
menimbulkan persaingan yang tidak sehat dengan saling menjatuhkan antara siswa
yang satu dengan lainnya.
Konflik dapat diciptakan, dikelola, dan bahkan dicegah. Konflik negatif yang
terjadi di kelas dapat menjadi positif manakala guru mampu mengelola konflik
dengan baik. kemampuan guru dalam mengelola konflik menjadi tumpuhan
manakala menghendaki proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik. Ketika
guru tidak mampu mengelola konflik dengan baik, maka konflik yang terjadi antar
siswa menjadi kontra produktif, merusak, tidak konstruktif, dan merugikan semua
pihak. Oleh kerana itu, seluruh guru hendaknya mampu mengelola konflik yang
terjadi di kelas dengan baik.
10
BAB III
11
B. Asumsi dasar teori interaksionisme simbolik
Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan
interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu. Dimana individu
merupakan objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang lain.
Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi
kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna
”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan
bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan
mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif
interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.
Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner
(2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi
untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan
dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.
Ada tiga konsep pemikiran George Herbert Mead yang paling terkenal yaitu
“Mind, Self and Society” dan ini menjadi ide dasar dalam teori interaksionisme
simbolik (Mead. 1934 dalam West-Turner. 2008: 96).
1) Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang
mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus
mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.
2) Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari
penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme
simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang
mengemukakan tentang diri sendiri (The-Self) dan dunia luarnya.
3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan,
dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan
tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif
dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses
pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
Dari tiga konsep di atas yang berkaitan dengan interaksi simbolik, diperoleh
tujuh asumsi-asumsi karya Herbert Blumer (1969) yang merupakan murid Mead
yaitu :
12
2) Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia.
3) Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif.
4) Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan
orang lain.
5) Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku.
6) Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan
sosial.
7) Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
13
BAB IV
14
Konsep Teori Strukturasi terletak pada ide-ide mengenai agen, struktur,
sistem, dan dualitas struktur kepribadian yang disusun berdasarkan tiga lapis
hubungan, yaitu alam tak sadar, kesadaran praktis, dan kesadaran diskursif. Inilah
yang nantinya menjadi fundamental Teori Strukturasi. Giddens berusaha melintasi
orientasi yang bermacam-macam itu dengan memikirkan kembali tujuan, dan
hubungan antara tindakan dan struktur. Term yang digunakan adalah dualitas
struktur. Melalui dualitas struktur, Giddens memaksudkan bahwa struktur sosial
(keduanya) terdapat dalam lembaga sosial dan pada saat yang sama struktur
tersebut menjadi aturan yang sangat sederhana. Setiap tindakan produksi secara
bersamaan berarti tindakan reproduksi: struktur yang memungkinkan suatu tindakan
dikembangkan.
Teori ini menyatakan bahwa manusia adalah proses mengambilkan dan
meniru beragam sistem sosial. Dengan kata lain, tindakan manusia adalah sebuah
proses memproduksi dan mereproduksi sistem-sistem sosial yang beraneka ragam.
Interaksi antar individu dapat menciptakan struktur yang memiliki range dari
masyarakat yang lebih besar dan institusi budaya yang lebih kecil yang masuk dalam
hubungan individu itu sendiri. Individu yang menjadi komunikator bertindak secara
strategis berdasarkan pada peraturan untuk meraih tujuan mereka dan tanpa sadar
menciptakan struktur baru yang mempengaruhi aksi selanjutnya. Hal ini karena pada
saat individu itu bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhannya, tindakan tersebut
menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences) yang
memapankan suatu struktur sosial dan mempengaruhi tindakan individu itu
selanjutnya.
Strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu sebagai berikut:
1) Pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan cara
agen memahami sesuatu.
2) Moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana
seharusnya sesuatu itu dilakukan.
3) Kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai
suatu keinginan.
15
atau aturan yang ada diinterpretasi oleh tiap individu dan menjadi arahan tingkah
laku mereka. Kekuatan yang mereka miliki memungkinkan mereka untuk mencapai
tujuan dan mempengaruhi tindakan orang lain.
16
KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS
Teori-teori sosiologi yang dikemukan oleh para ahli sosiologi memiliki implementasi
yang berbeda-beda terhadap pendidikan seperti:
Dari perbedaan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan tersebut akan membawa
pengaruh besar terhadap kehidupan individu ataupun masyarakat yang berdampak pada
berubahan. Pendidikan menjadi salah satu tolak ukur yang membedakan status individu
satu dengan individu yang lainya. Karena pendidikan dapat merubah pola perilaku individu
yang lebih bermoral sehingga individu memiliki pengetahuan yang tinggi, keterampilan dan
kemampuan yang akan membuat dirinya untuk bisa menguasai dunia.
17
Daftar Pustaka
Damsar. 2015. Pengantar Teori Sosiologi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2014. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan MutakhirTeori Sosial Postmodern (Edisi terbaru). Perum Sidorejo
Bumi Indah: Kreasi Wacana.
Ritzer, George. 2007. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers.
Ashaf, Abdul Firman. 2006. Pola Relasi Media, Negara, Dan Masyarakat: Teori Strukturasi
Anthony Giddens Sebagai Alternatif. Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas
Lampung. Vol. 8, No. 2, Hal. 1-14.
Mashluchah, Luluk. 2019. Dimensi Religius Dalam Pendidikan Politik Partai Nasdem Jawa
Timur (Perspektif Teori Strukturasi). Disertasi. Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya. Hal. 1-371
Maunah, Binti. 2016. Pendidikan dalam Perspektif Struktural Fungsional. IAIN Tulungagung.
CENDEKIA, Vol. 10, No.2. Hal. 1-20.
Putri, Gana Royana. 2012. Analisis Teori Strukturasi Pada Proses Pembentukan
Pandangan, Pemahaman Dan Minat Terhadap Profesi Pustakawan (Studi
Etnometodologi tentang Profesi Pustakawan di Kalangan Mahasiswa Ilmu Informasi dan
Perpustakaan Universitas Airlangga). Skripsi studi S1 Ilmu Informasi dan Perpustakaan
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Hal. 1-197.
Rusydi Rasyid, Muhammad. 2015. Pendidikan Dalam Perspektif Teori Sosiologi. Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar. AULADUNA, Volume 2. No. 2. Hal. 1-
13.
Salmaniah Siregar, Nina Siti. 2011. Kajian Tentang Interaksionisme Simbolik. Jurnal Ilmu
Sosial-Fakultas ISIPOL UMA. Volume 4. No. 2. Hal. 1-11.
18
LAMPIRAN
Kelas : Sosiologi A
PERNYATAAN
Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni hasil
pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang lain, baik
dari sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki kesamaan dengan
tulisan rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang diberikan oleh dosen
pengasuh matakuliah ini.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan bertanggung
jawab
Tanda Tangan:
19