Anda di halaman 1dari 20

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI-TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL,

TEORI KONFLIK, TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK, SERTA TEORI


STRUKTURASI

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Sosiologi Pendidikan

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Dendy Suryo Utomo


NIM : L1C018023
Fakultas&Prodi : Fisipol / Sosiologi A
Semester : 5 (Lima)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya tugas
UTS Sosiologi Pendidikan.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sos sebagai dosen pengampuh Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan untuk memenuhi
tugas UTS yang diberkan oleh dosen pengampuh.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat sebagai media pemberitahuan
kepada masyarakat tentang pendidikan menurut perspektif sosiologi.

Penyusun, Mataram, 14 Oktober 2020

Nama : Dendy Suryo Utomo


NIM : L1C018023

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural 1
BAB II. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik 7
BAB III. Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik 11
BAB IV. Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi 12
KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS 16
DAFTAR PUSTAKA 16
LAMPIRAN 17

iii
BAB I
Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural

Menurut Emile Durkheim

Pendidikan sesungguhnya sangat memiliki peran yang sangat penting dalam


kehidupan bangsa dan Negara. Pendidikan merupakan suatu faktor kebutuhan dasar
untuk setiap manusia, karena melalui pendidikan upaya peningkatan kesejahteraan
rakyat dapat diwujudkan. Pendidikan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Pendidikan juga dapat meningkatkan sumber daya manusia
yang ada lebih cepat mengerti dan siap untuk menghadapi perubahan yang ada di
dalam pembangunan suatu Negara. Peran pendidikan juga untuk kemajuan bangsa
dan melahirkan generasi baru yang mampu bersaing di dalam dunia global secara
kompetitif dan sportif dan berkualitas.

Di era persaingan dunia semakin tajam, maka bangsa Indonesia dituntut untuk
dapat mencapai keunggulan dalam produktivitas nasional yang tinggi. Untuk mampu
bersaing maka masyarakat harus menguasai bidang ilmu pengetahuan, teknologi
(iptek) dan keterampilan serta keahlian yang professional yang dibutuhkan untuk
meningkatkan nilai tambah pada berbagai sektor industri dan pemerataan ekonomi.

Dalam perspektif fungsional struktural, struktur sosial dan pranata sosial


tersebut berada dalam sistem sosial yang terdiri atas elemen-elemen ataupun bagian-
bagian yang saling menyatu dan mempunyai keterkaiatan dalam keseimbangan.
Fungsional struktural menekankan keteraturan dan mengabaikan konflik serta
perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat. Struktural fungsional
menekankan pada peran dan fungsi struktur sosial yang menitik beratkan konsensus
dalam masyarakat.

Perspektif fungsionalisme ini menemukan dirinya sebagai fungsionalisme


strukturalyang fokus utamanya terhadap persyaratan fungsional atau kebutuhan dari
suatu sistem sosialyang harus dipenuhi apabila sistem tersebut survive dan
hubunganya dengan struktur. sumsi-asumsi dasar dari teori ini adalah: (1)
Masyarakat harus dilihatsebagai susatu sistem yang kompleks, terdiri dari bagian-
bagian yang saling berhubungan dansaling tergantung, dan setiap bagian tersebut
berpenngaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya; (2) Semua
masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri;sekalipun integrasi
sosial tidak pernah tercapai dengan sempurna, namun sistem sosiaal akansenantiasa
berproses ke arah itu; (3) Perubahan dalam sistem sosial umumnya terjadi
secaragradual, melalui proses penyesuaian, dan tidak terjadi secara revolusioner;
(4) Faktor terpenting yang mengintegrasikan masyarakat adalah adanya
kesepakatan di antara paraanggotanya terhadap nilai-nilai masyarakat tertentu; dan
(5) Masyarakat cenderung mengarahkepada suatu keadaan equalibrium. Struktural
Fungsional merupakan teori yang mengacupada asumsi bahwa: (1) Harus dianalisis
sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri dariberbagai bagian yang saling
berinteraksi, dan (2) Hubungan yang ada dapat bersifat satu arahatau timbal balik
(Rosyidi, 2006:11).

iv
Durkheim melihat “pendidikan sebagai pemegang peran dalam proses
sosialisasi atauhomogenisasi, seleksi atau heterogenisasi, dan alokasi serta distribusi
peran-peran sosial, yangberakibat jauh pada struktur sosial yaitu distribusi peran-peran
dalam masayarkat.Durkheim memahami masyarakat dengan beberapa perspektif
(pokok pikiranya)antara lain adalah: (1) setiap masyarakat secara relatif bersifat
langgeng, (2) Setiapmasyarakat merupakan struktur elemen yang terintregrasi
dengan baik, (3) setiap elemen didalam suatu masyarakat memiliki satu fungsi, yaitu
menyumbang pada bertahanya sistem itu,dan (4) setiap struktur sosial yang berfungsi
didasarkan pada konsesnsus nilai antara paraanggotanya (Wirawan, 2006:47)

Fungsionalisme selalumengedepankan masalah ketertiban sosial. Ada tiga


asumsi yang dianut oleh fungsionalismeyaitu: (1) realitas sosial dianggap sebagai
suatu sistem, (2) proses sistem hanya dapatdimengerti dalam hubungan timbal
balik antar bagian-bagian, (3) suatu sistem terikat denganupaya mempertahankan
integrasi (Soekamto, 1988:21). Teori fungsionalisme struktural padadasarnya
menginginkan masyarakat hidup dalam suasana damai dan stabil yang diikat
olehnilai-nilai dan norma-norma masyarakat.

Teori fungsionalisme Durkheim sangat dipengaruhi oleh konsep organisme


dariComte. Dalam hal ini Durkheim mengajukan asumsi bahwa (1) masyarakat jarus
dipandangsebagai suatu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang tidak dapat
dipisahkan, (2) bahwabagian-bagian suatu sistem berfungsi untuk memenuhi
kepentingan sistem secaramenyeluruh, (3) kepentingan fungsional dipergunakan
dalam kondisi normal dan patologis,untuk mencegah keadaan yang abnormal
(Iskandar, 2006:43).

Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organis yang


memilikirealitas secara mandiri. Semua memiliki kebutuhan tertentu dan harus
terpenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar tetap utuh, langgeng,
terjaga dan tetap normal.

Jika kebutuhan skunder tidak dapat terpenuhi akan menimbulkan fluktuasi yang
sangat keras, maka bagian ini akan dapat terpengaruhi oleh bagian yang lain dari
sistem tersebut dan berakhir menjadi sistem sebagai keseluruhan.

Durkheim memandang dan memperlakukan faktor-faktor sosial itu tidak


hanyasebagai seperangkat fakta eksternal, yang dipertimbangkan individu, tetapi
sebagaiseperangkat ide, kepercayaan, nilai, dan pola normatif yang dimiliki individu
sexara subjektifbersama orang-orang lain dalam kelompoknya atau masyarakat
keseluruhan (Johnson,1986:112).

Menurut Robert K. Merton

Perhatian Robert K. Merton dipusatkan pada struktur sosial. Asumsi-


asumsi teorifungsional Merton adalah: (1) Kesatuan fungsional masyarakat
merupakan suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama
dalam suatu tingkat keselarasan ataukonsistensi internal yang memadai, tanpa
menghasilkan konflik yang berkepanjangan yangtidak dapat diatasi atau diatur; (2)

v
fungsionalisme universal, asumsi ini menganggap bahwa“seluruh bentuk sosial dan
kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif”; (3)asumsi indispensabilty,
yaitu “dalam setiap tipe peradaban setiap kebiasaan, ide, objekmaterial, dan
kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yangharus
dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam
kegiatansistem sebagai keseluruhan“ (Khairani, 2014:84).

Robert K Merton mengatakan bahwa struktur yang ada dalam sistem sosial
adalahrealitas sosial yang dianggap otonom dan merupakan organisasi
keseluruhan dari bagian-bagian yang saling bergantung. Dalam suatu sistem terdapat
pola-pola perilaku yang relatifabadi (Wirawan, 2012:50). Merton juga mengatakan
bahwa struktur yang mempunyai tujuandapat melahirkan fungsi manifes dan fungsi
laten. Pada posisi ini Merton lebih banyakmelihat hal-hal objektif dengan
mengabaikan peristiwa-peristiwa yang subjektif. Mertonmengkritik bahwa asumsi
fungsionalisme cenderung konservatif dan lebih terpusat pada struktur sosial dari
pada perubahan sosial, dia menginginkan adanya keseimbangan fungsional(Khairanai,
2014:84).

Merton mengamati beberapa hal dalam birokrasi modern yang mengikuti


Weberanatara lain adalah: (1) Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisisr
secara rasionaldan formal, (2) Ia meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-
batas yang jelas; (3)Kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan
tujuan-tujuan organisasi; (4)Jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan ke
dalam keseluruhan struktur birokratis; (5)Status-status dalam birokrasi tersusun ke
dalam sususnan yang bersifat hirarkis; (6) Berbagaikewajiban serta hak-hak di dalam
birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas danterperinci; (7) Otoritas pada
jabatan, bukan pada orang; dan (8) Hubungan-hubungan antaraorang-orang dibatasi
secara formal (Mahmud, 2011:43).

Merton mempunyai paradigma dan analisa fungsionalyang mencoba membuat


batasan-batasan beberapa konsep analitis dasar dari segi analisafungsional dan
menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang terdapat di dalam postulat-postulat
kaum fungsional. Dalam hal ini Merton mengutip tiga postulat yang terdapat
dalamanalisa fungsional yang kemudian disempurnakan satu per satu.

Postulat Pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi


sebagaisuatu keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam
suatu tingkatkeselarasan atau konstitusi internal yang memadai, tanpa
menghasilkan konflik yangberkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur.
Merton menegaskan bahwa kesatuanfungsional yang sempurna dari suatu
masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Mertonmenegaskan bahwa disfungsi
(elemen disintregratif) tidak boleh diabaikan hanya karenaorang begitu terpesona
dengan elemen integratif (fungsi-fungsi positif).

vi
Postulat Kedua, yaitu Fungsionalisme Universal, korelasi dengan potulat
pertama.Fungsionalisme universal menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan
kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif (Merton, 1967:84). Fungsi
positif maupun konsepdisfungsi yang diperkenalkan oleh Merton menunjukkan
bahwa beberapa perilaku sosialmempunyai sifat disfungsional. Anjuran Merton
tentang elemen-elemen kultural seharusnyadipertimbangkan menurut kriteria
keseimbangan konsekwensi fungsional (net balance offunctional consequences),
yang menimbang fungsi positif relatif terhadap fungsi negatif. Kitamengetahui bahwa
Merton menganjurkan agar elemen-elemen kultural seharusnyadipertimbangkan
menurut kriteria keseimbangan konsekuensi fungsional (net balance offuncional
consequesnces), yang menimbang fungsi positif relatif terhadap fungsi negatif.

Postulat ketiga, melengkapi trio pustulat fungsionalisme, adalah


postulatindispensability. Ia mengatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap
kebiasaan, ide,obyek materiil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi
penting, memeiliki sejumlahtugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian
penting yang tidak dapat dipisahkandalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan
(Merton, 1967:86).

Menurut Talcot Parson

Teori Fungsional dari Parson (Parson, 1977:251) menganggap bahwa


masyarakat padadasarnya terintegrasi atas dasar kata sepakat para nggotanya akan
nilai kemasyarakatan. Teorimemandang sebagai suatu sistem secara fungsional
terintegrasi ke dalam suatu equilibrium. Dalam perspektif Parsons pendidikan
merupakan proses sosialisasi yangdalam diri individu-individu memungkinkan
berkembangnya rasa tanggung jawab dankecakapan-kecakapan (commitment dan
capacities) yang semuanya diperlukan dalammelaksanakan peran sosial.

Teori fungsionalisme struktural parsons yang paling terkenal adalah skema


AGIL.Yang memuat empat fungsi penting yang diperlukan untuk semua sistem
“tindakan” yaitu(Adaption; Goal attainment; Intregration; Latency). Pada tataran
kelembagaan TalcottParson berpendapat bahwa semua lembaga yang ada pada
hakekatnya adalah suatu sistem dansetiap lembaga akan menjalankan 4 (empat)
fungsi dasar yang disebut A-G-I-L yang berasaldari empat konsep utama yang sangat
penting dalam teori Struktural Fungsional, yaitu :Adaptation, Goal Atainment,
Integration dan Latency (Johson, 1986:128-135). Dengan empatpersyaratan yang
disebut sebagai model AGIL atau paradigma fungsi AGIL, maka
dapatlahdipertahankan fungsi dan dapat memenuhi kebutuhan individu. Parson
menilai bahwasesungguhnya perilaku sebagai subsistem yang adaptif dan
sebagai tempat bagi fasilitasmanusia. Masing-masing sub sistem tersebut (sistem
kultural sosial, kepribadian, danorganisme perilaku fungsional imperatif) yang disebut
sebagai AGIL tersebut.

vii
Adaption: (adaptasi), artinya sebuah sistem harus menanggulangi situasi
eksternalyang gawat. Adaptionyaitu merupakan fungsi penyesuaian diri yang berarti
bahwa suatu sistem sosial jika inginbertahan, maka harus ada struktur atau institusi
yang mampu melaksanakan fungsi adaptasiterhadap lingkungan sekitar.

Goal Attainment: (pencapaian tujuan), artinya sebuah sistem harus


mendefinisikandan mencapai tujuan utama. Goal Attainment ini adalah merupakan
tujuan yang akan dicapai oleh suatu sistemyaitu kebutuhan sistem untuk
memobilisasi sumber-sumber dan energi guna mencapai tujuansistem dan
menentukan suatu prioritas tujuan-tujuan tersebut.

Integration (integrasi), artinya sebuha sistem harus mengatur hubungan antar


bagian yangmenjadi komponenya, sistem juga harus mengelola hubungan antar
ketiga fungsi lainya. Integration ini merupakan suatu kebutuhan guna
mengkoordinasikan, menyesuaikan,mengendalikan relasi-relasi antar aktor, unit
dalam sistem agar sistem tersebut tetapmempunyai fungsi.

Latency (pemeliharaan pola), artinya sebuah sistem harus melengkapi,


memeliharadan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola kultural yang
menciptakan danmenopang motivasi. Latency merupakan suatu pola dari suatusistem
guna mempertahankan dari ancaman atau buday, supaya nilai-nilai
dapatditarnsformasikan dan konformitas dapat dipelihara.

Dalam penerapan skema AGIL dapat dilihat bahwa pada organisme perilaku
yangmerupakan sistem tindakan yang melkasanakan fungsi adaptasi dengan
menyesuaikandiri/mengubah lingkungan eksternal. Sistem kepribadian
melaksanakan fungsi pencapaiantujuan dengan sistem dan memobilisasi sumber
daya yang ada untuk mencapainya. Sistemsosial menanggulangi fungsi integrasi
dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadikomponenya. Sistem kultural
melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakanaktor seperangkat
norma dan nilai-nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.

Asumsi Parsons adalah: (1) sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-
bagianyang saling tergantung, (2) sistem cenmderung bergerak ke arah
mempertahankan keteraturan/keseimbangan diri, (3) sistem mungkin statis atau
bergerak dalam proses perubahan yangteratur, (4) sifat dasar bagian suatu sistem
berpengaruh terhadap bentuk bagian lain, (5) sistemmemelihara batas-batas dengan
lingkunganya, (6) alokasi dana integrasi merupakan duaproses fundamental yang
diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem, (7) sistemcenderung menuju
ke arah pemeliharaan keseimbangan.

Menurut pendapat Parson bahwa masyarakat mempunyai kelembagaan


yang salingterkait dan tergantung satu sama lain. Setiap lembaga dalam masyarakat
melaksanakan tugastertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat
tersebut. Sistem sosial meliputikebudayaan, sosial, dan kepribadian itu saling
tergantung. Semua itu merupakan sumberintegrasi, sistem kepribadian untuk
memenuhi pencapaian tujuan, sekaligus merupakan sistemkultural untuk
mempertahankan pola-pola yang ada dalam sistem itu (Bunu, 2012:28).

viii
Dalam analisisnya Parsons banyak menggunakan dan kerangka alat-tujuan
(means-ends framework), Inti pemikiran Parsons adalah: (1) tindakan itu diarahkan
pada tujuanya(atau memiliki satu tujuan); (2) tindakan terjadi dalam suatu situasi,
dimana beberapaelemenya sudah pasti, sedangkan elemen-elemen lainya
digunakan oleh yang bertindak itusebagai alat menuju tujuan itu; (3) secara normatif
tindakan itu diatur sehubungan denganpenentuan alat dan tujuan. Komponen-
komponen dari satuan tindakan adalah tujuan, alat,kondisi dan norma (Johnson,
1986:106). Parsons mengidentifikasi elemen-elemen yangpenting dalam suatu
perspektif teorities yang lebih umum (Parsons, 1937:106).

Gejala-gejala dan kondisi pendidikan tidak pernah dapat dilepaskan dari sistem
sosial.Dalam hal ini khususnya pendidikan Islam dalam nilai-nilai sosial harus
menciptakanhubungan yang interaktif dan senantiasa menanamkan nilai-nilai sosial.
Sedangkan dalammenerapkan nilai-nilai sosial dimasyarakat mengandung cara-cara
edukatif (Mujamil Qomar, 2013:111). Pengelompokan serta penggolongan yang
terdapat di masyarakat mempunyaiperan, bentuk serta fungsi, konsep-konsep
tersebut yang di pakai landasan dalam teoristruktural fungsional.. teori ini
mempunyai ektrimisme yang terintegrasi dalam semua evendalam sebuah tatanan
fungsional. Bagi suatu masyarakat, sehingga berimplikasi terhadapbentuk
kepaduan dalam setiap sendi-sendi struktur dalam wilayah fungsional
masyarakat.Pendidikan dalam era global saat ini juga mempunyai peran yang
sangat besar dalammembentuk struktur maupun startifikasi sosial.

Peran pendidikan dalam teori struktural fungsional antara lain adalah: (1)
Pendidikandalam peranan kelompok. Peranan kelompok yang ada diharapkan
dapat memenuhi danmemuaskan kebutuhan sesorang, hal ini akan membiasakan
kebutuhan dan kepentingan sertamendekatkan harapan para anggota. Peristiwa ini
diharapkan dapt menjadikan suatu asosiasiatau lapiran, strata maupun struktur
masyarakat, baik secara kasta, golongan, statifikasi,kedaerahan, kelompok dan lain
sebagainya di lingkungan masyarakata tertentu.

Kelompok sosial tersebut dalam menciptakan lingkungan masyarakat yang


kondusif,rukun, damai, saling menghormati, stabil, tertib, lancar dan sebagainya,
maka pemimpinyadari masing-masing anggota harus dapat bertindak dan dapat
memainkan peranan-peranan antara lain: (a) Dalam memainkan peranan kelompok
tidak memaksakan peranan-peranantersebut kepada para anggota kelompok lainya,
(b) Dalam memainkan peranan kelompokharus bersama-sama dengan kelompok
yang lain, jika kelompok-kelompok itu telah membuatsuatu kesepakatan bersama
maupun perjanjian, maka dimungkinkan kelompok itu menjadikelompok yang besar
dan mengharapkan adanya perkembangan, (c) Tidak ada batasanperanan
kelompok dan menyesuaikan dengan penanaman sosial dalam melakukan
interaksimaupun hubungan antar kelompok dalam lingkungan masyarakat serta
mengelola benturandengan cara lebih menghargai dan menghormati peranan
sosial. (2) Pendidikan dalamPeranan Masyarakat, yang terdiri dari: (a) Langkah-
langkah yang harus ditempuh dandilakukan bagi seseorang yang mendapat peran
dan tugas kepemimpinan, (b) Menunjukkanperbuatan sebagai anggota anggota
organisasi dari status kelompok/ perkumpulan maupunkelembagaan.

ix
1) Pendidikan dalam Status Kelompok Stuktural Sosial. Struktur masyarakat jika
dilihat daripersilangan yang terjadi terdapat: (a) Kesukuan /Kedaerahan, (b)
Kelas Sosial / Strata(struktur / lapisan ) masyarakat, (c) Status Pekerjaan /
Jenjang jabatan dalam bagianmasyarakat
2) Pendidikan Dalam fungsi-fungsi Masyarakat.Dalam lembaga
menyelenggarakan berbagai macam fungsi, dalam lembaga
keluargamemperhatiakan dan memberikan perlindungan keluarga satu
dengan yang lain,menyelenggarakan fungsi-fungsi ekonomi, ayah ibu dan
kakak juga berfungsi sebagai pengganti guru ketika berada di rumah,
memberikan gizi dan obat-obatan serta gizimaupun pelayanan sosial-sosial
lainya.

Dalam lembaga, fungsi-fungsi itu dipisah-pisah dan di bagi-bagi. Tidakdapat


diperkirakan bahwa suatu fungsi sosial tertentu diselenggarakan secara eksklusifoleh
suatu lembaga. Jika kita memahami pendidikan dengan seluruh kegiatan-
kegiatannya, dimana anak-anak belajar dan dipelajari teknik-teknik, kebiasaan-
kebiasaanserta perasaan-perasaan pada masyarakat dimana hidup, adalah nyata
bahwa sekolah tidakmelakukan monopoli atas pendidikan (Kreimers, 1984:220).

BAB II

Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik

Pendidikan menghadapi berbagai problem yang sangat komplek dalam


kehidupanmasyarakat saat ini. Globalisasi yang melanda dunia yang diikuti
dengan perkembanganteknologi dan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, telah
menyebabkan terjadinya perubahandi segala bidang. Dengan adanya perubahan itu
dunia pendidikan diharuskan dan dituntutdapat memberikan kontribusi riil yang
berupa kemampuan peningkatan kualitas hasil,pelayanan pendidikan, dan
pengabdian kepada masyarakat.

Dalam perspektif konflik, masyarakat mempunyai kebutuhan (interest) yang


sifatnyaunik dan langka. Individu yang mempunyai perbedaan dalam hal keberhasilan
mendapatkankebutuhan primer (makan, minum, pangan, sandang, papan), rasa
aman, bersosialisasi, danaktualisasi. Hal ini disebabkan karena individu satu dengan
yang lain mempunyai kemampuanyang berbeda pula. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya konflik secara mendasar.

Konflik merupakan salah satu gejala sosial yang selalu datang dan selalu ada
dalamkehidupan sosial, sehingga konflik mempunyai sifat yang disebut dengan
istilah inheren. Di bidang pendidikan juga selalu terjadi konflik, baik antara siswa
dengan siswa,siswa dengan guru, guru dengan guru, guru dengan kepala
sekolah, dan konflik lainnya.Khusus di dalam kelas, selalu tejadi konflik antar siswa.
Melalui studi ini, diharapkan dapatdirumuskan bagaimana guru menciptakan konflik
yang konstruktif, mengelola konflik yangada, dan membangun budaya konflik yang
tidak destruktif.

x
Dalam pengertian yang sederhana dan umum, makna pendidikan sebagai
usahamanusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi
pembawaan, baikjasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat dan kebudayaan.Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mendidik
manusia menjadi manusia.

Pendidikan merupakan sebagai proses perkembangan kecakapan


seseorang dalambentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakat dan
proses sosial di manaseseorang dipengaruhi oleh suatu lingkungan yang terpimpin
misalnya sekolah sehingga diadapat mencapai kecakapan sosial dan
mengembangkanya. Menurut Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003,
pendidikan adalah usaha sadardan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
pross pembelajaran agar peserta didiksecara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukandirinya dan masyarakat
(Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003).

Tujuan Pendidikan merupakan salah satu faktor yang terpenting di dalam


pendidikan,karena tujuan adalah merupakan salah satu arah yang hendak dicapai atau
yang hendak ditujuoleh pendidikan. Begitu juga dengan penyelenggaraan pendidikan
yang tidak dapat dilepaskandari sebuah tujuan yang hendak dicapaianya. Tujuan
pendidikan adalah meningkatkan derajatkemanusiaan manusia (Tafsir, 2006:47).

Tujuan pendidikan nasional perumusannya dapat memberikan arah yang


jelas bagisetiap usaha pendidikan di negara Republik Indonesia. Untuk dapat
mencapai tujuanpendidikan nasional tersebut, dibutuhkan adanya lembaga-lembaga
pendidikan yang masing-masing mempunyai tujuan tersendiri, yang selaras dengan
tujuan nasional. Oleh karena itu,setiap usaha pendidikan di Indonesia tidak boleh
bertentangan dengan tujuan pendidikannasional, bahkan harus menopang atau
menunjang tercapainya tujuan tersebut. (Zuhairini,Abdul Ghofir, 2002).

Pendidikan dalam struktural konflik dimulai dengan menelusuri pemikiran


perspektifstuktural konflik. Teori struktural konflik muncul sebagai pengritik utama
strukturalfungsional (Rifa’i, 2011:189).

Teori konflik berpendapat bahwa kehidupan sosial di masyarakat terdapat


berbagaibentuk pertentangam. Paksaan dalam wujud hukum dipandang sebagai
faktor utama untukmemelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi
(property), perbudakan (slavery),kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak
kesamaan. Kesenjangan sosial terjadi dalammasyarakat karena bekerjanya
lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-carakekerasan, penipuan dan
penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalahkesenjangan sosial.

Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat


untukmemperebutkan aset-aset yang bernilai. Jenis dari konflik antara individu,
konflik antarkelompok, dan bahkan antar bangsa. Tetapi bentuk konflik yang paling
menonjol menurutMark adalah konflik yang disebabkan oleh cara produksi barang-
barang yang material.

xi
Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,
penyatuandan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat memperkuat antara
kelompom satu dengankelompok yang lain agar tidak menyatu dengan kelompok
yang ada di sekitarnya. Cosermembagi dua kelompok.

Pertama, konflik realitas, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan


khususbahwa yang terjadi dalam hubungan dan perkiraan kemungkinan keuntungan
para partisipandan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan.

Kedua, konflik nonrealistis adalah, konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan
yangantagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari
salah satupihak. Dalam kelompok masyarakat yang telah maju membuat
“kambing hitam” sebagaipengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang
seharusnya menjadi lawan mereka(Poloma, 1994:113).

Menurut Ralf Dahrendof masyarakat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu


kelompokdasar pendidikan kewenangan (authority), yaitu kelas yang memiliki
kewenangan (dominan)dan kelas yang tidak memiliki kewenangan (subyeksi): 1)
Setiap kehidupan sosial beradadalam proses perubahan, sehingga perubahan
merupakan gejala yang bersifat permanen yangmengisi setiap perubahan kehidupan
sosial. Gejala perubahan kebanyakan sering diikuti olehkonflik baik secara personal
maupun secara interpersonal. 2) Setiap kehidupan sosial selaluterdapat konflik
didalam dirinya sendiri, oleh sebab itu konflik merupakan gejala yangpermanen
yang mengisis setiap kehidupan sosial. Gejala konflik akan berjalan seiring
dengankehidupan sosial itu sendiri, sehingga lenyapnya kehidupan sosial. 3) Setiap
elemen dalamkehidupan sosial memberikan andil bagi pertumbuhan dan variabel yang
saling berpengaruh.Elemen-elemen tersebut akan selalu dihadapkan pada
persamaan dan perbedaan. Sehinggapersamaan akan mengantarkan pada
akomodasi sedangkan perbedaan akan mengantarkantimbulnya konflik. 4) Setiap
kehidupan sosial, masyarakat akan terintegrasi di ataspenguasaan atau dominasi
sejumlah kekuatan-kekuatan lain. Dominasi kekluatan secaraberpihak akan
menimbulkan konsiliasi, akan tetapi memandang simpanan benih-benih konflikyang
bersifat laten, yang sewaktu-waktu akan meledak menjadi konflik terbuka
(Elly,2011:369-370).

Teori konflik berpandangan perubahan sosial terjadi melalui proses


penyesuaian nilai-nilai yang berdampak pada perubahan dan menghasilkan
kompromi-kompromi yangberbeda dengan kondisi semula. Proses konflik bersifat
instrumental dalam penyatuan,pemeliharaan dan pembentukan dalam struktur sosial.

Teori konflik mempunyai implikasi kepada pendidikan di masyarakat dan


strategiperencanaan antara lain: 1) membebaskan kurikulum dari idiologi yang
mendominasi, 2)menciptakan pendidikan yang tertib, herarkhis dan kondusif
tanpa dipengaruhi struktursekolah, 3) konflik dan eksploitasi, 4) kekuatan maupun
kekuasaan yang dapat menciptakanketertiban sosial, 5) mengembangkan
pendidikan yang dapat membebaskan, dan 6)memperrjuangkan kelas secara terus
menerus.

xii
Konflik dapat berakibat posisit dan negatif. Konflik di dalam kelas bersifat
positifmanakala terjadi persaingan yang sehat antarsiswa. Siswa saling berlomba
untuk menjadiyang terbaik. Mereka saling berlomba untuk menjadi juara satu. Ketika
hal itu yang terjadi,guru perlu membuat konflik agar terjadi persaingan siswa secara
rasional.

Konflik di kelas dalam arti negatif, akan menimbulkan persaingan yang tidak
sehatdengan saling menjatuhkan antara siswa yang satu dengan lainnya. Menyontek
adalah salahsatu contoh konflik yang tidak fair. Mengapa hal itu dikatakan tidak fair
karena siswa yangsudah belajar dengan baik, bisa jadi nilainya kalah dengan siswa
yang berhasil menyontek dantidak terdeteksi oleh guru.

Konflik dapat diciptakan, dikelola, dan bahkan dicegah. Konflik negatif yang
terjadi dikelas dapat menjadi positif manakala guru mampu mengelola konflik
dengan baik.kemampuan guru dalam mengelola konflik menjadi tumpuhan manakala
menghendaki prosesbelajar mengajar dapat berjalan dengan baik. Ketika guru tidak
mampu mengelola konflikdengan baik, maka konflik yang terjadi antar siswa menjadi
kontra produktif, merusak, tidakkonstruktif, dan merugikan semua pihak. Oleh kerana
itu, seluruh guru hendaknya mampumengelola konflik yang terjadi di kelas dengan
baik.

pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana


belajar dan prosspembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untukmemiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlakmulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat.

pendidikan dalam struktural konflik melihat bahwa setiap individu di dalam


kelasmempunyai perbedaan pendapat, kepentingan, dan keinginan yang dapat
memunculkankonflik.

Konflik dapat berakibat posisit dan negatif. Konflik di dalam kelas bersifat
positifmanakala terjadi persaingan yang sehat antarsiswa, sehingga saling
berlomba untuk menjadi juara. Konflik di kelas dalam arti negative, akan
menimbulkan persaingan yangtidak sehat dengan saling menjatuhkan antara siswa
yang satu dengan lainnya.

konflik negatif yang terjadi di kelas dapat menjadi positif manakala guru
mampumengelola konflik dengan baik.

xiii
BAB III

Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik

Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang perspektif
ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep
sosiologi. Teori ini beranggapan bahwa individu adalah obyek yang dapat secara
langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang


bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini
akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentukbentuk kongkret dari perilaku
individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik
memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial
dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis, sementara
sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang (Soeprapto,
http://www.averroes.or.id/research/teoriinteraksionisme-simbolik.html).

Dapat dicontohkan, hubungan seorang guru dengan peserta didik. Dalam


hubungan tersebut ada pola yang telah diatur, peserta didik sebagai orang yang akan
menerima informasi dan guru sebagai orang yang akan melakukan trasformasi
pengetahuan. Guna mengetahui keberhasilan peserta didiknya, ia harus melakukan
penilaian. Pandangan peserta didik terhadap dirinya dan teman-temannya dipengaruhi
oleh penilaian guru yang bersangkutan. Lalu diberilah lebel atas dasar interpretasi
bahwa peserta didik yang duduk di bangku depan berkelakuan baik, sopan, rajin, dan
pintar. Peserta didik yang berada di baris belakang sepertinya kurang pintar, tidak
perhatian terhadap pelajarannya, dan malas. Sehingga perhatian guru terhadap
mereka yang diinterprestasikan subordinat dalam prestasi belajar akan berbeda.
Padahal, dapat saja kemampun semua peserta belajar di satu kelas tidak signifikan
perbedaannya atau mirip (Jones, 2009: 144). Oleh karena itu, dibutuhkan interaksi
langsung dengan melihat dari dekat –tidak sepintas– serta memberi perlakuan sama
yang mendorong peserta didik tersebut mempunyai progres akademik yang positif
sehingga interpretasinya benar dan sesuai dengan fakta lapangan.

Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang


berhubungan dengan meaning, language, dan thought.

Meaning (Makna)

Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap


sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang obyek
atau orang tersebut.

Languange (Bahasa)

Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Dengan


demikian dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak

xiv
melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa
adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itu, teori ini kemudian disebut sebagai
interaksionisme simbolik.

Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi


nama yang berguna untuk membedakan satu obyek, sifat, atau tindakan dengan
obyek, sifat, atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua
adalah Manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk
nama, adalah tanda yang arbitrer. Percakapan adalah sebuah media penciptaan
makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah basis
terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui
sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa
Interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.

Thought (Pemikiran)

Premis ketiga Blumer adalah interaksionisme simbolik menjelaskan proses


berpikir sebagai inner conversation, Secara sederhana proses menjelaskan bahwa
seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah
situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut. Seseorang memerlukan bahasa
untuk berpikir dan berinteraksi secara simbolik. Bahasa merupakan software untuk
menjalankan mind.

Penganut interaksionisme simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi dari


bahasa. Tanpa pembicaraan tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk
mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi anggota komunitas. I adalah
kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah bagian dari diri yang tidak
terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang tampak dalam the looking-glass
dari reaksi orang lain.

Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks,


lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektifperspektif sosiologis
yang konvensional. Disisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang
berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi,
bertindak, dan mencipta.

Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang


dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah
selesai terbentuk sepenuhnya. Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai
teori maka lebih mudah memahami fenomena sosial melalui pencermatan individu.

BAB IV

Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi

Tujuan teori Strukturasi adalah menjelaskan hubungan dialektika dan


salingpengaruh mempengaruhi antara agen dan struktur. Dengan demikian, agen

xv
danstruktur tidak bisa dipahami dalam keadaan saling terpisah satu sama lain.
Agendan struktur salingmenjalin tanpa terpisahkan dalam praktik atau aktivitas
manusia.Mereka adalah dualitas (Ritzer, 2003:889). Aktivitas manusia bukanlah hasil
sekalijadi oleh aktor sosial, tetapi secara terus menerus mereka ciptakan ulang
melaluisuatu cara, dan dengan cara itu juga mereka menyatakan diri mereka sendiri
sebagaiaktor. Di dalam dan melalui aktivitas mereka, agen menciptakan kondisi
yangmemungkinkan aktivitas ini berlangsung. Secara umum, Giddens
memusatkanperhatian pada proses dialektika dimana praktik sosial,struktur, dan
kesadarandiciptakan (Ritzer, 2003:508).

Giddens memaknai struktur sebagai aturan dan sumber yang disusun


sebagaisifat-sifat sistem sosial. Struktur hanya hadir sebagai ‘sifat-sifat
struktural’.‘sifatstruktural’ atau lebih tepatnya ‘sifat pemolahan’ merujuk pada sifat-sifat
pemolaahyang memungkinkan untuk ‘mengikat’ waktu dan ruang dalam sistem
sosial.Giddens berpendapat bahwa sifat-sifat ini dapat dipahami sebagai aturan
dansumber daya, yang terus menerus terlibat ke dalam reproduksi sosial. Struktur
hadirsecara paradigmatik, sebagai serangkaian perbedaan yang tidak kasat
mata(virtual), yang hanya ‘hadir’ secara temporal dalam wujud sekilasnya,
dalammomen-momen membentuk sistem sosial (Giddens, 1979:111).

Struktur berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang ditetapkan sebagai standar


dan dengan demikian sangat berhubungan dengan intitusonalisasi dan memberi
bentuk pada pengaruh-pengaruh yang sangat dominan dalam kehidupan sosial
(Giddens,1993;xx).

Giddens memulai pikirannya dengan mengkritik Fungsionalisme


danStrukturalisme. Ada 3 kritik Giddens atas Fungsionalisme,
pertama,Fungsionalisme menghilangkan fakta bahwa anggota masyarakat bukanlah
orang-orang dungu. Individu bukan robot yang bergerak berdasarkan naskah.
Kedua,Fungsionalisme merupakan cara berfikir yang mengklaim bahwa sistem
sosialmempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi. Dan ketiga,
Fungsionalismemembuang dimensi waktu dan ruang dalam menjelaskan proses
sosial. Sementara,terkait Strukturalisme, Giddens menganggap Strukturalisme terlalu
menyingkirkansubjek (Priyono, 2000:17). Strukturalisme dan Fungsionalisme
menekankan secarakuat keunggulan keseluruhan sosial atas bagian-bagian
individualnyanya (Giddens,1984:2). Strukturalisme sangat menentang tradisi
Hermeneutik yang dianggapmemberi kekuasaan subjektivitas sebagai pusat
kebudayaan dan sejarah (Giddens,1984:2). Begitu juga dengan Fungsionalis,
Fungsionalis menentang tradisisosiologi interpretatif. Sebab, dalam sosiologi
interpretatif, tindakan dan maknamendapat posisi utama dalam penjelasan tentang
perilaku manusia. Konsep-konsepstruktural tidak dianggap begitu penting dan tidak
ada banyak pembahasan tentang kekangan.

Setiap aktor yang kompeten memiliki pengetahuan yang luas, namun akrabdan
halus, tentang masyarakat yang menjadi induknya. Dalam Teori
Stukrurasi,pengetahuan dipahami dalam istilah kesadaran praktis sekaligus
diskursif, dansetiap aktor individual hanyalah salah satu diantara sekian dalam

xvi
masyarakat, harusdiakui bahwa sesuatu yang diketahui oleh sesorang anggota
masyarakat yangkompeten ‘mengalami peragaman warna’ di dalam konteks yang
merentangmelampaui konteks aktivitas sehari-hari. (3) parameter kesadaran
praktis dandiskursif terikat secara spesifik, yang berhubungan dengan sifat aktivitas
aktor yang‘menempati ruang’, namun tidak direduksi menjadi sifat (Giddens, 1979:127-
129).

yang dimaksud dengan rasionalisasi tindakan adalah bahwa paraaktor-juga


secara rutin dan kebanyakan tanpa perdebatan-mempertahankan suatu‘pemahaman
teoritis’ yang secara terus menerus tentang landasan-landasn aktivitasmereka
(Giddens, 1984:8). Rasionalisasi tindakan merujuk kepada alasan-alasanyang
ditawarkan pada agen dalam menjelaskan tindakannya, maka “motivasitindakan”
merujuk pada motiv-motiv dan keinginan-keinginan yang mendorongmunculnya
tindakan itu (Thompson, 1984:242). Giddens membedakan antarapengawasan
refleksif dan rasionalisasi tindakan dari sisi motivasinya.

Kesadaran diskursif mengandung kemampuanuntuk melukiskan tindakan


individu dengan kata-kata. Kesadaran praktis meliputitindakan-tindakan yang diterima
begitu saja oleh para aktor, tanpa mampumengungkapkan dalam kata-kata apa
yang sedang mereka lakukan (Ritzer,2012:891).

Tindakan merupakan sebuah proses berkesinambungan, sebuah arus


yangdidalamnya kemampuan intropeksi dan mawas diri yang dimiliki individu
sangatpenting bagi pengendalian terhadap tubuh yang biasa dijalankan oleh para
aktordalam kehidupan keseharian mereka. Keberlangsungan kehidupan sehari-
hari(durèe of day to day life) mengalir sebagai arus tindakan disengaja.

Giddens menekankan keutamaan konsep kekuasaan bagiteori sosial.


Kekuasaan dimaknai kemampuan (a) aktor mewujudkan keinginannya,bahkan dengan
mengorbankan keinginan/kepentingan orang lain yang boleh jadimenentangnya, (b)
kekuasaan dipandang sebagai milik bersama (kolektivitas).(Giddens, 1979:119-
120). Bagi Giddens, cara pandang kekuasaan seperti itu tidaktepat jika dipisah-
pisahkan. Giddens memandang keduanya sebagai ciri-ciridualitas struktur. Giddens
memperlakukan sumber daya sebagai ‘landasan’ atau‘kendaraan’, yang digali oleh
para pihak dari dan untuk interaksi serta direproduksimelalui dualitas struktur.
Kekuasaan dimunculkan oleh bentuk-bentuk pastidominasi secara sejajar dengan
keterlibatan aturan dalam praktik sosial (Giddens,1979:121).

Temporalitas memasuki reproduksi sistem sosial melalalui tiga cara (a)dalam


jalinan interaksi langsung, (b) dalam reproduksi anggota sistem sosial, dan(c) dalam
reproduksi institusi (Giddens, 1979:180-181). Institusi tidak semata-mataberfungsi
‘dibelakang’ para aktor sosial yang memproduksi dan mereproduksinya.Setiap anggota
masyarakat yang berkompeten sangat mengenal institusi masyarakatsendiri;
pengetahuan semacam itu tidak bersifat kebetulan akibat berfungsinyamasyarakat,
namun secara otomatis ikut aktif didalamnya (Giddens, 1979:125).

Dualitas struktur merupakan landasan utama bagi keterulangan-


keterulangandalam reproduksi sosial di sepanjang ruang dan waktu. Pada gilirannya,

xvii
hal inimempersyaratkan kemampuan instropeksi dan mawas diri (reflexive
monitoring)dari para agen di dalam, dan sebagai bentuk, durèe aktivitas sosial
sehari-hari(Giddens, 1984:43).

Menurut gagasan dualitas struktur, aturan dan sumber dayaditerapkan oleh


para aktor dalam melakukan interaksi, namun sebagaikonsekuensinya juga
ditanamkan ulang melalui interaksi semacam itu.

Modalitas strukturasi merepresentasikan dimensi utama dualitas struktur


didalam penciptaan interaksi. Modalitas strukturasi dimanfaatkan oleh para aktoruntuk
melakukan dan menciptakan interaksi, namun pada saat yang sama jugamenjadi
sarana untuk mereproduksi aneka komponen struktural sistem interaksi(Giddens,
1979:143).

Komunikasi makna dalam interaksi melibatkan penggunaan


skemainterpretasi yang dengan demikian pengertian dibuat oleh para partisipan dari
apayang setiap orang katakan dan lakukan (struktur signifikansi). Struktur
signifikansiselalu harus dipahami dalam kaitannya dengan dominasi dan
legitimasi.Pemahaman ini harus diarahkan pada pengaruh kuat kekuasaan dalam
kehidupansosial. ‘Dominasi’ dan ‘kekuasaan’ tidak bisa dipikirkan hanya dari sisi
asimetrisdistribusi, melainkan harus dikenali sebagai tak terpisahkan dalam asiasi
sosial(Giddens, 1984:51).

Thompson (1984:264-270) menganalisis tindakan danhubungannya dengan


struktur dan keterbelengguan. Bagi Giddens, struktur adalahkemungkinan serta
keterbelengguan dan terkait dengan kebanyakan proses radikalperubahan sosial.
Thompson tertarik mencermati peran keterbelengguan struktur.Giddens
mengkarakterasikan aturan struktur sebagai aturan semantik dan moral.Dengan aturan
seperti ini, dalam pemahaman seperti apa aturan-aturan tersebutbergerak sebagai
keterbelengguan diatas kemungkinan bertindak? MenurutThompson, aturan
semantik memaksakan pemahaman bahwa aturan-aturan itumengharuskan
seseorang pengguna bahasa menggunakan bahasa dan bentukgrammar tertentu.
Seseorang yang mengucapkan satu ungkapan yang sederhana,tidak akan dipahami
secara sederhana bagi orang yang mempunyai kompetensibahasa yang memadai.
Lebih lanjut, Thompson mempertayakan sifatketerbelengguan, apakah
keterbelengguan itu sebuah keterpaksaan dari dalam(dalam arti tidak ada pilihan),
atau karena keterbatasan dari kondisi struktural?Dengan kata lain, Thompson
mempertanyakan batasan keterbelangguan ketikadihubungkan dengan tindakan.

Dalmmar menangkap adanya kebimbangan dan ambivalensitentang struktur


dan strukturasi; dikatakan secara berbeda: pendekatannyatampaknya enggan pada
titik-titik untuk menarik implikasi penuh dari perspektifyang diadopsi. Karena ia telah
mengakui dalam konteks lain, teori strukturasiberhutang setidaknya sebagian
gagasan Jacques Derrida dari 'penataan struktur';perannya struktur sebagai
'keberadaan virtual', sebuah 'perintah virtual' atau 'setabsen perbedaan' seperti
mengingatkan juga construal Derrida dari 'perbedaan”.Dibeberapa bagian, gagasan
tentang 'tatanan virtual' tampaknya menyiratkan tidaklebih dari kontingen dan pada
dasarnya disembuhkan konstelasi 'kehadiran' danfaktor 'absen' - atau setidaknya

xviii
konstelasi di mana faktor absen selalu dapat denganmudah 'dipakai' atau
diterapkan.Dilihat dari sudut ini, 'struktur' cenderungbergabung dengan 'sistem'
secara halus: sifat struktural tatanan virtual menaungilebih kepada perbedaan Merton
antara fungsi 'nyata' dan 'laten'.

Dalam konsep 'aturan', Dallmayr juga menangkap makna yang kurang


jelasatau dengan mudah dapat dimengerti.Dilihat sebagai bahan tatanan virtual,
itutidak sepenuhnya jelas bagaimana aturan bisa dianggap sarana dan hasil
daripraktek-praktek sosial rekursif. Menurut Dallamyr, ini harua ada argumen
lebihlanjut untuk menentukan status aturan dalam proses strukturasi.

KESIMPULAN

Dunia pendidikan indonesia masih melihat fakta daripada realita dilapangan


yang dimana realita tersebut dilihat dari sis sosiologinya. Ada beberapa teori yang bisa
diterapkan di dunia pendidikan, dan ada juga yang kurang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

(t.thn.). PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH.

(2013). ANALISIS TEORI STRUKTURASI PADA PROSES PEMBENTUKAN


PANDANGAN.

ANYTONY GIDDENS DAN TEORI STRUKTURAL. (2015, Septermber). Retrieved


OKTOBER 16, 2020, from researchgate.net:
https://www.researchgate.net/publication/320998430_Strukturasi_Anthony_Gid
dens

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL KONFLIK. (2015, April).


Retrieved OKTOBER 14, 2020, from researchgate.net:
https://www.researchgate.net/publication/323911812_PENDIDIKAN_DALAM_P
ERSPEKTIF_STRUKTURAL_KONFLIK

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI SOSIOLOGI. (2015, DESEMBER 2).


Retrieved OKTOBER 16, 2020, from journal.uin-alauddin.ac.id:
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/auladuna/article/view/882

(2016). PERSPEKTIF TEORI STRUKTURAL FUNGSIONALISME.

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL FUNGSIONAL. (2016, juni).


Retrieved OKTOBER 16, 2020, from researchgate.net:
https://www.researchgate.net/publication/323909873_PENDIDIKAN_DALAM_P
ERSPEKTIF_STRUKTURAL_FUNGSIONAL

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL FUNGSIONAL. (2016,


OKTOBER). Retrieved OKTOBER 14, 2020, from CENDIKIA:
https://cendekia.soloclcs.org/index.php/cendekia/article/view/136

xix
http://www.averroes.or.id/research/teori-interaksionisme-simbolik.html

http://blog.unila.ac. id/rone/mata-kuliah/interaksionisme-simbolik

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
Jl. Majapahit No. 62 Mataram
e-mail : sosiologi@unram.ac.id, Website : www.sosiologi.unram.ac.id

LEMBAR JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


SEMESTER GANJIL TA. 2020/2021

Mata Kuliah : Sosiologi Pendidikan

Kelas : Sosiologi A

Hari/tanggal : Selasa, 16 Oktober 2020

Nama Mhs : Dendy Suryo Utomo No. Mhs: L1C018023

PERNYATAAN

Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni
hasil pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang
lain, baik dari sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki
kesamaan dengan tulisan rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang
diberikan oleh dosen pengasuh matakuliah ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-


benarnya secara sadar dan bertanggung jawab.

Tanda Tangan :

Dendy Suryo Utomo

xx

Anda mungkin juga menyukai