Anda di halaman 1dari 24

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI-TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL,

TEORI KONFLIK, TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK, SERTA TEORI


STRUKTURASI

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Sosiologi Pendidikan

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Ikmal Maulana


NIM : L1C018039
Fakultas&Prodi : Sosiologi
Semester : 5 (Lima)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas


selesainya tugas terstruktur mata kuliah Sosiologi Pendidikan ini, sebagai pengganti
dari pelaksanaan Ujian Tengah Semester yang telah terjadwalkan dikarenakan sisitem
perkuliahan yang berbasis daring, sehingga dirasa kurang efektif dalam
melangsungkan UTS secara daring.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani,
S.Th.I., M.Sos. Sebagai dosen pengampuh Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan pada
semester lima sekaranag ini, yang atas bimbingan beliaulah tugas ini dapat
terselesaikan dengan baik dan penuh pertimbangan ilmiah, sehingga penulis dapat
menemukan tkejelasan dalam menyusun tugas terstruktur ini.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi saya peribadi selaku
mahasiswa dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam menulis dan
menganalisis masalah, adpun harapan lainnya kepada pembaca besar harapan saya
dengan terselesaikannya tugas ini dapat dijadikan sebagai rujukan pembelajran, baik
kaitannya dengan kepenulisan maupun analisis perspektif atau pandangan-pandangan
ilmiah kaitannya dengan pendidikan dalam perspektif sosiologi.

Penyusun, Mataram,16 Oktober 2020

Ikmal Maulana
L1C018039

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural 1
BAB II. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik 4
BAB III. Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik 11
BAB IV. Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi 17
KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS 18
DAFTAR PUSTAKA 20
LAMPIRAN 21

iii
BAB I. Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural

A. Teori Fungsional Struktural


Teori struktural fungsional adalah sebuah teori yang berisi sudut
pandang yang menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan
bagian-bagian yang saling berkaitan. Cirinya adalah gagasan tentang
kebutuhan masyarakat. Masyarakat sama dengan organisme biologis, karena
mempunyai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar masyarakat dapat
melangsungkan hidupnya dan berfungsi dengan baik.
ciri kehidupan struktural sosial muncul untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dan merespon permintaan masyarakat sebagai suatu sistem sosial.
Teori struktural fungsional juga mengutamakan pandangan harmonisasi
dan regulasi yang dapat dikembangkan lebih jauh sebagai berikut:
1. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem yang kompleks
2. Setiap bagian dari masyarakat memiliki fungsi penting dalam
eksistensinya dan stabilitas masyakat secara keseluruhan
3. Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan
diri.
B. Konsep Struktural Fungsional dalam Pendidikan
Pendidikan mempunyai peranan menyiapkan sumber daya manusia
yang mampu berpikir secara kritis dan mandiri (independent critical thinking)
sebagai modal dasar untuk pembangunan manusia seutuhnya yang
mempunyai kualitas yang sangat prima. Upaya pengembangan kemampuan
berpikir kritis dan mandiri bagi peserta didik adalah dengan mengembangkan
pendidikan partisipasif. Pendidik baik guru maupun dosen seharusnya lebih
berperan sebagai fasilitator, keaktifan lebih dibebankan kepada peserta didik.
Keterlibatan peserta didik dalam pendidikan tidak sebatas sebagai pendengar,
pencatat dan penampung ide-ide pendidik, tetapi lebih dari itu ia terlibat aktif
dalam mengembangkan dirinya sendiri (Sadiman, 2004:3).
Pemikiran perspektif stuktural fungsional meyakini bahwa tujuan
pendidikan adalah mensosialisasikan generasi muda menjadi anggota
masyarakat untuk dijadikan tempat pembelajaran, mendapatkan pengetahuan,
perubahan perilaku dan penguasaan tata nilai yang diperlukan agar bisa tampil
sebagai bagian dari warga negara yang produktif (Sunarto, 1993:22). Dalam
perspektif teori fungsional struktural ini masyarakat merupakan suatu sistem
sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan

1
saling menyatu dalam keseimbangan perubahan yang terjadi pada suatu
bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain.
Pendekatan fungsional menganggap masyarakat terintregrasi atas
dasar kata sepakat anggota-anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan
tertentu. Masyarakat sebagai system sosial, secara fungsional terintregrasi ke
dalam suatu bentuk ekuilibrium. Oleh sebab itu aliran pemikiran tersebut
disebut integration approach, order approach, equilibrium approach, atau
structural fungtional approach (fungsional struktural, fungsionalisme struktural)
(Wirawan, 2006:42).
Struktural fungsional para penganutnya mempunyai pandangan
pendidikan itu dapat dipergunakan sebagai suatu jembatan guna menciptakan
tertib sosial. Pendidikan digunakan sebagai media sosialisasi kepada generasi
muda untuk mendapatkan pengetahuan, perubahan perilaku dan menguasai
tata nilai-nilai yang dipergunakan sebagai anggota masyarakat.
Masyarakat dipandang sebagai suatu kesatuan, sebagai suatu kesatuan
masyarakat itu dapat dibedakan dengan bagian-bagianya, tetapi tidak dapat
dipisah-pisahkan. Dengan adanya anggapan masyarakat sebagai suatu realitas
sosial yang tidak dapat diragukan eksistensinya, maka Durkheim memberikan
prioritas analisisnya pada masyarakat secara holistik, dimana bagian atau
komponen-komponen dari suatu sistem itu berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan utama dari sistem secara keseluruhan.
Kebutuhan suatu sistem sosial harus terpenuhi agar tidak terjadi
keadaan yang abnornal. Turner dalam Wirawan mengatakan bahwa sistem
sosial dapat dibentuk untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan-tujuan tertentu
sehingga mempunyai fungsi dalam membangun unsur-unsur kebudayaan
masyarakat (Wirawan, 2006:48).
Dalam perspektif fungsional struktural,masyarakat sebagai suatu sistem
dari bagian- bagian yang mepunyai hubungan satu dengan yang lain.
Hubungan dalam masyarakat bersifat timbal balik dan simbiotik mutualisme.
Secara dasar suatu sistem lebih cenderung kearah equilibrium dan bertsifat
dinamis. Ketegangan /disfungsi sosial /penyimpangan sosial/ penyimpangan
pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui adaptasi dan proses
institusionalisasi. Perubahan yang terdapat dalam sistem mempunyai sifat
gradual dengan melalui penyesuaian dan bukan bersifat revolusioner.
Konsensus merupakan faktor penting dalam integrasi.

2
Setiap masyarakat mempunyai sususnan sekumpulan subsistem yang
satu sama lain berbeda-beda, hal ini didasarkan pada struktur dan makna
fungsional bagi masyarakat yang lebih luas. Jika masyarakat itu mengalami
perubahan pada umumnya akan tumbuh dan berkembang dengan kemampuan
secara lebih baik untuk menanggulangi permasalahan dan problem-problem
dalam kehidupanya. Secara umum fakta sosial menjadi pusat perhatian dalam
kajian sosiologi adalah struktur sosial dan pranata sosial. Dalam perspektif
fungsional struktural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam
sistem sosial yang terdiri atas elemen-elemen ataupun bagian-bagian yang
saling menyatu dan mempunyai keterkaiatan dalam keseimbangan.
Fungsional struktural menekankan keteraturan dan mengabaikan konflik
serta perubahan- perubahan yang terjadi pada masyarakat. Struktural
fungsional menekankan pada peran dan fungsi struktur sosial yang menitik
beratkan konsensus dalam masyarakat. Jika hal ini dikaitkan dengan
pendidikan maupun sekolah mempunyai beberapa fungsi antara lain: (1)
Lembaga pendidikan merupakan sarana untuk bersosialisasi. Dalam lembaga
pendidikan dapat merubah orientasi yang khas, salah satunya adalah cara
berpandangan /berpikir dan juga mewarisi terhadap budaya yang dapat
membuka wawasan baru terhadap dunia luar.
Di dalam lembaga pendidikan pula terdapat perubahan yang diperoleh
bukan hanya karena adanya keturunan maupun persaudaraan /hubungan
darah, handai taulan, kerabat dekat, teman sejawat dll. Tetapi terdapat juga
peran yang dewasa yang diperoleh dengan penghargaan dan prestasi yang
benar-benar terjadi; (2) Lembaga pendidikan merupakan ajang seleksi dan
alokasi yang dapat memberikan semangat dan motivasi prestasi agar berguna
dan dapat diterima dalam lapangan/ dunia pekerjaan dan dapat dialokasikan
bagi mereka yang mendapatkan prestasi, dan (3) Lembaga Pendidikan
memberikan kesempatan yang sama dalam hak maupun kewajiban tanpa
adanya pandang bulu darimana dan siapa peserta didiknya.

3
BAB II. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik

A. Teori Konflik
Teori konflik memiliki asumsi dasar bahwa perbedaan kepentingan antar
kelas sosial menciptakan relasi sosial yang bersifat konfliktual. Akar dari
terciptanya konflik dalam masyarakat adalah ketidakmerataan distribusi
kekuasaan dan kekayaan yang menciptakan kesenjangan kelas sosial.
Kekuasaan meliputi akses terhadap sumber daya. Level kekuasaan individu
atau kelompok berbeda-beda. Perbedaan inilah yang disebut kesenjangan.
Semakin besar kesenjangan, semakin besar potensi timbulnya konflik sosial.
Kesenjangan tidak hanya ditentukan oleh perbedaan kelas, namun bisa juga
ras, gender, kultur, selera, agama, dan lainnya.
Teori konflik digagas oleh Karl Marx dalam studinya mengenai konflik
kelas antara borjuis dan proletar. Borjuis sebagai kelompok pemilik faktor
produksi memiliki kontrol atas sumber daya. Proletar adalah kelompok kelas
pekerja yang tidak memiliki kontrol atas sumber daya. Pembedaan kelas sosial
menjadi dua kelompok ekstrim ini muncul dalam konteks industrialisasi di Eropa
Barat. Karl Marx membuat teori yang menggambarkan eksistensi kelompok
minoritas namun memiliki kekuasaan atas sumber daya dan kelompok
mayoritas yang tertindas karena tak memiliki kuasa atas sumber daya. Masing-
masing kelas memiliki kepentingan yang saling bertentangan. Kaum borjuis
ingin mempertahankan kekuasaannya dan mengakumulasi kekayaannya,
sedangkan kaum proletar ingin kekuasaan dan kekayaan didistribusikan secara
merata.
Tatanan sosial yang berbentuk kesenjangan ini secara ideologis
dipertahankan oleh kaum borjuis melalui penciptaan kesepakatan
atau konsesus. Konsesus yang dimaksud berupa nilai-nilai, harapan dan
kondisi yang ditentukan oleh kaum borjuis. Sebagai contoh, seorang pekerja
harus bekerja keras dan loyal pada bosnya agar bisa sukses. Loyalitas dan
kerja keras merupakan nilai yang disepakati atau konsesus. Produksi
kesepakatan semacam itu terjadi pada level ’supratruktur’ atau pada tataran
ideologis, menurut Karl Marx. Marx berpikir bahwa kondisi sosial ekonomi yang
tercipta atas dasar konsesus tersebut merugikan bagi kelas proletar. Akibatnya,
akan muncul kesadaran kelas dikalangan kaum proletar bahwa mereka
terekspliotasi. Kekayaan justru disedot oleh kuasa kaum borjuis yang
kapitalistik. Kesadaran kelas ini akan memicu terjadinya revolusi.

4
Basis teori konflik yang dicetus Marx mengalami evolusi seiring
perkembangan zaman. Beberapa intelektual melihat teori konflik Karl Marx
tidak hanya dapat beroperasi pada strukur ekonomi semata namun juga
kultural. Antonio Gramsci melihat terjadinya hegemoni kultural yang dilakukan
oleh minoritas berkuasa. Intelektual dari The Frankfurt School seperti Max
Horkheimer dan Theodor Adorno melihat bagaimana budaya massa
berkontibusi pada terciptanya dan bertahannya hegemoni kultural. Budaya
massa, menurutnya, diproduksi oleh kaum kapitalis untuk meredam kesadaran
kelas mayoritas sehingga tidak terjadi perlawanan. Melalui kultur, masyarakat
didesain menjadi masyarakat konsumsi yang secara ekonomis menguntungkan
kaum kapitalis.
B. Konsep Teori Konflik dalam Pendidikan
Pendidikan dalam struktural konflik dimulai dengan menelusuri
pemikiran perspektif stuktural konflik. Teori struktural konflik muncul sebagai
pengritik utama struktural fungsional (Rifa’i, 2011:189). Teori konflik
berpendapat bahwa kehidupan sosial di masyarakat terdapat berbagai bentuk
pertentangam. Paksaan dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama
untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi (property),
perbudakan (slavery), kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak
kesamaan.
Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat karena bekerjanya
lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan
dan penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalah
kesenjangan sosial. Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen
masyarakat untuk memperebutkan aset-aset yang bernilai. Jenis dari konflik
antara individu, konflik antar kelompok, dan bahkan antar bangsa. Tetapi
bentuk konflik yang paling menonjol menurut Mark adalah konflik yang
disebabkan oleh cara produksi barang-barang yang material. Karl Mark
memandang masyarakat terdiri dari dua kelas yang didasarkan pada
kepemilikan sarana dan alat produksi yaitu kelas borjuis dan proletar (Elly,
2011:348). Teori ini terkenal dengan teori Fungsional konflik, yang menekankan
fungsi konflik bagi sistem sosial atau masyarakat (Poloma, 1994:113).
Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam
pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat
memperkuat antara kelompom satu dengan kelompok yang lain agar tidak

5
menyatu dengan kelompok yang ada di sekitarnya. Coser membagi dua
kelompok. Pertama, konflik realitas, berasal dari kekecewaan terhadap
tuntutan-tuntutan khusus bahwa yang terjadi dalam hubungan dan perkiraan
kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang ditujukan pada obyek yang
dianggap mengecewakan. Kedua, konflik nonrealistis adalah, konflik yang
bukan berasal dari tujuan-tujuan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk
meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak.
Dalam kelompok masyarakat yang telah maju membuat “kambing
hitam” sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang
seharusnya menjadi lawan mereka (Poloma, 1994:113). Menurut Coser, konflik
dapat bersifat fungsional positif maupun negatif. Fungsional positif apabila
konflik melawan struktur. Dalam kaitan dengan sistem nilai yang ada di
masyarakat, konflik dapat bersifat fungsional apabila menyerang suatu nilai inti
(Soetomo, 1986:35). Selanjutnya Coser mengatakan bahwa konflik seringkali
disebabkan oleh adanya kelompok masyarakat lapisan bawah yang semakin
mempertanyakan legitimasi tersebut diakibatkan oleh kecilnya saluran untuk
menyampaikan keluhan-keluhan yang ada (Turner, 1991).
Berdasarkan pemikiran Coser tersebut diatas, secara teoritis dapat
dijelaskan bahwa kekerasan yang terjadi bisa disebabkan oleh adanya isu-isu
yang tidak realistis, isu tidak realistis adalah isu yang tujuanya tidak dapat
direalisir. Coser mencontohkan isu tentang agama, etnis dan suku merupakan
sesuatu yang tidak realistis. Konflik yang terjadi karena isu tersebut
dikonsepsikan akan berlangsung secara keras (Halcvy, Etzioni, Eva and Amitai
Etzioni, 1973).
Plerre van dea Bergine dalam Ritzer (1992:28) mencoba
mempertemukan kedua teori struktural fungsional dan teori konflik, yang
menunjukkan beberapa persamaan analisa yaitu sama-sama bersifat holistik,
dalam arti sama-sama melihat masyarakat sebagai bagian yang saling
berkaitan satu dengan yang lainya, dan perhatian utamanya ditunjukkan
kepada adanya hubungan antar bagian-bagian. Kedya teori tersebut mengakui
bahwa konflik dapat memberikan sumbangan terhadap integhrasi, dan
sebaliknya integrasi dapat pula melahirkan konflik. Pusat perhatian Turner pada
konflik adalah sebagai proses dari peristiwa-peristiwa yang mengarah kepada
interkasi yang disertai kekerasan antara kedua kelompok bahkan bisa lebih.

6
Turner membagi 9 tahapan untuk menuju konflik secara terbuka (Elly,
2011:371).
Adapun sembilan tahap itu adalah: 1) Sistem sosial terdiri dari unit-unit
atau kelompokkelompok itu terdapat ketidak seimbangan pembagian
kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan. 2) Unit-unit ataupun kelompok itu
terdapat ketidak seimbangan dalam pembagian kekuasaan maupun sumber-
sumber penghasilan. 3) Kelompok-kelompok yang tidak mempunyai kekuasaan
maupun sumber penghasilan mulai mempertanyakan legitimasi sistem tersebut.
4) Legitimasi itu membawa mereka kepada kesadran bahwa mereka harus
mengubah sistem alokasi kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan itu demi
untuk memenuhi keentingan kelompok. 5) Kesadaran itu menyebabkan mereka
secara emosional terpancing untuk marah. 6) Kemarahan tersebut seringkali
meledak begitu saja atas cara yang tidak terorganisir. 7) Keadaan yang
demikian menyebabkan mereka semakin tegang. 8) Ketegangan yang semakin
hebat menyebabkan mereka mencari jalan untuk mengorganisisr diri guna
melawan kelompok yang berkuasa. 9) Akhirnya konflik terbuka bisa terjadi
antara kelompok yang berkuasa dan tidak berkuasa.
Tingkatan kekerasan dalam konflik sangat tergantung kepada
kemampuan masing-masing pihak yang bertikai untuk mendefinisikan kembali
kepentingan mereka secara obyektif atau kemampuan masing-masing pihak
menanggapi, mengatur, dan mengontrol konflik itu. Menurut Ralf Dahrendof
masyarakat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dasar pendidikan
kewenangan (authority), yaitu kelas yang memiliki kewenangan (dominan) dan
kelas yang tidak memiliki kewenangan (subyeksi): 1) Setiap kehidupan sosial
berada dalam proses perubahan, sehingga perubahan merupakan gejala yang
bersifat permanen yang mengisi setiap perubahan kehidupan sosial. Gejala
perubahan kebanyakan sering diikuti oleh konflik baik secara personal maupun
secara interpersonal. 2) Setiap kehidupan sosial selalu terdapat konflik didalam
dirinya sendiri, oleh sebab itu konflik merupakan gejala yang permanen yang
mengisis setiap kehidupan sosial. Gejala konflik akan berjalan seiring dengan
kehidupan sosial itu sendiri, sehingga lenyapnya kehidupan sosial. 3) Setiap
elemen dalam kehidupan sosial memberikan andil bagi pertumbuhan dan
variabel yang saling berpengaruh. Elemen-elemen tersebut akan selalu
dihadapkan pada persamaan dan perbedaan. Sehingga persamaan akan
mengantarkan pada akomodasi sedangkan perbedaan akan mengantarkan

7
timbulnya konflik. 4) Setiap kehidupan sosial, masyarakat akan terintegrasi di
atas penguasaan atau dominasi sejumlah kekuatan-kekuatan lain. Dominasi
kekluatan secara berpihak akan menimbulkan konsiliasi, akan tetapi
memandang simpanan benih-benih konflik yang bersifat laten, yang sewaktu-
waktu akan meledak menjadi konflik terbuka (Elly, 2011:369-370).
Konflik memiliki perspektif yang berbeda dengan perspektif fungsional
karena melihat kontribusi yang positif kepada lembaga pendidikan dalam
masyarakat. Dalam perspektif ini terdapat penekanan-penekanan adanya
perbedaan yang sangatmenyolok yang ada pada setiap diri individu dalam
mendukung suatu sistem sosial. Konflik menunjukkan adanya perbedaan pada
masing-masing individu disebabkan karena mempunyai kebutuhan yang sangat
terbatas. Adapun kemampuan untuk memenuhi kebutuhan individu tersebut
saling berbeda satu dengan yang lainya.
Teori konflik berpandangan perubahan sosial terjadi melalui proses
penyesuaian nilainilai yang berdampak pada perubahan dan menghasilkan
kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Proses konflik
bersifat instrumental dalam penyatuan, pemeliharaan dan pembentukan dalam
struktur sosial. Konflik kekerasan dan kerusuhan sosial bernuansa agama, rasa
dan antar golongan yang mengiringi krisis ekonomi-politik pada waktu yang
lalu, menunjukkan betapa rapuhnya relasi antar agama antar etnik yang kita
bangun dan kita banggakan selama ini (Soleh Isre, 2003:iii). Adapun hal-hal
yang menyebabkan munculnya konflik antara lain: 1) Konflik diri sendiri dengan
seseorang dapat terjadi karena perbedaan peranan, kepribadian dan
kebutuhan. 2) Konflik diri sendiri dengan kelompok dapat terjadi karena individu
tersebut mendapat tekanan, atau individu bersangkutan telah melanggar
norma-norma kelompok sehingga dimusuhi atau dikucilkan oleh kelompoknya.
3) Konflik terjadi karena adanya suatu ambisi salah satu kelompok untuk
berkuasa. (Husaini Usman, 2006:389).
Dari cara menghadapi dan menyelesaikan konflik sosial dapat
diklasifikasikan: 1) Konflik kalah versus kalah. Dalam sebuah konflik pasti
terdapat pihak-pihak yang saling berselisih dan melakukan aksi saling
mengalahkan, menyingkirkan atau melenyapkan. Dalam hal ini masing-masing
pihak saling kalah, jadi berakhir saling kalahnya kedua pihak. 2) Konflik kalah
versus menang. Konflik akan berakhir dalam bentuk kalah versus menang
apabila salah satu pihak yang bertikai mencapai keinginanya dengan

8
mengorbankan keinginan pihak lain. 3) Konflik menang versus menang. Konflik
akan berakhir menang versus menang jika pihak-pihak yang berkaitan bersedia
satu sama lain untuk mencapai kesepakatan baru yang saling menguntungkan
(Usman, 2006:389).
Untuk memahami Stratifikasi Sosial harus melihat teori kelas yaitu”
manusia semenjak nabi Adam sampai sekarang mempunyai sejarah pertikaian
dan konflik antar klas. Hubungan manusia terjadi adanya hubungan posisi
masing-masing terhadap sarana produksi. Teori konflik mempunyai implikasi
kepada pendidikan di masyarakat dan strategi perencanaan antara lain: 1)
membebaskan kurikulum dari idiologi yang mendominasi, 2) menciptakan
pendidikan yang tertib, herarkhis dan kondusif tanpa dipengaruhi struktur
sekolah, 3) konflik dan eksploitasi, 4) kekuatan maupun kekuasaan yang dapat
menciptakan ketertiban sosial, 5) mengembangkan pendidikan yang dapat
membebaskan, dan 6) memperrjuangkan kelas secara terus menerus. Dalam
teori konflik nampak jelas didominasi oleh kaum borjuis sebagai pemegang
kendali maupun kebijkan dan keputusan, mereka dengan mudah mendapatkan
stratifikasi sosial dalam masyarakat, demikian dalam dunia pendidikan, karena
yang dapat mengendalikan adalah status ekonomi.
Dalam stratifikasi sosial kita mengenal bahwa klas bawah tidak akan
mempunyai dan memperoleh pendidikan dibandingkan dengan kelas
menengah dan tinggi. Contoh dalam hal ini adalah kelas tinggi tidak akan dapat
dipahami oleh kelas tengah dan kelas bawah, dikarenakan pengalaman yang
diperolehnya sangat berbeda satu dengan yang lainya. Realita menunjukkan
bahwa pendidikan ditentukan oleh penguasa, sehingga kebijakan untuk
mendapatkan kesempatan dalam mengenyam pendidikan dan keilmuan kurang
bahkan tidak sesuai dengan yang kita harapkan , sekaligus buka bagian dari
keinginan pesesrta didik dan bidang kompetensinya.
Uraian di atas dapat memberikan informasi bahwa pendidikan dalam
struktural konflik melihat bahwa setiap individu di dalam kelas mempunyai
perbedaan pendapat, kepentingan, dan keinginan yang dapat memunculkan
konflik. Sebagaimana diketahui, kelas yang ada saat ini berisi siswa dari
multikultur atau multi etnis. Bahkan, kelas yang ada saat ini juga multi budaya,
multi agama, multi gender, multi ras, multi umur, dan multi tingkat kecerdasan.
Oleh karena itu, sangat wajar akan mudah terjadi konflik.

9
Konflik dapat berakibat posisit dan negatif. Konflik di dalam kelas
bersifat positif manakala terjadi persaingan yang sehat antarsiswa. Siswa saling
berlomba untuk menjadi yang terbaik. Mereka saling berlomba untuk menjadi
juara satu. Ketika hal itu yang terjadi, guru perlu membuat konflik agar terjadi
persaingan siswa secara rasional Konflik di kelas dalam arti negatif, akan
menimbulkan persaingan yang tidak sehat dengan saling menjatuhkan antara
siswa yang satu dengan lainnya. Menyontek adalah salah satu contoh konflik
yang tidak fair. Mengapa hal itu dikatakan tidak fair karena siswa yang sudah
belajar dengan baik, bisa jadi nilainya kalah dengan siswa yang berhasil
menyontek dan tidak terdeteksi oleh guru.
Konflik dapat diciptakan, dikelola, dan bahkan dicegah. Konflik negatif
yang terjadi di kelas dapat menjadi positif manakala guru mampu mengelola
konflik dengan baik. kemampuan guru dalam mengelola konflik menjadi
tumpuhan manakala menghendaki proses belajar mengajar dapat berjalan
dengan baik. Ketika guru tidak mampu mengelola konflik dengan baik, maka
konflik yang terjadi antar siswa menjadi kontra produktif, merusak, tidak
konstruktif, dan merugikan semua pihak. Oleh kerana itu, seluruh guru
hendaknya mampu mengelola konflik yang terjadi di kelas dengan baik.

10
BAB III. Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik

A. Teori Interaksionisme Simbolik


Teori interaksionisme simbolik merupakan salah satu teori yang banyak
digunakan dalam penelitian sosiologi. Teori ini memiliki akar keterkaitan dari
pemikiran Max Weber yang mengatakan bahwa tindakan sosial yang dilakukan
oleh individu didorong oleh hasil pemaknaan sosial terhadap lingkungan
sekitarnya. Makna sosial diperoleh melalui proses interpretasi dan komunikasi
terhadap simbol-simbol di sekitarnya. Sebagai contoh, bayangkan tentang
koleksi foto instagram teman kamu yang mengenakan jaket bertuliskan Supri
(brand fahion mahal) dengan background menunjukkan ia sedang berada di
luar negeri. Foto tersebut menandai sebuah status sosial tertentu. Brand
fashion mahal mendeskripsikan kemampuan finansialnya untuk membelinya.
Background foto luar negeri menunjukkan bahwa dirinya memiliki akses dan
kemampuan untuk traveling ke negeri orang yang tentunya tidak semua orang
mampu.
Tanda-tanda tersebut merupakan simbol yang digunakan untuk
berkomunikasi dan menyampaikan pesan pada orang lain. Teori
interaksionisme simbolik melihat membagi foto semacam itu di Instagram
merupakan sebuah tindakan dengan penggunaan simbol dalam rangka
mendeklarasikan identitas semacam ”inilah diriku”. Sosiolog yang pertama kali
menggunakan istilah interaksionisme simbolik adalah Herbert Blumer. Ketika
berkolaborasi menulis dengan koleganya George Herbert Mead di Universitas
Chicago, istilah interaksionisme simbolik dikembangkan. Mead kemudian
menulis buku berjudul Mind, Self, and Society yang membuat teori
interaksionisme simbolik dikenal luas dikalangan intelektual Amerika dan
Eropa.
Teori interaksionisme simbolik menganalisis masyarakat berdasarkan
makna subjektif yang diciptakan individu sebagai basis perilaku dan tindakan
sosialnya. Individu diasumsikan bertindak lebih berdasarkan apa yang
diyakininya, bukan berdasar pada apa yang secara objektif benar. Apa yang
diyakini benar merupakan produk konstruksi sosial yang telah diinterpretasikan
dalam konteks atau situasi yang spesifik. Hasil interpretasi ini disebut sebagai
definisi situasi.
Sebagai contoh, tindakan orang yang merokok. Fakta objektif yang
ditunjukkan ilmu medis menyatakan bahwa merokok berakibat buruk bagi organ

11
tubuh. Namun sekelompok anak muda memilih untuk merokok bukan karena
mereka tidak tahu kebenaran objektif yang menjadi resiko merokok, tetapi
karena mereka meyakini bahwa merokok itu meningkatkan image positif
tentang dirinya setidaknya dilingkungan pergaulannya. Teori interaksionisme
simbolik melihat realitas sebagai konstruksi sosial yang dibentuk melalui proses
interaksi yang terus berlangsung. Teori ini sering digolongkan sebagai teori
mikro sosiologi karena ranah analisisnya sampai pada aspek individu.
B. Konsep Intraksionisme Simbolik dalam Pendidikan
Dalam menerapkan konsep Intraksionisme Simbolik dalam Pendidikan
maka objek analisisnya mencakup antara guru dan siswa, sehingga dalam
kajian ini akan dibahas bagaimana jalinan intraksi yang terbangun antara guru
dan siswa. Interaksi merupakan suatu proses hubungan antara dua atau lebih
orang, yang melahirkan akan komunikasi diantaranya.
Ketika interakasi itu berlangsung maka ada beberapa hal yang
melandasinya seperti: (1). Orang yang menyampaikan (aktor utama), (2). orang
yang menerima (lawan main aktor), (3). media adalah suatu tempat atau alat
dimana interaksi berlangsung, (4). ada sesuatu pesan hal yang ingin
disampaikan, (5). adanya suatu timbal balik dari interaksi yang dibangun.
Dalam Baharuddin (2009 :36) menyatakan bahwa interaksi Sosial akan
menyebabkan kegiatan hidup seseorang semakin bervariasi dan kompleks.
Jalinan interaksi yang terjadi antara individu dan individu, individu dan
kelompok, serta kelompok dan kelompok sangat bersifat dinamis dan
mempunyai pola tertentu yang membentuk suatu kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat merupakan populasi yang membentuk organisasi sosial yang
bersifat kompleks. Meskipun norma, nilai, pranata dan peraturan dimiliki oleh
setiap kelompok masyarakat dengan tingkat peradaban berbeda, tidak
menjamin setiap anggota masyarakat mengetahui sekaligus menyetujuinya.
Kenyataan ini cenderung menyebabkan ketidak teraturan atau konflik di
tengah-tengah masyarakat.
Hakikat manusia sebagai individu dan makhluk sosial dalam banyak hal
akan selaras dan seimbang apabila diatur dan diarahkan sebagaimana
mestinya (Baharuddin 2009 :36). Dengan proses interaksi educatif, tujuan inilah
yang menjadi arahan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar,
sebab tujuan ini dirumuskan dari segi proses. Sedangkan tujuan lembaga dan

12
tujuan program studi merupakan tujuan pendidikan yang dirumuskan dari segi
normatif.
Dengan demikian keberhasilan dalam pencapaian tujuan instruksional
akan menentukan sekali keberhasilan dalam mencapai tujuan lembaga.Bahan
pelajaran dalam proses interaksi belajar mengajar merupakan alat dalam
mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Oleh karena itu
bahan pelajaran harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Guru dalam
tugas sehari-hari selalu memilih dan menentukan
bahan pelajaran yang harus disampaikan kepada siswasiswanya.
Pilihan dan putusan guru tersebut tergantung apa yang dianggap baik
dan penting untuk diajarkan menurut pandangan guru tersebut. Didalam proses
interaksi belajar mengajar perlu mempertimbangkan keadaan pelajar, sebelum
guru menyampaikan bahan pelajaran. Pertimbangan ini dimaksudkan agar
bahan pelajaran yang disajikan dapat diterima dengan baik. Hal ini berkaitan
dengan metodologi. Dengan memahami keadaan pelajar tersebut dapatlah
ditentukan cara-cara yang tepat dalam menyampaikan bahan
pelajaran (Zuldafrial 2009 :39).
Dalam Zuldafrial (2009:41) menyatakan perbedaanperbedaan individual
yang harus diperhitungkan dalam interaksi belajar mengajar di kelas antara lain
adalah sebagai berikut:
1. Perbedaan dalam intelegensi.
2. Peredaan dalam perhatian.
3. Perbedaan dalam pengamatan.
4. Perbedaan dalam sikap.
5. Perbedaan dalam motivasi.
Metode diskusi adalah metode mengemukakan pendapat dalam
musyawarah dan mufakat. Inti dari pada metode diskusi ialah meeting of
mind. Dalam metode diskusi biasanya siswa dihadapkan pada satu
masalah yang harus di diskusikan.
Dalam diskusi terdapat bermacam-macam jawaban dan dari bermacam-
macam jawaban tersebut perlu dipilih salah satu jawaban yang logis dan
yang lebih tepat dari jawaban lainnya. Dengan sendirinya jawaban yang
lebih logis dan lebih tepat yang disetujui karena mempunyai argument yang
kuat yang memecahkan jawaban yang mempunyai argumen yang lemah.

13
Dalam Zuldafrial (2009:46) menyatakan masalahmasalah yang layak untuk
di diskusikan adalah:
a. Menerik minat siswa yang sesuai dengan tarapnya.
b. Mempunyai kemungkinan-kemungkinan jawaban lebih dari
sebuah yang dapat dipertahankan kebenaran jawabannya.
c. Menggunakan metode diskusi ada kebaikan-kebaikan dan
kelemahan-kelemahan.
d. Dalam metode diskusi siswa-siswa dapat secara akti
berpartisipasi dengan mengemukakan pendapat yang
disertai alasannya.
e. Siswa-siswa dilatih berfikir secara kritis untuk kemudian
menentukan sikap menerima, menolak, atau tidak
mempunyai pendapat yang dikemukakan oleh temannya.
f. Berguna untuk kehidupan sehari-hari terutama dalam alam
demokrasi.
Kekurangan atau kelemahan-kelemahan antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Diskusi pada umumnya dikuasai oleh mereka yang gemar
berbicara.
b. Banyak waktu terbuang dan hasilnya tidak sesuai dengan
waktu yang digunakan.
c. Tidak terlalu mudah bagi anggota kelompok diskusi untuk
mengantar cara berfikir secara rapi, apalagi secara ilmiah.
d. Tidak selalu mudah bagi guru selaku pemimpin diskusi
untuk meramalkan arah penyelesaian diskusi.

Dalam A.M. Sardiman (2008:47) menyatakan situasi dalam interaksi belajar


mengajar juga perlu diperhitungkan situasi tersebut dapatlah ditentukan strategi
mengajar yang tepat dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Situasi yang perlu diperhitungkan tersebut meliputi keadaansiswa seperti jumah siswa,
perbedaan individu waktu, fasilitas belajar mengajar.

Evaluasi atau penilaian merupakan salah satu aspek yang terpenting dalam
kegiatan interaksi belajar mengajar. Penilaian dimaksud untuk mengetahui apakah
tujuan yang diinginkan dalam proses belajar mengajar telah tercapai atau belum. Hasil
daripada suatu penilaian berfungsi untuk antara lain:

14
1. Mengetahui kesanggupan siswa, sehingga siswa dapat dibantu memilih
jurusan, sekolah atau jabatan yang sesuai dengan bakatnya.
2. Mengetahui sampai sejauh mana siswa itu telah mencapai tujuan
pembelajaran dan pendidikan.
3. Menunjukan kekurangan dan kelemahan siswa-siswa. Sehingga mereka
dapat diberikan bantuan yang khusus untuk mengatasi kekurangan itu.
4. Menentukan kelemahan metode mengajar yang
dipergunakan oleh guru. Setiap test atau ulangan alat penilaian hasil kerja
siswa dan guru. Hasil ulangan yang buruk jangan hanya dicari sebabnya
pada siswa tetapi juga pada guru itu sendiri.
5. Memberikan petunjuk kepada siswa bagaimana harus belajar. Ada
hubungan antara sifat ujian dengan teknik belajar.
6. Memberikan dorongan kepada siswa untuk belajar dengan lebih giat. Siswa
yang mendapat nilai kurang diharapkan akan terdorong untuk lebih giat
belajar.

Interaksi belajar mngajar sebagai suatu interaksi edukatif yang berlangsung di


dalam suatu lembaga pendididkan formal selalu terikat pada tujuan pendidikan yang
ingin dicapai. Tujuan itu dirumuskan secara sadar untuk membuat warga negara yang
dicita-citakan,sebagaimana yang dirumuskan didalam undang-undang yang pendidikan
nomor 20 tahun 2003 yaitu bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negera
yang demokrasi serta bertanggung jawab. Tujuan tersebut merupakan tujuan akhir dari
suatu proses intraksi belajar mengajar yang berlangsung di sekolah, tujuan ini dikenal
dengan tujuan pendidikan nasional.

Di dalam proses interaksi belajar mengajar selalu terdapat faktor tujuan


sebagaisasaran dari kegiatan belajar mengajar, bahan pelajar yaitu materi yang
disampaikan sebagai alat mencapai tujuan, guru yaitu orang yang bertanggung jawab
terhadap keberhasilan dari suatu proses pembelajaran, siswa yaitu peserta didik yang
mendapatkan pengajaran, yaitu cara yang dilakukan guru dalam menyampaikan bahan
pelajaran, situasi yaitu suasana mana proses intraksi belajar mengajar itu berlangsung
dan evaluasi yaitu penilaian yang dilakukan oleh guru untuk mengetahui kebershasilan
proses belajar mengajar.

15
Dalam keseluruhan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah berlangsung
interaksi guru dan siswa dalam proses belajar mengajar yang merupakan kegiatan
paling pokok. Jadi proses belajar mengajar merupakan proses kegiatan interaksi
antara dua unsur manusiawi yakni siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai
pihak yang mengajar, interaksi belajar mengajar guru berperan sebagai pembimbing,
guru memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi dan sebagai mediator dan
proses belajar mengajar, langkah-langkah yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur
yang sudah ditentukan.

16
BAB IV. Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi

A. Teori Strukturasi
Teori strukturasi adalah teori ilmu sosial tentang penciptaan dan
reproduksi sistem sosial yang berbasis pada analisis struktur dan agen
(lihat struktur dan agen), tanpa memberi keunggulan pada keduanya.
Selanjutnya, dalam teori strukturisasi, baik analisis
mikro maupun makro semata sudah cukup.
Teori ini diusulkan oleh sosiolog Anthony Giddens, dan menuliskannya
dalam buku The Constitution of Society. Pada buku tersebut, dia
menguji fenomenologi, hermeneutika, dan praktik sosial pada persimpangan
antara struktur dan agen yang tak terpisahkan. Pendukungnya telah
mengusulkan dan memperluas posisi seimbang ini. Meski teori ini telah menuai
banyak kritik, namun teori ini tetap menjadi pilar teori sosiologi kontemporer.
B. Strukturasi dalam Pendidikan
Teori Strukturasi Anthony Gidens menyatakan bahwa individu adalah
agen-agen sosial dengan kemampuan dapat merombak struktur sosial yang
ada. Individu yang berperan sebagai agen sosial setidaknya memiliki
kepribadian kuat sehingga tidak hanya memberi warna terhadap struktur sosial
yang ada tetapi juga dapat merubah struktur yang ada.
Pendidikan memiliki tujuan untuk membekali individu dengan pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap sehingga mampu meningkatkan kualitas dirinya.
Pendidikan yang berkaitan erat dengan anak didik, tentu saja dapat
dikategorikan sebagai pencetak agen-agen sosial dimasa depan. Anak didik
yang berperan sebagai agen sosial  perlu untuk dipersiapkan. Tugas keluarga,
guru, sekolah, pemerintah, dan masyarakat berkewajiban untuk melancarkan
proses pencapaian tujuan pendidikan. Keunikan setiap anak didik sudah
sepantasnya dipandang sebagai sesuatu kelebihan yang dimiliki dalam
upayanya menjadi seorang agen sosial.
Luaran dari proses pendidikan yang diampu oleh siswa pada jenjang
pendidikan adalah sebagai agen-agen social, dengan pengetahuan yang
tersalurkan nantinya. Jadi pendidikan dalam kacamata strukturasi dapat kita
pahami kaitannya bagaimana siswa di orientasikan sebagai agen-agen social
yang akan mengisi struktur-struktur sosia yang ada dan guru sebgai agen yang
akan mengusahakan ketercapaian hal-hal tersebut.

17
KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS

A. Kesimpulan
Teori merupakan media analisis yang digunakan dalam melihat atau
mengkaji suatu fenomena-fenomena yang ada, dan menjadi landasan berfikir
dalam menafsirkan fenomena social dalam kehidupan. Sehingga dengan teori
kita dapat menilai tentang sebuah realitas yang dalam hal ini kaitannya dengan
pendidikan.
Beberapa teori dalam perspektif Sosiologi yang dapat digunakan dalam
melihat fenomena pendidikan. Diantaranya dalah teori intraksionisme simbolik,
teori konflik, teori structural fungsional, teori strukturasi, dan lainnya.
Pendidikan memuat beberapa instrument didalamnya yakni siswa, guru,
petugas sekolah, dan lainnya. Yang dengan semua itu terjalinlah sebuah
intraksi antara satu dengan yang lainnya, sehingga dengan berlandaskan
sebuah jalinan intraksi inilah teori sangat relevan digunakan dalam menafsirkan
jalinan intraksi yang ada dalam pendidikan.
B. Analisis Keritis
Pendidikan adalah suatu ajang dan proses pembelajaran yang ditempuh
oleh manusia/individu dalam mengembangkan wawasan dan pengetahuannya.
Dalam proses pembelajaran akan selalu membentuk alur intraksi antara
perangkat pendidikan, baik itu siswa dengan sesame siswanya, guru dengan
siswa, ataupun guru dengan guru.
Berpaku pada jalinan intraksi yang berlangsung dari proses pendidikan, hal
inilah yang memunculkan bermacam-macam perspektif dalam menilai sebuah
jalinan yang ada. Adapun perspektif-perspektif ini muncul dikarenakan adanya
pemaknaan dari sudut pandang yang berbeda dalam menilai sebuah peroses
jalinan intraksi itu berlangsung diantaranya:
1. Struktur Fungsional, melihat bagaimana kedudukan perangkat-perangkat
pendidikan yang ada itu berfungsi dan berhubungan satu sama lainnya
sesuai dengan status dan tupoksi kerjanya masing-masing dalam
mengupayakan kelangsungan peroses belajar mengajar dalam pendidikan.
2. Teori Konflik, melihat bagaimana kedudukan antara guru dan siswa yang
dipandang sebagai sebuah perbedaan kasta dalam keberlangsungan
sebuah pembelajran yang dimana guru dinilai cendrung memainkan
otoritasnya dalam proses pembelajaran dan atau siswa terkadang memiliki
rasa takut terhadap gurunya dikarenakan memandang guru sebagai

18
atasannya atau pemegang strata yang tinggi. Sehingga hal ini dinilai
sebagai sebuah konflik yang terjalin antara siswa dan guru dalam
pendidikan.
3. Intraksionisme Simbolik, melihat bagaimana hubungan timbale balik dari
sebuah stimulus berupa symbol-simbol yang ada antara guru dan siswa
yang dimana guru menjelaskan materi kepada siswa dan siswa menangkap
materi yang diberikan, sehingga kedudukan guru dan siswa dinilai sebagai
sebuah jalinan intraksi dengan stimulus symbol-simbol yang dimaknai
antara pelaku intraksi tersebut yakni siswa dan guru ataupun siswa dengan
siswa.
4. Strukturasi, melihat bagaimana dengan adanya pendidikan pada generasi-
generasi ke generasi dinilai sebagai media pencetakan agen-agen social
yang akn mengisi ruang struktur social dalam kehidupan masyrakat
kedepannya sehingga dalam perspektif ini melihat bagaimana pendidikan
itu mampu mewujudkan agen-agen yang akan mengisi struktur social yang
ada kedepannya.

19
DAFTAR PUSSTAKA

Ahmadi, dadi. 2005. Intraksionisme Simbolik: Suatu Pengantar. MEDIATOR, Vol.9.


No.2.

A.M. Sardiman. 2008. “Interaksi Motivasi Belajar Mengajar”. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.

Agus Salim. 2008. “Pengantar Sosiologi Mikro”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dewi Wulandari. 2009. “Sosiologi Konsep dan Teori”. Bandung: Refika Aditama.

Zuldafrial. 2009. “Belajar Interaksi Belajar Mengajar”. Pontianak: STAIN Press


Pontianak.

Damsar, 2011. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana.

George, Ritzer, 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.

Ritzer, George., Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam,
Jakarta: Kencana.

Soekanto, Soerjono, 1988. Seri Pengenalan Sosiologi: Talcott Parsons,


Fungsionalisme Imperatif, Jakarta: Rajawali Press.

Suarni, Raisah & M. Sastrapratedja S.J., “Teori Strukturasi: Telaah Kritis terhadap
Pemikiran Anthony Giddens”, Sosiohumanika (Berkala Penelitian Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada), No. 15 (1), Januari 2002.

Priyono, B. Herry, Anthony Giddens: Suatu Pengantar, Kepustakaan Populer


Gramedia, Jakarta, 2002.

Durkheim, Emile, 1938, Rules of Sociological Method. Chicago: University of Chicago


Press.

20
LAMPIRAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
Jl. Majapahit No. 62 Mataram
e-mail : sosiologi@unram.ac.id, Website : www.sosiologi.unram.ac.id

LEMBAR JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


SEMESTER GANJIL TA. 2020/2021

Mata Kuliah : Sosiologi Pendidikan

Kelas : Sosiologi A 2028

Hari/tanggal : Jumat, 16 Oktober 2020

Nama Mhs : Ikmal Maulana

No. Mhs : L1C018039

PERNYATAAN

Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni
hasil pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang
lain, baik dari sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki
kesamaan dengan tulisan rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang
diberikan oleh dosen pengasuh matakuliah ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan
bertanggung jawab.

Tanda Tangan:

21

Anda mungkin juga menyukai