Anda di halaman 1dari 16

1

TEORI-TEORI DASAR DALAM SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Zona Wulandari

Ainan Nur

Efri Yuliana

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan
kesadaran sosial menjadi suatu paduan yang stabil sehingga pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan sosial. Pendidikan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh
karena itu, pendidikan bersifat fungsional dalam sistem kehidupan manusia.
Aktifitas masyarakat dalam pendidikan merupakan sebuah proses sehingga
pendidikan dapat dijadikan instrument oleh individu untuk dapat berinteraksi secara tepat di
komunitas masyarakatnya. Pada sisi yang lain, sosiologi pendidikan akan memberikan
penjelasan yang relevan dengan kondisi kekinian masyarakat, sehingga setiap individu
sebagai anggota masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan
perkembangan berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakat (Batubara, 2004: 13-14).
Kajian sosiologi pendidikan menekankan inplikasi dan akibat sosial dari pendidikan
dan memandang masalah-masalah pendidikan dari sudut totalitas lingkup sosial kebudayaan,
politik dan ekonomi bagi masyarakat. Sosiologi pendidikan memandang gejala pendidikan
sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat (Khaldun, 2008: 73). Lembaga-lembaga,
kelompok sosial dan proses sosial terdapat hubungan yang saling terjalin, di dalam interaksi
sosial itu individu memperoleh dan mengorganisasikan pengalamannya.
Tidak dapat di pungkiri bahwa beberapa grand theory yang terukir dalam sejarah
menjadi sebuah paradigma yang mempengaruhi dunia pendidikan. Paradigma besar dalam
sosiologi pendidikan kemudian berkembang menjadi 4 teori dasar yaitu : Teori stuktural
fungsional, Teori konflik, Teori interaksionalisme simbolik dan Teori tindakan. Para
pendidik sadar atau tidak menganut salah satu teori sosiologi. Teori- teori ini akan menjadi
concern pembahasan dalam makalah ini.
2

PEMBAHASAN
A. Teori Struktural Fungsional
Struktural fungsional atau fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang
luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah
struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan
masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituenya, terutama
norma, adat, tradisi, dan institusi (Idi, 2013: 24).
Jadi dapat disimpulkan bahwa, teori struktural fungsional lebih menekankan pada
fungsi peran dari struktur sosial yang didasarkan pada konsensus dalam suatu masyarakat.
Struktur itu sendiri berarti suatu sistem yang terlembagakan dan saling berkaitan Teori
struktural fungsional menggambarkan masyarakat yang merupakan sistem sosial yang
kompleks, terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling ketergantungan.
Teori struktural fungsional mempunyai asumsi dasar adalah: (1) Masyarakat harus
dilihat sebagai suatu sistem yang kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang saling
berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan
terhadap bagian-bagian lainnya, (2) Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk
mengintegrasikan diri, sekalipun integrasi sosial tidak pernah tercapai dengan sempurna,
namun sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu, (3) Perubahan dalam sistem sosial
terjadi secara gradual, melalui proses penyesuaian, dan tidak terjadi secara revolusioner, (4)
Faktor terpenting yang mengintegrasikan masyarakat adalah adanya kesepakatan diantara
para anggotanya terhadap nilai-nilai masyarakat tertentu, (5) Masyarakat cenderung
mengarah kepada suatu keadaan equilibrium (Maunah, 2016: 165-166).
Berdasarkan penjelasan di atas, Masyarakat menurut teori struktural fungsional
senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetapi memelihara
keseimbangan. Institusi pendidikan dalam teori struktural fungsional berperan menjadi
keteraturan sosial. Pendidikan dan sekolah menjaga lembaga-lembaga nilai-nilai, norma, dan
hukum disosialisasikan kepada peserta didik. Pendidikan menjadi tangga seseorang untuk
mendapatkan status sosial yang lebih tinggi, apabila orang yang berpendidikan tinggi
biasanya akan mendapatkan posisi dan pekerjaan yang lebih baik, dibandingkan dengan
orang yang tidak menempuh pendidikan. Semakin tinggi proses pendidikan yang dijalani
oleh seseorang, maka semakin tinggi posisi dan status sosialnya dimasyarakat.
Jika asumsi yang dikembangkan oleh teori struktural fungsional di atas, maka
pendidikan dianggap sebagai salah satu organ atau pranata. Jika demikian, maka pendidikan
harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Artinya institusi
3

pendidikan harus mampu membangun mekanisme internal dalam menginteraksikan diri


dengan perubahan yang terjadi di lingkungan. Pendidikan harus mampu mendiagnosis nilai-
nilai apa yang berkembang dan dibutuhkan masyarakat ini, kemudian dia memerankan diri
sebagai lembaga yang mensosialisasikan hal-hal tersebut.
Pendidikan dalam perspektif teori struktural fungsional harus dikembangkan
berdasarkan proposisi-proposisi berikut: Pertama, Masyarakat pembelajar tiada lain adalah
susunan individu-individu. Kedua, Masyarakat adalah abstraksi dari individu. Ketiga,
Fenomena sosial hanya memiliki realitas dalam individu-individu. Keempat, Tujuan
mempelajari kelompok adalah untuk membantu memahami dan meramalkan perilaku
individu dalam masyarakat. Kelima, Masyarakat pembelajar terintegrasi karna adanya nilai-
nilai budaya yang dibagi bersama dilingkungan pendidikan lalu dikembangkan menjadi
norma-norma bersama dilingkungan pendidikan dan untuk kemudian dibatinkan oleh
individu-individu dalam masyarakat pembelajar (Maliki, 2010).
Dari penjelasan di atas, pendidikan adalah proses guna mewujudkan kualitas
masyarakat agar dapat melaksanakan peran dalam kehidupan kelompok maupun individual
baik secara fungsional dan optimal. Fungsi pendidikan itu adalah mencerdaskan masyarakat
dari keterbelakangan, ketidaktahuan, dan ketidakberadaban. Jika pendidikan sudah
terselenggarakan maka sudah tercapai tujuan pendidikan tersebut.
Sosiologi pendidikan dalam perspektif teori struktural fungsional difokuskan kepada
pendidikan sebagai realitas sosial, pendidikan dan struktur sosial, pendidikan sebagai pranata
sosial, hubungan pendidikan sebagai pranata sosial dengan pranata sosial yang lain. Fakta
sosial seperti itu yang menjadi kajian pokok dalam persoalan penyelidikan pendidikan
sosiologi pendidikan. Fakta sosial dimaksudkan adalah sesuatu yang sama sekali yang
berbeda dengan ide, yang sama sekali berada diluar perasaan, suasana psikologi serta pikiran
individu. Fakta sosial yang berada dikenyataan empiris, di dalam masyarakat termasuk
masyarakat pendidikan. Setiap fakta memiliki saling ketergantungan. Saling tergantung
mereka bukan pada level individu tapi pada level entitas atau kelompok. Entitas pendidikan
misalnya terbagi atas entitas guru, pimpinan sekolah, komite sekolah, entitas siswa, orang
tua murid, dan seterusnya (Maliki, 2010).
Jadi berdasarkan penjelasa di atas, fakta-fakta sosial tidak dapat direduksi menjadi
individ-individu, tetapi harus dipelajari sebagai realitasnya sendiri. Fakta sosial adalah
individu melakukan sesuatu berdasarkan apa yang ada di dalam masyarakat atau individu
melakukan sesuatu bukan atas kesadaran tetapi karena paksaan.
4

Secara teoritik normatik, pendidikan digagas untuk mencerdaskan manusia. Melalui


kegiatan pendidikanlah usaha untuk memanusiakan manusia dapat diteguhkan dalam realitas
kehidupan. Hal inilah yang menjadikan pendidikan ibarat “Kendaraan” pengangkut berbagai
macam material-material ilmu dalam pengetahuan rangka mengwujudkan manusia yang
cerdas. Dalam hal mengangkut berbagai material itulah pendidikan membutuhkan peran
sumber daya seperti lembaga atau sekolah untuk difungsikan sebagai pengantar material-
material ilmu pengetahuan itu hingga ke masyarakat (stakeholders) yang belajar (Juwaidin,
2015).
Jadi berdasarkan penjelasan di atas, melalui pendidikanlah cara untuk mencerdaskan
manusia agar manusia itu memperoleh kognitif (akal pikiran atau pengetahuan), afektif (nilai
moral, attitude, akhlak, dan karakter) dan psikomotorik (keahlian atau kemampuan). Untuk
menjamin pendidikan terlaksana secara sadar dan terencana maka diperlukan lembaga atau
institusi.
Teori-teori struktural fungsional adalah:
1. Teori fungsionalisme Emile Durkheim
Durkheim melihat pendidikan sebagai pemegang peran dalam proses
sosialisasi atau homogenisasi, seleksi atau heterogenisasi, dan alokasi serta distribusi
peran-peran sosial yang berakibat jauh pada struktur sosial yang distribusi peran-
peran dalam masyarakat.
Durkheim memandang masyarakat sebagai keseluruhan organisasi yang
memiliki realitas tersendiri dan memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi
yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar tetap normal
dan menjadi langgeng. Ada tiga asumsi yang dianut fungsionalisme yaitu: (1) realitas
sosial dianggap sebagai suatu sistem, (2) proses sistem hanya dapat dimengerti dalam
hubungan timbal balik antar bagian-bagian, (3) suatu sistem terikat dengan upaya
mempertahankan integrasi (Soekanto, 1988: 21).
Jadi dapat disimpulkan bahwa, masyarakat harus dipandang sebagai suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan suatu sistem berfungsi untuk memenuhi
kepentingan sistem. Teori fungsionalisme struktural pada dasarnya menginginkan
masyarakat hidup dalam suasana damai dan stabil yang diikat oleh nilai-nilai dan
norma-norma masyarakat.
5

2. Teori fungsionalisme struktural Robert K. Merton


Merton merupakan salah satu tokoh yang melindungi dengan setian dari
analisis yang mampu melahirkan suatu masalah yang sangat menarik dan cara
berpikirnya pun lebih efektif dibandingkan tokoh-tokoh lain.
Merton mengatakan bahwa struktur yang ada dalam sistem sosial adalah
realitas sosial yang dianggap otonom dan merupakan organisasi keseluruhan dari
bagian-bagian yang saling bergantungan. Dalam sistem sosial terdapat pola-pola
perilaku yang relatife abadi.
3. Teori fungsionalisme Talcoot Parsons
Teori fungsionalisme menurut Parsons (1937: 251) menganggap masyarakat
pada dasarnya terintegrasi atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai
kemasyarakatan.
Asumsi teori fungsionalisme Parsons adalah: (1) sistem memiliki property
keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung, (2) sistem cenderung bergerak
kea rah mempertahankan keteraturan atau keseimbangan diri, (3) sistem mungkin
statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur, (4) sifat dasar bagian suatu
sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian lain, (5) sistem memilihara batas-batas
dengan lingkungannya, (6) alokasi dana integrasi merupakan dua proses fundamental
yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem, (7) sistem cenderung
menuju kea rah pemeliharaan keseimbangan.

B. Teori Konflik
Teori konflik berkembang sebagai counter terhadap fungsional struktural. Teori ini
menganggap bahwa masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok dan golongan yang berbeda
kepentingan. Konflik ini diharapkan mampu memperteguh identitas. Sehingga dalam teori
konflik dibutuhkan katup pengaman untuk mengamankan konflik tersebut.
Karl Marx dianggap sebagai orang yang paling banyak memberi sumbangsi dalam
pengembangan teori sosial konflik. Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan
sarana-sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx
mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak
mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukan bahwa dalam masyarakat.
Pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan
kelas pekerja miskin sebagai kelas proleter.
6

Teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa terjadinya class struggle antara satu
kelompok dengan kelompok lain karena adanya perbedaan kepentingan maka akan
melicinkan jalan terciptanya sebuah masyarakat. Ini dikarenakan suatu masyarakat harus
memilih salah satu kelompok. Dari hasil persaingan perebutan kekuasaan itu lahir tatanan
kelas masyarakat pemenang yang kemudian mampu membentuk tatanan ekonomi dan
peradaban yang maju dalam masyarakat. Secara sederhana dapat dicontohkan dalam
kelompok kecil misalnya keluarga, teori sosial konflik melihat keluarga bukan sebagai
bagian yang harmonis dan seimbang tetapi dianggap sebagai bahagian dari sebuah sistem
yang penuh dengan konflik. Suatu hal yang ironi diperlihatkan dari teori ini yaitu
dianggapnya hubungan antara suami dan istri tidak ubahnya dengan penguasa dan yang
dikuasai (Susan, 2009: 5). Hal ini terkait dengan persaingan peran dan dominasi di dalam
keluarga. Situasi konflik yang terjadi di masyarakat atau di rumah tangga bukanlah sesuatu
yang abnormal tetapi dianggap sebagai suatu proses secara alami menuju kepada terjadinya
suatu perubahan.
Menurut Dahrendorf, dalam setiap kelompok orang berada pada posisi dominan
berupaya mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada pada posisi marginal
atau subordinat berusaha mengadakan perubahan (Ritzer & Goodman, 2008: 156). Konflik
merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan
pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara
dua atau lebih kelompok. Misalnya generasi tua dan muda dan seterusnya (Soekanto, 2009:
290).
Jadi dapat disimpulkan, konflik berfungsi sebagai alat untuk pembentukan, penyatuan
dan pemeliharaan struktur sosial. Kalau gak ada konflik atau persaingan akan hambar,
karena konflik itulah yang akan membangun untuk kedepannya dan juga konflik tidak akan
selamanya negatif.
Menurut Coser, konflik dibagi menjadi dua: Pertama, konflik realistis berasal dari
kekecewaan terhadap tuntunan-tuntunan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari
perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditunjukan pada objek yang
dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntunan
mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikan. Kedua, konflik non-realistis konflik yang
bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk
meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Pada masyarakat yang buta huruf
pembalasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain-lain.
Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambing hitaman sebagai pengganti
7

ketidakmampuan melawan kelompok yang tidak seharusnya menjadi lawan mereka.


Terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap
permusuhan atau agresif. Contohnya, dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa
berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapakan suatu masalah
yang menuntut mereka untuk saling berhadapan dimeja hijau. Masing-masing secara agresif
dan teliti melindungi kepentingan kleinnya tetapi setelah meninggalkan persidangan mereka
melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.
Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan yang intim, maka
pemisahan (antara konflik realistis dengan konflik non-realistis) akan lebih sulit
dipertahankan. Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah
tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekankan mengungkapkan
rasa permusuhan. Sedangkan pada hubungan-hubungan sekunder seperti dengan rekan
bisnis, rasa permusuhan dapat relative bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi
dalam hubungan-hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat
perlengkapan pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan
tersebut.
Coser mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi
dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap
masyarakat yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan
peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok
tidak ada, berarti menunjukan lemahnya interaksi kelompok tersebut dengan masyarakat.
Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam
pandanga negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat
membuat struktur sosial. Dengan demikian, ia menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik
sebagi indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.
Teori konflik tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat menurut Weber,
stratifikasi merupakan kekuatan sosial yang berpengaruh besar. Pendidikan akan mengantar
seseorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang membedakan kaum buruh. Namun
tekanan disini bukan pada pendidikannya melainkan pada unsur kehidupan yang
memisahkan dari golongan lain. Menurut Weber, dalam dunia kerja mereka yang
berpendidikan tinggi yang menduduki kelas penting. Jadi pendidikan seperti dikuasai oleh
kaum elit, dan melanggengkan posisinya untuk mendapatkan status dan kekuasaannya.
Pendidikan dalam masyarakat industri sangat dibutuhkan, karena dianggap sebagai
batu lonjatan agar seseorang mendapatkan status sosial yang lebih tinggi. Pendidikan dapat
8

memberi manfaat tidak hanya bagi dirinya tapi bagi keluarga, masyarakat, dan Negara.
Negara-negara di dunia ini menyakini semakin tinggi pendidikan baik secara kuantitas
maupun kualitas pendidikan suatu daerah atau Negara maka kemungkinan akan berdampak
secara positif terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan. Sebaliknya,
jika tingkat pendidikan di suatu daerah rendah baik secara kuantitas maupun kualitas maka
daerah atau Negara, proses perubahan kearah yang lebih baik akan mengalami hambatan.
Sekolah dalam perspektif teori konflik adalah lembaga yang dibentuk oleh penguasa
dan kapitalis untuk melayani mereka. Hal tersebut sebagai mana yang dikatakan oleh
Bowwless kapitalisme dipandang mengorganisasi pendidikan secara masal sesuai dengan
kepentingan kelas kapitalis. Hal tersebut dapat kita lihat: Pertama, Pendidikan dalam
masyarakat dapat menyediakan tenaga kerja yang murah yang diperlukan oleh kapitalis
untuk bekerja di pabrik-pabrik mereka. Kedua, Pendidikan menjadi tempat membentuk
manusia untuk menerima tata nilai dan perilaku yang kondusif untuk membentuk tenaga
kerja yang produktif. Ketiga, Sekolah dapat mengajarkan kesetian pada Negara dan patuh
pada hukum, dengan menekankan bahwa sistem yang ada adalah sistem menguntungkan
bagi semua orang, sistem yang memberikan peluang yang sama bagi semua orang untuk
mengembangkan potensi dirinya, dan sistem yang dibangun berdasarkan pada asas-asas
keadilan.
Kritik lain yang diarahkan kepada sekolah datang, dari seorang tokoh Humanis radikal
yang bernama Ivan Illich yang berusaha melihat posisi dan peran pendidikan masyarakat.
Bagi Ivan Illich sekolah formah hanya memasung kebebasan dan perkembangan manusia.
Sekolah tidak lagi memadai untuk anak-anak di kaum muda. Ivan Illich mengatakan
“Sekolah jauh lebih memperbudak orang dengan cara yang lebih sistemik karena hanya
sekolah yang dianggap mampu melaksakan tugas utama, yaitu membentuk penilaian yang
kritis, dan anaehnya sekolah melakukan tugas tersebut dengan cara membuat pemahaman
tentang diri sendiri, tentang orang lain, tentang alam, menjadi tergantung pada proses yang
sudah dibentuk terlebih dahulu. Begitu dahsatnya sekolah atas diri kita sehingga tidak
seorang pun diantara kita dapat berharap bahwa iya dapat dibebaskan dari padanya oleh
sesuatu yang lain.” (Illich, 1982).
Jadi berdasarkan penjelasan di atas, bagi Illich konsep pendidikan yang baik harus
memenuhi tiga syarat: Pertama, Memberi kesempatan kepada semua orang untuk bebas dan
mudah mendapatkan sumber belajar pada setip saat. Kedua, Memungkin semua orang yang
ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dapat dengan mudah
9

melakukannya, demikian pula bagi yang ingin mendapatkannya dan Ketiga, Menjamin
tersedianya masukan umum yang berkenan dengan pendidikan.
Teori konflik adalah antetitas dari teori struktural fungsional yang berasumsi bahwa
masyarakat hidup dalam keadaan statis. Tokoh utama teori konflik adalah Ralp Dahrendorf.
Masyarakat dalam perspektif teori konflik senantiasa berada dalam pertentangan secara
terus-menerus di antara unsur-unsurnya. Teori konflik berkeyakinan bahwa elemen-elemen
dalam masyarakat memberikan kontribusi terjadinya konflik atau disintegrasi sosial.
Keteraturan-keteraturan dalm masyarakat hanya didasarkan pada pemaksaan-pemaksaan
pada pengasa kepada yang dikuasainya. Artinya, keteraturan sosial di masyarakat bukan
karna dasar sukarela dari para anggota masyarakat, tetapi karena dibawa tekanan atau
dibawa logika hukum yang secara sepihak dibuat oleh penguasa untuk menjinakan
masyarakat yang sebenarnya dalam kondisi bersaing dalam segala hal. Seseorang dalam
kondisi konflik akan menyesuaikan diri dengan peran yang diharapkan oleh golongan, hal
tersebut Dahrendorf disebut sebagai peranan Laten.
Dahrendorf golongan yang telibat konflik menjadi kelompok semu (quasi group).
Kelompok semu adalah kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan
kepentingan-kepentingan yang sama, yang kelompok ini terbentuk karena munculnya
kelompok kepentingan. Adapun aspek lain dari teori Dahrendorf tentang perubahan sosial
dan konflik akan mengarahkan pada pembangunan. Artinya kelompok-kelompok yang
terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk melakukan evaluasi dalam struktur sosial.
Konflik tidak selamanya negatif, ada 4 fungsi konflik: Pertama, konflik sebagai alat
untuk memelihara solidaritas. Kedua, konflik akan membantu menciptakan ikatan aliansi
dengan kelompok lain. Ketiga, pengaktifan peranan individu yang semula terisolasi.
Keempat, Fungsi komunikasi.
Adapun teori konflik yang berakar pada Marx dibangun atas dasar asumsi: a)
Masyarakat senantiasa dalam perubahan yang tidak pernah berakhir. b) Setiap masyarakat
mengandung konflik-konflik dalam dirinya atau dengan kata lain, konflik merupakan gejala
yang melekat dalam setiap masyarakat. c) Setiap unsur dalam masyarakat memberikan
sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. d) Setiap masyarakat
terintegrasi di atas dasar penguasaan atau dominasi yang dilakukan oleh sejumlah orang
terhadap sejumlah orang lainnya (Hanani, 2013: 53).
Dari asumsi dasar teori konflik itu kemudian melahirkan proposisi yang kemudian hal
itu dapat dielaborasi menjadi sebuah strategi konflik menurut Sanderson (1991) sebagai
berikut:
10

a) Kehidupan sosial pada dasarnya merupakan arena konflik diantara kelompok yang
bertentangan.
b) Sumber-sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik merupakan hal yang penting
yang diperebutkan oleh berbagai kelompok.
c) Akibat tipikal dari konflik itu memunculkan pembagian masyarakat menjadi
kelompok determinan secara ekonomi dan kelompok yang tersubordinasi.
d) Pola-pola sosial dalam suatu masyarakat sangat ditentukan oleh pengaruh sosial dari
kelompok secara ekonomi merupakan kelompok determinan.
e) Kelompok dan konflik sosial didalam dan diantara pembagian masyarakat
melahirkan kekuatan yang mengerakan perubahan sosial.
f) Karena konflik merupakan ciri dasar perubahan sosial, maka perubahan menjadi hal
yang umum dan sering terjadi.

C. Teori Interaksionisme Simbolik


Inti pandangan pendekatan teori ini adalah individu. Para ahli di belakang perspektif
ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi.
Teori ini beranggapan bahwa individu adalah objek yang dapat secara langsung ditelaah dan
dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain (Rasyid, 2015: 281).
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863-1931),
Charles Horton Cooley (1846-1929), yang memusatkan perhatiannnya pada interaksi antara
individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol yang di
dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.
Interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat
sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologi. Teori ini berurusan
dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk konkret dari perilaku individual atau sifat-
sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakikat
interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan ubungan sosial. Interaksi sendiri
dianggap sebagai unit analisis, sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang.
Dapat dicontohkan, hubungan seorang guru dengan peserta didik. Dalam hubungan
tersebut ada pola yang telah diatur, peserta didik sebagai orang yang akan menerima
informasi dan guru sebagai orang yang akan melakukan transformasi pengetahuan. Guru
mengetahui keberhasilan peserta didiknya, ia harus melakukan penilaian. Pandangan peserta
disik terhadap dirinya dan teman-temannya dipengaruhi oleh penilaian guru yang
bersangkutan. Lalu diberilah label atas dasar interpretasi bahwa peserta didik yang duduk di
11

bangku depan berkelakuan baik, sopan, rajin, dan pintar. Peserta didik yang berada di baris
belakang sepertinya kurang pintar, tidak perhatian terhadap pelajarannya dan malas.
Sehingga perhatian guru terhadap mereka yang diinterpretasikan subordinat dalam prestasi
belajar akan berbeda. Padahal dapat saja kemampuan semua peserta belajar di satu kelas
tidak signifikan perbedaannya atau mirip (Jones, 2009: 144). Oleh karena itu, dibutuhkan
interaksi langsung dengan melihat dari dekat tidak sepintas serta memberi perlakuan sama
yang mendorong peserta didik tersebut mempunyai progress akademik yang positif sehingga
interpretasinya benar dan sesuai dengan fakta lapangan.
Blumer dalam Soeprapto (2002) mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme
simbolik yang berhubungan dengan meaning, language,dan thought. Premis ini kemudian
mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang dan sosialisasinya dalam
komunitas (community) yang lebih besar yaitu:
1. Meaning (Makna)
Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap
sebuah objek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang objek
atau orang tersebut.
2. Languange (Bahasa)
Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak
melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa
adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itu, teori ini kemudian disebut sebagai
interaksionisme simbolik.
Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi
nama yang berguna untuk membedakan satu objek, sifat, atau tindakan dengan objek,
sifat, atau tindakan lainnya. Dengan demikian, premis Blumer yang kedua adalah
manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk nama
adalah tanda yang arbitrer. Percakapan adalah sebuah media penciptaan makna dan
pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah basis terbentuknya
masyarakat. Para interaksionis menyakini bahwa upaya mengetahui sangat tergantung
pada proses pemeberian nama, sehingga dikatakan bahwa interaksionisme simbolik
adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.
3. Thought (Pemikiran)
Premis ketiga Blumer adalah interaksionisme simbolik menjelaskan proses
berpikir sebagai inner conversation. Secara sederhana proses menjelaskan bahwa
12

seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah
situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut. Seseorang memerlukan bahasa
untuk berpikir dan berinteraksi secara simbolik. Bahasa merupakan software untuk
menjalankan.
Penganut interaksionisme simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi dari
bahasa. Tanpa pembicaraan tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk
mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi anggota komunitas. I adalah
kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah bagian dari diri yang tidak
terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang tampak dalam the looking-
glass dari reaksi orang lain.
Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi simbolik yang terus menerus mulai
dari keluarga, teman bermain, sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itu, seseorang
membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang
membutuhkan the generalized other, yaitu berbagai hal (orang, objek, atau peristiwa)
yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan berinteraksi dalam komunitas. Me
adalah organized community dalam diri seorang individu.

Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih
tak terduga dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologi yang
konvensional. Disisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang
tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak dan mencipta.
Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan
berubah, selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya.
Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka lebih mudah
memahami fenomena sosial melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama dalam
teori interaksionisme simbolik ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna,
makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain, makna tersebut berkembang dan
disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung (Soeprapto, 2002: 123-124).

D. Teori Tindakan
Menurut Sharpley (1994), Social Action Theory dipandang sebagai midway antara
sosiologi makro dan sosiologi mikro. Perspektif dasar teori tindakan sosial adalah bahwa
individu dan masyarakat bukanlah dua bagian yang terpisahkan, karena sesungguhnya
masyarakat dibentuk oleh individu, dan realitas sosial merupakan hasil dari tindakan sosial
13

atau interaksi sosial antar individu. Dalam berinteraksi, setiap individu memiliki cara-cara
untuk memahami atau menginterpretasikan perilaku individu lainnya, yang dikomunikasikan
lewat simbol (Winangsih, 2012: 69).
Jadi dapat disimpulkan bahwa, individu selalu aktif dan kreatif dalam membentuk
melainkan selalu berubah melalui proses negosiasi, diubah dan diadaptasi oleh anggota
masyarakat. Sesungguhnya individu melakukan sesuatu atau bertindak karena individu itu
kreatif.
Menurut Weber, dunia terwujud karena tindakan sosial. Manusia melakukan sesuatu
karena mereka memutuskan untuk melakukannya dan ditunjukan untuk mencapai apa yang
mereka inginkan. Setelah memilih sasaran, mereka memeperhitungkan keadaan, kemudian
memiliki tindakan. Dalam kehidupan sosial dengan Tuhan maupun dengan berbagai jenis
tindakan, tindakan ini diperoleh melalui proses belajar, baik formal maupun informal.
Tindakan ini menunjukkan bahwa manusia selalu aktif dan tidak bisa diam dalam menjalani
hidup ini. Mereka harus bekerja, belajar dan berhubungan dengan manusia lainnya, tentunya
ini memiliki motif tertentu. Seperti yang dikemukakan Weber bahwa tindakan sosial adalah
“Action which takes account of behavior of other and is there by oriented in its course.
Social action than is subjectively meaningful behavior which in influenced by or oriented
towards the behavior of other ( Cuff & Payne, 1981).
Asumsi dasar teori ini adalah bahwa tindakan manusia muncul dari kesadarannya dan
dari situasi lingkungan yang mengitarinya. Teori ini memperhitungkan sifat-sifat
kemanusiaan dan aspek subjektif manusia yang diabaikan oleh teori behaviorisme.
Kemampuan individu untuk melakukan yang tersedia dalam arti menetapkan cara dari
sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya yang oleh Parsons
disebut voluntarism. Tindakan sosial dijadikan sebagai pijakan dalam memahami fenomena
suatu realitas sosial yang dialami oleh penyandang oligodaktili dalam mengonstruksi dirinya
terkait dengan diri yang memiliki kelainan cacat fisik sejak lahir, dan tindakan komunikasi
dengan orang lain dalam lingkungannya yang dialami dalam kehidupan sehari-harinya telah
membentuk dunia sosial yang diyakininya dan berkembang menjadi realitas dalam
kehidupan sosial.
Weber juga mencoba memahami tindakan sosial secara interpretative sehingga
sampai pada suatu penjelasan kausal terhadap tujuan ataupun makna peristiwanya. Bagi
Weber, tindakan manusia pada dasarnya bermakna melibatkan penafsiran, berfikir, dan
kesengajaan. Tindakan sosial adalah tindakan yang disengaja, yakni disengaja bagi orang
lain dan actor itu sendiri, dimana pikiran-pikirannya aktif saling menafsirkan perilaku orang
14

lain, berkomunikasi satu sama lain, dan mengendalikan perilaku dirinya masing-masing
sesuai maksud kominukasinya. Meskipun demikian, tidak semua tindakan manusia dapat
dianggap sebagai tindakan sosial, karena hanya tindakan yang dilakukan dengan
mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain saja yang
dapat dikatakan sebagai tindakan sosial. Kriteria tindakan sosial adalah “When the indivual
orientation his or her acts to others besides self’” (Charon, 2007: 127).
Jadi dapat disimpulkan bahwa, tidak semua tindakan manusia dianggap tindakan
sosial karena dalam melakukan tindakan sosial itu harus mempunyai motif dan tujuan.
Seorang bertindak tidak hanya sekedar melaksanakan tetapi juga menempatkan diri dalam
lingkungan berfikir dan orang lain.
Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tidak lain adalah memfokuskan perhatian
pada individu, pola dan regularitas tindakan, bukan pada kolektivitas. George Ritzer (2002:
47) mengutip pendapat dari Charles Hariton Cooley bahwa sesuatu yang mempunyai arti
penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah apa yang disebut sebagai kesadaran
subjektif. Perasaan-perasaan individual, sentimental, dan ide-ide merupakan faktor yang
mendorong manusia untuk berinisiatif atau untuk mengakhiri tindakannya terhadap orang
lain. Individu bisa melihat dirinya melalui persepsi dari orang disekitarnya.
15

KESIMPULAN

Berdasarkan yang dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa teori struktural


fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki hubungan dan keteraturan yang sama
dengan yang dipertahankan oleh consensus umum. Sedangkan teori konflik cenderung
menekankan kekacauan antar fakta sosial serta gagasan mengenai keteraturan dipertahankan
melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat. Dalam pendidikan, suasana kondusif
selalu harus dijaga dan menghindari konflik dengan stakeholders.
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,
penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dengan kelompok lain dapat
memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia
sosial sekelilingnya. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat
memperkuat struktur sosial. Sehingga ketiadaan konflik bukanlah indikator dari kekuatan
dan kestabilan suatu hubungan. Pendidikan yang dilaksanakan baik pemerintah maupun
swasta adalah pendidikan yang tidak statis, akan tetapi penuh dengan dinamika sosial.
Konflik yang terjadi dalam pendidikan adalah bagian dari proses konstruksi pendidikan
kearah yang lebih baik.
Teori interaksionisme simbolik berasumsi bahwa kehidupan sosial hanya bermakna
pada tingkat individu yang realitas sosial itu tidak ada. Sebagai contoh, buku bagi seorang
berpendidikan merupakan suatu hal yang penting, namun bagi orang yang tidak mengenyam
pendidikan tidak bermanfaat. Dari sini, dapat dibedakan teori interaksionisme simbolik
dengan teori-teori lainnya. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa “arti” muncul
dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Seorang pendidik tidak cukup
menjastifikasi peserta didiknya dari hasil penilaian sesaat dan parsial, tetapi penilaian itu
harus holistic dan berkelanjutan yang didasarkan pada interaksi timbal balik. Sedangkan
Asumsi dasar teori tindakan adalah bahwa tindakan manusia muncul dari kesadarannya dan
dari situasi lingkungan yang mengitarinya.
16

DAFTAR PUSTAKA

Batubara, M. (2004). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Ciputat Press.

Hanani, S. (2013). Sosiologi Pendidikan Keindonesiaan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Idi, A. (2013). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Illich, I. (1982). Bebas dari Sekolah. Jakarta: Sinar Harapan-Yayasan Obor Indonesia.

Juwaidin. (2015). Pengantar Pendidikan dan Teori Belajar. Yogyakarta: Kurnia Kalam
Semesta.

Khaldun, I. (2008). “Muqaddimah Ibn Khaldun”. Diterjemahkan oleh Ahmadie Thoha,


Muqaddimah Ibn Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Maliki, Z. (2010). Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: UGM Press.

Maunah, B. (2016). Pendidikan dalam Perspektif Struktural Fungsional.Cendekia: Jurnal


Pendidikan dan Pembelajaran, 10(2), 159-178.

Parsons, T. (1937). Structure of Social Action. New York: McGraw-Hill.

Rasyid, M. R. (2015). Pendidikan Dalam Perspektif Teori Sosiologi. AULADUNA: Jurnal


Pendidikan Dasar Islam. 2(2), 274-286.

Ritzer, G & Douglas J.G. (2008). “Modern Sociological Theory”. Diterjemahkan oleh
Alimandan. Theory Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

Soekanto, S. (1988). Seri Pengenalan Sosiologi: Talcott Parsons, Fungsionalisme Imperatif.


Jakarta: Rajawali Press.

Soekanto, S. (2009). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soeprapto, R. (2002). Interaksi Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Averrpes


Press dan Pustaka Pelajar.

Susan, N. (2009). Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Perdana Media
Group.

Winangsih, N. (2012). Sosiologi sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai