Anda di halaman 1dari 20

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI-TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL,

TEORI KONFLIK, TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK, SERTA TEORI


STRUKTURASI

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Sosiologi Pendidikan

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Lalu Fathulloh


NIM : L1C017041
Fakultas&Prodi : Sosiologi
Semester :7

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT karna berkat
limpahan rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan Tugas Sosiologi
Pendidikan ini. Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq
Ramdani, S.Th.I., M.Sos sebagai dosen pengampuh Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
yang sudah membimbing saya sehingga mampu menyelesaikan semuanya dengan
baik.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi banyak orang
terutama bagi diri saya sendiri. Mungkin dalam penulisan tugas ini banyak terdapat
kesalahan dan jauh dari kata sempurna sehingga penulis menghrapkan kritik dan
saran yang membangun.

Penyusun, Mataram,14 Oktober 2020

Nama : Lalu Fathulloh


NIM : L1C017041

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural 1
BAB II. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik 5
BAB III. Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik 8
BAB IV. Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi 11
KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS 13
DAFTAR PUSTAKA 15
LAMPIRAN 16

iii
BAB I. Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural

Pendidikan adalah suatu proses untuk memperoleh dan mengembangkan


pengetahuan, keterampilan, sikap dan juga pengalaman peserta didik, dimana aspek-
aspek yang diperoleh tersebut akan berkembang dalam diri peserta didik untuk
diterapkan dan menjadi pedoman untuk menjalani kehidupan dalam membangun
bangsa. Pendidikan tidak bisa terlepas dari sebuah sistem yang mengaturnya. Sistem
tersebut memiliki struktur dan fungsinya masing-masing. Semakin baik sebuah struktur
maka setiap elemen akan berjalan seimbang (fungsional). Pendidikan mempunyai
peranan menyiapkan sumber daya manusia yang mampu berpikir secara kritis dan
mandiri (independent critical thinking) sebagai modal dasar untuk pembangunan
manusia seutuhnya yang mempunyai kualitas yang sangat prima. Upaya
pengembangan kemampuan berpikir kritis dan mandiri bagi peserta didik adalah
dengan mengembangkan pendidikan partisipasif.
Pemikiran perspektif structural fungsional meyakini bahwa tujuan pendidikan
adalah mensosialisasikan generasi muda menjadi anggota masyarakat untuk
dijadikan tempat pembelajaran, mendapatkan pengetahuan, perubahan perilaku dan
penguasaan tata nilai yang diperlukan agar bisa tampil sebagai bagian dari warga
negara yang produktif (Sunarto,1993:22). Istilah Struktural Fungsional dalam teorinya
menekankan pada keteraturan (orde). Dalam teori ini, masyarakat dipandang sebagai
suatu system social (social system) yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Teori ini mempunyai asumsi bahwa
setiap tatanan (struktur) dalam sistem sosial akan berfungsi pada yang lain, sehingga
bila fungsional yang tidak ada, maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang
dengan sendirinya. Semua tatanan adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dalam
arti demikian, maka teori ini cenderung memusatkan kajiannya pada fungsi dari suatu
fakta sosial (social fact) terhadap fakta sosial lain. Pendidikan Dalam Teori Struktural
Fungsional sebagaimana telah dijelaskan diawal , bahwa teori struktural fungsional
tidak bisa terpisahkan. Stratifikasi yang ada dalam masyarakat mempunyai peran atau
fungsi. Ekstrimisme toeri ini adalah mendarah dagingnya asumsi bahwa semua even
dalam tatanan adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Berbicara tentang
masyarakat maka hal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan “integrasi” (satu kesatuan
yang utuh, padu) seperti dikemukakan Parson, yang berarti bahwa struktur dalam
masyarakat mempunyai keterkaitan atau hubungan satu dengan yang lain. Pendidikan
khususnya, tidak bisa dipisahkan dari struktur yang terbentuk dalam masyarakat. Kita

1
tidak bisa pungkiri bahwa terbentuknya stratifikasi dalam masyarakat salah satunya
dibentuk oleh pendidikan itu sendiri.
Fungsionalisme Struktural tidak hanya berlandaskan pada asumsi-asumsi
tertentu tentang keteraturan masyarakat, tetapi juga memantulkan asumsi-asumsi
tertentu tentang hakikat manusia. Di dalam fungsionalisme, manusia diperlakukan
sebagai abstaksi yang menduduki status dan peranan yang membentuk lembaga-
lembaga atau struktur sosial. Didalam perwujudanya yang ekstrim, fungsionalisme
struktural secara implicit memperlakukan manusia sebagai pelaku yang
memainkan ketentuan-ketentuan yang telah dirancang sebelumnya, sesuai dengan
norma-norma atau aturan-aturan masyarakat. Di dalam tradisi pemikiran Durkheim
untuk menghindari reduksionisme, yaitu fenomena alamiah yang diciutkan dalam
suatu hal yang lebih kecil (Dahlan, 2001:659). Peran pendidikan dalam teori
struktural fungsional antara lain adalah: (1) Pendidikan dalam peranan kelompok.
Peranan kelompok yang ada diharapkan dapat memenuhi dan memuaskan
kebutuhan sesorang, hal ini akan membiasakan kebutuhan dan kepentingan serta
mendekatkan harapan para anggota. Peristiwa ini diharapkan dapt menjadikan suatu
asosiasi atau lapiran, strata maupun struktur masyarakat, baik secara kasta,
golongan, statifikasi,kedaerahan, kelompok dan lain sebagainya di lingkungan
masyarakata tertentu.
1) Pendidikan dalam Status Kelompok Stuktural Sosial. Struktur masyarakat
jika dilihat dari persilangan yang terjadi terdapat: (a) Kesukuan /Kedaerahan, (b)
Kelas Sosial / Strata (struktur / lapisan ) masyarakat, (c) Status Pekerjaan /
Jenjang jabatan dalam bagian masyarakat.
Ada beberapa suku yang hidup dalam masayarakat tertentu, masing-
masing dari masayarakat itu menunjukkan dan merasakan adanya ikatan suatu
geografis maupun kebudayaan tertentu yang senada dan berlaku secara turun
menurun serta para anggotanya dilahirkan, dikembangkan dan bertahan dalam
kelngsungan hidupnya (viabilitas) persilangan-persilangan yang terjadi akan
mewujudkan rasa kedaerahan. Kelas-kelas sosial merasakan juga adanya ikatan,
tujuan, tuntutan, gerakan maupun jenjang, mereka akan mengadakan persilangan
antara masing-masing keals dan akan mewujudkan segmentasi maupun
pembentukan bagian yang semakin besar, dalam hal ini berbentuk lapisan masyarakat
dan memupunyai pengaruh terhadap kelangsungan hidup masyarakat. Individu dalam
masyarakat yang telah mencukupi umur haruslah bekerja sesuai dengan bidang
dan kemampuan masing-masing. Kenyataan ini menunjukkan interaksi antar

2
sesama yang mempunyai status pekerjaan yang sama atau mirip sehingga dapat
menimbulkan pertukaran pengalaman, penegetahuan, pikiran serta gagasan-
gagasan penting. Persilangan-persilangan status pekerja/pekerjaan akan
melahirkan jenjang pekerjaan yang lebih besar dalam masyarakat (Kreimers,
1984:33).
2) Pendidikan Dalam fungsi-fungsi Masyarakat.
Dalam lembaga menyelenggarakan berbagai macam fungsi, dalam lembaga keluarga
memperhatiakan dan memberikan perlindungan keluarga satu dengan yang
lain,menyelenggarakan fungsi-fungsi ekonomi, ayah ibu dan kakak juga berfungsi
sebagai pengganti guru ketika berada di rumah, memberikan gizi dan obat-
obatan serta gizi maupun pelayanan sosial-sosial lainya. Lembaga masyarakatpun
juga mempunyai fungsi dan tugas yang serupa dengan lembaga keluarga. Dalam
lembaga, fungsi-fungsi itu dipisah-pisah dan di bagi-bagi. Tidak dapat diperkirakan
bahwa suatu fungsi sosial tertentu diselenggarakan secara eksklusif oleh suatu
lembaga. Jika kita memahami pendidikan dengan seluruh kegiatan- kegiatannya,
dimana anak-anak belajar dan dipelajari teknik-teknik, kebiasaan-kebiasaan serta
perasaan-perasaan pada masyarakat dimana hidup, adalah nyata bahwa sekolah tidak
melakukan monopoli atas pendidikan (Kreimers, 1984:220).

Dalam hal penerapan fungsional structural dalam pendidikan Muhyi Batu Bara
mengungkapkan bahwa Manajemen Pendidikan Mutu Berbasis Sekolah itu menjadi
konsep dan juga merefleksikan dan peran serta tanggung jawab masing-masing
pihak antara lain: (1) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (2) sekolah memiliki
misi dan target mutu yang ingin dicapai, (3) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat,
(4) adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah (kepala sekolah, guru, dan
staf lainya, termasuk siswa) (5) adanya pengembangan staf sekolah yang terus
menerus sesuai dengan tuntutan IPTEK, (6) adanya pelaksanaan evaluasi yang
terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administrative, dan
pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan dan atau perbaikan mutu, (7) adanya
komunikasi dan dukungan insentif dan orang tua siswa dan masyarakat lainya.
Sehingga praktek teori struktural-fungsional yang mengedepankan integrasi,
maka tanggung jawab dan peran masing-masing pihak harus selalu menjadi prioritas
dalam rangka membangun intergrasi solid di sekolah terutama yang erat kaitannya
dengan peningkatan mutu pendidikan, Pendidikan dalam teori ini bahwa setiap
sturkturisasi jika berfungsi sesuai dengan stratifikasi yang diperankan maka akan
membentuk lembaga-lembaga yang paradigmatis untuk mendidik masyarakat istiqama

3
dan menjadi panutan. Artinya, fungionaris yang ada pada lembaga-lembaga tersebut
menjalankan fungsi serta peranannya yang sesuai oleh aturan-aturan yang ada dalam
masyarakat. Fungsionaris yang ada di birokrasi menjalankan fungsinya sebagai
pelayan masyarakat, fungsionaris yang ada dalam lembaga adat, kultur dan budaya
bahkan agama juga menjalankan perannya sesuai dengan amanah leluhur, pemuka
agama dan lain-lain sebagainya.

4
BAB II. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik

Pendidikan dalam teori konflik dimulai dengan menelusuri pemikiran perspektif


struktural konflik. Teori konflik muncul karna teori structural fungsional. Teori konflik
adalah pengkritik teori fungsional, dinyatakan bahwa teori fungsional tidak mampu
memberikan gambaran situasi masyarakat yang sebenarnya, teori fungsional melihat
masyarakat secara seimbang, padahal sesungguhnya masyarakat penuh ketegangan
dan selalu berpotensi melakukan konflik. Tokoh gerakan ini tidak lain adalah Karl Marx.

Teori konflik berpendapat bahwa kehidupan sosial di masyarakat terdapat


berbagai bentuk pertentangan. Paksaan dalam wujud hukum dipandang sebagai
faktor utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi
(property), perbudakan (slavery), kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak
kesamaan. Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat karena bekerjanya
lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan
dan penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalah kesenjangan
sosial. Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,
penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat memperkuat antara
kelompom satu dengan kelompok yang lain agar tidak menyatu dengan kelompok
yang ada di sekitarnya. Coser membagi dua kelompok.

Konflik memiliki perspektif yang berbeda dengan perspektif fungsional


karena melihat kontribusi yang positif kepada lembaga pendidikan dalam
masyarakat. Dalam perspektif ini terdapat penekanan-penekanan adanya perbedaan
yang sangatmenyolok yang ada pada setiap diri individu dalam mendukung suatu
sistem sosial. Konflik menunjukkan adanya perbedaan pada masing-masing individu
disebabkan karena mempunyai kebutuhan yang sangat terbatas. Adapun
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan individu tersebut saling berbeda satu
dengan yang lainya. Teory konflik di kategorikan didalam kelompok sosiologi makro.
Para teoretis konflik melihat masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus
didalam kelompok atau kelas  yang dominan dan perjuangan meraih kekuasaan dan
penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan. Perspektif ini lebih
menekankan pada peranan kekuasaan (tidak mengakui kesamaan dalam suatu
masyarakat). Seperti halnya dalam sekolah, pendidikan merupakan variabel kelas atau
status. Pendidikan  akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi
yang menuju kearah konsumeris yang membedakan dengan kaum buruh.

5
Teori konflik mempunyai implikasi kepada pendidikan di masyarakat dan
strategi perencanaan antara lain: 1) membebaskan kurikulum dari idiologi yang
mendominasi, 2) menciptakan pendidikan yang tertib, herarkhis dan kondusif
tanpa dipengaruhi struktur sekolah, 3) konflik dan eksploitasi, 4) kekuatan maupun
kekuasaan yang dapat menciptakan ketertiban sosial, 5) mengembangkan
pendidikan yang dapat membebaskan, dan 6) memperrjuangkan kelas secara terus
menerus. pendidikan dalam struktural konflik melihat bahwa setiap individu di dalam
kelas mempunyai perbedaan pendapat, kepentingan, dan keinginan yang dapat
memunculkan konflik. Sebagaimana diketahui, kelas yang ada saat ini berisi siswa dari
multikultur atau multi etnis. Bahkan, kelas yang ada saat ini juga multi budaya, multi
agama, multi gender, multi ras, multi umur, dan multi tingkat kecerdasan. Oleh karena
itu, sangat wajar akan mudah terjadi konflik.

Dalam teori konflik ini begitu jelas dominasi kaum Borjuis pemegang kendali
dan kebijakan, mereka dengan gampang memperoleh status sosial dalam masyarakat.
Sebagai contoh ditahun 90-an ada sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa
selama tahun 90-an kebelakang teryata pendidikan ditentukan o leh status ekonomi
para orangtua. Sehingga paling tidak fakta bahwa teori konflik berlaku di Indonesia.
Di dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa klas bawah tidak akan
sama memperoleh pendidikan di banding dengan klas menegah dan atas, sebagai
missal pembelajaran yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan pernah
dimenegrti oleh klas bawah, karna adaya perbedaan pengalaman yang dia daaptkan.
Kedua, dalam realitasnya klas bawah tidak akan semudah memperoleh pendidikan
dibading klas menengah yang dengan gampang tanpa alih-alih taggung jawab lain
dalam mempeolehnya. Ketiga, realitas Negara bahwa segala pengetahuan ditentukan
oleh penguasa, karenanya klas proletar yang notabenya sebagai objek dari kebijakan
mendapatkan keilmuan tidak sesuai dengan fakta yang ada, sekaligus merupakan
bukan termasuk bukan bagain dari keinginan siswa dan keahliannya.

Konflik dapat berakibat posisit dan negatif. Konflik di dalam kelas bersifat
positif manakala terjadi persaingan yang sehat antarsiswa. Siswa saling berlomba
untuk menjadi yang terbaik. Mereka saling berlomba untuk menjadi juara satu. Ketika
hal itu yang terjadi, guru perlu membuat konflik agar terjadi persaingan siswa secara
rasional. Konflik di kelas dalam arti negatif, akan menimbulkan persaingan yang tidak
sehat dengan saling menjatuhkan antara siswa yang satu dengan lainnya. Menyontek
adalah salah satu contoh konflik yang tidak fair. Mengapa hal itu dikatakan tidak fair

6
karena siswa yang sudah belajar dengan baik, bisa jadi nilainya kalah dengan siswa
yang berhasil menyontek dan tidak terdeteksi oleh guru.

Konflik dapat diciptakan, dikelola, dan bahkan dicegah. Konflik negatif yang
terjadi di kelas dapat menjadi positif manakala guru mampu mengelola konflik
dengan baik. kemampuan guru dalam mengelola konflik menjadi tumpuhan manakala
menghendaki proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik. Ketika guru tidak
mampu mengelola konflik dengan baik, maka konflik yang terjadi antar siswa menjadi
kontra produktif, merusak, tidak konstruktif, dan merugikan semua pihak. Oleh kerana
itu, seluruh guru hendaknya mampu mengelola konflik yang terjadi di kelas dengan
baik.

7
BAB III. Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik

Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan


interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007).
Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal
yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu
adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya
dengan individu yang lain. Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993)
dalam West-Turner (2008), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang
kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain,
menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia

Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–
1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada
interaksi antara individu dan kelompok (Poloma, 2007: 254-255). Mereka menemukan
bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol,
yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Interaksionisme simbolik
pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang
terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan
struktur-struktur sosial, bentukbentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat
batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat
interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi
sendiri dianggap sebagai unit analisis, sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar
belakang

Interaksonalisme simbolik berasal dari pemikiran Weberian, yang bertolak dari


kegiatan interpretif terhadap subjek individu.Teori interaksonalisme simbolik
menggunakan perspektif pendekatan fenomenologi yang menempatan bahwa
kesadaran manusia dan subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan
sosial.Interaksonalisme simbolik dalam sosiologi berfokus pada individu, dengan
demikian berusaha menganalisis interaksi antara individu pada tataran mikro. Para ahli
interaksonalisme yang lahir dari aliran Chicago School melihat bahwa individu
merupakan objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang lain. Pencetus gagasan Interaksonalisme simbolik
Herbert Blumer (1969) menyatakan ada tiga premis utama yang dilontarkan dalam
kajian ini (Agus Salim 2008 : 10).

8
Interaksonalisme simbolik telah diperhalus untuk dijadikan salah satu
pendekatan sosiologi oleh Herbert Blumer dan Goeorge Herbert Mead, yang
berpandangan bahwa manusia adalah individu yang berpikir, berperasaan,
memberikan pengertian kepada setiap keadaan, yang mealahirkan reaksi dan
interpretasi simbol-simbol atau komunikasi bermakna yang dilakukan melalui gerak,
bahasa, rasa simpati, empati, dan melahirkan tingkah laku lainnya yang menunjukkan
reaksi atau respons-respons yang diberikan dipengaruhi oleh karekteristik yang dimiliki
individu, seperti status sosial, situasi relasional dan motivasi yang dimiliki (Agus Salim
2008 : 11). Dalam hal ini diharapkan antara dua individu yang melakukan interaksi
harus saling pengertian atau mengerti makna simbol yang disampaikan.Hal ini
digunakan sebagai isyarat dari sikap manusia untuk meminta baik itu pertolongan atau
minta sesuatu. Karena interaksi ini tidak berbentuk kata lebih identik dengan
pernyataan dari tingkah laku maka simbol-simbol yang dimunculkan tidak akan
dipahami bagi orang buta dan tuli. Karena dalam membangun interaksi harus melihat
dengan jelas dan paham akan apa maksud simbol yang diberikan.

Dalam dunia pendidikan Dapat dicontohkan, hubungan seorang guru dengan


peserta didik. Dalam hubungan tersebut ada pola yang telah diatur, peserta didik
sebagai orang yang akan menerima informasi dan guru sebagai orang yang akan
melakukan trasformasi pengetahuan. Guna mengetahui keberhasilan peserta didiknya,
ia harus melakukan penilaian. Pandangan peserta didik terhadap dirinya dan teman-
temannya dipengaruhi oleh penilaian guru yang bersangkutan. Lalu diberilah lebel atas
dasar interpretasi bahwa peserta didik yang duduk di bangku depan berkelakuan baik,
sopan, rajin, dan pintar. Peserta didik yang berada di baris belakang sepertinya kurang
pintar, tidak perhatian terhadap pelajarannya, dan malas. Sehingga perhatian guru
terhadap mereka yang diinterprestasikan subordinat dalam prestasi belajar akan
berbeda. Padahal, dapat saja kemampun semua peserta belajar di satu kelas tidak
signifikan perbedaannya atau mirip (Jones, 2009: 144). Oleh karena itu, dibutuhkan
interaksi langsung dengan melihat dari dekat –tidak sepintas– serta memberi
perlakuan sama yang mendorong peserta didik tersebut mempunyai progres akademik
yang positif sehingga interpretasinya benar dan sesuai dengan fakta lapangan.

Dalam keseluruhan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah berlangsung


interaksi guru dan siswa dalam proses belajar mengajar yang merupakan kegiatan
paling pokok. Jadi proses belajar mengajar merupakan proses kegiatan interaksi
antara dua unsur manusiawi yakni siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai

9
pihak yang mengajar, interaksi belajar mengajar guru berperan sebagai pembimbing,
guru memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi dan sebagai mediator dan
proses belajar mengajar, langkah-langkah yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur
yang sudah ditentukan.

10
BAB IV. Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi

Giddens dipandang sebagai orang pertama yang berhasil menghasilkan teori


yang menghubungkan struktur dan agensi. Teorinya disebut “Teori Strukturasi”. Dalam
teori ini, struktur dan agensi tidak dipandang sebagai dua hal yang terpisah, karena jika
demikian akan muncul dualisme struktur-agensi. Struktur dan agensi, menurut
Giddens, harus dipandang sebagai dualitas (duality), dua sisi mata uang yang sama.
Hubungan antara keduanya bersifat dialektik, dalam arti struktur dan agensi saling
mempengaruhi dan hal ini berlangsung terus menerus, tanpa henti. Teori Giddens
tentang strukturasi didasarkan pada premis bahwa (Giddens,1984 dalam Hidayat,
2000:440).

Giddens mendefinisikan struktur sebagai aturan dan sumber daya yang


digunakan oleh agent dalam interaksi. Aturan (rules) adalah prosedur yang
digeneralisasi dan metodologi yang dimiliki oleh agent reflektif dalam “stocks of
knowledge” yang impilisit dan digunakan sebagai formula bagi tindakan dalam sistem
sosial. Struktur juga melibatkan penggunaan sumber daya (resources) yang terdiri dari
peralatan material dan kapasitas organisasional. Sumber daya merupakan hasil dari
penguasaan peralatan material dan organisasi dan mereka yang memiliki sumber daya
bisa memobilisasi kekuasaan.

Struktur mempengaruhi agensi dalam dua arti: memampukan (enabling) dan


menghambat (constraining). Terjadinya paradoks dalam pengertian struktur ini karena
Giddens melihat struktur merupakan hasil (outcome) sekaligus sarana (medium)
praktik sosial. Dan bukanlah merupakan totalitas gejala, bukan kode tersembunyi
seperti dalam strukturalisme, dan bukan pula kerangka keterkaitan bagian-bagian dari
suatu totalitas seperti yang dipahami para fungsionalis. Dalam pengertian Giddens,
agensi dapat meninggalkan struktur, ia tidak selalu tunduk pada struktur. Ia dapat
mencari kesempatan maupun kemungkinan untuk keluar dari peraturan dan ketentuan
yang ada. Situasi ini disebut dialectic of control.

Asumsi utama yang diajukan Giddens atas konsep agent diambil dari sosiologi


interpretif terkait kemampuan manusia untuk mengetahui (knowledgeability) dan
keterlibatan kemampuan tersebut dalam pengambilan tindakan. Menurutnya, ‘menjadi
manusia’ adalah menjadi agent yang memiliki tujuan yang tidak hanya memiliki alasan
logis bagi tindakannya, tetapi juga mampu melakukan elaborasi diskursif atas alasan-

11
alasan tersebut. Lebih jauh, Giddens menyebut bahwa knowledgeability memiliki
bentuk reflektif yang merupakan bagian penting dari praktik sosial yang berulang.

Dari teori strukturasi yang dikemukakan oleh giddens dalam dunia pendidikan
tentu saja bisa mencetak generasi-generasi yang akan menjadi agen-agen sosial di
masa depan nanti. Hal ini juga tentu membuat peserta didik harus dipersiapkan
dengan matang dan tepat. Dengan pendidikan yang baik dan berstruktur tentu akan
bisa menghasilkan agen-agen emas yang mampu mencapai tujuan pendidikan serta
pembuktian teori yang dikemukakan oleh giddens.

Jadi dapat dipahami bahwa para peserta didiklah yang akan berperan menjadi
agen-agen sosial yang mengisi struktur-struktur sosial yang ada sehingga para guru
selaku pembimbinglah yang akan menjembatani dan berperan dalam ketercapaian
semua hal-hal tersebut.

12
KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan serta analisis yang diperoleh sebagai berikut :
1. Teori Struktural Fungsional merupakan teori analisis yang memusatkan
perhatian pada integrasi sosial, stabilitas sosial dan konsensus nilai.
Penekanan teori StrukturalMFungsional adalah pada perspektif
keseimbangan dan keharmonisan. Pendidikan dalam teori ini bahwa setiap
sturkturisasi jika berfungsi sesuai dengan stratifikasi yang diperankan maka
akan membentuk lembaga-lembaga yang paradigmatis untuk mendidik
masyarakat istiqama dan menjadi panutan. Artinya, fungionaris yang ada pada
lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi serta peranannya yang sesuai
oleh aturan-aturan yang ada dalam masyarakat.
2. Pendidikan dalam struktural konflik melihat bahwa setiap individu di dalam
kelas mempunyai perbedaan pendapat, kepentingan, dan keinginan yang
dapat memunculkan konflik. Teori konflik dalam pendidikan bersifat positif
apabila para siswa bersaing secara sehat,namun sebaliknya bisa juga
menimbulkan efek negatif.
3. Teori Interaksionime simboistik berasumsi bahwa kehidupan sosial hanya
bermakna pada tingkat individual yang realitas sosial itu tidak ada. Sebagai
contoh buku bagi seorang berpendidikan merupakan suatu hal yang penting,
namun bagi orang yang tidak mengenyam pendidikan tidak bermanfaat. Dari
sini, dapat dibedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya.
Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses
interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang
tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut.
Sehingga interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai
kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat
mereka berinteraksi. Seorang pendidik tidak cukup hanya menjastifikasi peserta
didiknya dari hasil penilaian sesaat dan parsial, tetapi penilaian itu harus holistik
dan berkelanjutan yang didasarkan pada interaksi timbal balik.
4. Asumsi utama yang diajukan Giddens atas konsep agent  dalam teorinya dapat
diterapkan dalam dunia pendidikan dengan para peserta didik berperan
sebagai agen-agen yang dapat memenuhi struktur-struktur yang ada.

13
B. Analisis Kritis

Pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan


kesadaran sosial menjadi suatu paduan yang stabil sehingga pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan sosial. Pendidikan sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Oleh karena itu, pendidikan bersifat fungsional dalam sistem kehidupan manusia.

Aktivitas masyarakat dalam pendidikan merupakan sebuah proses sehingga


pendidikan dapat dijadikan instrument oleh individu untuk dapat berintraksi secara
tepat di komunitas dan masyarakatnya. Pada sisi yang lain, sosiologi pendidikan akan
memberikan penjelasan yang relevan dengan kondisi kekinian masyarakat, sehingga
setiap individu sebagai anggota masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan
pertumbuhan dan perkembangan berbagai fenomena yang muncul dalam
masyarakatnya.

Sehingga dalam prakteknya,pendidikan perlu mempunyai acuan yang dijadikan


sebagai dasar agar dapat berjalan dengan berstruktur dalam kehidupan masyarakat.
Maka tak heran beberapa teori yang terukir dalam sejarah masyarakat menjadi
paradigma yang dapat mempengaruhi duia pendidikan khususya teori-teori dalam ilmu
sosiologi.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. (1991). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Auladuna, (Vol. 2 No. 2 Desember 2015: 274-286). Pendidikan Dalam Teori Sosiologi, Diakses
pada 15 Oktober 2020 dari http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/auladuna/article/view/882

Batubara, Muhyi. (2004). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Ciputat Press.

C, Dewi Wulandari. (2009). Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung: Refika Aditama.

Cendekia (Vol 9, No. 1, April 2015). Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Konflik, Diakses
pada 15 Oktober 2020 dari
https://www.researchgate.net/publication/323911812_PENDIDIKAN_DALAM_PERSPEKTIF
_STRUKTURAL_KONFLIK

Cendekia (Vol 10, No. 2,Oktober 2016). Pendidikan Dalam Perspektif Teori Struktural
Fungsional, Diakses pada 14 Oktober 2020 dari
https://www.researchgate.net/publication/323909873_PENDIDIKAN_DALAM_PERSPEKTIF
_STRUKTURAL_FUNGSIONAL

Idi, Abdullah. (2011). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Johnson, D. P. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Terjemahan Robert.

Jakarta: PT. Gramedia.

Maliki, Zainuddin. (2005). Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: UGM Press.

Nasution, S. (2004). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Partanto Pius A, D. (2001). Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka.

Rifa'i, M. (2011). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Unknown (September, 2013). Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Konflik, Diakses pada 15
Oktober 2020 dari http://sosiologipendidikn.blogspot.com/2013/09/pendidikan-dalam-
perspektif-struktural.html
Zeitlin, I. M. (2009). Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: UGM press.

15
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
Jl. Majapahit No. 62 Mataram
e-mail : sosiologi@unram.ac.id, Website : www.sosiologi.unram.ac.id

LEMBAR JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


SEMESTER GANJIL TA. 2020/2021

Mata Kuliah : Sosiologi Pendidikan

Kelas :A

Hari/tanggal : Jumat,16 Oktober 2020

Nama Mhs : Llau Fathulloh No. Mhs: L1C017041

PERNYATAAN

Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni
hasil pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang
lain, baik dari sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki
kesamaan dengan tulisan rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang
diberikan oleh dosen pengasuh matakuliah ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan
bertanggung jawab.

Tanda Tangan :

16
17

Anda mungkin juga menyukai