Dosen Pengampuh:
Disusun Oleh:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT karna berkat
limpahan rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan Tugas Sosiologi
Pendidikan ini. Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq
Ramdani, S.Th.I., M.Sos sebagai dosen pengampuh Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
yang sudah membimbing saya sehingga mampu menyelesaikan semuanya dengan
baik.
Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi banyak orang
terutama bagi diri saya sendiri. Mungkin dalam penulisan tugas ini banyak terdapat
kesalahan dan jauh dari kata sempurna sehingga penulis menghrapkan kritik dan
saran yang membangun.
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural 1
BAB II. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik 5
BAB III. Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik 8
BAB IV. Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi 11
KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS 13
DAFTAR PUSTAKA 15
LAMPIRAN 16
iii
BAB I. Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural
1
tidak bisa pungkiri bahwa terbentuknya stratifikasi dalam masyarakat salah satunya
dibentuk oleh pendidikan itu sendiri.
Fungsionalisme Struktural tidak hanya berlandaskan pada asumsi-asumsi
tertentu tentang keteraturan masyarakat, tetapi juga memantulkan asumsi-asumsi
tertentu tentang hakikat manusia. Di dalam fungsionalisme, manusia diperlakukan
sebagai abstaksi yang menduduki status dan peranan yang membentuk lembaga-
lembaga atau struktur sosial. Didalam perwujudanya yang ekstrim, fungsionalisme
struktural secara implicit memperlakukan manusia sebagai pelaku yang
memainkan ketentuan-ketentuan yang telah dirancang sebelumnya, sesuai dengan
norma-norma atau aturan-aturan masyarakat. Di dalam tradisi pemikiran Durkheim
untuk menghindari reduksionisme, yaitu fenomena alamiah yang diciutkan dalam
suatu hal yang lebih kecil (Dahlan, 2001:659). Peran pendidikan dalam teori
struktural fungsional antara lain adalah: (1) Pendidikan dalam peranan kelompok.
Peranan kelompok yang ada diharapkan dapat memenuhi dan memuaskan
kebutuhan sesorang, hal ini akan membiasakan kebutuhan dan kepentingan serta
mendekatkan harapan para anggota. Peristiwa ini diharapkan dapt menjadikan suatu
asosiasi atau lapiran, strata maupun struktur masyarakat, baik secara kasta,
golongan, statifikasi,kedaerahan, kelompok dan lain sebagainya di lingkungan
masyarakata tertentu.
1) Pendidikan dalam Status Kelompok Stuktural Sosial. Struktur masyarakat
jika dilihat dari persilangan yang terjadi terdapat: (a) Kesukuan /Kedaerahan, (b)
Kelas Sosial / Strata (struktur / lapisan ) masyarakat, (c) Status Pekerjaan /
Jenjang jabatan dalam bagian masyarakat.
Ada beberapa suku yang hidup dalam masayarakat tertentu, masing-
masing dari masayarakat itu menunjukkan dan merasakan adanya ikatan suatu
geografis maupun kebudayaan tertentu yang senada dan berlaku secara turun
menurun serta para anggotanya dilahirkan, dikembangkan dan bertahan dalam
kelngsungan hidupnya (viabilitas) persilangan-persilangan yang terjadi akan
mewujudkan rasa kedaerahan. Kelas-kelas sosial merasakan juga adanya ikatan,
tujuan, tuntutan, gerakan maupun jenjang, mereka akan mengadakan persilangan
antara masing-masing keals dan akan mewujudkan segmentasi maupun
pembentukan bagian yang semakin besar, dalam hal ini berbentuk lapisan masyarakat
dan memupunyai pengaruh terhadap kelangsungan hidup masyarakat. Individu dalam
masyarakat yang telah mencukupi umur haruslah bekerja sesuai dengan bidang
dan kemampuan masing-masing. Kenyataan ini menunjukkan interaksi antar
2
sesama yang mempunyai status pekerjaan yang sama atau mirip sehingga dapat
menimbulkan pertukaran pengalaman, penegetahuan, pikiran serta gagasan-
gagasan penting. Persilangan-persilangan status pekerja/pekerjaan akan
melahirkan jenjang pekerjaan yang lebih besar dalam masyarakat (Kreimers,
1984:33).
2) Pendidikan Dalam fungsi-fungsi Masyarakat.
Dalam lembaga menyelenggarakan berbagai macam fungsi, dalam lembaga keluarga
memperhatiakan dan memberikan perlindungan keluarga satu dengan yang
lain,menyelenggarakan fungsi-fungsi ekonomi, ayah ibu dan kakak juga berfungsi
sebagai pengganti guru ketika berada di rumah, memberikan gizi dan obat-
obatan serta gizi maupun pelayanan sosial-sosial lainya. Lembaga masyarakatpun
juga mempunyai fungsi dan tugas yang serupa dengan lembaga keluarga. Dalam
lembaga, fungsi-fungsi itu dipisah-pisah dan di bagi-bagi. Tidak dapat diperkirakan
bahwa suatu fungsi sosial tertentu diselenggarakan secara eksklusif oleh suatu
lembaga. Jika kita memahami pendidikan dengan seluruh kegiatan- kegiatannya,
dimana anak-anak belajar dan dipelajari teknik-teknik, kebiasaan-kebiasaan serta
perasaan-perasaan pada masyarakat dimana hidup, adalah nyata bahwa sekolah tidak
melakukan monopoli atas pendidikan (Kreimers, 1984:220).
Dalam hal penerapan fungsional structural dalam pendidikan Muhyi Batu Bara
mengungkapkan bahwa Manajemen Pendidikan Mutu Berbasis Sekolah itu menjadi
konsep dan juga merefleksikan dan peran serta tanggung jawab masing-masing
pihak antara lain: (1) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (2) sekolah memiliki
misi dan target mutu yang ingin dicapai, (3) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat,
(4) adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah (kepala sekolah, guru, dan
staf lainya, termasuk siswa) (5) adanya pengembangan staf sekolah yang terus
menerus sesuai dengan tuntutan IPTEK, (6) adanya pelaksanaan evaluasi yang
terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administrative, dan
pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan dan atau perbaikan mutu, (7) adanya
komunikasi dan dukungan insentif dan orang tua siswa dan masyarakat lainya.
Sehingga praktek teori struktural-fungsional yang mengedepankan integrasi,
maka tanggung jawab dan peran masing-masing pihak harus selalu menjadi prioritas
dalam rangka membangun intergrasi solid di sekolah terutama yang erat kaitannya
dengan peningkatan mutu pendidikan, Pendidikan dalam teori ini bahwa setiap
sturkturisasi jika berfungsi sesuai dengan stratifikasi yang diperankan maka akan
membentuk lembaga-lembaga yang paradigmatis untuk mendidik masyarakat istiqama
3
dan menjadi panutan. Artinya, fungionaris yang ada pada lembaga-lembaga tersebut
menjalankan fungsi serta peranannya yang sesuai oleh aturan-aturan yang ada dalam
masyarakat. Fungsionaris yang ada di birokrasi menjalankan fungsinya sebagai
pelayan masyarakat, fungsionaris yang ada dalam lembaga adat, kultur dan budaya
bahkan agama juga menjalankan perannya sesuai dengan amanah leluhur, pemuka
agama dan lain-lain sebagainya.
4
BAB II. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik
5
Teori konflik mempunyai implikasi kepada pendidikan di masyarakat dan
strategi perencanaan antara lain: 1) membebaskan kurikulum dari idiologi yang
mendominasi, 2) menciptakan pendidikan yang tertib, herarkhis dan kondusif
tanpa dipengaruhi struktur sekolah, 3) konflik dan eksploitasi, 4) kekuatan maupun
kekuasaan yang dapat menciptakan ketertiban sosial, 5) mengembangkan
pendidikan yang dapat membebaskan, dan 6) memperrjuangkan kelas secara terus
menerus. pendidikan dalam struktural konflik melihat bahwa setiap individu di dalam
kelas mempunyai perbedaan pendapat, kepentingan, dan keinginan yang dapat
memunculkan konflik. Sebagaimana diketahui, kelas yang ada saat ini berisi siswa dari
multikultur atau multi etnis. Bahkan, kelas yang ada saat ini juga multi budaya, multi
agama, multi gender, multi ras, multi umur, dan multi tingkat kecerdasan. Oleh karena
itu, sangat wajar akan mudah terjadi konflik.
Dalam teori konflik ini begitu jelas dominasi kaum Borjuis pemegang kendali
dan kebijakan, mereka dengan gampang memperoleh status sosial dalam masyarakat.
Sebagai contoh ditahun 90-an ada sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa
selama tahun 90-an kebelakang teryata pendidikan ditentukan o leh status ekonomi
para orangtua. Sehingga paling tidak fakta bahwa teori konflik berlaku di Indonesia.
Di dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa klas bawah tidak akan
sama memperoleh pendidikan di banding dengan klas menegah dan atas, sebagai
missal pembelajaran yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan pernah
dimenegrti oleh klas bawah, karna adaya perbedaan pengalaman yang dia daaptkan.
Kedua, dalam realitasnya klas bawah tidak akan semudah memperoleh pendidikan
dibading klas menengah yang dengan gampang tanpa alih-alih taggung jawab lain
dalam mempeolehnya. Ketiga, realitas Negara bahwa segala pengetahuan ditentukan
oleh penguasa, karenanya klas proletar yang notabenya sebagai objek dari kebijakan
mendapatkan keilmuan tidak sesuai dengan fakta yang ada, sekaligus merupakan
bukan termasuk bukan bagain dari keinginan siswa dan keahliannya.
Konflik dapat berakibat posisit dan negatif. Konflik di dalam kelas bersifat
positif manakala terjadi persaingan yang sehat antarsiswa. Siswa saling berlomba
untuk menjadi yang terbaik. Mereka saling berlomba untuk menjadi juara satu. Ketika
hal itu yang terjadi, guru perlu membuat konflik agar terjadi persaingan siswa secara
rasional. Konflik di kelas dalam arti negatif, akan menimbulkan persaingan yang tidak
sehat dengan saling menjatuhkan antara siswa yang satu dengan lainnya. Menyontek
adalah salah satu contoh konflik yang tidak fair. Mengapa hal itu dikatakan tidak fair
6
karena siswa yang sudah belajar dengan baik, bisa jadi nilainya kalah dengan siswa
yang berhasil menyontek dan tidak terdeteksi oleh guru.
Konflik dapat diciptakan, dikelola, dan bahkan dicegah. Konflik negatif yang
terjadi di kelas dapat menjadi positif manakala guru mampu mengelola konflik
dengan baik. kemampuan guru dalam mengelola konflik menjadi tumpuhan manakala
menghendaki proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik. Ketika guru tidak
mampu mengelola konflik dengan baik, maka konflik yang terjadi antar siswa menjadi
kontra produktif, merusak, tidak konstruktif, dan merugikan semua pihak. Oleh kerana
itu, seluruh guru hendaknya mampu mengelola konflik yang terjadi di kelas dengan
baik.
7
BAB III. Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–
1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada
interaksi antara individu dan kelompok (Poloma, 2007: 254-255). Mereka menemukan
bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol,
yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Interaksionisme simbolik
pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang
terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan
struktur-struktur sosial, bentukbentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat
batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat
interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi
sendiri dianggap sebagai unit analisis, sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar
belakang
8
Interaksonalisme simbolik telah diperhalus untuk dijadikan salah satu
pendekatan sosiologi oleh Herbert Blumer dan Goeorge Herbert Mead, yang
berpandangan bahwa manusia adalah individu yang berpikir, berperasaan,
memberikan pengertian kepada setiap keadaan, yang mealahirkan reaksi dan
interpretasi simbol-simbol atau komunikasi bermakna yang dilakukan melalui gerak,
bahasa, rasa simpati, empati, dan melahirkan tingkah laku lainnya yang menunjukkan
reaksi atau respons-respons yang diberikan dipengaruhi oleh karekteristik yang dimiliki
individu, seperti status sosial, situasi relasional dan motivasi yang dimiliki (Agus Salim
2008 : 11). Dalam hal ini diharapkan antara dua individu yang melakukan interaksi
harus saling pengertian atau mengerti makna simbol yang disampaikan.Hal ini
digunakan sebagai isyarat dari sikap manusia untuk meminta baik itu pertolongan atau
minta sesuatu. Karena interaksi ini tidak berbentuk kata lebih identik dengan
pernyataan dari tingkah laku maka simbol-simbol yang dimunculkan tidak akan
dipahami bagi orang buta dan tuli. Karena dalam membangun interaksi harus melihat
dengan jelas dan paham akan apa maksud simbol yang diberikan.
9
pihak yang mengajar, interaksi belajar mengajar guru berperan sebagai pembimbing,
guru memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi dan sebagai mediator dan
proses belajar mengajar, langkah-langkah yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur
yang sudah ditentukan.
10
BAB IV. Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi
11
alasan tersebut. Lebih jauh, Giddens menyebut bahwa knowledgeability memiliki
bentuk reflektif yang merupakan bagian penting dari praktik sosial yang berulang.
Dari teori strukturasi yang dikemukakan oleh giddens dalam dunia pendidikan
tentu saja bisa mencetak generasi-generasi yang akan menjadi agen-agen sosial di
masa depan nanti. Hal ini juga tentu membuat peserta didik harus dipersiapkan
dengan matang dan tepat. Dengan pendidikan yang baik dan berstruktur tentu akan
bisa menghasilkan agen-agen emas yang mampu mencapai tujuan pendidikan serta
pembuktian teori yang dikemukakan oleh giddens.
Jadi dapat dipahami bahwa para peserta didiklah yang akan berperan menjadi
agen-agen sosial yang mengisi struktur-struktur sosial yang ada sehingga para guru
selaku pembimbinglah yang akan menjembatani dan berperan dalam ketercapaian
semua hal-hal tersebut.
12
KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan serta analisis yang diperoleh sebagai berikut :
1. Teori Struktural Fungsional merupakan teori analisis yang memusatkan
perhatian pada integrasi sosial, stabilitas sosial dan konsensus nilai.
Penekanan teori StrukturalMFungsional adalah pada perspektif
keseimbangan dan keharmonisan. Pendidikan dalam teori ini bahwa setiap
sturkturisasi jika berfungsi sesuai dengan stratifikasi yang diperankan maka
akan membentuk lembaga-lembaga yang paradigmatis untuk mendidik
masyarakat istiqama dan menjadi panutan. Artinya, fungionaris yang ada pada
lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi serta peranannya yang sesuai
oleh aturan-aturan yang ada dalam masyarakat.
2. Pendidikan dalam struktural konflik melihat bahwa setiap individu di dalam
kelas mempunyai perbedaan pendapat, kepentingan, dan keinginan yang
dapat memunculkan konflik. Teori konflik dalam pendidikan bersifat positif
apabila para siswa bersaing secara sehat,namun sebaliknya bisa juga
menimbulkan efek negatif.
3. Teori Interaksionime simboistik berasumsi bahwa kehidupan sosial hanya
bermakna pada tingkat individual yang realitas sosial itu tidak ada. Sebagai
contoh buku bagi seorang berpendidikan merupakan suatu hal yang penting,
namun bagi orang yang tidak mengenyam pendidikan tidak bermanfaat. Dari
sini, dapat dibedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya.
Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses
interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang
tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut.
Sehingga interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai
kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat
mereka berinteraksi. Seorang pendidik tidak cukup hanya menjastifikasi peserta
didiknya dari hasil penilaian sesaat dan parsial, tetapi penilaian itu harus holistik
dan berkelanjutan yang didasarkan pada interaksi timbal balik.
4. Asumsi utama yang diajukan Giddens atas konsep agent dalam teorinya dapat
diterapkan dalam dunia pendidikan dengan para peserta didik berperan
sebagai agen-agen yang dapat memenuhi struktur-struktur yang ada.
13
B. Analisis Kritis
14
DAFTAR PUSTAKA
Auladuna, (Vol. 2 No. 2 Desember 2015: 274-286). Pendidikan Dalam Teori Sosiologi, Diakses
pada 15 Oktober 2020 dari http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/auladuna/article/view/882
C, Dewi Wulandari. (2009). Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung: Refika Aditama.
Cendekia (Vol 9, No. 1, April 2015). Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Konflik, Diakses
pada 15 Oktober 2020 dari
https://www.researchgate.net/publication/323911812_PENDIDIKAN_DALAM_PERSPEKTIF
_STRUKTURAL_KONFLIK
Cendekia (Vol 10, No. 2,Oktober 2016). Pendidikan Dalam Perspektif Teori Struktural
Fungsional, Diakses pada 14 Oktober 2020 dari
https://www.researchgate.net/publication/323909873_PENDIDIKAN_DALAM_PERSPEKTIF
_STRUKTURAL_FUNGSIONAL
Unknown (September, 2013). Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Konflik, Diakses pada 15
Oktober 2020 dari http://sosiologipendidikn.blogspot.com/2013/09/pendidikan-dalam-
perspektif-struktural.html
Zeitlin, I. M. (2009). Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: UGM press.
15
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
Jl. Majapahit No. 62 Mataram
e-mail : sosiologi@unram.ac.id, Website : www.sosiologi.unram.ac.id
Kelas :A
PERNYATAAN
Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni
hasil pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang
lain, baik dari sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki
kesamaan dengan tulisan rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang
diberikan oleh dosen pengasuh matakuliah ini.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan
bertanggung jawab.
Tanda Tangan :
16
17