Anda di halaman 1dari 5

REVIEW JURNAL

(Makalah)

Oleh:

Mulyono
NIM 2383207043

Sebagai Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan

UNIVERSITAS NURUL HUDA


OKU TIMUR
2023
A. Perkembangan Teori Struktural Fungsional dalam Sosiologi Pendidikan

Pendidikan tidak bisa terlepas dari sebuah sistem karena memiliki struktur dan
fungsi masing-masing. Sistem pendidikan yang teratur menghasilkan kinerja elemen
yang baik. Karakter bangsa yang mengalami pergeseran sering dianggap sebagai
bentuk dari ketidakberhasilan sistem pendidikan di Indonesia. Sudut pandang struktural
fungsional melihat pendidikan cenderung mengabaikan pertentangan yang terjadi di
masyarakat.
Kajian sosiologi di Indonesia sudah dimulai Sri Paku Bawono IV dari Surakarta
(Solo) dalam karya yang berjudul Wulangreh. (Rifa’I, 2011). Selain itu, Ki Hajar
Dewantara tokoh dan bapak pendidikan nasional Indonesia juga memberikan
sumbangannya atas perkembangan sosiologi di Indonesia, terutama berkaitan dengan
konsep kepemimpinan, pendidikan serta kekeluargaan di Indoneia dengan semboyannya
yang terkenal yaitu, tut wuri handayani, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa.
Sesudah proklamasi seorang sarjana Indonesia, Soenaryo Kolopaking untuk pertama
kalinya memberikan kuliah sosiologi pada tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta
(sekarang menjadi FISIP Universitas Gajah Mada). Kemudian pasca Perang Dunia II mulai
banyak yang menerbitkan buku-buku sosiologi, seperti Mayor Polak dengan bukunya
Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, Selo Soemardjan dengan bukunya (disertasinya) Social
Changes in Yogyakarta (1962), dan selanjutnya masih banyak buku-buku sosiologi dalam
bahasa Indonesia yang mengisi pendidikan di Indonesia.

No Penulis Judul Buku / Jurnal Tahun


1 Wuradji Sosiologi pendidikan Sebuah Pendekatan Sosio- 1988
Antropologi
2 Nanang Martono Pendidikan Bukan Tanpa Masalah Mengungkap 2010
Problematika Pendidikan dari Perspektif Sosiologi
3 Damsar Pengantar Sosiologi Pendidikan 2011
4 Muhammad Rusydi Pendidikan Dalam Perspektif Teori Sosiologi 2015
Rasyid
5 Silfia Hanani Sosiologi Pendidikan Keindonesiaan 2016
6 Binti Maunah Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Fungsional 2016
Dari enam buku dan artikel yang berhasil dikumpulkan, setelah dicermarti terdapat
kesamaan dan perbedaan dari analisis strruktural fungsional dalam masing-masing studi.
Kesamaan dari ke-enam studi tersebut yaitu sama-sama membahas teori besar (ground
theory) struktural fungsional, artinya tulisan tersebut membahas pendidikan dalam
perspektif makro struktural fungsional. Sehingga sistem dilihat secara keseluruhan dan
tampak full integration. Selain itu pada umumnnya setiap tulisan juga membahas perspektif
Parsons sebagai teori fungsional, hal ini juga menjadi bukti berkembangnya pemikiran
Parsons sebagai teori struktural fungsional.

B. PERILAKU REMAJA PENGGUNA GADGET

Masa anak-anak hingga remaja ialah masa dimana individu melakukan sosialisasi
untuk menentukan perannya dalam kehidupan masyarakat. Sosialisasi merupakan sebuah
proses pengenalan nilai dan norma masyarakat secara sengaja atau tidak yang sedemikian
rupa hingga akhirnya terbentuk suatu individu yang utuh. Untuk menjadi individu yang
utuh, setiap individu harus mengambil peran dalam kelompok masyarakat sehingga dia
diterima sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakat. Beberapa prilaku yang
ditunjukkan oleh remaja pengguna gadget ialah, intovet, selfi, sulit konsentrasi pada dunia
nyata, anti sosial, dan penyimpangan sosial.
Generasi muda adalah tulang punggung bangsa, yang diharapkan di masa depan
mampu meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini agar lebih baik. Dalam
mempersiapkan generasi muda juga sangat tergantung kepada kesiapan masyarakat yakni
dengan keberadaan budayanya. Termasuk didalamnya tentang pentingnya memberikan
filter tentang perilaku-perilaku yang negatif, yang antara lain : minuman keras,
mengkonsumsi obat terlarang, seks bebas dan lain-lain yang dapat menyebabkan
terjangkitnya penyakit HIV/AIDS.4
C. Sosiologi Pendidikan Dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik
Pendidikan merupakan upaya yang disengaja dan terstruktur untuk menciptakan
lingkungan belajar dan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi mereka untuk memperoleh kekuatan dalam hal dimensi
keagamaan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak yang baik,
serta keterampilan yang diperlukan bagi diri mereka dan masyarakat sekitarnya
(Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003). Menurut Kamus
Bahasa Indonesia, istilah "pendidikan" terdiri dari akar kata 'didik' yang kemudian
diberi awalan 'pe' dan akhiran 'an', sehingga mengandung makna proses, cara, atau
tindakan mendidik. Secara linguistik, pendidikan didefinisikan sebagai suatu proses
perubahan sikap dan perilaku individu atau kelompok manusia dalam upaya
mengembangkan kedewasaan melalui pengajaran dan pelatihan. Pendidikan sebagai
bidang ilmu merujuk pada teori-teori pendidikan dan pemikiran yang melibatkan
aspek luas dari pendidikan. Dalam pengertian yang lebih luas, Pendidikan sebagai
ilmu membahas berbagai masalah yang muncul dalam praktik pendidikan (Cecep,
dkk., 2021: 11). Peran sosiologi pendidikan sangatlah krusial dalam proses
pembentukan karakter peserta didik di lingkungan sekolah. Dengan menggunakan
pendekatan sosiologi pendidikan, para guru dan tenaga pendidik dapat memperoleh
pemahaman tentang bagaimana faktor-faktor sosial, budaya, dan sejarah berperan
dalam membentuk karakter individu dan kelompok di dalam masyarakat. Sosiologi
pendidikan juga dapat membantu mengenali permasalahan sosial yang dapat
memengaruhi pembentukan karakter peserta didik, seperti kemiskinan, ketimpangan
sosial, dan konflik. Dalam konteks pendidikan, sosiologi pendidikan dapat membantu
mengembangkan kurikulum dan strategi pembelajaran yang mendorong pembentukan
karakter peserta didik yang baik. Misalnya, melalui kurikulum yang menekankan
pengembangan keterampilan sosial dan kepedulian sosial, peserta didik dapat belajar
tentang pentingnya toleransi, empati, dan tanggung jawab sosial. Selain itu, melalui
strategi pembelajaran yang kolaboratif dan partisipatif, peserta didik dapat belajar
untuk bekerja sama, menghargai perbedaan, dan mengembangkan kepercayaan diri.
D. KONSEP FULL DAY SCHOOL DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Konsep full day school (FDS) belum lama ini menjadi isu yang menghangat,
menjadi trending topic tidak hanya di media sosial, namun juga di media massa dan
diskusi-diskusi bertaraf nasional hingga warung kopi. Isu ini menghangat segera
setelah Muhadjir Effendy dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
menggantikan Anis Baswedan. Gagasan FDS dilontarkan oleh mantan Rektor sebuah
universitas swasta ini sebagai respon terhadap program nawacita presiden RI. Salah
satunya adalah pendidikan karakter dan budi pekerti1, yang mencakup 80 persen.
Sementara 20 persennya pengetahuan. Seluruhnya ada18 butir yang isinya seperti
kepribadian, olahraga, hingga agama2. Dengan demikian, konsep FDS ini jika
diterapkan akan memperpendek waktu di luar sekolah dan peserta didik mendapatkan
tambahan jam untuk pendidikan karakter. Gagasan ini direncanakan akan diterapkan
di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertam.
Secara bahasa (etimologi), kata full day school diadopsi dari Bahasa Inggris.
Yaitu kata “full” yang berarti “penuh”, dan kata “day” yang berarti “hari”. Sehingga
full day dapat diartikan sebagai “sehari penuh”. Sedangkan kata “school” artinya
sekolah.3 Dengan demikian, istilah full day school jika dilihat dari segi bahasanya
adalah sekolah atau kegiatan belajar yang dilakukan sehari penuh. Sedangkan menurut
arti secara luas (terminology), istilah “full day
school” mengandung pengertian “sistem pendidikan yang menerapkan pembelajaran
atau kegiatan belajar mengajar sehari penuh dengan memadukan sistem pengajaran
yang intensif yakni dengan menambah jam pelajaran untuk pendalaman materi
pelajaran serta pengembangan diri dan kreatifitas.4 Dalam konteks ini, kegiatan
pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah berlangsung mulai pagi hari hingga sore
hari, secara rutin sesuai dengan program pada tiap jenjang pendidikannya. Dalam
sistem full day school, sebuah lembaga bebas mengatur jadwal mata pelajaran sendiri
dengan tetap mengacu pada standar nasional alokasi waktu sebagai standar minimal
dan sesuai bobot mata pelajaran, ditambah dengan model-model pendalamannya. Jadi
yang terpenting dalam full day school adalah pengaturan jadwal mata pelajaran.
Program ini sudah diterapkan di beberapa sekolah yang berlabel sekolah unggulan
pada sekolah tingkat dasar SD/MI swasta. Dalam pelaksanaannya, sekolah yang
menerapkan model full day school biayanya relatif mahal dan full day school bagian
dari program favorit yang ditonjolkan oleh pihak sekolah5.

Anda mungkin juga menyukai