Anda di halaman 1dari 19

PARADIGMA DAN LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL SD

A. Latar Belakang
Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai salah satu mata pelajaran yang
diberikan di sekolah memiliki tujuan untuk memperbaiki, mengembangkan
dan memajukan hubungan-hubungan kemanusiaan dan kemasyarakatan. IPS
terorganisasikan secara sistematis dalam pengajaran dan kurikulum disekolah,
berfungsi untuk mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep dan
generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. IPS terdiri dari materi;
geografi, sejarah, sosiologi, ekonomi dan PKn bertujuan untuk membangun
peserta didik, agar menjadi warga negara Indonesia yang demokratis dan
bertanggung jawab, serta menjadi warga dunia yang cinta damai.
Mata pelajaran ini berperan mengfungsionalkan dan merealisasikan
ilmu-ilmu sosial yang bersifat teoritik kedalam dunia kehidupan nyata di
masyarakat. Oleh karenanya secara substansi materinya, IPS
mengintegrasikan dan mengorganisasikannya secara pedagogik dari berbagai
ilmu sosial yang diperuntukan bagi pembelajaran di tingkat persekolahan,
sehingga dengan memulai pembelajaran IPS diharapkan peserta didik mampu
membawa dirinya secara dewasa dan bijak dalam kehidupan nyata, dan
peserta didik tidak hanya mampu mengusai teori-teori kehidupan dalam
masyarakat tapi mampu menjalani kehidupan nyata di masyarakat sebagai
insan sosial. Dalam mengawali pembahasan mengenai teknis dan teori
pendidikan IPS di SD lebih lanjut maka perlunya diawali dengan penjelasan
mengenai hakikat IPS secara mendalam dan juga landasan IPS, khususnya
landasan Filosofisnya.

B. Pengertian dan Tujuan Pendidikan IPS


Pendidkan IPS terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS). Menurut Plato, bahwa “pendidikan adalah proses
yang dilakukan seumur hidup (life-long) yang dimulai dari seseorang lahir
hingga kematiannya, yang membuat seseorang bersemangat dalam
mewujudkan warga negara yang ideal dan mengajarkannya bagaimana cara
memimpin dan mematuhi yang benar” . Sedangkan dalam Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan
sebagai berikut :

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan


suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik dapat secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.

Fakih samlawi dan Bunyamin Maftuh (1999:1) menyatakan bahwa IPS


merupakan mata pelajaran yang memadukan konsep-konsep dasar dari
berbagai ilmu sosial disusun melalui pendidikan dan psikologis serta
kelayakan dan kebermaknaannya bagi siswa dan kehidupannya. Supriatna
(2010 : 5) Pengertian IPS merujuk pada kajian yang memusatkan
perhatiannya pada aktivitas kehidupan manusia. Berbagai dimensi manusia
dalam kehidupan sosialnya merupakan fokus kajian dari IPS. Aktivitas
manusia dilihat dari dimensi waktu yang meliputi masa lalu, sekarang, dan
masa depan. Aktivitas manusia yang berkaitan dalam hubungan interaksinya
dengan aspek keruangan atau geografis. Aktivitas social manusia dalam
memenuhi segala kebutuhan hidupnya dalam dimensi arus produksi,
distribusi, dan konsumsi. Selain itu dikaji pula bagaimana manusia
mempertahankan suatu kekuasaan. Pada intinya, focus kajian IPS adalah
berbagai aktivitas manusia dalam berbagai dimensi kehidupan social sesuai
dengan karakteristik manusia sebagai makhluk social (homo socius).

Terdapat perbadaan yang esensial antara IPS sebagai ilmu-ilmu social


(social sciences) dengan pendidikan IPS sebagai social studies. Jika IPS lebih
dipusatkan pada pengkajian ilmu murni dari berbagai bidang yang termasuk
dalam ilmu-ilmu social (social sciences) atau dalam kata lain IPS adalah
sebagai wujudnya. Setiap disiplin ilmu yang tergabung dalam ilmu-ilmu
social berusaha untuk mengembangkan kajiannya sesuai dengan alur
keilmuannya, dan menumbuhkan “body of knowledge”.
Pendidikan IPS lebih ditekankan pada bagaimana cara mendidik
tentang ilmu-ilmu social atau lebih kepada penerapannya (application of
knowledge social studies). Ilmu yang disajikan dalam pendidikan IPS
merupakan suatu synthetic antara ilmu-ilmu social dengan ilmu ilmu-ilmu
pendidikan. Pendidikan IPS merupakan hasil rekayasa “inter cross” dan
“trans disipliner” antara disiplin ilmu pendidikan dengan disiplin ilmu sosial
murni untuk tujuan pendidikan. Ilmu yang dikembangkan melalui pendidikan
IPS merupakan hasil seleksi, adaptasi dan modifikasi dari hubungan
interdisipliner antara disiplin ilmu pendidikan dan disiplin ilmu-ilmu social
yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan
pendidikan (Supriatna, dkk., 2010 : 6)

Dapat disimpulkan bahwa Pendidikan IPS adalah suatu terapan dari


berbagai ilmu-ilmu sosial yang berkaitan dengan interaksi kemasyarakatan
dengan mengikuti rambu-rambu tujuan pendidikan yang telah ditentukan
(kurikulum) untuk digunakan siswa dalam menghadapi permasalahan yang
timbul dilingkungannya dari pengetahuan IPS yang telah dipelajarinya.

Materi pendidikan IPS yang akan dipelajari oleh siswa harus didasarkan
pada tujuan yang akan dicapai. Pelajaran IPS di Sekolah Dasar merupakan
nama mata pelajaran yang berdiri sendiri sebagai integrasi dari sejumlah
konsep disiplin ilmu sosial, humaniora, sains bahkan berbagai isu dan
masalah sosial kehidupan (Menurut Sapriya, 2009). Materi IPS untuk jenjang
sekolah dasar tidak terlihat aspek disiplin ilmu karena lebih dipentingkan
adalah dimensi pedagogik dan psikologis serta karakteristik kemampuan
berpikir peserta didik yang bersifat holistik.

Tujuan pendidikan IPS dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa


pendidikan IPS merupakan suatu disiplin ilmu. Oleh karena itu pendidikan
IPS harus mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian tujuan
pendidikan IPS adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
menguasai disiplin ilmu-ilmu social untuk mencapai tujuan pendidikan yang
lebih tinggi (Supriatna, dkk., 2010 : 7)
Menurut Hassan (1996; 107), tujuan pendidikan IPS dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu pengembangan kemampuan dan
rasa tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan bangsa serta
pengembangan diri siswa secara pribadi. Tujuan pertama berorientasi pada
pengembangan kemampuan intelektual yang berhubungan dengan diri siswa
dan kepentingan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu social. Tujuan kedua
berorientasi pada pengembangan diri siswa dan kepentingan masyarakat.
Sedangkan tujuan ketiga lebih berorientasi pada pengembangan pribadi siswa
baik untuk kepentingan dirinya, masyarakat maupun ilmu.

Supriatna,dkk (2010) menyebutkan ada tiga aspek yang harus dituju


dalam pendidikan IPS, yaitu aspek intelektual, kehidupan social, dan
kehidupan individual. Pengembangan kemampuan intelektual lebih
didasarkan pada pengembangan disiplin ilmu itu sendiri serta pengembangan
akademik dan thinking skills. Tujuan intelektual berupaya untuk
mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami disiplin ilmu social,
kemapuan berpikir, kemampuan prosesual dalam mencari informasi dan
mengkomunikasikan hasil temuan. Pengembangan intelektual ini akan selalu
berhubungan dengan aspek pengembangan individual.

Pengembangan kehidupan social berkaitan dengan pengembangan


kemampuan dan tanggung jawab siswa sebagai anggota masyarakat. Oleh
karena itu tujuan ini mengembangkan kemampuan seperti berkomunikasi ,
rasa tanggung jawab sebagai warga Negara dan warga dunia, kemampuan
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan bangsa.
Termasuk dalam tujuan ini adalah pengembangan pemahaman dan sikap
positif terhadap nilai, norma dan moral yang berlaku dalam masyarakat

C. Pengertian Pendidikan IPS Menurut Para Ahli


1. Somantri (Sapriya: 2008; 9) menyatakan “IPS adalah penyederhanaan
atau disiplin ilmu ilmu sosial humaniora serta kegiatan dasar manusia
yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis atau
psikologis untuk tujuan pendidikan”.
2. Moeljono Cokrodikardjo mengemukakan bahwa “IPS adalah perwujudan
dari suatu pendekatan interdisipliner dari ilmu sosial. Ia merupakan
integrasi dari berbagai cabang ilmu sosial yakni sosiologi, antropologi
budaya, psikologi, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik dan ekologi
manusia, yang diformulasikan untuk tujuan instruksional dengan materi
dan tujuan yang disederhanakan agar mudah dipelajari”.
3. Nu’man Soemantri menyatakan bahwa “IPS merupakan pelajaran ilmu-
ilmu sosial yang disederhanakan untuk pendidikan tingkat SD, SLTP,
dan SLTA”.
Penyederhanaan mengandung arti: 
a) Menurunkan tingkat kesukaran ilmu-ilmu sosial yang biasanya
dipelajari di universitas menjadi pelajaran yang sesuai dengan
kematangan berfikir siswa siswi sekolah dasar dan lanjutan.
b) Mempertautkan dan memadukan bahan aneka cabang ilmu-ilmu
sosial dan kehidupan masyarakat sehingga menjadi pelajaran yang
mudah dicerna.
4. S. Nasution mendefinisikan IPS sebagai pelajaran yang merupakan fusi
atau paduan sejumlah mata pelajaran sosial. Dinyatakan bahwa IPS
merupakan bagian kurikulum sekolah yang berhubungan dengan peran
manusia dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai subjek sejarah,
ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi, dan psikologi sosial.
5. Tim IKIP Surabaya mengemukakan bahwa “IPS merupakan bidang studi
yang menghormati, mempelajari, mengolah, dan membahas hal-hal yang
berhubungan dengan masalah-masalah human relationship hingga
benarbenar dapat dipahami dan diperoleh pemecahannya. Penyajiannya
harus merupakan bentuk yang terpadu dari berbagai ilmu sosial yang
telah terpilih, kemudian disederhanakan sesuai dengan kepentingan
sekolah sekolah”.

D. Paradigma Pendidikan IPS


Paradigma IPS  adalah model atau kerangka berpikir pengembangan
IPS yang diwacanakan dalam kurikulum pada sistem pendidikan Indonesia,
dan IPS merupakan studi yang mempelajari tentang masyarakat atau manusia,
dan merupakan ilmu pengetahuan sosial yang diambil dari ilmu sosial. Ada
tiga istilah yang termasuk bidang pengetahuan sosial, yaitu: Ilmu Sosial
(Social Sciences), Studi Sosial (Social Studies), dan Ilmu Pengetahuan Sosial
( IPS ). Selain istilah tersebut ada juga istilah yang kadang-kadang digunakan
dalam menyebut bidang studi IPS, yaitu: Social Education dan Social
Learning, yang menurut Cheppy kedua istilah tersebut lebih menitik beratkan
kepada berbagai pengalaman di sekolah yang dipandang dapat membantu
anak didik untuk lebih mampu bergaul di tengah-tengah masyarakat.
1. Ilmu Sosial (Social Science)
Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial
(Saidihardjo, 1996; 2) adalah sebagai berikut: “ilmu sosial terdiri disiplin-
disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertaraf akademis dan biasanya
dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.

Menurut Gross (Kosasih Djahiri, 1981; 1), ilmu sosial merupakan


disiplin intelektual yang mempelajari manusia sebagai makluk sosial
secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai anggota masyarakat dan
pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.

Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa ilmu sosial adalah cabang


ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia baik secara
perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu ilmu sosial
adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan mempelajari
manusia sebagai anggota masyarakat. Ilmu-ilmu sosial lebih menitik
beratkan kepada interdisiplin pada suatu bidang studi kajian disatu disiplin
ilmu, seperti contoh pada disiplin ilmu Antropologi.

2. Studi Sosial (Social Studies)


Berbeda dengan ilmu sosial, studi sosial bukan merupakan suatu
bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu
bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social. Tentang studi sosial
ini, Achmad Sanusi (1971; 18) memberi penjelasan sebagai berikut : Studi
sosial tidak selalu bertaraf akademis - universitas, bahkan merupakan
bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar dan dapat
berfungsi sebagai pengantar bagi lanjutan kepada disiplin-disiplin ilmu
sosial. Studi Sosial merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan
masalah sosial yang terjadi pada masyarakat.

Studi sosial bersifat interdisipliner, dengan menetapkan pilihan judul


atau masalah-masalah tertentu berdasarkan sesuatu rangka referensi, dan
meninjaunya dari beberapa sudut sambil mencari logika dari hubungan-
hubungan yang ada satu dengan lainnya.

Studi sosial menurut John Jarolimek: “Tugas Studi Sosial sebagai


suatu bidang studi mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, dengan tujuan membina warga masyarakat
yang mampu menyelaraskan kehidupannya berdasarkan kekuatan-
kekuatan fisik dan social, serta membantu melahirkan kemampuan
memecahkan masalah-masalah social yang dihadapainya. Jadi, baik materi
maupun metode pembelajaran penyajiannya harus sesuai dengan misi yang
diembannya”.

3. Pengetahuan Sosial (IPS)


Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980: 8) memberi batasan IPS adalah
merupakan suatu pendekatan interdsipliner (Inter-disciplinary Approach)
dari pelajaran Ilmu-ilmu sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai
cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi
sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini
lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996: 4) bahwa IPS merupakan hasil
kombinasi atau hasil perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti:
geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, politik.

IPS lebih menitik beratkan kepada pendekatan multidisipliner  atau


interdisipliner, dimana topik-topik dalam IPS dapat dimanipulasi menjadi
suatu isu, pertanyaan atau permasalahan yang berperspektif interdisiplin.
Ilmu pengetahuan IPS yg dikenal di Indonesia bukan ilmu sosial. Oleh
karena itu, proses pembelajaran IPS pada berbagai tingkat pendidikan
tidak  akan menekankan pada aspek teoritis keilmuannya, melainkan lebih
menekankan kepada segi praktis mempelajari, menelaah serta mengkaji
gejala dan masalah sosial dengan mempertimbangkan bobot dan tingkatan
peserta didik pada tiap jenjang.

Pendekatan yang dilakukan studi sosial sangat berbeda dengan


pendekatan yang biasa digunakan dalam Ilmu Sosial. Pendekatan studi
sosial bersifat interdisipliner atau multidisipliner dengan menggunakan
berbagai bidang keilmuan. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam
Ilmu Sosial (Social Sciences) bersifat disipliner dari bidang ilmunya
masing-masing.

Konsep “Social Studies” secara umum berkembang di Amerika Serikat


merupakan salah satu negara yang telah menujukkan reputasi akademis dalam
bidang sosial, seperti dengan berdirinya National Council for The Social
Studies (NCSS) pada tanggal 20-30 November 1935. Dalam pertemuan ini,
disepakati bahwa “Social Science as the Core of the Curriculum” yaitu
menempatkan bahwa social studies sebagai core curriculum. Sedangkan pada
tahun 1937, pilar historis-epiostemologis, social studies yang pertama, berupa
suatu definisi tentang “social studies” yang berawal dari Edgar Bruce Wesley
yaitu “The Social Studies Are The Social Sciences Simplified Pedagogical
Purpose” yang artinya bahwa “The Social Studies” adalah ilmu-ilmu sosial
yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan. Kemudian dikembangkan
bahwa social studies berisikan aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu
politik, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu geografi dan filsafat.
Berdasarkan pengamatan Edgar Bruce Wesley selama 40-an tahun bahwa
bahwa bidang social studies mengalami perkembangan dengan adanya
ketidakmenentuan, ketakberkeputusan, ketakbersatuan, dan ketakmajuan
terutama pada tahun 1940-1970-an.

Pada periode ini, merupakan periode yang sangat sulit dalam


menjalankan social studies. Antara tahun 1940-1950-an, “social studies”
mendapat serangan dari segala penjuru yang pada dasarnya berkisar pada
pertanyaan mesti atau tidaknya “social studies” menanamkan nilai dan sikap
demokratis kepada para pemuda. Pada tahun 1960-an timbul suatu gerakan
akademis yang mendasar dalam pendidikan, yang secara khusus dapat
dipandang sebagai suatu revolusi dalam bidang social studies yang dipelopori
oleh para sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial. Kedua kelompok ilmuwan ini
terpikat oleh “social studies” karena pada saat pemerintahan federal
menyediakan dana yang sangat besar untuk pengembangan kurikulum.
Dengan dana ini, para ahli bekerja sama untuk mengembangkan proyek
kurikulum dan memproduksi bahan belajar yang sangat inovatif dan
menantang dalam skala besar. Gerakan akademis tersebut dikenal sebagai
gerakan “The New Social Studies”.

Namun demikian, sampai tahun 1970-an ternyata gagasan untuk


mendapatkan The New Social Studies ini belum menjadi kenyataan. Isu yang
terus menerpa social studies adalah mengenai perlu tidaknya indoktrinasi,
tujuan pembelajaran yang saling bertentangan dan pertikaian mengenai isi
pembelajaran. Pada tahun 1940-1960 terjadinya tarik menarik antara dua visi
social studies, disatu pihak adanya gerakan untuk mengintegrasikan berbagai
disiplin ilmu sosial untuk tujuan citizenship education dan di lain pihak terus
bergulirnya gerakan pemisahan berbagai disiplin ilmu sosial yang cenderung
memperlemah konsepsi social studies education. Hal ini merupakan dampak
dari berbagai penelitian yang dirancang untuk mempengaruhi kurikulum
sekolah, terutama yang berkenaan dengan pengertian dan sikap siswa. Selain
itu, merupakan dampak dari opini publik berkaitan dengan perang dunia II,
perang dingin, dan perang korea serta kritik publik terhadap belum
terwujudnya gagasan John Dewey tentang pengembangan kemampuan
berpikir kritis dalam praktik pendidikan persekolahan.

Gerakan The New Social Studies yang menjadi pilar dari


perkembangan Social Studies pada tahun 1960-an bertolak dari kesimpulan
bahwa “social studies” sebelumnya dinilai sangat tidak efektif dalam
mengajarkan substansi dan mempengaruhi perubahan siswa. Oleh karena itu,
sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial bersatu padu untuk bergerak meningkatkan
social studies kepada taraf higher level of Intellectual Pursuit yakni
mempelajari ilmu sosial secara mendasar. Dengan orientasi tersebut maka
dimulailah era modus pembelajaran Social Studies Education. Dari berbagai
pandangan mendorong timbulnya upaya mentransformasikan “social studies”
ke dalam “social science” dan mengajarkan sebagai disiplin akademik yang
terpisah. Gerakan inilah yang mendorong berdirinya The Social Science
Education Concortium (SSEC) yang kemudian menerbitkan bukunya yang
pertama Concept and Structure in The New Social Studies Curriculum.

Pada akhir 1960-an adanya perubahan dari orientasi pada disiplin


akademik yang terpisah-pisah ke suatu upaya untuk mencari hubungan
interdisipliner. Definisi “social studies” dan pengidentifikasian “social
studies” atas tiga tradisi pedagogis dianggap sebagai pilar utama dari “social
studies” pada tahun 1970-an. Dalam definisi tersebut tersirat dan tersurat
beberapa hal yaitu pertama social studies merupakan suatu sistem pengetahuan
terpadu, kedua misi utama social studies adalah pendidikan kewarganegaraan
dalam suatu masyarakat yang demokratis, ketiga sumber utama konteks social
studies adalah social sciences dan humanities, keempat dalam upaya
penyiapan warga negara yang demokratis (Barr dkk, 1978) pada tahun 1980-
1990-an mengenal pemikiran social studies yang sebelumnya dilanda masalah,
secara konseptual telah dapat diatasi.

Dilihat dari karakteristik dan tujuannya, Social Studies Education atau


Social Studies yang dipikirkan untuk abad ke-21 masih tetap menempatkan
pendidikan kewarganegaraan yaitu pengembangan Civic Responsibility and
Active Civic Participation sebagai salah satu esensinya. Pada tahun 1992, The
Board of Directors of The National Council for The Social Studies
mengadopsi visi terbaru mengenai social studies yang kemudian diterbitkan
dalam dokumen resmi NCSS pada tahun 1994 dengan judul Expectations of
Excellence; Curricullum Standars for Social Studies.

E. Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia


Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika Serikat sebagai salah
satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang
signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan
pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai karya
akademis yang antara lain dipublikasikan oleh National Council for the
Social Studies (NCSS).

Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan


IPS di Indonesia secara historis epistemologis terasa sangat susah karena dua
alasan.

1. Di Indonesia belum ada lembaga professional bidang pendidikan IPS


setua dan sekuat pengaruh NCSS atau SSEC. Lembaga serupa yang
dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana pendidikan IPS
Indonesia) usianya masih sangat muda dan produktivitas akademisnya
masih belum optimal, karena masih terbatas pada pertemuan tahunan dan
komunikasi antar anggota masih insidental.
2. Perkembangan kurikulum dan pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu
pendidikan (disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada
pemikiran individual dan atau kelompok pakar yang ditugasi secara
insidental untuk mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui Pusat
pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud
(Puskur). Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap
pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur
melalui anggotanya yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan
tersebut. Jadi, sangat jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social
Studies Curriculum Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Amerika
Serikat.

Oleh karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS


di Indonesia akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS dalam dunia
persekolahan, dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan
penelitian yang relevan dalam bidang itu.

Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat ditelusuri,


untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic
Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut Laporan Seminar
tersebut ada tiga istilah yang muncul dan digunakan secara bertukar pakai
yakni “pengetahuan social, studi social, dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang
diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah social yang dipilih dan
dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan
agar masalah-masalah social itu dapat dipahami siswa. Dengan demikian,
para siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah sosial sehari-
hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam kurikulum
sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar
tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis pendidikan Sains.
Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut dapat dianggap
sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan
IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar Bruce
Wesley yang segera dapat respon akademis secara meluas dan melahirkan
kontroversi akademik, pemunculan pengertian IPS dengan mudah dapat
diterima dengan sedikit komentar.

Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia


persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis
Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena,
barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam Seminar
Civic Education di Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman
Soemantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP
Bandung, dan pada pengembangan Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan
sebagai anggota tim pemnegmbang kurikulum tersebut.

Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan


Kewargaan Negara/ Studi Sosial” sebagai mata pelajaran social terpadu.
Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari
konsep pengajaran social yang awalaupun tidak diberi label IPS, telah
diadopsi dalam Kurikulum SD tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut
digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup
sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai
Pengetahuan Kewargaan Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP
tersebut, konsep IPS diartikan sama dengan Pendidikan Kewargaan Negara.
Penggunaan istilah Studi Sosial nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran atau
penafsiran Achmad Sanusi yang pada tahun 1972 menerbitkan sebuah
manuskrip berjudul “Studi Sosial: Pengantar Menuju Sekolah
Komprehensif”.

F. Landasan Filosofis Pendidikan IPS


Bangsa Indonesia  dilihat dari latar belakang etnik atau kesukuan
merupakan sebaran suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia
dengan disatukan sebagai bangsa yang mempunyai latar belakang keaneka
ragaman bahasa daerah, budaya dan kearifan lokal yang dimiliki masing-
masing etnik. Secara keseluruhan bangsa Indonesia saat ini dikenal sebagai
bangsa yang majemuk atau heterogenitas multi etnik yang merupakan bagaian
dari masyarakat yang pluralistik.

Dengan kemajemukan masyarakat tersebut pendidikan dan


pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) memiliki peran yang strategis baik
ditinjau dari segi akademik maupun kepentingan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dilihat dari sisi akademik pendidikan dan pengajaran IPS dapat
membekali anak didik atau siswa pada pemahaman konsep-konsep dasar ilmu
–ilmu sosial sebagai basis dari pendidikan dan pengajaran IPS di jenjang
lembaga pendidikan atau persekolahan.

Melalui pendidikan dan pengajaran IPS siswa diharapkan memiliki


bakat dan minat terhadap ilmu-ilmu sosial dan dapat memecahkan persoalan-
persoalan yang riil ketika mereka tamat pada jenjang persekolahan tertentu
dan dapat hidup berinteraksi dalam lingkungan masyarakat sebagai insan
pembangunan bangsa yang memiliki moral, pekerti yang baik dan mandiri.
Keberhasilan pendidikan dan pengajaran IPS akan dapat memberikan
kontribusi yang besar terhadap pembangunan kehidupan berbangsa dan
bernegara.

Landasan Filosofis sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah


Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum  Mata Pelajaran IPS” Badan
Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum 2007, Depdiknas RI
dirincikan sebagai berikut :

1. Esensialisme
Esensialisme; adalah aliran yang menggariskan  bahwa kurikulum
harus menekankan pada penguasaan ilmu. Aliran ini berpandangan bahwa,
pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan keilmuan. Kurikulum yang
dikembangkan dalam aliran esensialisme adalah kurikulum disiplin ilmu.
Tujuan dari aliran esensialisme adalah menciptakan intelektualisme.
Proses belajar-mengajar yang dikembangkan adalah siswa harus memiliki
kemampuan penguasaan disiplin ilmu. Penerapan pembelajaran ini lebih
banyak berperan pada guru jika dibandingkan dari siswa.

Sekolah yang baik dalam pandangan filsafat esensialisme adalah


sekolah yang mampu mengembangkan intelektualisme siswa.
Implementasi mata pelajaran IPS menurut aliran esensialisme akan lebih
menekankan IPS pada aspek kognitif (pengetahuan) jika dibandingkan
dengan aspek afektif (sikap). Siswa belajar IPS akan lebih berorientasi
pada pemahaman konsep-konsep IPS daripada penerapan materi yang ada
pada IPS bagi kehidupan sehari-hari.

2. Perenialisme
Perenialsme adalah aliran yang memandang , bahwa sasaran yang
harus dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip
tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta tidak terkait oleh
ruang dan waktu. Dalam pandangan aliran Perenialisme kurikulum akan
menjadi sangat ideologis karena dengan pandangan-pandangan ini
menjadikan siswa atau peserta didik sebagai warga Negara yang memiliki
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan oleh Negara.
Pandangan perenialisme lebih menekankan pada Transfer Budaya
(transfer of culture), seperti dalam Implementasinya pada  kurikulum IPS
yang bertujuan pada pengembangan dan pembangunan jati diri bangsa
peserta didik dalam rangka menuju tercapainya  integrasi bangsa. Aliran
ini juga dikenal menekankan pada kebenaran yang absolut, kebenaran
universal yang tidak terikat pada ruang dan waktu, aliran ini lebih
berorientasi ke masa lalu.

3. Progresivisme
Progresivisme adalah aliran ini memandang bahwa sekolah
memiliki tujuan yakni kecerdasan yang praktis dan membuat siswa lebih
efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang disajikan oleh guru atau
pendidik.Masalah tersebut biasanya ditemukan berdasarkan pengalaman
siswa.Pembelajaran yang harus dikembangkan oleh aliran Progresivisme
adalah memperhatikan kebutuhan individual yang dipengaruhi oleh latar
belakang sosial-budaya dan mendorong untuk berpartisipasi aktif sebagai
warga Negara dewasa, terlibat dalam pengambilan keputusan, dan
memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah pada kehidupan sehari-
hari. Implementasi IPS dalam pandangan aliran filsafat Progresivisme
adalah bagaimana mata pelajaran IPS mampu membekali  kepada siswa
agar dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya kemiskinan, pengangguran,
kebodohan, ketertinggalan, kenakalan remaja atau narkoba dan lainnya.

4. Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme adalah aliran ini berpendapat  bahwa sekolah
harus diarahkan kepada pencapaian tatanan demokrasi yang mendunia.
Aliran filsafat ini menghendaki agar setiap individu dan kelompok tanpa
mengabaikan nilai-nilai masa lalu, mampu mengembangkan pengetahuan,
teori, atau pandangan tertentu yang paling relevan dengan kepentingan
mereka melalui pemberdayaan peserta didik dalam proses pembelajaran
guna memproduksi pengetahuan baru. Dalam pandangan aliran filsafat ini
lebih menekankan agar siswa dalam pembelajaran mampu menemukan
(inquiri), penemuan yang bersifat informasi baru bagi siswa berdasarkan
bacaan yang ia lakukan. Pembelajaran lebih ditekankan pada proses bukan
hasilnya. Aktivitas siswa menjadi perioritas utama dalam berlangsungnya
pembelajaran.
Dalam implementasi pembelajaran IPS, misalnya siswa
mempelajari fakta-fakta disekelilingnya, berdasarkan fakta tersebut siswa
menemukan definisi mengenai sesuatu, tanpa harus didefinisikan terlebih
dahulu oleh guru. Misalnya dalam pelajaran ekonomi diperkenalkan
adanya fakta orang-orang yang mekakukan kegiatan jual – beli. Setelah
melihat aktivitas orang-orang tersebut akhirnya siswa menemukan definisi
mengenai penjualan, pembelian, penawaran, pasar, uang dan lainnya
dalam aktivitas jual-beli. Dengan demikian guru tidak menjelaskan atau
membuat definisi, tetapi dari fakta-fakta tersebut siswalah yang aktif
melihat fakta dan dapat mendefinisikannya.

G. Aliran-aliran Filsafat dalam IPS


Ada perbedaan analisis filsafat ilmu dengan pendidikan IPS. Filsafat
ilmu dalam mencari kebenaran selalu melepaskan diri dari masalah praktis
yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya. Sedangkan pendidikan IPS
lebih banyak berkenaan dengan masalah kegiatan dasar manusia yang terjadi
dalam lingkaran pendidikan yakni: keluarga, sekolah dan lingkungan
masyarakat yang akan memuat sistem dan nilai yang diharapkan oleh PIPS.

Untuk kepentingan pengembangan PIPS secara akademik perlu


ditujukan kaitan IPS dengan berbagai faham filsafat ilmu: emperisme,
positivisme, rasionalisme, dan idealisme.sedang dalam filsafat pendidikan
diantaranya adalah perenialisme, esensialisme, progresivisme, dan
rekonstruksionisme (Brameld, 1987).

1. Positivisme.
Pemikiran August Comte dilatar belakangi oleh semaraknya berfikir
empiris dan era gelapnya abad tengah yang Teologik. Comte membagi
tahap berpikir menjadi tiga, yaitu: teologik, metaphisik, dan positivistic.
August Comte membedakan fenomena social menjadi (1) Social Statics
yang membahas tentang fungsi jenjang peradaban. (2) Social Dinamis
yang menelaah perubahan jenjang tersebut. Comte memberi corak dalam
paradigma kualitatif berupa kajian teori antropologi dan sosiologi-
historik.
2. Rasionalisme.
Rasionalisme merupakan lawan dari positivisme. Menurut rasionalisme
semua ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun atas
argumentasi logic. Ilmu yang dibangun berdasar rasionalisme
menekankan pada pemaknaan empiri, pemahaman intelektual, dan
kemampuan berargumentasi secara logic dengan dukungan data empiric
yang relevan agar produk ilmu yang melandaskan diri pada rasionalisme
bukan fiksi.
3. Pragmatisme.
Ada dua ide utama dari pragmatisme, yaitu: (1) manusia adalah makhluk
yang aktif dan kreatif, (2) manusia memadukan kebenaran dengan value
dan action. Pragmatisme memadukan antara teori dan praktik.
4. Idealisme.
Menurut idealism, realitas terdiri dari ide-ide, fikiran-fikiran, akal (mind),
atau jiwa dan bukan benda material maupun kekuatan. Akal adalah yang
riil sedang materi adalah produk sampingan. Dengan demikian idealisme
mengangga bahwa dunia seperti mesin besar dan harus ditafsirkan sebagai
materi atau kekuatan saja.
5. Konstruktivisme.
Konstruktivisme pertama kali dikemukakan oleh Giambatista Vico,
seorang epistemology Italia tahun 1710. Inti dari konstruktivisme adalah
bahwa realist tidak ada dengan sendirinya melainkan sebagai hasil bentukan
atau konstruksi dari subyek (personal, interpersonal, dan komunal), dan
bahwa kebenaran pengetahuan, nilai dan sikap senantiasa berubah melalui
proses rekontruksi skema kognitif, afektif dan psikomotor.

H. Simpulan
Dari beberapa teori dan kajian yang telah dibahas maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Paradigma IPS  adalah model atau kerangka berpikir pengembangan IPS
yang diwacanakan dalam kurikulum pada sistem pendidikan Indonesia,
dan IPS merupakan studi yang mempelajari tentang masyarakat atau
manusia, dan merupakan ilmu pengetahuan sosial yang diambil dari ilmu
sosial. Pendidikan IPS lebih ditekankan pada bagaimana cara mendidik
tentang ilmu-ilmu social atau lebih kepada penerapannya (application of
knowledge social studies). Ilmu yang disajikan dalam pendidikan IPS
merupakan suatu synthetic antara ilmu-ilmu social dengan ilmu ilmu-
ilmu pendidikan. Pendidikan IPS merupakan hasil rekayasa “inter cross”
dan “trans disipliner” antara disiplin ilmu pendidikan dengan disiplin
ilmu sosial murni untuk tujuan pendidikan.
2. Landasan Filosofis sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah Akademik
Kajian Kebijakan Kurikulum  Mata Pelajaran IPS” Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum 2007, Depdiknas RI dirincikan sebagai
berikut :
a. Esensialisme
b. Perenialisme
c. Progresivisme
d. Rekonstruksionisme

DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, TR. dan Asep, S. 2011. Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan
Teknologi. Subang: Royyan Press.

Dianascyber. 2012. Perkembangan Kurikulum dan Landasan Filosofis Pendidikan


IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) di Indonesia. [Online]. Tersedia di:
dianascyber.wordpress.com. Diakses 6 September 2015.

Depdiknas. 2007. Naskah Akdemik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran


Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Departemen Pendidikan Nasional Badan
Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum 2007. Jakarta:
Depdiknas.
Hermanto. 2009. Landasan Filsafat Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Jurnal.
Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia.

SDN cbu 11 Pg. 2009. Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). [Online]. Tersedia di:
www.slideshare.net. Diakses 7 September 2015.

Supriatna, Nana, dkk,. 2010. Bahan Belajar Mandiri Pendidikan IPS SD.
Bandung : UPI PRESS.

Anda mungkin juga menyukai