Anda di halaman 1dari 3

Kekuasaan adalah Saya.

Kalimat reversible, dibaca dari depan dan belakang sama saja maknanya, “ABLE WAS I
ERE I SAW ELBA” dikenal sebagai palindrome yang diucapkan oleh Napoleon Bonaparte
(1769-1821). Ucapan Napoleon ini mengilhami berbagai kelompok kepentingan dan
mendorong terciptanya penguasa dewa. Dari perspektif mitologi Yunanni Kuno jarak
antara penguasa dengan rakyat laksana dewa yang ada di kayangan dengan manusia yang
tinggal di bumi. Untuk mendekatkan antara keduanya, manusia harus berkorban. Macam-
macam jenis pengorbanan yang dilakukan, termasuk mengorbankan diri sendiri. Relasi
keduanya mengilhami tatanan birokrasi konvensional. Sekat antara kepala dan staf,
majikan dan buruh begitu nampak jarak antara keduanya. Kedekatan hubungan keduanya
ditentukan oleh besar kecilnya sesuatu yang harus dikorbankan untuk atasan. Dalam mitos
Yunani Kuno, harapan agar keinginan seseorang terkabul, ia harus mengorbankan jenis
sajian tertentu kepada sang dewa.

Kebiasaan ini terlihat dalam tata birokrasi, yang menyuburkan tindakan Kolusi
Korusi dan Nepotisme (KKN). Akibatnya, birokrasi berubah maknanya seratus delapan
puluh derajat, dari “tata administrasi yang didasarkan pada prinsip efektifitas dan
efisiensi,” berubah menjadi “tata administrasi yang sarat dengan ketidak-efektifan serta
ketidak-efisiensian.” Di sini, semakin banyak pos administrasi yang dilalui dalam
menyelesaikan tugas administrasi itulah birokrasi. Karena itu, jika seseorang mengeluhkan
kata “birokratis” dipahami sebagai sesuatu yang negatif. Birokrasi sesungguhnya
merupakan produk sistem ekonomi kapitalisme dalam rangka mencapai tujuan ekonomi.
Semakin sedikit proses administrasi dan semakin kecil ongkos produksi suatu usaha, itulah
birokrasi. Tujuan ini muncul dalam tagline yang sangat populer get the most for the least.

Dalam birokrasi, palindrome Napoleon di atas dimaknai dalam ungkapan sopo ingsun
sopo siro; siapa kamu siapa saya, siapa luuu siapa gue. Ungkapan ini menggambarkan bukan
pada perbedaan fungsi dan tugas aparat dalam satu sistem birokrasi, tetapi lebih pada
status kekuasaan yang dimiliki masing-masing orang. Semakin tinggi jabatan seseorang
semakin tinggi pula status kekuasaan yang melekat pada dirinya. Jabatan identik dengan
kekuasaan. Penguasa seperti ini umumnya berpegang pada keinginan diri; semua aturan
dan kebijakan dibuat untuk memagari diri agar bisa berbuat seperti yang diinginkannya;
hasrat berkuasa secara berkelanjutan merupakan satu keinginan, baik yang terlihat
maupun yang tersamar. Sekali kekuasaan ada pada diri, maka ia akan berusaha
mempertahankannya. Jabatan boleh berganti, namun kontrol kekuasaan tetap ada pada
dirinya: Presiden berganti posisi menjadi Perdana Menteri, Bupati berganti menjadi wakil
Bupati. Pengganti jabatan yang ditinggalkan diusahakan dari keluarga. Untuk yang disebut
terakhir ini, jabatan ketua dan pimpinan dari sebagian partai di Indonesia adalah contoh
yang menarik.
Penguasa identik dengan kebenaran. Apa yang dititahkan harus dilaksanakan. Sabdo
pandito rojo. Siapa yang melawan sama dengan pembangkangan. Bahkan, kalau perlu
semua urusan hanya ia yang melaksanakan, bisa jadi karena hilangnya kepercayaan pada
yang lain. Kecenderungan seperti ini tidak akan terjadi di negara yang menganut sistem
demokrasi. Karena dalam sistem ini, semua anggota warga negara memiliki hak
kemerdekaan yang dijamin oleh Undang-Undang. Rakyat memiliki hak untuk diperlakukan
sama di depan hukum tanpa membedakan status sosial; rakyat memiliki hak untuk
mengontrol setiap proses politik dalam mewujudkan tatanan sosial yang baik; rakyat
memiliki hak untuk mengingatkan setiap penyimpangan penyelenggara negara.

Namun, nilai-nilai demokrasi seperti yang disebutkan di atas dalam kasus negara
demokrasi tertentu sulit direrealisasikan. Protes rakyat karena adanya indikasi
penyimpangan dianggap makar; simbol agama dan keyakinan dianggap sebagai ujaran
kebencian; radikalisme merambah jangkauan makna yang lebih luas dan bahkan praktik
agama di ranah publik bisa dikelompokkan sebagai radikal. Sepertinya semua akan
dikontrol, tidak peduli urusan yang sangat pribadi. Semua elemen kekuatan masyarakat
yang idealnya merupakan partner dalam membangun negara yang berkeadilan, beradab
dan sejahtera, lambat laun diamputasi. Ungkapan Napoleon di atas “kekuasaan adalah saya
sebelum saya dibuang ke Pulau Elba” sepertinya dipahami betul sebagai hasrat sebagian
penguasa untuk “terus berkuasa.” Padahal, orang yang setelah berhasil menjadi orang
besar karena tradisi kekuasaan seperti ini dan menjadi terkenal, pada akhirnya hampir
selalu menjadi orang terhina (Lord Acton, 1834-1902). Banyak dari mereka yang dahulu
berkuasa masuk penjara karena kekuasaannya.

Meskipun Napoleon Bonaparte dikenal sebagai seorang yang haus kekuasaan, dan


reputasi pengaruh kekuasaannya mengilhami sebagian penguasa diktator di dunia, ia juga
dikenang sebagai seorang yang berjasa dalam melakukan reformasi politik dan sosial yang
berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Eropa, diantaranya: membangun sistem
peradilan, menegakkan konstitusi, memberikan hak bersuara bagi semua rakyat dan,
berakhirnya sistem feodalisme. Nilai-nilai ini penting untuk terus menerus digaungkan
guna menegakkan tatanan kehidupan yang dicitakan.

Pertanyaan:

1. Bagimana pendapat Saudara tentang pokok issue dalam esei di atas, bahwa
demokrasi belum berjalan sebagaimana idealnya. Jelaskan jawaban Saudara dengan
merujuk pada salah satu negara Muslim yang menjadi pembahasan review makalah
Saudara.
2. Bagaimana sesungguhnya membangun dan menegakkan demokrasi menurut
prinsip dan wawasan Islam, jelaskan dengan merujuk pada literatur yang Saudara
ketahui.

Jawaban dikumpulkan di ajainuri@hotmail.com paling lambat pada 14 Juni 2021, jam


24.00

Anda mungkin juga menyukai