Anda di halaman 1dari 10

1.

Teori-Teori Demokrasi

1. Teori Demokrasi Klasik


Demokrasi, dalam pengertian klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5
SM tepatnya di Yunani. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan secara
langsung, dalam artian rakyat berkumpul pada suatu tempat tertentu dalam rangka
membahas pelbagai permasalahan kenegaraan.
Bentuk negara demokrasi klasik lahir dari pemikiran aliran yang dikenal
berpandangan a tree partite classification of state yang membedakan bentuk
negara atas tiga bentuk ideal yang dikenal sebagai bentuk negara kalsik-
tradisional. Para penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan
Thomas Aquino.
Plato dalam ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi,
kekuasaan berada di tangan rakyat sehingga kepentingan umum (kepentingan
rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan
kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat kehilangan kendali, rakyat hanya ingin
memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi diatur sehingga mengakibatkan
keadaan menjadi kacau, yang disebut Anarki. Aristoteles sendiri mendefiniskan
demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan orang-orang sebagai wakil rakyat
terhadap kepentingan umum. Menurut Polybius, demokrasi dibentuk oleh
perwalian kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep demokrasi yang
dikemukakan oleh Polybius mirip dengan konsep ajaran Plato. Sedangkan
Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh seluruh
rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri.
Prinsip dasar demokrasi klasik adalah penduduk harus menikmati
persamaan politik agar mereka bebas mengatur atau memimpin dan dipimpin
secara bergiliran.

2. Teori Civic Virtue


Pericles adalah negarawan Athena yang berjasa mengembangkan
demokrasi. Prinsip-prinsip pokok demokrasi yang dikembangkannya adalah:
a. Kesetaraan warga negara
b. Kemerdekaan
c. Penghormatan terhadap hukum dan keadilan
d. Kebajikan bersama
Prinsip kebajikan bersama menuntut setiap warga negara untuk
mengabdikan diri sepenuhnya untuk negara, menempatkan kepentingan republik
dan kepentingan bersama diatas kepentingan diri dan keluarga.
Di masa Pericles dimulai penerapan demokrasi langsung (direct
democrazy). Model demokrasi ini bisa diterapkan karena jumlah penduduk negara
kota masih terbatas, kurang dari 300.000 jiwa, wilayah nya kecil, struktur sosialnya
masih sederhana dan mereka terlibat langsung dalam proses kenegaraan.

3. Teori Social Contract


Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Zaman
Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan
humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran
bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan
kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik
dan bernegara. Dalam perspektif kesejarahan, Zaman Pencerahan ini adalah
koreksi atau reaksi atas zaman sebelumnya, yaitu Zaman Pertengahan. Walau
demikian, pemikiran-pemikiran yang muncul di Zaman Pencerahan tidaklah
semuanya baru. Seperti telah disinggung di atas, teori kontrak sosial yang
berkembang pada Zaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah
diisyaratkan oleh pemikir-pemikir zaman-zaman sebelumnya seperti Kongfucu dan
Aquinas. Yang jelas adalah bahwa pada Zaman Pencerahan ini unsur-unsur
pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas
tentang kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama
mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah
sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil
kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya,
mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu
dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun di dalam praksinya.
Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau
memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi
alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan
lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan
(aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah
hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan
kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup
sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah
terbatas.
Dengan demikian Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah,
terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam
kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian
menjadi semakin mencekam. Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan
akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang satu dengan lainnya itu
dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia
tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil.
Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara
satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa
ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa
mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya
mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan
independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia
lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari
kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah
terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia
mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam
pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut
Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal
murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa
orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan
kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi
kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada
pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak
mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya
punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes,
Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman
penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial
(buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota
masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi
hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan
masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling
kepercayaan(fiduciary trust).
Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan
kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara
manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru
pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu
disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas.
Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu
mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang
memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.
Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral
menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh
beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih
berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak
istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada
gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.
Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan
orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, maka
masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari
semua (the free will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan
moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau mengedepankan konsep
tentang kehendak umum (volonte generale)untuk dibedakan dari hanya kehendak
semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh
jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the ‘subjects’), akan tetapi harus
tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought).

4. Teori trias politica


Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, di latar belakangi
pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang
berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan
menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian
diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin.
Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis Montesquieu membagi
kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak
terpusat pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu sebagai berikut.
a. Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
b. Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
c. Legislatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang
(mengadili).
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu
dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud
kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu
menekankan bahwa satu orang atau lembaga akan cenderung untuk mendominasi
kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat
padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan
tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya
dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.

2. Sejarah Perkembangan Demokrasi

 Pada zaman Yunani


Pada mulanya system demokrasi berada pada zaman Yunani kuno pada abad ke 6
sampai dengan pada abad ke 3 SM, bangsa Yunani pada saat itu menganut
demokrasi langsung yaitu dimana keputusan-keputusan-keputusan politik dibuat
berdasarkan keputusan mayoritas dari warga Yunani dan dijalankan langsung olem
seluruh warga Negara. Pada masa itu demokrasi yang diterapkan secara langsung
bias berjalan dengan baik hal itu karena wilayah dan jumlah penduduknya masih
terbilang kecil, hanya saja di Yunani demokrasi hanya berlaku untuk warga Negara
saja sedangkan untuk budak belian dan pedagang asing tidak berlaku.

 Lahirnya Magana Carta (Piagam Besar 1215)


Pada perkembangan demokrasi abad pertengahan telah menghasilkan magna
carta, yang merupakan semacam kontrak antara beberapa bangsawan dan raja
Johan dari inggris dimana untuk pertama kali seorang raja yang berkuasa
mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan previlageesdari
bawahannya swbagai imbalan untuk menyerahkan dana untuk keperluan perang
dan sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana yang feodal dan tidak
berlaku pada rakyat jelata namun dianggap sebagai tonggak perkembangan
gagasan demokrasi.

 Lahirnya Revolusi prancis dan revolusi Amerika pada akhir abad ke 18


Pada akrir abad ke 18 beberapa pemikiran dapat menghasilakn revolusi prancils
dan amerika, pemikiran tersebut antaralain bahwa manusia mempunyai hak politik
yang tidak boleh diselewengkan oleh raja dan menyebabkan dilontarkan kecaman
terhadap raja, yang menurut pola yang sudah lazim pada masa itu mempunyai
kekuasaan tidak terbatas. Pendobrakan terhadap kedudukan raja yang absolut
didasarkan atas suatu teori rasionalistis yang dikenal dengan social
contract(kontrak sosial). Menurut Jhon Locke hak-hak politik mencangkup hak atas
hidup, atau kebebasan dan hak untuk milik, Montesqeu mencoba menyusun suatu
system yang dapat menjamin hak-hak politik, yang kemudian dikenal dengan trias
politica
.
 Demokrasi Konstitusional pada Abad ke 19 dan 20
Akibat dari keingina menyelenggarakan hak-hak politik secara efektif timbullah
gagasan bahwa cara yang terbaik untuk membatasi kekusaan pemerintah ialah
dengan suatu konstitusi. Undang-undang menjamin hak-hak politik dan
menyelenggarakan pembagian kekusaan Negara dengan sedemikian rupa,
sehingga kekusaan eksekutif di imbangi dengan kekusaan parlemen dan lembaga
hukum. Gagasan ini dinamakan onstitusionalisme (constitusionalism), sedangkan
Negara yang menganut gagasan ini disebut constitutional state.
Dalam abad ke 19 dan permulaan abad ke 20 gagasan mengenai perlunya
pembatasan mendapatkan perumusan yang yuridis, ahli hukum Eropa Barat
yaituImmanuel Kant memakai istilah Rechtsstaat sedangkan menurut A.V. Dicey
memakai istilah Rule of Law. Dalam abad ke 20 gagasan bahwa pemerintah
dilarang campur tangan dalam urusa warga Negara baik dibidang social maupun
ekonomi lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggung
jawab atas kesejahteraan rakyat dan oleh karenanya harus aktif menatur
kehidupan ekonomi dan social.
Sesudah perang Dunia II International Commission Of Jurists tahun 1965 sangat
memperluas konsep mengenai Rule Of Law, bahwa disamping hak-hak politik juga
hak-hak social dan ekonomi harus diakui dan dipelihara, dalam arti bahwa standar
dasar social ekonomi. International Commission Of Jurists dalam konfrensinya di
Bangkok perumusan yang paling umum mengenai system politik yang demokrasi
adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat suatu keputusann-
keputusan politik diselenggarakan oleh warga Negara melalui wakil yang dipilih
oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu prose
pemilihan yang bebas. Ini dinamakan “demokrasi berdasarkan perwakilan”.

Hendri B Manyo merumuskan beberapa nilai yang mendasari demokrasi yaitu :

1. Menyelesaikan perselisihan dengan damaii dan secara melembaga.

2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat


yang sedang berubah.

3. Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur.

4. Membatasi pembatasan kekerasn sampai batsa minimum.

5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman.

6. Menjamin tegaknya keadilan.

3. PENGERTIAN DEMOKRASI

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara


sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas
negara untuk dijalankan olehpemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga
kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam
tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam
peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis
lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga
pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan
kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat
(DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan
legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh
wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya
(konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain
sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting,
misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum.
Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara,
namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan
umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih
(mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan
memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam
arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen
secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab
kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari
sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak
besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara
berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh
idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil.
Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih
pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun
negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilihkepada warga yang
telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki
catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno
pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari
sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti
dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah
berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem
“demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat,
dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci
tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini
disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam
suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan
kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi
sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan
pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk
masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah
seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya
kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk
gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak
akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja
harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang
mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu
secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga
negara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai