Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH MUNCULNYA KEDAULATAN RAKYAT

A. Akar Sejarah Ajaran Kedaulatan Rakyat


Istilah kedaulatan pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kenegaraan
berkebangsaan Perancis yang bernama Jean Bodin, yang kemudian dia disebut
sebagai bapak teori kedaulatan dalam khazanah ilmu negara. Bodin mengartikan
kedaulatan sebagai “wewenang tertinggi yang tidak dapat dibatasi oleh hukum” yang
tidak lain wewenang tertinggi ada pada penguasa (pemerintahan negara) mengatasi
seluruh warganegara dan orang-orang dalam ruang lingkup wilayahnya. Secara
eksplisit Bodin ingin mengatakan bahwa kekuasaan raja (kedaulatan penguasa) berada
di atas hukum atau undang- undang. Hal ini yang dikatakan sebagai kekuasaan sistim
monarki. Seiring perkembangan sejarah politik, kekuasaan monarki (kedaulatan raja)
bergeser menuju paham demokrasi (kedaulatan rakyat).1
Apabila melihat literatur-literatur ilmu politik dan ketatanegaraan
mengungkapkan bahwa sejarah demokrasi dapat dilacak sampai pada zaman Yunani
Kuno.2 Saat itu, demokrasi dimaksudkan pemerintahan rakyat secara langsung.
Yunani Kuno yang terdiri dari banyak Kota (City State) yang disebut polis diperintah
langsung oleh rakyat secara bersama-sama. Hak untuk membuat keputusan-keputusan
dijalankan secara langsung oleh rakyat secara langsung oleh warga negara yang
bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Hal ini dimungkinkan terutama karena luas
wilayah tiap yaitu sangat terbatas dengan jumlah penduduk yang sedikit. Penduduk ini
pun terdiri dari orang-orang yang mempunyai keluangan waktu yang diperdapat
karena tidak harus bekerja untuk memenuhi keperluan-keperluan hidup lahiriah.
Pekerjaan sehari - hari seperti mencari nafkah dan sebagainya, terutama sekali
pekerjaan berat diserahkan pada hamba sahaya. Tanpa hamba sahaya, apa yang
disebut dengan leisure tersebut tidak mungkin diwujudkan. Dalam suasana seperti
itulah demokrasi dalam pengertian pemerintahan yang dilaksanakan secara langsung
oleh rakyat, yang disebut juga demokrasi langsung (direct democracy) dapat
diselenggarakan. Inilah yang dimaksud dengan demokrasi pada zaman Yunani Kuno
tersebut.3

1
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi ( Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 30-31.
2
Lihat Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negara Barat,(Jakarta: CV Rajawali, 1982), hlm. 114.
Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, Gagasan...Op., Cit, hlm. 11.
3
Dian Bakti Setiawan, Op., Cit, hlm. 37.
Tipe demokrasi yang ideal diwujudkan dalam derajat demokrasi yang
berbeda-beda pula. Demokrasi langsung adalah demokrasi dengan derajat yang relatif
paling tinggi. Demokrasi langsung ditandai oleh fakta bahwa pembuatan undang-
undang, dan juga fungsi eksekutif dan yudikatif yang utama, dijalankan oleh rakyat di
dalam pertemuan akbar atau rapat umum. Pengorganisasian semacam itu hanya
mungkin dalam masyarakat-masyarakat kecil dan di bawah kondisi sosial yang relatif
sederhana. Di dalam demokrasi langsung pun seperti yang kita jumpai diantara suku-
suku bangsa Jerman dan Romawi Kuno, prinsip demokrasi yang terbatas. Sama sekali
tidak semua warga masyarakat mempunyai hak untuk turut serta dalam pembahasan
dan keputusan-keputusan dari majelis rakyat. Anak-anak kaum wanita, dan para
budak jika ada perbudakan tidak memiliki hak politik semacam itu. Pada saat perang,
prinsip demokrasi harus menyerah kepada prinsip yang benar-benar otokratis: setiap
orang tanpa syarat harus patuh pada pemimpin.4 Namun seiring perkembangan sejarah
politik, hal tersebut bergeser menuju paham demokrasi (kedaulatan rakyat).

B. Gagasan Teori Kedaulatan Rakyat


Konsep kedaulatan rakyat yang dikembangkan dapat dilihat dari beberapa penggagas
kedaulatan rakyat tersebut.
a. Hobbes menegaskan, bahwa tidak ada batasan bagi kekuasan membuat hukum
dari kedaulatan. Kedaulatan berada di atas segala-galanya. Artinya, konsepsi
Hobbes mengenai kedaulatan adalah rasional dan utilitarian. Kedaulatan murni
merupakan hasil dari kepentingan pribadi individu secara rasional.5
b. Teori kedaulatan rakyat yang dikemukakan oleh John Locke menganggap
bahwa rakyat memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Asas ini
sekaligus menjadi acuan menculnya negara demokrasi yang ada di dunia. John
Locke menolak bahwa kekuasaan tunggal hanya dimiliki oleh raja.
c. Montesquieu melihat kekuasaan harus dipisahkan menjadi tiga kekuasaan
yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta ketiganya harus
bertanggungjawab pada rakyat bukan pada raja. Kekuasaan bersama inilah
yang kemudian disebut sebagai kedaulatan rakyat.

4
Lihat Hans Kelesen, Teori Umum Hukum dan Negara (Dasar-dasar ilmu hukum normatif sebagai
ilmu hukum Deskriptif-Empirik) alih bahasa Somardi, (Jakarta: BEE Media, 2007), hlm. 351. Buku ini
terjemahan dari buku Kelsen dengan judul asli General Theory Of Law and State
5
W. Friedmann, Op. Cit., hal.77.
d. Jean Jacques Rousseau hidup pada abad ke-18. Menurut pendapat nya,
individu menyerahkan hak-haknya kepada negara untuk dilindungi.
Kemudian, negara harus melindungi dan mengembalikan hak-hak warga
negara. Oleh karena itu, penguasa dibentuk berdasarkan kehendak rakyat. Hal
ini melahirkan sebuah negara demokrasi (kedaulatan rakyat).

Ajaran kedaulatan rakyat meyakini bahwa sesungguhnya yang berdaulat


dalam sebuah negara adalah rakyat bukan penguasa. Oleh karena itu, dalam paham
kedaulatan rakyat muncul suatu slogan yang sangat terkenal yaitu “vox populi
suprema lex” yang berarti bahwa suara rakyat adalah hukum tertinggi. Rakyatlah
yang berdaulat dan mewakilkan atau menyerahkan kekuasaannya kepada negara.
Sehingga kehendak rakyat merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap
pemerintah.6

6
M. Iwan Satriawan dan Siti Khoiriah, Ilmu Negara, cetakan pertama, Rajawali Pers, Jakarta,
2016, hlm. 59.
DAFTAR PUSTAKA

Albertho, Pelangi Mangu. Negara Sebagai Penjamin Hak Asasi Manusia Perspektif John
Locke (Skripsi) (Kupang: Fakultas Filsafat UNWIRA. 2010):66-67.

Deliar, Noer. Pemikiran Politik Di Negara Barat,(Jakarta: CV Rajawali, 1982):114.

Hans Kelesen, Teori Umum Hukum dan Negara (Dasar-dasar ilmu hukum normatif sebagai
ilmu hukum Deskriptif-Empirik) alih bahasa Somardi, (Jakarta: BEE Media,
2007):351.

Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi ( Jakarta: Bumi Aksara, 2008): 30-31.

M. Iwan Satriawan dan Siti Khoiriah, Ilmu Negara, cetakan pertama, Rajawali Pers, Jakarta,
2016:59.

Anda mungkin juga menyukai