Anda di halaman 1dari 17

BAB I

KEDAULATAN NEGARA DAN TERTIB HUKUM

A. Kedaulatan Negara

1. Pengertian Kedaulatan Negara

Kedaulatan merupakan terjemahan dari kata sovereignty (Bahasa Inggris)


atau souverinete (Bahasa Perancis) atau sovranus (Bahasa Italia). Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, kedaulatan merupakan kata yang sulit diartikan karena
orang memberi arti yang berlainan. Menurut sejarah, asal kata kedaulatan, kata ini
dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah sovereignty yang berasal dari kata
latin superanus berarti yang teratas. Negara dikatakan berdaulat atau sovereign
karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki Negara. Negara berdaulat
yang dimaksud adalah bahwa Negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi.1

Tentang pengertian kedaulatan ini terdapat perbedaan pendapat. Mula-mula


kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan tertinggi yang bersifat mutlak, karena
tidak ada kekuasaan lain yang mengatasinya (superlative). Kemudian dengan
timbulnya hubungan antar bangsa dan negara, maka kedaulatan itu mulai terasa
terbatas lebih-lebih dengan adanya perjanjian-perjanjian internasional dimana
dengan keterikatan dalam perjanjian internasional tersebut berarti mengurangi
kedaulatan negara keluar. Sedangkan kedaulatan kedalam dengan dibatasi hukum
positifnya, sehingga arti kedaulatan ini menjadi relatif.2

a. Kedaulatan Eksternal (Kedaulatan Keluar/Independensi)

Kedaulatan eksternal adalah hak atau kewenangan eksklusif bagi setiap negara
untuk secara bebas menentukan hubungan internasional dengan berbagai
negara atau kelompok lain tanpa ada halangan, rintangan, dan tekanan dari
pihak manapun juga (a freedom in international relationship). Kedaulatan

1
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Bina Cipta, 2010, hlm. 7.
2
Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008, hlm. 122.

1
eksternal juga sering disebut dengan independensi negara, yang dicirikan oleh
adanya kedudukan yang sama (equal) bagi sebuah negara dalam interaksi
internasional dengan negara-negara lainnya.3

b. Kedaulatan Internal (Kedaulatan Kedalam/Supremacy)

Kedaulatan internal adalah hak atau kewenangan eksklusif suatu negara untuk
menentukan bentuk lembaga-lembaga negaranya, cara kerja lembaga negara,
hak untuk membentuk undang-undang dasar (konstitusi) tanpa ada campur
tangan atau intervensi negara lain, mendapatkan kepatuhan atau ketundukan
dari rakyatnya (obedience in social society), dan memiliki kewenangan sendiri
untuk memutus persoalan-persoalan yang timbul di dalam jurisdiksinya. Secara
singkat kedaulatan internal suatu Negara dapat dijamin apabila Negara tersebut
memiliki sumber-sumber hukum seperti: Constitution, Statutes, Regulation,
dan Customs. Constitution adalah dasar suatu negara, yang merupakan sesuatu
yang lebih luas yakni keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis
(written law) maupun yang tidak tertulis (unwritten law) yang mengatur secara
mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam
suatu masyarakat.4

2. Teori-Teori Kedaulatan

Berdasarkan pemikiran dari para tokoh filsuf menggambarkan dan


menguraikan beberapa teori penting yang patut dikemukakan, Lili Rasiji dan Liza
Sonia Rasiji dalam bukunya menyebutkannya, antara lain yaitu:

a. Teori Kedaulatan Tuhan (Teokrasi)


1) Teokrasi yang langsung
2) Teokrasi yang tidak langsung
b. Teori Perjanjian Masyarakat
1) Hugo de Groot (Grotius) (1583 – 1645)

3
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: PT.
Alumni, 1999, hlm. 20.
4
Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 36.

2
2) Thomas Hobbes (1588 - 1679)
3) John Locke (1631 – 1705)
4) J.J. Rousseau (1712 – 1778)
c. Teori Kedaulatan Negara
d. Teori Kedaulatan Hukum5
Sebagaimana yang dikemukan tersebut di atas adalah perkembangan teori
kedaulatan dari para tokoh filsuf ternama.

a. Teori Teokrasi (Teori Kedaulatan Tuhan)


Teori tentang hukum alam merupakan bagian dari filsafat hukum yang
bertujuan menemukan jawaban atas pertanyaan dari manakah asal hukum dan
mengapa manusia harus tunduk pada hukum. Pada masa lampau di Eropa, para
filosof menganggap dan mengajarkan bahwa hukum berasal dari Tuhan dan oleh
karena itu maka manusia diperintahkan Tuhan harus tunduk pada hukum.
Perintah-perintah yang datang dari Tuhan dituliskan dalam kitab suci. Tinjauan
mengenai hukum yang dikaitkan dengan kepercayaan, agama dan ajaran tentang
legitimasi kekuasaan hukum didasarkan atas kepercayaan dan agama. Teori-teori
yang mendasarkan hukum atas kehendak Tuhan dinamakan teori ke-Tuhanan.
Teori ini mengaggap bahwa hukum merupakan kemauan Tuhan. Berhubung
perundang-undangan ditetapkan oleh pemimpin negara, maka oleh penganjur teori
teokrasi bahwa pemimpin negara mendapat kuasa dari Tuhan seolah-olah mereka
adalah wakil Tuhan. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap kekuasaan pemimpin
negara merupakan pelanggaran terhadap Tuhan.6

Teori Teokrasi yang langsung berpegang kepada pendapat bahwa:


Segala hukum adalah hukum ketuhanan. Tuhan sendirilha yang menetapkan
hukum, dan pemerintahan-pemerintahan duniawi adalah pesuruh-pesuruh
kehendak Tuhan.7

5
Lili Rasiji & Liza Sonia Rasidji, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2016, hlm. 81-82.
6
Daliyo, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Gramedia, 1989, hlm. 122-123
7
Lili Rasiji & Liza Sonia Rasidji, Op. Cit., hlm. 82.

3
Sedangkan penafsiran teori Teokrasi yang tidak langsung menganggap raja-raja
bukan sebagai tuhan, melainkan sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam kaitan ini,
dengan sendirinya juga karena bertindak sebagai wakil Tuhan, senua hukum yang
dibuatnya wajib pula ditaati oleh segenap warganya. Pandangan ini walau
berkembang hingga jaman Renaissance, namun hingga saat ini masih juga ada
yang mendasarkan otoritas hukum pada faktor ketuhanan itu.8

b. Teori Perjanjian Masyarakat (Teori Kedaulatan Rakyat)


Pada zaman Renaissance, timbul teori yang mengajarkan bahwa dasar hukum
ialah akal atau rasio manusia. Menurut aliran rasionalisme ini, raja atau pemimpin
negara lainnya memperoleh kekuasaan bukan dari Tuhan melainkan dari
rakyatnya. Pada abad pertengahan diajarkan bahwa kekuasaan raja berasal dari
suatu perjanjian antara raja dan rakyatnya. Pada abad ke-18, Jean Jacques
Rousseau memperkenalkan teorinya bahwa dasar terjadinya suatu negara ialah
perjanjian masyarakat (contrac social) yang diadakan oleh dan antara anggota
masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Penganut teori kedaulatan rakyat
lainnya diantaranya ialah Montesquieu dan John Locke. 9

Teori Rousseau ini yang menjadi dasar dari teori kedaulatan rakyat
mengajarkan bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya
semua peraturan perundangan adalah penjelmaan dari kemauan rakyat tersebut.
Orang menaati hukum karena sudah berjanji menaati hukum. Pada buku
karangannya le contract social mengajarkan bahwa, dengan perjanjian
masyarakat, orang menyerahkan hak serta wewenangnya kepada rakyat
seluruhnya, sehingga suasana kehidupan alamiah berubah menjadi suasana
kehidupan bernegara, dan natural liberty berubah menjadi civil liberty.10

Aliran ini berpendapat bahwa hukum merupakan kemauan semua orang yang
telah mereka serahkan kepada suatu organisasi (negara) yang telah terlebih dahulu

8
Ibid., hlm. 82.
9
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 72-73.
10
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 204.

4
mereka bentuk dan diberi tugas membentuk hukum yang berlaku dalam suatu
masyarakat.11

c. Teori Kedaulatan Negara


Pada abad ke-19 teori perjanjian masyarakat ditentang oleh teori yang
menyatakan bahwa kekuasaan hukum tidak dapat didasarkan atas kemauan
bersama seluruh anggota masyarakat. Adapun pencetus teori ini adalah Han
Kelsen. Pada karyanya yang berjudul rene rechtslehre, ia menyatakan bahwa:

1) Hukum ialah kehendak negara (eille des staates). Hukum bukan kemauan
bersama dari anggota masyarakat dan negara tersebut mempunyai kekuatan
yang tak terbatas.
2) Hukum ditaati karena negaralah yang menghendakinya. Ditaatinya hukum oleh
masyarakat bukan kerena negara menghendaki melainkan karena merasa wajib
mentaati sebagai perintah negara.12

d. Teori Kedaulatan Hukum

Pada abad ke-20, teori kedaulatan negara ditentang oleh Cruot, Duguit, dan
Krabbe. Teori kedaulatan hukum timbul sebagai reaksi penyangkalan terhadap
teori kedaulatan negara yang menyatakan bahwa kedudukan hukum lebih rendah
dari pada kedudukan negara. Akan tetapi menurut teori kedaulatan hukum yang
memiliki kekuasaan tertinggi adalah hukum. Menurut Krabbe dalam bukunya Die
Lehre der Rechtssouvereinteit menyebutkan bahwa :
1) Rasa keadilan merupakan sumber hukum
2) Hukum hanya apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak
3) Hukum yang tidak sesuai dengan rasa keadilan orang terbanyak tidak dapat
mengikat
4) Hukum itu ada karena masyarakat mempunyai perasaan bagaimana hukum
seharusnya.13

11
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986,
hlm. 59.
12
Soeroso, Op.Cit, hlm. 75
13
Ibid., hlm. 76.

5
Hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya, melainkan karena
merupakan perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena
sikap batinnya, yaitu yang menjelma di dalam hukum itu. Pendapat ini diutarakan
oleh Prof. Mr. H. Krebbe dalam bukunya ”Die lehre der Rechtssouveranitat”
(1906). Selanjutnya beliau berpendapat bahwa kesadaran hukum yang dimaksud
berpangkal pada perasaan hukum setiap individu, yaitu perasaan bagaimana
seharusnya hukum itu.14

3. Teori Kedaulatan Negara

J.G Starke menyebut unsur terpenting dari suatu negara adalah kedaulatan.
Kedaulatan merupakan hasil terjemahan dari sovereignty (bahasa inggris),
sovereinete (bahasa prancis), sovranus (bahasa italia) yang mempunyai arti
kekuasaan tertinggi. Konsep kedaulatan sebagai konsep kekuasaan tertinggi
menitikberatkan kepada Kekuasaan berupa kedaulatan.15 Terdapat beberapa tokoh
filsuf yang mengemukakan teori kedaulatan hukum ini, diantaranya adalah:

a. Jean Bodin (1530-1596)

Istilah kedaulatan pertama kali dikemukakan oleh Jean Bodin. Jean Bodin
adalah seorang filsuf Perancis, ahli hukum, ilmuwan politik dan ekonom yang
lahir di Angers dan menuntut ilmu di Paris dan Toulouse. Jean Bodin
mendefinisikan bahwa:16
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap para warga negara dan rakyat
tanpa suatu pembatasan undang-undang. Raja tidak terikat oleh undang-
undang, Ia sebagai yang dipertuan adalah orang yang menetapkan undang-
undang. Raja mempunyai imperium, yakni hak berkuasa. Negara adalah sama
dengan raja, dengan kata lain rajalah yang berdaulat.

Jean Bodin menganggap kedaulatan sebagai atribut negara, sebagai ciri khusus
dari negara, menurutnya kedaulatan tersebut mengandung satu-satunya kekuasaan
sebagai:

14
Lili Rasiji & Liza Sonia Rasidji, Loc., Cit., hlm. 84.
15
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Negeri Asing,
Bandung: Alumni, 1999, hlm. 41-42.
16
Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Op. Cit., hlm. 122.

6
1) Asli, artinya tidak diturunkan dari sesuatu kekuasaan lain;
2) Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi
kekuasaannya;
3) Bersifat abadi atau kekal;
4) Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi saja;
5) Tidak dapat dipindahtangankan atau diserahkan kepada pihak lain.17

b. John Austin (1790 - 1859)

Pada waktu yang sama di Inggris muncul suatu positivism yuridis juga yang
secara radikal membatasi gejala yuridis pada tata hukum yang berlaku.
Positivisme ini dirinitis oleh John Austin, seseorang sarjana hukum yang berasal
dari Inggris yang diberi nama analytical jurisprundence (ajaran hukum analitis).
itu.18

Berdasarkan metodanya yang empiris belaka, John Austin sampai pada suatu
pengertian tentang negara. Negara dipandangnya sebagai kenyataan yang diterima
begitu saja oleh orang-orang dalam wilayah tertentu. Suatu persetujuan sosial
seperti diminta oleh Hobbes tidak diperlukan. Negara-negara timbul dan
dipertahankan oleh sebab kebanyakan bawahan mempunyai kebiasaan mentaati
pemerintah. Terdapat bermacam-macam alasan alasan, yaitu ada orang yang
mentaati oleh sebab mereka mempertimbangkan kepentingan umum, orang lain
mentaati oleh sebab mereka berpegang teguh pada prasangka bahwa pemerintah
selalu harus ditaati, dan menghindari ketakutan akan kekacauan.19

c. Paul Laband (1838 - 1918)

Dalam bukunya Dus Staatsrecht des Deutschen Reichs (negara hukum kerajaan
Jerman) Laband menyatakan bahwa tidak ada negara yang tidak berkekuasaaan
tinggi.

d. George Jellinek (1838 - 1918)

17
Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Binacipta, 1996, hlm. 89.
18
Lili Rasiji & Liza Sonia Rasidji, Loc., Cit., hlm. 173.
19
Ibid., hlm. 173.

7
Teori kedaulatan negara menurut George Jellinek, pada pokoknya bahwa
hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan
negara. Jadi juga negaralah yang menciptakan hukum, maka negara dianggap
satu-satunya sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi
atau kedaulatan. Di luar negara tidak ada satu organpun yang berwenang
menetapkan hukum. Maka dalam hal ini lalu berarti bahwa adat kebiasaan, yaitu
hukum yang tidak tertulis, yang bukan dikeluarkan atau dibuat oleh negara, tetapi
yang nyata-nyata berlaku di dalam masyarakat, tidak merupakan hukum. Dan
memang demikian juga kalau menurut Jean Bodin; sedangkan kalau menurut
Jellinek adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum, apabila itu sudah ditetapkan
oleh negara sebagai hukum.20

e. Hans Kelsen (1881 - 1973)

Hans Kelsen salah satu penganut mahzab neokantianisme dari Marburg yang
aktif dalam bidang hukum. Buku-bukunya yang terkenal diantaranya Algemeine
Staatsslehre, 1925 (ajaran umum tentang negara).21 Kelsen berpendapat hukum
sebagai Wille des states atau kehendak negara. Hukum adalah kaidah yang
memerintah orang secara tertib untuk bertindak seharusnya dan sepantasnya.
Kelsen berprinsip dalam penerapan bidang hukum, yaitu bila terjadi suatu
kelakuan atau perbuatan yang melawan hukum, maka seharusnya kelakuan ini
disusul hukuman, sekalipun pada kenyataannya tidak selalu begitu. Oleh sebab
sanksi yang dikenakan pada seseorang yang melanggar hukum tergantung dari
penentuan oleh instansi-instansi negara, maka norma hukum, yang disusun
masyarakat umum, pertama-tama harus dipandang sebagai imperative bagi
negara. Dari norma hukum sebagai imperative negara semua kewajiban individual
dapat diturunkan.22

Menurut Kelsen, hukum berlaku oleh sebab semua hukum berakar dalam suatu
norma dasar (Grundnorm). Berlakunya Undang-Undang harus dipandang dalam
20
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberti, 1986, hlm. 154-156.
21
DR. Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogjakarta: PT. Kanisius, 1982,
hlm. 156.
22
Ibid., hlm. 157.

8
kaitannya dengan seluruh proses pembentukan hukum oleh suatu instansi hukum
yang berwibawa. Undang-Undang berlaku oleh karena dibentuk oleh instansi
hukum yang kompeten, yang mampu menjatuhi hukuman bila dilanggar.

B. Tertib Hukum

1. Masalah Hukum dan Kekuasaan

Hubungan hukum dengan kekuasaan dapat dirumuskan secara singkat dalam


slogan sebagai berikut: Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan
tanpa hukum adalah kelaliman.23 Lili Rasiji dan Liza Sonia Rasiji mengemukakan
bahwa dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk
mendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di satu pihak
dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu diperlukan
oleh karena hukum bersifat memaksa. Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan
hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib dan
teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukan dukungan kekuasaan.
Masyarakat tipe terakhir ini dikatakan sebagai memiliki kesadaran hukum yang
tinggi di lingkungan anggota-anggotanya.24

Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan. Hukum merupakan salah
satu sumber dari kekuasaan, di samping sumber-sumber lainnya seperti kekuataan
(fisik dan ekonomi), kewibawaan (rohaniah, intelegensia dan moral). Selain itu,
hukum pun merupakan pembatas bagi kekuasaan, oleh karena kekuasaan itu
mempunyai mempunyai sifat buruk, yaitu selalu merangsang pemegangnya untuk
ingin memiliki kekuasaan yang melebihi yang dimilikinya. Contoh yang popular
misalnya sepak terjang para raja absolut dan diktator.25

23
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
Bandung: Bina Cipta, 2002, hlm. 5.
24
Lili Rasiji & Liza Sonia Rasidji, Loc., Cit., hlm. 75.
.
25
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976, hlm. 68.

9
Antara hukum dan kekuasaan terdapat hubungan yang erat. Peperzak
mengemukakan, adanya hubungna ini dapat diperlihatkan dengan 2 (dua) cara
sebagai berikut:26
Cara pertama dengan menelaahnya konsep sanksi. Adanya perilaku yang
tidak mematuhi aturan-aturan hukum menyebabkan diperlukan sanksi untuk
penegakkan aturan-aturan hukum tadi. Karena sanksi dalam kenyataannya
merupakan kekerasan, maka penggunaannya memerlukan legitimasi yuridis
(pembenaran hukum) yang dapat diberikan untuk membenarkan
digunakannya sanksi sebagai kekerasan yang sah. Cara Kedua dengan
menelaahnya dari konsep penegakkan konstitusi. Pembinaan sistem aturan-
aturan hukum dlam suatu negera yang mengatur adalah diatur oleh hukum itu
sendiri. Perihal ini biasanya tercantum dalam konstitusi dari negara yang
bersangkutan. Penegakkan konstitusi itu, termasuk penegakkan prosedur yang
benar dalam pembinaan hukum itu tadi mengasumsikan digunakannya
kekuatan.

Diperlukan kekuatan (force) sebagai pendukung serta pelindung bagi sistem


aturan-aturan hukum untuk kepentingan penegakkannya, berarti bahwa hukum
pada akhirnya harus didukung serta dilindungi oleh sesuatu unsur yang bukan
hukum, yaitu oleh kekuasaan itu tadi. Kekuatan (force) yang diperlukan ini, dalam
kenayataannya dapat berwujud sebagai:
a. Keyakinan moral dari masyarakat
b. Persetujuan (konsesus) dari seluruh rakyat
c. Kewibawaan dari seorang pemimpin yang kharismatik
d. Kekuatan semata-mata yang sewenang-wenang (kekerasan belaka)
e. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut di atas.27

2. Hukum Sebagai Alat Pembaharuan dalam Masyarakat

Roscoe Pound mengutarakan bahwa hukum adalah adalah sebagai alat


pembaruan dalam masyarakat dalam bukunya An Introduction to the Philosophy
of Law (1954). Dan dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja disesuaikan
dengan situasi dan kondisi negara Indonesia yaitu konsep Law as a tool of social
engineering yang merupakan inti dari aliran Pragmatic Legal Realism. Konsep

26
B.Arief Sidharta, Hukum dan Kekuasaan, Bandung: PT. Refika Aditama, 2013, 68.
27
Lili Rasiji & Liza Sonia Rasidji, Loc., Cit., hlm. 78.

10
tersebut adalah merupakan penyesuaian antara situasi kondisi Indonesia dengan
filsafat budaya Northrop dan Policyoriented dari Laswell dan Mc Dougal. Hukum
adalah sarana pembaruan dalam masyarakat Indonesia luas jangkauannya dan
ruang lingkupnya di Amerika Serikat tempat kelahirannya. Sehingga hukum yang
digunakan dalam pembaharuan berupa undang-undang atau yurisprudensi atau
kombinasi antar keduanya. Agar pelaksanaan perundang-undangan bertujuan
pembaruan sebagaimana mestinya hendaknya perundang-undangan dibentuk
sesuai dengan inti aliran Sociological Jurisprudence yaitu hukum sesuai dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) atau dapat dikatakan
pencerminan narma-norma dalam masyarakat, guna pembaruan serta mengubah
sikap mental masyarakat tradisional ke arah modern.

Sebagai contoh perundang-undangan yang berfungsi sebagai sarana


pembaharuan dalam arti mengubah sikap mental masyarakat tradisional ke arah
adalah seperti: keharusan pembuatan sertifikat tanah, hukum dagang, perdata
lainnya yang bukan hukum perdata keluargadan lain sebagainya.28

3. Hukum dan Nilai-Nilai Sosial Budaya

Perintis ahli antropologi hukum di abad ini yaitu seperti Sir. Henry Maine,
A.M. Post dan Yosef Kohler maupun Malinowski dan R.H. Lowie
mengemukakan bahwa hukum dan nilai-nilai sosial budaya mempunyai kaitan
erat. Dalam kaitan eratnya hukum dan sosial budaya masyarakat, maka hukum
yang baik adalah hukum yang tercipta atas pencerminan nilai-nilai yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat.29 Indonesia pada saat ini dalam massa
transisi atas terjadinya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat yang bersifat
tradisional menuju ke nilai-nilai dalam masyarakat yang modern, akan tetapi
masih banyak persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan
nilai-nilai baru manakah yang dapat digantikannya.30 Mochtar Kusumaatmadja

28
Ibid. hlm. 79-80.
29
Ibid. hlm. 80.
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977, hlm.
20.

11
mengemukakan beberapa hambatan utama pengunbahan identik dengan
kepribadian nasional, sikap intlektual, dan pimpinan masyarakat tidak
mempraktekkan nilai-nilai hetrogenitas bangsa Indonesia.31

4. Penyebab Orang Taat Hukum

Van Apeldorn mengemukakan filsafat hukum mencoba mencari dasar


kekuatan mengikat daripada hukum, yaitu apakha ditaatinya hukum itu
disebebkan oelh pejabat yang berwenang atau memang masyarakat mengakuinya
karena hukum tersebut dinilai sebagai suatu hukum yang hidup dalam masyarakat
itu. diktator.32

Dalam hubungan dengan pertanyaan yang pertama terdapat beberapa teori


penting: Berkenaan pernyataan diatas tersebut, maka terdapat teori penting yang
dapat ditelaah atas ketaatan masyarakat terhadap hukum, adalah sebgai berikut;
(a) Teori Kedaulatan Tuhan/Teokrasi (Allah), yang bersifat langsung (Tuhan) atau
tidak langsung (Penguasa adalah tangan Tuhan), (b) Teori Perjanjian Masyarakat,
sebagaimana diungkapkan oleh para pakar filsafat hukum; Hugo de Groot
(Grotius) (1583-1645) “Orang taat dan tunduk pada hukum oleh karena benjanji
untuk menaatinya”, Thomas Hobbes (1588-1679), “Hukum timbul karena
perjanjian pada waktu manusia dalam keadaan berperang guna terciptanya
suasana damai antar mereka dan disusul dengan perjanjiaan semuanya dengan
seseorang yang hendak diserai dengan kekuasaan yang bersifat absolute”, John
Locke (1631-1705), “Kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi”, JJ Rousseau
(1712-1778), “Kekuasaan yang dimiliki anggota masyarakat tetap berada pada
individu-individu dan tidak diserahkan pada orang tertentu secara mutlak atau
dengan persyaratan tertentu (pemerintahan demokrasi)” (c) Teori Kedaulatan
Negara, Hans Kelsen menyebutkan bahawa “orang tunduk pada hukum karena
wajib mentaatinya karena hukum adalah kehendak negara” (d) Teori Kedaulatan
Hukum, hukum mengikat bukan kearena negara mengendakinya, melainkan

31
Lili Rasiji & Liza Sonia Rasidji, Op. Cit.. hlm. 81.
32
Van Apeldoorn, Loc., Cit., hlm. 443.

12
karena perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai
batinya yaitu yang menjelma di dalam hukum itu (Prof. Mr. H. Krabbe).

5. Tertib Hukum

Gagasan Kelsen mengemukakan gagasannya terhadap Stufenbautheorie pada


hakikatnya merupakan usaha untuk membuat kerangka suatu bangunan hukum
yang dapat dipakai di manapun,33 dalam perkembangan selanjutnya diuraikan
Hans Nawiasky dengan theorie von stufenfbau der rechtsordnung yang
menggariskan bahwa selain susunan norma dalam negara adalah berlapis-lapis
dan berjenjang dari yang tertinggi sampai terendah, juga terjadi pengelompokkan
norma hukum dalam negara, manapun,34 yakni mencakup norma fundamental
negara (staatsfundementalnorm), aturan dasar negara (staatsgrundgesetz), undang-
undang formal (formalle gesetz), dan Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom
(verordnung en outonome satzung).35

Tatanan hukum tertinggi dalam pandangan Kelsen adalah berpuncak pada


basic norm atau grundnorm (norma dasar), yaitu berupa konstitusi, tetapi
konstitusi dimaksud adalah dalam pengertian materiel, bukan konstitusi formil.
Menurut Nawiasky, yang dimaksud dengan basic norm dalam gagasan Kelsen
tidak lain adalah harus diartikan sebagai staatsfundementalnorm, bukan
staatgrundnorm. Namun demikian, gagasan Stufenbautheorie Kelsen bukanlah
teori pertama yang menunjukkan adanya tata susunan hukum. Gagasan dimaksud
adalah pemikiran Adolf Merkl yang menyebutkan tentang adanya tahapan hukum
(die lehre vom stufenbau der der Rechtsordnung).36 Menurut Merkl, hukum
adalah37
Suatu sistem tata aturan hirarkis, suatu sistem norma yang mengkondisikan
33
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di
Indonesia 1945-1990, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm. 69.
34
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-dasar dan Pembentukannya,
Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 27.
35
Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Konpress,
2006, hal. 170.
36
Ibid., hlm. 171
37
Muhtadi, “Penerapan Teori Hans Kelsen dalam Tertib Hukum Indonesia”, Fiat Justisia Jurnal
Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 3, Desember 2012, hlm. 294.

13
dan dikondisikan oleh hukum. Norma yang mengkondisikan berisi kondisi
untuk pembuatan norma lain atau tindakan. Pembuatan hirarkis ini
termanifestasi dalam bentuk regresi dari sistem tata hukum yang lebih tinggi
ke sistem tata hukum yang lebih rendah. Proses ini selalu merupakan proses
konkretisasi dan individualisasi.

Merkl selanjutnya mengungkapkan bahwa suatu norma hukum itu selalu


mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz), yaitu pada saat bersamaan
suatu norma hukum bersumber dan berdasar pada norma hukum di atasnya, juga
menjadi dasar dan sumber hukum bagi tatanan hukum yang lebih rendah,
karenanya, keberlakuan hukum menjadi tidak absolut (dauerhaftig), melainkan
tergantung pada validasi norma atasannya.38 Personifikasi dimaksud adalah bahwa
keberlakuan suatu norma hukum akan berakhir atau norma hukum menjadi tidak
berlaku apabila norma hukum yang menjadi sumber atau dasar keberlakuan
norma hukum tersebut dihapus ataupun diganti dengan norma hukum baru.
Lapisan tertinggi yang menjadi sumber dan dasar dalam sistem hirarki norma
hukum baik pandangan Kelsen ataupun Nawiasky berakhir pada norma yang
tidak dibentuk oleh norma hukum yang lebih tinggi lagi, tetapi bersumber pada
cita hukum yang bersifat pre-supposed, yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
masyarakat dalam suatu negara, untuk kemudian menjadikannya sebagai tempat
bergantungnya setiap norma hukum yang akan dibentuk. atasannya. 39

Grundnorm sebagaimana dengan apa yang dibuat dan disebut oleh


masyarakat tersebut dapat berupa pernyataan tertulis ataupun tidak tertulis, yang
berfungsi serupa bensin menggerakan seluruh mekanisme mesin, yang menjadi
dasar kepatuhan masyarakat kepada hukum, dan memberikan
pertanggungjawaban, mengapa hukum harus dilaksanakan.40 Gagasan hirarki
norma antara apa yang disampaikan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky
memiliki kesamaan pokok yaitu, terletak pada lapisan-lapisan dan jenjang
bertingkat yang menjadi sumber dan landasan serta terdapat dalam setiap norma
hukum. Disamping itu terdapat perbedaan antara keduanya yang terletak pada
38
Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc. Cit., hlm. 26.
39
Ibid.., hlm. 28.
40
Mhd. Shiddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya
Paramita, 2003, hal. 8-9.

14
pola pemilahan dan pengelompokkan norma hukum yang secara tegas dilakukan
Nawiasky, tetapi Kelsen sebaliknya, lebih mengkaji dalam karaktek norma secara
umum (general) yang berlaku pada semua jenjang.41

Cara pandang Kelsen ataupun Nawiasky dengan menyebutkan norma


hukum sebagai tatanan yang dibuat negara merupakan ciri khas aliran positivisme
hukum, yang menegaskan tidak ada hukum diluar otoritas negara, karenanya
menjadikan hirarki norma secara tersusun, berjenjang dan berlapis sesuai dengan
kebutuhan merupakan politik hukum dalam penataan peraturan perundang-
undangan yang dipilih negara. Namun demikian, berbeda dengan positivisme
HLA Hart yang mengharuskan tatanan hukum tidak boleh bersumber dari yang
abstrak,42 Kelsen menyebutkan meskipun norma tidak lahir secara alamiah, tetapi
ia merupakan kemauan dan akal manusia yang melahirkan pernyataan yang
berfungsi sebagai asumsi dasar, karenanya ia merupakan hipotetis, berada pada
kawasan dunia sollen.43

Sumber atau dasar hukum dimaksud dalam pandangan Kelsen adalah tidak
sekedar mencakup norma hukum yang menjadi sumber keberlakuan bagi norma
hukum yang lebih rendah, konstitusi menjadi sumber bagi undang-undang, dan
undang-undang menjadi dasar bagi putusan pengadilan yang bersifat individual
dan membebani kewajiban bagi pihak yang disebutkan dalam amar vonnis
tersebut, tetapi juga menyebutkan bahwa pemikiran yang mempengaruhi
pembentukan hukum dapat disebut sebagai sumber hukum, meskipun tidak
mempunyai daya ikat sebagaimana kuatnya yang dimiliki oleh pengertian sumber
hukum yang pertama.44

Tingkatan tertinggi dalam tata susunan peraturan perundang-undangan


Indonesia dalam pendekatan Kelsen adalah bermuara kepada Pembukaan UUD
Tahun 1945 yang menjadi sumber keberlakuan bagi UUD Tahun 1945 itu sendiri

41
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit., hlm. 29.
42
Khudzaifah Dimyati, Loc., Cit.,, hlm. 75.
43
Ibid., hlm. 76-77.
44
Hans Kelsen, General Theory of Law and State (diterjemahkan oleh: Andres Wedberg), New
York: Russel & Russel, 1973.

15
dan peraturan perundang-undangan yang berada pada level di bawahnya.
Sedangkan dalam pandangan keberlakuan norma hukum, eksistensi Pembukaan
dan UUD Tahun 1945 hanya memungkinkan menjadi sebagai sumber hukum
dengan keberhasilan revolusi Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945,
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang bertekad kembali dan tetap mempertahankan
UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta sebagai hukum dasar, serta
terjadinya peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto melalui
Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) 1966. (KNIP).45

Pasca kemerdekaan 1945, pemikiran Kelsen yang menyebutkan adanya


pemilahan norma hukum umum (general norm) dan norma hukum khusus
(individual norm) diimplementasikan dengan beragam penyebutan nomenklatur
peraturan perundang-undangan yang tetap bermuara pada hukum dasar
(Grundnorm-basic norm) atau menurut Hans Nawiasky disebut sebagai
Staatsfundamentalnorm. Penyebutan tidak hanya menggunakan istilah yang
disebutkan dalam UUD 1945, tetapi prakteknya ditemukan beragam nama yang
sama sekali tidak atau belum dikenal dalam sistem norma hukum, antara lain
beredar nota-nota dinas, maklumat, surat-surat edaran dan lain sebagainya
diperlakukan sebagai peraturan yang seakan mengikat secara hukum. Misalnya
Maklumat Wakil Presiden No.x tertanggal 16 Oktober 1945 yang membatasi
tugas dan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) .46

Praktek penyelenggaraan peraturan perundang-undangan Indonesia setelah


kemerdekaan dengan berbagai nomenklatur tersebut menurut Jimly, yang
terbanyak adalah dalam bentuk Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden
Kadang-kadang banyak materi yang seharusnya diatur dalam UU, justru diatur
dengan Penetapan Presiden ataupun Peraturan Presiden, yang isinya
mencampuradukan antara keputusan adminisitratif dengan pengaturan.47

45
Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Loc. Cit., hlm. 181.
46
Muhtadi, Op. Cit., hlm. 296.
47
Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Op. Cit. hlm. 182.

16
BAB II
PENUTUP

17

Anda mungkin juga menyukai