A. Kedaulatan Negara
Kedaulatan eksternal adalah hak atau kewenangan eksklusif bagi setiap negara
untuk secara bebas menentukan hubungan internasional dengan berbagai
negara atau kelompok lain tanpa ada halangan, rintangan, dan tekanan dari
pihak manapun juga (a freedom in international relationship). Kedaulatan
1
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Bina Cipta, 2010, hlm. 7.
2
Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008, hlm. 122.
1
eksternal juga sering disebut dengan independensi negara, yang dicirikan oleh
adanya kedudukan yang sama (equal) bagi sebuah negara dalam interaksi
internasional dengan negara-negara lainnya.3
Kedaulatan internal adalah hak atau kewenangan eksklusif suatu negara untuk
menentukan bentuk lembaga-lembaga negaranya, cara kerja lembaga negara,
hak untuk membentuk undang-undang dasar (konstitusi) tanpa ada campur
tangan atau intervensi negara lain, mendapatkan kepatuhan atau ketundukan
dari rakyatnya (obedience in social society), dan memiliki kewenangan sendiri
untuk memutus persoalan-persoalan yang timbul di dalam jurisdiksinya. Secara
singkat kedaulatan internal suatu Negara dapat dijamin apabila Negara tersebut
memiliki sumber-sumber hukum seperti: Constitution, Statutes, Regulation,
dan Customs. Constitution adalah dasar suatu negara, yang merupakan sesuatu
yang lebih luas yakni keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis
(written law) maupun yang tidak tertulis (unwritten law) yang mengatur secara
mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam
suatu masyarakat.4
2. Teori-Teori Kedaulatan
3
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: PT.
Alumni, 1999, hlm. 20.
4
Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 36.
2
2) Thomas Hobbes (1588 - 1679)
3) John Locke (1631 – 1705)
4) J.J. Rousseau (1712 – 1778)
c. Teori Kedaulatan Negara
d. Teori Kedaulatan Hukum5
Sebagaimana yang dikemukan tersebut di atas adalah perkembangan teori
kedaulatan dari para tokoh filsuf ternama.
5
Lili Rasiji & Liza Sonia Rasidji, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2016, hlm. 81-82.
6
Daliyo, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Gramedia, 1989, hlm. 122-123
7
Lili Rasiji & Liza Sonia Rasidji, Op. Cit., hlm. 82.
3
Sedangkan penafsiran teori Teokrasi yang tidak langsung menganggap raja-raja
bukan sebagai tuhan, melainkan sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam kaitan ini,
dengan sendirinya juga karena bertindak sebagai wakil Tuhan, senua hukum yang
dibuatnya wajib pula ditaati oleh segenap warganya. Pandangan ini walau
berkembang hingga jaman Renaissance, namun hingga saat ini masih juga ada
yang mendasarkan otoritas hukum pada faktor ketuhanan itu.8
Teori Rousseau ini yang menjadi dasar dari teori kedaulatan rakyat
mengajarkan bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya
semua peraturan perundangan adalah penjelmaan dari kemauan rakyat tersebut.
Orang menaati hukum karena sudah berjanji menaati hukum. Pada buku
karangannya le contract social mengajarkan bahwa, dengan perjanjian
masyarakat, orang menyerahkan hak serta wewenangnya kepada rakyat
seluruhnya, sehingga suasana kehidupan alamiah berubah menjadi suasana
kehidupan bernegara, dan natural liberty berubah menjadi civil liberty.10
Aliran ini berpendapat bahwa hukum merupakan kemauan semua orang yang
telah mereka serahkan kepada suatu organisasi (negara) yang telah terlebih dahulu
8
Ibid., hlm. 82.
9
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 72-73.
10
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 204.
4
mereka bentuk dan diberi tugas membentuk hukum yang berlaku dalam suatu
masyarakat.11
1) Hukum ialah kehendak negara (eille des staates). Hukum bukan kemauan
bersama dari anggota masyarakat dan negara tersebut mempunyai kekuatan
yang tak terbatas.
2) Hukum ditaati karena negaralah yang menghendakinya. Ditaatinya hukum oleh
masyarakat bukan kerena negara menghendaki melainkan karena merasa wajib
mentaati sebagai perintah negara.12
Pada abad ke-20, teori kedaulatan negara ditentang oleh Cruot, Duguit, dan
Krabbe. Teori kedaulatan hukum timbul sebagai reaksi penyangkalan terhadap
teori kedaulatan negara yang menyatakan bahwa kedudukan hukum lebih rendah
dari pada kedudukan negara. Akan tetapi menurut teori kedaulatan hukum yang
memiliki kekuasaan tertinggi adalah hukum. Menurut Krabbe dalam bukunya Die
Lehre der Rechtssouvereinteit menyebutkan bahwa :
1) Rasa keadilan merupakan sumber hukum
2) Hukum hanya apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak
3) Hukum yang tidak sesuai dengan rasa keadilan orang terbanyak tidak dapat
mengikat
4) Hukum itu ada karena masyarakat mempunyai perasaan bagaimana hukum
seharusnya.13
11
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986,
hlm. 59.
12
Soeroso, Op.Cit, hlm. 75
13
Ibid., hlm. 76.
5
Hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya, melainkan karena
merupakan perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena
sikap batinnya, yaitu yang menjelma di dalam hukum itu. Pendapat ini diutarakan
oleh Prof. Mr. H. Krebbe dalam bukunya ”Die lehre der Rechtssouveranitat”
(1906). Selanjutnya beliau berpendapat bahwa kesadaran hukum yang dimaksud
berpangkal pada perasaan hukum setiap individu, yaitu perasaan bagaimana
seharusnya hukum itu.14
J.G Starke menyebut unsur terpenting dari suatu negara adalah kedaulatan.
Kedaulatan merupakan hasil terjemahan dari sovereignty (bahasa inggris),
sovereinete (bahasa prancis), sovranus (bahasa italia) yang mempunyai arti
kekuasaan tertinggi. Konsep kedaulatan sebagai konsep kekuasaan tertinggi
menitikberatkan kepada Kekuasaan berupa kedaulatan.15 Terdapat beberapa tokoh
filsuf yang mengemukakan teori kedaulatan hukum ini, diantaranya adalah:
Istilah kedaulatan pertama kali dikemukakan oleh Jean Bodin. Jean Bodin
adalah seorang filsuf Perancis, ahli hukum, ilmuwan politik dan ekonom yang
lahir di Angers dan menuntut ilmu di Paris dan Toulouse. Jean Bodin
mendefinisikan bahwa:16
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap para warga negara dan rakyat
tanpa suatu pembatasan undang-undang. Raja tidak terikat oleh undang-
undang, Ia sebagai yang dipertuan adalah orang yang menetapkan undang-
undang. Raja mempunyai imperium, yakni hak berkuasa. Negara adalah sama
dengan raja, dengan kata lain rajalah yang berdaulat.
Jean Bodin menganggap kedaulatan sebagai atribut negara, sebagai ciri khusus
dari negara, menurutnya kedaulatan tersebut mengandung satu-satunya kekuasaan
sebagai:
14
Lili Rasiji & Liza Sonia Rasidji, Loc., Cit., hlm. 84.
15
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Negeri Asing,
Bandung: Alumni, 1999, hlm. 41-42.
16
Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Op. Cit., hlm. 122.
6
1) Asli, artinya tidak diturunkan dari sesuatu kekuasaan lain;
2) Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi
kekuasaannya;
3) Bersifat abadi atau kekal;
4) Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi saja;
5) Tidak dapat dipindahtangankan atau diserahkan kepada pihak lain.17
Pada waktu yang sama di Inggris muncul suatu positivism yuridis juga yang
secara radikal membatasi gejala yuridis pada tata hukum yang berlaku.
Positivisme ini dirinitis oleh John Austin, seseorang sarjana hukum yang berasal
dari Inggris yang diberi nama analytical jurisprundence (ajaran hukum analitis).
itu.18
Berdasarkan metodanya yang empiris belaka, John Austin sampai pada suatu
pengertian tentang negara. Negara dipandangnya sebagai kenyataan yang diterima
begitu saja oleh orang-orang dalam wilayah tertentu. Suatu persetujuan sosial
seperti diminta oleh Hobbes tidak diperlukan. Negara-negara timbul dan
dipertahankan oleh sebab kebanyakan bawahan mempunyai kebiasaan mentaati
pemerintah. Terdapat bermacam-macam alasan alasan, yaitu ada orang yang
mentaati oleh sebab mereka mempertimbangkan kepentingan umum, orang lain
mentaati oleh sebab mereka berpegang teguh pada prasangka bahwa pemerintah
selalu harus ditaati, dan menghindari ketakutan akan kekacauan.19
Dalam bukunya Dus Staatsrecht des Deutschen Reichs (negara hukum kerajaan
Jerman) Laband menyatakan bahwa tidak ada negara yang tidak berkekuasaaan
tinggi.
17
Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Binacipta, 1996, hlm. 89.
18
Lili Rasiji & Liza Sonia Rasidji, Loc., Cit., hlm. 173.
19
Ibid., hlm. 173.
7
Teori kedaulatan negara menurut George Jellinek, pada pokoknya bahwa
hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan
negara. Jadi juga negaralah yang menciptakan hukum, maka negara dianggap
satu-satunya sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi
atau kedaulatan. Di luar negara tidak ada satu organpun yang berwenang
menetapkan hukum. Maka dalam hal ini lalu berarti bahwa adat kebiasaan, yaitu
hukum yang tidak tertulis, yang bukan dikeluarkan atau dibuat oleh negara, tetapi
yang nyata-nyata berlaku di dalam masyarakat, tidak merupakan hukum. Dan
memang demikian juga kalau menurut Jean Bodin; sedangkan kalau menurut
Jellinek adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum, apabila itu sudah ditetapkan
oleh negara sebagai hukum.20
Hans Kelsen salah satu penganut mahzab neokantianisme dari Marburg yang
aktif dalam bidang hukum. Buku-bukunya yang terkenal diantaranya Algemeine
Staatsslehre, 1925 (ajaran umum tentang negara).21 Kelsen berpendapat hukum
sebagai Wille des states atau kehendak negara. Hukum adalah kaidah yang
memerintah orang secara tertib untuk bertindak seharusnya dan sepantasnya.
Kelsen berprinsip dalam penerapan bidang hukum, yaitu bila terjadi suatu
kelakuan atau perbuatan yang melawan hukum, maka seharusnya kelakuan ini
disusul hukuman, sekalipun pada kenyataannya tidak selalu begitu. Oleh sebab
sanksi yang dikenakan pada seseorang yang melanggar hukum tergantung dari
penentuan oleh instansi-instansi negara, maka norma hukum, yang disusun
masyarakat umum, pertama-tama harus dipandang sebagai imperative bagi
negara. Dari norma hukum sebagai imperative negara semua kewajiban individual
dapat diturunkan.22
Menurut Kelsen, hukum berlaku oleh sebab semua hukum berakar dalam suatu
norma dasar (Grundnorm). Berlakunya Undang-Undang harus dipandang dalam
20
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberti, 1986, hlm. 154-156.
21
DR. Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogjakarta: PT. Kanisius, 1982,
hlm. 156.
22
Ibid., hlm. 157.
8
kaitannya dengan seluruh proses pembentukan hukum oleh suatu instansi hukum
yang berwibawa. Undang-Undang berlaku oleh karena dibentuk oleh instansi
hukum yang kompeten, yang mampu menjatuhi hukuman bila dilanggar.
B. Tertib Hukum
Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan. Hukum merupakan salah
satu sumber dari kekuasaan, di samping sumber-sumber lainnya seperti kekuataan
(fisik dan ekonomi), kewibawaan (rohaniah, intelegensia dan moral). Selain itu,
hukum pun merupakan pembatas bagi kekuasaan, oleh karena kekuasaan itu
mempunyai mempunyai sifat buruk, yaitu selalu merangsang pemegangnya untuk
ingin memiliki kekuasaan yang melebihi yang dimilikinya. Contoh yang popular
misalnya sepak terjang para raja absolut dan diktator.25
23
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
Bandung: Bina Cipta, 2002, hlm. 5.
24
Lili Rasiji & Liza Sonia Rasidji, Loc., Cit., hlm. 75.
.
25
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976, hlm. 68.
9
Antara hukum dan kekuasaan terdapat hubungan yang erat. Peperzak
mengemukakan, adanya hubungna ini dapat diperlihatkan dengan 2 (dua) cara
sebagai berikut:26
Cara pertama dengan menelaahnya konsep sanksi. Adanya perilaku yang
tidak mematuhi aturan-aturan hukum menyebabkan diperlukan sanksi untuk
penegakkan aturan-aturan hukum tadi. Karena sanksi dalam kenyataannya
merupakan kekerasan, maka penggunaannya memerlukan legitimasi yuridis
(pembenaran hukum) yang dapat diberikan untuk membenarkan
digunakannya sanksi sebagai kekerasan yang sah. Cara Kedua dengan
menelaahnya dari konsep penegakkan konstitusi. Pembinaan sistem aturan-
aturan hukum dlam suatu negera yang mengatur adalah diatur oleh hukum itu
sendiri. Perihal ini biasanya tercantum dalam konstitusi dari negara yang
bersangkutan. Penegakkan konstitusi itu, termasuk penegakkan prosedur yang
benar dalam pembinaan hukum itu tadi mengasumsikan digunakannya
kekuatan.
26
B.Arief Sidharta, Hukum dan Kekuasaan, Bandung: PT. Refika Aditama, 2013, 68.
27
Lili Rasiji & Liza Sonia Rasidji, Loc., Cit., hlm. 78.
10
tersebut adalah merupakan penyesuaian antara situasi kondisi Indonesia dengan
filsafat budaya Northrop dan Policyoriented dari Laswell dan Mc Dougal. Hukum
adalah sarana pembaruan dalam masyarakat Indonesia luas jangkauannya dan
ruang lingkupnya di Amerika Serikat tempat kelahirannya. Sehingga hukum yang
digunakan dalam pembaharuan berupa undang-undang atau yurisprudensi atau
kombinasi antar keduanya. Agar pelaksanaan perundang-undangan bertujuan
pembaruan sebagaimana mestinya hendaknya perundang-undangan dibentuk
sesuai dengan inti aliran Sociological Jurisprudence yaitu hukum sesuai dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) atau dapat dikatakan
pencerminan narma-norma dalam masyarakat, guna pembaruan serta mengubah
sikap mental masyarakat tradisional ke arah modern.
Perintis ahli antropologi hukum di abad ini yaitu seperti Sir. Henry Maine,
A.M. Post dan Yosef Kohler maupun Malinowski dan R.H. Lowie
mengemukakan bahwa hukum dan nilai-nilai sosial budaya mempunyai kaitan
erat. Dalam kaitan eratnya hukum dan sosial budaya masyarakat, maka hukum
yang baik adalah hukum yang tercipta atas pencerminan nilai-nilai yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat.29 Indonesia pada saat ini dalam massa
transisi atas terjadinya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat yang bersifat
tradisional menuju ke nilai-nilai dalam masyarakat yang modern, akan tetapi
masih banyak persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan
nilai-nilai baru manakah yang dapat digantikannya.30 Mochtar Kusumaatmadja
28
Ibid. hlm. 79-80.
29
Ibid. hlm. 80.
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977, hlm.
20.
11
mengemukakan beberapa hambatan utama pengunbahan identik dengan
kepribadian nasional, sikap intlektual, dan pimpinan masyarakat tidak
mempraktekkan nilai-nilai hetrogenitas bangsa Indonesia.31
31
Lili Rasiji & Liza Sonia Rasidji, Op. Cit.. hlm. 81.
32
Van Apeldoorn, Loc., Cit., hlm. 443.
12
karena perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai
batinya yaitu yang menjelma di dalam hukum itu (Prof. Mr. H. Krabbe).
5. Tertib Hukum
13
dan dikondisikan oleh hukum. Norma yang mengkondisikan berisi kondisi
untuk pembuatan norma lain atau tindakan. Pembuatan hirarkis ini
termanifestasi dalam bentuk regresi dari sistem tata hukum yang lebih tinggi
ke sistem tata hukum yang lebih rendah. Proses ini selalu merupakan proses
konkretisasi dan individualisasi.
14
pola pemilahan dan pengelompokkan norma hukum yang secara tegas dilakukan
Nawiasky, tetapi Kelsen sebaliknya, lebih mengkaji dalam karaktek norma secara
umum (general) yang berlaku pada semua jenjang.41
Sumber atau dasar hukum dimaksud dalam pandangan Kelsen adalah tidak
sekedar mencakup norma hukum yang menjadi sumber keberlakuan bagi norma
hukum yang lebih rendah, konstitusi menjadi sumber bagi undang-undang, dan
undang-undang menjadi dasar bagi putusan pengadilan yang bersifat individual
dan membebani kewajiban bagi pihak yang disebutkan dalam amar vonnis
tersebut, tetapi juga menyebutkan bahwa pemikiran yang mempengaruhi
pembentukan hukum dapat disebut sebagai sumber hukum, meskipun tidak
mempunyai daya ikat sebagaimana kuatnya yang dimiliki oleh pengertian sumber
hukum yang pertama.44
41
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit., hlm. 29.
42
Khudzaifah Dimyati, Loc., Cit.,, hlm. 75.
43
Ibid., hlm. 76-77.
44
Hans Kelsen, General Theory of Law and State (diterjemahkan oleh: Andres Wedberg), New
York: Russel & Russel, 1973.
15
dan peraturan perundang-undangan yang berada pada level di bawahnya.
Sedangkan dalam pandangan keberlakuan norma hukum, eksistensi Pembukaan
dan UUD Tahun 1945 hanya memungkinkan menjadi sebagai sumber hukum
dengan keberhasilan revolusi Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945,
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang bertekad kembali dan tetap mempertahankan
UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta sebagai hukum dasar, serta
terjadinya peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto melalui
Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) 1966. (KNIP).45
45
Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Loc. Cit., hlm. 181.
46
Muhtadi, Op. Cit., hlm. 296.
47
Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Op. Cit. hlm. 182.
16
BAB II
PENUTUP
17