MI
• “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkan
dung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan di
pergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”
• Itulah petikan Pasal 33 ayat 3 UUD NRI Tahun
1945 tentang perekonomian Nasional dan kes
ejahteraan sosial. Pasal itu menjadi visi pengus
ahaan migas di Indonesia.
JENIS-JENIS KONTRAK MINYAK DAN GAS BU
MI
1. SISTEM KONSESI
2. PSC (PRODUCTION SHARING CONTRACT)
3. KONTRAK JASA (SERVICE CONTRACT)
SISTEM KONSESI
Subekti (1971): konsesi sebagai suatu izin dari pemerintah untuk membuka tanah dan
menjalankan suatu usaha di atasnya. Berdasarkan Pasal 4 (2) Pokok-pokok Agraria, hak
konsesi dapat dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan (HGB).
Prajudi Atmosudirjo (1981): Konsesi sebagai suatu penetapan administrasi negara yang
secara yuridis sangat kompleks karena merupakan seperangkat dispensasi, izin,
kepemilikan hak pengusahaan dan pengelolaan bahan galian di dalamnya serta
kecilnya ruang yang diberikan kepada negara untuk mengontrol kegiatan mereka.
Beberapa contoh negara yang menerapkan sistem konsesni di dalam pengusahaan dan
pengelolaan kekayaan negara mereka, spt Australia, Kanada, Brasil, Cile, Meksiko,
Amerika Serikat dan Rusia.
Perbandingan negara-negara yang menggunakan sistem konsesi, PSC dan risk service
dalam pengusahaan sektor migas, menunjukan bahwa sebagian besar negara
menggunakan sistem konsesi, disusul PSC. Hanya sedikit negara yang menggunakan
sistem risk service yaitu terutama negara-negara amerika latin.
SISTEM KONSESI
Sistem konsesi banyak dipilih oleh negara-negara maju, antara lain Australia, Kanada,
Amerika Serikat, Inggris, Norwegia, Angola, Brazil, Rusia. Konsesi sesuai terminologinya,
pemerintah melimpahkan kepada investor hak untuk mengeksplorasi,
memproduksikan dan menjual minyak dan mengelola operasi. Sebagai imbalannya,
pemerintah menerima royalty dan pajak pendapatan. Pemerintah tidak berpartisipasi
atau mengontrol proyek, sehingga kontraktor menyukai model ini. Sistem konsesi juga
memiliki kontrak lebih sedikit dan kurang fleksibel dibandingkan bentuk-bentuk
lainnya. Kebanyakan hak dan kewajiban investor dinyatakan dalam legislasi umum.
SISTEM PSC
Negara-negara yang menggunakan sistem PSC lebih banyak didominasi oleh negara
berkembang seperti Indonesia, Aljazair, China, Kongo, Khazaktan, Malaysia, Peru dan
Qatar. Pada kontrak bagi hasil, hasil yang didapat dibagi antara pemerintah dan
kontraktor, di samping terdapat beberapa macam bentuk government take lainnya.
Bentuk ini paling fleksibel karena kebanyakan hak dan kewajiban dinyatakan dalam
peraturan kontrak yang dinegosiasikan.
Dalam PSC, suatu Negara menjalin kerjasama dengan perusahaan migas internasional
(istilah lainnya International Oil Company atau IOC) agar IOC mampu mencukupi
kebutuhan finansial dan skill yang dibutuhkan untuk eksplorasi migas. Biasanya Negara
diwakilkan salah satu badan dalam pemerintahannya yang akan mengatur hasil
produksi migas. Di Indonesia maka kerjasama ini diwakilkan oleh Pertamina atau BP
Migas (ketika masih ada). Suatu perusahaan migas internasional memiliki hak untuk
mengelola (eksplorasi atau produksi) dari area yang telah ditentukan atau istilahnya
kontrak area dan tentu saja menanggung resiko dari operasional produksi di area
tersebut, seperti kebutuhan dana atau bencana yang mungkin terjadi. Pada penemuan
cadangan yang komersial, maka IOC akan mendapatkan bagian sebagai bayaran atas
pekerjaanya dan tambahan mendapat biaya yang setimpal hasil produksinya. Tetapi jika
tidak penemuan cadangan baru maka IOC juga tidak mendapatkan apa-apa.
SISTEM PSC
Di Indonesia, PSC telah mulai digunakan pada 1966. Saat itu terjadi penandatanganan
antara Pemerintah dan IIAPCO (Independence Indonesian American Oil Company).
Meskipun begitu, UU yang mengatur dasar hukum PSC baru muncul pada 1971, yaitu
pada UU 8/1971 tentang Pertamina pasal 12, ayat 1: “Perusahaan, dalam hal ini
Pertamina dapat mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak
Production Sharing.” Ayat 2: “syarat-syarat kerjasama sebagaimana termaktub dalam
ayat 1 pasal ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)”. Setelah 23 tahun,
barulah muncul PP yang dimaksud, yaitu pada PP No. 35 tentang, “Syarat-syarat dan
Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi” yang terbit pada 1994.
SISTEM PSC
PSC di Indonesia telah melalui lima “generasi”, perubahan besarnya pada pembagian
hasil produksi. Generasi pertama adalah saat PSC baru muncul yaitu 1966. Generasi
kedua muncul pada 1976 dengan dihapusnya biaya awal untuk menutupi cost recovery
sebesar 40% dari pendapatan dan disetujuinya pajak setelah pembagian 85% untuk BP
Migas dan 15% Kontraktor. Generasi ketiga muncul pada akhir 1980 dimana
diperkenalkannya FTP (First Tranche Petroleum) dan diberlakukannya area-area kontrak
baru. Pada 1994, muncul generasi keempat, dengan tujuan untuk meningkatkan
investasi di area terluar khususnya Indonesia bagian TImur, maka Pemerintah
memperkenalkan pembagian 65:35 setelah pajak untuk kontrak di regional tersebut.
Sejak 2008, diperkanalkan generasi kelima. Saat besar pajak setelah pembagian
produksi sedang dinegosiasikan, besarnya biaya untuk cost recovery sangat dibatasi
dan adanya penawaran insentif lain melalui kredit investasi.
SISTEM PSC
Pada penerbitan UU No. 22 tahun 2001 terdapat perbedaan mendasar dengan UU No.
8 1971 tentang Pertamina, yaitu ada pemegang kuasa pertambangan. Dengan
diberlakukannya UU No. 22 tahun 2001, kuasa pertambangan berada di Pemerintah.
Untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya migas, pemerintah juga membentuk
badan-badan. SKK Migas dibentuk untuk melakukan pengendalian dan pengawasan di
sector hulu migas. Untuk mengatur sector hilir, pemerintah membentuk BPH Migas.
Pembagian kerja dengan Pertamina juga semakin jelas yaitu dengan memfokuskan
Pertamina pada bisnis hulu dan hilir migas. Pertamina tidak lagi dibebankan urusan
pembuatan aturan dan peraturan.
Kekuatan dari PSC ini salah satunya adalah penguasaan atas migas tetap pada Negara.
Jadi, perusahaan-perusahaan asing di Indonesia seperti, VICO Indonesia, ExxonMobil
Oil Indonesia Inc, PT Chevron Pacific Indonesia, dan sebagainya hanya sebagai investor
yang bertindak sebagai kontraktor. Perusahaan tersebut bekerja diatas kontrak dan
sama sekali tidak memiliki hak untuk menguasai migas di tempat mereka beroperasi.
SISTEM RISK SERVICE
Dalam kontrak jasa, investor beroperasi lebih sebagai sub kontraktor atas nama
pemerintah setempat. Biasanya bekerja untuk perusahaan nasional. Sebagai gantinya,
investor dibayar dengan fee, biasanya per barel minyak yang dihasilkan. Salah satu
bentuk kontrak jasa adalah risk service contract, dimana perusahaan asing
menanggung risiko kegagalan dan sebaliknya mendapat keuntungan jika proyeknya
berhasil. Akibatnya, risk services contract mirip dengan sistem bagi hasil. Bedanya,
kontraktor dibayar dalam bentuk cash bukan dalam bentuk migas. (TW/sumber: Migas
dan Energi di Indonesia karya Widjajono Partowidagdo, mantan Wamen ESDM)
SISTEM KONTRAK
Sistem Kontrak pertama kali diperkenalkan pada masa Orde Baru di Indonesia melalui
UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Pasal 10 UU
No. 11 Tahun 1967 disebutkan Kontrak sebagai “Perjanjian Karya”, tetapi dalam
praktiknya istilah “Kontrak Karya” lebih umum digunakan. Kontrak Karya terjemahan
dari Bahasa Inggris (contract of work/CoW). Dalam hukum Australia disebut sebagai
indenture. franchise agreement, state agreement. Kontrak Karya disebut sebagai
innominate contracts karena belum diatur dalam KUHPerdata.
Definisi lain kontrak karya dapat ditemukan dalam Kepmen No.1614 Tahun 2004
tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam rangka penanaman modal asing. Pasal 1
(1) kontrak karya dinyatakan sebagai perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan
perusahaan berbadan hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk
melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas
alam, panas bumi, radioaktif dan batubara. Berdasarkan definisi ini, subjek dalam
kontrak karya adalah Pemerintah Indonesia dan badan hukum Indonesia. Idealnya,
badan hukum Indonesia mendapatkan modal dari swasta asing hingga 95% dan
bermitra dengan swasta dalam negeri dengan setoran modal minimal 5% partisipasi.
Posisi sejajar pemerintah (sebagai de iure gesiones) dan kontraktor dalam kontrak
dapat membuat salah satu pihak melakukan gugatan terhadap pihak lain atas nama
pelanggaran kontrak (breach of contract). Namun demikian, apabila pemerintah
memperhatikan kapasitasnya sebagai penguasa (de iure imperi), pemerintah memiliki
kewenangan dan kekebalan hukum berdasarkan prinsip state immunity dan acr of state
doctrine. Dalam prinsip sebagai penguasa, pemerintah berhak untuk menghentikan
secara sepihak perjanjian kerjasama dalam rangka melindungi hak-hak adat, lingkungan
serta tak sejalan dengan hukum yang berlaku.
SISTEM KONTRAK
Bagi investor, sistem kontrak sangat diminati karena memberikan keuntungan lebih
banyak bagi kepentingan mereka. Sifat lex specialis atau nail down telah menjadikan
kontrak tidak akan terikat dengan peraturan perundangan yang berlaku setelah kontrak
ditandatangani hingga habis masa berlaku kontrak itu sendiri. Dikatakan lex specialis
karena seluruh perjanjian karya yang dibuat oleh pemerintah dan pihak swasta harus
ditandatangani oleh menteri atas nama pemerintah RI (pasal 19) yang telah
direkomendasikan oleh BKPM dan telah dikonsultasikan dengan DPR RI. Suatu proses
pembentukan Kontrak Karya (KK) melalui presiden dan DPR mendorong posisi KK
sebagai suatu lex specialis terhadap UU yang berlaku.
Namun ada pendapat bahwa doktrin lex specialis derogat legi generali hanya dapat
diberlakukan thd produk hukum yang sama dengan substansi masalah yang diatur
sama dimana yang satu lebih khusus daripada yang lain spt UU dengan UU dimana satu
UU mengatur hal secara umum sementara UU yang lain mengatur secara khusus.
Apabila produk hukum berbeda sementara yang satu mengatur umum doktrin lex
specialis deroga legi generali tidak dapat diberlakukan. Dengan demikian, apabila
perjanjian yang mengatur suatu hal dan pada saat bersamaan ada peraturan
perundang-undangan mengatur hal yang sama maka doktrin lex specialis derogat legi
generali tidak dapat diberlakukan, sehingga substansi perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan hukum, termasuk peraturan perundang-undangan yang berlaku.
SISTEM KONTRAK
Kepastian hukum dan fikal yang sangat dibuthkan oleh investor untuk menjamin
investasi jangka panjang mereka dalam bisnis pertambangan akan terpenuhi,
kewajiban-kewajiban keuangan kepada pemerintah pun akan tetap sesuai dengan isi
kontrak. Selain itu, adanya stabilization clause dalam kontrak telah menambah
kekuatan kontrak untuk tidak diubah dengan sewenang-wenang oleh salah satu pihak
tanpa suatu proses negosiasi.
Definisi perizinan (Bagir Manan): terminologi izin diartikan sebagai persetujuan dari
penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang memperbolehkan
melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang. Definisi mirip
dengan E. Utrecht (1957): pembuat peraturan umumnya melarang suatu perbuatan,
tetapi masih juga memperkenankannya asal aja diadakan secara yang ditentukan untuk
masing-masing hal konkret.
PRODUCTION SHARING CONTRACT (PSC) GENERASI KEEMPAT:
• MINYAK BUMI:85% UNTUK BADAN PELAKSANA DAN 15% UNTUK BADAN USAHA
DAN/ATAU BADAN USAHA TETAP.
• GAS BUMI: 70% UNTUK BADAN PELAKSANA DAN 30% UNTUK BADAN USAHA
DAN/ATAU BADAN USAHA TETAP.