Anda di halaman 1dari 19

JENIS-JENIS KONTRAK MINYAK DAN GAS BU

MI
• “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkan
dung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan di
pergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”
• Itulah petikan Pasal 33 ayat 3 UUD NRI Tahun
1945 tentang perekonomian Nasional dan kes
ejahteraan sosial. Pasal itu menjadi visi pengus
ahaan migas di Indonesia.
JENIS-JENIS KONTRAK MINYAK DAN GAS BU
MI
1. SISTEM KONSESI
2. PSC (PRODUCTION SHARING CONTRACT)
3. KONTRAK JASA (SERVICE CONTRACT)
SISTEM KONSESI

Pertama kali diperkenalkan pada masa penjajahan kolonial Belanda berdasarkan


konsep hukum perdata barat yang diatur dalam Burgirljk Wetboek (BW). Di bawah UU
Indische Mijnwet 1899, seluruh kerjasama pertambangan diberikan dalam bentuk
konsesi kepada warga negara Belanda dan asing sekutunya untuk mengeksplorasi dan
mengeksploitasi kekayaan alam bahan galian Indonesia. Berdasarkan UU tsb,
pemegang konsesi memiliki kewenangan yang sangat luas, meliputi kewenangan
publik, spt mendirikan lapangan terbang, pelabuhan laut, sarana transportasi sendiri
serta hak kepemilikan atas hasil pertambangan dan hak atas tanah di atas permukaan.

Berdasarkan ketentuan Nomor 20 pada Pasal 1 UU No. 30 Tahun 2014 tentang


Administrasi Pemerintahan telah memberikan suatu definisi konsesi yang diartikan
sebagai keputusan pejabat pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan
dari kesepakatan badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas
umum dan/atau sumber daya dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jauh
sebelum adanya UU tsb, konsesi sendiri telah masuk dalam ranah hukum administrasi
sebagai perizinan yang bersifat publik.
SISTEM KONSESI

Subekti (1971): konsesi sebagai suatu izin dari pemerintah untuk membuka tanah dan
menjalankan suatu usaha di atasnya. Berdasarkan Pasal 4 (2) Pokok-pokok Agraria, hak
konsesi dapat dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan (HGB).

Prajudi Atmosudirjo (1981): Konsesi sebagai suatu penetapan administrasi negara yang
secara yuridis sangat kompleks karena merupakan seperangkat dispensasi, izin,
kepemilikan hak pengusahaan dan pengelolaan bahan galian di dalamnya serta
kecilnya ruang yang diberikan kepada negara untuk mengontrol kegiatan mereka.
Beberapa contoh negara yang menerapkan sistem konsesni di dalam pengusahaan dan
pengelolaan kekayaan negara mereka, spt Australia, Kanada, Brasil, Cile, Meksiko,
Amerika Serikat dan Rusia.

Perbandingan negara-negara yang menggunakan sistem konsesi, PSC dan risk service
dalam pengusahaan sektor migas, menunjukan bahwa sebagian besar negara
menggunakan sistem konsesi, disusul PSC. Hanya sedikit negara yang menggunakan
sistem risk service yaitu terutama negara-negara amerika latin.
SISTEM KONSESI

Sistem konsesi banyak dipilih oleh negara-negara maju, antara lain Australia, Kanada,
Amerika Serikat, Inggris, Norwegia, Angola, Brazil, Rusia. Konsesi sesuai terminologinya,
pemerintah melimpahkan kepada investor hak untuk mengeksplorasi,
memproduksikan dan menjual minyak dan mengelola operasi. Sebagai imbalannya,
pemerintah menerima royalty dan pajak pendapatan. Pemerintah tidak berpartisipasi
atau mengontrol proyek, sehingga kontraktor menyukai model ini. Sistem konsesi juga
memiliki kontrak lebih sedikit dan kurang fleksibel dibandingkan bentuk-bentuk
lainnya. Kebanyakan hak dan kewajiban investor dinyatakan dalam legislasi umum.
SISTEM PSC

Negara-negara yang menggunakan sistem PSC lebih banyak didominasi oleh negara
berkembang seperti Indonesia, Aljazair, China, Kongo, Khazaktan, Malaysia, Peru dan
Qatar. Pada kontrak bagi hasil, hasil yang didapat dibagi antara pemerintah dan
kontraktor, di samping terdapat beberapa macam bentuk government take lainnya.
Bentuk ini paling fleksibel karena kebanyakan hak dan kewajiban dinyatakan dalam
peraturan kontrak yang dinegosiasikan.

Dalam PSC, suatu Negara menjalin kerjasama dengan perusahaan migas internasional
(istilah lainnya International Oil Company atau IOC) agar IOC mampu mencukupi
kebutuhan finansial dan skill yang dibutuhkan untuk eksplorasi migas. Biasanya Negara
diwakilkan salah satu badan dalam pemerintahannya yang akan mengatur hasil
produksi migas. Di Indonesia maka kerjasama ini diwakilkan oleh Pertamina atau BP
Migas (ketika masih ada). Suatu perusahaan migas internasional memiliki hak untuk
mengelola (eksplorasi atau produksi) dari area yang telah ditentukan atau istilahnya
kontrak area dan tentu saja menanggung resiko dari operasional produksi di area
tersebut, seperti kebutuhan dana atau bencana yang mungkin terjadi. Pada penemuan
cadangan yang komersial, maka IOC akan mendapatkan bagian sebagai bayaran atas
pekerjaanya dan tambahan mendapat biaya yang setimpal hasil produksinya. Tetapi jika
tidak penemuan cadangan baru maka IOC juga tidak mendapatkan apa-apa.
SISTEM PSC

Dalam PSC, umumnya terdapat empat aspek pendanaan, yaitu:


1.      Royalty; ini merupakan bentuk pembayaran awal yang dilakukan perusahaan
migas internasional kepada Negara atas produksi bruto. Bentuk bayarannya sering kali
adalah hasil bagi migas hasil produksi atau bisa juga dengan harga yang setara dengan
penjualan.
2.      Cost oil; istilah ini digunakan untuk bentuk pembayaran atas biaya yang
dikeluarkan perusahaan migas internasional dalam proses produksi.
3.      Profit oil; ini merupakan migas yang masih tersisa setelah dikurangi royalty dan
cost of oil. Profit oil ini dibagi ke Negara dan perusahaan migas internasional sesuai
dengan kontrak di PSC. JIka produksi meningkat, maka Negara juga akan mendapat
bagian profit oil yang meningkat.
4.      Income tax; ini adalah istilah dari pajak penghasilan yang dibayar oleh IOC dalam
produksinya. Seringkali pajak penghasilan dibayar oleh Negara.
SISTEM PSC

Di Indonesia, PSC telah mulai digunakan pada 1966. Saat itu terjadi penandatanganan
antara Pemerintah dan IIAPCO (Independence Indonesian American Oil Company).
Meskipun begitu, UU yang mengatur dasar hukum PSC baru muncul pada 1971, yaitu
pada UU 8/1971 tentang Pertamina pasal 12, ayat 1: “Perusahaan, dalam hal ini
Pertamina dapat mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak
Production Sharing.” Ayat 2: “syarat-syarat kerjasama sebagaimana termaktub dalam
ayat 1 pasal ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)”. Setelah 23 tahun,
barulah muncul PP yang dimaksud, yaitu pada PP No. 35 tentang, “Syarat-syarat dan
Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi” yang terbit pada 1994.
SISTEM PSC

PSC di Indonesia telah melalui lima “generasi”, perubahan besarnya pada pembagian
hasil produksi. Generasi pertama adalah saat PSC baru muncul yaitu 1966. Generasi
kedua muncul pada 1976 dengan dihapusnya biaya awal untuk menutupi cost recovery
sebesar 40% dari pendapatan dan disetujuinya pajak setelah pembagian 85% untuk BP
Migas dan 15% Kontraktor. Generasi ketiga muncul pada akhir 1980 dimana
diperkenalkannya FTP (First Tranche Petroleum) dan diberlakukannya area-area kontrak
baru. Pada 1994, muncul generasi keempat, dengan tujuan untuk meningkatkan
investasi di area terluar khususnya Indonesia bagian TImur, maka Pemerintah
memperkenalkan pembagian 65:35 setelah pajak untuk kontrak di regional tersebut.
Sejak 2008, diperkanalkan generasi kelima. Saat besar pajak setelah pembagian
produksi sedang dinegosiasikan, besarnya biaya untuk cost recovery sangat dibatasi
dan adanya penawaran insentif lain melalui kredit investasi.
SISTEM PSC
Pada penerbitan UU No. 22 tahun 2001 terdapat perbedaan mendasar dengan UU No.
8 1971 tentang Pertamina, yaitu ada pemegang kuasa pertambangan. Dengan
diberlakukannya UU No. 22 tahun 2001, kuasa pertambangan berada di Pemerintah.
Untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya migas, pemerintah juga membentuk
badan-badan. SKK Migas dibentuk untuk melakukan pengendalian dan pengawasan di
sector hulu migas. Untuk mengatur sector hilir, pemerintah membentuk BPH Migas.
Pembagian kerja dengan Pertamina juga semakin jelas yaitu dengan memfokuskan
Pertamina pada bisnis hulu dan hilir migas. Pertamina tidak lagi dibebankan urusan
pembuatan aturan dan peraturan.

Kekuatan dari PSC ini salah satunya adalah penguasaan atas migas tetap pada Negara.
Jadi, perusahaan-perusahaan asing di Indonesia seperti, VICO Indonesia, ExxonMobil
Oil Indonesia Inc, PT Chevron Pacific Indonesia, dan sebagainya hanya sebagai investor
yang bertindak sebagai kontraktor. Perusahaan tersebut bekerja diatas kontrak dan
sama sekali tidak memiliki hak untuk menguasai migas di tempat mereka beroperasi.
SISTEM RISK SERVICE

Dalam kontrak jasa, investor beroperasi lebih sebagai sub kontraktor atas nama
pemerintah setempat. Biasanya bekerja untuk perusahaan nasional. Sebagai gantinya,
investor dibayar dengan fee, biasanya per barel minyak yang dihasilkan. Salah satu
bentuk kontrak jasa adalah risk service contract, dimana perusahaan asing
menanggung risiko kegagalan dan sebaliknya mendapat keuntungan jika proyeknya
berhasil. Akibatnya, risk services contract mirip dengan sistem bagi hasil. Bedanya,
kontraktor dibayar dalam bentuk cash bukan dalam bentuk migas. (TW/sumber: Migas
dan Energi di Indonesia karya Widjajono Partowidagdo, mantan Wamen ESDM)
SISTEM KONTRAK

Sistem Kontrak pertama kali diperkenalkan pada masa Orde Baru di Indonesia melalui
UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Pasal 10 UU
No. 11 Tahun 1967 disebutkan Kontrak sebagai “Perjanjian Karya”, tetapi dalam
praktiknya istilah “Kontrak Karya” lebih umum digunakan. Kontrak Karya terjemahan
dari Bahasa Inggris (contract of work/CoW). Dalam hukum Australia disebut sebagai
indenture. franchise agreement, state agreement. Kontrak Karya disebut sebagai
innominate contracts karena belum diatur dalam KUHPerdata.

KepMen Pertambangan dan Energi No. 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara


Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya,
dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, kontrak karya diartikan
sebagai perjanjian antara pemerintah Indonesia dan perusahaan swasta asing atau
patungan antara asing dan nasional untuk pengusahaan mineral dengan berpedoman
kepada UU No. 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing serta UU No. 11 Tahun
1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan.
SISTEM KONTRAK

Definisi lain kontrak karya dapat ditemukan dalam Kepmen No.1614 Tahun 2004
tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam rangka penanaman modal asing. Pasal 1
(1) kontrak karya dinyatakan sebagai perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan
perusahaan berbadan hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk
melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas
alam, panas bumi, radioaktif dan batubara. Berdasarkan definisi ini, subjek dalam
kontrak karya adalah Pemerintah Indonesia dan badan hukum Indonesia. Idealnya,
badan hukum Indonesia mendapatkan modal dari swasta asing hingga 95% dan
bermitra dengan swasta dalam negeri dengan setoran modal minimal 5% partisipasi.

Posisi sejajar pemerintah (sebagai de iure gesiones) dan kontraktor dalam kontrak
dapat membuat salah satu pihak melakukan gugatan terhadap pihak lain atas nama
pelanggaran kontrak (breach of contract). Namun demikian, apabila pemerintah
memperhatikan kapasitasnya sebagai penguasa (de iure imperi), pemerintah memiliki
kewenangan dan kekebalan hukum berdasarkan prinsip state immunity dan acr of state
doctrine. Dalam prinsip sebagai penguasa, pemerintah berhak untuk menghentikan
secara sepihak perjanjian kerjasama dalam rangka melindungi hak-hak adat, lingkungan
serta tak sejalan dengan hukum yang berlaku.
SISTEM KONTRAK

Bagi investor, sistem kontrak sangat diminati karena memberikan keuntungan lebih
banyak bagi kepentingan mereka. Sifat lex specialis atau nail down telah menjadikan
kontrak tidak akan terikat dengan peraturan perundangan yang berlaku setelah kontrak
ditandatangani hingga habis masa berlaku kontrak itu sendiri. Dikatakan lex specialis
karena seluruh perjanjian karya yang dibuat oleh pemerintah dan pihak swasta harus
ditandatangani oleh menteri atas nama pemerintah RI (pasal 19) yang telah
direkomendasikan oleh BKPM dan telah dikonsultasikan dengan DPR RI. Suatu proses
pembentukan Kontrak Karya (KK) melalui presiden dan DPR mendorong posisi KK
sebagai suatu lex specialis terhadap UU yang berlaku.

Namun ada pendapat bahwa doktrin lex specialis derogat legi generali hanya dapat
diberlakukan thd produk hukum yang sama dengan substansi masalah yang diatur
sama dimana yang satu lebih khusus daripada yang lain spt UU dengan UU dimana satu
UU mengatur hal secara umum sementara UU yang lain mengatur secara khusus.
Apabila produk hukum berbeda sementara yang satu mengatur umum doktrin lex
specialis deroga legi generali tidak dapat diberlakukan. Dengan demikian, apabila
perjanjian yang mengatur suatu hal dan pada saat bersamaan ada peraturan
perundang-undangan mengatur hal yang sama maka doktrin lex specialis derogat legi
generali tidak dapat diberlakukan, sehingga substansi perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan hukum, termasuk peraturan perundang-undangan yang berlaku.
SISTEM KONTRAK

Akibatnya, perubahan yang dilakukan dalam UU yang menjadi dasar pengikatan


perjanjian karya akan berimbas pada kewajiban kepatuhan setiap pihak dalam kontrak
terhadap perundang-undangan yang baru.

Kepastian hukum dan fikal yang sangat dibuthkan oleh investor untuk menjamin
investasi jangka panjang mereka dalam bisnis pertambangan akan terpenuhi,
kewajiban-kewajiban keuangan kepada pemerintah pun akan tetap sesuai dengan isi
kontrak. Selain itu, adanya stabilization clause dalam kontrak telah menambah
kekuatan kontrak untuk tidak diubah dengan sewenang-wenang oleh salah satu pihak
tanpa suatu proses negosiasi.

Definisi perizinan (Bagir Manan): terminologi izin diartikan sebagai persetujuan dari
penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang memperbolehkan
melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang. Definisi mirip
dengan E. Utrecht (1957): pembuat peraturan umumnya melarang suatu perbuatan,
tetapi masih juga memperkenankannya asal aja diadakan secara yang ditentukan untuk
masing-masing hal konkret.
PRODUCTION SHARING CONTRACT (PSC) GENERASI KEEMPAT:

• MINYAK BUMI:85% UNTUK BADAN PELAKSANA DAN 15% UNTUK BADAN USAHA
DAN/ATAU BADAN USAHA TETAP.
• GAS BUMI: 70% UNTUK BADAN PELAKSANA DAN 30% UNTUK BADAN USAHA
DAN/ATAU BADAN USAHA TETAP.

BEBERAPA KOMPONEN YANG MEMPENGARUHI BAGI HASIL BAGI PRODUKSI MIGAS


ADALAH: GROSS REVENUE, FIRST TRANCHE PETROLEUM, INVESTMENT CREDIT DAN
COST RECOVERY.
SISTEM BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH DENGAN KONTRAKTOR KONTRAK
KERJASAMA (KKKS) MIGAS TERJADI SETELAH SEBELUMNYA DIKURANGI DENGAN COST
RECOVERY. COST RECOVERY ADALAH BIAYA YANG DIBAYAR PEMERINTAH KEPADA
KONTRAKTOR SEBAGAI PERGANTIAN BIAYA PRODUKSI DAN INVESTASI SELAMA PROSES
EKSPLORASI, EKSPLOITASI DAN PENGEMBANGAN BLOK MIGAS ATAU PENGEMBALIAN
BIAYA EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI MIGAS DARI PEMERINTAH KEPADA KKKS.
INDUSTRI MIGAS MEMILIKI KARAKTERISTIK TERSENDIRI DIBANDINGKAN DENGAN
INDUSTRI LAINNYA KARENA INDUSTRI MIGAS ADALAH INDUSTRI PADAT MODAL (HIGH
COST), PADAT TEKNOLOGI (HIGH TECHNOLOGY), PADAT RISIKO (HIGH RISK) DAN
MEMBUTUHKAN EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI TERUS MENERUS.

KONTRAK KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH DENGAN KKKS DAPAT DIKATEGORIKAN


SEBAGAI KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL APABILA PIHAK KEDUA (KONTRAKTOR)
MERUPAKAN BADAN HUKUM ASING.

APABILA DIKAITKAN DENGAN HUKUM INTERNASIONAL, COST RECOVERY SEJATINYA


MERUPAKAN BAGIAN DARI HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK YANG DIMASUKAN
DALAM PERJANJIAN UTAMA ATAU CONSIDERATION. CONSIDERATION MEMUAT HAL-
HAL POKOK YANG MENJADI INTI DARI PERJANJIAN. CONTOH PENYEBUTAN MEKANISME
PELAKSANAAN PEMBAYARAN COST RECOVERY PADA SALAH SATU PASAL KONTRAK
KERJASAMA DINYATAKAN DENGAN:”CONTRACTOR WILL RECOVER OPERATING COSTS
OUT OF THE SALES PROCEED OR OTHER DISPOSITION OF THE REQUIRED QUANTITY OF
PETROLEUM EQUAL VALUE TO SUCH OPERATING COSTS, WHICH IS PRODUCED AND
SAVED HEREUNDER AND NOT USED IN PETROLEUM OPERATIONS IN THE MANNER IN
SUB-SECTION 6.1.2. BELOW. THE OPERATING COSTS SHALL BE AVAILABLE AS A
DEDUCTION FOR THE PURPOSES OF CONTRACTOR’S TAX FILING AND CALCULATING
CONTRACTOR’S TAXABLE INCOME”.
DI DALAM SETIAP PEMBUATAN KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL DIPERLUKAN
KECERMATAN MELIHAT DAN MEMPERTIMBANGKAN CONSIDERATIONS HAK DAN
KEWAJIBAN AGAR DAPAT MEMENUHI TUJUAN DARI PEMBUATAN KONTRAK ITU
SENDIRI DI SAMPING PRINSIP UTAMA ITIKAD BAIK DARI PARA PIHAK. KETELITIAN
DALAM PEMBUATAN POIN PER POIN HAK DAN KEWAJIBAN AKAN MEMINIMALISIR
TIMBULNYA PENYIMPANGAN DALAM PRAKTIKNYA SEHINGGA MENGURANGI
KEMUNGKINAN TIMBULNYA KERUGIAN SALAH SATU PIHAK SBG AKIBAT HAKNYA TIDAK
TERPENUHI.
DALAM PSC, KLASIFIKASI BIAYA YANG DAPAT ATAU TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN
MELALUI COST RECOVERY TIDAK DIATUR SECARA TEGAS. SETELAH PERMEN ENERGI
DAN SUMBER DAYA NO. 22 TAHUN 2008 MENGENAI JENIS-JENIS BIAYA KEGIATAN
USAHA HULU MIGAS YANG TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN KEPADA KONTRAKTOR
KONTRAK KERJASAMA SEBANYAK 17 JENIS BIAYA NEGATIVE LIST COST RECOVERY.
ATURAN MENGENAI NEGATIVE LIST COST RECOVERY INI DIATUR KEMBALI DALAM PP
NO. 79 TAHUN 2010 MENJADI 24 ITEMS YANG DISEBUTKAN DALAM PASAL 13.
PENGAWASAN PEMERINTAH (SKK MIGAS) THD PELAKSANAAN PEMBAYARAN COST
RECOVERY TERMASUK LEMAH SEHINGGA SERING TERJADI PENGGELEMBUNGAN
DANA COST RECOVERY OLEH KKKS DENGAN CARA MENGIKUTSERTAKAN NEGATIVE
LIST COST RECOVERY YANG BERDAMPAK LANGSUNG THD PENERIMAAN NEGARA DARI
SEKTOR MIGAS.
N

Anda mungkin juga menyukai