Anda di halaman 1dari 19

LEMBAGA DAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA

BISNIS

Jarot Maryono
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah, Jakarta
email: adv.jarot@gmail.com

ABSTRAK

Dalam menjalankan kegiatan bisnis, kemungkinan timbulnya sengketa suatu hal


yang sulit untuk dihindari. Oleh karena itu, dalam peta bisnis modern dewasa ini,
para pelaku bisnis sudah mulai mengantisipasi atau paling tidak meminimalisir
terjadinya sengketa dengan membuat kontrak bisnis yang disepakati oleh para
pelaku bisnis. Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana halnya jikalau
pada awal dibuatnya kontrak, para pihak hanya mengandalkan saling percaya,
kemudian timbul sengketa, bagaimana cara penyelesaian sengketa yang tengah
dihadapi oleh para pebisnis tersebut. Pada umumnya para pebisnis tersebut
membawa kasusnya ke lembaga peradilan baik lewat proses gugatan perdata
maupun secara pidana maupun lembaga non peradilan.
Kata Kunci: Sengketa Bisnis, Penyelesaian Litigasi, Penyelesaian Non Litigasi

ABSTRACT

In carrying out business activities, the possibility of a dispute arises that is


difficult to avoid. Therefore, in today's modern business map, business people
have begun to anticipate or at least minimize the occurrence of disputes by
making business contracts agreed upon by business actors. However, the problem
is what is the case if at the beginning of the contract, the parties only rely on
mutual trust, then disputes arise, how to resolve disputes being faced by these
business people. In general, these business people bring their cases to the
judiciary both through the civil and criminal proceedings as well as non-judicial
institutions.
Key Words: Business Dispute, Litigation Settlement, Non Litigation Settlement

A. PENDAHULUAN

Globalisasi hakekatnya adalah merupakan suatu proses transformasi sosial,


dimana hal tersebut membawa kondisi umat manusia yang beragam dan berpencar
di dunia kepada suatu tradisi tunggal yang tidak mengenal batas-batas wilayah.

1
Globalisasi telah membuat maraknya aktivitas di bidang ekonomi, salah satu ciri
bisnis atau perekonomian yang paling menonjol pada era globalisasi sangat cepat
mengalami perubahan. William Irvin Thompson mengemukakan bahwa dengan
dukungan teknologi dan informasi, kecepatan perubahan tidak lagi menghitung
abad, tahun, dan bulan, tetapi pergeseran dan perubahan bisa terjadi setiap hari.

Globalisasi ekonomi tampak dari adanya kebebasan gerak perusahaan dan


uang yang melintasi batas-batas negara yang dikenal dengan istilah perdagangan
internasional atau transaksi bisnis internasional. Penggambaran tentang proses
globalisasi dapat dilakukan dalam banyak dimensi di antaranya dimensi ekonomi,
politik, sosial, budaya dan hukum. Globalisasi perekonomian mengharuskan
penghapusan seluruh pembatasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan
jasa.1

Globalisasi ekonomi ini dapat mengkaburkan batas-batas suatu negara dan


keterkaitan baik internal ekonomi nasional maupun ekonomi nasional dengan
perekonomian internasional akan semakin erat. Globalisasi ekonomi pun
membawa implikasi bisnis terhadap hukum tidak dapat dihindarkan. Hal ini
disebabkan globalisasi hukum mengikuti kegiatan bisnis tersebut dalam arti
substansi berbagai undang-undang dan juga melewati batas-batas negara.

Dalam menjalankan kegiatan bisnis, kemungkinan timbulnya sengketa suatu


hal yang sulit untuk dihindari. Oleh karena itu, dalam peta bisnis modern dewasa
ini, para pelaku bisnis sudah mulai mengantisipasi atau paling tidak
meminimalisir terjadinya sengketa dengan membuat kontrak bisnis yang
disepakati oleh para pelaku bisnis. Namun yang menjadi persoalan adalah
bagaimana halnya jikalau pada awal dibuatnya kontrak, para pihak hanya
mengandalkan saling percaya, kemudian timbul sengketa, bagaimana cara
penyelesaian sengketa yang tengah dihadapi oleh para pebisnis tersebut.2

1
Erni Dwita Silambi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi dan Bisnis Melalui Arbitrase Internasional
(Studi Kasus Pertamina Vs Karaha Bodas), Jurnal Ilmu Ekonomi & Sosial, Tahun III, Nomor 6,
Oktober 2012, hlm. 296.
2
Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, Cetakan Ketiga, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008,
hlm. 239.

2
Secara konvensional atau tepatnya kebiasaan yang berlaku dalam beberapa
decade yang lampau jika ada sengketa bisnis, pada umumnya para pebisnis
tersebut membawa kasusnya ke lembaga peradilan. Penyelesaian sengketa bisnis
melalui lembaga peradilan ditempuh, baik lewat proses gugatan perdata maupun
secara pidana.3

B. SENGKETA BISNIS

Pengertian sengketa bisnis (commercial dispute) menurut Maxwell J. Fulton


“a commercial disputes is one which arises during the course of the exchange or
transaction process is central to market economy”, yang dalam terjemahan
bebasnya yaitu Sengketa Bisnis adalah suatu hal yang muncul selama
berlangsungnya proses transaksi yang berpusat pada ekonomi pasar. Pertumbuhan
ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerja sama
bisnis. Mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin
dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul
dikarenakan berbagai alasan dna masalah yang melatar belakanginya, terutama
karena adanya conflict of interest diantara para pihak. Sengketa yang timbul
diantara para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau
perdagangan dinamakan sengketa bisnis.4

Bambang Sutiyoso dalam bukunya yang berjudul Penyelesaian Sengketa


Bisnis mengelompokkan sengketa bisnis sebagai berikut:

1. Sengketa Perniagaan

2. Sengketa Perbankan

3. Sengketa Keuangan

4. Sengketa Penanaman Modal (investasi)

5. Sengketa Perindustrian

3
Ibid.
4
Arus Akbar Silondae & Wirawan B. Ilyas, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, Jakarta: Salemba Empat,
2013, hlm. 179.

3
6. Sengketa Hak Kekayaan Intelektual

7. Sengketa Konsumen

8. Sengketa Kontrak

9. Sengketa Pekerjaan

10. Sengketa Perburuhan

11. Sengketa Perusahaan

12. Sengketa Hak

13. Sengketa Properti

14. Sengketa Pajak

15. Sengketa Pembangunan Konstruksi

16. Sengketa lainnya 5

C. PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

Cara penyelesaian sengketa bisnis dapat dilihat dari dua sudut, yaitu dari
sudut pembuat keputusan dan dari sudut prosesnya.

1. Penyelesaian Sengketa Bisnis dari Sudut Pandang Pembuat Keputusan

a. Adjudikatif

Cara penyelesaian sengketa bisnis ini dilakukan dengan mekanisme


penyelesaian yang ditandai dengan kewenangan pengambilan keputusan
pengambilan dilakukan oleh pihak ketiga dalam sengketa diantara para
pihak.

5
Ibid.

4
b. Konsensual/Kompromi

Cara penyelesaian sengketa secara kooperatif atau kompromi untuk


mencapai penyelesaian yang bersifat win-win solution dan bertujuan
tercapainya perdamaian yang dapat diterima oleh para pihak.

c. Quasi Adjudikatif

Cara penyelesaian sengketa bisnis dengan kombinasi antara unsur


konsensual dan adjudikatif.

2. Penyelesaian Sengketa Bisnis dari Sudut Pandang Prosesnya

a. Proses Litigasi (Ordinary Court/Court Settlement)

Penyelesaian sengketa bisnis dari sudut pandang proses litigasi adalah


merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan
dengan menggunakan pendekatan hukum formal (law approach).

1) Pengadilan Umum

Pengadilan umum merupakan lembaga pelaksana kekuasaan


kehakiman di Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Pasal
50 tentang Peradilan Umum, menjelaskan bahwa Pengadilan Negeri
bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara perdata di tingkat pertama. Berdasarkan isi dari
pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa Pengadilan Negeri berwenang
dalam memeriksa sengketa bisnis.

Tingkat Pengadilan Umum terdiri dari:

a) Pengadilan Negeri (Pengadilan tingkat pertama);

b) Pengadilan Tinggi (Tingkat Banding);

c) Mahkamah Agung (Tingkat Kasasi), dan;

5
d) Upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (Mahkamah Agung).

Sedangkan dalam hal karakteristik Pengadilan Umum antara lain:

e) Prosesnya sangat formal;

f) Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara


(majelis hakim);

g) Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan;

h) Isi keputusan win-lose solution;

i) Sifat keputusan mengikat dan memaksa (binding and coercive);

j) Orientasi pada fakta hukum untuk mencari pihak yang bersalah;

k) Fokus pada masa lampau;

l) Proses sidang bersifat terbuka.

2) Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di


lingkungan Pengadilan Negeri yang mempunyai kompetensi untuk
memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan
kewajiban pembayaran utang (PKPU), serta sengketa Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) yang meliputi hak cipta, merek, dan paten.
Karakteristik Pengadilan Niaga, antara lain:
a) Prosesnya sangat formal;
b) Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara
(majelis hakim);
c) Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan;
d) Sifat keputusan mengikat dan memaksa (binding and coercive);
e) Orientasi pada fakta hukum untuk mencari pihak yang bersalah;

6
f) Proses sidang bersifat terbuka.
g) Waktunya singkat.

3) Pengadilan Agama

Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia


mengalami perkembangan yang berarti pada masa kemerdekaan.
Perkembangan tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang dimiliki
oleh Pengadilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia.
Dahulunya, putusan peradilan agama murni berdasarkan fikih para
fuqaha (ahli hukum Islam), eksekusinya harus dikuatkan oleh peradilan
umum, para hakimnya hanya berpendidikan syariah tradisional dan
tidak berpendidikan umum, organisasinya tidak berpuncak ke
Mahkamah Agung (MA) dan lain-lainnya.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, telah membawa


sejumlah perubahan mendasar bagi lingkungan peradilan agama,
terutama menyangkut kewenangan atau kompetensinya. Atas dasar
undang-undang tersebut, ruang lingkup kewenangan lingkungan
peradilan Agama menjadi lebih luas di banding sebelumnya. Setelah
lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kewenangan
lingkungan Peradilan Agama selain meliputi perkara-perkara dalam
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah,
ditambah lagi dengan perkara-perkara dalam bidang zakat, infak dan
bidang ekonomi Syariah dalam hal penyelesaian sengketa bidang
ekonomi dan bisnis syariah.6

b. Proses Non Litigasi (Extra Ordinary Court/Out of Court Settlement)

Penyelesaian sengketa bisnis dari sudut pandang proses non litigasi


adalah merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur di luar

6
“Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah”, http://www.rudipradisetia.com/2010/06/meringkas-
sejarah-hukum-pidana-di_21.htm., 10 Mei 2020.

7
pengadilan, dan tidak menggunakan pendekatan hukum formal. Untuk
penyelesaian sengketa bisnis non litigasi dapat dilakukan dengan cara
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

1) Arbitrase

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan


Alternatif Penyelesaian Sengketa pada Pasal 1 angka 1 menyatakan
bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Kelebihan dari
alternatif penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ini adalah
diantaranya, yaitu:
a) Adanya jaminan kerahasiaan sengketa para pihak;
b) Dapat dihindarkan keterlambatan yang diakibatkan kerena hal
prosedural dan administratif.
c) Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk
penyelesaian masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase.

Sedangkan yang menjadi kelemahan alternatif penyelesaian


sengketa melalui Lembaga arbitrase ini adalah bahwa lembaga arbitrase
tidak memiliki kekuatan eksekutorial dan kepastian hukum terhadap
kesepakatan yang telah dihasilkan.

a) Arbitrase Ad Hoc atau Volunteer

Arbitrase Ad Hoc atau Volunteer merupakan arbiterasi yang


dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutus
perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat incidental, yang
kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus
kasus perselisihan tertentu. Apabila sengketa telah diputus maka

8
keberadaan dan fungsinya akan lenyap dan berakhir dengan
sendirinya.

b) Arbitrase Institusional

Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan


arbitrase yang bersidat permanen. Oleh karena itu, arbitrase ini
disebut juga dengan permanent arbital body. Pembentukan
lembaga ini bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul
bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan.
Lembaga arbitrase institusional yang ada di Indonesia antara lain
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas).

i. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

BANI dibentuk berdasarkan Keputusan Kadin No.


152/DPH-1988 tanggal 10 November 1977. Lembaga ini
memiliki tujuan agar mampu menyelesaikan sengketa atau
beda pendapat yang terjadi pada berbagai sektor
perdagangan, industri dan keuangan, yaitu melalui arbitrase
dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya.

ii. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

Gagasan berdirinya badan arbitrase syariah, diawali


dengan bertemunya para pakar, cendekiawan muslim, praktisi
hukum, dan ulama untuk bertukar pikiran tentang perlunya
lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini dimotori
oleh Dewan pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
tanggal 22 April 1992 dan akhirnya pada tanggal 21 oktober
1993 resmi di bentuk Badan Arbitrase Muamalat Indonesia

9
(BAMUI) yang sekarang badan arbitrase syariah
(BASYARNAS).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49


dinyatakan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam
bidang ekonomi syariah. Dengan berlakunya, Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini, tentu para pihak akan
menyepakati penyelesaian sengketa ke Basyranas (Badan
Arbitrase Syariah Nasional) atau ke Pengadilan Agama.7

2) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) dan Lainnya

Bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa (LAPS) lainnya,


antara lain sengketa dalam bidang asuransi, keuangan, pabrikasi, hak
atas kekayaan intelektual, lisensi, waralaba, konstruksi, pelayaran, serta
lingkungan hidup. Badan ini bersifat otonom dan independen dalam
penegakan hukum dan keadilan.

Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor


1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Sektor Jasa Keuangan, LAPS memiliki prinsip sebagai berikut:

i. Prinsip aksesibilitas

Layanan penyelesaian sengketa mudah diakses oleh konsumen dan


mencakup seluruh Indonesia.

ii. Prinsip independensi

7
Arus Akbar Silondae & Wirawan B. Ilyas, Op. Cit.,, hlm. 179.

10
LAPS memiliki organ pengawas untuk menjaga dan memastikan
independensi SDM LAPS. Selain itu, LAPS juga memiliki sumber
daya yang memadai sehingga tidak tergantung kepada Lembaga
Jasa Keuangan tertentu.

iii. Prinsip keadilan

Mediator di LAPS bertindak sebagai fasilitator dalam rangka


mempertemukan kepentingan para pihak dalam memperoleh
kesepakatan penyelesaian sengketa, sedangkan ajudikator dan
arbiter wajib memberikan alasan tertulis dalam tiap putusannya.
Jika ada penolakan permohonan penyelesaian sengketa dari
konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan, LAPS wajib memberikan
alasan tertulis.

iv. Prinsip efisiensi dan efektivitas

LAPS mengenakan biaya murah kepada konsumen dalam


penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa di LAPS dilakukan
dengan cepat. Pelaksanaan putusan-putusan atas penyelesaian
sengketa bisnis diawasi oleh LAPS.

a) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia


(LAPSPI)

LAPSPI merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang bisa


menjadi alternatif bagi konsumen yang memiliki masalah dengan
nilai sengketa yang tidak terlalu besar. Layanan lembaga ini
sepenuhnya gratis, sehingga konsumen tidak perlu direpotkan
dengan pengurusan di pengadilan. Hasil keputusan dari LAPSPI ini
nantinya bersifat mengikat kedua belah pihak, tetapi jika konsumen
merasa tidak puas, boleh membawanya ke pengadilan.

LAPSPI didirikan oleh enam asosiasi perbankan di Indonesia,


yaitu: Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas),

11
Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), Perhimpunan
Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Asosiasi Bank
Syariah Indonesia (Asbisindo), dan Perhimpunan Bank Asing
(Perbina).

b) Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia


(BAMPPI)

BAMPI adalah lembaga yang didirikan 17 lembaga


penjaminan yang juga merupakan anggota Asosiasi Perusahaan
Pembiayaan Indonesia (APPI). Lembaga yang didirikan pada 10
April 2015 ini bisa membantu masalah konsumen yang berkaitan
dengan pegadaian dan pembiayaan. Termasuk jika konsumen
memiliki pengaduan atas tindakan debt collector saat meminta
pembayaran cicilan kredit.

Masalah di lembaga pembiayaan merupakan masalah klasik


yang banyak terjadi di masyarakat bawah. Pemahaman yang keliru
tentang aturan dan kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian
pembiayaan yang seharusnya masuk ranah hukum perdata sering
kali justru berakhir pada tindakan kekerasan yang membawa
masalah ke ranah pidana. Sosialisasi hadirnya lembaga ini sangat
penting untuk meminimalkan permasalahan yang ada di lapangan.

c) Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)

BAPMI merupakan sebuah lembaga yang membantu


mengatasi masalah sengketa yang berkaitan dengan pasar modal.
Lembaga ini didirikan pada 2002, jauh sebelum OJK mengeluarkan
peraturan tentang adanya LAPS. Apabila mengalami masalah
seputar pasar modal, seperti misalnya tentang repurchase
agreement (repo), konsumen bisa menghubungi BAPMI agar bisa
dibantu melakukan mediasi.

d) Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)

12
BMAI merupakan lembaga yang berada di bawah payung
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Asosiasi Asuransi
Umum Indonesia (AAUI), dan Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial
Indonesia (AAJSI). Ketiganya merupakan anggota Federasi
Asosiasi Pengasuransian Indonesia (FAPI). Didirikannya BMAI
bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada pihak yang
tertanggung yang kurang paham dengan aturan asuransi. Pihak
tertanggung ini tidak akan dimintai biaya untuk bantuan hukum
yang diberikan BMAI.

Tiga mekanisme yang biasanya dilakukan BMAI untuk


menyelesaikan masalah, yakni mediasi, ajudikasi, dan arbitrase.
BMAI mampu memberikan bantuan melayani sengketa dengan
batas maksimal ganti rugi hingga Rp. 750.000.000,- untuk asuransi
umum dan Rp. 500.000.000,- untuk asuransi jiwa. Penolakan atas
klaim dan salah paham antara nasabah dan perusahaan asuransi
menempati urutan atas dalam kasus yang disengketakan di lembaga
mediasi. Kehadiran lembaga ini bisa memberikan pemahaman yang
baik bagi kedua belah pihak yang bersengketa untuk
meminimalkan perselisihan.

e) Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP)

BMDP merupakan lembaga mediasi yang membantu


permasalahan yang terkait dengan dana pensiun. BMDP didirikan
untuk menjembatani mantan pegawai/karyawan yang
bermasalah/bersengketa dengan uang pensiunnya. Salah satu
contoh kasus yang bisa mendapatkan bantuan dari BMDP adalah
pemotongan dana pensiun karena sebab yang tidak jelas.

f) Badan Arbitrase Ventura Indonesia (BAVI)

BAVI adalah lembaga mediasi yang didirikan pada tahun 2014


oleh empat perusahaan: PT Sarana Jatim Ventura, PT Bahana Artha

13
Ventura, PT Pertamina Dana Ventura, dan PT Astra Mitra Ventura.
Lembaga ini fokus pada pemberian bantuan mediasi terkait dengan
masalah yang menyangkut modal ventura. Salah satu jenis masalah
yang mungkin timbul dari sektor keuangan ventura adalah bagi
hasil yang tidak sesuai dengan kontrak oleh pemilik modal ventura
atau pelanggaran kontrak bagi hasil yang dilakukan pemodal
ventura.

g) Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI)

BMPPI merupakan lembaga mediasi yang tergolong baru.


Lembaga ini didirikan organisasi-organisasi di sektor pembiayaan
dan pegadaian bersama dengan PT Pegadaian pada tahun 2014.
Masalah yang diselesaikan BMPPI adalah terjadinya kerusakan
atau kehilangan pada barang yang digadaikan. Apabila Anda
sebagai konsumen mengalami kejadian tersebut, Anda bisa
menghubungi BMPPI untuk mendapatkan bantuan penanganan
masalah.

Perlu diingat bahwa BMPPI lebih cenderung ke penanganan


masalah di pegadaian, bukan pembiayaan. Untuk masalah
pembiayaan, Anda bisa meminta mediasi ke BAMPI yang fokus ke
sengketa perusahaan pembiayaan dengan konsumennya.

h) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tidak hanya bertugas


menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, tetapi meliputi kegiatan
berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap pencantuman
klausul baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang
adanya pelanggaran ketentuan perlindungan konsumen serta
berbagai tugas dan kewenangan lainnya yang terkait dengan
pemeriksaan pelaku usaha yang diduga melanggar Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999. 2. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

14
adalah untuk menangani penyelesaian sengketa antara konsumen
dan pelaku usaha/produsen yang pada umumnya meliputi jumlah
nilai yang kecil.

i) Lembaga Kerja Sama Bipartit (LKS Bipartit)

LKS Bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi


mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu
perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur
pekerja/buruh. LKS Bipartit berfungsi sebagai forum komunikasi,
dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan, yang
bertujuan untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, dan berkeadilan di perusahaan.

Dilihat dari fungsinya, LKS Bipartit bukanlah lembaga yang


membuat keputusan, ataupun tempat melakukan perundingan terkait
sauatu hal baik yang bersifat normatif maupun non-normatif. Dalam
LKS Bipartit, baik pihak pengusaha maupun serikat pekerja/serikat
buruh hanya dapat melakukan aktivitas komunikasi dan konsultasi
dalam arti menyamaikan informasi, pandangan, pendapat ide dan
saran terkait ketenagakerjaan di perusahaan.

j) Lembaga Kerja Sama Tripartit (LKS Tripartit)

LKS Tripartit adalah Lembaga Kerjasama yang dibentuk untuk


mengatasi seluruh persoalan yang berhubungan dengan
ketenagakerjaan. Lembaga ini diisi oleh perwakilan serikat buruh,
pengusaha dan Pemerintah. Lembaga ini dibentuk sebagai forum
komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang persoalan
ketenagakerjaan yang melibatkan tenaga kerja, pengusaha dan
pemerintah dengan tugas utama menyatukan konsep, sikap dan
rencana dalam menghadapi masalah-masalah ketenagakerjaan, baik

15
berdimensi waktu saat sekarang yang telah timbul karena faktor-
faktor yang tidak diduga maupun untuk mengatasi hal-hal yang
akan dating. Dasar pembentukan LKS Tripartit ini adalah Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

3) Lembaga Arbitrase Internasional

Lembaga Arbitrase Internasional meliputi: (1). Court of Arbitration


of the International Chamber of Commerce (ICC), (2). The
International Center for Settlement of Investment Dispute (ISCID) dan
(3). The United Nations Commission on International Trade Law
(UNCITRAL).

a) Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce


(ICC) atau Kamar Dagang Internasional

ICC merupakan sebuah organisasi nirlaba internasional yang


bekerja mempromosikan dan mendukung perdagangan global dan
globalisasi. Berperan sebagai perwakilan sejumlah bisnis dunia
dalam ekonomi global, terhadap pertumbuhan ekonomi, pembuatan
lowongan kerja, dan kemakmuran. Sebagai sebuah organisasi
bisnis global, terdiri dari negara anggota, badan ini membantu
pembangunan global pada masalah bisnis. ICC memiliki akses
langsung ke pemerintah nasional di seluruh dunia melalui komite
nasionalnya.

Untuk mencapai tujuannya, ICC telah membuat sejumlah


aktivitas. ICC International Court of Arbitration merupakan sebuah
badan yang mendengar dan menyelesaikan sengketa pribadi antara
partai. Pembuatan kebijakan mereka dan pembelaannya
menjadikan pemerintah nasional, sistem PBB dan badan global
lainnya mengetahui pemandangan bisnis dunia pada beberapa isu

16
terhangat hari ini. International Chamber of Commerce (ICC)
didirikan tahun 1919 untuk melayani bisnis dunia dengan
mempromosikan perdagangan dan investasi, membuka pasar untuk
barang dan jasa, dan arus bebas pendapatan. Sekretariat
internasional organisasi dibentuk di Paris dan International Court of
Arbitration ICC didirikan tahun 1923. Awalnya mewakili sektor
pribadi Amerika Utara, Belgia, Britania, Italia dan Prancis,
akhirnya meluas untuk mewakili organisasi bisnis di sekitar 140
negara.8

b) The International Center for Settlement of Investment Dispute


(ISCID) atau Pusat Internasional untuk Penyelesaian Perselisihan
Investasi.

ICSID adalah lembaga arbitrase internasional yang didirikan


pada tahun 1966 untuk penyelesaian sengketa hukum dan konsiliasi
antara investor internasional. ICSID adalah bagian dari dan didanai
oleh Kelompok Bank Dunia , yang berkantor pusat di Washington,
DC, di Amerika Serikat. Ini adalah lembaga khusus multilateral
yang otonom untuk mendorong aliran investasi internasional dan
mengurangi risiko non-komersial dengan perjanjian yang dirancang
oleh Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Direktur Eksekutif
direktur pengembangan dan ditandatangani oleh negara-negara
anggota. Pada Mei 2016, 153 negara anggota yang sepakat sepakat
untuk menegakkan dan menegakkan penghargaan arbitrase sesuai
dengan Konvensi ICSID. 9

8
“International Chamber of Commerce”,
https://id.wikipedia.org/wiki/International_Chamber_of_Commerce.htm., 10 Mei 2020.
9
“International Centre for Settlement of Investment Disputes”,
https://en.wikipedia.org/wiki/International_Centre_for_Settlement_of_Investment_Disputes.htm.
, 10 Mei 2020.

17
c) The United Nations Commission on International Trade Law
(UNCITRAL) atau Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Perdagangan Internasional

UNCITRAL adalah anak perusahaan dari Majelis Umum


PBB (UNGA) yang bertanggung jawab untuk membantu
memfasilitasi perdagangan dan investasi internasional. Didirikan
oleh UNGA pada tahun 1966, mandat resmi UNCITRAL adalah
untuk mempromosikan harmonisasi dan penyatuan progresif
hukum perdagangan internasional melalui konvensi, undang-
undang model, dan instrumen lain yang membahas bidang-bidang
utama perdagangan, dari penyelesaian sengketa hingga pengadaan
dan penjualan barang.10

D. DAFTAR PUSTAKA

Arus Akbar Silondae & Wirawan B. Ilyas, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, Jakarta:
Salemba Empat, 2013.

Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, Cetakan Ketiga, Bandung: PT Citra Aditya


Bakti, 2008.

Erni Dwita Silambi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi dan Bisnis Melalui


Arbitrase Internasional (Studi Kasus Pertamina Vs Karaha Bodas), Jurnal
Ilmu Ekonomi & Sosial, Tahun III, Nomor 6, Oktober 2012.

“International Centre for Settlement of Investment Disputes”,


https://en.wikipedia.org/wiki/International_Centre_for_Settlement_of_Inv
estment_Disputes.htm., 10 Mei 2020.

10
“United Nations Commission on International Trade Law”,
https://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Commission_on_International_Trade_Law.htm.,
10 Mei 2020.

18
“International Chamber of Commerce”,
https://id.wikipedia.org/wiki/International_Chamber_of_Commerce.htm., 10 Mei
2020.

“Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah”,


http://www.rudipradisetia.com/2010/06/meringkas-sejarah-hukum-pidana-
di_21.htm., 10 Mei 2020.

“United Nations Commission on International Trade Law”,


https://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Commission_on_Internation
al_Trade_Law.htm., 10 Mei 2020.

19

Anda mungkin juga menyukai