Anda di halaman 1dari 14

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM BISNIS

KELOMPOK VII
Adryan Suwandhana : 2006200200
Rafiqatul Husna F : 2006200201
Johan Bhagaskara Marbun : 2006200202
Achmad Farizi N : 2006200203
Tiara Panjaitan : 2006200204
Aldi Aufa Tobing : 2006200205
Widya Syafitri K : 2006200206

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM DAGANG DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.WB.

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Dengan berkat rahmat dan karunia Allah SWT, sehingga
kami dapat menyusun makalah dengan judul “PENYELESAIAN SENGKETA DALAM
HUKUM BISNIS” ini tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan
tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Ibu Ida Nadirah,
Dr.,S.H.,M.H. yang telah memberikan tugas ini kepada kami dan juga kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan
yang setimpal dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Medan, 20 Mei 2021

Kelompok VII
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………...i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………….1


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………………....1
1.3 Tujuan……………………………………………………………………………………...1
1.4 Metode……………………………………………………………………………………..2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sengketa Bisnis……………………...…………………………………………3


2.2 Penyebab Timbulnya Sengketa Bisnis…………………………………………………..…4
2.3 Cara Penyelesaian Sengketa Bisnis………………………………………...………………4
2.4 Bentuk Upaya Penyelesaian Sengketa………………....……………………………….....7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………………………………......10
B. Saran……………………………………………………………………………………….10

DAFTAR PUSTAKA....……………………………………………………………………...11
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Belakangan ini aktivitas bisnis berkembang begitu pesat dan terus merambah ke berbagai
bidang, baik menyangkut barang maupun jasa. Bisnis merupakan salah satu pilar penopang
dalam upaya pendukung perkembangan ekonomi dan pembangunan. Dalam melakukan bisnis
tidak mungkin pelaku bisnis terlepas dari Hukum. Karena, Hukum sangat berperan dalam
berbisnis agar bisnis bisa berjalan dengan lancar, tertib, aman sehingga tidak ada pihak-pihak
yang dirugikan akibat adanya kegiatan bisnis tersebut, maka dari itu penting untuk kita
mengetahui darimana saja sumber hukum bisnis itu, apa saja ruang lingkup Hukum itu beserta
aspeknya dan bagaimana cara kita menjadi seorang yang menggeluti dunia bisnis sesuai dengan
hukum bisnis dan apa saja fungsi dari hukum bisnis.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian sengketa bisnis ?

2. Bagaimana cara penyelesaian sengketa bisnis ?

3. Bentuk upaya apa saja bisa menyelesaikan sengketa bisnis ?

1.3. Tujuan

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen dalam mata kuliah
Hukum. Dagang dan Bisnis. Makalah ini juga bisa digunakan untuk menambah wawasan atau
pengetahuan bagi Mahasiswa, baik dalam belajar maupun kehidupan. Membahas penyelesaian
sengketa bisnis terhadap Dunia Hukum Bisnis dan Menambah Ilmu Pengetahuan mengenai
Hukum Bisnis. Pembaca juga bisa menggunakan Makalah ini untuk langkah menuju ke
Pengetahuan yang lebih luas, sehingga kedepannya tercipta Sumber Daya Manusia ( SDM ) yang
UNGGUL.

1.4. Metode
Metode penulisan yang digunakan dalam dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Browsing Internet yaitu pengambilan data dari internet.

Demikian metode yang digunakan dalam makalah ini, yang kesemuanya membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN SENGKETA BISNIS

Pengertian Sengketa Bisnis Menurut Maxwell J. Fulton “A Commercial disputes is one


which arises during the course of the exchange or transaction process is central to market
economy” Di dalam Kamus Bahasa Indonesia Sengketa adalah Pertentangan atau Konflik.
Konflik berarti adanya Oposisi, atau Pertentangan antara Kelompok atau Organisasi terhadap
satu objek permasalahan.

Dari Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa sengketa adalah perilaku pertentangan
antara kedua orangtua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya
dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.

Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang melatar belakanginya,
terutama karena adanya conflict of interest diantara para pihak. Sengketa yang timbul diantara
para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan
sengketa bisnis. Secara rinci sengketa Bisnis dapat berupa sengketa sebagai berikut :

 Sengketa Perniagaan
 Sengketa Perbankan
 Sengketa Keuangan
 Sengketa Penanaman Modal
 Sengketa Perindustrian
 Sengketa HKI ( Hak Kekayaan Intelektual )
 Sengketa Konsumen
 Sengketa Kontrak
 Sengketa Pekerjaan
 Sengketa Perburuhan
 Sengketa Perusahaan
 Sengketa Hak
 Sengketa Properti
 Sengketa Pembangunan Konstruksi

2.2. PENYEBAB TIMBULNYA SENGKETA BISNIS

A. Scarce Resource
Kelangkaan sumber-sumber yang signifikan terhadap eksistensi partisipan konflik. Pada
Kondisi ini, pendekatan yang paling sering digunakan adalah kompetisi yang bermuara pada
zero-sum game ( satu pihak menang, yang lain kalah ).

B. Ambiguous Jurisdictions

Kondisi dimana batas-batas ( kewenangan atau hak ) saling dilanggar, sehingga satu
pihak mengambil keuntungan yang seharusnya juga menjadi bagian dari keuntungan pihak lain.

C. Intimacy

Keterdekatan yang sering kali bermuara pada konflik mendalam jika perbedaan-
Perbedaan yang terjadi tidak dikelola dengan matang. Konflik berbasis Intimacy biasanya
bersifat lebih mendalam dibanding partisipan yan tidak memiliki pengalaman “kenal” satu sama
lain.

D. We-They Distinctions

Terjadi dalam kondisi dimana orang menciptakan diskriminasi yang sifatnya


berseberangan.

2.3. CARA PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

1. Dari Sudut Pandang pembuat Keputusan

Adjukatif = Mekanisme penyelesaian yang ditandai dimana kewenangan pengambilan


dilakukan oleh pihak ketiga dalam sengketa diantara para pihak.

Konsensual = Cara penyelesaian sengketa secara kooperatif/kompromi untuk mencapai


/Kompromi penyelesaian yang bersifat win-win solution.

Quasi Adjukatif = Merupakan kombinasi antara unsur konsensual dan adjukatif.

2. Dari Sudut Pandang Prosesnya

A. Litigasi
1. Pengadilan Umum

Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, dan mempunyai


karakteristik :

 Prosesnya sangat Formal


 Keputusan dibuat oleh pihak Ketiga yang ditunjuk oleh Negara ( Hakim )
 Para Pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
 Sifat keputusan Memaksa dan Mengikat
 Persidangan Bersifat Terbuka

2. Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga adalah Pengadilan Khusus yang berada di lingkungan


Pengadilan Umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan memutuskan
Permohonan Pernyataan Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ( PKPU
) dan Sengketa HAKI. Pengadilan Niaga mempunyai karakteristik sebagai berikut :

 Prosesnya sangat Formal


 Keputusan dibuat oleh pihak Ketiga yang ditunjuk oleh Negara ( Hakim )
 Para Pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
 Sifat keputusan Memaksa dan Mengikat
 Persidangan Bersifat Terbuka
 Waktu Singkat
 Orientasi Pada fakta umum

B. Non Litigasi

Selain itu, banyak cara menyelesaikan suatu pertikaian diantaranya yaitu dengan
Arbitrase, Negoisasi, Mediasi, dan Konsiliasi. Ketiga cara penyelesaian ini bisa
digunakan agar pertikaian dapat segera teratasi bermula dari penyelesaian dengan
membicarakan baik-baik diantara kedua pihak yang bertikai, berlanjut bila pertikaian
tidak dapat diselesaikan diantara mereka maka dibutuhkan pihak ketiga yaitu sebagai
mediasi, selanjutnya jika tidak dapat melalui mediasi maka dibutuhkan pihak yang tegas
untuk menyeesaikan permasalahan yang ada. Jika tidak dapat diselesaikan juga maka
membutuhkan badan hukum seperti pengadilan untuk menyelesaikan masalah tersebut,
cara ini disebut dengan litigasi. Secara keseluruhan cara-cara tersebut dapat digunakan
sehingga pertikaian dapat terselesaikan.
Lembaga Penyelesaian Non Litigasi melalui Mekanisme :

A. Arbitrase
Istilah Arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” ( Bahasa Latin ) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan.

Selain itu, pengertian Arbitrase juga termuat dalam pasal 1 angka 8 UU Arbitrase
dan Alternatif penyelesaian Sengketa Nomor 30 Tahun 1999. “Lembaga Arbitrase adalah
badan yang dipilih oleh Para Pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.

Putusan Arbitrase bersifat Mandiri, final dan mengikat ( seperti putusan yang
telah mempunyai kekuatan Hukum tetap ) sehingga ketua pengadilan tidak
diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan Arbitrase Nasional
tersebut.

B. Negoisasi

Negoisasi adalah proses yang melibatkan upaya seseorang untuk mengubah atau
tak mengubah sikap dan perilaku Orang lain. Tujuannya untuk mencapai kesepakatan
yang menyangkut kepentingan timba balik dari pihak-pihak tertentu dengan sikap, sudut
pandang, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda satu dengan yang lain. Negoisasi
termasuk suatu bentuk pertemuan antara dua pihak dimana kedua belah pihak bersama-
sama mencari hasil yang baik, demi kepentingan kedua pihak.

C. Mediasi

Mediasi adalah Proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau


mufakat para pihak dengan dibantu oleh Mediator yang tidak memiliki kewenangan
memutus dan memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah
perundingan yang ensensinya sama dengan proses Musyawarah atau Konsensus, maka
tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak suatu gagasan atau penyelesaian
selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan
dari para pihak.

D. Konsiliasi

Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk


mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak
memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dan konsiliasi. Akan tetapi,
rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 dan alenia 9 penjelasan umum,
yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga untuk menyelesaikan sengketa.

2.4. BENTUK UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA

1. Upaya Administratif
a. Pengertian Upaya Administratif

Upaya Administratif adalah seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 48


ayat 1, yaitu suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau Badan Hukum
Perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara. Dalam
Kepustakaan Hukum Tata Usaha Negara ditemukan beberapa istilah yang lazim
digunakan untuk menyebut istilah upaya Administrasi Semu.

b. Bentuk Upaya Administratif

Dari penjelasan Pasal 48 ayat 1 dapat diketahui bahwa bentuk dari upaya
administratif dapat berupa :

1) Keberatan, yaitu Prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau Badan
Hukum Perdata yang tidak puas terhadap Keputusan Tata Usaha Negara, yang
penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut.

2) Banding Administratif, yaitu Prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau
Badan Hukum Perdata yang tidak puas terhadap Keputusan Tata Usaha Negara,
yang penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, dilakukan oleh atasan dari Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.

2. Upaya Gugatan

Disamping melalui upaya Administratif, penyelesaian sengketa Tata Usaha


Negara dilakukan melalui gugatan. Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melalui
upaya administrative relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa
Tata Usaha Negara melalui gugatan, karena penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara
melalui upaya administrative hanya terbatas pada beberapa sengketa Tata Usaha Negara
tertentu saja. Dengan adanya ketentuan tentang penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara
melalui upaya administrative sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat 1 dan 2.

Pasal 56 menentukan gugatan harus memuat Nama, Kewarganegaraan, Tempat


Tinggal dan Pekerjaan Penggugat atau Kuasanya, Nama Jabatan, dan Nama Tempat
Tinggal Tergugat, Dasar Gugatan-Gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh
pengadilan. Apabila Gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat,
maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah. Gugatan sedapat mungkin juga disertai
keputusan Tata Usaha Negara yang Disengketakan oleh Penggugat.

Syarat-syarat Gugatan untuk Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dalam


pasal 56 ayat 1 diatas, untuk perkara perdata di dalam HIR (Herzien Inlandsch
Reglement) atau RBG (Rechtreglement voor de Buitengewesten) tidak ada
ketentuannya, sehingga terpaksa syarat-syarat gugatan untuk perkara Perdata berpedoman
pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3.

Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 56 ayat 1 dapat diketahui bahwa syarat-
syarat yang harus dimuat dalam surat gugatan adalah sebagai berikut :

a) Identitas dari penggugat dan tergugat


b) Dasar Gugatan
c) Hal yang diminta untuk diputus oleh Pengadilan

Syarat-syarat gugatan tersebut harus mendapat perhatian, karena jika tidak


dipenuhi, akan menjadi alasan dari Ketua Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara untuk memutus dengan penetapan bahwa Gugatan tidak diterima atau tidak
berdasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat 1 huruf b.

3. Perdamaian

Gugatan untuk penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara adalah gugatan tentang
sah atau tidak sahnya keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan terjadinya
sengketa Tata Usaha Negara. Mengingat gugatan untuk penyelesaian sengketa
menyangkut tentang sah atau tidak sahnya keputusan, maka sebenarnya untuk
penyelesaian sengketa tidak dikenal adanya perdamaian, yang terbukti dalam UU Nomor
5 Tahun 1986 sendiri, tidak ada ketentuan tentang perdamaian seperti yang terdapat
dalam penyelesaian perkara perdata.

Oleh karena itu, sudah tepat jika Makamah Agung memberikan petunjuk bahwa
kemungkinan adanya perdamaian antara para pihak-pihak hanya terjadi diluar
persidangan. Jika antara Pihak dalam sengketa diluar pemeriksaan siding Pengadilan
sampai terjadi perdamaian. Surat Edaran Mahkamah Agung RI tersebut memberikan
petunjuk lebih lanjut sebagai berikut :

 Penggugat mencabut gugatannya secara resmi dalam sidang terbuka untuk umum
dengan menyebutkan alasan pencabutannya
 Apabila pencabutan gugatan dimaksud dikabulkan, maka Hakim memerintahkan
agar Panitera mencoret gugatan tersebut dari register perkara

 Perintah pencoretan tersebut diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum

Yang menarik perhatian dari petunjuk Makamah Agung ( MA ) tersebut adalah


pencabutan gugatan oleh penggugat dalam sidang terbuka untuk umum tersebut harus
mendapat persetujuan dan pengadilan, maksudnya agar pengadilan dapat mengadakan
penelitian apakah dalam pencabutan gugatan oleh Penggugat ini terdapat unsur paksaan,
mengelirukan atau tipuan yang dilakukan oleh Tergugat.

Jika sampai ternyata dijumpai adanya unsur tersebut, dengan sendirinya


pengadilan tidak akan mengabulkan pencabutan gugatan yang dilakukan oleh Penggugat.
Petunjuk dari Mahkamah Agung RI tersebut dapat dimengerti, karena dalam
penyelesaian sengketa, kedudukan Tergugat lebih dominan jika dibandingkan dengan
kedudukan Penggugat.

Menegakkan Keadilan itu tidak hanya dituntut dalam hal yang berkaitan dengan
perbuatan dan ucapan ataupun kedua-duanya sekaligus, tetapi juga diperintahkan dalam
transaksi bisnis, sebagaimana termaktub dalam Firman Allah yang artinya :

“ Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca
itu.” ( QS. Ar-Rahman : 55 )

“ Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca
yang benar. Itulah yang lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya.”
( QS. Al-Isra’:17 )

Pada setiap hal keadilan memang harus ditegakkan, termasuk dalam transaksi
bisnis sehingga tidak merugikan pihak lain. Seorang pebisnis wajib untuk tidak menakar
dengan dua takaran atau menimbang dengan dua timbangan, yaitu satu timbangan hanya
digunakan untuk membeli, dan satunya lagi khusus digunakan untuk menjual. Karena
mengurangi timbangan dan takaran merupakan tindakan yang pernah dilakukan oleh
kaum Nabi Syu’aib dan akhirnya Allah memusnahkan mereka.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sengketa Bisnis adalah Perilaku Pertentangan antara kedua Orang tua Lembaga atau
lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi
salah satu diantara keduanya yang melakukan bisnis atau kerjasama.

Cara menyelesaikan sengketa bisnis tersebut bisa dilalui dengan cara Adjukatif,
Konsensual/Kompromi, Quasi Adjukatif, Litigasi, Non Litigasi.

Bentuk upaya menyelesaikan sengketa bisnis terdiri dari Upaya Administratif, Upaya
Gugatan, dan Perdamaian

B. SARAN

Kritik dan saran sangat saya harapkan dalam makalah ini, segala kekurangan yang ada dalam
makalah ini mungkin karena kelalaian atau ketidaktahuan saya dalam penyusunannya. Segala hal
yang tidak relevan, kekurangan dalam pengetikan atau bahkan ketidakjelasan dalam makalah ini
merupakan proses saya dalam memperlajari bidang studi ini dan diharapkan kami yang menulis
ataupun bagi pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.academia.edu/6429290/PENDAHULUAN_HUKUM_BISNIS, diakses 23 Maret
2017, 10:15 WIB

Samadani Adil, Dasar-Dasar Hukum Bisnis, Jakarta: MitraWacana Media, 2013

Wiyono R, Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Kadir A, Hukum Bisnis Syariah Dalam Al-Quran, Amzah

Anda mungkin juga menyukai