Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH HUKUM BISNIS SYARIAH

“CARA – CARA UNTUK MENYELESAIKAN SUATU SENGKETA


BISNIS”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Bisnis Syariah
Dosen pengampu : Indra Rahmatullah, SH.I, MH.

Disusun oleh :
Kelompok 13

Hafidh Muhammad Nazmi 11190820000089


Alfira Supratiwi 11190820000092
Annisa Aprillia Fitri 11190820000098
Theresa Sito Masriyah 11190820000099

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI 3C


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah Hukum Bisnis
Syariah yang berjudul “Cara-cara untuk Menyelesaikan Suatu Sengketa Bisnis” ini dengan
baik. Tidak lupa kami haturkan sholawat dan salam kepanda baginda nabi besar Muhammad
saw. Yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang.

Kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada kepada bapak Indra Rahmatullah,
SH.I, MH. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Bisnis Syariah dan tidak lupa kepada
semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penyusunan
makalah ini. Berkat dorongan serta bantuan mereka kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih banyak kekurangannya, maka dari
itu kami meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan.
Kami sangat memerlukan kritik dan saran dari para pembaca untuk membantu kesempurnaan
makalah ini. kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita terutama mengenai Hukum Bisnis Syariah. Semoga makalah
sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Tangerang , Desember 2020

Kelompok 13

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
1.3 Tujuan ............................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 2

2.1 Sengketa Bisnis ................................................................................................. 2


2.1.1 Pengertian Sengketa Bisnis .................................................................... 2
2.1.2 Urgensi Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia, dan Prosedur
yang Digunakan Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis ........................... 3
2.1.3 Model-model Alternatif Penyelesaian Sengketa ..................................... 5
2.2 Penyelesaian Sengketa di Dalam Pengadilan (Pengadilan Agama) ..................... 7
2.2.1 Perdamaian (Sulhu) atau sistem ADR ..................................................... 7
2.2.2 Arbitrase Syari’ah (Tahkim) ................................................................... 8
2.2.3 Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi) ............................... 9
2.3 Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Arbitrase Syariah) ......................... 10
2.3.1 Pedoman Arbitrase Syariah ……………………………………………... 11
2.3.2 Mekanisme Penyelesaian Sengketa …………………………...………… 11
2.3.3 Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase …………...……....... 12
2.3.4 Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase ……………………………………12
2.3.5 Peranan Arbitrase dalam Pengadilan Agama …………………………….13

BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 14

3.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 14


3.2 Saran ............................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan bisnis sudah banyak dan biasa kita jumpai dikehidupan sehari-hari baik menjadi
pelaku didalamnya sebagai penjual maupun pembeli. Dalam kegiatan bisnis terdapat banyak
aktivitas transaksi dengan pelanggan yang dari aktivitas tersebut pasti terdapat ketidak
nyamanan atau ketidak cocokan dari salah satu pihak yang dapat menimbulkan sengketa

Ketika ada suatu persengketaan maka harus diselesaikan antara kedua pihak agar cepat ditemui
titik penyelesaian yang dapat memperlancar kegiatan yang akan dilakukan selanjutnya oleh
keduanya. Jika penyelesaian sengketa terhambat maka terhambat pula aktivitas keduanya dan
bagi penjual yang memiliki pelanggan maka akan merugikan pelanggan lainnya untuk
melakukan aktivitas bisnis.

Sehubungan dengan itu perlu dicari dan dipikirkan cara dan sistem penyelsaian sengketa yang
cepat, efektif dan efisien. Untuk itu sengketa yang dapat menyesuaikan diri dengan laju
perkembangan perekonomian dan perdagangan di masa datang. Dalam menghadapi liberalisasi
perdagangan harus ada lembaga yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki kemampuan
sistem menyelesaikan sengketa dengan cepat dan biaya murah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud Sengketa Bisnis?
2. Bagaimana Urgensi Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia, dan Prosedur
yang Digunakan Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis?
3. Apa saja Model-model Alternatif Penyelesaian Sengketa?
4. Bagaimana Penyelesaian Sengketa didalam Pengadilan (Pengadilan Agama)?
5. Bagaimana Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Arbitrase Syariah)?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami pengertian dari sengketa bisnis
2. Mengetahui model-model alternative penyelesaian sengketa
3. Mengetahui pengertian penyelesaian sengketa di dalam pengadilan
4. Mengetahui jenis-jenis penyelesaian sengketa di dalam pengadilan
5. Mengetahui Penyelesaian sengketa bisnis syariah melalui lembaga arbitrase syariah
6. Mengetahui Pedoman Arbitrase Syariah
7. Mengetahui Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
8. Mengetahui Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase
9. Mengetahui Peranan Arbitrase dalam Pengadilan Agama

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sengketa Bisnis

2.1.1 Pengertian Sengketa Bisnis

Dalam kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti
adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi terhadap satu objek
permasalahan. Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu –
individu atau kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama
atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dngan yang lain.
Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal
dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan
akibat hukum antara keduanya.

Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku pertentangan antara
kedua orang atau lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya
dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerja
sama bisnis. mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin
dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan
berbagai alasan dan masalah yang melatar belakanginya, terutama karena adanya conflict of
interest diantara para pihak. Sengketa yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam
berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis. Secara rinci
sengketa bisnis dapat berupa sengketa sebagai berikut :

a. Sengketa perniagaan
b. Sengketa perbankan
c. Sengketa Keuangan
d. Sengketa Penanaman Modal
e. Sengketa Perindustrian
f. Sengketa HKI
g. Sengketa Konsumen
h. Sengketa Kontrak
i. Sengketa pekerjaan
j. Sengketa perburuhan
k. Sengketa perusahaan
l. Sengketa hak
m. Sengketa property
n. Sengketa Pembangunan konstruksi

2
2.1.2 Urgensi Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia, dan Prosedur yang
Digunakan Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis
Penyelesaian sengketa secara konvensional dilakukan melalui sebuah badan yang disebut
dengan pengadilan. Sudah sejak ratusan bahkan ribuan tahun badan-badan pengadilan ini telah
berkiprah. Akan tetapi, lama kelamaan badan pengadilan ini semakin terpasung dalam tembok-
tembok yuridis yang sukar ditembusi oleh para pencari keadilan, khususnya jika pencari
keadilan tersebut adalah pelaku bisnis dengan sengketa yang menyangkut dengan bisnis. Maka
mulailah dipikirkan alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan sengketa, diantaranya :

a. Dari sudut pandang pembuat keputusan


1. Adjudikatif : mekanisme penyelesaian yang ditandai dimana kewenangan pengambilan
keputusan pengambilan dilakukan oleh pihak ketiga dalam sengketa diantara para
pihak.
2. Konsensual/Kompromi : cara penyelesaian sengketa secara kooperatif/kompromi untuk
mencapai penyelesaian yang bersifat win-win solution.
3. Quasi Adjudikatif : merupakan kombinasi antara unsur konsensual dan adjudikatif.

b. Dari sudut pandang prosesnya


1. Litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan dengan
menggunakan pendekatan hukum. Lembaga penyelesaiannya :
a) Pengadilan Umum
Peradilan Umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang
menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.
Peradilan umum meliputi: Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibu kota
kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan
Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, mempunyai karakteristik :
1) Prosesnya sangat formal
2) Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
3) Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4) Sifat keputusan memaksa dan mengikat (Coercive and binding)
5) Orientasi ke pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah)
6) Persidangan bersifat terbuka

b) Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan
umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan memutuskan Permohonan
Pernyataan Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan sengketa
HAKI. Pengadilan Niaga mempunyai karakteristik sebagai berikut :

1) Prosesnya sangat formal


2) Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
3) Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4) Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding)

3
5) Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang salah)
6) Proses persidangan bersifat terbuka
7) Waktu singkat.

2. Non Litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan tidak
menggunakan pendekatan hukum formal.Lembaga penyelesaiannya melalui
mekanisme :

a) Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata yang bersifat swasta di luar
pengadilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa, di mana pihak penyelesai sengketa (arbiter) tersebut
dipilih oleh para pihak yang bersangkutan. Yang terdiri dari orang-orang yang tidak
berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan, orang-orang mana akan memeriksa
dan memberi putusan terhadap sengketa tersebut.

Orang yang bertindak untuk menjadi penyelesai sengketa dalam arbitrase disebut
dengan “arbiter”. Arbiter ini, baik tunggal maupun majelis yang jika majelis biasanya
terdiri dari 3 (tiga) orang. Di Indonesia syarat-syarat untuk menjadi arbiter adalah
sebagai berikut :

1) Cakap dalam melakukan tindakan hukum.


2) Berumur minimal 35 (tiga puluh lima) tahun.
3) Tidak mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua
dengan salah satu pihak yang bersengketa.
4) Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan
arbitrase.
5) Mempunyai pengalaman atau mengusai secara aktif dalam bidangnya paling
sedikit selama 15 (lima belas) tahun.
6) Hakim, jaksa, paniteran, dan pejabat peradilan lainnya tidak boleh menjadi
arbiter.

b) Negosiasi
Sebuah interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling
menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan untuk mendapatkan solusi dari
yang dipertentangkan. Pola Perilaku dalam Negosiasi:
1) Moving against (pushing): menjelaskan, menghakimi, menantang, tak menyetujui,
menunjukkan kelemahan pihak lain.
2) Moving with (pulling): memperhatikan, mengajukan gagasan, menyetujui,
membangkitkan motivasi, mengembangkan interaksi.
3) Moving away (with drawing): menghindari konfrontasi, menarik kembali isi
pembicaraan, berdiam diri, tak menanggapi pertanyaan.
4) Not moving (letting be): mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian pada
“here and now”, mengikuti arus, fleksibel, beradaptasi dengan situasi.

4
c) Mediasi
Negosiasi dengan bantuan pihak ketiga. Dalam mediasi yang memainkan peran utama
adalah pihak-pihak yang bertikai. Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai
pendamping,pemangkin dan penasihat. Prosedur Untuk Mediasi :
1) Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian
majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
2) Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada
mediator berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.
3) Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya
perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian
masing-masing pihak yang berperkara.

d) Pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari
berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus
atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri-ciri penting dari mediator adalah :
a) Netral
b) Membantu para pihak
c) Tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian

2.1.3 Model-model Alternatif Penyelesaian Sengketa


Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk
kerjasama bisnis, yang meningkat dari hari ke hari. Semakin meningkatnya kerjasama bisnis,
menyebabkan semakin tinggi pula tingkat sengketa diantara para pihak yang terlibat
didalamnya.

Sebab-sebab terjadinya sengketa diantaranya :

a) Wanprestasi.
b) Perbuatan melawan hukum.
c) Kerugian salah satu pihak.
Berikut ini beberapa model penyelesaian sengketa selain pengadilan, yaitu sebagai berikut:

1. Sistem Mediation

Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan
demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Dari
pengertian di atas, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai
terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan).
Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling berhadapan
antara yang satu dengan yang lain. Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak
ketiga yang netral. Peran dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas
penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi
adalah compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam mencari kompromi, mediator

5
memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan.
Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan terjebak pada yang dikemukakan
Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-
masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya
akan terjadi jalan buntu (there is no the way).

2. Sistem Minitrial

Sistem yang lain hampir sama dengan mediasi ialah minitrial. Sistem ini muncul di Amerika
pada tahun 1977. Jadi kalau terjadi sengketa antara dua pihak, terutama di bidang bisnis,
masing-masing pihak mengajak dan sepakat untuk saling mendengar dan menerima persoalan
yang diajukan pihak lain:

a) Setelah itu baru mereka mengadakan perundingan (negotiation).


b) Sekiranya dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang dapat
diselesaikan, mereka tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
3. Sistem Concilition
Konsolidasi (conciliation), dapat diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk
ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada
hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
a) Pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai
conciliator atau majelis pendamai,
b) Setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa
dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang
digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang
ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim.

Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti
Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol
sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melalui konsiliasi daripada
mengajukan ke pengadilan.

4. Sistem Adjudication

Sistem Adjudication merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang baru
berkembang di beberapa negara. Sistem ini sudah mulai populer di Amerika dan Hongkong.
Secara harafiah, pengertian “ajuddication” adalah putusan. Dan memang demikian
halnya. Para pihak yang bersengketa sepakat meminta kepada seseorang untuk menjatuhkan
putusan atas sengketa yang timbul diantara mereka:

a) Orang yang diminta bertindak dalam adjudication disebut adjudicator


b) Dia yang berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai HAIM (act as judge)
c) Oleh karena itu, dia diberi hak mengambil putusan (give decision)

6
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan melalui sistem adjudication adalah sengketa yang
sangat khusus dan kompleks (complicated). Tidak sembarangan orang dapat menyelesaiakan,
karena untuk itu diperlukan keahlian yang khusus oleh seorang spesialis profesional.

5. Sistem Arbitrase

Mengenai arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada tahun
1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai salah satu sistem
alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selama dua abad.Sekarang semua
negara di dunia telah memiliki Undang-undang arbitrase.

Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian, umurnya
sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang
terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.

Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi,
seperti:

a) Sederhana dan cepat (informal dan quick)


b) Prinsip konfidensial
c) Diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara
profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga
dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication.

2.2 Penyelesaian Sengketa di Dalam Pengadilan (Pengadilan Agama)

Pengadilan agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu. Sebagai institusi penegak hukum,
peradilan agama harus kuat status dan kedudukannya sehingga dapat memberikan kepastian
hukum kepada para pencari keadilan.

Mekanisme penyelesaian sengketa bisnis syariah yang bersifat perdata secara umum dapat
diselesaikan melalui 3 alternatif ,Pertama ditempuh melalui perdamaian atau yang dikenal
dengan sistem ADR (Alternative Dispute Resolution), Kedua melalui arbitrase Syariah
(Tahkim), dan Ketiga, melalui jalur litigasi (proses peradilan di Pengadilan Agama atau
Pengadilan Negeri, tergantung klausa perjanjian yang disepakati). Ketiga alternatif tersebut
sebagai berikut:

2.2.1 Perdamaian (Sulhu) atau sistem ADR (Alternative Dispute Resolution).


Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan perselisihan, ialah
melalui cara damai. Untuk mencapai hakekat perdamaian, prinsip utama yang perlu
dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada Allah (Al-Qur’an) dan
RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan. Landasan hukum penyelesaian
sengketa secara damai tertuang dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa perjanjian yang dibuat

7
sesuai undang-undang akan berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, artinya
bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian, menentukan klausul perjanjian hingga
penyelesaian sengketa jika di kemudian hari dapat terjadi sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selain itu pula dalam Undang-undang No.
4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa sangat memungkinkan proses
penyelesaian sengketa secara damai sepanjang para pihak menghendaki. Dengan landasan
hukum tersebut, beberapa pihak memilih sistem damai dalam penyelesaian sengketa syariah.
Penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga peradilan dinilai kurang efektif oleh para pelaku
bisnis, karena:
a) Penyelesaian perkara yang yang lambat dan membuang waktu.
b) Biaya perkara mahal.
c) Peradilan tidak responsif dengan kepentingan umum.
d) Putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa.
e) Kemampuan Hakim bersifat generalis
f) Putusan kalah menang
Mardani mengemukakan keuntungan penyelesaian sengketa secara damai antara lain:

a) Kesukarelaan dalam berproses


b) Prosedur cepat
c) Hemat waktu
d) Hemat biaya
e) Terpelihara hubungan baik antarpihak yang bersengketa.
Dengan demikian, penyelesaian sengketa secara non litigasi jauh lebih menguntungkan dari
penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Penyelesaian sengketa secara non litigasi
juga akan memberikan manfaat bagi badan peradilan karena mecegah penumpukan perkara.

Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura) untuk mencapai
mufakat di antara para pihak yang berselisih. Dengan musyawarah yang mengedepankan
prinsip- prinsip syari’at, diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat diselesaikan.

2.2.2 Arbitrase Syari’ah (Tahkim)


Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Menurut
Steven H. Gifts bahwa arbitrase (Tahkim) adalah Suatu pengajuan sengketa, berdasarkan
perjanjian antara para pihak, kepada orang-orang yang dipilih sendiri oleh mereka untuk
mendapatkan suatu keputusan. Saat ini telah ada lembaga khusus Badan Arbitrase Syariah
Nasional(Basyarnas) yang diharapkan mampu menyelesaikan segala bentuk sengketa
muamalat dan perdata yang muncul dikalangan umat muslim.
Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas) sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Lembaga
keuangan Syariah mempunyai tujuan:
a) Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalat/
perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain.

8
b) Menerima permintaan yang diajukan, oleh para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa
adanya suatu sengketa untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai
suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.

Mekanisme penyelesaian sengketa bisnis syariah, selain ADR dan arbitrase (lembaga
Basyarnas) dapat pula melalui jalur peradilan agama (Litigasi), yaitu melalui Lembaga
Peradilan Agama sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama.

2.2.3 Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)


Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya, hakim
selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk mengetahui
substansinya serta hal ihwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara tersebut. Hal ini
perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara tersebut dalam proses
persidangan nantinya.

Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume tentang perkara yang ditanganinya sebelum
dimulainya proses pemeriksaan di persidangan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal
memeriksa perkara ekonomi syariah khususnya perkara perbankan syariah ada beberapa hal
penting yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum proses di persidangan dimulai. Adapun
hal-hal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu tersebut antara lain, yaitu:

a) Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung
klausa arbitrase

Inilah hal penting yang pertama-tama harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
memeriksa lebih lanjut perkara perbankan syariah yang diajukan ke pengadilan agama,
yakni memastikan terlebih dahulu bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani
tersebut bukan termasuk perkara perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula
arbitrase (arbitration clause).
Pentingnya memastikan terlebih dahulu apakah perkara tersebut termasuk sengketa
perjanjian yang mengandung klausula arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan
agar jangan sampai pengadilan agama memeriksa atau mengadili perkara yang ternyata
di luar jangkauan kewenangan absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara
tersebut sudah berjalan sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.

b) Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antar para pihak

Setelah dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani tersebut bukan
merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, lalu dilanjutkan
lainnya yang harus dilakukan adalah mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad yang
mendasari kerjasama para pihak yang menjadi sengketa tersebut.dengan
mengupayakan perdamaian bagi para pihak sesuai dengan langkah-langkah yang

9
dikemukakan di atas. Selanjutnya apabila upaya damai tersebut ternyata tidak berhasil,
hal penting

2.3 Penyelesaian sengketa bisnis syariah melalui lembaga arbitrase syariah

Dalam hukum Islam istilah arbitrase dapat dipadankan dengan kata tahkim, yang berasal dari
kata kerja hakkama yang berarti menjadikan seseorang sebagai penengah bagi suatu sengketa.
Abu Al’Ainain Abdul Fatah Muhammad dalam bukunya yang berjudul Al-Qadha wa Al-Itsbat
fi al fiqh Islami, mengatakan bahwa tahkim adalah bersandarnya dua orang yang bertikai
kepada seseorang yang mereka ridoi keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian mereka.

Istilah tahkim dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah berlindungnya dua pihak yang
bersengketa kepada orang yang mereka sepakati serta ikhlas menerima keputusannya untuk
menyelesaikan persengketaan mereka; berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada
orang yang mereka tunjuk (sebagai penengah) untuk memutuskan perselisihan yang terjadi di
antara mereka.

Sebagaimana diketahui arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (adhoc) maupun arbitrase
melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan
yang sengaja di bentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya Undang-undang No.30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada umumnya arbitrase ad-hoc
ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta
prosedur pelaksanaan yang yang telah disepakati oleh para pihak.

Arbitrase insitusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola leh berbagai badan arbitrase
berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan
arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Syari’ah
Nasional (Basyarnas), Badam Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), maupun yang
internasional seperti The Rules of Arbitration dari International Chamber of Commerce (ICC)
di Paris, The Arbitration Rules dari The 23Abdul Rahman Saleh, dkk., Arbitrase Islam di
Indonesia, BAMUI &BI, Jakarta, 1994,hal. 24. International Centre for Settlement of
Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan
sistem arbitrase sendiri-sendiri.

Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) sebagai salah satu lembaga yang menawarkan
jasa arbitrase untuk sektor bisnis ekonomi Islam atau bisnis berbasis syari’ah. Lembaga
arbitrase yang mengklaim berdasarkan hukum Islam. Sebagai suatu Badan Arbitrase,
Basyarnas bertujuan menyelesaikan perselisihan /sengketa keperdataan dengan prinsip
mengutamakan perdamaian/ishlah.

Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) berdiri secara otonom dan independen sebagai
salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari
dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya.
Bahkan, dari kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan
sengketa. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sengketa-sengketa bisnis

10
yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam dapat diselesaikan dengan
mempergunakan hukum Islam. Undang-undangan yang di dalamnya sudah memuat beberapa
hal berkaitan dengan kedudukan arbitrase syariah antara lain Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf, UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2.3.1 Pedoman Arbitrase Syariah

Pedoman arbitrase yang diterapkan di Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari tiga kriteria di
bawah ini:

1. Para arbiter yang ditugaskan untuk menangani suatu sengketa seyogyanya


mempertemukan kepentingan para pihak secara proporsional, berimbang, dan tidak
merugikan (menguntungkan) salah satu pihak saja. Dengan kata lain para arbiter
mengupayakan untuk menegakkan keadilan yang hakiki sesuai dengan ajaran Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul.
2. Nilai-nilai keadilan yang tercermin dalam Pancasila harus dijadikan sebagai salah satu
acuan pokok di dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase syariah.
3. Baik Arbitrase Nasional (BANI) maupun Arbitrase Syariah (Basyarnas) yang dikenal di
Indonesia ditinjau dari sudut tata hukum Indonesia, mempunyai kedudukan yang sama
dalam arti kedua lembaga itu harus diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.

2.3.2 Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Para Arbiter adalah orang-orang yang memiliki keahlian (expertise) dan putusan arbitrase
bersifat final serta mengikat para pihak. Selain itu tidak ada kemungkinan banding dan kasasi
terhadap putusan arbitrase.

Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas) sebagai alternatif penyelesaian sengketa di lembaga


keuangan syariah mempunyai tujuan, yaitu:

1. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalat/perdata


yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain.
2. Menerima permintaan yang diajukan, oleh para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa
adanya suatu sengketa untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu
persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.

Sedangkan yurisdiksi Basyarnas berdasarkan pasal/Anggaran Dasar Yayasan BAMUI


(sekarang Basyarnas), meliputi:

1. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa
dan lain-lain dimana para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan
penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan prosedur peraturan yang berlaku.
2. Memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai
persoalan berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para pihak.

11
Yurisdiksi Basyarnas di atas selaras dengan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.

2.3.3 Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

Hal-hal yang berkaitan dengan prosedur dan proses penyelesaian sengketa lembaga keuangan
syar’iyah melalui Basyarnas harus didasarkan pada UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Peraturan Prosedur Basyarnas (dulu BAMUI). Adapun ketentuan-ketentuan umum yang
terkait prosedur penyelesaian sengketa UU No. 30 Tahun 1999 sebagai berikut:

1. Pemeriksaan sengketa harus diajukan secara tertulis, namun demikian dapat juga secara
lisan apabila disetujui para pihak dan dianggap perlu oleh Arbiter atau Majelis Arbiter.
2. Arbiter atau Majelis Arbiter terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara pihak
yang bersengketa.
3. Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak
Arbiter atau Majelis Arbiter terbentuk, namun demikian dapat diperpanjang apabila
diperlukan dan disetujui para pihak.
4. Putusan arbitrase harus memuat kepala putusan yang berbunyi “Demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” nama singkat sengketa, uraian singkat
sengketa, pendirian cara pihak, nama lengkap dan alamat Arbiter, pertimbangan dan
kesimpulan Arbiter atau Majelis Arbiter mengenai keseluruhan sengketa, pendapat
masing-masing Arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam Majelis
Arbitrase, amar putusan, tempat dan tanggal putusan, dan tanda tangan Arbiter atau
Majelis Arbiter.
5. Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan.
6. Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan harus ditutup dan ditetapkan
hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase dan diucapkan dalam waktu paling
lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup.
7. Dalam waktu paling lama 14 hari setelah putusan diterima, para pihak dapat
mengajukan permohonan kepada Arbiter atau Majelis Arbiter untuk melakukan koreksi
terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu
tuntutan putusan.

Ketentuan-ketentuan prosedur di atas dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai


penyelesaian sengketa melalui arbitrase termasuk juga arbitrase syariah menjadi berlarut-
larut, sehingga dengan demikian dalam arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding,
kasasi maupun peninjauan kembali.

2.3.4 Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase

Plus minus suatu lembaga atau institusi sudah pasti ada, begitu juga halnya dengan lembaga
arbitrase. Di antara plus minus tersebut, sebagaimana dikutip Munir Fuady, adalah:

a. Kelebihan Arbitrase:
1. Prosedur tidak berbelit dan keputusan dapat dicapai dalam waktu relatif singkat.
2. Biaya lebih murah.

12
3. Dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum.
4. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih relaks.
5. Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbitrase.
6. Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter.
7. Dapat dipilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya.
8. Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi.
9. Keputusannya umumnya final dan mengikat (tanpa harus naik banding/kasasi.)
10. Keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan
dengan sedikit/ tanpa review sama sekali.
11. Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas.
12. Menutup kemungkinan untuk di lakukan “forum shopping”.

b. Kekurangan Arbitrase
1. Hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan bonafid.
2. Due process kurang terpenuhi.
3. Kurangnya unsur finalitas.
4. Kurangnya kekuatan untuk menggiring para pihak ke settlement.
5. Kurangnya kekuatan untuk menghadirkan barang bukti, saksi, dan lain-lain.
6. Kurangnya kekuatan untuk hal law enforcement dan eksekusi keputusan.
7. Dapat menyembunyikan sengketa dari “Public Security”.
8. Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif.
9. Kemungkinan timbulnya keputusan yang sating bertentangan satu sama lain karena
tidak ada sistem “precedent” terhadap keputusan sebelumnya, dan juga karena unsur
fleksibilitas dari arbiter. Karena itu, keputusan arbitrase tidak prediktif.
10. Kualitas keputusannya sangat bergantung kepada kualitas para arbiter.
11. Berakibat kurangnya upaya untuk mengubah sistem pengadilan konvensional yang ada.
Berakibat semakin tinggi rasa permusuhan kepada pengadilan.

2.3.5 Peranan Arbitrase dalam Pengadilan Agama

Dibentuknya institusi arbitrase; baik Bani maupun Basyarnas (dulu Bamui) dari awalnya
bertujuan untuk ikut “menjembatani” penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli, Mahkamah Agung menganjurkan
agar dalam setiap penyelesaian perkara perselisihan diupayakan melalui proses tahkim
(arbitrase).

Pasal 377 HIR yang menegaskan bahwa, boleh menyelesaikan sengketa melalui arbitrate,
dengan catatan dikehendaki dan disepakati para pihak serta dalam proses penyelesaiannya
tunduk kepada buku ketiga RV. Dibentuk Badan Arbitrase Nasional (BANI) yang diperkuat
dengan dikeluarkannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, begitu juga dengan
berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (Bamui – sekarang Badan Arbitrase Syariah
Nasional/basyarnas) diharapkan mampu menyelesaikan segala bentuk sengketa muamalat dan
perdata yang muncul di kalangan Umat Islam.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atau lembaga atau lebih yang
menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah
satu diantara keduanya. Penyelesaian sengketa secara konvensional dilakukan melalui
sebuah badan yang disebut dengan pengadilan tetapi terdapat alternatif lain untuk
menyelesaikan sengketa seperti: Adjudikatif, Konsensual/Kompromi dan Quasi
Adjudikatif. Dari sudut pandang prosesnya dalam menyelesaikan sengketa terdapat litigasi
dan non-litigasi.Penyebab sengketa karena adanya Sebab-sebab terjadinya sengketa yaitu,
Wanprestasi, Perbuatan melawan hukum dan Kerugian salah satu pihak.

Pengadilan agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu. Penyelesaian sengketa
bisnis syariah yang bersifat perdata secara umum dapat diselesaikan melalui 3 alternatif
,Pertama ditempuh melalui perdamaian atau yang dikenal dengan sistem ADR (Alternative
Dispute Resolution), Kedua melalui arbitrase Syariah(Tahkim), dan Ketiga, melalui jalur
litigasi

3.2 Saran

Penelitian memberikan khasanah pengetahuan dan informasi bahwa penyelesaian sengketa


ekonomi syariah melalui jalur non litigasi yaitu dengan Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS)masih berwenang dan memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai acuan
untuk memilih tempat penyelesaian (choice of forum)sesuai dengan akad.

14
DAFTAR PUSTAKA

Mardani, (Juni 2010). Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah, grafika, Jakarta.

Yusna Zaidah (2016). LEMBAGA ARBITRASE ISLAM DI INDONESIA, FakultasSyariah


IAIN Antasari Banjarmasin.

http://zakyahhikmawati.blogspot.com/2016/06/penyelesaian-sengketa-bisnis.html

https://business-law.binus.ac.id/2017/01/30/tata-cara-penyelesaian-perkara-ekonomi-syariah/

https://media.neliti.com/media/publications/40535-ID-penyelesaian-sengketa-bisnis-
syariah.pdf

https://qoridaulay.blogspot.com/2018/02/makalah-penyelesaian-sengketa-ekonomi.html

15

Anda mungkin juga menyukai