Anda di halaman 1dari 25

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PEMBIMBING

HUKUM BISNIS Khairul Ahyar, M. Sy

UIN SUSKA RIAU


MATERI KAJIAN :
“PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS”

Di susun oleh kelompok 4 :


Marzenda Zulmiantasya (11870324203)
Nela Putri Angggraeni (11870323906)
Sri Mustika Sari (11870324056)

SEMESTER DUA / LOKAL D

FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF QASIM RIAU

PEKANBARU

2019/1440 H
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat beserta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat kelak.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah atas limpah nikmat sehat-Nya, baik itu berupa
sehat fisik maupun akal fikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai tugas dari mata kuliah Hukum Bisnis dengan judul “penyelesaian sengketa
bisnis”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada bapak
Khairul Ahyar, M. Sy yang telah membimbing kami dalam mata kuliah Hukum Bisnis.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terimakasih.

Pekanbaru, 20 Mei 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................iii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG.......................................................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH...................................................................................................................2
1.3 TUJUAN PENULISAN.....................................................................................................................2
BAB II.........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
2.1 Pengertian Penyelesaian Sengketa Bisnis di luar pengadilan............................................................3
2.2 Negosiasi dan Mediasi.......................................................................................................................4
2.3 Arbitrase............................................................................................................................................7
2.4 Dasar Hukum dan Alasan Memilih Lembaga Arbitrase....................................................................7
2.5 Bentuk-bentuk Klausula dalam Perjanjian.........................................................................................9
2.6 Bentuk-bentuk arbitrasi...................................................................................................................12
2.7 Eksekusi putusan arbitrase dalam negri...........................................................................................14
2.8 Arbitrase asing.................................................................................................................................16
BAB III......................................................................................................................................................19
PENUTUP.................................................................................................................................................19
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................................19
3.2 Saran................................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Mengamati kegiatan bisnis yang jumlah transaksinya ratusan setiap hari tidak mungkin
dihindari terjadinya sengketa antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu
menutut pemecahan dan penyelsaian yang cepat.
Makin banyak dan luas kegiatan perdagangan frekuensi terjadi sengketa makin tinggi. Ini berarti
makin banyak sengketa harus diselsaikan.
Membiarkan sengketa dagang terlambat diselsaikan akan mengakibatkan perkembangan
pembangunan tidak efisien, produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami kemandulan dan
biaya produksi meningkat. Konsumen adalah pihak yang paling dirugikan, disamping itu
peningkatan  kesejahteraan dan kemajuan  sosial kaum pekerja juga terhambat
Kalaupun akhirnya hubungan bisnis ternyata menimbulkan sengketa di antara para pihak
yang terlibat, peranan penasihat hukum dalam menyelsaikan sengketa itu dihadapkan pada
alternative.
Secara konvensional, penyelsaian sengketa biasanya dilakukan secara litigasi atau
penyelsaian sengketa dimuka pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para pihak yang
bersengketa sangat antagonistis (saling berlawanan satu sama lain). Penyelsaian sengketa bisnis
model ini tidak direkomendasikan. Kalaupun akhirnya ditempuh, penyelesaian itu semata-
matasebagai jalan terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain diniali tidak
membuahkan hasil. Proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu yang lama
mengakibatkan perusahaan atau para pihak yang bersengketa mengalami ketidakpastian. Cara
penyelsaian seperti itu tidak diterima dunia binis melalui lembaga peradilan tidak selalu
menguntungkan secara adil bagi kepentingan para pihak yang bersengketa.
Sehubungan dengan itu perlu dicari dan dipikirkan cara dan sistem penyelsaian sengketa
yang cepat, efektif dan efisien. Untuk itu harus dibina dan diwujudkan suatu sistem penyelesaian
sengketa yang dapat menyesuaikan diri dengan laju perkembangan perekonomian dan
perdagangan di masa datang. Dalam menghadapi liberalisasi perdagangan harus ada lembaga
yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki kemampuan sistem menyelsaikan sengketa
dengan cepat dan biaya murah.
Di samping model penyelesaian sengketa konvensional secara konvensional melalui litigasi
sistem peradilan, dalam praktik di Indonesia dikenalkan pula model yang relatif baru. Model ini
cukup populer di Amerika Serikat dan Eropa yang dikenal dengan nama ADR (alternative
dispute resolution) yang diantaranya meliputi negoisasi, mediasi dan arbitrase. Penggunaan
model ADR dalam penyelesaian sengketa secara non-litigasi tidak menutup peluang
penyelesaian secara litigasi. Penyelesaian sengketa secara litigasi tetap dipergunakan manakala
penyelesaian secara nonlitigasi tersebut tidak membuahkan hasil. Jadi  penggunaan ADR adalah
sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan mepertimbangkan
segala bentuk efesiensinya dan untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus menguntungkan
bagi para pihak yang bersengketa

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang di atas, maka bisa dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut :
1. Apa itu penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan ?
2. Arti dari negoisasi dan mediasi ?
3. Apa itu arbitrase ?
4. Bagaimana bentuk-bentuk arbitrase ?
5. Bagaimana eksekusi putusan arbitrase ?
6. Apa itu arbitrase asing ?

1.3 TUJUAN PENULISAN


1. Faham akan sengketa bisnis
2. Mengerti dengan negoisasi dan mediasi
3. Tau arti dari arbitrase
4. Paham akan bentuk-bentuk arbitrase
5. Mengerti eksekusi putusan arbitrase
6. Mengerti apa itu arbitrase asing

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penyelesaian Sengketa Bisnis di luar pengadilan


Pengertian sengketa bisnis menurut Maxwell J. Fulton “a commercial disputes is one which
arises during the course of the exchange or transaction process is central to market economy”.
Dalam kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti
adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi terhadap satu objek
permasalahan.
Dalam kamus besar bahasa indonesia sengketa diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan
perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, perkara yang kecil dapat juga menimbulkan
sengketa ataupun perkara besar seperti daerah yang menjadi rebutan, pertikaian, perselisihan
yang akhirnya dapat diselesaikan dengan cara pengadilan (Litigasi) maupun diluar pengadilan
(Non-litigasi).
Penyelesaian Sengketa diluar pengadilan disebut Non-litigasi atau juga sering disebut
sebagai alternative dispute resolutions  (ADS) yang berarti alternatif penyelesaian sengketa
(APS). Di Indonesia, APS sudah lama dikenal dalam konstruksi hukum adat. Secara historis,
kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan kekeluargaan. Apabila timbul
perselisihan di dalam masyarakat adat, anggota masyarakat yang berselisih tersebut memilih
menyelesaikannya secara adat pula misalnya melalui tetua adatnya atau melalui musyawarah.
Sesungguhnya penyelesaian sengketa secara adat ini yang menjadi benih dari tumbuh
kembangnya APS di Indonesia. 
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ialah upaya penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur  yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara arbritase, negoisasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian para ahli. Sedangkan dalam
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa UU Arbitrase dan APS berbunyi:“Sengketa atau beda pendapat perdata
dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan

3
pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri
ataupun Pengadilan Agama.”
Dari beberapa keterangan diatas dapat dipahami bahwa ketika ada dua orang atau lebih
yang bersengketa dan ingin menyelesaikan masalahnya pasti dibutuhkan pihak ketiga sebagai
jalan untuk bermufakat atau mencari putusan, jalan yang diambil selain pengadilan atau litigasi
dan diluar yaitu Non-litigasi dengan penyelesain sengketa diluar pengadilan dengan seperti
Arbitrase, mediasi, negosiasi, konsiliasi.

2.2 Negosiasi dan Mediasi


a. Negosiasi

Dengan negosiasi dimaksudkan proses tawar menawar atau pembicara untuk mencapai
suatu kesepakatan terhadap masalah tertentu yang terjadi diantara para pihak, negosiasi
dilakukan baik karena ada sengketa para pihak maupun hanya belum ada kata sepakat
disebabkan belum pernah dibicarakan hal tersebut. Negosiasi dilakukan oleh negosiator mulai
dari negosiasi yang paling sederhana dimana negosiator tersebut adalah para pihak yang
berkepentingan sendiri, sampai kepada menyediakan negosiator khusus atau memakai lawyer
sebagai negosiator”

Dari dua pengertian di atas dapat diketahui bahwa negosiasi merupakan suatu proses
pembicaraan atau perundingan mengenai suatu hal tertentu untuk mencapai suatu kompromi
atau kesepakatan di antara para pihak yang melakukan negosiasi. Negosiasi, yaitu cara untuk
mencari penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-
pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut. Jadi, negosiasi
tampak sebagai suatu seni untuk mencapai kesepakatan dan bukan ilmu pengetahuan yang
dapat dipelajari. Dalam praktik, negosiasi dilakukan karena dua alasan, yaitu:

a. Untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya
dalam transaksi jual beli, pihak penjual dan pembeli saling memerlukan untuk
menentukan harga (di sini tidak terjadi sengketa); dan
b. Untuk memecahkan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak

4
Menurut Howard Raiffia, sebagaimana dikutip oleh Suyud Margono, ada beberapa tahapan
negosiasi, yaitu:

a. Tahap persiapan
Dalam mempersiapkan perundingan, hal pertama yang dipersiapkan adalah
apa yang dibutuhkan/diinginkan. Dengan kata lain, kenali dulu kepentingan sendiri sebelum
mengenali kepentingan orang lain. Tahap ini sering diistilahkan know your self. Dalam tahap
persiapan juga perlu ditelusuri berbagai alternatif lainnya apabila alternatif terbaik atau
maksimal tidak tercapai atau disebut BATNA (best alternative to a negotiated agreement);

b. Tahap Tawaran Awal (Opening Gambit)


Dalam tahap ini biasanya perunding mempersiapkan strategi tentang hal-hal
yang berkaitan dengan pertanyaan siapakah yang harus terlebih dahulu menyampaikan
tawaran. Apabila pihak pertama menyampaikan tawaran awal dan pihak kedua tidak siap (ill
prepared), terdapat kemungkinan tawaran pembuka tersebut mempengaruhi persepsi tentang
reservation price dari perunding lawan.
c. Tahap Pemberian Konsesi (The Negotiated Dance
Konsesi yang harus dikemukakan tergantung pada konteks negosiasi dan
konsesi yang diberikan oleh perunding lawan. Dalam tahap ini seorang perunding harus
dengan tepat melakukan kalkulasi tentang agresifitas serta harus bersikap manipulatif.

d. Tahap Akhir (End Play), Tahap akhir permainan adalah pembuatan komitmen atau
membatalkan komitmen yang telah dinyatakan sebelumnya.

Lebih lanjut Howard Raiffia menyatakan, agar suatu negosiasi dapat berlangsung
secara efektif dan mencapai kesepakatan yang bersifat stabil, ada beberapa kondisi yang
mempengaruhinya, yaitu:
a. Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran
penuh (willingness);
b. Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness);
c. Mempunyai wewenang mengambil keputusan (authoritative);

5
d. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling
ketergantungan (relative equal bargaining power);
e. Mempunyai kemauan menyelesaikan masalah

b. Mediasi
Mediasi adalah salah satu alternative dalam menyelesaikan sengketa. Mediasi
adalah suatu proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang
tidak memihak dan netral yang akan bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk
membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara
memuaskan bagi kedua belah pihak. Pihak ketiga yang membantu menyelesaikan
sengketa tersebut dengan mediator. Pihak mediator tidak mempunyai kewenangan
untuk member putusan terhadap sengketa tersebut, melainkan hanya berfungsi untuk
membantu dan menemukan solusi terhadap para pihak yang bersengketa tersebut.
Pengalaman, kemampuan dan integritas dari pihak mediator tersebut diharapkan
dapat mengefektifkan proses negosiasi di antara para pihak yang bersengketa.
ditarik beberapa kesimpulan bahwa pengertian mediasi mengandung unsur-
unsur sebagai berikut:
1. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan;
2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam
perundingan;
3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari
penyelesaian;
4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan
berlangsung;
Diharapkan dengan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat

dicapai tujuan utama dari mediasi tersebut yakni :

a. Membantu mencarikan jalan keluar/alternatif penyelesaian atas sengketa yang timbul


diantara para pihak yang disepakati dan dapat diterima oleh para pihak yang
bersengketa.

6
b. Dengan demikian proses negosiasi sebagai proses yang melihat ke depan dan bukan
melihat ke belakang, yang hendak dicapai bukanlah mencari kebenaran dan/atau dasar
hukum yang diterapkan namun lebih kepada

2.3 Arbitrase

 Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase


Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang
Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
a) kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
b) keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari ;
c) para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki
makalahadedidiikirawanlatar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan, serta jujur dan adil ;
d) para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya ;
e) para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
f) putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur
sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.

Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki


kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih
sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan
arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.

2.4 Dasar Hukum dan Alasan Memilih Lembaga Arbitrase


A. Dasar Hukum Arbitrase di Indonesia, adalah :
1) Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman

7
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase
dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “ Penyelesaian perkara
diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”.

2) UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka pemerintah
mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada
tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga
arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan
internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal
615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan
demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan
yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.

3) Pasal 58 s/d 60 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

" Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan diluar Pengadilan Negara melalui
Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa"1

B. Alasan Memilih Lembaga Arbitrase

Di bawah ini keutungan menggunakan Arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli sekaligus
dari tinjauan undang-undang : Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, dan Fatmah Jatim, dalam
“Tinjauan terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia”
dalam buku Arbitrase di Indonesia”, menyebutkan ada beberapa alasan memilih arbitrase, yaitu :

a. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan;


b. Keahlian (Expertise);
c. Cepat dan hemat biaya;
d. Bersifat rahasia;
e. Bersifat non-preseden;
f. Kepekaan arbiter;
1
https://www.berandahukum.com/2017/05/dasar-hukum-arbitrase-di-indonesia.html

8
g. Pelaksanaan keputusan;
h. Kecenderungan yang Moden.

Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dalam bukunya Arbitrase Dagang Internasional juga
menyebutkan beberapa alasan yang menyebutkan beberapa alasan yang menjadin arbitrase
demikian populer dalam transaksi dagang internasional, antara lain :

 Dihindarkannya publisitas;
 Tidak banyak formalitas;
 Bantuan pengadilan hanya taraf eksekusi;
 Baik untuk pedagang-pedagang bonafide;
 Ada jaminan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha;
 Lebih murah dan lebih cepat.2

2.5 Bentuk-bentuk Klausula dalam Perjanjian


Berdasarkan definisi yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, kita
mengenal adanya dua bentuk Klausula arbitrase, yaitu :

1. Pactum de compromittendo

Dalam pactum compromittendo, para pihak mengikat kesepakatan akan menyelesaikan


perselisihan melalui forum arbitrase sebelum terjadi perselisihan yang nyata. Bentuk klausula
pactum compromittendo ini diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Pasal tersebut berbunyi “ para pihak yang dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau
yang akan terjadi antara mereka diselesaikan melalui arbitrase”.

Dalam Pasal 2 ayat (1) Konvensi New York misalnya kita dapati klausula pactum
compromittendo dalam kalimat :

“Each Contracting State shall recognize an agrement in writing under which the parties
undertake to submit to arbitration all or any differences which have arisen or which may arise

2
https://tommirrosandy.wordpress.com/2011/03/14/pengantar-hukum-arbitrase-di-indonesia/

9
between them in respect of a defined legal relationship whether contractual or not, concerning a
subject matter capable of settlement by arbitration

Ada dua cara membuat clausula pactum compromittendo, yaitu :

i. Dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok.


Cara ini adalah cara yang paling lazim.
ii. Klausula pactum compromittendo dibuat terpisah dalam akta tersendiri

2. Akta Kompromis

Dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, Akta Kompromis diatur pada Pasal 9 yang
berbunyi:

a. Dalam hal para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase setelah sengketa
terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis
yang ditandatangani oleh para pihak.
b. Dalam hal para pihak tidak menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
c. Perjanjian tertulis sebagaimana dimakud dalam ayat (1) harus memuat :
 Masalah yang dipersengketakan
 Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak
 Nama lengkap dan temat tinggal arbiter atau majelis arbitrase

 Tempat arbiter atau majelis arbitrase mengambil keputusan

 Nama lengkap sekretaris

 Jangka waktu penyelesaian sengketa

 Pernyataan kesediaan arbiter

 Pernyataan kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya
yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase

10
d. Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebgaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah
batal demi  hukum.

Perbedaan antara pactum compromittendo dan akta kompromis hanya terletak pada saat
pembuatan perjanjian. Klausula pactum compromittendo dibuat sebelum perselisihan terjadi.
Dari segi perjanjian antara keduanya tidak ada perbedaan.

Perjanjian arbitrase merupakan suatu kontrak. Seperti yang telah disebutkan di atas perjanjian
tersebut dapat merupakan bagian dari suatu kontrak atau merupakan suatu kontrak yang terpisah.
Perjanjian arbitrase dalam suatu kontrak biasa disebut klausula arbitrase. Klausula arbitrase dapat
berupa perjanjian yang sederhana untuk melaksanakan arbitrase, tetapi dapat juga berupa
perjanjian yang lebih komprehensif, memuat syarat-syarat arbitrase.

Klausula arbitrase ini penting karena akan menentukan berlangsung suatu arbitrase,
bagaimana dilaksanakannya, hukum substantif apa yang berlaku, dan lain-lain.

Secara umum menurut Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, dan Fatmah Janim, Klausula-
klausula arbitrase mencakup :

1. Komitmen/kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase

2. Ruang lingkup arbitrase

3. Apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad hoc; apabila memilih
bentuk ad hoc, maka klausula tersebut harus merinci metode penunjukkan arbiter atau
majelis arbitrase

4. Aturan prosedural yang berlaku

5. Tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase

6. Pilihan terhadap hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase

7. Klausula-klausula stabilisasi dan hak kekebalan (imunitas), jika relevan

Klausula arbitrase harus disusun secara cermat guna mencegap prosedur litigasi tentang
maknanya dan untuk menghindari kejutan-kejutan yang tidak menyenangkan dikemudian hari.

11
Klausula arbitrase harus memuat komitmen yang jelas terhadap arbitrase serta pernyataan
tentang jenis sengketa yang diselesaikan melalui forum atau pranata arbitrase ini.3

2.6 Bentuk-bentuk arbitrasi


Pengertian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) adalah suatu bentuk penyelesaian
sengketa selain pengadilan. Oleh karena itu APS sering pula disebut alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan.

Salah satu lembaga yang menyediakan APS adalah Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia (BAPMI) yang mengkhususkan diri pada sengketa perdata di bidang Pasar Modal.

Beberapa bentuk APS yang disediakan BAPMI adalah Pendapat Mengikat, Mediasi, dan
Arbitrase.

 Pendapat Mengikat

pendapat yang diberikan oleh BAPMI untuk memberikan penafsiran terhadap bagian
perjanjian yang kurang jelas. Tujuan dari Pendapat Mengikat adalah adanya penafsiran yang
valid sehingga tidak ada lagi perbedaan penafsiran di antara para pihak.

Untuk meminta Pendapat Mengikat BAPMI, para pihak harus mempunyai kesepakatan dan
mengajukan permohonan secara tertulis, bersedia terikat dan tunduk pada penafsiran dan
pendapat yang diberikan oleh BAPMI.

 Mediasi

penyelesaian masalah melalui perundingan di antara para pihak yang bersengketa dengan
bantuan pihak ke-3 yang netral dan independen, yang disebut Mediator, yang dipilih sendiri oleh
para pihak.

Mediator tidak dalam posisi dan kewenangan memutus sengketa. Dia hanya fasilitator
pertemuan guna membantu masing-masing pihak memahami perspektif, posisi dan kepentingan
pihak lain dan bersama-sama mencari solusi yang bisa diterima.

3
http://everythingaboutvanrush88.blogspot.com/2015/09/dua-bentuk-klausula-arbitrase.html

12
Lovenheim (1996: 1.4) menambahkan “the goal is not truth finding or law imposing, but
problem solving”. Oleh karena itu Mediasi dianggap berhasil apabila para pihak dapat mencapai
perdamaian.

Untuk mengajukan sengketa ke Mediasi BAPMI, para pihak harus mempunyai


kesepakatan dan mengajukan permohonan secara tertulis, dan bersedia mematuhi kesepakatan
damai yang dicapainya.

 Arbitrase

penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kewenangan untuk memeriksa dan


mengadili sengketa pada tingkat pertama dan terakhir kepada pihak ketiga yang netral dan
independen, yang disebut Arbiter.

Untuk mengajukan sengketa ke Arbitrase BAPMI, para pihak harus mempunyai


kesepakatan tertulis bahwa sengketa akan diselesaikan melalui Arbitrase (Perjanjian Arbitrase),
dan ada salah satu pihak yang bersengketa mengajukan surat permohonan (tuntutan).

Arbiter (berbentuk majelis atau tunggal) mempunyai tugas dan kewenangan memeriksa
dan memutus sengketa yang diajukan kepadanya. Putusan Arbitrase bersifat final serta
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (UU No. 30/1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

Arbitrase mirip dengan Pengadilan, dan Arbiter mirip dengan Hakim, tetapi ada beberapa
perbedaan mendasar:

1. Pengadilan bersifat terbuka, Arbitrase bersifat tertutup;


2. mengajukan tuntutan ke Pengadilan tidak membutuhkan persetujuan pihak lawan,
tuntutan ke Arbitrase harus didasari Perjanjian Arbitrase;
3. proses Pengadilan formal dan kaku, Arbitrase lebih fleksibel;
4. Hakim pada umumnya generalist, Arbiter dipilih atas dasar keahlian;
5. putusan Pengadilan masih bisa diajukan banding, kasasi dan PK, putusan
Arbitrase bersifat final dan mengikat;

13
6. Hakim mengenal yurisprudensi, Arbiter tidak mengenal hal tersebut;
7. Hakim cenderung memutus perkara atas dasar ketentuan hukum, Arbiter dapat
pula memutus atas dasar keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).

Para pihak tidak perlu ragu memilih APS karena APS mendapatkan pengakuan dalam
sistem hukum Indonesia, antara lain: Keppres No. 34/1981 (ratifikasi atas New York
Convention); UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang tidak menutup kemungkinan
penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara; dan UU No. 30/1999 yang telah
disebutkan.

Di samping itu, pengadilan dan Mahkamah Agung juga telah banyak memberikan
dukungan terhadap Arbitrase, baik dalam bentuk penguatan/pengakuan terhadap Perjanjian
Arbitrase, penegasan terhadap kompetensi absolut Arbitrase, dan juga pelaksanaan putusan
Arbitrase.

2.7 Eksekusi putusan arbitrase dalam negri


UU Arbitrase memberikan kewenangan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk
menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase internasional.

Arbitrase merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang cukup
populer di kalangan bisnis. Pengaturan tentang arbitrase menurut hukum Indonesia terdapat
dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU
Arbitrase).

Salah satu materi penting dalam UU Arbitrase adalah putusan arbitrase internasional,
yang didefinisikan sebagai:

“Putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar
wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan
yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase
internasional.”

Dari definisi di atas, dapat dipahami, jika suatu majelis arbitrase berisikan arbiter asing,
namun putusan dijatuhkan di Indonesia, maka putusan arbitrase tersebut tetaplah merupakan
putusan arbitrase nasional.

14
Pasal 65 UU Arbitrase secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang menangani
masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan abitrase internasional di Indonesia adalah
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Agar suatu putusan arbitrase internasional diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah
hukum Republik Indonesia, maka putusan tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

a) Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral
maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional (asas resiprositas).
b) Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan.
c) Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum.
d) Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e) Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
f) Selanjutnya, untuk permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan
setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

15
2.8 Arbitrase asing
Yang dimaksud dengan arbitrase asing adalah lembaga arbitrase internasional yang
dipilih oleh para pihak yang berbeda kewarganegaraan yang bersengketa untuk menyelesaikan
sengketa.

Dengan disahkannya konvensi New York dengan Kepres No. 34/1981 (LN. tahun 1981
No. 40), oleh Mahkamah Agung di keluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990 tentang
Tata cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 Maret 1990 yang berlaku sejak
tanggal ditetapkan. Dalam Perma tersebut, yang dimaksudkan dengan keputusan Arbitrase asing
adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase ataupun arbitrartor perorangan di luar
wilayah Republik Indonesia, atau putusan suatu badan arbitrase atau arbitrator perorangan yang
menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai keputusan arbitrase asing yang
berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Kepres 34/1981, sedangkan yang diberi wewenang
untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan pengakuan serta pelaksanaan putusan
arbitrase asing adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.4

 Contoh Arbitrase Asing

Beberapa contoh arbitrase asing diantaranya :

– Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC), yakni arbitrase


tertua yang menjadi alternative penyelesaian sengketa perdagangan internasional;

– The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang sering
disebut dengan Center, yang khusus untuk menyelesaikan persengketaan “joint venture” atau
penanaman modal suatu negara dengan warga negara lain;

– UNCITRAL Arbitration Rules (United Nations Commission on International Trade Law)


yang disebut juga UAR.

 Cara pelaksanaan putusan arbitrase asing berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999

4
(lihat di Prof.MR.Dr. Sudargo Gautama, Aneka Hukum Arbitrase (Ke arah Hukum Arbitrase Indonesia yang Baru),
Op.Cit., hal.2)

16
Pada dasarnya, putusan arbitrase asing harus dimintakan pengakuan keabsahannya, dan
pelaksanaan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 65). Pengakuan dan
pelaksanaan eksekusi inilah yang disebut dengan asas executorial kracht. Terkait dengan hal
tersebut, putusan arbitrase asing yang dapat dilaksanakan eksekusinya di Indonesia adalah
putusan arbitrase yang :

– Dijatuhkan oleh lembaga arbitrase yang terikat dengan negara Indonesia melalui
perjanjian (bilateral-multilateral), atau terikat dengan negara Indonesia dalam suatu ikatan
konvensi Internasional, dan keterikatan tersebut mengakui tentang eksekusi putusan arbitrase
(asas resiprositas) ;

– Putusan arbitrase internasional yang terbatas pada ruang lingkup hukum perdagangan di
Indonesia;

– Putusan arbitrase internasional yang telah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, dan;

– Putusan arbitrase internasional yang menyangkut pihak Negara Republik Indonesia


sebagai salah satu pihak, setelah mendapatkan eksukuatur dari Mahkamah Agung yang
selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Adapun tata caranya sebagai berikut (Pasal 67):

a. Permohonan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan


tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada paniter pengadilan negeri
Jakarta Pusat (ayat (1));

b. Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan putusan tersebut harus dilengkapi dengan


persyaratan administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2);

c. Pada putusan arbitrase internasional, berlaku ketentuan bahwa (Pasal 68):

* Putusan arbitrase internasional yang memperoleh eksekuatur dari ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, tidak dapat dilakukan upaya banding atau kasasi;

17
* Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak untuk mengakui dan
melaksanakan putusan arbitrase internasional, dapat diajukan kasasi;

* Terhadap putusan Mahkamah Agung tentang permohonan eksekuatur putusan arbitrase


internasional di mana Negara RI sebagai salah satu pihak yang bersengketa, maka tidak dapat
diajukan upaya perlawanan

d. Perintah eksekusi diberikan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kemudian
pelaksanaannya dilimpahkan kepada ketua Pengadilan Negeri berdasarkan kewenangan relative,
dengan ketentuan :

* Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi;

* Tata cara pelaksanaan putusan harus mengikuti tata cara yang diatur di dalam hukum acara
perdata.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ialah upaya penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur  yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara arbritase, negoisasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian para ahli.

negosiasi dimaksudkan proses tawar menawar atau pembicara untuk mencapai suatu
kesepakatan terhadap masalah tertentu yang terjadi diantara para pihak, negosiasi dilakukan baik
karena ada sengketa para pihak maupun hanya belum ada kata sepakat disebabkan belum pernah
dibicarakan hal tersebut

Mediasi adalah salah satu alternative dalam menyelesaikan sengketa. Mediasi adalah
suatu proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang tidak memihak dan
netral yang akan bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi
dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan bagi kedua belah pihak.

Arbitrase merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang cukup
populer di kalangan bisnis. Pengaturan tentang arbitrase menurut hukum Indonesia terdapat
dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU
Arbitrase).

Yang dimaksud dengan arbitrase asing adalah lembaga arbitrase internasional yang
dipilih oleh para pihak yang berbeda kewarganegaraan yang bersengketa untuk menyelesaikan
sengketa.

3.2 Saran
Penulis menyadari tentunya makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena
kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan
kritikan dari para pembaca yang bersifat membangun dan juga dari dosen agar kedepannya
menjadi lebih baik lagi.

19
Pemakalah juga mengarapkan bimbingan yang lebih dalam dari dosen pembimbing dalam
mata kuliah pengantar manajemen . mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

20
DAFTAR PUSTAKA
https://www.berandahukum.com/2017/05/dasar-hukum-arbitrase-di-indonesia.html

https://tommirrosandy.wordpress.com/2011/03/14/pengantar-hukum-arbitrase-di-indonesia/

http://everythingaboutvanrush88.blogspot.com/2015/09/dua-bentuk-klausula-arbitrase.html

21

Anda mungkin juga menyukai