Anda di halaman 1dari 28

TUGAS TERSTRUKTUR: DOSEN PEMBIMBING:

REVISI MAKALAH TAUFIK HIDAYAT, S.HI, M.E.Sy

UIN SUSKA RIAU

MATERI KAJIAN :
KESULTANAN ACEH, STUDI ISLAM DI ASIA TENGGARA
ABAD KE 17

DI SUSUN OLEH:
SRI MUSTIKA SARI (11870324056)

SEMESTER DUA / LOKAL D


FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1440 H
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT sebab karena limpahan rahmat
serta anugerah dari-Nya kami mampu untuk menyelesaikan makalah saya ini.
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi agung kita,
yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita
semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam
yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.
Selanjutnya dengan rendah hati saya meminta kritik dan saran dari pembaca untuk
makalah ini supaya selanjutnya dapat saya revisi kembali. Karena kami sangat menyadari,
bahwa makalah yang telah kami buat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Saya ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak yang telah
mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini hingga
rampungnya makalah ini.
Demikianlah yang dapat saya haturkan, kami berharap supaya makalah yang telah
saya buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.

Pekanbaru, 28 Maret 2019


 

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................i
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
1.1 Latar belakang.....................................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah................................................................................................................2
1.3 Tujuan penulisan.................................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN...................................................................................................................................4
A. Sejarah Kesultanan Raja Aceh Abad ke 17...........................................................................4
Empat Ulama Besar Aceh...........................................................................................................7
Masa Kemunduran Kesultanan Aceh Darussalam.................................................................11
B. Peran kerajaan Aceh terhadap Islam Asia Tenggara.........................................................11
1. Pusat peradaban islam di aceh..........................................................................................12
2. Keberadaan Kerajaan Islam di Aceh setelah Belanda datang.......................................12
3. Perang Aceh…….………………………………………………………………………….14

C. Perkembangan Kerajaan Aceh Dalam Penyebaran Islam.................................................14


1. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam Di Aceh......................................................14
2. Pengkajian Islam Pada Tiga Kerajaan Islam Di Aceh.......................................................16
3. Tokoh-tokoh Sejarah pada Masa islam...............................................................................18
BAB III...............................................................................................................................................20
PENUTUP..........................................................................................................................................20
A. Kesimpulan............................................................................................................................20
B. Saran.......................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Islam di aceh merupakan agama yang di anut oleh mayoritas penduduk aceh. Aceh
yang secara geografis terletak di utara pulau Sumatera, dipandang sebagai
daerah pertama yang menerima Islam di Nusantara. Konon kerajaan Islam Perlak
telah berdiri sejak abad ke-9 M. Kerajaan Islam berikutnya adalah Samudera Pasai
yang berdiri sejak akhir abad ke-13M.

Sementara Kesultanan Aceh Darussalam diduga berdiri pada abad ke-15 M di


atas puing-puing kerajaan Lamuri oleh Sultan Muzaffar Syah (1465-1497 M).
Menurut Anas Machmud, dialah yang membangun kota Aceh Darussalam, dan
pada masa pemerintahannya Aceh mengalami kemajuan dalam bidang
perdagangan karena saudagar-saudagar Muslimyang sebelumnya berdagang dengan
Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis
(1511 M).

Namun demikian, H.J. deGraaf dan Denys Lombard dengan mengutip Tome
Pires menyebutkan bahwa sultan pertama kerajaan Aceh adalah Ali Mughayat
Syah. Tidak diketahui kapan ia naik tahta kerajaan ini. Ia digambarkan oleh Tome
Pires sebagai seorang raja Muslim yang gagah perkasa yang berhasil menggabungkan
beberapa pelabuhan dagang di bawah kekuasaannya.

Pada masa pemerintahannya, Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah


kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerjasama dengan Portugis, kemudian ke
Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut,
ia dengan mudah dapat melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur.
Keberhasilannya dalam menguasai beberapa wilyah dan menggabungkannya menjadi
kesultanan Aceh Darussalam itulah menyebabkan ia dianggap sebagai pendiri
kekuasaan Aceh sesungguhnya. Ali Mughayat Syah digantikan oleh anak sulungnya,
Salah ad-Din (1528-1537). Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, tetapi
mengalami kegagalan. Salah ad-Din digantikan oleh saudaranya, Alauddin
Ri’ayat Syah al-Kahhar (1537-1568).76Pada masa pemerintahannya, ia berhasil
menaklukkan Aru dan Johor, bahkan dengan bantuan persenjataan Dinasti Ottoman,
ia menyerang Portugis di Malaka.77Alauddin Ri’ayat Syah digantikan oleh Sultan

1
Ali Riayat Syah (1568-1573), kemudian Sultan Seri Alam, Sultan Muda (1604-
1607), dan Sultan Iskandar Muda, gelar Mahkota Alam (1607-1636).Dari kesultanan
ini, Islam kemudian tersebar ke berbagai negeri-negeri Melayu lainnya.

Pengaruh dan kekuasaan kesultanan Aceh Darussalam pada saat itu sangat
dirasakan di kepulauan Sumatera dan semenanjung tanah Melayu, terutama ketika
kesultanan itu dibawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637).78Seluruh
serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkis oleh sultan-sultan Aceh.
Mereka juga telah menanamkan pengaruh Islam. Islampun berkembang dengan pesat
dan mendapat dukungan dari penguasa di Haramayn (Mekah dan Madinah), dan
memperoleh keabsahan dari sana.

Berbeda dengan daerah lainnya di Nusantara, dalam sejarah dan tradisi Aceh, pusat
kekuasaan didirikan dan diyakini sebagai diberi dasar oleh Islam. Dengan kata lain,
Islamlah yang memberi dasar bagi adanya pusat kekuasaan itu; Islam berkembang
seiring dengan berdirinya kerajaan itu. Ini berbeda dengan Malaka, Makasar dan
kota-kota pantai lainnya, dimana proses islamisasi di pusat kerajaan terjadi ketika
pedagang Islam yang menguasai kehidupan kota berhasil menarik “raja yang kafir”
untuk masuk Islam. Jika di Jawa, pusat kekuasaan ( kraton dikalahkan oleh Islam dari
pinggiran Majapahit dikalahkan oleh aliansi Demak-Kudus), maka Aceh tidak
mengenal konfrontasi kekuasaan seperti itu.Kesultanan Aceh Darussalam didirikan
atas dasar Islam; Islamlah yang menjadi dasar bagi adanya kekuasaan
kesultanan itu. Dengan demikian penguasa kesultanan Aceh tidaklah terjerat
oleh keharusan untuk melanjutkan sistem dan tradisi lama, melainkan mendapatkan
kesempatan untuk merumuskan tradisi baru yang relatif terlepas dari keharusan
doktrin dan kenyataan sosial yang ada sebelumnya. Demikinlah, sementara definisi
keIslaman diperteguh, yang mencapai puncaknya di abad ke-17, pengaturan
sistem kekuasaan yang relevan pun dirintis pula.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka bisa dirumuskan masalah-masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana sejarah atau asal mula Kesultanan Aceh Darussalam abad 17?
2. Apa peran Kesultanan Aceh Darussalam dalam islamisasi di Asia Tenggara?
3. Bagaimana Perkembangan Kesultanan Aceh dalam penyebaran Islam Asia Tenggara?

2
1.3 Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah dari Kesultanan Aceh abad 17.
2. Untuk mengetahui peran dari Kesultanan Aceh dalam penyebaran Islam Asia
Tenggara.
3. Menambah wawasan mengenai perkembangan Kesultanan Aceh di dalam Penyebaran
Islam Asia Tenggara.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Kesultanan Raja Aceh Abad ke 17


Kesultanan Aceh Darussalam menjadi kerajaan Islam terbesar di Nusantara dan
kelima terbesar di dunia pada abad ke-15M. Pendapat senada juga dikemukakan
oleh A.H. Johns bahwa Aceh adalah negara kota Islam terpenting di dunia Melayu
antara abad ke-15 dan 17 di samping Malaka. Kemajuan kesultanan Aceh mencapai
puncak kejayaannya pada abad ke-17. Hal ini agaknya sangat terpengaruh oleh
kemunduran kerajaan Malaka yang mengalami pendudukan orang-orang Portugis.
Antara lain karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan
Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis
(1511 M). Ketika Malaka jatuh tahun 1511, daerah pengaruhnya di Sumatera
mulai melepaskan diri. Di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1511-
1530), Aceh mulai melebarkan kekuasaannya ke daerah sekitarnya, bahkan
kesultanan ini berhasil mengusir Portugis dari Pasai tahun 1524. Pada puncak
kemegahannya, hegemoni politik kesultanan ini mencapai pesisir barat Minangkabau
dan mencakup Pedir, Pasai, Perlak, Deli, Johor, Kedah, Pahang, dan lain-lain.
Dalam bentuk pemerintahan negara kota abad ke-17, Aceh bukan saja jauh lebih
dikenal, tetapi menurut A.H. Johns, –berdasarkan semua bukti yang ada–nampaknya
Aceh sangat penting. Aceh menjadi pusat perkembangan sebuah kerajaan maritim
yang perkasa yang sangat Islami dan mandiri dalam perdagangan. Kesultanan ini juga
punya hubungan internasional yang luas jangkauannya. Sejauh menyangkut
hubungan dengan Timur Tengah, tidak ada negara-negara lain di Nusantara yang
mempunyai hubungan-hubungan politik dan diplomatik yang begitu intens dengan
kerajaan-kerajaan Islam di Mughal, Persia dan Turki Usmani kecuali Aceh. Dengan
jalinan persahabatan itu, Turki Usmani membantu Aceh tidak hanya di bidang
militer tetapi juga di bidang politik yang diindikasikan melalui pengakuan
terhadap Aceh sebagai bagian dari khilafah Islam. Oleh karena itu, posisi Aceh
pada abad ke-16 diakui di dunia Islam secara internasional.
Agaknya, alasan inilah yang dijadikan sejarawan sebagai argumen untuk
menyatakan Aceh sebagai salah satu negara Muslim terkemuka di dunia. Saat
itu. Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa itu. Aceh

4
dikenal memiliki sumber daya alam yang kaya. Selain dikenal sebagai penghasil
kapur barus dan menyan, juga dikenal sebagai penghasil timah dan rempah-rempah
seperti lada dan kopi. Aceh juga menempati letak strategis dengan posisinya
sebagai pusat pelabuhan dagang dan jalur transportasi dengan negara-negara lain.
Letak strategis pusat pemerintahan kesultanan Aceh Darussalam ditambah lagi oleh
kekayaan sumber daya alamnya telah pula menghantarkannya menjadi negara kota yang
makmur dan sejahtera.
Dilihat dari aspek pengembangan agama Islam, peran Aceh tak dapat
diabaikan. Seiring dengan kemajuan dan kemakmurannya dalam bidang ekonomi,
politik dan budaya, maka perkembangan pemikiran keagamaan serta penyebaran
dakwah Islam pun semakin meningkat. Kemajuan kerajaan Aceh dalam bidang
agama ditandai dengan munculnya Aceh sebagai kiblat pengajaran Islam. Aceh
ketika itu menjadi center ilmu pengetahun di Asia Tenggara yang melahirkan
nama-nama para intelektual Muslim atau ulama-ulama terkenal seperti Hamzah
Fansuri (w.1600), Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1630), Nuruddin al-Raniri (w. 1657),
dan Abdul Rauf al-Sinkili (w. 1660). Sekitar abad ke-17/18 M, keempat tokoh tersebut
telah mewarnai sejarah pemikiran keagamaan kesultanan Aceh. Dua nama terakhir,
al-Raniri dan al-Sinkili, adalah dua dari tiga mata rantai utama dari jaringan
ulama di wilayah Melayu Indonesia dengan Timur Tengah yang mempunyai
peranan penting dalam menghadirkan pembaharuan-pembaharuan keagamaan, dan
dalam membawa tradisi besar Islam ke wilayah Melayu Indonesia dengan
menghalangi kecendrungan kuat pengaruh tradisi lokal ke dalam Islam.
Selain itu, Aceh berperan pula sebagai pintu gerbang ke tanah suci bagi para
penziarah dan pelajar jawi yang menuju ke Mekah, Madinah dan pusat-pusat
pengetahuan di Mesir serta bagian-bagian lain dari kesultanan Turki, Sehingga tak
heran bila Aceh dijuluki sebagai ‘Serambi Mekah’. Peran ini membuat Aceh
berhubungan erat dengan kota-kota pelabuhan Muslim yang lain di Nusantara. Selain
itu, Aceh juga berperan sebagai tempat pertemuan ulama dan intelektual Muslim dari
berbagai Dunia Melayu dan Muslim dari Timur Tengah.
Singkatnya, kehidupan intelektual keagamaan berkembang sangat baik
di kesultanan ini sehingga menjadikannya berfungsi sebagai center intelektualisme
Islam abad ke-17, sebagai pusat berkembangnya ajaran dan pemikiran Islam
di Asia Tenggara. Sejauh menyangkut hukum, A.C. Milner menyebutkan secara
implisit, bahwa syari’at menjadi sumber hukum kala itu. Para pengunjung Eropa

5
sering menyebutkan tentang penggunaan hukum Islam seperti hukum potong
tangan, hukum cambuk, pelarangan riba, dan penghapusan siksaan kuno yang
dipandang bertentangan dengan Islam seperti pencelupan ke dalam minyak panas, dan
menjilat besi yang panas memerah bagi pelanggaran hukum. Dilihat dari
pelaksanaan doktrin hukum Islam, serta pengaruh politik agama ini dalam sistem dan
struktur kesultanan, dapat disimpulkan bahwa kesultanan Aceh Darussalam
merupakan sebuah bentuk “negara Islam” (Islamic State).
Dalam sistem pemerintahan, terdapat jabatan Kadhi Malikul Adil yang harus
dijabat oleh ahli hukum agama. Selain itu, kedudukan ulama –walau tidak menjadi
bagian dari struktur kekuasaan yang utama--tetapi mempunyai peran yang
dominan dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah karena perannya
sebagai penasehat sultan.
Di masa sultan Iskandar Tsani, para ulama besar mulai meletakkan dasar bagi
corak pengaturan sosial. Diantaranya adalah kemitraan antara pemegang otoritas
politik dan pemegang otoritas spritual di seluruh tingkat pemerintahan. Seorang
sultan bukan saja harus didampingi oleh seorang Kadhi Malikul Adil, seorang
pejabat negara dalam persoalan hukum, dan seorang ulama besar, sebagai penasehat
rohani; tetapi pada pemerintahan tingkat gampang pun, seorang keucik (kepala
desa) harus didampingi oleh imam Meunasah, di samping apa yang disebut
Tuha peut (para tetua desa). Begitu juga pada tingkat mukim,(lurah), seorang imeum
mukim didampingi, diawasi dan dikontrol oleh “mini parlemen’ yang dikenal dengan
istilah tuha lapan. Jika di kampung, kepala desa dianggap ayah, sementara imam
meunasah harus dianggap ibu, maka pada tingkat kesultanan dikenal aturan “adat
bok poteu meureuhom; hukom bok Syiah Kuala” –kekuasaan adat ada di tangan
sultan, ketentuan hukum (keagamaan) ada di tangan Syiah Kuala.
Namun demikan wewenang antara kedua wilayah ini tidaklah sama sekali
terpisah. Sering sekali sebelum sultan atau ulue balang membuat putusan, ia harus
terlebih dahulu bermusyawarah dengan para ulama dan orang-orang tua. Dengan
demikian dapat dipertimbangkan apakah suatu putusan sah atau tidak menurut
pandangan agama, sehingga pengaruh Islam sangat besar sekali pada adat istiadat
Aceh. Keduanya bahkan telah menyatu sedemikian rupa sehingga ada
pepatah yang berbunyi “Hukom ngo Adat lagee Zat ngo sipheuet”(Hukum dengan
adat seperti benda dengan zatnya, tidak terpisah). Dalam pengaturan seperti ini,
semakin terlihat kedudukan strategis dan peranan penting yang dimainkan ulama

6
dalam mewarnai pemerintahan ke arah yang lebih Islami. Di zaman ini terutama,
ulama-ulama besar Aceh menghasilkan karya-karya besar yang mondial yang
selanjutnya mempengaruhi pemikiran Islam di seluruh nusantara. Saat itu
terdapat jumlah karya-karya keagamaan yang mencolok menurut standar Melayu yang
dihasilkan di bawah pengawasannya, baik yang orisinal atau yang berbentuk
terjemahan.
Empat Ulama Besar Aceh
Seperti diuraikan di atas, Aceh dalam sejarahnya pernah menjadi center ilmu
pengetahun di Asia Tenggara yang melahirkan nama-nama para intelektual
Muslimatau ulama-ulama terkenal seperti Hamzah Fansuri (w.1600), Syamsuddin
al-Sumatrani (w. 1630), Nuruddin al-Raniri (w. 1657), dan Abdul Rauf al-Sinkili (w.
1660).
1. Hamzah Fansuri
Adalah seorang sufi terkemuka, sastrawan besar, pengembara dan
ahli agama. Dia dilahirkan di tanah Fansuri atau Barus, dan diperkirakan
hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17M. Hamzah Fansuri mempelajari
tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh
Abdul Qadir Jailani dan di dalam tarekat ini pula ia dibai’at. Setelah
mengembara ke berbagai pusat ilmu seperti Baghdad, Mekah, Madinah, dan
Yerussalem, dia kembali ke tanah air serta mengembangkan ajaran tasawuf sendiri.
Tasawuf yang dikembangkannya banyak dipengaruhi pemikiran Wujudiyah Ibnu
Arabi. Ada tiga risalah tasawuf karangan al-Fansuri yang dijumpai, yaitu Syarab
al-‘Asyiqin, (Minuman orang Birahi), Asrar al-Arifin (Rahasia ahli Ma’rifat) dan al-
Muntahi. Selain itu juga dijumpai tidak kurang dari 32 ikatan-ikatan atau
untaian syair yang digubahnya. Syair-syairnya dianggap sebagai ‘syair Melayu’
pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu. Begitu pula karyanya Syarb al-Asyiqin,
oleh al-Attas dianggap sebagai risalah keilmuan pertama yang ditulis dalam
bahasa Melayu baru. Seperti dikemukakan di atas.
Hamzah Fansuri adalah pendukung keras doktrin ‘wujudiyah’. Doktrin
Wujudiyah ini mempunyai banyak penganut kala itu. Karena kedudukan
baik Hamzah maupun Syamsuddin,sebagai pendukung utama faham ini,
mempunyai kedudukan yg penting dalam pemerintahan. Kedudukan mereka
sebagai Syekh al-Islam di Kesultanan Aceh, memungkinkan mereka untuk
menguasai kehidupan religio-intelektual kaum Muslim kesultanan Aceh dan

7
menyebar-luaskan faham ‘wujudiyah’ ini sebelum kedatangan ar-Raniri. Selain
itu, ia adalah juga seorang penulis produktif, yang menghasilkan bukan hanya
karya-karya keagamaan tetapi juga karya-karya prosa yang sarat dengan
gagasan-gagasan mistis. Mengingat karya-karyanya, dia dianggap sebagai
salah seorang tokoh sufi awal paling penting di wilayah Melayu-Indonesia dan
juga seorang perintis terkemuka tradisi kesusasteraan Melayu.
2. Syamsuddin al-Sumatrani,
Tidak banyak informasi yang didapat menyangkut kehidupannya. Yang
jelas, ia juga memegang jabatan sebagai penasehat agama di kesultanan Aceh.
Syamsudin termasuk dalam aliran pemikiran keagamaan yang sama dengan
Hamzah, yaitu sama-sama pendukung faham wahdat al-wujud. Seperti Hamzah,
Syamsudin adalah penulis produktif dan menguasai beberapa bahasa.
Dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab, dan sebagian besar karya-
karyanya berkaitan dengan kalam dan tasawuf. Periode sebelum kedatangan ar-
Raniri merupakan masa di mana Islam mistik, terutama dari aliran Wujudiyah
berjaya, bukan hanya di Aceh tetapi juga di banyak bagian wilayah Nusantara.
Yang berkembang saat itu adalah satu faham tasawuf yg bersifat pantheistic dan
anti dunia yang terutama dikembangkan oleh Ibn Arabi (w.1240).
Setelah kedatangan Nuruddin ar-Raniri, muncul gerakan-gerakan
pembaharuan tasawuf yang hasilnya adalah munculnya suatu bentuk tasawuf
yang diistilahkan dengan neo-sufisme, yaitu suatu bentuk tasawuf yang merekonsiliasi
(memadukan) dan mengharmoniskan antara syariat dan tasawuf.Azra
mensinyalir bahwa Nuruddin ar-Ranirilah yang memprakarsai gerakan awal neo-
sufisme di Nusantara. Neo sufisme adalah faham tasawuf yang
merekonsiliasikan (mendamaikan) antara pengamalan syariat dan tasawuf.
Dengan posisinya sebagai Syekh al-Islamdi Kesultanan Aceh, Ar-Raniri berhasil
mendapatkan dukungan politik dari Iskandar Tsani dan ajarannya berhasil
mendominasi wilayah kesultanan melalui metode debat yangselalu ia menangkan atas
tokoh-tokoh pengikut dua sufi sebelumnya. Menurutnya Islam di wilayah ini telah
dikacaukan oleh kesalahfahaman atas doktrin sufi. Sesuai dengan inti neo-
sufisme, ar-Raniri memberikan penekanan yang lebih kuat kepada ortodoksi
(kemurnian) atau syariah di dalam pemikiran dan pengamalan tasawuf. Ar-Raniri
hidup selama tujuh tahun di Aceh sebagai seorang alim, mufti dan penulis
produktif. Menurut berbagai sumber, dia menulis tidak kurang dari 29 karya.
8
Di antara karyanya yang paling banyak ditelaah adalah al-shirat al-Mustaqim.
Karya-karyanya banyak membicarakan tentang tasawuf, kalam, hadis, fiqih, hadis,
sejarah, dan perbandingan agama.93Ar-Raniri mencurahkan banyak tenaganya
untuk menentang faham Wujudiyah. Dia bahkan melangkah lebih jauh dengan
mengeluarkan fatwa yang mengarah pada semacam pemburuan terhadap orang-
orang sesat, membunuh orang-orang yang menolak melepaskan keyakinan dan
meninggalkan praktek sesat mereka, dan membakar hingga menjadi abu seluruh
buku-buku tokoh sufi sebelumnya.
3. Ar-Raniri
Dalam sejarah pembaharuan Islam Indonesia tidaklah dapat
dipandang remeh, setidak-tidaknya ia yang hanya beberapa tahun menetap di
Aceh berhasil menyalakan sumbu pembaharuan, yang dalam beberapa
dasawarsa selanjutnya telah membakar dan merangsang dinamika pemikiran Islam
bukan hanya di kawasan Nusantara, tetapi juga di Timur Tengah, tatkala al-
Singkili membawa persoalan radikalisme pembaharuan ar-Raniri kepada gurunya,
Ahmad al-Qushasi dan Ibrahim al-Kurani di Haramayn (Mekah & Madinah). Ulama
besar Aceh lainnya adalah Abdurrauf al-Singkili. Al-Singkili hidup dalam
enam periode kesultanan Aceh: Sultan Iskandar Muda, Iskandar Tsani, Sultan ah
Safiat al-din, Sultan ah Nakiyat al-Din, Sultanah Zakiyat al-Din, dan Sultanah
Kamala al-Din. Pada masa 4 Sultanah inilah al-Singkili menjabat sebagai mufti,
(syekh Islam).
4. al-Singkili
Sebagai seorang alim dan mufti dari sebuah kesultanan yang besar
seperti Aceh, yang pernah belajar di Mekah dan Madinah, mempunyai
hubungan dengan beberapa ulama dari berbagai negara, serta menjadi khalifah
tarekat Syattariyah, telah membuatnya bukan hanya mempunyai legitimasi
keagamaan yang otoritatif, tetapi juga legitimasi politik yang kuat. Al-Singkili
menafsirkan kembali doktrin wujudiyahsecara ortodoks (murni). Ia sependapat
dengan gurunya yang menekankan pentingnya kesesuaian pengamalan tasawuf
dan pengamalan syari’ah. Menurutnya, kesempurnaan bathin yang dicita-
citakan seorang saliktidak akan tercapai bila ia meninggalkan ketentuan-
ketentuan syari’ah seperti kewajiban shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Al-Singkili
jelas punya pengaruh yang sangat luas, melampaui negeri asalnya (Aceh). Hal
ini karena Aceh menjadi tempat pemukiman sementara bagi para jamaah haji

9
maupun pelajar yang belajar ke Haramayn ketika mereka menuju atau kembali dari
Arab. Dengan demikian mereka menjadi akrab dengan pemikiran yang berkembang
di Aceh saat itu yaitu pemikiran Islam yang menekanakan ortodoksi.
Dan ini dapat menolak pengaruh ekses-ekses liar mistisisme heterodoks
( bid’ah). Dan sejak saat itu pemikiran mistik dapat ditempatkan lebih sejajar
dengan garis-garis ortodoksi. Pengaruh al-Singkili ini diperluas oleh murid-
muridnya seperti Syekh Abd al-Muhyi yang berhasil menyebarkan
semangat baru Islam ini ke daerah asalnya Jawa Barat kemudian merembes ke
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Murid beliau lainnya adalah Burhanuddin
dari Minangkabau bersama 4orang temannya. Setelah ditunjuk sebagai khalifah
tarekat Syattariyah oleh al-Singkili, Burhanuddin, yang juga terkenal sebagai
Tuanku Ulakan, segera mendirikan suraunya. Yang terbukti menjadi salah satu
sarana yang paling efektif dalam proses transmisi gagasan-gagasan baru
Islam itu.
Selama masa hidupnya, suraunya itu dianggap sebagai pemegang otoritas
tunggal dalam masalah-masalah keagamaan di Minangkabau. Dia sendiri
dianggap sebagai pemimpin masyarakat Muslim Minangkabau kala itu. Sama
dengan pendahulunya, Al-Singkili juga seorang penulis yang produktif. Dialah
orang pertama yang menulis tafsir lengkap al-Quran dalam bahasa Melayu
dengan judul Tarjuman al-Mustafid. Dia jugalah orang pertama di wilayah
Melayu-Indonesia yang menulis mengenai fiqh Muamalah. Melalui karyanya
Mirat al-Thullab, dia menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu bahwa doktrin-
doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah saja tetapi juga mencakup seluruh
aspek kehidupan sehari-hari mereka. Karyanya Miratut Tullab, tidak hanya
membahas tentang aspek ibadah tetapi mengemukakan aspek muamalat,
termasuk kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan keagamaan kaum Muslim.
Makanya tidak mengherankan kalau dulu karyanya ini menjadi acuan
utama kitab kumpulan hukum Islam yang digunakan kaum Muslimdi Kesultanan
Manguindanao (Filipina), yang disebut dengan Lumaran atau Manguindanao Code
of Law.Bila dilihat pada misi dan pemikiran ar-Raniri dan Al-Singkil, keduanya
mempunyai misi dan pemikiran yang sama, yaitu sama-sama menekankan
kemurnian ajaran Islam sesuai dengan ajaran dasarnya. Namun mereka menempuh
pendekatan yang berbeda. Al-Singkili lebih bersikap toleran terhadap pemikiran dan
praktek sufisme heterodoks yang pantheistic. Baginya tidaklah tepat, misalnya

10
mengkafirkan sesama Muslim sebagaimana yang dilakukan ar-Raniri terhadap
pengikut Hamzah maupun Syamsuddin. Di samping itu, ia lebih
cendrung persuasif dan dialogis, sehingga lebih dapat diterima oleh
masyarakatnya secara rasional dan berdampak positif terhadap penyebaran dan
kesinambungan misi gagasan neo sufisme. Sebaliknya ar Raniri bersikap
radikal dan menggunakan pendekatan politis dengan berpegang pada patronase
penguasa, Iskandar Tsani, sehingga iapun diterima secara emosional.
Masa Kemunduran Kesultanan Aceh Darussalam
Aceh mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Iskandar Tsani
berpulang ke rahmatullah. Sebagai penggantinya, beberapa orang sultanah (pemimpin
wanita) menduduki singgasana pada tahun 1641-1699. Mereka adalah
Sultanah Safiat al-din, Sultanah Nakiyat al-Din, Sultanah Zakiyat al-Din, dan
Sultanah Kamala al-Din. Kepemimpinan para sultanah ini mendapat perlawanan dari
kaum ulama Wujudiyah yang berujung dengan datangnya fatwa dari Mufti
Besar Mekah yang menyatakan keberatannya akan kepemimpinan wanita.
Padahal menurut satu sumber, Sultanah Safiat al-din adalah seorang wanita yang
cakap. Ia adalah Puteri Sultan Iskandar Muda dan menjadi isteri Sultan
Iskandar Tsani. Ia disebutkan menguasai enam bahasa; Spanyol, Belanda,
Aceh, Melayu, Arab dan Parsi. Pada masa pemerintahan sultanah ini, beberapa
wilayah taklukan lepas dan kesultanan menjadi terpecah-belah. Meski upaya
pemulihan dilakukan, namun tidak banyak membawa kemajuan. Menjelang
abad ke-18, kesultanan Aceh merupakan bayangan belaka dari masa silam,
Aceh tidak lagi memiliki kepemimpinan yang tangguh. Aceh mengalami
kemerosotan politik dan ekonomi, selain itu wacana pemikiran Islam yang
sempat berkembang pesat pun mengalami kemunduran. Kemunduran kesultanan
Aceh selain disebabkan oleh faktor internal juga sangat dipengaruhi oleh faktor
eksternal.
Sejak awal abad ke-16, kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang
berkepanjangan, pertama dengan Portugis, lalu sejak abad ke-18 dengan Inggris
dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan
wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Inggris.
Melalui Anglo-Dutch Treaty pada tahun 1824, Inggris dan Belanda menetapkan
demarkasi bagi wilayah pengaruh mereka di kepulauan Melayu. Inggris
mengklaim bahwa Aceh adalah wilayah jajahan mereka, meskipun hal ini tidak
11
benar. Pada tahun 1871, Inggris membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh. Aceh
kemudian terlibat perang berkepanjangan, namun demikian Aceh tidak pernah dapat
ditaklukkan secara total oleh Belanda. Sehingga saat Indonesia merdeka
tahun 1945, Aceh masih tetap menjadi sebuah negara yang berdaulat.

B. Peran kerajaan Aceh terhadap Islam Asia Tenggara


1. Pusat peradaban islam di aceh
Pada masa kejayaannya Aceh merupakan pusat peradaban di wilayah dunia islam di
bagian timur, yaitu Asia Tenggara. Bahkan aceh merupakan pintu transmisi jalur perjalanan
penyebaran agama islam ke seluruh wilayah Asia Tenggara. Karena itu aceh terkenal dengan
sebutan serambi mekah.

Di aceh pernah berdiri kerajaan-kerajan islam yang pertama, yaitu kerajaan Peurlak,
kerajaan Samudra Pasai, dan kerajaan Aceh Darus salam.

Menurut Wilfred Cantwel Smith, dalam bukunya islam in modern history,


menyebutkan bahwa kejatuhan kota konstantinopel ke dalam islam adalah merupakan
permulaan dari berjiwanya kembali islam, sehingga pada awal abad ke-14 M muncullah di
panggung maroko di Afrika Utara, Istambul di Asia Kecil, Isfahan di Timur Tengah, Agre di
Anak Benua India, dan Aceh di Asia tenggara.

Dari Aceh muncul beberapa tokoh keilmuan yang menandakan kemajuan keilmuan di
kalangan umat islam di Asia Tenggara. Beberapa ulama prestisius Aceh yang terkenal karya-
karyanya adalah Nuruddin Ar-Raniri, Hamzah fanshuri, Abdurrauf Singkel, Syamsuddin
Sumatrani, dan lain-lain.

Aceh pada masa Samudra pasai pernah di pimpin oleh para sultan yang cinta akan
ilmu dan peradaban. Di antaranya adalah sultan al-malikuzzahir, dimana pada masa
pemerintahannya ibnu batutah pernah singgah di aceh pada tahun 1345 M. ibnu batutah
menuliskan catatan perjalanan nya dalam buku nya yang sangat terkenal rihlah ibnu batutah1,
demikian pula marcopolo pernah singgah di aceh. Aceh pernah di pimpin oleh sultan
perempuan yaitu Shafiatuddin syah, zakiyatuddin syah dan nakiyatuddin syah.

1
Rihla ibnubatutah, telah di terjemahkan dalam Bahasa inggris menjadi travels of ibn batutah. Pengembaraan
ibnu batutah ke berbagai penjuru dunia di tulis dalam buku ini.

12
Islam berkembang ke berbagai wilayah nusantara, antara lain ke ampel, demak,
Cirebon, dan terus berkembang ke Sulawesi, maluku dan Kalimantan. Aceh juga merupakan
kekuatan yang sangat ditakuti belanda semasa penjajahan karena aceh memiliki kekuatan
dalam menghadapi penjajah belanda

2. Keberadaan Kerajaan Islam di Aceh setelah Belanda datang

Aceh pada masa Samudra pasai pernah dipimpin oleh para sultan yang cinta akan
ilmu dan peradaban. Salah satu sultan tersebut yaitu Al-Malikuz Zahir, dimana pada masa
pemerintahannya

Pada bulan April 1595 berlayarlah 4 buah kapal Belanda menuju kepulauan Melayu di
bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Kapal itu kecil belum Sebesar kapal milik Portugis.
tujuan utama perjalanan itu adalah ke Jawa Barat, Karena disana ada pengaruh Portugis. Pada
bulan Juni 1596, setelah berlayar lebih dari 1 tahun, keempat kapal ekspedisi yang dipimpin
Cornelis de Houtman tersebut, sampailah di pelabuhan Banten. Tujuan mereka adalah hendak
mencari rempah-rempah dan berdagang, namun melihat kekayaan bangsa Indonesia yang
berlimpah ruah, mereka akhirnya bertujuan untuk menjajah Indonesia.

Menjelang kedatangan Belanda di Indonesia pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-
17 keadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia tidaklah sama. Perbedaan keadaan tersebut
bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga dalam proses pengembangan
Islam di kerajaan kerajaan tersebut. Misalnya di Sumatera, penduduk sudah memeluk Islam
sekitar 3 abad, sementara di Maluku dan Sulawesi penyebaran agama Islam baru saja
berlangsung.

Di Sumatera, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, peraturan politik di kawasan


Selat Malaka merupakan perjuangan segitiga: Aceh, Portugi,s dan Johor yang merupakan
kelanjutan dari kerajaan Malaka Islam2. Pada abad ke-16, tampaknya Aceh menjadi lebih
dominan, terutama karena para pedagang muslim menghindar dari Malaka, dan memilih
Aceh sebagai pelabuhan trans.it Aceh berusaha menarik perdagangan internasional dan antar
kepulauan nusantara. Bahkan ia mencoba menguasai pelabuhan pelabuhan ekspor lada, yang
ketika itu sedang banyak permintaan. kemenangan aceh atas Johor, membuat kerajaan
terakhir ini pada tahun 1564 menjadi daerah vassal dari Aceh.3
2
Sartono Kartodirdjo, pengantar sejarah Indonesia baru: 1500-1900, jilid 1, Jakarta: Gramedia, 1987, hlm 61
3
Badri Yatim, sejarah peradaban islam, Jakarta: raja grafindo persada, 2000, hlm 231

13
Setelah berhasil menguasai daerah-daerah di Sumatera bagian utara, Aceh berusaha
menguasai Jambi, pelabuhan ekspor lada yang banyak dihasilkan di daerah-daerah
pedalaman, seperti Minangkabau, dan yang diangkut lewat sungai Indragiri, Kampar,
Batanghari. Jambi, yang ketika itu sudah Islam, juga merupakan pelabuhan transito, tempat
beras dan bahan-bahan lain dari Jawa, Cina, India, dan lain-lain diekspor ke Malaka. Selain
itu ekspansi Aceh ketika itu berhasil menguasai perdagangan Pantai Barat Sumatera dan
mencakup Tiku, Pariaman, dan Bengkulu.

Ketika itu Aceh memang sedang berada di masa kejayaannya di bawah pemerintahan
Sultan Iskandar Muda. Iskandar Muda wafat dalam usia 46 tahun, pada 27 Desember 1636. Ia
digantikan oleh Sultan Iskandar tsanni. Sultan ini masih mampu mempertahankan kebesaran
Aceh. Akan tetapi setelah ia meninggal dunia 15 Februari 1641, Aceh secara berturut-turut
dipimpin oleh tiga orang wanita selama 59 tahun. Pada saat itu mengalami kemunduran.
Daerah-daerah di Sumatera yang dulu berada dibawah kekuasaan mulai memerdekakan diri.

Meskipun sudah jauh menurun Aceh masih bertahan lama menikmati kedaulatannya
dari intervensi kekuatan asing. Padahal kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti
Minangkabau, Jambi, Riau dan Palembang tidak demikian.

3. PERANG ACEH
Perang Aceh berlangsung selama 31 tahun, antara tahun 1873-1914. Memang
membutuhkan waktu lama untuk memendam kan perang itu, mengingat perang ini
melibatkan seluruh rakyat Aceh. Semangat perjuangan rakyat Aceh diperkuat oleh
penghayatan keagamaan. Perang melawan Belanda adalah Perang Sabil sehingga rakyat
bersedia bertempur sampai titik darah penghabisan. Dukungan rakyat Aceh juga dikarenakan
peranan pada uleebalang (hulubalang) dan ulama. kewibawaan mereka disambut loyalitas
yang tinggi dari rakyat.

Saat Indonesia kembali dikuasai Belanda, terjalin persetujuan antara Inggris dan Belanda
bahwa Belanda tidak dibenarkan mengganggu kedaulatan Aceh. Akan tetapi, kesepakatan itu
hanya bersifat politis. Nyatanya Belanda tetap mengincar Aceh. Niat itu terlihat dari tindakan
Belanda menduduki wilayah-wilayah sekitar Aceh. Dorongan untuk menguasai Aceh
semakin kuat sejak dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869. Lalu lintas pelayaran di Selat
Malaka semakin ramai, sementara Aceh berperan sebagai pintu gerbang memasuki Selat
tersebut.4

4
Badri yatim hlm.247

14
Setelah Terusan Suez dibuka Pelabuhan Aceh menjadi sangat strategis karena berada
dalam urat nadi pelayaran internasional. Sementara itu, imperialisme dan kapitalisme
memuncak dan negara-negara barat berlomba-lomba mencari daerah jajahan baru.5

Traktat London 1824 bahkan menjamin kemerdekaan Aceh. Pada tanggal 30 Maret 1857
ditandatangani kontrak antara Aceh dan pemerintah Hindia Belanda yang berisi kebebasan
perdagangan. Kontrak tersebut memberi kedudukan kepada Belanda di sana dan diperkuat
oleh traktat Siak yang ditandatangani pada tahun itu juga. Sultan Aceh menentang isi traktat
tersebut karena bertentangan dengan homogenic Aceh. Dalam pertempuran antara Aceh dan
Belanda setelah itu, Deli, Serdang, dan Asahan jatuh ke tangan Belanda.6

Kondisi ini mendesak Inggris dan Belanda untuk mengadakan perundingan pada tanggal
2 November 1871, Inggris dan Belanda sepakat menandatangani traktat Sumatera.
Berdasarkan perjanjian tersebut Belanda memperoleh kebebasan memperluas kekuasaan di
Sumatera, Termasuk Aceh. traktat ini jelas memberi peluang kepada Belanda untuk
meneruskan agresinya Belanda kemudian memaklumkan perang terhadap Aceh pada tanggal
26 Maret 1873.

Mengetahui perkembangan tersebut, Aceh mempersiapkan diri untuk menghadapi


kemungkinan perang. Diadakanlah hubungan dengan negara lain mencari bantuan dalam
tempo singkatM Dikirimnya utusan ke Turki. Aceh juga mengadakan hubungan dengan
konsul Italia dan Amerika Serikat di Singapura dan berhasil, tindakan Aceh membangkitkan
kekhawatiran pemerintah kolonial.

Pada tanggal 22 Maret 1873, datanglah utusan Belanda menghadapi Sultan Aceh. Putusan
itu membawa surat yang isinya mengejutkan beberapa ultimatum. Dari komisaris Aceh F.N.
nieuwenhusye agar aceh mengakui kedaulatan pemerintahan kolonial Belanda, Aceh
menolak. maka 4 hari kemudian pemerintah kolonial menggumumkan perang terhadap Aceh.

Pada tahun 187,3 pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal J.H.R Kohler mulai
menggempur Aceh. Setelah membordir Pantai Cermin pasukan terus maju menyerang Masjid
Raya Baiturrahman, pusat pertahanan Laskar Aceh. Di tempat ini terjadi pertempuran sengit
rakyat Aceh berupaya mati-matian mempertahankan masjid karena terus-menerus dihujat
peluru. Masjid megah itu terbakar, Laskar Aceh terpaksa mengundurkan diri pada tanggal 14

5
Kh. Saifuddin zuhri, hlm.543.
6
Badri yatim, sejarah peradaban islam, hlm 249.

15
April 1873. Masjid berhasil diduduki namun Jenderal Kohler tewas tertembak saat sedang
memeriksa keadaan masjid.

Setelah jatuhnya Masjid Raya pusat pertahanan, Laskar Aceh beralih ke istana Sultan
Aceh di KutaRaja serangan Belanda pun diarahkan begitu kuat sehingga Belanda berkali-kali
gagal menembus istana. Bahkan Laskar Aceh memukul mundur pasukan Belanda sampai ke
pantai. Masjid Raya kembali dikuasai pada tanggal 19 April 1873, pasukan Belanda di
panggil ke Batavia serangan pertama Belanda ke Aceh mengalami kegagalan.

Menjelang akhir tahun 1873, sekitar 13000 pasukan Belanda kembali mendarat di pantai
Aceh, pimpinan pasukan kali ini adalah Letnan De houtman. Tugas yang dibebankan kepada-
nya adalah merebut istana kutaraja. Pertempuran ini lebih hebat dari sebelumnya, meskipun
terus mengalir bantuan Laskar. Uleebalang istana pun akhirnya dapat diduduki. Selanjutnya
istana ini menjadi Pusat kedudukan Belanda, dalam melancarkan serangan ke segenap
penjuru Aceh. Dengan jatuhnya kutaraja, Belanda mengira kekuatan Aceh telah hancur.
Dugaan tersebut ternyata keliru sama sekali, semangat perlawanan justru semakin meningkat.
Para uleebalang ulama, kepala adat, dan rakyat terus bahu-membahu menyusun kekuatan,
serta meningkatkan serangan secara gerilya. Para tokoh yang berperan dalam perjuangan itu
adalah Panglima Polim, Teuku Cikditiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Cut Meuti, Imam
Lembata dan Teuku Ibrahim.

Tidak lama setelah itu, pada 1874 Sultan meninggal dunia karena penyakit kolera, dan
para pengikutnya mengungsi lebih jauh lagi. Belanda berusaha mengadakan perundingan
tetapi tidak ditanggapi oleh pihak Aceh. Belanda kemudian menggunakan strategi menunggu
dan menjalankan sistem klasifikasi. Dengan sistem ini Belanda berusaha menguasai dan
mengamankan lembah sungai Aceh dan Aceh Besar. Mereka mendirikan benteng-benteng
sebagai pos untuk mengawasi daerah sekitarnya. Pos-pos pengawasan itu terus menerus
mendapat serangan dari tentara Aceh yang mulai terorganisir. Di samping itu di sekitar pos-
pos tersebut terjangkit penyakit kolera. Akhirnya hubungan antar pulau tersebut dapat
ditembus dan diputus oleh tentara Aceh pada tahun 1877. Setelah itu Belanda melakukan
konverensi dengan mengirim ekspedisi ke tempat Panglima Polim memimpin perlawanan.
Panglima Polim terpaksa mengungsi ke daerah-daerah sekitar. Aceh besar jatuh ke tangan
Belanda pada tahun 1877, Belanda menyerbu dengan kekuatan penuh dari darat dan laut.
Beberapa daerah tersebut dikuasai dan tempat-tempat ini segera didirikan posko militer yang
berhubungan satu sama lain. Pembangunan pos-pos ini dimaksudkan untuk mempersempit

16
ruang gerak Laskar Aceh. Rupanya Belanda menggunakan siasat Benteng Stelsel untuk
menguasai Aceh, namun dengan cerdik gerilya Aceh merusak jalan-jalan ataupun jembatan
jembatan penghubung. Setelah komunikasi antar pos diputuskan, serangan dilanjutkan
menggempur tiap pos. Akibat Serangan ini pertahanan Belanda sangat menderita apalagi
semakin bertambah parah dengan berjangkitnya wabah penyakit kolera.

Sebelumnya penyakit kolera juga menyerang Sultan Aceh, dalam pengasingan Sultan
Aceh meninggal pada 1874. Kedudukannya digantikan oleh putranya Muhammad Daud
Syah. Meskipun masih muda Sultan baru ini menjadi lambang perlawanan rakyat Aceh.

Tidak efektifnya siasat Benteng Stelsel mendorong Belanda untuk mengubah Sistem
penyerangan, siasat yang digunakan kali ini adalah konsentrasi stelsel. Saat ini KutaRaja
ditempatkan sebagai pusat pertahanan, lalu kota ini dikelilingi setengah lingkaran oleh
benteng-benteng berjarak 5-6 km dari kota. Antara benteng dihubungkan dengan trem.
Meskipun lebih hemat dan praktis yang saat ini justru memberi peluang Laskar Aceh
memperhebat serangan gerilya nya.

Karena belum juga, berhasil Gubernur Jendral deykerhoff mengadakan pendekatan


kepada para uleebalang. Pendekatan ini berhasil, antara lain terkait dari membelotnya Teuku
Umar memihak Belanda. Karena keberhasilannya menguasai beberapa wilayah Teuku Umar
segera mendapatkan kepercayaan dari deykerhoff. Ia beserta pasukannya mendapat peralatan
perang yang cukup lengkap. Teuku Umar ini hanyalah sia-sia belaka, setelah bersenjata
lengkap Teuku Umar kembali menyerang Belanda, gempuran Aceh kali ini betul-betul
mengejutkan Belanda.

Atas anjuran D.R.C Snouck Hurgronje, Belanda memusatkan serangan pada kedudukan
pemimpin perlawanan. Selain itu Belanda juga mengikat hubungan dengan para bangsawan
ataupun uleebalang, dengan janji memasukkan anggota keluarga mereka menjadi Pamong.
Para raja Dalam pemerintahan kolonial Belanda kali ini dimaksudkan untuk memecah belah
uleebalang dengan kaum ulama, lalu untuk mengaktifkan serangan gubernur militer Aceh.
jendral Van heutz membentuk korp marechausse yakni pasukan beranggotakan orang
Indonesia yang dipimpin oleh perwira Belanda yang pandai berbahasa Aceh.

Sejak bulan Mei 1898, serangan demi serangan pasukan Belanda semakin gencar
dilancarkan. Beberapa ulama dan uleebalang terpaksa menyerah, Teuku Umar menyingkir ke
Aceh Timur, sementara Panglima Polim menyingkir ke Aceh Barat. Aceh belum mau
menyerah pertahanan Aceh dipusatkan di daerah Gayo. Belanda pun lalu memusatkan

17
serangan Ke kawasan tersebut. Setahun berikutnya dalam suatu pertempuran yang sengit di
sekitar Meulaboh Teuku Umar gugur satu demi satu uleebalang menyerah daerah demi
daerah jatuh ke tangan musuh.

Dua tahun kemudian serangan Belanda ditujukan untuk mengejar rombongan Sultan
Aceh. Ditakutkan sultan yang Beranjak Dewasa ini akan dapat menggalang kekuatan baru.
Pada tanggal 26 November 1902 di sergap, sehingga Sultan bersama berapa pengikutnya
dapat ditawan. Tahun berikutnya Panglima Polim menyerah disusul tertangkapnya Cut Nyak
Dien dan Cut Meutia, pejuang wanita yang sangat berpengaruh perang Aceh yang dahsyat ini
pun akhirnya berakhir.

Meskipun Sultan tertawan dan Panglima Polim menyerah, peperangan terus berlangsung
baik secara perorangan maupun kelompok. Sampai Belanda meninggalkan Indonesia pada
tahun 1942. Antara tahun 1939-1930 di daerah Pidie Aceh Tengah dan Tenggara, Aceh Barat
dan Aceh Timur masih sering muncul perlawanan sengit yang sebagian besar dipimpin oleh
para ulama. Belanda sangat kewalahan untuk menundukkan perlawanan rakyat Aceh.

C. Perkembangan Kerajaan Aceh Dalam Penyebaran Islam


1. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam Di Aceh

Hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula
dimasuki islam ialah Aceh. Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya islam ke
Indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal 17-20 maret 1963.

Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan
langsung dari arab. Daerah yang pertama kali di datangi oleh islam adalah pesisir Sumatra,
adapun kerajaan islam yang pertama adalah di Pasai. Dalam proses pengislaman
selanjutnya,orang-orang Indonesia ikut aktif mengambil peranan dan proses penyiaran islam
dilakukan secara damai. Keterangan islam di aceh, ikut mencerdaskan rakyat dan membawa
peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.

Masuknya islam ke Aceh ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari Arab.
Dan jalur yang digunakan adalah : Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayanan.
Dakwah, yang di lakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para
mubaligh itu bisa di katakana sebagai sufi pengembara. Perkawinan yaitu perkawinan antara
pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan
terbentuknya inti sosialn yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim. Pendidikan, pusat-

18
pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran islam.
Kesenian, jalur yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran islam terutama di jawa adalah
seni.

Dalam perkembangan agama islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat penting
besar, karena mubaligh tersebut tidak anya berasal dari arab, tetapi juga Persia, India, juga
dari Negeri sendiri. Bentuk agama islam itu sendiri mempercepat penyebaran islam, apalagi
sebelum masuk ke Indonesia yaitu telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerag Persia dan
India, dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan
Indonesia.

Teori-Teori Pemikiran tentang bagaimana sejarah masuknya Islam di Indonesia di


pahami melalui sejumlah teori. Aji Setiawan melihat bahwa datangnya Islam ke nusantara
melalui tiga teori, yaitu:

 Teori gujarat, memandang bahwa asal muasal datangnya Islam di Indonesia adalah
melalui jalur perdagangan Gujarat India pada abad 13-14.
 Teori persia, lebih menitikberatkan pada realitas kesamaan kebudayaan antara
masyarakat indonesia pada saat itu dengan budaya Persia.
 Teori arab berpandangan bahwa pedagang Arab yang mendominasi perdagangan
Barat-Timur sejak abad ke-7 atau 8 juga sekaligus melakukan penyebaran Islam di
nusantara pada saat itu.

Meyakini bahwa Islam sudah masuk ke Aceh dalam abad I Hijriah. Dalam hubungan
ini juga Gerini memastikan tentang sudah beradanya orang-orang Arab dan Parsi di bagian
pantai utara Sumatera, sejak awal Islam. Dalam studinya Kolonel G.E Gerini.Menurut sejarah
bahwa datangnya orang-orang Arab maupun Parsi di Kawasan pantai utara Sumatera di abad
permulaan Hijriah dengan membawa Kalimat Tabligh yakni Penyampaian Hukum Syari’ah
Ke tanah Aceh menjadi pendorong bagi setiap pendakwah untuk meyakinkan tentang sudah
beradanya Islam di sana sejak masa itu. Adapun yang menyatakan apakah telah berdirinya
pemukiman orang Tashi. Dari tulisan Leur turut mendukung bahwa Islam sudah masuk di
bagian Barat Sumatera pada tahu 674-an, Hal ini meneguhkan catatan dari dinasti Tang.

Menurut T.W. Arnold. Sejak abad II sebelum masehi, orang Arab sudah meluaskan
perdagangan mereka ke Srilanka.Tatkala Islam di kepulauan Indonesia dengan kegiatan
dagang para saudagar dari Arab Masuk Menuju Asia Timur. Sejak awal abad VII sesudah

19
Masehi kegiatan tersebut berlanjut ke Tiongkok melalui laut. Dapat diperkirakan, tulis
Arnold, orang-orang Arab itu sudah membangun pemukiman di beberapa pulau di Nusantara.

2. Pengkajian Islam Pada Tiga Kerajaan Islam Di Aceh


a. Zaman Kerajaan Samudra Pasai

Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan
pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua
bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama AlMalik Sabar Syah (tahun 1444 M/
abad ke-15 H).

Menurut Ibnu Batutah, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam
di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negaranegara Islam. Ibnu Batutah
menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada paraulama dan ilmu
pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian
ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara
lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara
diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil
posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh
wajah murid menghadap guru.

b. Zaman Kerajaan Perlak

Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama
Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama
yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan
daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.

c. Zaman Kerajaan Aceh Darussalam

Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di
belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin
Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522
M).

Peletak dasar kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Alauddin Riayat Syah.
Kerajaan ini mencapai puncaknya pada masa Sultan Iskandar Muda (1608-1637M)

20
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, menguasai seluruh pelabuhan di pesisir timur dan
barat Sumatra. Ia memerintah dengan keras dalam menentang penjajah Portugis. Setelah itu
keduduknnya digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani yang memerintah lebih liberal. Pada
masanya perkembangan ilmu pengetahuan islam mengalami masa keemasannya. Akan tetapi,
setelah ia meninggal, semua penguasanya dari kalangan perempuan (1641-1699), yaitu
Sultanah Shafiyatuddin Syah, Zakiyatuddin Syah, dan Naqiyatuddin Syah sehingga
kekuasaan mengalami kelemahan, yang pada akhirnya pada abad ke-18 kebesaranya mulai
menurun.

Pada masa kerajaan ini, perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju, pada masa
ini muncul tokoh-tokoh ulama seperti:

1. Syaikh Abdullah Arif (dari Arab)

2. Hamzah Al-Fanshuri (tokoh tasawuf)

3. Syamsuddin As-Sumatrani (1630 M)

4. Abdurrauf Singkel (1693 M)

Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya
Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam.
Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang
Aceh adalah seorang Islam. Sultan Alaiddin Abdul Aziz ( Pembangun Awal Kebudayaan
Islam di Indonesia).

Dalam mengembangkan Tamadun dan kebudayaan Islam. Kerajaan Islam perlak


melaksanakan dengan sungguh-sungguh ajaran yang terkandung dalam lima ayat pertama
Surah Al Alaq, yang berintikan perintah wajib belajar segala macam ilmu pengetahuan.
Wajib belajar tulis-baca dan wajib belajar mengarang untuk mengabadikan ilmu pengetahuan
yang telah dipelajarinya.

Kerajaan Islam Perlak dengan cepat membangun pusat-pusat pendidikan di tiap-tiap


kampung yang dinamakan madrasah, yang kemudian dalam perjalanan sejarah berubah
menjadi meunasah, yang tetap ada sampai sekarang di tiap-tiap kampung di Aceh.

Pada tiap-tiap mukim, Kerajaan Islam Perlak mendirikan balai pendidikan lanjutan
yang dinamakan zawiyah, yang kemudian berubah menjadi dayah. Pada tingkat kerajaan di

21
dirikan sebuah pusat pendidikan tinggi yang diberi nama zawiyah Cotkala, yang berlokasi di
Bayeun, dekat Perlak. Dari sinilah lahir ulama-ulama, mujahid-mujahid dakwah dan para
pemimpin, yang kemudian ikut mengembangkan dakwah islamiyah dan membangun
kebudayaan islam di seluruh Asia Tenggara. Sultan Alaiddin Johan Syah ( Pembangun Pusat
Kebudayaan Islam Banda Aceh). Ada kesepakatan sejumlah naskah tua dan catatan-
catatan para pengembara ilmiayah, bahwa Johan Syah adalah pembangun kota Banda Aceh
Darussalam, sebagai ibukota kerajaan Islam. Banda Aceh Darussalam tidaklah lahir
mendadak, tidak didahului oleh peristiwa-peristiwa lain sebelumnya. Banda Aceh sebagai
pusat kegiatan politik, ekonomi, militer, ilmu pengetahuan, dan sosial budaya di belahan
timur dunia, sebelum ia lahir keadaan lingkungan di ujung Utara Pulau Sumatera ini telah
menjadi matang untuk kelahirannya.

Dari keterangan-keterangan yang diperoleh dan ditmbah lagi dengan penemuan batu-
batu nisan di kampung pande, antara lain batu nisan sultan Firman Syah,cucunya Johan Syah
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Banda Aceh sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam dibangun pada hari jumat, 1
Ramadhan 601 H.

b. Pembangunan kota Banda Aceh Darussalam pada tanggal tersebut sultan JohanSyah,
pendiri Kerajaan Aceh Darussalam, setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Indra Purba
yang Hindu/ Budha dengan ibukotanya Bandar Lamuri.

c. Kuala Naga di kampung Pande sekarang, dengan nama Kandang Aceh.

d. Pada masa pemerintahan cucnya, Sultan Mahmud Syah, istananya dibangunyang baru

diseberang Kuala Naga yang telah berubah namannya menjadi Kuta Dalam Darud Dunia.

3. Tokoh-tokoh Sejarah pada Masa islam


Masa Islam Agama Islam masuk ke wilayah Indonesia dibawa oleh para pedagang
dari Arab dan Gujarat. Mula-mula Islam dikenal dan berkembang di daerah Sumatra Utara,
tepatnya di Pasai dan Perlak. Dari daerah tersebut, Agama Islam terus menyebar ke hampir
seluruh wilayah Nusantara. Agama Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat
Indonesia waktu itu. Mengapa agama Islam dapat diterima dengan mudah? sebabnya antara
lain sebagai berikut.

22
 Syarat-syarat untuk masuk Islam tidak sulit. Untuk masuk Islam seseorang cukup
mengucapkan dua kalimat syahadat.

 Peran ulama,kyai, dan para pendakwah giat melakukan siar agama. Banyak tokoh
penyebar agama Islam menggunakan sarana budaya setempat. Misalnya, beberapa wali di
Pulau Jawa menggunakan sarana wayang untuk sarana dakwah.

23
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Kemajuan kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17.
Aceh dikenal memiliki sumber daya alam yang kaya.
Kemajuan kerajaan Aceh dalam bidang agama ditandai dengan
munculnya Aceh sebagai kiblat pengajaran Islam. Aceh ketika itu menjadi center
ilmu pengetahun di Asia Tenggara yang melahirkan nama-nama para
intelektual Muslim atau ulama-ulama terkenal :
1. Syaikh Abdullah Arif (dari Arab)
2. Hamzah Al-Fanshuri (tokoh tasawuf)
3. Syamsuddin As-Sumatrani (1630 M)
4. Abdurrauf Singkel (1693 M)
Aceh mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Iskandar Tsani
berpulang ke rahmatullah. Sebagai penggantinya, beberapa orang sultanah (pemimpin
wanita) menduduki singgasana pada tahun 1641-1699. Pada akhir abad
ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang
di Semenanjung Melayu kepada Inggris.
B. Saran

Penulis menyadari tentunya Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena kesempurnaan
hanya milik sang pencipta. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat
membangun dari dosen dan para pembaca agar dapat kedepannya menjadi lebih baik lagi.
Pemakalah juga mengharapkan bimbingan dan pengajaran yang lebih mendalam dari dosen
pembimbing dalam mata kuliah Sejarah Islam Asia Tenggara. Mudah-mudahan makalah ini
bemanfaat, bisa menambah ilmu dan wawasan kita.

24
DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra. 1989. Perspektif islam di asia tenggara. Jakarta: Yayasan obor

1989. sejarah masuk dan berkembangnya islam di Indonesia. Bandung : almaarif

Rizal Chairul, sejarah masuk dan berkembangnya islam, Aceh: muktamar Al Katab,2014

Tgk. Wahab Aceh, sejarah berdirinya Islamic center lhokseumawe, aceh utara : geutanyo
perss, 2010.

http://repository.uin-suska.ac.id/10369/1/Sejarah%20Islam%20Asia%20Tenggara.pdf

Dr. Hj. Helmiati, M.Ag : SEJARAH ISLAM ASIA TENGGARA, Riau: LPPM UIN
SUSKA, 2014

25

Anda mungkin juga menyukai