Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

“KERAJAAN ISLAM DI ACEH DAN IMPLIKASINYA BAGI PENYEBARAN ISLAM DI


INDONESIA”

Mata Kuliah Islam Nusantara


Dosen Pengampu: Atsmarina Awanis, M.A.

Oleh:

ALI NURDIN SHODIQ

AHMAD BADRUN

ZAKY ALHAIDAR (2331014)

Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas Syariah, Ushuluddin dan Dakwah

Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Kebumen

1445 H/2023 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang
telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “KERAJAAN ISLAM DI ACEH DAN
IMPLIKASINYA BAGI PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA”. Sholawat
dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada sang pencerah alam semesta
dengan cahaya keimanan. Yakni baginda Nabi Muhammad SAW, utusan Allah
yang telah membawa cahaya keimanan kepada seluruh alam.
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada Ibu Atsmarina Awanis, M.A.
selaku dosen pengampu mata kuliah Islam Nusantara yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk menyusun makalah ini. Tidak lupa juga kami
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang yang telah memberikan bantuan
baik dalam bentuk literatur, sumber daya, maupun dukungan moral dan spiritual.

Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
kami sangat menghargai masukan, saran, dan kritik yang bersifat membangun dari
para pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca maupun penulis
sendiri serta dapat menjadi kontribusi kecil kami dalam perkembangan ilmu
pengetahuan islam.

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Kebumen, 9 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3
A. Masuknya islam ke Nusantara ................................................................................ 3
a. Teori Arab ........................................................................................................... 3
b. Teori Persia ......................................................................................................... 4
c. Teori India........................................................................................................... 4
d. Teori Turki .......................................................................................................... 5
B. Kerajaan-kerajaan islam di Aceh ............................................................................ 6
a. Kerajaan Perlak ................................................................................................... 6
b. Kerajaan Samudra Pasai.................................................................................... 12
c. Kerajaan Aceh Darussalam ............................................................................... 15
C. Penyebaran Islam di Nusantara ............................................................................. 21
a. Penaklukkan Daerah-daerah ............................................................................. 22
b. Sufisme ............................................................................................................. 22
c. Lembaga Pendidikan dan Pengkaderan Ulama ................................................. 23
d. Penyebaran Lewat Karya-Karya Ulama Besar Aceh ........................................ 23
e. Aceh Sebagai Pintu Gerbang Tanah Suci ......................................................... 25
BAB II .............................................................................................................................. 26
PENUTUP ........................................................................................................................ 26
Kesimpulan ................................................................................................................... 26

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki sejarah


penting dalam perkembangan Islam. Aceh dikenal sebagai salah satu pusat
penyebaran agama Islam di Indonesia dan wilayah yang memiliki kerajaan Islam
tertua di Nusantara. Kerajaan Islam di Aceh memiliki peranan penting dalam
penyebaran Islam di wilayah Indonesia, serta berkontribusi dalam
perkembangan kultural, sosial, dan politik di masa lalu.
Perlak adalah kerajaan Islam pertama di Aceh, Kerajaan Perlak dikenal
memainkan peran penting dalam perdagangan laut dengan negara-negara
Muslim dan menyediakan akses ke dunia Islam yang lebih luas bagi masyarakat
Aceh. Kerajaan ini juga menjadi pusat pendidikan Islam dan tempat belajar bagi
banyak ulama, yang kemudian berperan dalam penyebaran agama Islam di
berbagai daerah di Indonesia.
Selain itu, kerajaan Islam Aceh juga dikenal dengan perjuangan melawan
kolonialisasi oleh bangsa-bangsa Eropa, terutama melawan Portugis dan
Belanda. Perlawanan sengit ini mencerminkan tekad keras untuk
mempertahankan nilai-nilai Islam dan kedaulatan wilayahnya.
Dalam konteks penyebaran Islam di Indonesia, Aceh telah menjadi pintu
gerbang agama Islam di Indonesia, dan pelajaran yang dapat diambil dari sejarah
ini adalah bagaimana kerajaan Islam Aceh mempengaruhi penyebaran Islam di
seluruh Indonesia. Kajian ini juga dapat membantu kita memahami bagaimana
Aceh berperan dalam mempertahankan identitas Islam dan kemerdekaan dalam
menghadapi invasi asing.
Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mengkaji sejarah kerajaan
Islam di Aceh dan implikasinya terhadap penyebaran Islam di Indonesia.
Dengan mengeksplorasi berdiri dan berkembangnya kerajaan islam di Aceh
dalam sejarah penyebaran Islam dan dampaknya pada budaya dan masyarakat di

1
Nusantara, makalah ini akan memberikan wawasan yang mendalam tentang
sejarah Islam di Aceh dan peran bersejarahnya dalam penyebaran Islam di
Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdiri dan berkembangnya Kerajaan-kerajaan islam di
aceh?
2. Bagimana implikasinya bagi penyebaran islam di Indonesia?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masuknya islam ke Nusantara


Sebelum memahami peran kerajaan Islam di Aceh dalam penyebaran Islam di
Nusantara, kita perlu menjelaskan mengapa wilayah Aceh dan Sumatra menjadi
tempat masuknya Islam terlebih dahulu di Nusantara. Ada beberapa teori yang
menjelaskan tentang masuknya Islam ke Nusantara dan mengapa wilayah-wilayah
barat, terutama Aceh dan Sumatra, menjadi pintu masuk awal agama Islam di
wilayah Nusantara.

a. Teori Arab
Menurut Hamka bahwa Islam masuk ke Nusantar tahun 674 M. Berdasarkan
Catatan Tiongkok, saat itu datang seorang utusan raja Arab ber-nama Ta Cheh atau
Ta Shih (kemungkinan Muawiyah bin Abu Sufyan) ke Kerajaan Ho Ling
(Kalingga) di Jawa yang diperintah oleh Ratu Shima. Ta-Shih juga ditemukan dari
berita Jepang yang ditulis tahun 748 M. Diceritakan pada masa itu terdapat kapal-
kapal Po-sse dan Ta-Shih K-Uo. Menurut Rose Di Meglio, istilah Po-sse
menunjukan jenis bahasa Melayu sedangkan Ta-Shih hanya menunjukan orang-
orang Arab dan Persia bukan Muslim India. Juneid Parinduri kemudian
memperkuat lagi, pada 670 M, di Barus Tapanuli ditemukan sebuah makam
bertuliskan Ha-Mim. Semua fakta tersebut tidaklah mengherankan mengingat
bahwa pada abad ke-7, Asia Tenggara memang merupakan lalu lintas perda-gangan
dan interaksi politik antara tiga kekuasaan besar, yaitu Cina di bawah Dinasti Tang
(618-907), Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14), dan Dinasti Umayyah (660-749).1

Menurt Al-Attas dalam karyanya yang berjudul Islam dalam Sejarah dan
Kebudayaan Melayu, Prof Sayid Muhammad Naquib al-Attas menekankan teori
yang sama tentang sejarah kedatangan Islam ke “Kepulauan Melayu-Indonesia”.
Analisisnya memperlihatkan persamaan dengan pendapat Hamka dalam Sejarah
Umat Islam. Al-Attas menjelaskan bahawa proses Islamisasi di daratan Melayu

1
Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, 4.

3
terjadi dalam tiga tahap. Fase Pertama (dari sekitar 578-805/1200-1400), adalah
fase peralihan yang nominal atau penghijrahan ‘jasad’. Fase kedua (dari sekitar
803-1112/1400-1700) merupakan periode peralihan ‘rohani’ dengan adanya
peningkatan penyebaran falsafah mistik, tasawuf dan kalam. Fase ketiga (dari
sekitar 1112/1700 ke atas) terjadi penyempurnaan fase kedua bersamaan dengan
kedatangan Barat.2

Al-Attas juga menyoroti signifikansi dakwah islam sebagai upaya menyanggah


teori sarjana dan orientalis barat yang hanya memperhatikan pengaruh Hinduisme
dan faham animisme terhadap pembentukan peradaban dan pemikiran melayu dan
cenderung mengesampingkan pengaruh islam dalam membentuk Sejarah dan
kebudayaan melayu selama berabad -abad ini. Menurut al-Attas, kedatangan Islam
telah membentuk budaya dan weltanschauung yang baru di mana literatur kalam
dan metafisik Islam telah membentuk revolusi pandangan dunia Melayu-Indonesia.

b. Teori Persia
Berbeda dengan teori sebelumnya teori Persia lebih merujuk kepada aspek
bahasa yang menunjukan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara dan bahasanya
telah diserap. Seperti kata “Abdas” yang dipakai oleh masyarakat Sunda merupakan
serapan dari Persia yang artinya wudhu.

Bukti lain pengaruh bahasa Persia adalah bahasa Arab yang di-gunakan
masyarakat Nusantara, seperti kata-kata yang berakhiran ta’ marbūthah apabila
dalam keadaan wakaf dibaca “h” seperti shalātun dibaca shalah. Namun dalam
bahasa Nusantara dibaca salat, zakat, tobat, dan lain-lain.3

c. Teori India
Teori ini menyatakan Islam datang ke Nusantara bukan langsung dari Arab
melainkan melalui India pada abad ke-13. Dalam teori ini disebut lima tempat asal
Islam di India yaitu Gujarat, Cambay, Malabar, Coromandel, dan Bengal.4 Teori
India yang menjelaskan Islam berasal dari Gujarat terbukti mempunyai kelemahan-

2
Syed Muhammad Naquib al-Attas. Preliminary Statement on a General Theory of the
Islamization of the Malay-Archipelago (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969), hh. 29-
30.
3
Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, 8.
4
Ibid., h. 9.

4
kelemahan. Hal ini dibuktikan oleh G.E. Marrison dengan argumennya “Meskipun
batu-batu nisan yang ditemukan di tempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi
berasal dari Gujarat atau Bengal, seperti yang dikatakan Fatimi. Itu tidak lantas
berarti Islam juga didatangkan dari sana”. Marrison mematahkan teori ini dengan
menuujuk pada kenyataan bahwa ketika masa Islamisasi Samudera Pasai, yang raja
pertamanya wafat pada 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu.
Barulah setahun kemudian Gujarat ditaklukan oleh kekuasaan muslim. Jika Gujarat
adalah pusat Islam, pastilah telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum
kematian Malikush Shaleh. Dari teori yang dikemukakan oleh G.E. Marrison bahwa
Islam Nusantara bukan berasal dari Gujarat melainkan dibawa para penyebar
muslim dari pantai Koromandel pada akhir abad ke-13.

Teori yang dikemukakan Marrison kelihatan mendukung pendapat yang


dipegang T.W. Arnold. Menulis jauh sebelum Marrison, Arnold ber-pendapat
bahwa Islam dibawa ke Nusantara, antara lain dari Koromandel dan Malabar. Ia
menyokong teori ini dengan menunjuk pada persamaan mazhab fiqh di antara kedua
wilayah tersebut. Mayoritas muslim di Nusantara adalah pengikut Mazhab Syafi‟i,
yang juga cukup dominan di wilayah Koromandel dan Malabar, seperti disaksikan
oleh Ibnu Batutah (1304-1377), pengembara dari Maroko, ketika ia mengunjungi
kawasan ini. Menurut Arnold, para pedagang dari Koromandel dan Malabar mem-
punyai peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Sejumlah
besar pedagang ini mendatangi pelabuhan-pelabuhan dagang dunia Nusantara-
Melayu, mereka ternyata tidak hanya terlibat dalam per-dagangan, tetapi juga
dalam penyebaran Islam.5

d. Teori Turki
Teori ini diajukan oleh Martin Van Bruinessen yang dikutip dalam Moeflich
Hasbullah. Ia menjelaskan bah-wa selain orang Arab dan Cina, Indonesia juga
diislamkan oleh orang-orang Kurdi dari Turki. Ia mencatat sejumlah data. Pertama,
banyaknya ulama Kurdi yang berperan mengajarkan Islam di Indonesia dan kitab-
kitab karangan ulama Kurdi menjadi sumber-sumber yang berpengaruh luas.

5
Azyumardi Azra, Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 3 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2012), 11.

5
Misalkan, Kitab Tanwīr al-Qulūb karangan Muhammad Amin al-Kurdi populer di
kalangan tarekat Naqsyabandi di Indonesia. Kedua, di antara ulama di Madinah
yang mengajari ulama-ulama Indonesia terekat Syattariyah yang kemudian dibawa
ke Nusantara adalah Ibrahim al-Kurani. Ibrahim al-Kurani yang kebanyakan
muridnya orang Indonesia adalah ulama Kurdi. Ketiga, tradisi barzanji populer di
Indonesia dibaca-kan setiap Maulid Nabi pada 12 Rabiul Awal, saat akikah,
syukuran, dan tradisi-tradisi lainnya. Menurut Bruinessen, barzanji merupakan
nama keluarga berpengaruh dan syeikh tarekat di Kurdistan. Keempat, Kurdi
merupakan istilah nama yang populer di Indonesia seperti Haji Kurdi, jalan Kurdi,
gang Kurdi, dan seterusnya. Dari fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa
orang-orang Kurdi berperan dalam penyebaran Islam di Indonesia.6

B. Kerajaan-kerajaan islam di Aceh


a. Kerajaan Perlak
Istilah Peureulak atau Perlak berasal dari nama dari pohon kayu yang digunakan
untuk dibuat perahu oleh para nelayan. Orang-orang Aceh menyebutnya sebagai
Bak Peureulak. Dalam bahasa Parsi Peureulak disebut sebagai Taj Alam, yang
bermakna mahkota alam.7 Ada sumber menyebutkan bahwa Islam sebelum
didakwahkan di Peureulak mula-mula dating menapak di Barus (satu wilayah yang
pernah menjadi wilayah kekuasaan Aceh),8 kemudian baru ke Peureulak. Hal ini
seperti beberapa keterangan sumber Hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu
menguatkan hal itu:

36 (44) Setelah berapa lamanya kemudian daripada sabda Nabi SAW.


itu, maka terdengarlah kepada segala isi negeri Mekkah nama negeri Samudera.

6
Syafrizal, Ahmad, Sejarah Islam Nusantara, Islamuna, Vol.2, No. 2, Des. 2015
7
Hasan Muhammad Ambary, “Mencari Jejak Kerajaan Islam Tertua di
Indonesia(Perlak)” (Kertas Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh
danNusantara, Aceh Timur, 25-30 September 1980), h. 6; Ali Hasjmy et al., “SejarahKerajaan
Islam Perlak” (Kertas Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam diAceh dan Nusantara di
Aceh Timur 25-30 September 1980), h. 8.
8
Penjelasan buku The Religious Life of Chinese Muslims. Keterangan lain,yaitu dari Kitab
Sejarah Melayu, yang menyebutkan bahwa Syekh Ismail yang berasaldari Mekah, khilafahnya di
Madinah mau menuju Samudera Pasai, tetapi tidak tahupersis kawasan tujuannya. Ia memilih
singgah lebih dahulu di Bandar Barus, danmemperkenalkan Islam kepada masyarakat setempat.

6
Maka Syarif Makkah pun menyuruh sebuah kapal membawa segala perkakas
kerajaan, seraya disuruhnya singgah ke negeri Ma’abri. Adapun nama nakhoda
kapal itu Syekh Ismail namanya. Maka kapal itupun berlayarlah, lalu ia singgah
di negeri Ma’abri. Maka kapal Syeih Ismail itu pun berlabuh di laut. 37 (44-45)
Berapa lamanya di laut maka sampailah kapal kepada sebuah negeri, Fansuri
namanya. Maka segala orang isi negeri Fansuri itu pun masuklah Islam...Berapa
lamanya maka sampai kepada sebuah negeri pula Thobri (Lamri) namanya.
Maka orang Thobri itu pun masuk Islam... Berapa lamanya maka sampailah ke
negeri Haru namanya. Maka segala orang dalam negeri Haru itu pun masuk
Islam... Maka fakir itupun bertanya orang dalam negeri itu “Di mana negeri
yang bernama negeri Samudera?” Maka kata orang Haru itu “Sudahlalu”. Maka
fakir itu pun naik ke kapal lalu berlayar pula. Maka jatuh ke negeri Perlak. Maka
mereka itu pun diislamkannya. Maka kapal itu pun berlayar ke Samudera.9

Hanya saja perlu dinyatakan, Barus tidak pernah menjadi kerajaan Islam,
apalagi menjadi satu kekuatan politik Islam, dan yang pernah menjadi dan berwujud
kerajaan Islam awal adalah Peureulak, Pasai dan selanjutnya Aceh Darussalam.
Proses pencarian Samudera, untuk mewujudkan perintah seperti yang dimaksudkan
sabda Nabi Muhammad SAW., menjadi tujuan utama dan mereka singgah di
beberapa tempat seperti tersebut di atas, menjadi wujud Islam di sana, termasuk di
Peureulak. Untuk maksud tersebut pada pertengahan abad ke-8 M, Syarif Mekah di
zaman khalifah Harun al-Rasyid, bertitah dan menyiapkan sebuah kapal dari Jeddah
yang dinahkodai oleh Syekh Ismail beserta Fakir Muhammad (Bekas Raja di
Malabar) untuk menyiarkan Islam di Samudera. Kapal dimaksud mula-mula
singgah di Fansuri-Barus. Syeikh Ismail dan rombongan turun ke darat beberapa
saat, menemukan beberapa orang untuk diislamkan di sana serta meminta sekaligus
mengajar mereka untuk membaca al-Qur’an, kemudian baru meneruskan
perjalanan-pelayarannya mencari Samudera, tetapi mereka singgah dahulu di
bandar Peureulak.10

9
Tun Seri Lanang, Sulalat al-Salatin, terj. Muhammad Haji Salleh (Kuala Lumpur:
Yayasan Karyawan & DBP, 1997), h. 44-45.
10
Abdullah Munchi menjelaskannya dalam Sejarah Melayu, seperti dikutip oleh M.
Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), h. 120.

7
Dengan demikian jelaslah bahwa memang ada kemungkinan pengislaman
pertama berlangsung di Fansuri-Barus, dan wilayahini pernah menjadi wilayah
teritorial kesultanan Aceh Darussalam di kemudian hari. Hal ini sangat beralasan,
seperti diungkapkanoleh T. Ibrahim Alfian,11 karena secara geografis wilayahnya
yang strategis, yang terletak antara lautan Hindia dan Laut Cina Selatan yang
menghubungkan negeri-negeri sebelah timur, seperti Cina dan Jepang; dan dengan
negeri-negeri sebelah barat, yaitu Anak Benua India, Parsi/Persia dan negara-
negara Arab, Afrika, serta dengan benua Eropa. Barus merupakan kawasan yang
paling ujung barat Sumatera, para pendatang-pedagang dari timur dan barat tentu
menjadikan pelabuhan Barus tempat singgah dan perdagangan rempah-rempah
termasuk kapur Barus demikian terkenal. Kawasan ini menjadi tempat bagi para
pedagang menunggu giliran datang angin musim timur-laut dan barat-daya yang
akan membawa mereka dan barang-barang dagangannya ke tempat tujuan masing-
masing, termasuk ke Peureulak.

Peureulak adalah kerajaan Islam ternama, tertua dan sudah pernah dipimpin
oleh 20 atau paling tidak ada yang katakan 19 orang raja atau sultannya.12 Adapun
ahli yang berpendapat demikian di antaranya adalah Ali Hasjmy yang merujuk pada
naskah klasik sebagai catatan dari Abu Ishak al-Makarani yang berjudul Risâlah
Idhar al-Haq fî Mamlakati Ferla wa al-Fasi, lalu naskah Tazkirat Tabaqat Jumu’
Sultan al-Salatin karya Syeikh Syamsul Bahri Abdullah al-Asyi, dan Silsilah Raja-
raja Perlak dan Pasai. Dari naskah-naskah ini disimpulkan bahwa Kerajaan atau
Kesultanan Peureulak sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara yang
diproklamirkan pada 1 Muharram 225 H/ 840 M, dengan sultan pertamanya Sultan
Alauddin Sayyid Maulana Abdil Aziz Syah. Kesultanan Peureulak berakhir pada
tahun 1292 M.16 Hal ini sesuai dengan disatukannya ke kerajaan Pasai di Samudera
Gedong, Aceh Utara sekarang.

Menurut catatan sejarah, bahwa hubungan perdagangan antara Arab, Parsi,


Cina, Eropa dan lain-lain dengan Nusantara sudah berjalan sejak sebelum
kedatangan Islam. M. Arifin Amin mengutip Maharaja Onggang Parlindungan,

11
Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah (Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999), h. 1.
12
Lihat Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Beuna, 1983), h. 45-47.

8
pengarang buku Tuanku Rao yang menyebutkan sebelum lahir Nabi Muhammad
SAW. bahkan sebelum lahir ‘Isa a.s, orang-orang Parsi (sebelum Islam) telah
mengadakan hubungan perdagangan lewat jalan laut dengan Tiongkok.13

Dalam pada itu sebahagian pedagang Arab dan Parsi telah membina
perkampungan di rantau Asia, diantaranya dengan Peureulak. Hal dimaksud seperti
catatan seorang peneliti Balitbang Kementrian Agama RI, sebagai berikut:

Untuk tempat persinggahan kapal mereka mendirikan


Rendezvous (tempat bertemu di tepi pantai) di Bombay India dan di
Perlak Aceh. Ketika itu Perlak adalah sebuah kerajaan yangmasyhur di
kalangan saudagar-saudagar Arab-Parsi karenaletak pelabuhannya yang
strategik. Yang menjadi Raja Perlakketika itu ialah Maharaja Syahir
Nuwi yang berdarah Parsicampuran Siam.14

Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar Ibn Khaththâb 13-24 H/634-644


M, Parsi dapat ditaklukkan dan rakyatnya diislamkan. Sehingga , orang-orang Arab
dan Parsi yang berada di Peureulak ketika itu ikut juga memeluk Islam.15 Bahkan
ketika terjadi peristiwa Perang Shiffin, banyak pengikut ‘Ali yang disebut sebagai
‘Alawiyin melarikan diri dari Tanah Arab. termasuk melarikan diri ke Nusantara
sampai ke negeri Peureulak yaitu ‘Ali ibn Muhammad ibn Ja‘far Shiddiq ibn
Muhammad al-Baqir ibn Zainal ‘Abidin ibn Husein ibn ‘Ali ibn Abi Thâlib.16

Kedatangan keturunan ‘Ali ini disambut baik oleh Maharaja Syahir Nuwi
dan rakyat Peureulak, karena ia berasal dari dua keturunan terhormat yaitu ‘Ali ibn
Abi Thâlib dan Fâthimah binti Rasulullah. Oleh karenanya, Maharaja Syahir Nuwi
menikahkan ‘Ali ibn Muhammad dengan adik kandungnya Puteri Makhdum
Tansyuri.17 Dalam perkawinan bangsawan Quraisy dengan bangsawan Peureulak
ini dianugerahkan seorang putera yang diberi nama ‘Abdul ‘Aziz. Setelah itu,

13
M. Arifin Amin et al., “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh” (Kertas
Seminar Sejarah Masuknya Islam di Aceh Timur 1972), h. 12.
14
Ali Hasjmy, “Sejarah Pemerintahan Selama Berdiri Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh”
(Kertas Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh, Banda Aceh, Juli 1978), h. 5.
15
Ibid., h. 5.
16
Ibid., h. 18.
17
Team Sejarah Aceh Timur, “Masuknya Islam di Peureulak A. Timur dan
Perkembangannya,” h. 5.

9
‘Abdul ‘Aziz dikawinkan pula dengan Puteri Meurah (bangsawan pribumi)
Makhdum Khudawi atau Puteri Peureulak. Pada tahun 173 H/790 M atau pada abad
I H/ 8 M,

Dicatat dalam sejarah bahwa Khalifah Harun al-Rasyid, Khalifah Daulah


‘Abbasiyah mengirimkan satu armada dakwah berjumlah seratus orang yang terdiri
daribangsa Arab, Parsi (Iran sekarang), dan India ke Bandar Peureulak. Rombongan
tersebut disebutkan sebagai Nakhoda Khalifah.18 Kedatangan Nakhoda Khalifah ini
disambut baik oleh Maharaja Syahir Nuwi. Menurut cerita rakyat sekitar, bahwa
Bandar Khalifah untuk ibu kota Kesultanan Peureulak diambil dari nama nakhoda
Khalifah, yang telah ikut mempopulerkan bandar dan kesultanan ini sebagai pusat
niaga/perdagangan internasional.19

Kehadiran rombongan dakwah tersebut tentu saja semakin menguatkan


Islam dalam kehidupan rakyat Peureulak. Hingga pada hari Selasa, 1 Muharram,
tahun 225 H /840 M, Maharaja Perlak memproklamirkan secara resmi bahwa
Peureulak sebagai kerajaan Islam yang pertama di Asia Tenggara.20 Yang menjadi
Raja pertama ditabalkan menantunya yaitu ‘Abdul ‘Aziz dengan gelaran Sultan
‘Alaiddin Mualana ‘Abdul ‘Aziz Syah.21 Pada hari peresmiannya, Bandar Perlak
ditukar namanya menjadi Bandar Khalifah sebagai kenangan dan penghargaan
kepada rombongan Nakhoda Khalifah yang telah berperan mengembangkan Islam
di Peureulak.

Bandar Khalifah begitu terkenal di kalangan para pedagang Arab dan non-
Arab sekalipun, karena telah menjadi pelabuhan penting dan tempat persinggahan
mereka dalam perjalanan ke Cina atau balik ke Asia Barat.22 Seiring ditetapkan
sebagai kerajaan Islam yang pertama, akhirnya Peureulak mampu menjadi pusat

18
Abdullah Ishak, Islam di Nusantara (Khususnya di Tanah Melayu) (Kuala Lumpur:
Badan Dakwah dan Kebajikan Malaysia, 1990), h. 89.
19
Fakhriati, “Peradaban Islam di Peureulak,” h.2.
20
Tgk. A.K. Jakobi, Aceh dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan
1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar sebagai Pejuang (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
kerjasama dengan Yayasan Seulawah RI-001, 1998), h. 17-18.
21
M. Yunus Djamil, Tawarich Raja-raja Keradjaan Atjeh (Banda Aceh: Kodam I Iskandar
Muda, 1968), h. 5; M. Yunus Djamil, Gerak Kebangkitan Aceh: Kumpulan Karya Sejarah
Muhammad Junus Jamil (Bandung: Jaya Mukti, 2005), h. 12.
22
A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al-
Ma‘arif, 1993), h. 201.

10
perdagangan Islam di Nusantara. Sesungguhnya, Peureulak telah mencapai
kemajuan sejak pertengahan abad ke 9 M, dimana Perlak merupakan Kawasan
termaju dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sumatera. Hal ini dibuktikan
oleh Marco Polo, dimana ia pernah menegaskan bahwa “Perlak selalu didatangi
oleh saudagar-saudagar Muslim yang membawa penduduk Bandar ini memeluk
undang-undang Muhammad yang terkenal kemudian dengan sunnah Rasulullah
dan syariat Islam.”23

Pada masa Sultan ‘Abdul ‘Aziz Syah (840-864 M), system pemerintahan
kerajaan Perlak telah tersusun dengan rapi. Menurut sejarah ia bercirikan organisasi
kerajaan ‘Abbasiyah. Para Sultan Perlak sangat meperhatikan bidang pendidikan.
Ini dibuktikan dengan didirikan sebuah institusi pendidikan Islam Zawiyah Buket
Cibrek24 yang diresmikan pada tahun 865 M.25 Menurut sejarah ia merupakan
lembaga pendidikan Islam tertua di AsiaTenggara. Kejayaan ini dicapai pada masa
pemerintahan Sultan ‘Alaiddin Maulana ‘Abdur Rahim Syah yang memerintah dari
(864-888 M), Sultan kedua kerajaan Islam Perlak.

Pada masa pemerintahan Sultan Sayyid Maulana `Abbas Syah yang


memerintah dari tahun 888-913 M, Sultan ke III Perlak, dicatat satu lagi
kegemilangan dengan didirikannya lembaga pendidikan kedua iaitu Zawiyah Cot
Kala Perlak yang diresmikan pada tahun 899 M.26 dari lembaga-lembaga inilah
yang telah banyak menghasilkan alumni dan kemudian mereka berperan sebagai
pendidik dan sekaligus mubaligh Nusantara yang berjasa dalam penyebaran dan
Islamisasi Asia Tenggara umumnya dan Nusantara khususnya.

Dari aspek pertanian, Perlak merupakan daerah penghasil lada dan rotan.
Dalam bidang industri, Perlak menjadi daerah penghasil emas yang banyak terdapat
di Alue Meuh atau Sungai Emas. Dalam bidang seni rakyat, Perlak menghasilkan
ukiran seni yang indah seperti gading gajah dan kayu yang meraih simpatik dari

23
Ibid., h. 200
24
Buket di sini bermaksud Bukit. Buket Cibrek adalah nama sebuah kampung di Perlak,
Aceh Timur.
25
Amin, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh, h. 22.
26
Ibid., h. 23.

11
para pedagang asing. Seluruh aspek ini telah menjadi faktor pendorong bagi
kemajuan Perlak.

b. Kerajaan Samudra Pasai


Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, asal usul nama Samudra Pasai konon
diambil ketika Meurah Silu (Malikussaleh) melihat seekor semut raksasa seukuran
kucing. Pada awalnya, mereka yang belum masuk lslam menangkap dan memakan
semut. Kemudian dia menamai tempat itu laut (samudra). Tidak semua orang
percaya pada cerita legendaris. Beberapa orang percaya bahwa kata Samudra
berasal dari kata Sansekerta untuk laut. Kata Pasai sekarang diyakini berasal dari
bahasa Persia: Parsee atau Pase. Saat itu banyak saudagar dan saudagar muslim dari
Persia-lndia yang juga dikenal dengan nama Gujarat datang ke Nusantara.

Kerajaan Samudra Pasai adalah kerajaan lslam di Sumatera, yang


memerintah antara abad ke-13 dan ke-16. Kerajaan Samudra Pasai didirikan oleh
Meura Silu yang diberi gelar Sultan Malik As-saleh (Malikussaleh) setelah
memeluk agama lslam. Wilayah kerajaan ini menjadi wilayah nusantara tempat
para pedagang dan pelayaran pertama kali dikunjungi. Hal ini dikarenakan letaknya
yang sangat strategis di jalur perdagangan internasional, di pantai utara Sumatera,
di sekitar kota Lhokseumawe di Aceh. Kerajaan Samudra Pasai telah memberikan
kontribusi yang signifikan bagi perkembangan lslam di Nusantara. Disebutkan pula
bahwa Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan lslam pertama di Nusantara
karena merupakan hasil proses lslamisasi di wilayah pesisir yang didatangi para
saudagar muslim setelah abad ke-7M (Susmihara, 2018: 18). 27

Pada tahun sekitar 1297 M dari sumber sejarah berupa catatan lbnu Batutah,
dapat dipastikan bahwa kerajaan Laut (samudra) Pasay telah ada oleh seseorang
bernama Marco Polo, lebih awal dari Dinasti Utsmaniyah di Turki. Dalam
memonya, pedagang Venesia ltalia Marco Polo menyebutkan persinggahan di Laut
(samudra) Pasay pada 1292 M. Kerajaan ini awalnya merupakan kelanjutan dari
kerajaan pra-lslam yang ada sebelumnya. Marco Polo mengaku melihat keberadaan
kerajaan lslam yang makmur saat itu, samudra pasay, yang beribukota di Pasay.

27
Susmihara, Pendidikan Islam masa Kerajaan islam di Nusantara, RIHLAH, Vol. 06
No.01/2018, h.18

12
Selain kedua catatan tersebut, sejarah Kerajaan Pasay juga dapat ditelusuri melalui
karya Hikayat Raja Pasay dan banyak sejarawan Eropa. Menurut sejarawan Eropa,
kerajaan samudra pasay muncul sekitar pertengahan abad ke-13, dengan Sultan
Malikussaleh sebagai raja pertama.

Nazimuddin Al-Kamil, Laksamana Dinasti Fatimiyah di Mesir, berhasil


menaklukkan kerajaan Hindu Buddha di Aceh dan mendirikan kerajaan di Pasay.
Tujuan didirikannya kerajaan ini adalah untuk mengelola perdagangan rempah-
rempah yang sangat melimpah di lndonesia, khususnya lada. Setelah kematian
Nazimuddin Al-Kamil dan kekuasaan Pasay oleh Laksamana Johann Jani di Pulau
We, dinasti Mamluk menggantikan dinasti Fatimiyah dengan tujuan menaklukkan
bekas kerajaan tersebut. Mereka kemudian mengirim da'i Pasay bernama Syekh
Ismail dan Fakir Muhammad, yang sebelumnya berdakwah di pantai barat lndia. Di
Pasay, dua pengkhotbah bertemu Meura silu, salah satu anggota tentara Kerajaan
Pasay. Syekh Ismail dan Fakir Muhammad membujuk Meura Silu untuk menerima
lslam dan menemukan bahwa Kerajaan Laut sedang bersaing dengan Pasai.
Akhirnya, Meura Silu masuk lslam dengan gelar Sultan Malikussaleh dan menjadi
raja pertama kerajaan laut.28

Kerajaan Samudra terletak di sebelah kiri Sungai Pasai, menghadap Selat


Malaka. Sultan Malik Al-Saleh kemudian menikahi putri Ganggang Sari, keturunan
Sultan Aladdin Muhammad Amin dari Kerajaan Perlak. Sejak saat itu kedua
kerajaan lslam ini melebur menjadi Kerajaan Samudra Pasai. Nama Samudra Pasai
sebenarnya adalah "Samudera Aca Pasai" yang artinya Kerajaan Samudera yang
baik dengan ibu kota di Pasai. Sultan Malik Al Saleh mencoba meletakkan dasar-
dasar kekuasaan lslam dan mengembangkan kerajaannya melalui perdagangan.
Samudra Pasai adalah tempat yang memiliki pengaruh besar terhadap
perkembangan agama lslam di Aceh dan memiliki nilai penting untuk sejarah yang
berkaitan dengan peradaban lslam. lslamisasi dinusantara ini dilakukan melalui
pendidikan, baik pesantren maupun pesantren yang diselenggarakan oleh Ustadz
Kyai dan Ulama. Di pesantren dan ponpes, calon kyai, ustadz dan kyai akan

28
Susmihara, Pendidikan Islam masa Kerajaan islam di Nusantara, RIHLAH, Vol. 06
No.01/2018, h.18

13
mendapat bimbingan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka kembali ke desa
masing-masing atau berdakwah untuk mengajarkan agama lslam di tempattempat
tertentu. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat dari Ampel Denta
di Surabaya dan Sunan Giri dari Giri. Banyak dari hasil Pondok Pesantren Giri yang
diajak Meura silu untuk mengajarkan agama lslam.29

Saluran lslamisasi yang paling terkenal melalui seni adalah pertunjukan


wayang. Sunan Kalijaga disebut-sebut sebagai sosok yang paling mumpuni dalam
pementasan wayang. Dia tidak pernah mengklaim hadiah untuk kesuksesan, tetapi
dia meminta penonton untuk mengikutinya dan mengucapkan Syahadat. Sebagian
besar cerita wayang masih berasal dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi
ajaran dan nama-nama pahlawan lslam dimasukkan dalam cerita-cerita tersebut.
Seni lain seperti sastra (Saga, kronik, dll), arsitektur, patung, dll juga digunakan
sebagai alat untuk lslamisasi. Beberapa arca masjid kuno seperti Mantingan dan
Sendangduwur memiliki pola flora dan fauna mengingat pola tertentu
mengingatkan pada pola pahatan yang dikenal di Candi Prambanan dan beberapa
candi lainnya.30

Penyebaran Islam juga telah merambah lembaga pendidikan yang dikenal


sebagai Pesantren (Munasa atau Daya di Aceh) di lndonesia. Siswa agama disebut
Santri dan guru disebut guru Quran, Kiai atau Ageng. Santri akan dijemput dari
berbagai tempat, dan setelah menempuh pendidikan, mereka akan kembali ke
tempat masing-masing untuk menjadi kiai dan mendirikan pondok pesantren baru.
Oleh karena itu, Pesantren atau Munasa sebagai pusat pendidikan tradisional
dianggap sebagai salah satu saluran proses lslamisasi. Pesantren berhasil mencapai
lokasi terpencil ketika beberapa santri datang dari jauh ke sebuah pesantren (Arif
Rahman, 2021: 1341-1342).Keberadaan Samudra Pasai diperkuat dengan
penemuan artefak-artefak pada zaman pemerintahan Samudra Pasai. Salah satunya
berupa alat tukar (matauang) Dirham emas 1718k berdiameter 1 cm, berat 0,57
gram, dan bentuknya sama dengan dirham timah. Peninggalan berupa makam raja

29
Nurjannah, DKK, Pemetaan dan Penilaian Permakaman Sejarah Samudra Pasai di
Kabupaten Aceh Utara, PARAMITA. Vol. 27., No.1, 2017:91
30
Dalimunthe, Dalimunthe. "Kajian Proses Islamisasi Di Indonesia (Studi
Pustaka)." Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, vol. 12, no. 1, 2016, pp. 115-125,

14
dan batu nisan yang digunakan oleh Samudra Pasai dan cakra donya. Anda dapat
menganggapnya sebagai lonceng suci. Cakra Donya adalah stupa mahkota besi
berbentuk lonceng yang dibuat di Cina pada tahun 1409. Lonceng tersebut memiliki
tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra itu sendiri berarti poros kereta, lambang
Wisnu, matahari atau cakrawala. Donya artinya dunia. Hal ini yang menjadi bukti
keberadaan kerajaan Samudra Pasai.31

c. Kerajaan Aceh Darussalam


Kerajaan Aceh Darusslam ini muncul dan berkembang dengan pesatnya setelah
kejatuhan kerajaan Melayu Malaka yang dahulunya pernah menjadi pusat kegiatan
agama dan perdagangan antar bangsa, dan kerajaan Islam Pasai yang ada sebelum
Kerajaan Malaka. Menurut H.J. de Graaf, Kerajaan Aceh berdiri pada awal abad ke
16 dengan adanya penyatuan dua kerajaan kecil, Lamri dan Aceh Dar al-Kamal.
Penguasa besar pertama Kerajaan Aceh adalah Ali Mughayat Shah (1497-1528 M),
ia berhasil merampas Pasai dari tangan Portugis tahun 1524 M, dan sejak saat itu ia
meletakkan dasar-dasar kekuasaan Aceh.32 Ali Mughayat Syah berhasil melebarkan
sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Keberhasilannya dalam menguasai
beberapa wilayah dan menggabungkannya menjadi Kerajaan Aceh Darussalam,
itulah yang menyebabkan ia dianggap sebagai pendiri kekuasaan Aceh
sesungguhnya.33

Sultan Ali Mughayat Syah kemudian dilanjutkan pemerintahannya oleh Salah ad-
Din (1528-1537), anak tertuanya. Salah ad-Din memberikan perlawanan kepada penjajahan
dengan menyerang Malaka pada tahun 1537, tetapi serangan ini mengalami kekalahan.
Salah ad-Din kemudian diganti oleh Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahhar (1537- 1568),
saudaranya. Pada periode kekuasaan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahhar Aru dan Johor
berhasil ditaklukkan Aceh, dan Aceh kembali melawan penjajahan dengan menyerang
Portugis di Malaka, dengan dibantu Dinasti Turki Utsmani. Alauddin Ri’ayat Syah
selanjutnya digantikan oleh Sultan Ali Riayat Syah (1568-1573), kemudian Sultan Seri

31
Nurjannah, DKK, Pemetaan dan Penilaian Permakaman Sejarah Samudra Pasai di
Kabupaten Aceh Utara, PARAMITA. Vol. 27., No.1, 2017:91
32
Azyumardi Azra(ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989), hal 6.
33
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: LPPKM Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2014), hal 38.

15
Alam, Sultan Muda (1604-1607), dan Sultan Iskandar Muda, gelar Mahkota Alam (1607-
1636).34

Pada abad ke 16 dan 17, Kerajaan Aceh Darussalam merupakan sebuah


kesultanan Islam yang berpengaruh dan mendapat perhatian dari kerajaan- kerajaan
Islam dunia ketika itu, seperti Kerajaan India dan Turki. Ini jelas terbukti melalui
sistem pemerintahan yang dijalankan, nama dan juga gelar jabatan dalam kerajaan,
gelar yang dipakai oleh sultan-sultannya serta bendera yang digunakan. Hal ini
tidak mengehrankan mengingat kesultanan Aceh memang mempunyai hubungan
yang baik dengan kerajaan Turki Osmani pada ketika itu.35

Menurut tengku Luckman Sinar S.H. el-Hajj bahwa hubungan yang terjalin
antara Kerajaan-kerajaan islam ini salah satunya berasala dari kesepahaman dalam
madzhab.

"Di antara Kerajaan Turki Osmani di Intanbul dan Kerajaan


Moggol Islam di India dan Kerajaan Aceh Darussalam bertali
teguh sekali apatah kerana semua fahaman Sunni.36

Aceh mengalami kemakmurannya yang terbesar di masa Sultan Iskandar


Muda (1607-1637 M). Kekuasaannya meluas di sepanjang pantai timur dan barat
Sumatera; menguasai ekspor merica. Tetapi, armada dan angkatan bersenjatanya
mengalami kekalahan berat dari Malaka, suatu kemenangan terakhir bagi Portugis.
Iskandar Muda memerintah dengan tangan besi. Istananya yang berkilauan emas
membangkitkan kekaguman dan pujian orang-orang Barat, sebagaimana masjidnya
yang bertingkat lima. Dari Aceh, Tanah gayo yang berbatasan telah di Islamkan,
dan juga Minangkabau. Di masa pemerintahan menantunya dan mengganti
Iskandar Muda, Iskandar Tsani, Aceh terus berkembang untuk beberapa tahun
selanjutnya. Dengan lembut dan adil dia mendorong perkembangan agama dan

Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: LPPKM Universitas Islam Negeri
34

Sultan Syarif Kasim Riau, 2014), hal 39.


35
Sila lihat Drs. H.M. Ali Muhamad, "Bagaimana cara masuk dan berkembangnya Islam
di Aceh", SEMINAR, hal. 14.
36
Tengku Luckman S.H. al-Haj, Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Aceh dan Nusantar, Vo. i. Paper 5 hal. 4.

16
melarang pengadilan dengan siksaan. Pengetahuan agama juga maju pesat pada
masa itu.37

A.H. Johns menyampaikan bahwa Kerajaan Aceh merupakan kesultanan


Islam yang terpenting dalam dunia Melayu antara abad ke-15 sampai 17 M selain
Kerajaan Malaka. Kemajuan Kerajaan Aceh terus meningkat, sampai mencapai
puncak tertinggi di abad ke 17 M. Kemajuan ini juga dipengaruhi oleh faktor
penurunan pengaruh dan kejayaan kerajaan Malaka setelah diduduki oleh Portugis.
Setelah Kerajaan Malaka diduduki oleh Portugis (tahun 1511 M), banyak saudagar
Muslim yang menggeser perdagangannya ke Kerajaan Aceh. Daerah-daerah yang
ada di bawah pengaruh Malaka di Pulau Sumatera juga perlahan mulai melepaskan
diri.38

Aceh menjadi pusat perkembangan sebuah kerajaan maritim yang perkasa


yang sangat Islami dan mandiri dalam perdagangan. Kesultanan Aceh juga
memiliki hubungan internasional yang sangat baik dan jauh pengaruhnya. Kerajaan
Aceh memiliki hubungan politik dan diplomatik yang kuat dengan kerajaan-
kerajaan Islam Persia, Mughal dan Dinasti Turki Utsmani. Dengan hubungan yang
kuat tersebut, posisi Kerajaan Aceh pada abad ke-16 diakui di dunia Islam secara
internasional.39

Raja-raja Aceh memilik penasihat sekaligus pejabat agama dari golongan


Ulama Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) mengangkat Syekh Syamsuddin al-
Sumatrani menjadi mufti (qadhi Malikul Adil) Kerajaan Aceh. Sultan Iskandar
Tsani (1636-1641 M) mengangkat Syekh Nuruddin Al-Raniri menjadi qadhi
Malikul Adil Kerajaan Aceh. Dan Sultanah Saefatuddin Syah mengangkat Syekh
Abdur Rauf Singkel sebagai qadhi Malikul Adil Kerajaan Aceh.40

37
Azyumardi Azra(ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989), hal 6.
38
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: LPPKM Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2014), hal 41.
39
Ibid., h. 42.
40
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), hal 300.

17
Kesultanan Aceh di masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda memiliki
armada yang besar dan didukung oleh kapal-kapal yang tangguh. Satu kapal bisa
mengangkut 400, 600, sampai 800 orang, berbentuk panjang sekitar 35 meter dan
bergeladak dengan dayung sepanjang 1,2 meter. Setiap kapal dilengkapi dengan
tiga meriam yang amuh dengan empat puluh pon peluru. Satu kapal terbesar yang
dimiliki Aceh dibawa untuk melawan Portugis di wilayah Malaka pada bulan Juli
1629. Orang Portugis berhasil menangkapnya bersama laksamana yang
membawanya; terheranheran karena ukurannya yang serba besar, mereka mengirim
kapal itu ke Spanyol sebagai tanda kemenangan. Kapal itu dinamakan "Espanto del
Mundo", artinya "Momok dunia". Faria Y Sousa memberikan gambaran bahwa
kapal ini panjangnya kira-kira 100 meter, dan memiliki 3 tiang yang tegak pada
jarak yang proporsional dan memiliki meriam lebih dari 100 buah.41

Di daratan, kekuatan militer Sultan Iskandar Muda sangat tangguh dengan


adanya gajah-gajah yang sudah dijinakkan. Dalam sebuah catatan Beaulieu, Sultan
Iskandar Muda diperkirakan memiliki 900 ekor gajah. Gajah-gajah ini sudah
terlatih dengan baik dan terbiasa dengan suara tembakan dan dibiasakan tidak takut
api. Gajahgajah itu juga dilatih untuk melakukan “sembah”, penghormatan kepada
Sultan dengan bertekuk lutut dan mengangkat belalai sampai tiga kali. Selain untuk
alat militer, gajah juga diekspor oleh Iskandar Muda, salah satunya ke Srilangka.
Selain Gajah, Iskandar Muda juga memiliki 200 kuda, yang 50 diantaranya dari
Prancis.42

Pada masa Sultan Ali Mughayat Shah (tahun 1521-1530 M) sukses


membawa kemajuan di bidang ekonomi dan perdagangan pada Bandar Pedir.
Bandar Pedir memiliki kekuatan komoditas ekspor seperti lada, kayu gaharu, kapur
barus, lak, timah untuk membuat kapal, dan emas yang didatangkan dari
pedalaman.43

41
Denys Lombard, 1991. Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal 112-116.
42
Ibid., h. 117-119
43
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara. (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009), hal 47.

18
Pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), Aceh semakin
berkembang bahkan mencapai kejayaannya. Komoditas ekspor Aceh di masa ini
adalah kayu cendana, sapan, gandarukem (resin), damar, getah perca (laban),
obatobatan, dan parfum seperti kamian putih dan hitam, kapur, pucuk, rasmala,
bunga lawang, lada gading, lilin, tali sabuk dan sutera. Untuk komoditas yang
diimpor antara lain beras, guci, gula, sakar lumat, minyak barang, bijih besi, besi
upam, anggur, korma, timah putih dan hitam, besi lantak, kain cinde dari Gujarat,
guci dari Pegu, pinggan batu, mangkuk batu, kipas, kertas, opium, kopi, tile,
tembakau, tekstil dari katun Gujarat, masulipatan, dan keeling, batik mori dari
Malabar, air mawat pati dan lainnya. Pedagang-pedagang yang datang ke Aceh dari
berbagai negeri seperti Tiongkok, India, Jawa, Siam, India, Turki, Perancis, dan
Belanda.44

Pada abad ke-16, Kesultanan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat
Shah dan penguasa-penguasa berikutnya selalu berperang melawan upaya
penaklukan oleh Portugis. Portugis mencoba untuk menguasai wilayah Aceh
dengan membangun benteng di Pasai. Namun, Sultan Ali Mughayat Shah berhasil
mengusir Portugis dari Pasai pada tahun 1524. Sultan Ali kemudian berencana
untuk menyerang Malaka, tetapi upayanya gagal karena pengkhianatan dari seorang
pejabat Malaka yang diasingkan oleh Portugis.45

Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Shah Al-Qahar (1537-1571


M), Aceh menyadari kebutuhan akan sekutu yang kuat. Sultan Al Qahar
membentuk persekutuan dengan tentara dari berbagai daerah, termasuk Turki,
Abbisinia, Gijarat, dan Malabar, membentuk kelompok khusus angkatan bersenjata
Aceh. Kelompok ini digunakan untuk menaklukkan wilayah Batak pada tahun
1539. Selain itu, Sultan Aceh juga menjalin Pakta Militer dan perdagangan dengan
Sultan Turki Utsmani, Sulayman Al Qanuni, yang memberikan hak eksklusif
berdagang di Pasai sebagai imbalan atas bantuan militernya.46

44
Ibid.
45
Ibid., h. 48
46
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad ke
XVII & XVIII. (Depok: Prenada Media Group, 2013), hal 44.

19
Pada tahun 1565, seorang duta Aceh, Husayn, datang ke Istanbul membawa
surat dari Sultan Al Qahar kepada Sultan Sulayman Al Qanuni. Surat tersebut
melaporkan aktivitas militer Portugis yang mengganggu pedagang muslim dan
jamaah haji dalam perjalanan ke Mekah. Sultan Sulayman yang telah meninggal
tahun 1566 sangat mendukung untuk menyelamatkan kaum muslim yang diserang
oleh Portugis. Misi Aceh ini mendapat dukungan dari penerus Sultan Sulayman,
yaitu Sultan Selim II (1566-1574), yang mengirimkan ekspedisi militer besar ke
Aceh. Armada ini dikomandani oleh Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir
Reis, tetapi dalam perjalanan mereka, sebagian besar pasukan mereka didaratkan di
Yaman untuk memadamkan pemberontakan. Sejumlah kecil pasukan akhirnya tiba
di Aceh, dan mereka tidak ikut dalam serangan Aceh terhadap Portugis di Malaka
pada awal 1568.47

Aceh melancarkan serangan pada tahun 1573 dan 1575. Mereka juga
berusaha memperluas hubungan dan kerja sama dengan Kerajaan Jawa, terutama
Jepara. Aceh menjalin persahabatan dengan kota-kota pelabuhan di pesisir barat
Sumatera seperti Barus dan Pariaman, serta menjalin hubungan dengan kerajaan
Islam Banten di Jawa. Ini membantu Aceh memperluas perdagangan
internasionalnya.48

Di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh bangkit kembali dan


melanjutkan perjuangan melawan Portugis di Malaka. Sultan Iskandar Muda
memperkuat kerajaan dengan angkatan laut dan darat yang kuat, mengusir Portugis
dari Malaka, dan mengendalikan Selat Malaka. Selama akhir abad ke-17 dan ke-18,
Aceh juga menghadapi serangan dan upaya penguasaan oleh VOC. Namun, Aceh
berhasil bertahan karena persatuan antara para pemimpin dan ulama yang kuat.49

47
Ibid., h. 44.
48
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara. (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009), hal 68.
49
Ibid., h. 67.

20
C. Penyebaran Islam di Nusantara
Dalam penyebaran Islam di Nusantara terdapat strategi yang dilakukan
sehingga Islam lebih mudah diterima dibandingkan dengan agama lain. Strategi
yang dilakukan bermacam-macam dan tidak terdapat unsur paksaan. Di antara
strategi penyebaran islam tersebut adalah:
Pertama, melalui jalur perdagangan. Awalnya Islam merupakan komunitas
kecil yang kurang berarti. Interaksi antar pedagang muslim dari berbagai negeri
seperti Arab, Persia, Anak Benua India, Melayu, dan Cina yang berlangsung lama
membuat komunitas Islam semakin ber-wibawa, dan pada akhirnya membentuk
masyarakat muslim.

Kedua, melalui jalur dakwah bi al-hāl yang dilakukan oleh para muballigh
yang merangkap tugas menjadi pedagang. Proses dakwah ter-sebut pada mulanya
dilakukan secara individual. Mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban syariat
Islam dengan memperhatikan kebersihan, dan dalam pergaulan mereka
menampakan sikap sederhana.50

Ketiga, melalui jalur perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang


Muslim, muballigh dengan anak bangsawan Nusantara. Berawal dari kecakapan
ilmu pengetahuan dan pengobatan dan Dari perkawinan dengan puteri raja lah Islam
menjadi lebih kuat dan ber-wibawa.
Keempat, melalui jalur pendidikan. Pusat-pusat perekonomian berkembang
menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan
dakwah Islam di kerajaan Samudra Pasai berperan sebagai pusat dakwah pertama
yang didatangi pelajar-pelajar dan mengirim muballigh lokal, di antara-nya
mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa.
Kelima, melalui jalur kultural. Awal mulanya kegiatan islamisasi selalu
menghadapi benturan denga tradisi Jawa yang banyak dipengaruhi Hindu-Budha.
Setelah kerajaan Majapahit runtuh kemudian digantikan oleh kerajaan Islam. Di

50
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, 327.

21
Jawa Islam menyesuaikan dengan budaya lokal sedang di Sumatera adat
menyesuaikan dengan Islam.51
Seluruh strategi ini telah terbukti berhasil dalam memperluas penyebaran Islam
di seluruh Nusantara, dan seiring dengan itu, peran-peran penting dimainkan oleh
berbagai kerajaan Islam khususnya kerajaan-kerajaan islam di Aceh sebagai
Kerajaan-kerajaan islam awal. Aceh, salah satu daerah yang memiliki Kerajaan-
kerajaan Islam awal dan tertua di Nusantara, memainkan peran yang sangat penting
dalam penyebaran agama Islam. Beberapa peran utamanya adalah sebagai berikut:
a. Penaklukkan Daerah-daerah
Di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530), Aceh mulai
melebarkan kekuasaannya ke daerah sekitarnya, bahkan kesultanan ini berhasil
mengusir Portugis dari Pasai tahun 1524.52 Pada masa Sultan Iskandar Muda, ia
berhasil melakukan konsolidasi berbagai wilayah kekuasaan Aceh, seperti
Tamiang, Natal, Tiku, Pariaman, Pasaman, Salido, dan Indrapura. Tahun 1611
M, wilayah Aru dan Deli berhasil dikuasai. Tahun 1613 M, Johor berhasil di
kuasai. Tahun 1617-1620, Bintan, Baning, Pahang, Kedah, dan Perak berhasil
dikuasai. Tahun 1623-1625, Kerajaan Aceh berhasil menguasai Nias, Asahan,
Inderagiri dan Jambi.53
b. Sufisme
A.H. Johns berpendapat bahwa sufisme merupakan kategori fungsional dan
perlambang dalam kesusastraan Indonesia antara abad ke-13 dan 18. A.H. Jones
lewat hipotesisnya juga menekankan kepentingan dan keunikan pengajar sufi dalam
penyebaran Islam ke Indonesia. Peran sufi yang menggunakan jalur tasawuf dalam
proses Islamisasi sangat besar. Dalam sejarah sufisme terkadang seorang sufi
berhasil meluaskan penyebaran Islam dengan dukungan raja-raja dalam
mengajarkan ajaran mereka, hal ini pula yang terjadi di Kerajaan Aceh.54

51
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, 331.
52
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: LPPKM Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2014), hal 41.
53
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara. (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2010), hal 42.
54
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: LPPKM Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2014), hal 41.

22
c. Lembaga Pendidikan dan Pengkaderan Ulama
Penyebaran Islam juga menemukan jalannya melalui lembaga-lembaga
pendidikan yang dikenal di Indonesia sebagai pesantren (meunasah atau dayah di
Aceh). Siswa agama disebut santri, sementara gurunya disebut guru ngaji, kiai, atau
ajengan. Murid diambil dari berbagai tempat dan setelah menyelesaikan studi
mereka kembali ke tempat masing-masing untuk menjadi kiai dan mendirikan
pesantren baru. Jadi, pesantren atau meunasah sebagai pusat pendidikan tradisional
dianggap sebagai salah satu saluran bagi proses Islamisasi. Pesantren berhasil
menjangkau ke wilayahwilayah yang jauh, saat Pesantren memiliki beberapa santri
yang berasal dari tempattempat jauh dan terpencil.55
d. Penyebaran Lewat Karya-Karya Ulama Besar Aceh
Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia selain dengan
pendidikan di Pesantren (atau di Aceh disebut Dayah atau Meunasah) membentuk
kader-kader ulama yang bertugas sebagai mubalig ke daerah-daerah yang lebih
luas, juga dilakukan melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai
tempat yang jauh. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menuliskan di Kerajaan Aceh
pada abad ke 16 dan 17 ada produktivitas pada bidang filsafat, metafisik, sastra, dan
teologi rasional yang tidak ada duanya jika dibandingkan dengan zaman lainnya di
Asia Tenggara. Saat dunia pemikiran dalam bidang agama mengalami kebekuan
karena digalakkannya taklid di pusat dunia Islam, di daerah Nusantara dunia
pemikiran berkembang karena tradisi pemikiran baru mulai terbentuk, dan
bagaimanapun akar tradisi pemikirannya berasal dari tradisi pemikiran di pusat
dunia Islam tersebut sebelumnya.56
Ilmuwan terkenal pertama di Indonesia adalah Hamzah Fansuri, tokoh sufi yang
berasal dari Fansur (Barus), Sumatera Utara. Karyanya yang terkenal berjudul
Asrarul- ‘Arifin fi Bayan ila Suluk wa Al-Tauhid. Ada juga karya yang lain yatiu
Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Jawi, Syarab Al’Asyikin.
Pemikiran tasawufnya dipengaruhi paham wahdat al-qujud Ibn ‘Arabi dan juga

55
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara. (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009),
hal 32.
56
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,
2003), hal 301.

23
pemikiran tasawuf Al-Hallaj. Paham yang dikembangkan Hamzah Fansuri di Aceh
ini dikenal dengan wujudiyah atau martabat tujuh. Syamsudin al-Sumatrani adalah
murid Hamzah Fansuri. Syamsudin mengarang buku berjudul Mir’atul Mu’minim
(cermin orang beriman), pada tahun 1601. Buku ini berisi Tanya jawab tentang ilmu
kalam.57
Nuruddin Al-Ranini adalah Ulama yang produktif menulis. Al-Raniri berasal
dari India, keturunan Arab Quraisy Hadramaut. Ia tiba di Aceh tahun 1637 M. Al-
Raniri dikenal sebagai orang yang sangat giat membela ajaran Ahlussunah
Waljamaah. Ahmad Daudi menuliskan bahwa karya Al-Raniri yang terdata secara
jelas berjumlah 29 buah, yang meliputi berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti
ilmu sejarah, tasawuf, fikih, hadis, akidah, dan sekte-sekte agama. Di antara
karyanya adalah Al Sirath Al Mustaqim berisi uraian tentang hukum, Bustan al
Salatin berisi sejarah dan tuntunan bagi para penguasa dan raja, Asrar al Insan fi
Ma’rifati al-Ruh wa al-Rahman yang merupakan karya dalam ilmu kalam, Tibyan
fi Ma’rifat al-Adyan berisi perdebatannya dengan kaum wujudiyah, dan al-Lama’ah
fi Takfir man Qala bi Khalq al-Qur’an yang juga merupakan bantahan terhadap
Hamzah Fansuri bahwa al-Qur’an itu makhluk. Ulama penulis lainnya yang juga
berasal dari Kerajaan Aeh adalah Abdurrauf Singkil yang mendalami ilmu agama
di Mekah dan Madinah. Dia menghidupkan kembali ajaran tasawuf yang
sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri melalui tarekat Syattariyah yang
diajarkannya, walaupun dengan metaphor yang berbeda.58
Paham sufisme di Jawa diserap dari kesusasteraan Melayu (Aceh) karya
Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Abdurrauf Singkil dan juga Nuruddin
al-Raniri. Melalui karya-karya ulama Aceh itu, pahan wujudiyah tersebar ke Jawa
melalui penyebaran tarekat Syattariyah, murid-murid Abdurrauf Singkel.
Diantaranya adalah Abdul Muhyi, pengarang kitab Martabar Kang Pittu (Martabat
yang Tujuh), seorang wali yang dikeramatkan di daerah Priangan dan dari daerah
ini tarekat Syattariah menyebar ke Cirebon yang menjadi pusat kesultanan. Dari
pengaruh Cirebon ini kemudian pujangga-pujangga Surakarta mengubah karya-

57
Ibid., h. 302.
58
Ibid., h. 303.

24
karya serat suluk yang kaya akan ajaran etika dan tasawuf, seperti Ronggowarsito
dengan karyanya Wirid Hidayat Jati.59
e. Aceh Sebagai Pintu Gerbang Tanah Suci

Selain peranan-peranan di atas dalam menyebarkan Islam ke Nusantara,


Kerajaan Islam di Aceh berperan pula sebagai pintu gerbang ke tanah suci bagi para
penziarah dan pelajar yang menuju ke Mekah, Madinah dan pusat-pusat
pengetahuan di Mesir serta bagian-bagian lain dari kesultanan Turki, Sehingga tak
heran bila Aceh dijuluki sebagai ‘Serambi Mekah’. Kerajaan Aceh memiliki
hubungan diplomatic dan kerja sama yang baik dengan kota-kota pelabuhan
Muslim yang lain di Nusantara. Kerajaan Aceh juga menjadi tempat pertemuan
ulama dan intelektual Muslim dari berbagai wilayah Melayu dan Timur Tengah.60

Dengan peran-peran penting ini, Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh dan kerajaan-


kerajaan Islam lainnya di Nusantara memiliki dampak signifikan dalam penyebaran
agama Islam di wilayah ini, dan membantu membentuk masyarakat dan budaya
Islam yang kuat di seluruh Nusantara.

59
Ibid.
60
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: LPPKM Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2014), hal 43.

25
BAB II

PENUTUP

Kesimpulan

Aceh memiliki sejarah yang penting dalam perkembangan Islam di


Indonesia. Sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Nusantara, Aceh
berperan kunci dalam penyebaran Islam di wilayah Indonesia dan memiliki
kontribusi signifikan dalam perkembangan kultural, sosial, dan politik di masa lalu.

Kerajaan Islam di Aceh, seperti Perlak, Samudra Pasai, dan Aceh


Darussalam, memainkan peran utama dalam penyebaran Islam di wilayah ini.
Mereka tidak hanya berperan dalam penyebaran agama Islam, tetapi juga dalam
perdagangan laut, pendidikan Islam, dan pelestarian nilai-nilai Islam.

Aceh juga memainkan peran penting dalam melawan kolonialisasi oleh


bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda. Perlawanan ini mencerminkan tekad
keras Aceh untuk mempertahankan identitas Islam dan kedaulatan wilayahnya.

Dalam konteks penyebaran Islam di Indonesia, Aceh telah menjadi pintu


gerbang agama Islam di Indonesia. Aceh telah mengambil berbagai strategi, seperti
melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, pendidikan, dan budaya, yang
berhasil dalam memperluas penyebaran Islam di seluruh Nusantara.

Seluruh strategi ini telah terbukti berhasil dalam memperluas penyebaran


Islam di seluruh Nusantara, dan Aceh, sebagai salah satu pusat awal penyebaran
Islam, memainkan peran yang sangat penting dalam proses ini.

Dengan memahami sejarah kerajaan Islam di Aceh dan implikasinya


terhadap penyebaran Islam di Indonesia, kita dapat memahami betapa pentingnya
Aceh dalam perkembangan Islam di wilayah ini, serta bagaimana Aceh berperan
dalam mempertahankan identitas Islam dan kemerdekaan dalam menghadapi invasi
asing. Aceh adalah bukti nyata betapa kuatnya peran Islam dalam membentuk
sejarah Indonesia.

26
Daftar Pustaka
Amin, M. Arifin et al. “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh” (Kertas
Seminar Sejarah Masuknya Islam di Aceh Timur 1972.

Azra, Azyumardi (ed), 1989. Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.

Azra, Azyumardi, 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara
Abad ke XVII & XVIII. Depok: Prenada Media Group.

Bernard, Hervey Russet. Research Methods in Antropology. London: Sage


Publications, 1994.

Dalimunthe, Dalimunthe. "Kajian Proses Islamisasi Di Indonesia (Studi Pustaka)." Jurnal


Studi Agama dan Masyarakat, vol. 12, no. 1, 2016, pp. 115-125,
doi:10.23971/jsam.v12i1.467.

Djamil, M. Yunus. Gerak Kebangkitan Aceh: Kumpulan Karya Sejarah


Muhammad Junus Jamil. Bandung: Jaya Mukti, 2005.

Djamil, M. Yunus. Tawarich Raja-raja Keradjaan Atjeh. Banda Aceh: Kodam I


Iskandar Muda, 1968.

Hasbullah, Moeflich. Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Bandung: CV


Pustaka Setia, 2012.

Hasjmy, A. “Sejarah Pemerintahan Selama Berdiri Kerajaan- Kerajaan Islam di


Aceh.” Kertas Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh, Banda
Aceh, Juli 1978.

Hasjmy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: Al-


Ma‘arif, 1993.

Hasjmy, Ali, et al., “Sejarah Kerajaan Islam Perlak.” Kertas Seminar Sejarah
Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara di Aceh Timur
25-30 September 1980.

Hasjmy, Ali. “Sejarah Pemerintahan Selama Berdiri Kerajaan-Kerajaan Islam di


Aceh.” Kertas Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh, Banda
Aceh, Juli 1978.

Hasjmy, Ali. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Jakarta: Beuna, 1983. Ishak,
Abdullah. Islam di Nusantara (Khususnya di Tanah Melayu). Kuala
Lumpur: Badan Dakwah dan Kebajikan Malaysia, 1990.

27
Helmiati H, 2014. Sejarah Islam Asia Tenggara, Pekanbaru: Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPKM) Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau.

Jakobi, Tgk. A.K. Aceh dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan


1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar sebagai Pejuang. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama Kerjasama dengan Yayasan Seulawah RI-001,
1998.

Nurjannah, Aris Munandar, Dan N. H. A. (2017). Pemetaan dan Penilaian


Permakaman Sejarah Samudra Pasai di Kabupaten Aceh Utara. Historical
Studies Journal, Vol. 27, No. 1, pp. 90–102.

Syafrizal, Ahmad, Sejarah Islam Nusantara, Islamuna, Vol.2, No. 2, Des. 2015

Team Sejarah Aceh Timur. “Masuknya Islam di Peureulak A. Timur dan


Perkembangannya.” Kertas Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Aceh dan Nusantara di Aceh Timur 25-30 September 1980.

Yatim, Badri, 2003. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta. PT
Raja Grafindo Persada.

28

Anda mungkin juga menyukai