Oleh:
AHMAD BADRUN
1445 H/2023 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang
telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “KERAJAAN ISLAM DI ACEH DAN
IMPLIKASINYA BAGI PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA”. Sholawat
dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada sang pencerah alam semesta
dengan cahaya keimanan. Yakni baginda Nabi Muhammad SAW, utusan Allah
yang telah membawa cahaya keimanan kepada seluruh alam.
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada Ibu Atsmarina Awanis, M.A.
selaku dosen pengampu mata kuliah Islam Nusantara yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk menyusun makalah ini. Tidak lupa juga kami
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang yang telah memberikan bantuan
baik dalam bentuk literatur, sumber daya, maupun dukungan moral dan spiritual.
Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
kami sangat menghargai masukan, saran, dan kritik yang bersifat membangun dari
para pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca maupun penulis
sendiri serta dapat menjadi kontribusi kecil kami dalam perkembangan ilmu
pengetahuan islam.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Nusantara, makalah ini akan memberikan wawasan yang mendalam tentang
sejarah Islam di Aceh dan peran bersejarahnya dalam penyebaran Islam di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdiri dan berkembangnya Kerajaan-kerajaan islam di
aceh?
2. Bagimana implikasinya bagi penyebaran islam di Indonesia?
2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Teori Arab
Menurut Hamka bahwa Islam masuk ke Nusantar tahun 674 M. Berdasarkan
Catatan Tiongkok, saat itu datang seorang utusan raja Arab ber-nama Ta Cheh atau
Ta Shih (kemungkinan Muawiyah bin Abu Sufyan) ke Kerajaan Ho Ling
(Kalingga) di Jawa yang diperintah oleh Ratu Shima. Ta-Shih juga ditemukan dari
berita Jepang yang ditulis tahun 748 M. Diceritakan pada masa itu terdapat kapal-
kapal Po-sse dan Ta-Shih K-Uo. Menurut Rose Di Meglio, istilah Po-sse
menunjukan jenis bahasa Melayu sedangkan Ta-Shih hanya menunjukan orang-
orang Arab dan Persia bukan Muslim India. Juneid Parinduri kemudian
memperkuat lagi, pada 670 M, di Barus Tapanuli ditemukan sebuah makam
bertuliskan Ha-Mim. Semua fakta tersebut tidaklah mengherankan mengingat
bahwa pada abad ke-7, Asia Tenggara memang merupakan lalu lintas perda-gangan
dan interaksi politik antara tiga kekuasaan besar, yaitu Cina di bawah Dinasti Tang
(618-907), Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14), dan Dinasti Umayyah (660-749).1
Menurt Al-Attas dalam karyanya yang berjudul Islam dalam Sejarah dan
Kebudayaan Melayu, Prof Sayid Muhammad Naquib al-Attas menekankan teori
yang sama tentang sejarah kedatangan Islam ke “Kepulauan Melayu-Indonesia”.
Analisisnya memperlihatkan persamaan dengan pendapat Hamka dalam Sejarah
Umat Islam. Al-Attas menjelaskan bahawa proses Islamisasi di daratan Melayu
1
Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, 4.
3
terjadi dalam tiga tahap. Fase Pertama (dari sekitar 578-805/1200-1400), adalah
fase peralihan yang nominal atau penghijrahan ‘jasad’. Fase kedua (dari sekitar
803-1112/1400-1700) merupakan periode peralihan ‘rohani’ dengan adanya
peningkatan penyebaran falsafah mistik, tasawuf dan kalam. Fase ketiga (dari
sekitar 1112/1700 ke atas) terjadi penyempurnaan fase kedua bersamaan dengan
kedatangan Barat.2
b. Teori Persia
Berbeda dengan teori sebelumnya teori Persia lebih merujuk kepada aspek
bahasa yang menunjukan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara dan bahasanya
telah diserap. Seperti kata “Abdas” yang dipakai oleh masyarakat Sunda merupakan
serapan dari Persia yang artinya wudhu.
Bukti lain pengaruh bahasa Persia adalah bahasa Arab yang di-gunakan
masyarakat Nusantara, seperti kata-kata yang berakhiran ta’ marbūthah apabila
dalam keadaan wakaf dibaca “h” seperti shalātun dibaca shalah. Namun dalam
bahasa Nusantara dibaca salat, zakat, tobat, dan lain-lain.3
c. Teori India
Teori ini menyatakan Islam datang ke Nusantara bukan langsung dari Arab
melainkan melalui India pada abad ke-13. Dalam teori ini disebut lima tempat asal
Islam di India yaitu Gujarat, Cambay, Malabar, Coromandel, dan Bengal.4 Teori
India yang menjelaskan Islam berasal dari Gujarat terbukti mempunyai kelemahan-
2
Syed Muhammad Naquib al-Attas. Preliminary Statement on a General Theory of the
Islamization of the Malay-Archipelago (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969), hh. 29-
30.
3
Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, 8.
4
Ibid., h. 9.
4
kelemahan. Hal ini dibuktikan oleh G.E. Marrison dengan argumennya “Meskipun
batu-batu nisan yang ditemukan di tempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi
berasal dari Gujarat atau Bengal, seperti yang dikatakan Fatimi. Itu tidak lantas
berarti Islam juga didatangkan dari sana”. Marrison mematahkan teori ini dengan
menuujuk pada kenyataan bahwa ketika masa Islamisasi Samudera Pasai, yang raja
pertamanya wafat pada 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu.
Barulah setahun kemudian Gujarat ditaklukan oleh kekuasaan muslim. Jika Gujarat
adalah pusat Islam, pastilah telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum
kematian Malikush Shaleh. Dari teori yang dikemukakan oleh G.E. Marrison bahwa
Islam Nusantara bukan berasal dari Gujarat melainkan dibawa para penyebar
muslim dari pantai Koromandel pada akhir abad ke-13.
d. Teori Turki
Teori ini diajukan oleh Martin Van Bruinessen yang dikutip dalam Moeflich
Hasbullah. Ia menjelaskan bah-wa selain orang Arab dan Cina, Indonesia juga
diislamkan oleh orang-orang Kurdi dari Turki. Ia mencatat sejumlah data. Pertama,
banyaknya ulama Kurdi yang berperan mengajarkan Islam di Indonesia dan kitab-
kitab karangan ulama Kurdi menjadi sumber-sumber yang berpengaruh luas.
5
Azyumardi Azra, Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 3 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2012), 11.
5
Misalkan, Kitab Tanwīr al-Qulūb karangan Muhammad Amin al-Kurdi populer di
kalangan tarekat Naqsyabandi di Indonesia. Kedua, di antara ulama di Madinah
yang mengajari ulama-ulama Indonesia terekat Syattariyah yang kemudian dibawa
ke Nusantara adalah Ibrahim al-Kurani. Ibrahim al-Kurani yang kebanyakan
muridnya orang Indonesia adalah ulama Kurdi. Ketiga, tradisi barzanji populer di
Indonesia dibaca-kan setiap Maulid Nabi pada 12 Rabiul Awal, saat akikah,
syukuran, dan tradisi-tradisi lainnya. Menurut Bruinessen, barzanji merupakan
nama keluarga berpengaruh dan syeikh tarekat di Kurdistan. Keempat, Kurdi
merupakan istilah nama yang populer di Indonesia seperti Haji Kurdi, jalan Kurdi,
gang Kurdi, dan seterusnya. Dari fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa
orang-orang Kurdi berperan dalam penyebaran Islam di Indonesia.6
6
Syafrizal, Ahmad, Sejarah Islam Nusantara, Islamuna, Vol.2, No. 2, Des. 2015
7
Hasan Muhammad Ambary, “Mencari Jejak Kerajaan Islam Tertua di
Indonesia(Perlak)” (Kertas Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh
danNusantara, Aceh Timur, 25-30 September 1980), h. 6; Ali Hasjmy et al., “SejarahKerajaan
Islam Perlak” (Kertas Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam diAceh dan Nusantara di
Aceh Timur 25-30 September 1980), h. 8.
8
Penjelasan buku The Religious Life of Chinese Muslims. Keterangan lain,yaitu dari Kitab
Sejarah Melayu, yang menyebutkan bahwa Syekh Ismail yang berasaldari Mekah, khilafahnya di
Madinah mau menuju Samudera Pasai, tetapi tidak tahupersis kawasan tujuannya. Ia memilih
singgah lebih dahulu di Bandar Barus, danmemperkenalkan Islam kepada masyarakat setempat.
6
Maka Syarif Makkah pun menyuruh sebuah kapal membawa segala perkakas
kerajaan, seraya disuruhnya singgah ke negeri Ma’abri. Adapun nama nakhoda
kapal itu Syekh Ismail namanya. Maka kapal itupun berlayarlah, lalu ia singgah
di negeri Ma’abri. Maka kapal Syeih Ismail itu pun berlabuh di laut. 37 (44-45)
Berapa lamanya di laut maka sampailah kapal kepada sebuah negeri, Fansuri
namanya. Maka segala orang isi negeri Fansuri itu pun masuklah Islam...Berapa
lamanya maka sampai kepada sebuah negeri pula Thobri (Lamri) namanya.
Maka orang Thobri itu pun masuk Islam... Berapa lamanya maka sampailah ke
negeri Haru namanya. Maka segala orang dalam negeri Haru itu pun masuk
Islam... Maka fakir itupun bertanya orang dalam negeri itu “Di mana negeri
yang bernama negeri Samudera?” Maka kata orang Haru itu “Sudahlalu”. Maka
fakir itu pun naik ke kapal lalu berlayar pula. Maka jatuh ke negeri Perlak. Maka
mereka itu pun diislamkannya. Maka kapal itu pun berlayar ke Samudera.9
Hanya saja perlu dinyatakan, Barus tidak pernah menjadi kerajaan Islam,
apalagi menjadi satu kekuatan politik Islam, dan yang pernah menjadi dan berwujud
kerajaan Islam awal adalah Peureulak, Pasai dan selanjutnya Aceh Darussalam.
Proses pencarian Samudera, untuk mewujudkan perintah seperti yang dimaksudkan
sabda Nabi Muhammad SAW., menjadi tujuan utama dan mereka singgah di
beberapa tempat seperti tersebut di atas, menjadi wujud Islam di sana, termasuk di
Peureulak. Untuk maksud tersebut pada pertengahan abad ke-8 M, Syarif Mekah di
zaman khalifah Harun al-Rasyid, bertitah dan menyiapkan sebuah kapal dari Jeddah
yang dinahkodai oleh Syekh Ismail beserta Fakir Muhammad (Bekas Raja di
Malabar) untuk menyiarkan Islam di Samudera. Kapal dimaksud mula-mula
singgah di Fansuri-Barus. Syeikh Ismail dan rombongan turun ke darat beberapa
saat, menemukan beberapa orang untuk diislamkan di sana serta meminta sekaligus
mengajar mereka untuk membaca al-Qur’an, kemudian baru meneruskan
perjalanan-pelayarannya mencari Samudera, tetapi mereka singgah dahulu di
bandar Peureulak.10
9
Tun Seri Lanang, Sulalat al-Salatin, terj. Muhammad Haji Salleh (Kuala Lumpur:
Yayasan Karyawan & DBP, 1997), h. 44-45.
10
Abdullah Munchi menjelaskannya dalam Sejarah Melayu, seperti dikutip oleh M.
Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), h. 120.
7
Dengan demikian jelaslah bahwa memang ada kemungkinan pengislaman
pertama berlangsung di Fansuri-Barus, dan wilayahini pernah menjadi wilayah
teritorial kesultanan Aceh Darussalam di kemudian hari. Hal ini sangat beralasan,
seperti diungkapkanoleh T. Ibrahim Alfian,11 karena secara geografis wilayahnya
yang strategis, yang terletak antara lautan Hindia dan Laut Cina Selatan yang
menghubungkan negeri-negeri sebelah timur, seperti Cina dan Jepang; dan dengan
negeri-negeri sebelah barat, yaitu Anak Benua India, Parsi/Persia dan negara-
negara Arab, Afrika, serta dengan benua Eropa. Barus merupakan kawasan yang
paling ujung barat Sumatera, para pendatang-pedagang dari timur dan barat tentu
menjadikan pelabuhan Barus tempat singgah dan perdagangan rempah-rempah
termasuk kapur Barus demikian terkenal. Kawasan ini menjadi tempat bagi para
pedagang menunggu giliran datang angin musim timur-laut dan barat-daya yang
akan membawa mereka dan barang-barang dagangannya ke tempat tujuan masing-
masing, termasuk ke Peureulak.
Peureulak adalah kerajaan Islam ternama, tertua dan sudah pernah dipimpin
oleh 20 atau paling tidak ada yang katakan 19 orang raja atau sultannya.12 Adapun
ahli yang berpendapat demikian di antaranya adalah Ali Hasjmy yang merujuk pada
naskah klasik sebagai catatan dari Abu Ishak al-Makarani yang berjudul Risâlah
Idhar al-Haq fî Mamlakati Ferla wa al-Fasi, lalu naskah Tazkirat Tabaqat Jumu’
Sultan al-Salatin karya Syeikh Syamsul Bahri Abdullah al-Asyi, dan Silsilah Raja-
raja Perlak dan Pasai. Dari naskah-naskah ini disimpulkan bahwa Kerajaan atau
Kesultanan Peureulak sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara yang
diproklamirkan pada 1 Muharram 225 H/ 840 M, dengan sultan pertamanya Sultan
Alauddin Sayyid Maulana Abdil Aziz Syah. Kesultanan Peureulak berakhir pada
tahun 1292 M.16 Hal ini sesuai dengan disatukannya ke kerajaan Pasai di Samudera
Gedong, Aceh Utara sekarang.
11
Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah (Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999), h. 1.
12
Lihat Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Beuna, 1983), h. 45-47.
8
pengarang buku Tuanku Rao yang menyebutkan sebelum lahir Nabi Muhammad
SAW. bahkan sebelum lahir ‘Isa a.s, orang-orang Parsi (sebelum Islam) telah
mengadakan hubungan perdagangan lewat jalan laut dengan Tiongkok.13
Dalam pada itu sebahagian pedagang Arab dan Parsi telah membina
perkampungan di rantau Asia, diantaranya dengan Peureulak. Hal dimaksud seperti
catatan seorang peneliti Balitbang Kementrian Agama RI, sebagai berikut:
Kedatangan keturunan ‘Ali ini disambut baik oleh Maharaja Syahir Nuwi
dan rakyat Peureulak, karena ia berasal dari dua keturunan terhormat yaitu ‘Ali ibn
Abi Thâlib dan Fâthimah binti Rasulullah. Oleh karenanya, Maharaja Syahir Nuwi
menikahkan ‘Ali ibn Muhammad dengan adik kandungnya Puteri Makhdum
Tansyuri.17 Dalam perkawinan bangsawan Quraisy dengan bangsawan Peureulak
ini dianugerahkan seorang putera yang diberi nama ‘Abdul ‘Aziz. Setelah itu,
13
M. Arifin Amin et al., “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh” (Kertas
Seminar Sejarah Masuknya Islam di Aceh Timur 1972), h. 12.
14
Ali Hasjmy, “Sejarah Pemerintahan Selama Berdiri Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh”
(Kertas Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh, Banda Aceh, Juli 1978), h. 5.
15
Ibid., h. 5.
16
Ibid., h. 18.
17
Team Sejarah Aceh Timur, “Masuknya Islam di Peureulak A. Timur dan
Perkembangannya,” h. 5.
9
‘Abdul ‘Aziz dikawinkan pula dengan Puteri Meurah (bangsawan pribumi)
Makhdum Khudawi atau Puteri Peureulak. Pada tahun 173 H/790 M atau pada abad
I H/ 8 M,
Bandar Khalifah begitu terkenal di kalangan para pedagang Arab dan non-
Arab sekalipun, karena telah menjadi pelabuhan penting dan tempat persinggahan
mereka dalam perjalanan ke Cina atau balik ke Asia Barat.22 Seiring ditetapkan
sebagai kerajaan Islam yang pertama, akhirnya Peureulak mampu menjadi pusat
18
Abdullah Ishak, Islam di Nusantara (Khususnya di Tanah Melayu) (Kuala Lumpur:
Badan Dakwah dan Kebajikan Malaysia, 1990), h. 89.
19
Fakhriati, “Peradaban Islam di Peureulak,” h.2.
20
Tgk. A.K. Jakobi, Aceh dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan
1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar sebagai Pejuang (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
kerjasama dengan Yayasan Seulawah RI-001, 1998), h. 17-18.
21
M. Yunus Djamil, Tawarich Raja-raja Keradjaan Atjeh (Banda Aceh: Kodam I Iskandar
Muda, 1968), h. 5; M. Yunus Djamil, Gerak Kebangkitan Aceh: Kumpulan Karya Sejarah
Muhammad Junus Jamil (Bandung: Jaya Mukti, 2005), h. 12.
22
A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al-
Ma‘arif, 1993), h. 201.
10
perdagangan Islam di Nusantara. Sesungguhnya, Peureulak telah mencapai
kemajuan sejak pertengahan abad ke 9 M, dimana Perlak merupakan Kawasan
termaju dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sumatera. Hal ini dibuktikan
oleh Marco Polo, dimana ia pernah menegaskan bahwa “Perlak selalu didatangi
oleh saudagar-saudagar Muslim yang membawa penduduk Bandar ini memeluk
undang-undang Muhammad yang terkenal kemudian dengan sunnah Rasulullah
dan syariat Islam.”23
Pada masa Sultan ‘Abdul ‘Aziz Syah (840-864 M), system pemerintahan
kerajaan Perlak telah tersusun dengan rapi. Menurut sejarah ia bercirikan organisasi
kerajaan ‘Abbasiyah. Para Sultan Perlak sangat meperhatikan bidang pendidikan.
Ini dibuktikan dengan didirikan sebuah institusi pendidikan Islam Zawiyah Buket
Cibrek24 yang diresmikan pada tahun 865 M.25 Menurut sejarah ia merupakan
lembaga pendidikan Islam tertua di AsiaTenggara. Kejayaan ini dicapai pada masa
pemerintahan Sultan ‘Alaiddin Maulana ‘Abdur Rahim Syah yang memerintah dari
(864-888 M), Sultan kedua kerajaan Islam Perlak.
Dari aspek pertanian, Perlak merupakan daerah penghasil lada dan rotan.
Dalam bidang industri, Perlak menjadi daerah penghasil emas yang banyak terdapat
di Alue Meuh atau Sungai Emas. Dalam bidang seni rakyat, Perlak menghasilkan
ukiran seni yang indah seperti gading gajah dan kayu yang meraih simpatik dari
23
Ibid., h. 200
24
Buket di sini bermaksud Bukit. Buket Cibrek adalah nama sebuah kampung di Perlak,
Aceh Timur.
25
Amin, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh, h. 22.
26
Ibid., h. 23.
11
para pedagang asing. Seluruh aspek ini telah menjadi faktor pendorong bagi
kemajuan Perlak.
Pada tahun sekitar 1297 M dari sumber sejarah berupa catatan lbnu Batutah,
dapat dipastikan bahwa kerajaan Laut (samudra) Pasay telah ada oleh seseorang
bernama Marco Polo, lebih awal dari Dinasti Utsmaniyah di Turki. Dalam
memonya, pedagang Venesia ltalia Marco Polo menyebutkan persinggahan di Laut
(samudra) Pasay pada 1292 M. Kerajaan ini awalnya merupakan kelanjutan dari
kerajaan pra-lslam yang ada sebelumnya. Marco Polo mengaku melihat keberadaan
kerajaan lslam yang makmur saat itu, samudra pasay, yang beribukota di Pasay.
27
Susmihara, Pendidikan Islam masa Kerajaan islam di Nusantara, RIHLAH, Vol. 06
No.01/2018, h.18
12
Selain kedua catatan tersebut, sejarah Kerajaan Pasay juga dapat ditelusuri melalui
karya Hikayat Raja Pasay dan banyak sejarawan Eropa. Menurut sejarawan Eropa,
kerajaan samudra pasay muncul sekitar pertengahan abad ke-13, dengan Sultan
Malikussaleh sebagai raja pertama.
28
Susmihara, Pendidikan Islam masa Kerajaan islam di Nusantara, RIHLAH, Vol. 06
No.01/2018, h.18
13
mendapat bimbingan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka kembali ke desa
masing-masing atau berdakwah untuk mengajarkan agama lslam di tempattempat
tertentu. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat dari Ampel Denta
di Surabaya dan Sunan Giri dari Giri. Banyak dari hasil Pondok Pesantren Giri yang
diajak Meura silu untuk mengajarkan agama lslam.29
29
Nurjannah, DKK, Pemetaan dan Penilaian Permakaman Sejarah Samudra Pasai di
Kabupaten Aceh Utara, PARAMITA. Vol. 27., No.1, 2017:91
30
Dalimunthe, Dalimunthe. "Kajian Proses Islamisasi Di Indonesia (Studi
Pustaka)." Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, vol. 12, no. 1, 2016, pp. 115-125,
14
dan batu nisan yang digunakan oleh Samudra Pasai dan cakra donya. Anda dapat
menganggapnya sebagai lonceng suci. Cakra Donya adalah stupa mahkota besi
berbentuk lonceng yang dibuat di Cina pada tahun 1409. Lonceng tersebut memiliki
tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra itu sendiri berarti poros kereta, lambang
Wisnu, matahari atau cakrawala. Donya artinya dunia. Hal ini yang menjadi bukti
keberadaan kerajaan Samudra Pasai.31
Sultan Ali Mughayat Syah kemudian dilanjutkan pemerintahannya oleh Salah ad-
Din (1528-1537), anak tertuanya. Salah ad-Din memberikan perlawanan kepada penjajahan
dengan menyerang Malaka pada tahun 1537, tetapi serangan ini mengalami kekalahan.
Salah ad-Din kemudian diganti oleh Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahhar (1537- 1568),
saudaranya. Pada periode kekuasaan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahhar Aru dan Johor
berhasil ditaklukkan Aceh, dan Aceh kembali melawan penjajahan dengan menyerang
Portugis di Malaka, dengan dibantu Dinasti Turki Utsmani. Alauddin Ri’ayat Syah
selanjutnya digantikan oleh Sultan Ali Riayat Syah (1568-1573), kemudian Sultan Seri
31
Nurjannah, DKK, Pemetaan dan Penilaian Permakaman Sejarah Samudra Pasai di
Kabupaten Aceh Utara, PARAMITA. Vol. 27., No.1, 2017:91
32
Azyumardi Azra(ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989), hal 6.
33
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: LPPKM Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2014), hal 38.
15
Alam, Sultan Muda (1604-1607), dan Sultan Iskandar Muda, gelar Mahkota Alam (1607-
1636).34
Menurut tengku Luckman Sinar S.H. el-Hajj bahwa hubungan yang terjalin
antara Kerajaan-kerajaan islam ini salah satunya berasala dari kesepahaman dalam
madzhab.
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: LPPKM Universitas Islam Negeri
34
16
melarang pengadilan dengan siksaan. Pengetahuan agama juga maju pesat pada
masa itu.37
37
Azyumardi Azra(ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989), hal 6.
38
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: LPPKM Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2014), hal 41.
39
Ibid., h. 42.
40
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), hal 300.
17
Kesultanan Aceh di masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda memiliki
armada yang besar dan didukung oleh kapal-kapal yang tangguh. Satu kapal bisa
mengangkut 400, 600, sampai 800 orang, berbentuk panjang sekitar 35 meter dan
bergeladak dengan dayung sepanjang 1,2 meter. Setiap kapal dilengkapi dengan
tiga meriam yang amuh dengan empat puluh pon peluru. Satu kapal terbesar yang
dimiliki Aceh dibawa untuk melawan Portugis di wilayah Malaka pada bulan Juli
1629. Orang Portugis berhasil menangkapnya bersama laksamana yang
membawanya; terheranheran karena ukurannya yang serba besar, mereka mengirim
kapal itu ke Spanyol sebagai tanda kemenangan. Kapal itu dinamakan "Espanto del
Mundo", artinya "Momok dunia". Faria Y Sousa memberikan gambaran bahwa
kapal ini panjangnya kira-kira 100 meter, dan memiliki 3 tiang yang tegak pada
jarak yang proporsional dan memiliki meriam lebih dari 100 buah.41
41
Denys Lombard, 1991. Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal 112-116.
42
Ibid., h. 117-119
43
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara. (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009), hal 47.
18
Pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), Aceh semakin
berkembang bahkan mencapai kejayaannya. Komoditas ekspor Aceh di masa ini
adalah kayu cendana, sapan, gandarukem (resin), damar, getah perca (laban),
obatobatan, dan parfum seperti kamian putih dan hitam, kapur, pucuk, rasmala,
bunga lawang, lada gading, lilin, tali sabuk dan sutera. Untuk komoditas yang
diimpor antara lain beras, guci, gula, sakar lumat, minyak barang, bijih besi, besi
upam, anggur, korma, timah putih dan hitam, besi lantak, kain cinde dari Gujarat,
guci dari Pegu, pinggan batu, mangkuk batu, kipas, kertas, opium, kopi, tile,
tembakau, tekstil dari katun Gujarat, masulipatan, dan keeling, batik mori dari
Malabar, air mawat pati dan lainnya. Pedagang-pedagang yang datang ke Aceh dari
berbagai negeri seperti Tiongkok, India, Jawa, Siam, India, Turki, Perancis, dan
Belanda.44
Pada abad ke-16, Kesultanan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat
Shah dan penguasa-penguasa berikutnya selalu berperang melawan upaya
penaklukan oleh Portugis. Portugis mencoba untuk menguasai wilayah Aceh
dengan membangun benteng di Pasai. Namun, Sultan Ali Mughayat Shah berhasil
mengusir Portugis dari Pasai pada tahun 1524. Sultan Ali kemudian berencana
untuk menyerang Malaka, tetapi upayanya gagal karena pengkhianatan dari seorang
pejabat Malaka yang diasingkan oleh Portugis.45
44
Ibid.
45
Ibid., h. 48
46
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad ke
XVII & XVIII. (Depok: Prenada Media Group, 2013), hal 44.
19
Pada tahun 1565, seorang duta Aceh, Husayn, datang ke Istanbul membawa
surat dari Sultan Al Qahar kepada Sultan Sulayman Al Qanuni. Surat tersebut
melaporkan aktivitas militer Portugis yang mengganggu pedagang muslim dan
jamaah haji dalam perjalanan ke Mekah. Sultan Sulayman yang telah meninggal
tahun 1566 sangat mendukung untuk menyelamatkan kaum muslim yang diserang
oleh Portugis. Misi Aceh ini mendapat dukungan dari penerus Sultan Sulayman,
yaitu Sultan Selim II (1566-1574), yang mengirimkan ekspedisi militer besar ke
Aceh. Armada ini dikomandani oleh Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir
Reis, tetapi dalam perjalanan mereka, sebagian besar pasukan mereka didaratkan di
Yaman untuk memadamkan pemberontakan. Sejumlah kecil pasukan akhirnya tiba
di Aceh, dan mereka tidak ikut dalam serangan Aceh terhadap Portugis di Malaka
pada awal 1568.47
Aceh melancarkan serangan pada tahun 1573 dan 1575. Mereka juga
berusaha memperluas hubungan dan kerja sama dengan Kerajaan Jawa, terutama
Jepara. Aceh menjalin persahabatan dengan kota-kota pelabuhan di pesisir barat
Sumatera seperti Barus dan Pariaman, serta menjalin hubungan dengan kerajaan
Islam Banten di Jawa. Ini membantu Aceh memperluas perdagangan
internasionalnya.48
47
Ibid., h. 44.
48
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara. (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009), hal 68.
49
Ibid., h. 67.
20
C. Penyebaran Islam di Nusantara
Dalam penyebaran Islam di Nusantara terdapat strategi yang dilakukan
sehingga Islam lebih mudah diterima dibandingkan dengan agama lain. Strategi
yang dilakukan bermacam-macam dan tidak terdapat unsur paksaan. Di antara
strategi penyebaran islam tersebut adalah:
Pertama, melalui jalur perdagangan. Awalnya Islam merupakan komunitas
kecil yang kurang berarti. Interaksi antar pedagang muslim dari berbagai negeri
seperti Arab, Persia, Anak Benua India, Melayu, dan Cina yang berlangsung lama
membuat komunitas Islam semakin ber-wibawa, dan pada akhirnya membentuk
masyarakat muslim.
Kedua, melalui jalur dakwah bi al-hāl yang dilakukan oleh para muballigh
yang merangkap tugas menjadi pedagang. Proses dakwah ter-sebut pada mulanya
dilakukan secara individual. Mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban syariat
Islam dengan memperhatikan kebersihan, dan dalam pergaulan mereka
menampakan sikap sederhana.50
50
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, 327.
21
Jawa Islam menyesuaikan dengan budaya lokal sedang di Sumatera adat
menyesuaikan dengan Islam.51
Seluruh strategi ini telah terbukti berhasil dalam memperluas penyebaran Islam
di seluruh Nusantara, dan seiring dengan itu, peran-peran penting dimainkan oleh
berbagai kerajaan Islam khususnya kerajaan-kerajaan islam di Aceh sebagai
Kerajaan-kerajaan islam awal. Aceh, salah satu daerah yang memiliki Kerajaan-
kerajaan Islam awal dan tertua di Nusantara, memainkan peran yang sangat penting
dalam penyebaran agama Islam. Beberapa peran utamanya adalah sebagai berikut:
a. Penaklukkan Daerah-daerah
Di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530), Aceh mulai
melebarkan kekuasaannya ke daerah sekitarnya, bahkan kesultanan ini berhasil
mengusir Portugis dari Pasai tahun 1524.52 Pada masa Sultan Iskandar Muda, ia
berhasil melakukan konsolidasi berbagai wilayah kekuasaan Aceh, seperti
Tamiang, Natal, Tiku, Pariaman, Pasaman, Salido, dan Indrapura. Tahun 1611
M, wilayah Aru dan Deli berhasil dikuasai. Tahun 1613 M, Johor berhasil di
kuasai. Tahun 1617-1620, Bintan, Baning, Pahang, Kedah, dan Perak berhasil
dikuasai. Tahun 1623-1625, Kerajaan Aceh berhasil menguasai Nias, Asahan,
Inderagiri dan Jambi.53
b. Sufisme
A.H. Johns berpendapat bahwa sufisme merupakan kategori fungsional dan
perlambang dalam kesusastraan Indonesia antara abad ke-13 dan 18. A.H. Jones
lewat hipotesisnya juga menekankan kepentingan dan keunikan pengajar sufi dalam
penyebaran Islam ke Indonesia. Peran sufi yang menggunakan jalur tasawuf dalam
proses Islamisasi sangat besar. Dalam sejarah sufisme terkadang seorang sufi
berhasil meluaskan penyebaran Islam dengan dukungan raja-raja dalam
mengajarkan ajaran mereka, hal ini pula yang terjadi di Kerajaan Aceh.54
51
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, 331.
52
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: LPPKM Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2014), hal 41.
53
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara. (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2010), hal 42.
54
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: LPPKM Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2014), hal 41.
22
c. Lembaga Pendidikan dan Pengkaderan Ulama
Penyebaran Islam juga menemukan jalannya melalui lembaga-lembaga
pendidikan yang dikenal di Indonesia sebagai pesantren (meunasah atau dayah di
Aceh). Siswa agama disebut santri, sementara gurunya disebut guru ngaji, kiai, atau
ajengan. Murid diambil dari berbagai tempat dan setelah menyelesaikan studi
mereka kembali ke tempat masing-masing untuk menjadi kiai dan mendirikan
pesantren baru. Jadi, pesantren atau meunasah sebagai pusat pendidikan tradisional
dianggap sebagai salah satu saluran bagi proses Islamisasi. Pesantren berhasil
menjangkau ke wilayahwilayah yang jauh, saat Pesantren memiliki beberapa santri
yang berasal dari tempattempat jauh dan terpencil.55
d. Penyebaran Lewat Karya-Karya Ulama Besar Aceh
Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia selain dengan
pendidikan di Pesantren (atau di Aceh disebut Dayah atau Meunasah) membentuk
kader-kader ulama yang bertugas sebagai mubalig ke daerah-daerah yang lebih
luas, juga dilakukan melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai
tempat yang jauh. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menuliskan di Kerajaan Aceh
pada abad ke 16 dan 17 ada produktivitas pada bidang filsafat, metafisik, sastra, dan
teologi rasional yang tidak ada duanya jika dibandingkan dengan zaman lainnya di
Asia Tenggara. Saat dunia pemikiran dalam bidang agama mengalami kebekuan
karena digalakkannya taklid di pusat dunia Islam, di daerah Nusantara dunia
pemikiran berkembang karena tradisi pemikiran baru mulai terbentuk, dan
bagaimanapun akar tradisi pemikirannya berasal dari tradisi pemikiran di pusat
dunia Islam tersebut sebelumnya.56
Ilmuwan terkenal pertama di Indonesia adalah Hamzah Fansuri, tokoh sufi yang
berasal dari Fansur (Barus), Sumatera Utara. Karyanya yang terkenal berjudul
Asrarul- ‘Arifin fi Bayan ila Suluk wa Al-Tauhid. Ada juga karya yang lain yatiu
Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Jawi, Syarab Al’Asyikin.
Pemikiran tasawufnya dipengaruhi paham wahdat al-qujud Ibn ‘Arabi dan juga
55
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara. (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009),
hal 32.
56
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,
2003), hal 301.
23
pemikiran tasawuf Al-Hallaj. Paham yang dikembangkan Hamzah Fansuri di Aceh
ini dikenal dengan wujudiyah atau martabat tujuh. Syamsudin al-Sumatrani adalah
murid Hamzah Fansuri. Syamsudin mengarang buku berjudul Mir’atul Mu’minim
(cermin orang beriman), pada tahun 1601. Buku ini berisi Tanya jawab tentang ilmu
kalam.57
Nuruddin Al-Ranini adalah Ulama yang produktif menulis. Al-Raniri berasal
dari India, keturunan Arab Quraisy Hadramaut. Ia tiba di Aceh tahun 1637 M. Al-
Raniri dikenal sebagai orang yang sangat giat membela ajaran Ahlussunah
Waljamaah. Ahmad Daudi menuliskan bahwa karya Al-Raniri yang terdata secara
jelas berjumlah 29 buah, yang meliputi berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti
ilmu sejarah, tasawuf, fikih, hadis, akidah, dan sekte-sekte agama. Di antara
karyanya adalah Al Sirath Al Mustaqim berisi uraian tentang hukum, Bustan al
Salatin berisi sejarah dan tuntunan bagi para penguasa dan raja, Asrar al Insan fi
Ma’rifati al-Ruh wa al-Rahman yang merupakan karya dalam ilmu kalam, Tibyan
fi Ma’rifat al-Adyan berisi perdebatannya dengan kaum wujudiyah, dan al-Lama’ah
fi Takfir man Qala bi Khalq al-Qur’an yang juga merupakan bantahan terhadap
Hamzah Fansuri bahwa al-Qur’an itu makhluk. Ulama penulis lainnya yang juga
berasal dari Kerajaan Aeh adalah Abdurrauf Singkil yang mendalami ilmu agama
di Mekah dan Madinah. Dia menghidupkan kembali ajaran tasawuf yang
sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri melalui tarekat Syattariyah yang
diajarkannya, walaupun dengan metaphor yang berbeda.58
Paham sufisme di Jawa diserap dari kesusasteraan Melayu (Aceh) karya
Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Abdurrauf Singkil dan juga Nuruddin
al-Raniri. Melalui karya-karya ulama Aceh itu, pahan wujudiyah tersebar ke Jawa
melalui penyebaran tarekat Syattariyah, murid-murid Abdurrauf Singkel.
Diantaranya adalah Abdul Muhyi, pengarang kitab Martabar Kang Pittu (Martabat
yang Tujuh), seorang wali yang dikeramatkan di daerah Priangan dan dari daerah
ini tarekat Syattariah menyebar ke Cirebon yang menjadi pusat kesultanan. Dari
pengaruh Cirebon ini kemudian pujangga-pujangga Surakarta mengubah karya-
57
Ibid., h. 302.
58
Ibid., h. 303.
24
karya serat suluk yang kaya akan ajaran etika dan tasawuf, seperti Ronggowarsito
dengan karyanya Wirid Hidayat Jati.59
e. Aceh Sebagai Pintu Gerbang Tanah Suci
59
Ibid.
60
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: LPPKM Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2014), hal 43.
25
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
26
Daftar Pustaka
Amin, M. Arifin et al. “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh” (Kertas
Seminar Sejarah Masuknya Islam di Aceh Timur 1972.
Azra, Azyumardi (ed), 1989. Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Azra, Azyumardi, 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara
Abad ke XVII & XVIII. Depok: Prenada Media Group.
Hasjmy, Ali, et al., “Sejarah Kerajaan Islam Perlak.” Kertas Seminar Sejarah
Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara di Aceh Timur
25-30 September 1980.
Hasjmy, Ali. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Jakarta: Beuna, 1983. Ishak,
Abdullah. Islam di Nusantara (Khususnya di Tanah Melayu). Kuala
Lumpur: Badan Dakwah dan Kebajikan Malaysia, 1990.
27
Helmiati H, 2014. Sejarah Islam Asia Tenggara, Pekanbaru: Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPKM) Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau.
Syafrizal, Ahmad, Sejarah Islam Nusantara, Islamuna, Vol.2, No. 2, Des. 2015
Yatim, Badri, 2003. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta. PT
Raja Grafindo Persada.
28