Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH

MAKALAH MATA KULIAH STUDI SYARIAT ISLAM DI


ACEH

Diajukan Oleh :

Dessy Fardila (210301014)

Fitri Idani (210301020)

Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Islam

Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM - BANDA ACEH

TAHUN 2022 M / 1443 H


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim segala puji bagi Allah


yang telah memberikan kita kemudahan serta kelancaran sehingga dapat
menyelesaikan tugas mata Studi Syari’at Islan di Aceh yang berjudul “Sejarah
Syari’at Islam di Aceh”. Tanpa pertolongan-Nya mungkin Kami tidak sanggup
menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam semoga terlimpah kepada
baginda Nabi Muhammad saw yang telah membawa kita dari zaman kebodohan
ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan ini.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan


ilmu dan pengalaman bagi pembaca. Bagi saya sebagai penyusun makalah masih
merasa banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman. Untuk itu Saya sangat berharap kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Banda Aceh, 04 September 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1


B. Rumusan masalah.........................................................................................1
C. Tujuan masalah............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3

A. Sejarah Syariat Islam pada Masa Kerajaan Aceh.........................................3


B. Sejarah Syariat Islam pada Masa Awal Kemerdekaan Indonesia dan Orde
Baru..............................................................................................................5
C. Sejarah Syariat Islam pada Masa Reformasi................................................7

BAB III PENTUP...................................................................................................9

A. Kesimpulan..................................................................................................9
B. Kritik dan Saran...........................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aceh memiliki keunikan yang sangat kental akan nilai-nilai Islam yang
telah menjadi urat nadi dalam kehidupan masyarakatnya sejak dulu sampai
sekarang. Kegemilangan Aceh yang diraih sejak dulu hingga sekarang telah
banyak memberikan inspirasi yang tidak hanya bagi Indonesia, melainkan juga
menjadi inspirasi bagi bangsa lain, dalam bentuk perjuangannya. Aceh merupakan
salah satu bangsa yang berada di barat Pulau Sumatera yang memiliki tradisi
militer, serta pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka. Dalam sejarah
disebutkan bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan seorang pemimpin yang
paling terkenal dari deretan nama-nama sultan yang memerintah di Kerajaan
Aceh. Di bawah pemerintahanya, Kerajaan Aceh dapat mencapai kejayaan dalam
bidang politik, agama, ekonomi, hukum dan kebudayaan.1

Aceh dikenal sebagai kerajaan Islam yang memiliki adat istiadat yang
tidak lepas dari Syariat Islam (Allah swt), dan Al-Qur‟an sebagai Qanun Meukuta
Alam (undang-undang hukum) yang ada di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam.
Hal tersebut membuat Aceh disebut sebagai Serambi Mekah. Dalam
pemerintahan yang telah dijalankan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh
mengalami perkembangan ekonomi yang baik. Hal tersebut dikarenakan Sultan
benar-benar memperhatikan aspirasi dan permasalahan rakyat. Dirinya juga
membuat peraturan yang tegas dalam bidang perindustrian, pertambangan,
pelayaran, pertanian serta perikanan, dan pada saat itu juga hukum benar-benar
ditegakkan.2

Dengan ditegakkan nya hukun syari’at Islam yang membuahkan hasil yang
baik bagi kehidupan rakyat pada masa itu membuat masyarakat Aceh pada masa
1
Rusdi Sufi, Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda, (Jakarta: Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1995) hlm. 1
2
Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi, (Jakarta: Pustaka Obor
Indonesia2010) hlm. 149

iv
setelah kemerdekaan berjuang untuk menegakkan hukum syari’at Islam di Aceh
dengan tujuan agar masyarakat Aceh hidup aman, damai, serta mendapatkan
berkah dari Allah swt. Oleh karena itu pemakalah ingin membahas tentang hal
yang berkaitan dengan sejarah periode pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah periode pelaksanaan Syariat Islam di Aceh pada masa
pemerintahan Sulthan Iskanda Muda hingga sekarang?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui periode pelaksanaan Syariat Islam di Aceh pada masa
pemerintahan Sulthan Iskandar Muda hingga sekarang

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Syariat Islam Pada Masa Kerajaan Aceh

Menurut para ahli sejarah, kerajaan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan
Ali Mughayatsyah (1516-1530). Beliau berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan
Islam lainnya yang sebelumnya telah ada seperti kerajaan Peureulak, Samudera
Pasai, Pidie jaya, dan Linge. Pada perkembangan selanjutnya kerajaan Aceh
Darussalam tercatat sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di dunia. Masa
keemasan kerajaan Aceh Darussalam berada pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa ini, Aceh mencapai kemajuan luar biasa
dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan agama. Sultan Iskandar Muda berhasil
menjadikan ibu kota kerajaan Aceh Darussalam sebagai kota kosmopolitan.3

Pada waktu itu di kerajaan Aceh telah berlaku hukum Islam, sesuai dengan
agama yang dianut oleh masyarakat Aceh. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
kodifikasi hukum-hukum Islam yang dibuat oleh para ulama yang kemudian
ditetapkan menjadi Undang-Undang (Qanun) yang berlaku di kerajaan Aceh
Darussalam. Di antara Qanun tersebut adalah Qanun al-Asy yang disebut juga
Adat Meukuta Alam, Sarakata Sultan Syamsul Alam, dan Kitab Safinah al-
Hukkam fi Takhlish al-Khashsham.

Dalam masyarakat Aceh dikenal empat istilah yang berkaitan dengan


hukum yaitu: hukum, adat, uruf dan reusam. Hukum adalah hukum Islam, adat
diartikan sebagai hukum tidak tertulis dan mempunyai sanksi, berlaku untuk siapa
saja dengan tanpa pandang bulu, uruf adalah pendapat ulama dalam menjalankan
negara, namun tidak disandarkan kepada agama, akan tetapi disandarkan kepada
adat, sedangkan reusam diartikan sebagai bekas hukum.4
3
Luthfi Aunie, Transformasi Politik dan Ekonomi Kerajaan Islam Aceh (1641-1699),
dalam Pranata Islam di Indonesia: Pergulatan Sosial, Politik, Hukum dan Pendidikan, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2001), h.142
4
T. Juned, Penerapan Sistim dan Asas-Asas Peradilan Hukum Adat dalam
Penyelesaian Perkara, dalam Pedoman Adat Aceh; Peradilan dan Hukum Adat, (Banda Aceh:

vi
Berjalannya adat pada masa kerajaan Aceh Darussalam dapat dilihat
sewaktu Sultan Iskandar muda (1607-1636) menghukum mati anaknya Meurah
Peupok anak lelaki satu-satunya yang telah diangkat sebagai putera mahkota,
karena berbuat zina dengan isteri seorang pejabat (1621), maka para ulama ketika
itu memprotesnya, karena berlawanan dengan hukum Islam. Sultan dengan tegas
menjawabnya: “matee aneuk muphat jeurat, matee adat ho tamita”. Jadi istilah
adat dalam ungkapan tersebut tidak bisa diartikan lain, selain dari suatu hukum.5

Atas saran para ulama supaya dilakukan perubahan atas aturan-aturan


dalam adat, akhirnya Sultan memerintahkan cendikiawan dan ulama untuk
mengkodifikasikan aturan-aturan yang berlaku. Apabila terdapat aturan yang
berlawanan dengan hukum Islam, supaya dihapus atau dibuat yang lain. Sehingga
hadih maja “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” lahir pada waktu
itu.6

Selain itu ada lagi penegasan dari Sultan, bahwa bila suatu saat kelak lahir
adat (hukom) yang baru apabila bertentangan dengan hukum Islam (hukom),
maka hukum baru tersebut tidak dapat disebut sebagai adat. Oleh karena itu harus
ditolak keberadaannya. Kemudian dinyatakan lagi bahwa seluruh “hukom”
langsung menjadi “adat”. Antara keduanya tidak boleh dipisahkan dan harus
menyatu seperti zat dengan sifat. Maka ungkapan “adat ngon hukom hanjeut crei,
lagee zat ngon sifeut” (adat dengan hukum tidak boleh dipisah, seperti zat dengan
sifat), juga lahir pada masa itu.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum yang berlaku dalam


kerajaan Aceh Darussalam ketika itu ada dua, yaitu: hukum asli dari adat itu
sendiri dan “hukom” yang berasal dari hukum Islam. Kemudian keduanya
menyatu dan tidak dapat dipisahkan seperti ungkapan hadih maja di atas.

Berdasarkan keterangan di atas bahwa hukum Islam itu baru benar-


benar berlaku dengan kekuatan real dalam kehidupan masyarakat sehari-hari
LAKA Provinsi NAD, 2001), h. 12-15.
5
Mustafa Ahmad, Syari’at Tanpa Dukungan Adat Susah Berjalan, (Banda Aceh: IAIN
Ar-Raniry, 1999), h. 1.
6
A. Hasjmy, dkk., 50 Tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh: MUI Aceh, 1995), h. 22.

vii
dalam kerajaan Aceh Darussalam, setelah adanya penetapan sultan (adat). Hal itu
berarti, pada masa-masa sebelumnya hukum Islam inilah yang dimaksud dengan
pernyataan seperti zat dengan sifat antara kedua hukum tersebut.7

B. Sejarah Syariat Islam Pada Masa Awal Kemerdekaan Indonesia dan


Orde Baru
Dalam sejarah kemerdekaan, Indonesia menempatkan masyarakat Aceh
pada posisi yang khas, kekhasan masyarakat Aceh terutama pada persoalan
agama. Syari’at Islam dalam masyarakat Aceh adalah bagian dari tidak
terpisahkan dari tradisi, adat dan budayanya, dengan artian hampir seluruh tatanan
kehidupan keseharian masyarakat diukur berdasarkan standar ajaran Islam yaitu
merujuk pada keyakinan keagamaan. Seperti kegiatan membaca barzanzi pada
bulan Maulid dan juga dalailul khairat disetiap gampong di Aceh. Masyarakat
Aceh menganggap bahwa hal tersebut merupakan kegiatan yang suci dan
mendapat pahala disisi Allah bagi yang melakukannya. Praktek yang demikian
sudah turun menurun dilakukan oleh masyarakat Aceh sejak sedari dulu hingga
sekarang masih berlangsung. Disinilah letak muatan psikologis pentingnya
penerapan syari’at Islam bagi masyarakat muslim. Dan ini juga menjadi bagian
penting dari alasan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh sangat menentukan masa
depan Aceh.
Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia, kerajaan
Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah (916-936 H/
1511-1530 M), adalah sebuah kerajaan yang ditegakkan atas asas-asas Islam.
Dalam Adat Meukuta Alam yaitu UU kerajaan Aceh Darussalam yang diciptakan
atas arahan Sultan Iskandar Muda, misalnya disebutkan bahwa sumber hukum
yang dipakai dalam negara adalah al-Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas.8

7
Daud Rasyid, Syari’at Islam Yes-Syari’at Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam
Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Paramadina 2001), h. 217.
8
Darni M. Daud, Qanun Meukuta Alam Dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Di
Mulek dan Komentarnya, (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press 2010), hlm. 1

viii
Setelah Indonesia merdeka tuntutan untuk menerapkan syariat Islam
kembali muncul. Masyarakat Aceh yang sebelumnya telah menyatakan kepada
Soekarno bahwa Aceh mau membantu dan bergabung dengan RI melawan
penjajahan Belanda dengan catatan diberikan hak untuk melaksanakan syariat
Islam menurut pelaksanaanya9. Tengku Daud Beureuh, tokoh pergerakan Aceh
berkali-kali menuntut penerapan syariat Islam kepada presiden Soekarno dan
pihak presiden hanya memberi janji-janji. Kegagalan Jakarta dalam memenuhi
janjinya tidak hanya mengenai syari’at. Pada tahun 1951, dalam upaya
pemerintahan baru untuk merampingkan administrasi dan menghemat biaya, Aceh
kehilangan statusnya sebagai sebuah provinsi yang berdiri sendiri dan dileburkan
dalam provinsi Sumatra Utara10.

Pada masa Orde Baru, pemerintah Soeharto mengeluarkan sebuah undang-


undang tentang pemerintahan daerah. Lewat perundangan ini “keistimewaan”
Aceh sebagai Daerah Istimewa terhapus dengan pemberlakuan sebuah struktur
tunggal yang harus diadopsi oleh setiap tingkatan dalam pemerintahan setempat.
Tak hanya itu, sumber wewenang tradisional pun runtuh karena struktur mereka
terpaksa harus memberi jalan kepada sebuah birokrasi raksasa yang dijalankan
oleh partai pada masa pemerintahan Soeharto. Langkah ini yang menuju sebuah
penyeragaman yang menindas kemudian dipertegas oleh undang-undang tahun
1979 tentang pemerintahan desa yang mengambil seluruh sisa-sisa kekuasaan
yang tadinya dimiliki oleh pemimpin adat. Setelah itu, isu syariat Islam seperti
terkubur hingga undang-undang otonomi daerah disahkan tahun 1999.

Presiden Soeharto melanjutkan kebijakan pendahulunya untuk


memberikan Aceh status daerah Istimewa dan penerapan syariat Islam. Namun
begitu janji tersebut tidak pernah dilaksanakan dengan sepenuhnya. Bahkan disisi
lain, Soeharto memberikan kesempatan kepada perusahaan multi nasional dari

9
Crisis Group, Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh, Asia Report N’11 , 31 Juli
2006, hlm.3.
10
Muhammad Umar, Peradaban Aceh: Kilasan Sejarah Aceh dan Adat, Tamaddun I,
(Banda Aceh, Yayasan Busafat, 2006), hlm. 63.

ix
Amerika Serikat untuk membuka industri besar di Aceh di bidang eksplorasi
minyak dan gas bumi di Arun pada tahun 1970an.11

C. Sejarah Syariat Islam Pada Masa Reformasi (1998 – Sekarang)

Pada masa reformasi Aceh kembali menuntut pemberlakukan syariat


Islam, tuntutan referendum kepada Aceh mendominasi tuntutan pemberlakuan
syariat Islam. Pemeritah Pusat merespon tuntutan ini dengan mengundangkan
Undang-Undang No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistemewaan
Provinsi Daerah Istimmewa Aceh. Pada Juli 2001 di masa kepemimpinan
Megawati Soekarno Putri mengeluarkan Undang-Undng No. 18 tahun 2001
tentang Provinsi NAD dan mengatur lebih jauh Otonomi Khusus bagi NAD
seperti adanya Mahkamah Syraiyyah, Qanun, Lembaga Daerah, Zakat, Kepolisian
Syariah, kepemimpinan adat dan lain-lain. Pada 9 Desember 2002 terjadi
kesepakatan penghentian kekerasan (Cessation on Hostilities Agreement, CoHA)
yang ditandatangani di Jenewa. Tapi karena ketidak efesienan CoHA dalam
memberhentikan pembrontakan, presiden Megawati melalui keputusan presiden
No. 18 tahun 2003 kembali menerapkan status Darurat militer di Aceh. Gempa
bumi dan Tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 memberikan pintu
hikmah bagi masyarakat Aceh, pada tanggal 17 Juli 2005 kedua belah pihak
(GAM-RI) bersepakat mengenai subtansi dan redaksi yang tertuang pada MoU.
Kesepakatan tersebut diikuti dengan penanda tanganan kesepakatan perdamaian
antara pemerintahan RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 yang dikenal
dengan MoU Helsinki.12

Ada beberapa hal yang menarik terhadap perjalanan dinamika syari’at


Islam di Aceh antara waktu ke waktu, juga terdapat beberapa elemen yang
menarik yang berkesinambungan, yaitu adat istiadat, keislaman dan kesadaran

11
Muhammad Umar, Peradaban Aceh Kilasan Sejarah Aceh dan Adat, Tamaddun I,
(Banda Aceh, Yayasan Busafat, 2006), hlm. 65.
12
Yuni Roslaili, Formalisasi Hukum Pidana Islam di Indonesia, Analisis Ksusus
Terhadap Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Disertasi SPS UIN Jakarta: 2009)
hlm. 126.

x
kawasan Indonesia. Unsur budaya Aceh dan tradisi yang unik, senantiasa terdapat
pada masyarakat sejak dari masa kerajaan hingga saat ini. Unsur etnisitas ini
kemudian diperkaya oleh Islam yang telah menjadi fondasi budaya dan tradisi.
Sebagai sebuah masyarakat Islam, Aceh memiliki kesadaran sebagai bagian dari
dunia Islam yang lebih luas. Inilah yang menjadi dasar budaya “toleransi” dan
“plural” dalam tatanan masyarakat Aceh. Dengan kata lain, Islam berperan
sebagai perekat berbagai etnik dan budaya di Aceh.

Berdasarkan demikian, sejarah Aceh lebih didominasi oleh isu adat istiadat
dan keislaman. Syari’at Islam memang sudah melekat ditelinga masyarakat Aceh
dan merupakan bukan hal asing bagi masyarakat Aceh. Syari’at Islam dapat
dijadikan patrol bebagai solusi persoalan daerah, dan juga isu sakral terhadap
keberlangsungan pelaksanaan pemerintah daerah melalui pelaksanaan syari’at
Islam di Aceh. Pola penerapan syari’at Islam di Aceh pada masa sekarang sangat
konstektualis dan mengikuti perkembangan zaman dan masa sesuai dengan
kebutuhan pasar dengan tidak meninggalkan nilai-nilai normatif.13

13
Rusdi Sufi, Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh, (Banda Aceh: Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 1998), hlm. 12

xi
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa tahapan pelaksanaan
syari’at Islam di Aceh ada empat perioderisasi. Periode pertama dimulai sejak
awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1959, tahap ini disebut juga dengan tahap
perjuangan dalam rangka mengupayakan pengakuan dari pemerintah pusat.
Kemudian periode kedua mulai tahun 1959 sampai dengan 1999, tahap ini dapat
disebut juga sebagai tahap adanya pengakuan secara politis, namun tahap ini tidak
dilanjutka dengan kebijakan dan pengaplikasikannya. Ketiga adalah mulai tahun
1999 sampai dengan tahun 2006 merupakan tahap pemberian izin pelaksanaan
secara terbatas atau upaya mencari bentuk. Tahap yang terakhir adalah mulai
tahun 2006 sampai dengan sekarang merupakan tahap peaksanaan secara relatif
luas, pada tahap ini juga diberi pengakuan sebagai sub sistem dalam sistem
hukum nasional. Dasar hukum pelaksanaan syariat Islam di Aceh yaitu UU no 44
tahun 1999, UU no 18 tahun 2001, serta qanun yang mengatur tentang syariat
Islam.

B. Kritik dan Saran


Demikian pembahasan dari makalah ini. Semoga dengan adanya
penjelasan tentang sejarah syariat Islam di Aceh ini bermanfaaat sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan bagi kita semua. Isi dari makalah ini
berasal dari berbagai sumber referensi. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan,
penulis menerima saran dan kritik untuk kesempurnaan makalah. Terima kasih.

xii
DAFTAR PUSTAKA

A. Hasjmy. 50 Tahun Aceh Membangun, Banda Aceh: MUI Aceh, 1995.

Ahmad, Mustafa. Syari’at Tanpa Dukungan Adat Susah Berjalan, Banda Aceh:
IAIN Ar-Raniry, 1999.

Aunie, Luthfi. Transformasi Politik dan Ekonomi Kerajaan Islam Aceh (1641-
1699), dalam Pranata Islam di Indonesia: Pergulatan Sosial, Politik,
Hukum dan Pendidikan, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Daud, Darni M. Qanun Meukuta Alam Dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Di
Mulek dan Komentarnya, Banda Aceh: Syiah Kuala University Press
2010.

Formalisasi, Yuni. Hukum Pidana Islam di Indonesia, Analisis Ksusus Terhadap


Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Disertasi SPS UIN
Jakarta: 2009.

Group, Crisis. Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh, Asia Report N’1, 31
Juli 2006.

Hadi, Amirul. Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi, Jakarta: Pustaka Obor
Indonesia 2010.

Rasyid, Daud. Syari’at Islam Yes-Syari’at Islam No: Dilema Piagam Jakarta
dalam Amandemen UUD 1945, Jakarta: Paramadina 2001.

Sufi, Rusdi. Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda, Jakarta: Proyek


Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1995.

T. Juned, Penerapan Sistim dan Asas-Asas Peradilan Hukum Adat dalam


Penyelesaian Perkara, dalam Pedoman Adat Aceh; Peradilan dan Hukum
Adat, Banda Aceh: LAKA Provinsi NAD, 2001.

xiii
Umar, Muhammad. Peradaban Aceh Kilasan Sejarah Aceh dan Adat, Tamaddun
I, Banda Aceh, Yayasan Busafat, 2006.

xiv

Anda mungkin juga menyukai