Diajukan Oleh :
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Kesimpulan..................................................................................................9
B. Kritik dan Saran...........................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aceh memiliki keunikan yang sangat kental akan nilai-nilai Islam yang
telah menjadi urat nadi dalam kehidupan masyarakatnya sejak dulu sampai
sekarang. Kegemilangan Aceh yang diraih sejak dulu hingga sekarang telah
banyak memberikan inspirasi yang tidak hanya bagi Indonesia, melainkan juga
menjadi inspirasi bagi bangsa lain, dalam bentuk perjuangannya. Aceh merupakan
salah satu bangsa yang berada di barat Pulau Sumatera yang memiliki tradisi
militer, serta pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka. Dalam sejarah
disebutkan bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan seorang pemimpin yang
paling terkenal dari deretan nama-nama sultan yang memerintah di Kerajaan
Aceh. Di bawah pemerintahanya, Kerajaan Aceh dapat mencapai kejayaan dalam
bidang politik, agama, ekonomi, hukum dan kebudayaan.1
Aceh dikenal sebagai kerajaan Islam yang memiliki adat istiadat yang
tidak lepas dari Syariat Islam (Allah swt), dan Al-Qur‟an sebagai Qanun Meukuta
Alam (undang-undang hukum) yang ada di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam.
Hal tersebut membuat Aceh disebut sebagai Serambi Mekah. Dalam
pemerintahan yang telah dijalankan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh
mengalami perkembangan ekonomi yang baik. Hal tersebut dikarenakan Sultan
benar-benar memperhatikan aspirasi dan permasalahan rakyat. Dirinya juga
membuat peraturan yang tegas dalam bidang perindustrian, pertambangan,
pelayaran, pertanian serta perikanan, dan pada saat itu juga hukum benar-benar
ditegakkan.2
Dengan ditegakkan nya hukun syari’at Islam yang membuahkan hasil yang
baik bagi kehidupan rakyat pada masa itu membuat masyarakat Aceh pada masa
1
Rusdi Sufi, Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda, (Jakarta: Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1995) hlm. 1
2
Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi, (Jakarta: Pustaka Obor
Indonesia2010) hlm. 149
iv
setelah kemerdekaan berjuang untuk menegakkan hukum syari’at Islam di Aceh
dengan tujuan agar masyarakat Aceh hidup aman, damai, serta mendapatkan
berkah dari Allah swt. Oleh karena itu pemakalah ingin membahas tentang hal
yang berkaitan dengan sejarah periode pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah periode pelaksanaan Syariat Islam di Aceh pada masa
pemerintahan Sulthan Iskanda Muda hingga sekarang?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui periode pelaksanaan Syariat Islam di Aceh pada masa
pemerintahan Sulthan Iskandar Muda hingga sekarang
v
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut para ahli sejarah, kerajaan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan
Ali Mughayatsyah (1516-1530). Beliau berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan
Islam lainnya yang sebelumnya telah ada seperti kerajaan Peureulak, Samudera
Pasai, Pidie jaya, dan Linge. Pada perkembangan selanjutnya kerajaan Aceh
Darussalam tercatat sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di dunia. Masa
keemasan kerajaan Aceh Darussalam berada pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa ini, Aceh mencapai kemajuan luar biasa
dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan agama. Sultan Iskandar Muda berhasil
menjadikan ibu kota kerajaan Aceh Darussalam sebagai kota kosmopolitan.3
Pada waktu itu di kerajaan Aceh telah berlaku hukum Islam, sesuai dengan
agama yang dianut oleh masyarakat Aceh. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
kodifikasi hukum-hukum Islam yang dibuat oleh para ulama yang kemudian
ditetapkan menjadi Undang-Undang (Qanun) yang berlaku di kerajaan Aceh
Darussalam. Di antara Qanun tersebut adalah Qanun al-Asy yang disebut juga
Adat Meukuta Alam, Sarakata Sultan Syamsul Alam, dan Kitab Safinah al-
Hukkam fi Takhlish al-Khashsham.
vi
Berjalannya adat pada masa kerajaan Aceh Darussalam dapat dilihat
sewaktu Sultan Iskandar muda (1607-1636) menghukum mati anaknya Meurah
Peupok anak lelaki satu-satunya yang telah diangkat sebagai putera mahkota,
karena berbuat zina dengan isteri seorang pejabat (1621), maka para ulama ketika
itu memprotesnya, karena berlawanan dengan hukum Islam. Sultan dengan tegas
menjawabnya: “matee aneuk muphat jeurat, matee adat ho tamita”. Jadi istilah
adat dalam ungkapan tersebut tidak bisa diartikan lain, selain dari suatu hukum.5
Selain itu ada lagi penegasan dari Sultan, bahwa bila suatu saat kelak lahir
adat (hukom) yang baru apabila bertentangan dengan hukum Islam (hukom),
maka hukum baru tersebut tidak dapat disebut sebagai adat. Oleh karena itu harus
ditolak keberadaannya. Kemudian dinyatakan lagi bahwa seluruh “hukom”
langsung menjadi “adat”. Antara keduanya tidak boleh dipisahkan dan harus
menyatu seperti zat dengan sifat. Maka ungkapan “adat ngon hukom hanjeut crei,
lagee zat ngon sifeut” (adat dengan hukum tidak boleh dipisah, seperti zat dengan
sifat), juga lahir pada masa itu.
vii
dalam kerajaan Aceh Darussalam, setelah adanya penetapan sultan (adat). Hal itu
berarti, pada masa-masa sebelumnya hukum Islam inilah yang dimaksud dengan
pernyataan seperti zat dengan sifat antara kedua hukum tersebut.7
7
Daud Rasyid, Syari’at Islam Yes-Syari’at Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam
Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Paramadina 2001), h. 217.
8
Darni M. Daud, Qanun Meukuta Alam Dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Di
Mulek dan Komentarnya, (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press 2010), hlm. 1
viii
Setelah Indonesia merdeka tuntutan untuk menerapkan syariat Islam
kembali muncul. Masyarakat Aceh yang sebelumnya telah menyatakan kepada
Soekarno bahwa Aceh mau membantu dan bergabung dengan RI melawan
penjajahan Belanda dengan catatan diberikan hak untuk melaksanakan syariat
Islam menurut pelaksanaanya9. Tengku Daud Beureuh, tokoh pergerakan Aceh
berkali-kali menuntut penerapan syariat Islam kepada presiden Soekarno dan
pihak presiden hanya memberi janji-janji. Kegagalan Jakarta dalam memenuhi
janjinya tidak hanya mengenai syari’at. Pada tahun 1951, dalam upaya
pemerintahan baru untuk merampingkan administrasi dan menghemat biaya, Aceh
kehilangan statusnya sebagai sebuah provinsi yang berdiri sendiri dan dileburkan
dalam provinsi Sumatra Utara10.
9
Crisis Group, Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh, Asia Report N’11 , 31 Juli
2006, hlm.3.
10
Muhammad Umar, Peradaban Aceh: Kilasan Sejarah Aceh dan Adat, Tamaddun I,
(Banda Aceh, Yayasan Busafat, 2006), hlm. 63.
ix
Amerika Serikat untuk membuka industri besar di Aceh di bidang eksplorasi
minyak dan gas bumi di Arun pada tahun 1970an.11
11
Muhammad Umar, Peradaban Aceh Kilasan Sejarah Aceh dan Adat, Tamaddun I,
(Banda Aceh, Yayasan Busafat, 2006), hlm. 65.
12
Yuni Roslaili, Formalisasi Hukum Pidana Islam di Indonesia, Analisis Ksusus
Terhadap Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Disertasi SPS UIN Jakarta: 2009)
hlm. 126.
x
kawasan Indonesia. Unsur budaya Aceh dan tradisi yang unik, senantiasa terdapat
pada masyarakat sejak dari masa kerajaan hingga saat ini. Unsur etnisitas ini
kemudian diperkaya oleh Islam yang telah menjadi fondasi budaya dan tradisi.
Sebagai sebuah masyarakat Islam, Aceh memiliki kesadaran sebagai bagian dari
dunia Islam yang lebih luas. Inilah yang menjadi dasar budaya “toleransi” dan
“plural” dalam tatanan masyarakat Aceh. Dengan kata lain, Islam berperan
sebagai perekat berbagai etnik dan budaya di Aceh.
Berdasarkan demikian, sejarah Aceh lebih didominasi oleh isu adat istiadat
dan keislaman. Syari’at Islam memang sudah melekat ditelinga masyarakat Aceh
dan merupakan bukan hal asing bagi masyarakat Aceh. Syari’at Islam dapat
dijadikan patrol bebagai solusi persoalan daerah, dan juga isu sakral terhadap
keberlangsungan pelaksanaan pemerintah daerah melalui pelaksanaan syari’at
Islam di Aceh. Pola penerapan syari’at Islam di Aceh pada masa sekarang sangat
konstektualis dan mengikuti perkembangan zaman dan masa sesuai dengan
kebutuhan pasar dengan tidak meninggalkan nilai-nilai normatif.13
13
Rusdi Sufi, Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh, (Banda Aceh: Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 1998), hlm. 12
xi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa tahapan pelaksanaan
syari’at Islam di Aceh ada empat perioderisasi. Periode pertama dimulai sejak
awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1959, tahap ini disebut juga dengan tahap
perjuangan dalam rangka mengupayakan pengakuan dari pemerintah pusat.
Kemudian periode kedua mulai tahun 1959 sampai dengan 1999, tahap ini dapat
disebut juga sebagai tahap adanya pengakuan secara politis, namun tahap ini tidak
dilanjutka dengan kebijakan dan pengaplikasikannya. Ketiga adalah mulai tahun
1999 sampai dengan tahun 2006 merupakan tahap pemberian izin pelaksanaan
secara terbatas atau upaya mencari bentuk. Tahap yang terakhir adalah mulai
tahun 2006 sampai dengan sekarang merupakan tahap peaksanaan secara relatif
luas, pada tahap ini juga diberi pengakuan sebagai sub sistem dalam sistem
hukum nasional. Dasar hukum pelaksanaan syariat Islam di Aceh yaitu UU no 44
tahun 1999, UU no 18 tahun 2001, serta qanun yang mengatur tentang syariat
Islam.
xii
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mustafa. Syari’at Tanpa Dukungan Adat Susah Berjalan, Banda Aceh:
IAIN Ar-Raniry, 1999.
Aunie, Luthfi. Transformasi Politik dan Ekonomi Kerajaan Islam Aceh (1641-
1699), dalam Pranata Islam di Indonesia: Pergulatan Sosial, Politik,
Hukum dan Pendidikan, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Daud, Darni M. Qanun Meukuta Alam Dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Di
Mulek dan Komentarnya, Banda Aceh: Syiah Kuala University Press
2010.
Group, Crisis. Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh, Asia Report N’1, 31
Juli 2006.
Hadi, Amirul. Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi, Jakarta: Pustaka Obor
Indonesia 2010.
Rasyid, Daud. Syari’at Islam Yes-Syari’at Islam No: Dilema Piagam Jakarta
dalam Amandemen UUD 1945, Jakarta: Paramadina 2001.
xiii
Umar, Muhammad. Peradaban Aceh Kilasan Sejarah Aceh dan Adat, Tamaddun
I, Banda Aceh, Yayasan Busafat, 2006.
xiv