Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perjalanan panjang sejarahnya, masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat
yang sangat dekat bahkan fanatik terhadap ajaran Islam, sehingga identitas budaya dan
kesadaran jati diri sangat lekat dengan ajaran Islam. Masyarakat Aceh menyatukan ajaran
agama ke dalam adat istiadat dan hukum adat sedemikian rupa menjadi menyatu dan
terbaur sehingga tidak dapat terpisahkan, yang dalam pepatah adat dinyatakan dengan
ungkapan Hukom ngon adat lagee dzat ngon sifeut (Hubungan syariat dengan adat
bagaikan hubungan suatu zat (benda) dengan sifatnya, yaitu melekat dan tidak dapat
dipisahkan). Pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah telah dilakukan sejak masa
kesultanan Aceh Darussalam. Sejak datangnya Belanda, hukum Syariat Islam berjalan
dengan Kaffah di wilayah kesultanan Aceh, karena Pemerintah Belanda menjalankan
politik hukum kolonial. Menurut Abdul Madjid, Secara Historis perubahan hukum Syariah
ke dalam hukum Indonesia telah berlangsung sejak awal berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia(NKRI). [1][2]

Nanggroe Aceh Darussalam lebih di kenal dengan gelar Seramoe Mekkah (serambi
Mekkah). Nafas Islam bersatu dalam adat budaya orang Aceh sehingga aktifitas budaya
kerap berazaskan ajaran Islam. Contoh paling terkenal adalah pembuatan senjata Rencong
sebagai senjata tradisional yang di ilhami dari Bismillah. Seni tari-tarian Seudati konon
katanya berasal dari kata Syahadatain, dua kata untuk menyatakan diri bersaksi menjadi
pemeluk Islam. Saat Syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) diresmikan pada tahun
2001, pro dan kontra terus bermunculan sampai saat ini. Keterlibatan pemerintah dituduh
ada unsur politik untuk memblokir bantuan Negara Non-Muslim terhadap kekuatan GAM (
Gerakan Aceh Merdeka ). Nada-nada sinis kerap terdengar seperti “ Peu payah awak Jawa
jak peu Islam tanyoe, ka dari jameun uroe jeh tanyoe ka Islam” (kenapa harus pemerintah
pusat di Jawa yang meng-Islamkan orang Aceh, sejakzaman dulu Aceh adalah daerah
Islam).[2]

Penetapan Syariat Islam di daerah provinsi Aceh memiliki sudut pandang yang
berbeda, satu sisi berupa sisi ke-Indonesiaan, yaitu pemberlakuan syariat Islam di Aceh
ditujukan untuk mencegah agar daerah Aceh tidak bercerai dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Penerapan syariat Islam tahapan ini, bertujuan untuk meminimalisasi
ketidakpuasan Aceh terhadap prosedur pemerintah pusat, dan langkah politik yang terdesak
untuk melindungi Aceh dalam pangkuan NKRI, yang bermaksud untuk membawa
kenyamanan psikologis atau pikiran bagi masyarakat Aceh.[3]

Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh merupakan lembaga peradilan yang menurut


Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dibentuk untuk menjalankan
Peradilan (kehakiman) Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai
bagian dari bentuk hukum peradilan nasional. Undang-undang ini menerangkan bahwa
kewenangan lembaga baru ini didasarkan atas hukum Syariat Islam dalam sistem hukum
nasional yang diatur dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Oleh karena itu,
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang telah ada diatur dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2001 agar tidak terjadi prinsip berlawanan dalam melaksanakan
Peradilan Syariat Islam yang dapat menimbulkan masalah dalam sosial masyarakat dan
hukum yang tidak jelas, maka lembaga Peradilan Agama beserta sarana dan prasarana
sebagai perangkatnya yang telah ditetapkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dialihkan menjadi lembaga Peradilan Syariat Islam.[4]

Penerapan hukum syariat Islam ini tidak terlepas dari peran para alim ulama.
Berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) UU no. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, disebutkan bahwa bahwa penyelenggaraan
keistimewaan Aceh tersebut meliputi: Pertama Penyelenggaraan Kehidupan Beragama,
Kedua Penyelenggaraan Kehidupan Adat; ketiga Penyelenggaraan Pendidikan dan
Keempat adalah Peran Ulama dalam Penetapan Kebijakan Daerah. Hal ini didukung
dengan pasal 16 ayat (2) UU no. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, huruf d. yaitu
“keterlibatan para alim ulama dalam menetapkan kebijakan dan kearifan di daerah Aceh”.
[5]

Ciri khas budaya dan sikap kontra yang seolah-olah menimbulkan tanda tanya sejak
kapan syariat islam sudah berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam? Lazimnya bicara sejarah
maka kita akan mengkaji tiga dimensi waktu keberadaan hukum Islam di bumi serambi
mekkah yaitu pada masa orde lama dan orde baru. Sejak saat ini pemerintah melibatkan
diri apa yang melatarbelakangi pemberlakuan syariat Islam secara kaffah? Hukum apa saja
yang di atur dalam syariat islam? Bagaimana Penerapan Syariat Islam Aceh dalam Lintas
Sejarah perkembangannya sejak diterapkan tahun 2001-sekarang, baik dari segi perubahan
yang terjadi dalam masyarakat setelah syariat islam diterapkan maupun konstitensi
lembaga yang berwenang untuk menjalankan peraturan syariah yang sudah dicanangkan.
[2]

Dari uraian masalah di atas penulis ingin mengkaji lebih mendalam dengan judul
“Sejarah dan perkembangan Syariat Islam di Aceh”. Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut di atas yang akan penulis fokuskan dalam penelitian ini adalah, “Bagaimana
Penerapan Syariat Islam Aceh dalam Lintas Sejarah perkembangannya sejak pertama kali
diterapkannya secara Kaffah (menyeluruh) dan apa perubahan yang terjadi dalam
masyarakat setelah syariat Islam diterapkan?”

Maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menjelaskan Syariat
Islam di Aceh dalam lintas sejarah, menjelaskan sebab sebab munculnya Syariat Islam di
kalangan masyarakat Aceh, mendeskripsikan apa saja pro dan kontra yang terjadi di
berbagai kalangan, menjelaskan bagaimana dan apa saja yang dilakukan oleh pemerintah
Aceh agar penerapan Syariat Islam berjalan dengan lancar.

B. Tujuan Penulisan Makalah


Adapun Tujuan penulisan Makalah ini adalah untuk mengetahui tentang studi syariat
islam di aceh dan Sejarah dan perkembangan Syariat Islam di Aceh

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pemberlakuan Syariat islam di aceh

1. Penerapan Syariat Islam di Aceh

Menurut guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan sejarahwan
Azumardi Azra, Aceh adalah kerajaan Islam terbesar di Indonesia, kesultanan Aceh
Darussalam yang dibentuk oleh Sultan Ali Mughayat Syah (916-936 H/ 1511-1530
M), Aceh sebuah kerajaan yang ditegakkan atas asas-asas Islam. Dalam Adat Meukuta
Alam yaitu undang-undang kerajaan Aceh Darusslam yang diciptakan atas perintah
Sultan Iskandar Muda, disebutkan bahwa sumber hukum yang dipakai dalam kesultanan
adalah al-Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Pada masa pendudukan Belanda, Belanda
menyerang Bandar Aceh Darussalam yang merupakan Ibu Kota Kesultanan Aceh pada
April 1873 dan berhasil menaklukkan kesultanan Aceh pada masa Sultan yang terakhir
Muhammad Daud Syah (1874-1903) walaupun tidak sepenuhnya. Dengan
ditaklukkannya Kutaraja sebagai ibukota kesultanan Aceh, Belanda beranggapan bahwa
kesultanan Aceh telah berakhir dan ditempatkan para administrasi untuk mengambil alih
kekuasaan dan hak-haknya. Akan tetapi dalam pandangan masyarakat Aceh, mereka
belum ditaklukkan dan perang masih berlanjut. Dalam hal ini ulama menjadi
inspirator nyata dalam perjuangan Aceh dan bersama masyarakat terus melakukan
perlawanan dan berpergian keseluruh Aceh, kawasan pesisir Kedah dan Penang untuk
mendakwahkan Jihad fi sabilillah. [6]
Penerapan Syari’at Islam di Aceh merupakan yang pertama di Indonesia, hal ini
menjadi sebuah kendala tersendiri dalam mencari format ideal dalam menjalankan proses
penerapannya. Berbagai teori dan pemahaman tentang syari’at Islam dikonsepkan oleh para
pemikir Islam dan non Islam dalam rangka mencari pemantapan dan kesesuaian antara teks
dan realitas penerapan syari'at Islam, bagaimana yang seharusnya. Meskipun nantinya
ditemukan berbagai persoalan dan kesenjangan dalam penyesuaian penerapan antara teks
dengan realitasnya Pembahasan mengenai syari’at Islam ini telah banyak dibicarakan dan
dibahas secara global dalam beragam literatur Islam, baik itu berupa buku ataupun tulisan-
tulisan berbentuk artikel/makalah, jurnal dan lainnya. Tak sedikit pula pada forum nasional
dan internasional menyikapi isu penegakan syari’at Islam yang berkembang di dunia
muslim sejak kebangkitan Islam digaungkan oleh para intelektual dan ilmuwan muslim
diberbagai penjuru dunia. Berkaitan dengan persoalan Aceh oleh penerapan hukum Islam,
daftar bacaan masih minim karena ini baru diterapkan dan yang pertama dalam sejarah
selama berdirinya Indonesia, namun ada beberapa tulisan ilmiah baik buku, artikel, maupun
jurnal yang membahas tentang hal itu. Tulisan tulisan yang sering ditemui hanya
menggambarkan sepintas sejarah masa lalu dan global. Artinya tidak membahas secara
detail dan lebih luas tentang penerapan syari’at Islam di Aceh dengan berbagai sudut
pandang dan analisa. Rusjdi Ali Muhammad mencoba menggambarkan pelaksanaan
syari’at Islam di Aceh. Secara garis besar, terfokus pada kajian historis dari pelaksanaan
syari’at Islam di Aceh.
Dalam uraian yang berbeda, Rifyal ka’bah menitikberatkan pada aspek hukum dari
legitimasi yang diberikan pemerintah pusat ke propinsi Aceh dengan kajian undang-undang
yang telah disahkan tentang syari’at Islam di Aceh melalui UU otonomi khusus. Taufik
Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean membahas secara deskriptif mengenai syari’at
Islam di Aceh dengan meninjau beberapa qanun yang telah disahkan DPR NAD tanpa
analisis yang tajam. Sementara Teuku Ibrahim Alfian mendeskripsikan kajiannya dari
sudut sejarah, dimana Aceh pernah dikenal oleh internasional sebagai daerah yang maju
dan berkembang dengan penerapan syari’at Islam dijadikan hukum dan berlaku di masa
kesultanan Aceh. Sama halnya dengan Sejarah Aceh karangan M. Isa Sulaiman.[7]

2. Pada masa Kemerdekaan (1959-1998)

Pada Mei Tahun 1959 Pemerintah menunjuk Mr. Hardi untuk membawa misi
perdamaian untuk Aceh. Komisi Hardi kemudia melaksanakan perundingan dengan
Deleglasi Dewan Revolusi Darul Islam (DDRDI), ketika itu dipimpin oleh Ayah Gani
Usman. Hasil penting pertemuan ini adalah bahwa Pemerintah Pusat akan memberikan
status hak sebagai daerah istimewa untuk Aceh, dan kemudian mewujudkannya dalam
Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959. Keputusan ini memberikan status hak
daerah istimewa kepada Aceh, dapat melaksanakan otonomi daerah yang seluas-luasnya,
baik dalam bidang agama, pendidikan dan adat istiadat. Status ini kemudian dikukuhkan
dengan Undang-undang No. 18 tahun 1965. Atas nama Komandan Militer Aceh, Letnan
Kolonel T. Hamzah dan Gubernur Daerah Istimewa Aceh, A. Hasjmy membuat pernyataan
bersama.
Tetapi keputusan Pemerintah Pusat tesebut tidak berhasil memuaskan kelompok
radikal dan republikan dalam DI/ TII. Breue’eh memandang bahwa sebutan istimewa bagi
Aceh itu belum memiliki subtansi dan bentuk kongkret apapun. Oleh karena itu ia kembali
masuk kedalam hutan bersama pengikutnya dan melakukan perang gerilya.
Pada tanggal 18-22 Desember 1962 diadakan suatu acara akbar di Blangpadang,
Banda Aceh, yaitu Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA). Hasil dari musyawarah
ini adalah dicetuskannya ikrar Balangpadang yang, didatangi dari 700 orang terkemuka
yang menanda tangani ikrar blang padang tersebut, mereka berikrar akan memelihara dan
membina kerukunan serta menjadikan persatuan dan persahabatan. MKRA ini adalah suatu
rekonsiliasi atau memulihkan hubungan persahabatan rakyat Aceh yang melahirkan ikrar
Blangpadang, meskipun akomodasi yang diberikan oleh Pemerintah Pusat sebagai daerah
istimewa harus diterima dengan lapang hati.
Pemberontakan Darul Islam di Aceh pada akhirnya dapat diselesaikan dengan
kompromi politik dengan pemerintah Pusat. Dan pemberontakan itupun pada akhirnya di
akhiri dalam sebuah kongres Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA). Ini berarti
akhir yang sesungguhnya dari menegakkan negara Islam di Aceh, walaupun tertunda, tapi
telah mendapat akomodasi politik yang besar, sebuah pengakuan terhadap jati diri bangsa
Aceh dan merupakan peneguhan sikap dan keinginan untuk menerapkan syariat Islam.[2]
Pada tahun 1976 konflik mulai muncul lagi, dengan tindakan Hasan Tiro yang
mencetuskan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Pidie pada awal tahun 1977, yang
beralasan bahwa Indonesia sebagai “neokolonial” yang menjajah Aceh, dan bergabungnya
Aceh ke Indonesia setelah kemerdekaan merupakan suatu kecelakaan sejarah yang perlu
segera diperbaiki. Memisahkan Aceh dari Indonesia merupakan tujuan GAM. Dengan
alasan itu pulalah Hasan Tiro menjadi incaran aparat keamanan Indonesia (TNI-POLRI),
usaha TNI/POLRI ini berhasil membatasi kegiatan dan pengaruh GAM di Aceh pada saat
itu, tapi gagal menangkap Hasan Tiro. Hasan Tiro kemudian meninggalkan Aceh dan
menetap di Swedia, dan membentuk pemerintahannya selama dipengasingan tersebut.
Periode ini adalah periode yang berlarut-larut hingga puluhan tahun. Periode ini dibagi
kepada tiga generasi, generasi penggerak awal dipelopori oleh golongan yang merasa tidak
puas terhadap pengelolaan ladang minyak PT.Arun yang dianggap tidak adil atau sebab
ekonomi, generasi dipimpin oleh Hasan Tiro. Kelompok ini didukung oleh sisa-sisa
kelompok DI/TII yang juga kecewa terhadap permasalahan kesepakatan damai otonomi
terbatas di Aceh. Gerakan ini mendapat respon yang keras dari pemerintah, sehingga pada
awal tahun 80-an gerakan ini dapat dikatakan bisa diredam, sebagian dari anggotanya ada
yang tertangkap, terbunuh dan melarikan diri keluar negeri. Generasi GAM kedua muncul
pada akhir tahun 1990-an. Pada tahun 1989 Presiden Soeharto menggelar operasi Jaring
Merah yang menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sampai pada tahun
1998.
Selama operasi militer, telah terjadi pelanggaran HAM yang berat di Aceh dan
terburuk di Indonesia yang mengakibatkan penderitaan rakyat semakin bertambah.
Generasi GAM yang ketiga mucul setelah pencabutan satus Aceh dari Daerah Operasi
Militer (DOM) pada masa B.J Habibie. Setelah pencabutan DOM banyak anggota GAM
yang semasa DOM di Aceh, melarikan diri keluar negeri pulang kembali ke Aceh dan
menunggangi gerakan reformasi yang berkembang luas. Pelanggaran HAM yang terjadi
semasa DOM telah menimbulkan kebencian yang masif terhadap Pemerintahan Pusat di
Jakarta yang diusung oleh GAM sebagai titik tolak untuk meningkatkan identitas ke–
Acehan (ethnonasionalisme). Isu ini berhasil diartikkulasikan dengan isu-isu yang
berkembang dimasyarakat seperti, ideologi, kemiskinan, kesenjangan, ketidakadilan serta
isu pemisahan Aceh dari NKRI.[2]

3. Pada masa reformasi (1999 Sampai dengan Sekarang)

Setelah rezim Orde Baru jatuh dan tampuk pimpinan kekuasaan jatuh kepada B.J
Habibie (Mei 1998 – Oktober 1999) jalan damai di Aceh memasuki babak baru. Hal ini
merupakan sebuah penalaran dari para elite politik Pemerintah Pusat di jakarta dan elite
politik daerah di Aceh guna untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan, pelanggaran
HAM dan eksploitasi ekonomi yang seolah tiada henti. Pada tanggal 7 Agustus 1998
pencabutan satus Darurat Militer terhadap Aceh resmi dilakukan, hal ini ditandai dengan
penarikan aparat militer dan kepolisian dan permohonan maaf dari kepala angkatan
bersejata Republik Indonesia Jendral Wiranto atas pelanggaran HAM di Aceh selama
sembilan tahun pelaksanaan Daerah Operasi Militer – DOM (1989-1998). Pasca reformasi
1998 kemudian dilanjutkan dengan amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945,
hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah mengalami perubahan pola
yang signifikan, dimana sebelumnya menganut pola sentralistik, tetapi setelah reformasi
berubah menjadi pola desentralistik. Inilah yang membuat harapan Aceh untuk menerpakan
syariat Islam kembali terbuka, hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Undang-undang No.
44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh,
yang dimana UU ini mengakomodasi kepentingan Aceh dalam bidang Agama, adat istiadat
dan penempatan peran ulama pada tataran yang sangat terhormat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. [6]
Sebagai upaya awal penerapan syariat Islam secara kaffah dan bentuk respon
terhadap lahirnya UU diatas, Aceh menerbitkan Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan syariat Islam. Perda ini memiliki basis konstitusional sekalipun tidak jelas,
boleh dikatakan bahwa perda ini mendahului undang-undang yang memberikan hak
Otonomi Khusus bagi Pemerintahan Daerah Istimewa Aceh untuk menerapkan syariat
Islam di bumi Serambi Mekkah yang baru di undangkan dua tahun kemudian (UU No. 18
Tahun 2001) setelah di undangkannya UU No. 44 Tahun 1999. Titik tolak perdamaian
Aceh yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan penunjukan Henri Dunant Centre
(HDC) sebagai pihak ketiga guna untuk mencari jalan penyelesaian Aceh secara tepat,
damai dan demokratis.
Pada tanggal 12 Mei 2000 dicetuskan “Kesepakatan Bersama tentang Jeda
Kemanusiaan di Aceh” yang epektif dilaksanakan sejak Juni – September 2000 dan
kemudian diperpanjang hingga Januari 2001. Pada akhir Januari 2001 HDC membawa
kedua belah pihak ke Jenewa guna untuk membuat kesepakan yang mengedepankan masa
depan politik, yakni adanya pemilihan yang bebas dan adil bagi Aceh dan sebuah komisi
independen yang diterima kedua belah pihak. Selanjutnya proses perdamaian Aceh terus
berlanjut dengan dilakukannya perjanjian Cessation of Hostilities Agreement (CoHA)
tanggal 9 Desember 2002, yang masih ditengahi oleh pihak HDC di Jenewa. Perdamaian
ini dirancang untuk menghentikan kekerasan dan membentuk kerangka perdamaian yang
kekal yang mengedepankan 4 agenda yang utama(1) Agenda bidang militer, (2) Bantuan
Kemanusiaan, (3) Rekonstruksi dan (4) Reformasi Sipil. Pihak yang diberi mandat untuk
memantau keadaan keamanan dan meneliti setiap pelanggaran adalah Komite Keamanan
Bersama (Joint Security Committee/ JSC). Komite ini dipimpin secara tripartite, yang
terdiri dari seorang perwira senior dari militer Thailand yaitu Mayor Jendral Tanongsuk
Tivinum; Brigadir Jendral Safzen Noerdin dari pihak TNI; dan Sofyan Ibrahim Tiba dari
GAM. Pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid upaya damai terus dilakukan,
pendekatan dengan jalur dialog ditempuh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di
Genewa Swis. Pada 11 April 2001 Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Intruksi
Presiden No. 4 Tahun 2001 tentang perlakuan khusus terhadap situasi di Aceh. Agama
tidak disebutkan sebagai suatu masalah dalam Impres ini, hal ini dimungkinkan karena
GAM tidak menjadikan Islam sebagai basis idiologi dalam melakukan aksinya dan negara
Islam bukanlah bagian dari platform formalnya.
Pada akhirnya perjanjian penghentian permusuhan (Cessation of Hostilities
Agreement) mengalami kegagalan yaitu dengan tidak diterimanya kesepakatan yang
ditawarkan oleh pemerintah, khususnya mengenai integritas NKRI. Selanjutnya pada saat
pemerintahan Megawati Soekarno Putri, dikeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 28
tahun 2003 tanggal 9 Mei 2003 yang memberikan status baru untuk Aceh yakni Darurat
Militer. Pemerintah melakukan Operasi Terpadu yang bersifat menegakkan kembali
kedaulatan NKRI dan kemudian diperpanjang melalui Kepres No. 97 tahun 2003 untuk
periode 18 November 2003 sampai 19 Mei 2004. Selanjutnya pada tahun 2004 perubahan
status Aceh dari Darurat Militer berubah menjadi Darurat Sipil melaui Kepres No. 43 tahun
2004. Perubahan status ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perkembangan situasi
keamanan di Aceh semakin kondusif. Dalam perjalananya Perda No. 5 Tahun 2000 ini
tidak berjalan dengan efektif, sehingga terjadilah revisi terhadap UU No. 44 Tahun 1999
menjadi UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan sekaligus mengubah nama
Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. [2]
Didalam UU Otomi Khusus bagi Aceh yang ditanda tangani oleh Presiden
Megawati Soekarno Putri ini terdapat beberapa instrumen yang menjadi dasar pelaksanaan
syariat Islam di Aceh diantaranya adalah Mahkamah Syar’iyah dan Qanun Pemerintahan
Aceh. Peluang ini berusaha untuk diaktualisasikan masyarakat Aceh melalui Pemerintah
Daerah dan Perwakilan Rakyat di DPRD. Pemerintah Daerah melalui Gubernur Aceh telah
mendeklarasikan pemeberlakuan syariat Islam di Aceh secara kaffah pada tanggal 1
Muharram 1423 H dan pembentukan Dinas Syariat Islam (DSI) ditingkat provinsi yang
kemudian diikuti oleh kabupaten – kota di provinsi Aceh berikutnya. DPRD Aceh
kemudian mengeluarkan qanun sebagai landasan hukum pelaksanaanya. Mahkamah Agung
juga ikut mengambil peran satu tahun berselang, yaitu pada tanggal 1 Muharram 1424 H,
Mahkamah Agung membentuk Mahkamah Syar’iyah di Aceh sebagai pengganti
Pengadilan Agama.[8]

B. Syariat islam dan Qanun aceh

Pemerintah Provinsi Aceh memiliki beberapa instrumen untuk mengkodifikasi


peraturan syariat Islam secara formal, instrumen hukum tersebut terdiri dari qanun yang
membahas masalah-masalah spesifik seputar pemberlakuan syariat Islam. Qanun dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut kanun yang artinya undang-undang atau
peraturan, sedangkan pengertian qanun dalam kamus bahasa Arab adalah undang-undang,
kebiasaan atau adat. Teungku Di Mulek As Said Abdullah mengatakan: “Hukum Qanun
empat perkara, yang pertama hukum, ke dua adat, ketiga qanun, keempat resam. Tempat
terbitnya yaitu pada Qur’an dan Hadist dan daripada Ijmak ulama Ahlul Sunnah
Waljamaah dan daripada Qias”. Sedangkan pengertian qanun dalam masyarakat Aceh
terdapat dalam UU No. 11/2006 tentan pemerintahan Aceh pasal 1 angka 21 dan 22, yang
dimaksud dengan Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan
daerah provinsi yang mengantur penyelenggaraan pemerintah dan kehidupan masyarakat
Aceh, dan qanun kab/kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah
kab/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat
kab/kota di Aceh. Pemerintah Aceh sesuai dengan amanat UU No. 18/2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) dapat membuat qanun-qanun Aceh yang bersifat lex specialist103
(hukum yang berlaku khusus) dalam rangka penyelenggaraan hak otonomi khusus. [9]
Pemberlakuan syariat Islam secara konstitusional pada bidang jinayah secara resmi
diberlakukan di Aceh pada tahun 2003 yaitu dengan diterbitkannya Qanun No. 12 Tahun
2003 tentang larangan minuman khamar dan sejenisnya, Qanun No. 13 tahun 2003 tentang
Maisir Minuman keras (Maisir), dan Qanun No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat. Sebagai
produk perundangan daerah menyusul diberlakukannya Otonomi Khusus bagi Aceh, maka
qanun-qanun tersebut dilindungi oleh undang-undang, yaitu UU Nomor 44 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh pasal 3 dan 4, UU Nomor 18 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Aceh dan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh bab 17-18.105 UU No. 44/1999 pasal 12 dijelaskan bahwa, peraturan perundang-
undangan yang bertentangan dan atau tidak sesuai dengan UU tersebut dinyatakan tidak
berlaku. Selain itu qanun di Aceh juga dilindungi oleh UU Pemerintahan Aceh, pada pasal
269 dijelaskan bahwa peaturan perundang-undangan yang ada pada saat UU Pemerintah
Aceh diundangkan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
[9]
Sistem peradilan pidana Islam yang dijalankan di provinsi NAD memperlihatkan
model kombinasi antara sistem peradilan pidana konvensional dengan sistem peradilan
syari’ah. Model kombinasi ini terlihat dari keberadaan institusi pendukung berupa
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan berupa mahkamah syari’ah. Sementara itu, model
sistem peradilan syari’ah tampak dari adanya lembaga ekstra yudisial yang berupa badan
Wilayatul Hisbah dan sanksi pidana yang khas berupa hukuman (uqubat) cambuk.
Kewenangan mengadili di antara peradilan pidana Islam dan peradilan pidana umum,
memperlihatkan hubungan koeksistensi. Hal ini disebabkan berfungsinya mahkamah
syari’ah yang memperoleh tambahan wewenang untuk mengadili perkara-perkara
pelanggaran syari’ah yang bersifat pidana (jarimah), tidak mengurangi yurisdiksi
pengadilan negeri dalam mengadili perkara pidana. Yurisdiksi pengadilan negeri dalam
perkara pidana bersumber perundang-undangan yang bersifat nasional seperti KUHP dan
UU lainnya. Sementara itu, yurisdiksi perkara pidana mahkamah syari’ah dalam mengadili
perkara pidana (jarimah) bersumber pada Qanun-qanun, dikenal sebagai qanun syari’ah,
yang dibentuk khusus oleh pemerintah provinsi NAD. Dalam hal beracara, kedua
lingkungan peradilan ini menggunakan hukum acara yang sama, yakni Undang-undang
Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [10]
[11].

C. Pro dan kontra penerapan Syariat Islam di Aceh

Dukungan terhadap pemberlakuan syariat Islam ini didasari oleh keinginan


mengembalikan Islam ke kejayaan yang pernah dicapainya pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda. Meskipun kebanyakan masyarakat tidak mengerti seperti apa
Islam pada masa Iskandar Muda, mereka yakin Islam pada masa itu adalah “Islam
kaffah” yang dapat memajukan berbagai dimensi kehidupan dalam masyarakat. Hal ini pula
yang menjadi alasan kedua mengapa Syariat Islam dianggap harus diberlakukan. Hal ini
berkaitan dengan posisi Islam sebagai agama yang mengatur berbagai aspek kehidupan
manusia. Oleh sebab itu, menerapkan Islam bukan hanya membuat aturan yang berkaitan
dengan hal-hal keagamaan, namun juga berkaitan dengan seluruh aturan yang ada
dalam kehidupan manusia. Bahkan ada yang menganggap menjalankan Islam saja
sudah cukup karena di dalamnya sudah ada semua sistem yang diperlukan untuk
mengatur kehidupan dan membangun kehidupan manusia. Selain Majelis Permusyawarana
Ulama (MPU), lembaga keulamaan seperti Inshafuddin, Himpunan Ulama Dayah Aceh
(HUDA), Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), dan berbagai kelembagaan ulama
yang lain juga mendukung pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Dari lembaga
pendidikan, dukungan diberikan sepenuhnya oleh kalangan dayah (pesantren), lembaga
pengajian, dan organisasi keagamaan lain yang ada di Aceh. Syariat Islam dipandang
sebagai keyakinan kolektif masyarakat Aceh dan keinginan mereka sendiri untuk
diterapkan di Aceh. Hal seperti ini juga sering saya temukan dalam khotbah dan ceramah
agama, yakni sang khatib dan mubaligh mengatakan bahwa Islam dan Aceh adalah dua
sisi mata uang dalam kepingan yang sama. Keduanya tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa
dipandang terpisah. Inilah alasan mengapa orang Aceh harus mendukung
pemberlakuan syariat Islam di daerahnya sendiri. [12]

Wujud dukungan pemberlakuan syariat Islam di Aceh dilakukan dengan berbagai


cara. Seperti penjelasan di atas, lembaga pemerintah dan organisasi pemerintah
memberikan dukungan dengan pekerjaan dan keterlibatan lembaganya dalam positifikasi
hukum Islam di Aceh. Sementara lembaga keulamaan nonpemerintah melakukan
dukungan moral dan penjelasan kepada masyarakat mengenai syariat Islam.
Penjelasan ini perlu karena terdapat segolongan masyarakat yang selama ini dianggap
tidak mengerti ajaran Islam dan hukumnya sehingga jauh dari tuntunan ajaran Islam.
Sementara kelompok santri dayah mendukungnya dengan memberikan argumen-
argumen dan tindakan “pemaksaan” kepada orang yang tidak melaksanakan ajaran
Islam. Kelompok Kontra Formalisasi Syariat Islam Dukungan yang besar terhadap
pelaksanaan syariat Islam di Aceh umumnya dilakukan dari orang yang secara langsung
terlibat dalam organisasi Islam. Kelompok ini memang menjadi salah satu kelompok
mayoritas kuat di Aceh karena mendominasi hampir semua elemen masyarakat. Sebagai
daerah yang dihuni oleh mayoritas umat Islam, Aceh memang akrab dengan organisasi
yang berbasis keagamaan baik yang berlabel organisasi sosial kemasyarakatan atau
lembaga pendidikan. Namun demikian, ini bukan berarti tidak ada elemen sipil lain
yang memiliki pemikiran dan pandangan berbeda terhadap syariat Islam[13].

Beberapa kalangan dari akademisi dan lembaga swadaya masyarakat justru


memiliki pandangan lain terhadap keberadaan syariat Islam di Aceh.
Kelompok tersebut saya masukkan sebagai kelompok yang kontra-syariat Islam
Penolakan atas formalisasi syariat Islam memang tidak dilakukan terang-terangan atas
nama organisasi atau mewakili sebuah kelompok khusus. Hal ini tampaknya dilatari oleh
kanyataan sosial keagamaan di Aceh, penolakan terhadap syariat Islam diposisikan
sama dengan menolak Islam. Dalam konteks ini, seseorang yang melakukannya akan
mendapatkan sanksi sosial baik berupa tuduhan telah keluar dari agama atau telah menjadi
seorang agen asing yang bertujuan menghancurkan Islam. Hal ini tentu saja tidak
diinginkan oleh banyak orang ketika ia memikirkan kehidupan sosial dan kariernya lebih
jauh. Bagaimanapun seseorang yang hidup dalam sebuah masyarakat memiliki hubungan
dengan masyarakat di sekitarnya. [13]
Oleh sebab itu, penolakan syariat Islam di Aceh dilakukan dengan bahasa yang
tidak langsung menampakkan kontroversi dan negasinya kepada Islam secara
keseluruhan. Di samping kelompok yang mendukung, ada pula kelompok yang menolak
pelaksanaan Qanun Syariat Islam. Beberapa elemen masyarakat memiliki pandangan
berbeda dalam menanggapi implementasi qanun di Aceh. Kelompok yang menentang
terhadap penerapan qanun ini terdiri dari sebagian anggota akademisi di universitas yang
ada di Aceh, serta LSM yang bergerak dalam bidang hak asasi manusia dan isu perempuan.
Kelompok ini bukan menolak dilaksanakannya Syariat Islam di Aceh. Melainkan lebih
kepada mengkritisi isi qanun yang dinilai tidak komprehensif dan juga menolak sistem
penerapan qanun yang diskriminatif.
Dari segi isi qanun, kelompok yang menolak ini menganggap penerapan Qanun
Syariat Islam telah melangkahi Undang-Undang nasional negara. Mereka merasa bahwa
qanun menyebabkan adanya dualisme Undang-Undang negara. Artinya, Aceh harus
menjalankan dua hukum yaitu hukum qanun dan hukum nasional Negara Indonesia.
Menurut kelompok ini pula, seharusnya Aceh melaksanakan Undang-Undang nasional
Indonesia karena berada dalam wilayah negara Indonesia[12].
Kelompok yang menentang ini juga menganggap, isi yang terdapat dalam Qanun
Syariat Islam bertentangan dengan hak asasi manusia. Misalnya tentang penerapan
hukuman cambuk bagi masyarakat yang melakukan zina dan berjudi. Hal ini diatur dalam
Qanun No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Sebelumnya Qanun Jinayat hanya
membahas mengenai tiga hal yaitu : maisir (perjudian), khamar (minum minuman keras),
dan khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim).[10]
Namun, sekarang jenis pidana dan pembahasan Qanun No. 6 tahun 2014 tentang
Hukum Jinayat diperluas. Tidak hanya mengatur tenatang maisir, khamar, dan khalwat
tetapi juga mengatur tentang ikhtilat (bermesraan ntara dua orang yang bukan suami istri),
zina, pelecehan seksual, qadzaf (menuduh orang lain berzina tanpa bukti), liwath
(homoseksusal), musahaqah , dan pemerkosaan.[11]
Pada Bagian Kelima, Pasal 33 ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan
sengaja melakukan Jarimah Zina diancam dengan hukuman cambuk 100 kali. Pada Bagian
Keenam tentang pelecehan Seksual, Pasal 46 menjelaskan tentang hukuman bagi orang
yang melakukan pelecehan seksual adalah 45 kali cambuk.[13]
Hukuman bagi pelaku maisir diatur dalam Bagian Kedua, Pasal 18 yaitu paling
banyak 12 kali hukuman cambuk. VOA Indonesia (3 Oktober 2014) pernah memberitakan
bahwa empat orang warga divonis bersalah oleh pengadilan syariat karena melakukan
perjudian. Mereka dikenai hukuman cambuk 5 kali didepan umum. Pelaksanaan cambuk
dilakukan di halaman mesjid dan dapat disaksikan oleh semua orang. Tujuannya adalah
memberikan efek jera bagi pelaku perjudian. Hukum cambuk merupakan hukuman yang
paling banyak mengalami penolakan karena dianggap melanggar hak asasi manusia. [9]
Alasan lain terhadap penolakan Qanun yaitu, materinya dianggap tidak masuk akal
karena hanya mengurusi masalah pribadi seseorang. Sehingga hadirnya qanun tidak
menyelesaikan masalah sosial yang ada di Aceh namun malah memunculkan masalah
sosial yang baru.
Kelompok kontra Qanun ini menginginkan agar qanun memuat peraturan yang lebih
luas seperti bagaimana islam dapat mengatasi masalah penebangan hutan, korupsi di
pemerintahan, kekerasan bersenjata, perampokan, kemiskinan, kesehatan dan sebagainya.
Penolakan ini tidak berlangsung secara terang-terangan, hal ini disebabkan pemahaman
bahwa penolakan terhadap Syariat Islam sama saja dengan menolak islam itu sendiri.
Penolakan secara terang-terangan dikhawatirkan akan memunculkan social punnishment
berupa tuduhan telah keluar dari Agama Islam[12].

BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN

Dilihat dari sudut pandang tujuan dari pemberlakuan syariat Islam di Aceh memiliki dua
sisi yang berbeda, Pertama; sisi ke–Indonesiaan, yaitu pemberlakuan syariat Islam di Aceh
ditujukan untuk mencegah agar Aceh tidak memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dari sisi ini dapat dilihat bahwa proses-proses pemberlakuan syariat
Islam di Aceh bukanlah suatu proses yang alamiah, tetapi merupakan suatu kebijakan
politik dalam rangka mencegah Aceh dari upaya pemisahannya dari NKRI. Penerapan
syariat Islamya pada tahap ini, yakni untuk meminimalisir ketidakpuasan Aceh terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah pusat, dan merupakan langkah politik darurat, untuk
menyelamatkan Aceh dalam pangkuan republik, yang bertujuan untuk mendatangkan
kenyamanan psikologis bagi masyarakat Aceh.

Syari’at dalam Islam dipahami sebagai sebuah ketetapan Allah dan tidak bisa
diubah, karena ia merupakan sapaan Ilahi untuk manusia, atau merupakan sebuah risalah.
Ada perbedaan syari’at dan fiqh, dimana fiqh adalah ilmu syari’ah, sedangkan syari’ah
merupakan jalan atau aturan-aturan Allah yang jika diikuti akan membawa ke jalan yang
lurus dan benar. Pemahaman syari’at Islam sebagai sebuah bentuk hukum teralisasi dalam
bentuk hukum, dimana al-qur’an sendiri sedikit banyak membicarakan persoalan hukum.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka konsep pelaksanaan harus mengkaji konsep
perkembangkan pelaksanaannya yang pernah berlangsung di Aceh sendiri. Hal yang harus
dikaji sejak Islam masuk ke Aceh hingga masa reformasi. Dalam perjalanan panjang
tersebut, pemosisian terhadap pelaksanaan syari’at Islam sedikit berbeda-beda. Namun
dalam berbagai literatur, sepertinya kehidupan masyarakat Aceh memiliki semangat tinggi
untuk berkehidupan dengan syariat, walau mungkin bentuknya kadangkala masih
diperdebatkan. Namun demikian berkaitan dengan tawaran konsep dalam pelaksanaan,
berbagai semangat dari apa yang menjadi bagian integral masyarakat Aceh, dijadikan pola
penyatuan kembali semangat pelaksanaan syariat Islam secara kaffah.
REFERENSI

[1] K. Zada, “Sentuhan Adat Dalam Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh (1514-
1903),” 2012.
[2] A. G. Berutu, “Penerapan Syariat islam Aceh dalam lintas Sejarah,” Istinbath J.
Huk., vol. 13, no. 2, hlm. 163–187, 2016.
[3] S. Bahri, “Pelaksanaan syari’at Islam di Aceh sebagai bagian wilayah negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” J. Din. Huk., vol. 12, no. 2, hlm. 358–367, 2012.
[4] E. Pane, “Eksistensi Mahkamah Syar’iyah Sebagai Perwujudan Kekuasaan
Kehakiman,” AL-ADALAH, vol. 13, no. 1, hlm. 39–52, 2016.
[5] A. Nurdin, “Reposisi peran ulama dalam penerapan Syariat Islam di Aceh,” Al-
Qalam, vol. 18, no. 1, hlm. 54–65, 2016.
[6] A. G. Berutu, “Aceh Dan Syariat Islam,” Redaksi Kanun J. Ilmu Huk. Fak. Huk.
Univ. Syiah Kuala, hlm. 317–318, 2019.
[7] S. Bahri, “Konsep Implementasi Syariat Islam di Aceh,” Kanun J. Ilmu Huk., vol.
15, no. 2, hlm. 313–338, 2013.
[8] A. Ismail, Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam. Dinas Syariat Islam,
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007.
[9] H. M. A. Latief, “Disonansi Qanun Syariat Islam dalam Bingkai Konstitusi Hukum
Indonesia: Aceh sebagai Studi Kasus,” 2012.
[10] N. Surbakti, “Penegakan Hukum Pidana Islam (Jinayah) di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam,” Media Huk., vol. 17, no. 2, 2015.
[11] M. Halim, “Eksistensi Wilayatul Hisbah dalam Sistem Pemerintahan Islam,” J. Ilm.
Islam Futura, vol. 10, no. 2, hlm. 65–81, 2011.
[12] C. M. A. Sari, “Pro Dan Kontra Implementasi Qanun Syariat Islam Di Aceh,” J.
Rev. Polit., vol. 6, no. 1, 2016.
[13] S. I. Shadiqin, “Islam dalam Masyarakat Kosmopolit: Relevankah Syariat Islam
Aceh untuk Masyarakat Modern?,” Kontekst- J. Penelit. Sos. Keagamaan, vol. 25, no. 1,
hlm. 37086, 2010.

Anda mungkin juga menyukai