Anda di halaman 1dari 20

HUKUM DAN PEMBAHARUAN PIDANA ISLAM DIACEH

MAKALAH ILMIAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum dan Pembaharuan Pidana
Islam di Dunia Islam

DOSEN PENGAMPU :

Dr. MURSYIDIN, S.Ag, MA

DISUSUN OLEH :

RIANTO
NIM. 2042020010
HUKUM PIDANA ISLAM
SEMESTER 6/U-1

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ZAWIYAH COT KALA LANGSA

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

2022/2023
HUKUM DAN PEMBAHARUAN PIDANA ISLAM DIACEH

Rianto
NIM. 2042020010
Institut Agama Islam Negeri Zawiyah Cot Kala Langsa
Email : riantoiainzck@gmail.com

ABSTRACT

This study aims to identify the background and objectives of the enact-
ment of Qanun Jinayat in Aceh, namely the types of jarimah (criminal acts) that
are transformed into Qanun Jinayat, the forms of transformation and reform that
have been carried out and the impact of Qanun Jinayat Aceh on the people of
Aceh. This research is a type of non-doctrinal normative qualitative research. This
study concludes that the background of the Aceh Qanun Jinayat cannot be sepa-
rated from Aceh's past political conflicts and the emergence of Islamism in inter-
national criminal law. The aim of enacting the Qanun Jinayat in Aceh is to bring
benefit and realize Islam that is Rahmatan lili alamin. There are ten types of jari-
mah or crimes that are transformed into qanuns. This study found that the trans-
formations carried out were normative while the reforms carried out were adaptive
and not progressive, as a result, the people of the Aceh region, in particular, were
still vulnerable to criminalization.
Keywords: Islamic criminal law, reform law, secular state, sharia.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi latar belakang dan tujuan


diberlakukannya Qanun Jinayat di Aceh yaitu jenis-jenis jarimah (perbuatan
pidana) yang ditransformasikan ke dalam Qanun Jinayat, bentuk transformasi dan
reformasi yang telah dilakukan dan dampak Qanun Jinayat Aceh terhadap
masyarakat Aceh. Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif normative non-
doktrinal. Studi ini menyimpulkan bahwa latar belakang Aceh Qanun Jinayat
tidak dapat dipisahkan dari konflik politik Aceh di masa lalu dan munculnya
Islamisme dalam hukum pidana internasional. Tujuan diberlakukannya Qanun
Jinayat di Aceh adalah untuk mendatangkan kemaslahatan serta mewujudkan

1
Islam yang Rahmatan lili alamin. Jenis jarimah atau kejahatan yang
ditransformasikan kedalam qanun ada sepuluh. Penelitian ini menemukan bahwa
transformasi yang dilakukan bersifat normative sedangkan reformasi yang
dilakukan bersifat adaptive tidak progresif, akibatnya masyarakat wilayah aceh
terkhusunya masih rentan terhadap kriminalisasi.

Kata Kunci: hukum pidana islam, hukum pembaharuan, negara sekuler, syariat.

PENDAHULUAN
Upaya pembaharuan hukum pidana nasional dengan dibentuknya undang-
undang atau aturan lainnya di luar KUHP telah memberikan banyak warna
terhadap hukum pidana nasional, karena pembentukan undang-undang tersebut
merumuskan ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari KUHP. Adanya
ketentuan yang menyimpang dari KUHP tersebut harus dimaklumi karena dalam
sistem hukum Indonesia dikenal berbagai sumber hukum nasional yang berasal
dari hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat. Hukum Islam sebagai salah satu
sumber hukum nasional telah diadopsi menjadi hukum nasional khususnya hukum
perdata (mu’amalah). Sedangkan jinayah (hukum pidana Islam) sejauh ini belum
dilaksanakan secara menyeluruh, masih parsial yaitu melalui kebijakan otonomi
daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan menetapkan delik dan
pidana berdasarkan hukum Islam berupa penetapan pidana badan (corporal
punishment), khususnya pidana cambuk melalui beberapa qonun (peraturan
setingkat perda).

Eksistensi Syari’at Islam di Indonesia menjadi hukum positif hanya


berkaitan dengan hukum privat, sedangkan yang berhubungan de ngan hukum
publik Islam sampai saat ini masih menjadi hukum yang dicita-citakan, upaya
positifisasi Syari’at Islam nampaknya mengalami kejanggalan sesuatu yang
bersifat publik keberlakuannya malah tidak dilegalisasi, tetapi berkaitan dengan
masalah privat justru dijadikan hukum positif.1

1
Ibnu Hadjar, “Syariat Islam dan Hukum Positif di Indonesia”, Al-Muwarid (Jurnal
Hukum Islam), Edisi XVI Tahun 2006, Yokyakarta: Program Stusi Hukum Islam Fakultas Ilmu
Agama Islam Universitas Islam Indonesia hlm. 10.

2
Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh mendapat angin segar, lengsernya
Soeharto yang digantikan oleh B.J. Habibi. B.J. Habibi memberikan respon
terhadap keinginan masyarakat Aceh untuk melaksanakan Syari’at Islam dan
menimbulkan semangat baru bagi isu-isu pelaksanaan Islam di Aceh dengan
berlakunya Undang-undang (selanjutnya disingkan UU) Nomor 44 Tahun 1999
Tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh (bidang agama, adat, pendidikan dan
kebudayaan), yang dipertegas oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi
Khusus. Selanjutnya dipertegas lagi dengan UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nang-
groe Aceh Darusalam,2 terakhir Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
PemerintahanAceh.
Bersamaan dengan lahirnya UU Nomor 14 Tahun 1999 daerah-daerah lain
mengadopsi Syari’at Islam ke dalam Peraturan Daerah, pembuatan Perda dengan
corak Syari’at Islam menjamur setelah proses reformasi yang bergulir sejak
tahun 1999, secara legal formal pintu perdaisasi Syari’at Islam itu terbuka lebih
lebar ketika konsep desentarisasi diakui dengan ditetapkannya UU Nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, interprestasi otonomi yang luas
berdasarkan UU tersebut diartikan oleh sebagian orang dengan mereinkarnasi
indentitas-indentitas lokal yang dirasa pernah diberangus oleh praktik
sentralisasi.3
Pasal 125 UU Nomor 11 Tahun 2006, menentukan bahwa untuk
melaksanakan Syari’at Islam di Aceh diatur melalui Qanun. Qanun di-
persamakan dengan Perda di daerah lain, tetapi isi Perda berbeda dengan
Qanun. Qanun haruslah berlandaskan pada asas keislaman atau tidak

2
Yuni Saby, “Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh; Suatu Peluang dan Tantangan”, Jurnal
Kanun, 2002, Banda Aceh: Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, hlm. 566-568
3
Deny Indrayana, “Konpleksitas Peraturan Daerah Bernuansa Syari’at Perspektif
Hukum Tata Negara”, Yustisia Jurnal Hukum, Edisi 81 September-Desember 2010, Surakarta:
Fakutas Hukum Universitas Sebelas Maret, hlm. 95-96.

3
bertentangan dengan Syari’at Islam.4 Qanun digunakan sebagai istilah untuk
Peraturan Daerah Plus atau lebih tepatnya Peraturan Daerah yang menjadi
peraturan pelaksana langsung untuk Undang-undang dalam rangka otonomi
khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.5
Pemerintah Aceh telah mengesahkan beberapa Qanun untuk pelaksanaan
Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh. Qanun tersebut diantaranya
ada 3 (tiga) Qanun yang termasuk hukum pidana (Jinayah), yaitu; Qanun
Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan sejenisnya, Qanun
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisier (perjudian) dan Qanun Nomor 14
Tahun 2003 Tentang Khalwat (perbuatan me sum), (selanjutnya disebut Qanun
Aceh).

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini
adalah;
1. Bagaimana urutan asal-usulnya Aceh dalam pembaharuan hukum pidana is-
lam didunia islam?
2. Apa saja hukum pidana yang berlaku diwilayah terkhususnya Aceh setelah
ada nya reformasi atau pembaharuan?
3. Bagaimana terjadi perubahan hukum pada wilayah khususnya di wilayah
Aceh?

4
Jum Anggriani, “Kedudukan Qanun Dalam Sistem Pemerintah Daerah dan Mekanisme
Pengawasannya”, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 18 Juli 2011, Yokyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, hlm. 327.
5
Al-Yasa’Abubakar dan M. Daud Yoesoef, “Qanun Sebagai Pelaksana Otonomi Khusus
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No. 3 November 2004,
Jakarta: Direktorat Jenderal Perun- dang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, hlm.21.

4
PEMBAHASAN
A. SEJARAH ASAL-USUL ACEH
Aceh merupakan awal mula penyebaran Islam di Indonesia, dan merupa-
kan faktor kunci penyebaran Islam di Asia Tenggara. Islam masuk ke Aceh
(Kerajaan Fansur dan Lamuri) sekitar tahun 1250 Masehi. Pada awal abad
ke-17 Kesultanan Aceh merupakan negara yang paling kaya, kuat dan maju
di wilayah Selat Malaka. Aceh memiliki sejarah kemerdekaan politik dan
perlawanan terhadap kontrol oleh pihak luar, termasuk bekas penjajah Bel-
anda dan kemudian pemerintah Indonesia.
Aceh memiliki sumber daya alam minyak dan gas alam yang cukup be-
sar.6Aceh adalah titik daratan terdekat dengan episentrum gempa bumi dan
tsunami Samudera Hindia tahun 2004, yang menghancurkan sebagian besar
pantai barat provinsi tersebut. Sekitar 170.000 orang Indonesia tewas atau
hilang dalam bencana tersebut.7 Bencana tersebut turut mempercepat
tercapainya kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dengan ke-
lompok teroris-separatis Gerakan Aceh Merdeka.
a. Letak wilayah Aceh
Aceh merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia tepat-
nya berada di pulau Sumatera. Berdasarkan pada peta Aceh, provinsi ini
terletak di ujung Indonesia. Letaknya sendiri berada di bagian paling
barat dari negara Indonesia dan berada di ujung utara dari pulau Su-
matera. Aceh sendiri memiliki ibukota yang disebut dengan Banda Aceh.
Ibu kotanya sendiri terletak di ujung utara dari provinsi ini. Berdasarkan
letak astronomisnya, Peta Aceh sendiri berada pada 2 derajat sampai 6
derajat Lintang Utara dan 95 derajat sampai 98 derajat Lintang Selatan
yang memiliki ketinggian 15 meter di atas permukaan air laut.
Pada dasarnya, wilayah Aceh tidak terlalu luas jika dibandingkan
dengan wilayah lain yang ada di Pulau Sumatera. Aceh juga merupakan

6
"How An Escape Artist Became Aceh's Governor" Archived 3 August 2008 at
the Wayback Machine, Time, 15 February 2007
7
United Nations. “Economic and Social Survey of Asia and the Pacific 2005”. Ta-
hun 2005, page 172

5
alam yang kecil namun sangat makmur dan di sana tersimpan banyak
cerita dan sejarah tentang Islam. Pada dasarnya, wilayah Aceh tidak ter-
lalu luas jika dibandingkan dengan wilayah lain yang ada di Pulau Su-
matera. Aceh juga merupakan alam yang kecil namun sangat makmur
dan di sana tersimpan banyak cerita dan sejarah tentang Islam.
b. Batasan wilayah Aceh8
Provinsi Aceh terletak di ujung utara Pulau Samutera dengan ba-
tas-batas wilayah sebagai berikut:
1. Batas sebelah utara dengan Selat Malaka
2. Batas sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Utara
3. Batas sebelah timur dengan Selat Malaka
4. Batas sebelah barat dengan Samudera Indonesia
c. Lambang dan Bendera Aceh

Gambar. Bendera dan Lambang Aceh


(Karena dianggap menggunakan lambang organisasi yang dilarang di Republik Indone-
sia, Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 ditolak oleh Kemendagri.)

Pada tanggal 25 Maret 2013, Pemerintah Aceh di bawah Gu-


bernur Zaini Abdullah menetapkan bendera Bulan Bintang sebagai
bendera Aceh, dan coat of arms Singa dan Buraq memegang rencong, gi-
wang, perisai, rangkaian bunga, padi, jangkar, huruf Arab ta, kemudi, dan
bulan bintang; dengan motto HUDEP BEU SARE MATE BEU SAJAN. Lambang
ini dituangkan dalam Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013, menggantikan Perda
Daerah Istimewa Aceh No. 39 Tahun 1961 yang menjadi dasar hukum
lambang PANCACITA. Bendera tersebut berasal dari Gerakan Aceh

8
Arum Sutrisni Putri, Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Provinsi
Aceh", Klik untuk baca:https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/11/160000569/mengenal-
provinsi-aceh?page=all#page2.

6
Merdeka, dan diwujudkan semenjak digelar MoU antara Republik Indone-
sia dan GAM di Helsinki 2005, bahwa Aceh berhak menggunakan segala
macam simbol yang digunakannya sebagai identitas daerah, termasuk
bendera, lambang, dan himne, dan bukan simbol kedaulatan.9 Begitu
qanun itu diundangkan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
meminta Pemerintah Aceh untuk mengevaluasi dalam masa tenggang 15
hari karena Pemerintah Aceh diwajibkan untuk merevisi lambang Aceh.10
Qanun Aceh ini ditolak pada 12 Mei 2016, karena dianggap
menggunakan simbol-simbol organisasi terlarang atau gerakan separatisme
yang beroperasi di Republik Indonesia. Dalam Keputusan Mendagri
188.344791 Tahun 2016 tanggal 12 Mei 2016, lambang tersebut melang-
gar Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007. Senator Aceh Ghazali
Abbas Adan menyatakan bahwa "sampai hari kiamat pun tidak akan
pernah diterima Pemerintah Pusat."11
Namun, keabsahan Keputusan Mendagri tersebut dibantah
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), menyatakan bahwa
Pemerintah Aceh dan DPRA "tidak menerima salinan secara fisik dan ad-
ministrasi" dari Kemendagri, dan menyatakan Qanun tersebut "masih
sah".12
Terpisah dari lambang versi Qanun ini, Yayasan Advokasi Rakyat
Aceh (YARA) mengusulkan alternatif kedua dari lambang daerah Aceh.
Bendera versi mereka, adalah hijau dengan bulan bintang kuning dan
pedang Aceh. Sementara lambang versi mereka, mereka mengusulkan
Merpati, dacin, pintu Aceh, al-Qur'an, rencong, padi, dan kapas. Bagi-

9
"Bendera GAM Resmi Berlaku di Aceh". Kompas.com. Diakses tanggal 2023-03-10
10
"Qanun Dievaluasi, Kemendagri Imbau Warga Aceh Tidak Kibarkan Bendera". detik.
com. Diakses tanggal 2023-03-10
11
bakri. "Qanun Bendera Dibatalkan 3 Tahun Lalu, Ghazali Abbas Adan Menyatakan
Sampai Kiamat pun Ditolak". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2023-03-11.
12
Chandra Iswinarno (2019-08-07). "Viral Kemendagri Batalkan Qanun Bendera dan
Lambang Aceh, Ini Respon DPRA". Suara.com. Diakses tanggal 2023-03-12

7
mereka, lambang yang diproposalkan sudah cukup untuk memberi warna
Islam pada identitas daerah.13
d. Populasi diwilayah Aceh14

e. Hukum yang berlaku di Aceh


Berawal dari pemberlakuan UU 44/1999, Gubernur Aceh mulai
mengeluarkan aturan-aturan terbatas berbasis syariah, misalnya me-
wajibkan pegawai negeri perempuan berbusana Islami. Peraturan ini
tidak ditegakkan oleh pemerintah provinsi, tetapi pada awal April 1999,
muncul laporan bahwa sekelompok laki-laki di Aceh melakukan
kekerasan main hakim sendiri dalam upaya untuk memberlakukan Sya-
riah, misalnya dengan melakukan "serbuan jilbab", menundukkan per-
empuan yang tidak memakai jilbab Islam untuk pelecehan verbal,
memotong rambut atau pakaian mereka, dan melakukan tindakan

13
M. Nur Zainal Arifin. "Gugat Qanun, Ini Bendera dan Lambang Aceh Usulan YARA"
. Tribunnews.com. Diakses tanggal 2023-03-10
14
Dikutip dari badan pusat statistic. Sumber data penduduk : Aceh Dalam Angka 2022
diakses pada tanggal 12 maret 2023

8
kekerasan lainnya terhadap mereka.15 Frekuensi serangan ini dan se-
rangan lainnya terhadap individu yang dianggap melanggar prinsip Sya-
riah tampaknya meningkat setelah berlakunya UU 44/1999 dan Pera-
turan Gubernur Syariah16 Pada tahun 2014, sekelompok ulama yang
menamakan dirinya Tadzkiiratul Ummah, mulai melukis celana pria dan
wanita sebagai seruan untuk penegakan hukum Islam yang lebih berat
di daerah tersebut.17
Setelah pemberlakuan Undang-undang Otonomi Khusus pada ta-
hun 2001, DPRD provinsi Aceh memberlakukan serangkaian qanun
(peraturan daerah) yang mengatur penerapan Syariah. Lima qanun yang
diberlakukan antara tahun 2002 dan 2004 berisi hukuman pidana bagi
pelanggaran Syariah: Qanun 11/2002 tentang "keyakinan, ritual, dan
mempromosikan Islam," yang berisi persyaratan busana Islami; Qanun
12/2003 yang melarang konsumsi dan penjualan miras; Qanun 13/2003
yang melarang perjudian; Qanun 14/2003 melarang "perbuatan ber-
sunyi-sunyian"; dan Qanun 7/2004 tentang pembayaran zakat. Kecuali
perjudian, tidak ada pelanggaran yang dilarang di luar Aceh.18
Tanggung jawab untuk penegakan qanun berada di tangan Polri
dan kepolisian khusus Syariah di Aceh, yang dikenal sebagai Wilayatul
Hisbah (Otoritas Syariah). Semua qanun menetapkan hukuman terma-
suk denda, penjara, dan hukuman cambuk, yang terakhir tidak dikenal
di sebagian besar wilayah Indonesia. Antara pertengahan 2005 dan awal
2007, setidaknya 135 orang dicambuk di Aceh karena melanggar

15
Em Yusuf; Yunus, Mukhlis; Adam, Muhammad; Sofyan, Hizir (2018). "Antecedent
Model of Empowerment and Performance of Aceh Government With Motivation as the
Intervening Variable". The Journal of Social Sciences Research: 743–747:2. Archived from the
original on 11 June 2020. Retrieved 12 Maret 2023
16
Ibid, Retrieved 12 Maret 2023
17
Edi Sumardi (4 December 2014). "Ini Hukuman Bagi Wanita Berpakaian Ketat,
Celananya Disemprot Cat". Archived from the original on 8 December 2014. Retrieved 13 Maret
2023
18
"Policing Morality Abuses in the Application of Sharia in Aceh, Indonesia". Human
Rights Watch. 2010. pp. 13–17. Archived from the original on 16 April 2013. Retrieved 13
April 2013.

9
qanun.19 Pada April 2016, seorang wanita non-Muslim berusia 60 tahun
dijatuhi hukuman 30 cambukan karena menjual minuman beralkohol.
Kontroversinya adalah bahwa qanun tidak diperbolehkan untuk orang
non-Muslim, dan hukum nasional harus digunakan sebagai gantinya
seperti di bagian lain Indonesia.
Pada bulan April 2009, Partai Aceh memenangkan kendali parle-
men lokal dalam pemilihan legislatif Aceh yang pertama pascaperang.
Pada bulan September 2009, satu bulan sebelum legislator baru dilantik,
parlemen yang keluar dengan suara bulat mengesahkan dua qanun baru
untuk memperluas kerangka kriminal Syariah yang ada di Aceh.20
 Pertama RUU, Qanun Hukum Acara Pidana (Qanun Hukum Jina-
yat), untuk membuat hukum acara yang sama sekali baru untuk
penegakan Syariah oleh polisi, kejaksaan, dan pengadilan di Aceh.21
 RUU lainnya, Qanun Hukum Pidana (Qanun Jinayat), menegaskan
kembali larangan Syariah pidana yang ada, kadang-kadang mening-
katkan hukuman mereka, dan sejumlah tindak pidana baru, termasuk
ikhtilat (keintiman atau percampuran), zina (perzinahan, didefinisi-
kan sebagai keinginan persetubuhan oleh orang yang belum meni-
kah), pelecehan seksual, pemerkosaan, dan perilaku homoseksual.22
Undang-undang mengizinkan hukuman termasuk 60 cambukan un-
tuk "keintiman", hingga 100 cambukan karena terlibat dalam per-
ilaku homoseksual, hingga 100 cambukan untuk perzinahan oleh
orang yang belum menikah, dan hukuman mati dengan rajam untuk
perzinahan oleh orang yang sudah menikah.23

19
Ibid, Retrieved 13 Maret 2023
20
"Policing Morality Abuses in the Application of Sharia in Aceh, Indonesia". Human
Rights Watch. 2010. pp. 13–17. Archived from the original on 16 April 2013. Retrieved 2
April 2013.
21
Ibid, Retrieved 13 Maret 2023
22
Hotli Simanjuntak and Ina Parlina, 'Aceh fully enforces Sharia' Archived 7 March 2018
at the Wayback Machine, The Jakarta Post,13 maret 2023
23
Ibid, Retrieved 13 Maret 2023

10
f. Peta Lokasi

B. HUKUM PIDANA YANG BERLAKU DI ACEH


Hukuman cambuk merupakan salah satu jenis hukuman yang telah
ditentukan dalam Al- Qur’an Surat An-Nuur ayat 2 untuk tindak pidana zina,
dan Surat An-Nuur ayat 4 untuk tindak pidana menuduh orang lain berzina
(Qadzaf). Ayat tersebut menjelaskan jumlah cambukan untuk pezina 100
kali, sedangkan untuk perbuatan menuduh orang lain berzina (Qadzaf) 80
kali. Sanksi meminum-minuman keras dalam beberapa hadis disebutkan 40
kali cambukan.
Pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh berbeda dengan beberapa negara
yang melaksanakan hukuman cambuk seperti di Malaysia, Pakistan dan
Singapura. Di Malaysia pelaksanaan Hukuman cambuk dilaksanakan di
dalam gedung tertutup (di dalam penjara), yang tidak disaksikan oleh
masyarakat. Pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan dengan cara mengikat
ketua tangan terpidana di tiang balok yang sudah disediakan dengan posisi
terpidana setengah telungkup. Begitu juga di Singapura, pelaksanaan
hukuman cambuk dilaksanakan dengan posisi terpidana setengah telungkup
dan tangan terikat. Di Pakistan, hukuman cambuk dilaksanakan di lapangan
terbuka dan disaksikan oleh masyarakat umum serta terpidana menjalani
hukuman cambuk dengan tangan terikat.
Bentuk ancaman hukuman cambuk dimaksudkan sebagai upaya memberi
kesadaran pada pelaku dan segaligus menjadi peringatan bagi masyarakat
agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang dalam Qanun Aceh, di

11
samping itu hukuman cambuk sebagai upaya pendidikan dan pembinaan,
sehingga sipelaku akan menyadari dan menyesali kesalahan yang dilakukan
dan mengantarkannya untuk memposisikan diri dalam taubatan nasuha.
Pelaksanan hukuman cambuk di depan umum dimaksudkan sebagai upaya
preventif dan lebih efektif karena terpidana merasa malu dan tidak
menimbulkan resiko pada keluarganya. Jenis hukuman cambuk juga
menjadikan biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah lebih murah
dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya seperti yang dikenal dalam
sistem KUHP yang berlaku sekarang ini.

Pelaksanaan hukuman cambuk terhadap pelaku perbuatan pidana Qanun


Aceh diatur dengan Peraturan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Uqubat Cambuk. UU Nomor 11 Tahun 2006 menentukan bahwa
pengaturan pelaksanaan syari’at Islam harus diatur melalui Qanun Aceh,
oleh karena itu pelaksanaan hukuman cambuk yang selama ini dilakukan di
Aceh berdasarkan Peraturan Gubernur hanyalah bersifat sementara/belum
final dan akan terus disempurnakan, yang nantinya akan diatur melalui
Qanun.
Hukuman cambuk di Aceh dilaksanakan setelah adanya keputusan
Mahkamah Syar’iyah yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Terpidana
tidak ditahan untuk menunggu eksekusi hukuman cambuk. Pada waktu
eksekusi dilaksanakan jaksa penuntut umum akan mengirim surat panggilan
untuk hadir pada waktu dan tempat yang telah ditentutan. Kehadiran
terpidana cambuk untuk menjalani eksekusi bersifat sukarela atas
kesadarannya sendiri. Jaksa penuntut umum tidak pernah berusaha untuk
melakukan penjemputan paksa.
Tempat dan waktu pencambukan ditentukan oleh Jaksa dan
berkoodinasi dengan Ketua Mahkamah Syar’iyah untuk menyiapkan ha-
kim pengawas yang harus hadir pada waktu pelaksanaan hukuman cambuk,
Kepala Dinas Kesehatan untuk menyiapkan dokter yang akan memeriksa
kesehatan terhukum sebelum dan sesudah pelaksanaan pecambukan dan

12
mengirimkan nama dokter yang ditunjuk pada Jaksa sebelum waktu
pemeriksaan dan Instansi yang membawahi Wilayatul Hisbah untuk
menyiapkan pecambuk dan memberitahukan pada Jaksa tentang kesiapan
pecambuk sebelum waktu pencambukan. Wilayatul Hisbah adalah lembaga
yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap
pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan bidang Syari’at Islam dalam
rangka melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.
Jaksa menghadirkan terhukum di tempat pelaksanaan hukuman cambuk
dengan terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis selambat-lambatnya
satu hari sebelum tanggal pencambukan kepada keluarga dan Geuchik Gam-
pong tempat tinggalnya. Geuchik adalah orang yang dipilih dan dipercaya
oleh masyarakat serta diangkat oleh pemerintah kabupaten/Kota untuk
memimpin pemerintahan Gampong. Gampong adalah suatu wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yanag
terendah dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Sebelum
dilak- sanakan hukuman cambuk si terhukum diperiksa kesehatannya oleh
dokter yang ditunjuk oleh Kepala Dinas, dan apabila menurut hasil peme-
riksaan tidak dapat menjalani hukuman cambuk, maka pelaksanaan
pecambukan akan ditunda sampai yang bersangkutan dinyatakan sehat untuk
menjalani hukuman cambuk dan dikembalikan kepada keluargannya,
terhukum atau keluargnya melaporkan keadaan kesehatan terhukum kepada
jaksa secara berkala. Apabila dalam waktu satu bulan terhukum atau keluar-
ganya tidak menyampaikan laporan tanpa alasan yang sah maka Jaksa harus
memanggil terhukum untuk mengetahu keadaan kesehatan-nya.
Pelaksanaan hukuman cambuk terhadap terhukum perempuan yang hamil
atau menyusuianak dilakukan setelah selesai menyapih anaknya dan sebelum
melaksanakan hukuman dikembalikan pada keluargannya, setelah menyapih
anaknya terhukum wajib melapor kepada Jaksa Penuntut Umum untuk
dilaksanakan hukuman cambuk. Sebelum dilaksanakan hukuman cambuk
dapat diberikan bimbingan rohani singkat oleh seorang ulama atas
permintaan Jaksa atau terhukum. Jaksa hanya boleh membacakan indentitas

13
terhukum, perbuatan pidana yang di lakukan dan hukuman yang dijatuhkan
Mahkamah.
Hukuman cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka yang dapat
dihadiri oleh orang banyak dengan tidak dibenarkan untuk memoto atau
merekam, kecuali untuk kepentingan dokumentasi Kejaksaan dan Polisi
Wilayatul Hisbah. Cambuk sebagai alat pemukul yang terbuat dari rotan
yang berdiameter 0,75 sampai dengan 1 (satu) senti meter dengan panjang 1
(satu) meter dan tidak mempunyai ujung gandadan pada pangkalnya ada
tempat pegangannya. Pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan diatas alas
(panggung) berukuran minimal 3 x 3 Meter. Jarak antara terhukum dengan
pecambuk antara 0,75 meter 1 meter dengan posisi pencambuk berduru
disebelah kiri terhukum. Jarak antara pecambuk dengan orang yang
menyaksikan paling dekat 12 (dua belas) meter. Jaksa, hakim pengawas,
dokter yang ditunjuk dan petugas pencambuk berdiri di atas atau disekitar
alas (panggung) berukuran 3 x 3 meter, selama pencambukan
berlangsung.24
Hukuman cambuk dilaksanakan di tempat terbuka yang dapat
dikunjungi masyarakat luas karena Al Qur’an meminta untuk dilaksanakan
seperti itu. Hukuman cambuk disamping merupakan hukuman duniawi,
juga merupakan bagian dari ajaran agama. Dengan demikian hukuman
cambuk merupakan bagian dari pernyataan taubat yang diharapkan dapat
mengampuni dosa di akhirat kelak.
Pecambuk hadir di tempat pencambukan dengan memakai penutup
wajah yang terbuat dari kain yang telah disediakan Jaksa. Cambukan
dilakukan pada bahagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan
kemaluan (bahu sampai pinggul). Pecambuk dapat membuat kuda-kuda
dengan jarak antara kaki kiri dan kanan maksimal 50 cm dan dapat
menekuk tangan serta mengayunkan cambuk kesamping atau ke belakang,
asalkan posisi ujung tangannya tidak lebih tinggi dari bahu, pecambuk dapat

24
Lihat Pasal 6 Peraturan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10
Tahun 2005 Tentang Petun- juk Teknis Pelaksana Uqubat Cambuk.

14
meminta tukar cambuk yang dia gunakan apabila dirasakan tidak nyaman.
Apabila pecambuk tidak sanggup menyelesaikan pekerjaannya maka pe-
cambuk akan dilanjutkan oleh pecambuk lainnya.

Pencambukan dilakukan atas perintah atau aba-aba dari Jaksa dan


cambukan yang sudah dilaksanakan tidak dapat diulang kembali walaupun
ada yang menganggapnya tidak memenuhi syarat. Jaksa akan menegur,
memperbaiki posisi atau menukar pecambuk apabila cambukan dilakukan
tidak pada bahagian punggung (bahu sampai pinggul), membuat kuda- kuda
dengan jarak antara kaki kiri dan kanan lebih dari 50 cm, mengayunkan
cambuk lebih tinggi dari bahu dan apabila pecambuk tidak sanggup
menyelasaikan pekerjaannya maka pecambuk akan dilanjutkan oleh
pecambuk lainnya.25
Terhukum pada saat pencambukan diharuskan menggunakan baju yang
telah disedia- kan jaksa dan berada pada posisi bebas dan berdiri tanpa
penyangga dan atas permintaan terhukum atau dokter, terhukum dapat
dicambuk sambil duduk bersimpuh atau berdiri dengan penyangga, namun
harus dalam keadaan bebas. Dalam Peraturan Gubernur ditentukan bahwa
pada saat pencambukan terhukum berada didalam posisi berdiri tanpa
penyangga bagi terhukum laki-laki dan posisi duduk bagi terhukum
perempuan. Rancangan Qanun memberikan kebebasan pada terhukum atau
dokter untuk memilih apakah pencambukan dilakukan sambil duduk
bersimpuh atau berdiri.
Pelaksanaan hukuman cambuk dapat dihentikan sementara, apabila:
pertama, terhukum terluka akibat pencambukan dan atas pertimbangan
medis, dokter memerintahkan untuk menghentikan sementara pencambukan
dan mengembalikan terhukum ke tempat penahanan; dan kedua, terhukum
tidak dihalangi dan tidak dikejar petugas untuk melarikan diri dari tempat
pecambukan sebelum hukuman cambuk selesai dilaksanakan. Pencambukan

25
Lihat Pasal 7 Peraturan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10
Tahun 2005 Tentang Petun- juk Teknis Pelaksana Uqubat Cambuk.

15
akan dilaku- kan kembali setelah si terhukum menyerahkan diri kepada jaksa
atau di datangkan oleh polisi.26
Pelaksanaan Pencambukan melibatkan hakim pengawas. Hakim
pengawas memiliki tugas antara lain: pertama, mengingatkan Jaksa agar
menunda pelaksanaan hukuman cambuk apabila hukuman cambuk tidak
dilaksanakan di tempat terbuka, pelaksanaan hukuman cambuk tidak di
laksanakan diatas alas (panggung) berukuran minimal 3 x 3 meter, tempat
berdiri tercambuk dengan masyarakat yang menyaksikan kurang dari 12
(dua belas) meter, Jaksa, hakim pengawas, dokter yang telah ditunjuk dan
petugas pencambuk tidak berdiri di atas atau disekitar alas (panggung)
berukuran 3 x 3 meter dan Jaksa membolehkan atau membiarkan
pengambilan gambar atau merekam pelaksanaan pencambukan yang bukan
untuk kepentingan dokomentasi kejaksaan atau Wilayatul Hisbah; kedua,
Hakim Pengawas mengingatkan Jaksa agar tidak memerintahkan pecambuk
melakukan pencambukan atas terhukum perempuan yang sedang hamil atau
menyusui, terhukum yang pencambukannya diberhentikan sementara oleh
dokter atas pertimbangan medis atau terhadap terhukum yang melarikan diri
dari tempat pencambukan sebelum pelaksanaan pencambukan selesai;
ketiga, memerintahkan Jaksa untuk menukar pecambuk apabila setelah
diingatkan tetap melakukan pencambukan dengan posisi tangan melebihi
tinggi bahu atau membuat kuda-kuda dengan jarak antara kaki kiri dan
kanan melebihi 50 cm; keempat, mengingatkan atau menegur Jaksa apabila
terhukum tidak menggunakan baju yang telah disediakan Jaksa pada saat
pencambukan, tercambuk tidak berada dalam posisi bebas atau
pencambukan dilakukan tidak sesuai dengan permintaan terhukum atau
dokter untuk dicambuk dalam keadaan duduk bersimpuh atau berdiri
dengan penyangga dalam keadaam bebas.

26
Lihat Pasal 11 Peraturan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10
Tahun 2005 Tentang Petun- juk Teknis Pelaksana Uqubat Cambuk.

16
Seusai pencambukan, Jaksa membuat berita acara pelaksanaan
pencambukan dan menandatanganinya bersama-sama dengan hakim
pengawas dan dokter sebagai saksi. Jaksa membawa terhukum ketempat
yang telah disediakan untuk dibebaskan dan Jaksa menyerahkan satu lembar
salinan berita acara kepada terhukum atau keluargannya sebagai bukti telah
menjalankan seluruh atau sebagian hukuman. Apabila si terhukum
meninggal dunia pada saat pelaksanaan pencambukan maka Jaksa membuat
berita acara penyerahan jenazah kepada keluargannya berserta jenazah untuk
dikebumikan, dan apabila Jaksa menguburkan jenazah, Jaksa akan membuat
berita acara penguburan jenazah untuk diserahkan pada keluargannya.
Prosedur pelaksanaan hukuman cambuk sebagaimana disebutkan di atas,
terlihat dengan jelas bahwa standar pelaksanaan dilakukan dengan cermat
dengan mempertimbangkan keadilan hukum dan hak asasi manusia.
Penyerahan kewenangan eksekusi kepada petuga Wilayatul Hisbah dibawah
kordinasi kejaksaan menunjukkan penghormatan pada legalitas kewe-
nangan eksekusi serta kecakapan dalam melaksanakan pencambukan.
Pelaksanaan di depan publik menunjukkan adanya motif filosofis untuk
mempermalukan pelaku atas perbuatan pelanggaran hukum yang
dilakukannya, dan dengan kesediannya menjalani eksekusi hukuman
memungkinkannya memperoleh jalan terhormat baginya untuk berintergrasi
kembali ke dalam masyarakat tanpa kekhawatiran adanya stigma kriminal.
Pembatasan sasaran pencambukan pada badan terpidana menunjukkan
penghormatan pada kehidupan masa depan terpidana. Pukulan cambuk
diharapkan hanya member rasa sakit fisik yang bersifat sementara dan tidak
menimbulkan cedera permanen, terutama pada bagian tubuh yang bersifat
terbuka.27

27
Natangsa Surbakti, “Pidana Cambuk Dalam perpektif Ke- adilan Hukum dan Hak Asasi
Manusia di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam”, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17 Juli 2010,
Yokyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam In- donesia, hlm. 468.

17
KESIMPULAN
Pelaksanaan hukuman cambuk di provinsi Aceh didasarkan pada Al-
Quran dan Sunnah yang dikonkritkan melalui Qanun dengan memperhatikan
kebutuhan lokal masyarakat Aceh dengan memperhatikan isu-isu hak asasi
manusia dan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabatmanusia.

Pasal 2 RKUHP mengakui hukum yang hidup dalam kehidupan


masyarakat Indonesia atau ketentuan yang tidak tertulis yang hidup dalam
masyarakat yang berlaku di daerah masing-masing. Penduduk Indonesia
mayoritas beragama Islam, melaksanakan perintah agama merupakan suatu
kewajiban bagi umatnya. Hukum pidana Islam menentukan salah satu jenis
pidana adalah pidana cambuk terhadap perbuatan-perbuatan tertentu,
menetapkan hukuman cambuk sebagai salah satu jenis pidana dalam konsep
RKUHP merupakan suatu keharusan karena negara mempunyai kewajiban un-
tuk menjalankan syari’at agama bagi pemeluknya.
DAFTAR PUSTAKA
Hadjar, Ibnu. “Syariat Islam dan Hukum Positif di Indonesia”. Al-Muwarid
(Jurnal Hukum Islam). Edisi XVI Tahun 2006. Yokyakarta: Program
Studi Hukum Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam
Indonesia;
Saby, Yuni. “Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh; Suatu Peluang dan
Tantangan”. Jurnal Ka- nun. 2002. Banda Aceh: Fakultas Hukum
Universitas Syiah Kuala;
Indrayana, Deny. “Konpleksitas Peraturan Dae- rah Bernuansa Syari’at
Perspektif Hukum Tata Negara”. Yustisia Jurnal Hukum. Edisi 81
September-Desember 2010. Sura- karta: Fakultas Hukum Universitas
SebelasMaret;
Anggriani, Jum. “Kedudukan Qanun Dalam Sis- tem Pemerintah Daerah dan
Mekanisme Pengawasannya”. Jurnal Hukum. No. 3 Vol. 18 Juli 2011.
Yokyakarta: FakultasHukum Universitas Islam Indonesia;
Abubakar, Al-Yasa’ dan M. Daud Yoesoef. “Qa- nun sebagai Pelaksana
Otonomi Khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Jur- nal
Legislasi Indonesia. Vol. 1 No. 3 No- vember 2004. Jakarta: Direktorat
Jende- ral Perundang-undangan Departemen Hu- kum dan HAM RI.;
Wayback Machine. "How An Escape Artist Became Aceh's Gover-

18
nor" Archived 3 August 2008, Time, 15 February 2007
Nations United. “Economic and Social Survey of Asia and the Pacific 2005”.
Tahun 2005, page 172
Sutrisni Putri Arum, Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
"Mengenal Provinsi Aceh", Klik untuk baca:https://www.kompas.com/sk-
ola/read/2020/01/11/160000569/mengenal-provinsi-aceh?page=all#page2.
Kompas.com."Bendera GAM Resmi Berlaku di Aceh". Diakses tanggal 2023-
03-10
Detik.com. "Qanun Dievaluasi, Kemendagri Imbau Warga Aceh Tidak Kibar-
kan Bendera". Diakses tanggal 2023-03-10
bakri. "Qanun Bendera Dibatalkan 3 Tahun Lalu, Ghazali Abbas Adan Menya-
takan Sampai Kiamat pun Ditolak". Tribunnews.com. Diakses tang-
gal 2023-03-11.
Iswinarno Chandra (2019-08-07). "Viral Kemendagri Batalkan Qanun Bendera
dan Lambang Aceh, Ini Respon DPRA". Suara.com. Diakses tang-
gal 2023-03-12
Zainal Arifin, M. Nur. "Gugat Qanun, Ini Bendera dan Lambang Aceh Usulan
YARA" .Tribunnews.com. Diakses tanggal 2023-03-10
Sumber data penduduk : Aceh Dalam Angka 2022 diakses pada tanggal 12
maret 2023
Yunus, Adam, Muhammad, sofyan, Hizir (2018). "Antecedent Model of Em-
powerment and Performance of Aceh Government With Motivation as
the Intervening Variable". The Journal of Social Sciences Research: 743–
747:2. Archived from the original on 11 June 2020. Retrieved 12 Maret
2023
Sumardi Edi (4 December 2014). "Ini Hukuman Bagi Wanita Berpakaian Ketat,
Celananya Disemprot Cat". Archived from the original on 8 December
2014. Retrieved 13 Maret 2023
Ina Parlina, Hotli Simanjuntak. 'Aceh fully enforces Sharia' Archived 7 March
2018 at the Wayback Machine, The Jakarta Post,13 maret 2023
Surbakti, Natangsa. “Pidana Cambuk Dalam Per- spektif Keadilan Hukum dan
Hak Asasi Ma- nusia di Provinsi Naggroe Aceh Darussa- lam”. Jurnal
Hukum. No. 3 Vol. 17 Juli 2010. Yokyakarta: Fakultas Hukum Uni-
versitas Islam Indonesia;

19

Anda mungkin juga menyukai