Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Dinamika Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Dalam Konteks


Hukum Nasional

Disusun Oleh:

Sonia Sabira Gayoara (220705033)


Maqhfirah (220705002)
Farah Nada (230705231)

Dosen Pengampu:
Dr. Murni, S.Pd.I.,M.Ag.

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INFORMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH 2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
serta shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
penutup para nabi dan rasul, kami dengan rendah hati memulai kata pengantar
makalah ini.
Makalah ini merupakan upaya kami untuk menggali pemahaman lebih dalam
tentang konsep-konsep Islami yang relevan dengan tema yang sedang dibahas.
Islam, sebagai agama yang menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia, memiliki
warisan intelektual yang sangat kaya. Kami berharap makalah ini dapat menjadi
kontribusi kecil kami dalam memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang
disampaikan oleh agama Islam.
Selama penulisan makalah ini, kami telah merujuk kepada berbagai sumber,
karya-karya ulama, dan literatur Islami yang berharga. Kami ingin menyampaikan
penghargaan setinggi-tingginya kepada mereka yang telah berkontribusi pada
pemahaman Islam dan ilmu pengetahuan.
Kami juga ingin menyatakan terima kasih kepada dosen yang telah memberikan
ilmu kepada kami.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca yang ingin mendalami lebih jauh
tentang konsep-konsep Islami yang dibahas dalamnya. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan petunjuk-Nya kepada kita semua dalam meniti jalan-Nya
yang benar.
Akhir kata, kami mohon maaf jika terdapat kekurangan dalam makalah ini, dan
kami berserah diri kepada Allah SWT untuk memberikan yang terbaik.

Banda Aceh, 10 Oktober 2023

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................................4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................4
A. Latar Belakang ........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................4
C. Tujuan Masalah ......................................................................................................2
BAB II ..................................................................................................................................3
PEMBAHASAN ....................................................................................................................3
A. Syariat Islam dan Qanun Aceh ................................................................................3
B. Dinamika Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Dalam Konteks Hukum Negara.........6
C. Perbedaan antara hukum syariat di Aceh dengan hukum Nasional Indonesia .......8
D. Dinamika Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh dalam Konteks Hukum Negara .........9
BAB III ...............................................................................................................................11
KESIMPULAN ....................................................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelaksanaan syari’at Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) tidak hanya sebagai sebuah wacana, namun sudah dipraktikkan oleh
mayoritas penduduknya. Diantara daerah yang ada dalam wilayah NKRI ini
adalah Aceh, yang merupakan provinsi paling barat di pulau Sumatera ini
sedang menerapkan pelaksanaan syari’at Islam. Pelaksanaan syari’at Islam ini
diberlakukan dan mendapat legalitaskarena didukung sosiokultural dan historis
masyarakatnya, seperti Aceh dulunya dikenal sebagai pusat penyebaran agama
Islam di nusantara. Namun demikian, pelaksanaan syari’at Islam tersebut tidak
serta merta berjalan sesuai yang diharapkan. Ini terjadi disebabkan belum
adanya rujukan yang jelas dan formulasi yang tepat dalam penerapan syari’at
Islam di Provinsi Aceh, meskipun ada beberapa Negara yang menerapkan
syari’at Islam bagi penduduknya

B. Rumusan Masalah
1. Syariat Islam dan Qanun Aceh
2. Apa perbedaan antara hukum syariat di Aceh dengan hukum nasional
Indonesia?
3. Bagaimana pemerintah pusat Indonesia mengawasi dan mengelola
pelaksanaan syariat Islam di Aceh?

iv
C. Tujuan Masalah
1. Memahami latar belakang dan akar sejarah pelaksanaan syariat Islam
di Aceh.
2. Menganalisis praktik pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
3. Menilai upaya pengawasan dan penegakan hukum syariat di Aceh oleh
pemerintah pusat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Syariat Islam dan Qanun Aceh


Formalisasi dan legalisasi syariat Islam di Aceh merupakan hasil dari konflik yang
berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah
Republik Indonesia. Pemberian hak formalisasi syariat Islam di Aceh bertujuan
untuk mengakhiri konflik vertikal yang sudah berlangsung lama di Aceh.
Akumulasi konflik di Aceh memiliki akar politik yang dalam dan berjangka waktu
panjang. Pemerintah pusat telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk
menangani dan menyelesaikan konflik di Aceh. Salah satu solusi yang dianggap
tepat untuk Aceh adalah pengesahan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). UU Otonomi Khusus ini
melengkapi UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi NAD, yang
memberikan empat keistimewaan pokok bagi Aceh:
1. Keistimewaan dalam menerapkan syariat Islam bagi pemeluknya.
2. Keistimewaan dalam penyelenggaraan pendidikan.
3. Keistimewaan dalam melestarikan adat istiadat.
4. Keistimewaan dalam melibatkan ulama dalam pembuatan kebijakan.

Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, pemerintah Aceh dapat menyusun


berbagai qanun sebagai peraturan turunannya. UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh menunjukkan bahwa pemerintah Aceh memiliki kewenangan
tambahan dalam menjalankan pemerintahan, terutama dalam menerapkan undang-
undang Republik Indonesia yang sebelumnya tidak diterapkan, termasuk penerapan
syariat Islam di berbagai aspek, termasuk jinayat (hukum pidana).
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh secara resmi dilakukan setelah keluarnya UU
No. 44/1999 dan UU No. 18/2001. Prinsip mendasar dari undang-undang ini adalah
memberikan kesempatan yang luas bagi Aceh untuk mengatur rumah tangganya
sendiri, mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia, meningkatkan
partisipasi masyarakat, dan mengimplementasikan tata kehidupan sosial yang
sesuai dengan nilai-nilai Aceh. Syariat Islam, menurut UU No. 44/1999, mencakup
3
ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan, budaya, politik,
ekonomi, dan aspek lainnya.
Pemerintah Provinsi Aceh memiliki beberapa instrumen hukum untuk mengatur
syariat Islam secara resmi, yang termasuk qanun yang membahas masalah-masalah
khusus terkait dengan syariat Islam. Dalam kamus bahasa Indonesia (KBBI), qanun
diartikan sebagai undang-undang atau peraturan, sedangkan dalam bahasa Arab,
qanun berarti undang-undang, adat, atau tradisi. Dalam konteks Aceh, sesuai
dengan UU No. 11/2006 tentang pemerintahan Aceh, Qanun Aceh adalah peraturan
yang mengatur pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh, sementara qanun
kabupaten/kota adalah peraturan yang mengatur pemerintahan dan kehidupan
masyarakat di kabupaten/kota Aceh.
Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa Qanun Aceh, pada dasarnya,
memiliki sifat yang serupa dengan peraturan daerah provinsi atau kabupaten/kota
lainnya di Indonesia. Namun, perbandingan Qanun Aceh dengan peraturan daerah
tidak sepenuhnya tepat karena setiap Qanun Aceh harus berdasarkan ajaran Islam,
yang merupakan ciri khas Aceh dan membedakannya dari daerah-daerah lain di
Indonesia. Selain itu, Qanun Aceh juga dapat mencakup aturan tentang hukum
acara materiil dan formil.
Sesuai dengan UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus, Pemerintah Aceh dapat
membuat Qanun Aceh yang memiliki kekuatan hukum khusus dalam rangka
pelaksanaan otonomi khusus.
Dari perspektif tujuan pemberlakuan syariat Islam di Aceh, terdapat dua sisi yang
berbeda. Pertama, dari sisi ke-Indonesiaan, pemberlakuan syariat Islam di Aceh
bertujuan untuk mencegah pemisahan Aceh dari NKRI. Kedua, dari perspektif
rakyat Aceh, pemberlakuan syariat Islam di Aceh merupakan sebuah cita-cita dan
hasrat yang telah lama terpendam, terutama sejak zaman DI/TII yang dipimpin oleh
Teuku Muhammad Daud Beureueh. Untuk mewujudkan tujuan tersebut,
Pemerintah Indonesia melalui DPR-RI telah mengesahkan Undang-Undang Nomor
44 Tahun 1999 yang mengatur pelaksanaan keistimewaan yang diberikan kepada
Aceh sejak tahun 1959. Setelah itu, disahkan pula Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam undang-undang ini, Aceh
diberikan peradilan Syariat Islam yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syariah,
dengan kewenangan yang ditetapkan oleh Qanun.
4
B. Dinamika Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Dalam Konteks Hukum
Negara
Dalam perspektif hukum formal, Negara Kesatuan Republik Indonesia
mengizinkan masyarakat untuk menjalankan hukum agamanya sesuai dengan
ketentuan hukum. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 yang
menjamin kebebasan individu untuk memeluk agamanya sendiri dan beribadah
sesuai dengan agama dan keyakinannya. Syahrizal Abbas menjelaskan bahwa
istilah "jaminan" dalam Pasal ini memiliki makna yang bersifat wajib, yang
artinya negara harus memastikan bahwa setiap warganya dapat memeluk
agamanya dan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Ini adalah
pengakuan konstitusional terhadap otonomi daerah yang khusus.

Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah memiliki
hak untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya dalam rangka
pelaksanaan otonomi dan bantuan.

Penyelenggaraan Syariat Islam di Aceh didasarkan pada Undang-Undang Nomor


44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Provinsi
Aceh dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
UU No. 44/1999 mengatur empat keistimewaan Aceh, termasuk aspek kehidupan
beragama, yang diwujudkan dalam bentuk penerapan Syariat Islam bagi
pemeluknya di masyarakat (Pasal 4 Ayat 1). Syariat Islam dalam konteks ini
merujuk pada pedoman ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.

Dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, keistimewaan Aceh diberikan


pada tahun 1959 melalui Perjanjian Missi Hardi tahun 1959. Ini mengukuhkan
lebih lanjut pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, dengan UU tersebut memberikan
izin kepada Aceh untuk menerapkan Syariat Islam dalam semua aspek kehidupan
dengan dasar penyelenggaraan Daerah Istimewa Aceh dan kebijakan daerah.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, posisi Syariat


Islam di Aceh semakin kuat. Pasal 125 menyatakan bahwa pelaksanaan Syariat
5
Islam diatur melalui Qanun Aceh, dan setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib
mematuhi Syariat Islam. Hal ini mencakup berbagai aspek Islam, termasuk
aqidah, syar'iyah, dan akhlak.
Salah satu permasalahan yang sering menjadi perhatian dalam penerapan
Syariat Islam di Aceh adalah penggunaan hukuman cambuk dan rajam, yang
dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional, seperti
UU No. 1 Tahun 1946 dan UU No. 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Penilaian ini menimbulkan beberapa konflik, karena
qanun dianggap sejajar dengan peraturan daerah dan harus mematuhi hirarki
peraturan perundang-undangan yang berlaku lebih tinggi.

C. Perbedaan antara hukum syariat di Aceh dengan hukum Nasional


Indonesia

Qanun sebagai suatu bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia bukanlah


sesuatu yang baru, terutama di Aceh. Qanun sudah lama dikenal di sana, dan salah
satu naskah yang dapat menjadi referensi adalah tulisan Tengku di Mulek pada
tahun 1257 yang berjudul Qanun Syara’ Kerajaan Aceh. Al Yasa’ Abu Bakar,
sebagaimana yang dikutip oleh Ahyar, menjelaskan bahwa istilah Qanun digunakan
untuk membedakan antara hukum yang tertuang dalam fikih (hukum Islam) dan
hukum yang terkait dengan adat istiadat. Dalam konteks saat ini, khususnya di
Aceh, Qanun, berdasarkan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh,
adalah suatu jenis peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan
Aceh dan kehidupan masyarakat Aceh.

Namun, definisi ini sebenarnya tidak biasa. Secara umum, Qanun pada tingkat
nasional setara dengan Undang-Undang. Dalam pengertian bahasa, Qanun memang
berarti Undang-Undang. Menurut Jasser Audah, Qanun adalah hukum positif yang
dibangun berdasarkan fikih (hukum Islam) dan 'urf (adat istiadat). Istilah Qanun
sering dianggap sinonim dengan istilah-istilah seperti syariah, fikih, dan adat
istiadat. Namun, pada dasarnya, ketiga istilah ini memiliki perbedaan yang
mendasar. Syariah mewakili aspek ketuhanan dalam hukum Islam, fikih

6
mencerminkan aspek kognitif hukum Islam yang berasal dari nash (teks agama) dan
hasil konstruksi ijtihad oleh para ahli hukum. Kaburnya batas antara fikih dan
syariah telah menghasilkan klaim "kesucian" yang kontroversial dalam beberapa
konteks

7
D. Dinamika Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh dalam Konteks Hukum
Negara

Masalah hukum Islam dalam politik Islam di Indonesia tidak baru. Permasalahan
ini telah terungkap sejak Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1959, ketika kelompok
Islam mengalami kekalahan politik dan Sila Pertama Pancasila, yang mengandung
hukum Islam, dihapus dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Para wakil
Islam di Konstituante (1956-1959), termasuk Partai Masyumi di bawah pimpinan
Muhammad Natsir dan Partai NU, berjuang agar rumusan Piagam Jakarta
dimasukkan kembali ke dalam UUD 1945. Namun, usulan ini menghadapi
perlawanan dari kelompok nasionalis, yang mengakibatkan perdebatan sengit yang
tidak dapat dihindari. Konstituante kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno
melalui dekrit pada tanggal 5 Juni 1959. Meskipun demikian, banyak tokoh yang
mengakui bahwa episode sejarah ini sangat penting dalam perjalanan bangsa
Indonesia.

Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan melindungi agama
serta pemeluknya. Negara berupaya untuk mengintegrasikan ajaran Islam dan
hukum agama ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seiring dengan
perkembangan dunia saat ini, terutama di Indonesia. Oleh karena itu, penerapan
hukum pidana Islam seperti yang terlihat di Aceh harus mengikuti perkembangan
zaman. Tidak hanya masalah qanun atau peraturan daerah tentang syariat Islam,
tetapi juga aspek-aspek hukum Islam lainnya perlu mengakomodasi kepentingan
politik kelompok tersebut. Meskipun begitu, penerapan hukum pidana Islam dan
syariah Islam harus didasarkan pada konsep hukum yang bersifat universal dan
nilainya berakar pada prinsip kemanusiaan yang sejati.

Selama ini, hukum Indonesia telah terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar
subsistem hukum, yaitu sistem hukum barat, hukum adat, dan sistem hukum Islam,
yang masing-masing merupakan bagian dari sistem hukum Indonesia. Sistem
Hukum Barat merupakan warisan kolonialisme Belanda selama 350 tahun, yang
berdampak besar pada sistem hukum nasional kita. Sistem Hukum Adat didasarkan
pada nilai-nilai moral masyarakat Indonesia, dan untuk memahaminya, seseorang
10
harus memahami landasan moral yang ada dalam masyarakat Indonesia. Sementara
itu, sistem hukum Islam didasarkan pada Al-Quran dan hadis/sunnah yang
diterangkan oleh Nabi Muhammad SAW dan dikonkretkan oleh para mujtahid
melalui ijtihad mereka.

Di Aceh, penerapan syariat Islam memiliki tantangan tersendiri. Bahkan, Wakil


Presiden Yusuf Kalla pernah menyatakan bahwa, meskipun Aceh memiliki
kewenangan untuk menerapkan hukum Islam sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, aturan dan pelaksanaannya tidak
boleh bertentangan dengan hukum nasional.

10
BAB III

KESIMPULAN
UUD 1945 mengakui dan menghormati bentuk kesatuan hukum yang
berasal dari Pemerintahan Daerah, baik yang bersifat khusus maupun khusus.
Keistimewaan yang dimaksud adalah lahirnya Qanun Aceh. Kemudian, Qanun
Aceh juga berfungsi untuk menegaskan kembali kewenangan daerah dalam
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sendiri. Hal ini terlihat dengan
adanya beberapa Qanun Aceh yang berusaha mewujudkan tata cara penerapan
syariat Islam yang dipandang sebagai landasan utama dalam kehidupan
masyarakat Aceh. Oleh karena itu, qanun Aceh yang berkaitan dengan penerapan
hukum Islam, seperti Qanun Aceh Nomor 10 dan 11 Tahun 2002; Qanun Aceh
Nomor 12, 13 dan 14 Tahun 2003 yang menurut sebagian pendapat bersumber
dari isi Alquran dan Hadist. Secara hierarki, penerapan syariat Islam dinilai tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Alasannya berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Dasar Hukum, nomor 26, dan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang menilai penerapan hukum Islam
tidak cacat hukum. Padahal, menurut Perpres ini, yang dijadikan landasan hukum
adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturan
selanjutnya. Qanun/Peraturan Daerah Khusus cukup dengan undang-undang, jika
Qanun Aceh berdasarkan hukum Islam, maka cukup Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang UUPA.

11
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, S. (2012). Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Sebagai Bagian Wilayah NKRI. Jurnal
Dinamika Hukum, 358.

Berutu, A. G. (2016). Penerapan Syariat Islam Aceh Dalam Lintas Sejarah. Jurnal Hukum,
Vol. 13 , 180-185.

Abubakar, Al Yasa’. Undang-Undang Pemerintahan Aceh: Otonomi Khusus


di Bidang Hukum. Banda Aceh: Dinas Syari`at Islam Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, 2007.
E-journal UIN Jakarta

12

Anda mungkin juga menyukai