Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KELOMPOK 7

POLITIK HUKUM ISLAM DI ACEH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Hukum Islam
di Indonesia

Dosen Pengampu: Dr. Rumadi Ahmad, M.A.

Disusun oleh:

Hasna Selviana Rahman 11190453000017

PROGRAM STIDU HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
meyelesaikan makalah yang berjudul “Politik Hukum Islam di Aceh” ini tepat pada
waktunya. Rasa terima kasih yang tak terhingga kepada dosen pengampu mata
kuliah yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk menyelesaikan
makalah dalam mata kuliah ini. Semoga dengan penulisan makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi penyusun dan pembacanya.

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Politik Hukum Islam di Indonesia. Makalah ini membahas penerapan syariat
Islam sebagai hukum nasional daerah Aceh. Proses penulisan makalah ini, tentu
banyak kekurangan dan kekhilafan yang kami lakukan, seperti pepatah mengatakan
“Tak ada gading yang tak retak” kami menyadari makalah ini masih jauh dari
sempurna. Hal ini semata-mata karena keterbatasan kemampuan kami sendiri. Oleh
karena itu, kami harapkan saran dan kritik yang positif dan membangun dari semua
pihak agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan
datang.

Bekasi, 29 Mei 2022

Pemakalah
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Provinsi Aceh adalah salah satu daerah di Indonesia yang paling religius. Wilayah di
ujung utara Sumatera ini merupakan satu-satunya bagian dari kepulauan yang
menjatuhkan hukuman kepada penduduknya berdasarkan hukum Islam. Dalam
sejarahnya, Aceh merupakan salah satu kesultanan Islam paling kuat di Asia Tenggara.
Daerah ini telah lama menggunakan jenis hukum Islam informal yang dipadukan
dengan hukum setempat atau yang dikenal "hukum adat"1.
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh memiliki sisi yang berbeda, berupa sisi
nasionalitas, yaitu pemberlakuan syariat Islam di Aceh ditujukan untuk mencegah
agar Aceh tidak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melihat dari sisi ini, kita bisa memahami bahwa proses-proses pemberlakuan syariat
Islam di Aceh bukanlah suatu proses yang alamiah, tapi lebih merupakan suatu
gerakan dan kebijakan politik dalam rangka mencegah Aceh dari upaya pemisahannya
dari NKRI.
Penerapan syariat Islam pada tahap ini, yakni untuk meminimalisasi ketidakpuasan
Aceh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah pusat, dan lebih merupakan langkah
politik darurat untuk menyelamatkan Aceh dalam pangkuan republik, yang
bertujuan untuk mendatangkan kenyamanan psikologis bagi masyarakat Aceh.
Nanggroe Aceh Darussalam di kenal dengan sebutan Seramoe Makah (Serambi
Makah). Napas Islam begitu menyatu dalam adat budaya Aceh sehingga aktivitas
budaya kerap berasaskan Islam. Syariat Islam secara resmi dideklarasikan pada tahun
2001, pro dan kontra terus bermunculan sampai sekarang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah hukum Islam di Aceh?
2. Bagiamana Perkembangan Kelembagaan Hukum Islam di Aceh?
3. Bagaimana Perkembangan Qanun Aceh?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah hukum Islam di Aceh
2. Mengetahui Perkembangan Kelembagaan Hukum Islam di Aceh

1
Hamka Haq, Syariat Islam Dan Wacana Penerapannya, Cetakan 1 (Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 2001).

1
3. Mengetahui Perkembangan Qanun Aceh

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Islam di Aceh


Masyarakat Aceh pada dasarnya menampilkan adat dan Islam sebagai unsur yang
dominan dalam mengendalikan gerak masyarakat. Agama Islam telah membentuk
identitas masyarakat Aceh sejak masa awal penyebarannya keluar jazirah Arab.2 Nilai-
nilai hukum dan norma adat yang telah menyatu dengan Islam merupakan pandagan
hidup (way of life) bagi masyarakat Aceh. B.J Bollan, seorang antropolog Belanda
mengatakan, “Being an Aceh is equivalent to being a Muslim” (menjadi orang Aceh
telah identik dengan orang Muslim).3 Pengaruh hukum Islam terhadap hukum adat telah
meliputi semua bidang hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum Islam dan
hukum adat telah melebur menjadi satu hukum. Adagium yang masih dipegang
masyarakat Aceh, “adat bak po teummeurehum, hukum bak Syah Kuala, qanun bak
Putro Pahang, reusum bak Laksamana”. Hal ini sesungguhnnya mengandung makna
pembagian kekuasaan dalam kesultanan Aceh Darussalam, kekuasaaan politik dan adat
ada ditangan sultan (Po Teummeurehum), keuasaan pelaksanaan hukum berada
ditangan ulama (Syiah Kuala), kekuasaan pembuat undang-undang ada ditangan Putro
Pahang, dan peraturan protokeler (Reusam) berada ditangan laksamana (panglima
perang di Aceh).4
Menurut Arskal Salim ada beberapa alasan masyarakat Aceh yang menjadikan Islam
sebagai identitasnya. Pertama, sejarah mencatat bahwa perkembangan Islam di
Indonesia diawali dari Aceh,6 hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam catatan
Marco Polo yang melewati Peurlak (Aceh Timur saat ini) dan menggambarkan bahwa
kota tersebut (Peurlak) adalah kota muslim pada tahun 1292.5 Kedua, kerajaan Islam
pertama di Indonesia didirikan di Aceh, hal ini dibuktikan dengan penemuan batu nisan
Raja Samudra Sultan Malik as-Salih yang tercatat pada tahun 1927. Menurut Ricklefs
penemuan ini menunjukkan bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia berada di
Aceh.Ketigaadalah sejarah penerapan syariat Islam di Aceh yang memiliki sejarah yang

2
Yusni Saby, Apa Pentingnya Studi Aceh, Dalam M. Jakfar Puteh, Sistem Sosial Budaya Dan Adat Masyarakat
Aceh (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2012).
3
Hasnil Basri Siregar, ‘Lessons Learned From The Implementation Of Islamic Shari’ah Criminal Law In Aceh,
Indonesia’, Journal of Law and Religion, Vol. 24, N (2009).
4
Khamami, Pemberlakuan Hukum Jinayat Di Aceh Dan Kelantan (Tangerang Selatan: LSIP, 2014).
5
Abidin Nurdin, ‘Revitalisasi Kearifan Lokal Di Aceh: Peran Budaya Dalam Menyelesaikan Konflik Masyarakat’,
Anlisis, Vol. 13 No (2013).

3
sangat panjang, proses sejarah inilah yang menjadi motivasi bagi masyarakat Aceh
untuk menjadikan Islam sebagai identitasnya.
1. Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945 – 1959
Upaya pelaksanaan syariat Islam di Aceh, dapat dikatakan bahwa pemimpin Aceh
sejak awal kemerdekaan sudah meminta izin kepada Pemerintah Pusat untuk
melaksanakan syariat Islam di Aceh. Daud Beureu’eh memohon kepada Presiden
Soekarno meminta agar diizinkan pemberlakuan syariat Islam di Aceh, hal ini
dilakukan karena Aceh merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Namun, pemerintah pusat memberikan jawaban yang mengecewakan
atas harapan Aceh dengan menggabungkan Aceh ke dalam keresidenan dari
Provinsi Sumatra Utara. Masyarakat Aceh bergejolak dan menutut
dikembalikannya provinsi Aceh. Pada taggal 21 September 1953 terjadilah
pembrontakan pertama DI/TII di Aceh pasca kemerdekaan Indonesia yang
dipimpin langsung oleh Daud Beureu’eh, pembrontakan ini merupakan bentuk
kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah Pusat di Jakarta.

Kekecewaan rakyat Aceh ini ditangkap secara cerdas oleh Imam NII S.M Karto
Suwiryo di Jawa Barat, ia mengirimkan beberapa tulisan dan maklumat NII tentang
Darul Islam dan mengajak para pemimpin Aceh untuk bergabung.6 Maklumat Karto
Suwiryo ini mendapat respon yang positif dari pemimpin Aceh, pada tanggal 23
September 1955 diadakan kongres di Batee Kureng yang dihadiri oleh tokoh yang
menghasilkan program Batee Kureng28 yang menyatakan bahwa Aceh
memisahkan diri dari Indonesia. 7
Pemerintah pusat langsung menanggapi pembrontakan ini dengan mengeluarkan
undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pemebentukan Provinsi Swatantra
Aceh – Daerah Swatantra Tingkat I Aceh. Pada tahun 1958 atau dua tahun setelah
keluarnya UU No. 24 Tahun 1956 keluarlah Ikrar Lamteh32 yang pada intinya
kedua belah pihak sepakat menghentikan kontak senjata dan mengusahakan jalan
terbaik untuk menyelesaikan masalah Aceh. maka sejak saat itu dihasilkan
maklumat konsepsi pelaksanaan unsur-unsur syariat Islam bagi daerah Istimewa

6
Abidin Nurdin.
7
Ti Aisyah, Subhani dan Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik Pembrontakan Regional Di
Indonesia 1953-1964 (Lhokseumawe: Unimal Pers, 2008).

4
Aceh.35 Sehingga konflik yang berlangsung dari tahun 1953 dapat diakhir pada
tahun 1959 dengan jalan damai.
2. Pada Masa Kemerdekaan (1959-1998)
Pada bulan Mei Tahun 1959 Pemerintah Pusat mengutus Mr. Hardi untuk
membawa misi perdamaian untuk Aceh.38 Komisi Hardi selanjutnya melakukan
pertemuan dengan Deleglasi Dewan Revolusi Darul Islam (DDRDI) yang dipimpin
oleh Ayah Gani Usman.39Hasil penting dari perundingan ini adalah bahwa
Pemerintah Pusat akan memberikan status istimewa untuk Aceh40 dan kemudian
mengejewantahkannya dalam Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959.
Keputusan ini memberikan status istimewa kepada Aceh dalam artian dapat
melaksanakan otonomi daerah yang seluas-luasnya terutama dalam bidang agama,
pendidikan dan adat istiadat.41Status ini kemudian dikukuhkan dengan Undang-
undang No. 18 tahun 1965.8
Pada tanggal 18-22 Desember 1962 diadakan suatu acara akbar di Blangpadang,
yaitu Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA). Hasil dari musyawarah ini
adalah dicetuskannya ikrar Balangpadang yang ditanda tangani oleh 700 orang
terkemuka yang yang hadir, mereka berjanji akan memelihara dan membina
kerukunan serta memancarkan persatuan dan persahabatan.9 MKRA ini merupakan
suatu rekonsiliasi rakyat Aceh yang melahirkan ikrar Blangpadang.
Dalam perjalanannya penerapan syariat Islam di Aceh tidak sesuai dengan yang
diharapkan, misalnya pada tahun 1979 dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5
tentang Pemerintahan Desa. Dengan adanya UU ini struktur gampong dan mukim
serta segala perangkatnya tidak berlaku lagi, perangkat pemerintahan lokal ini
digantikan dengan struktur baru yang bersifat nasional
3. Pada Masa Reformasi (1999 Sampai Dengan Sekarang)
Setelah rezim Orde Baru jatuh dan tampuk pimpinan kekuasaan jatuh kepada B.J
Habibie (Mei 1998 – Oktober 1999) jalan damai di Aceh memasuki babak baru.66
Hal ini merupakan sebuah penalaran dari para elite politik Pemerintah Pusat di
jakarta dan elite politik daerah di Aceh guna untuk mengakhiri konflik yang
berkepanjangan. Pasca reformasi 1998 kemudian dilanjutkan dengan amandemen
Undang-undang Dasar (UUD) 1945, hubungan antara Pemerintah Pusat dengan

8
Mawardi, Umar, dan al-Chaidar, Darul Islam Aceh: Pembrontakan Atau Pahlawan?, Kedua (Banda Aceh: Dinas
Kebudayaan Pemprov NAD, 2006).
9
Yusni Saby.

5
Pemerintah Daerah mengalami perubahan pola yang signifikan, dimana
sebelumnya menganut pola sentralistik, tetapi setelah reformasi berubah menjadi
pola desentralistik.69
Dikeluarkannya Undang-undang No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang dimana UU ini
mengakomodasi kepentingan Aceh70 dalam bidang Agama, adat istiadat dan
penempatan peran ulama pada tataran yang sangat terhormat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai upaya awal penerapan syariat
Islam secara kaffah dan bentuk respon terhadap lahirnya UU diatas, Aceh
menerbitkan Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan syariat Islam. Pada
masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid upaya damai terus dilakukan, pendekatan
dengan jalur dialog ditempuh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Genewa
Swis.80 Pada 11 April 2001 Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Intruksi
Presiden No. 4 Tahun 2001 tentang perlakuan khusus terhadap situasi di Aceh.
Dalam perjalananya Perda No. 5 Tahun 2000 ini tidak berjalan dengan efektif,
sehingga terjadilah revisi terhadap UU No. 44 Tahun 1999 menjadi UU No. 18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan sekaligus mengubah nama Provinsi
Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.86 Didalam
UU Otomi Khusus bagi Aceh yang ditanda tangani oleh Presiden Megawati
Soekarno Putri ini terdapat beberapa instrumen yang menjadi dasar pelaksanaan
syariat Islam di Aceh diantaranya adalah Mahkamah Syar’iyah dan Qanun
Pemerintahan Aceh. 10
Pemerintah Daerah melalui Gubernur Aceh telah mendeklarasikan pemebrlakuan
syariat Islam di Aceh secara kaffah pada tanggal 1 Muharram 1423 H dan
pembentukan Dinas Syariat Islam (DSI) ditingkat provinsi yang kemudian diikuti
oleh kabupaten – kota di provinsi Aceh berikutnya. DPRD Aceh kemudian
mengeluarkan qanun sebagai landasan hukum pelaksanaanya. Mahkamah Agung
juga ikut mengambil peran satu tahun berselang, yaitu pada tanggal 1 Muharram
1424 H, Mahkamah Agung membentuk Mahkamah Syar’iyah88 di Aceh sebagai
pengganti Pengadilan Agama.
B. Perkembangan Kelembagaan Hukum Islam di Aceh

10
Misran, ‘Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh: Analisis Kajian Sosiologi Hukum’, Legitimasi, Vol 11, No (2012).

6
UUPA Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh tersebut telah membawa
perubahan besar tentang hukum yang berlaku di Aceh. Secara yuridis formal,
pengaturan syariat Islam di Aceh didasarkan pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun
1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Keistimewaan yang
dimiliki Aceh meliputi : penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan
peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. hukum yang diberlakukan di Aceh
adalah hukum yang bersumber pada ajaran agama yaitu syariat Islam. bila kita cermati
kandungan makna pasal 29 UUD 1945 ayat (2) dimana negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu. Kata ”menjamin” dalam pasal 29 UUD 1945
jelas bermakna imperatif. Artinya, Negara berkewajiban melaksanakan upaya-upaya
agar tiap penduduk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu. syariat Islam yang diberlakukan di Aceh tidak hanya dalam aspek aqidah dan ibadah
mahdhah, tetapi juga dalam bidang muamalah dalam arti luas dan bahkan dalam bidang
jinayah. Pengaturan tentang Qanun yang bernuasan syariat seperti Dinas Syariah Islam
Aceh3, Mahkamah Syariah, Majlis Permusyawaratan Ulama, Kejaksaan, Kepolisian,
Polisi Wilayatul Hisbah dan berbagai pengaturan lainnya tentang syariat menandakan
Undang-undang No 11 tahun 2006 sebagai payung hukum pelaksanaan syariat Islam di
Aceh.11a
1. Dinas Syariah Islam (DSI)
Dinas Syariat Islam (DSI) sebagai perangkat daerah, merupakan respon konkrit
untuk menyahuri pemberlakuan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Keistimewaan Aceh. DSI Lahir pada tanggal 25 Januari 2002
bertepatan dengan pelantikan Pimpinan Dinas Syariat Islam terdiri dari Eseloon II,
III, dan IV oleh Gubernur Aceh Ir. Abdullah Puteh, M. Si diruang Serba Guna
kantor Gubernur Aceh. Sebagai lembaga yang berperan mempersiapkan seluruh
regulasi terkait pelaksanaan Syariat Islam. Regulasi dimaksud adalah payung
hukum atau seperangkat aturan terkait pelaksanaan Syariat Islam dalam segala
aspek kehidupan masyarakat di Aceh, seperti Qanun Aceh, Peraturan Gubernur,
Instruksi Gubernur serta peraturan perundang-undangan lainya terkait pelaksanaan
Syariat. Dinas Syariat Islam mempunyai tugas melaksanakan tugas umum dan

11
Misran.

7
khusus Pemerintah Daerah dan Pembangunan serta bertanggung jawab dibidang
Pelaksanaan Syariat Islam.12
1. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan perencanaan, penyiapan
qanun yang berhubungan dengan Pelaksanaan Syariat Islam serta
mendokumentasikan dan menyebarluaskan hasil-hasilnya.
2. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan penyiapan dan pembinaan
sumber daya manusia yang berhubungan dengan Pelaksanaan Syariat Islam.
3. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancara dan ketertiban
pelaksanaan peribadatan dan penataan sarananya serta penyemarakkan syiar
Islam.
4. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan bimbingan dan pengawasan
terhadap Pelaksanaan Syariat Islam ditenga-tengah masyarakat. Dan
5. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan pembimbingan dan
penyuluhan Syariat Islam.
Kewenangan
1. Merencanakan program, penelitian dan pembangunan unsur-unsur Syariat
Islam.
2. Melestarikan nilai-nilai Islam.
3. Mengembangkan dan membimbing Pelaksanaan Syariat Islam yang
meliputi bidang-bidang aqidah, ibadah, mu’amalat, akhlak, pendidikan dan
dakwah Islamiah, amarmakruf nahimungkar, baitalmal, kemasyarakatan,
Syiar Islam, pembelaan Islam, qadha, jinayat, munakahat dan mawaris.
4. Mengawas terhadap Pelaksanaan Syariat Islam, dan
5. Membina dan mengawasi terhadap Lembaga Pengembangan Tilawatil
Qur’an (LPTQ).
2. Mahkamah Syariah
Mahkah Syariah sebagai lembaga peradilan di Provinsi Aceh memiliki
keistimewaan dengan dasar yuridis dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Aceh), dalam
Pasal 128 ayat (2) yang menyebutkan bahwa ”Mahkamah Syar’iyah merupakan
pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh.” Peradilan
syari’at Islam di Aceh yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah merupakan

12
Misran.

8
Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Agama. Peradilan syari’at Islam di
Aceh (Mahkamah Syar’iyah) merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
peradilan agama sepanjang menyangkut wewenang peradilan agama, dan
merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang
menyangkut wewenang peradilan umum.
Mahkamah Syar’iyah memiliki kekuasaan untuk melaksanakan wewenang
Peradilan Agama dan juga memiliki kekuasaan untuk melaksanakan sebahagian
wewenang Peradilan Umum.(1) Mahkamah Syar’iyah juga menganut tiga tingkat
peradilan, yakni tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi ke Mahkamah
Agung. Mahkamah Syar’iyah di Aceh telah lebih luas dalam melaksanakan
kewajiban penetapan hukum-hukum Islam, terhadap perkara-perkara hukum
keluarga (al-akhwal al-syakhshiyah), mu'amalah (hukum perdata) serta hukum
jinayat (pidana).
Mahkamah Syar’iyah juga berwenang mengadili dan memutuskan perkara-perkara
jarimah (tindak pidana), seperti penyebaran aliran sesat (bidang aqidah), tidak
shalat Jumat tiga kali berturut-turut tanpa uzur syar'i (bidang ibadah), menyediakan
fasilitas/peluang kepada orang muslim tanpa uzur syar'i untuk tidak berpuasa
(bidang ibadah), makan minum di tempat umum di siang hari di bulan puasa (bidang
ibadah), dan tidak berbusana Islami (bidang syiar Islam). Mahkamah Syar’iyah
dipercayakan pula untuk mengadili perkara-perkara tindak pidana dalam
pengelolaan zakat.
Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Syar’iyah yang menyangkut seluruh
Wewenang Peradilan Agama Kewenangan untuk melaksanakan tugas pokok
pengadilan agama (Mahkamah Syar’iyah di Aceh) tersebut dibagi dua yaitu:
a. Kewenangan relatif.
Kewenangan relatif atau kompetensi relatif yaitu kewenangan untuk
menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara
yang diajukan kepadanya, didasarkan kepada wilayah hukum pengadilan
mana tergugat bertempat tinggal.
b. Kewenangan mutlak
Perluasan wewenang pengadilan agama setelah diundangkannya Undang-
undang No 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang No.7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama, antara lain meliputi ekonomi syariah.
Penyebutan ekonomi syariah menjadi penegas bahwa kewenangan
9
pengadilan agama tidak dibatasi dengan menyelesaikan sengketa di bidang
perbankan saja, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya.
Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Syar’iyah yang menyangkut Sebagian
Wewenang Peradilan Umum. Sampai saat ini baru ada 5 (lima) qanun
hukum materil yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Syar’iyah di
bidang pidana (jinayah).
3. Wilayatul Hisbah
Wilayatul Hisbah adalah sebuah lembaga pengawasan pelaksanaan Syariat Islam di
provinsi Aceh. Keberadaan lembaga ini telah dicantumkan di dalam beberapa
qanun, pertama sekali dalam PERDA Nomor 5 Tahun 2000. Wilayatul Hisbah
bertugas utama melakukan sosialisasi, pengawasan dan pembinaan, sehingga
masyarakat akan merasa diberitahu, diingatkan bahkan mendapat bimbingan.
Wilayatul Hisbah ini selalu melaksanakan tugasnya dengan baik dengan berpatroli
pada pagi hingga malam hari.Tujuan dilakukannya patroli ini adalah untuk
mencegah pemuda dan pemudi di Kota Banda Aceh untuk melakukan perbuatan
maksiat.
Wilayatul Hisbah juga melakukan razia dijalan dan memberhentikan pengendara
sepeda motor yang dikendarai oleh wanita yang menggunakan celana ketat, baju
ketat, dan tidak menggunakan jilbab. Keberadaan lembaga ini telah dicantumkan di
dalam beberapaqanun, pertama sekalidalam PERDA Nomor 5 Tahun 2000, dalam
pasal 20 yang berbunyi: (1) Pemerintah Daerah berkewajiban membentuk badan
yang berwenang mengontrol (Wilayatul Hisbah) pelaksanaan ketentuan dalam
peraturan daerah ini sehingga dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.
Keberadaan Wilayatul Hisbah diatur dengan qanun serta keputusan gubernur yang
telah memberikan wewenang penuh kepada aparatur penegak syariat ini untuk
melaksanakan seluruh proses pengawalan secara penuh dan tanpa ragu ragu.
Gubernur, Bupati/Walikota dan Camat di Aceh, sebagaimana entitas administratif
lainnya di Indonesia, dapat membentuk Satpol PP untuk menegakkan peraturan
terkait dengan “Ketertiban publik dan ketentraman masyarakat”9. UU No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) secara khusus memberi
wewenang kepada Pemerintah Daerah Aceh untuk membentuk unit WH yang
bertanggung jawab menerapkan hukum Syariah sebagai bagian dari Satpol PP.
Petugas-petugas Satpol PP lainnya sesekali mengadakan patroli dan operasi
bersama dengan rekan-rekannya di WH. Semua petugas WH memiliki wewenang
10
untuk “Menegur dan menasihati, memperingatkan, dan memberikan bimbingan
moral” kepada orang-orang yang mereka curigai melanggar hukum Syariah di
Aceh, memberitahu pihak berwenang yang sesuai tentang kemungkinan adanya
pelanggaran hukum Syariah, dan memfasilitasi penyelesaian pelanggaran Syariah
melalui tata cara atau hukum adat.
Petugas WH yang telah diangkat sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
memiliki wewenang tambahan, yaitu menangkap dan menahan orangorang yang
dituduh melakukan pelanggaran Syariah tertentu, hingga 24 jam dan mengadakan
penyelidikan seperti layaknya polisi atas dugaan pelanggaran Syariah, termasuk
mendapatkan testimoni dari saksi mata dan memerintahkan pemeriksaan medis.
Keputusan Gubernur No. 1 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata
Kerja Wilayatul Hisbah, yang secara resmi membentuk WH, mengatur peran WH
sebagai sumber panduan dan nasihat spiritual bagi masyarakat Aceh. Qanun Nomor
12 Tahun 2003 yang mengatur tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya,
memberikan wewenang kepada WH untuk memberi peringatan dan pembinaan
terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkan laporannya kepada penyidik.
Perda ini tidak memberikan wewenang kepada petugas WH untuk menangkap
tersangka, melainkan menyerahkan mereka kepada Kepolisian Daerah (Polda) atau
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) jika perilaku mereka tidak berubah.
4. Majelis Permusyawaran Ulama
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) merupakan lembaga independen, setaraf
dengan lembaga eksekutif, legislatif dan institusi lainnya.2 Hasil musyawarah
ulama se-Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 5 Rabiul Akhir 1422 H atau
dengan 27 Juni 2001 M di Banda Aceh merupakan awal lahirnya institusi ini.
Hingga saat penelitian ini dijalankan, MPU sudah memiliki 23 cabang di
Kabupaten/ Kota dalam lingkungan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.2
Ditinjau dari aspek hukum, pendirian lembaga ini berdasarkan atas perlaksanaan
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan di
Provinsi 1 M. Hasbi Amiruddin, “Ulama dan Tanggung Jawabnya pada
Pembangunan Politik Aceh”, Tim Penyusun Dinas Syariat Islam Aceh, HiMpunan
Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubenur
Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh,
Daerah Istimewa Aceh.3 Menurut Undang-Undang tersebut, MPU diharapkan
menjadi sebuah wadah pemuafakatan para ulama yang menyeru dan membimbing
11
masyarakat sesuai dengan pelaksanaan Syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh,
serta memberikan nasehat atau fatwa yang berkaitan dengan
permasalahanpermasalahan keagamaan dan kemasyarakatan baik kepada
pemerintah Aceh maupun masyarakat.
C. Perkembangan Qanun di Aceh
Mengkaji Aceh dari segi hukum pidana menjadi penting. Salah satu argumentasi
pentingnya kajian tersebut dikarenakan penerapan hukum pidana di Aceh didasarkan
pada pandangan ideologis keagamaan masyarakatnya, yakni agama Islam. Selanjutnya,
pengungkapan istilah syariat Islam ditemukan dalam UU No. 44 tahun1999 tentang
Keistimewaan Aceh pasal 3 dan 4 yang secara jelas menyatakan bahwa apa yang telah
didapatkan oleh Aceh merupakan suatu pengakuan Pemerintah Pusat. Juga, kehidupan
keagamaan menjadi bagian penting dalam sosialita masyarakat. Tegasnya, pengaturan
masalah akan ditetapkan melalui qanun. Hal ini merupakan perintah negara atau UU
yang mewadahi keinginan masyarakat. syariat Islam di Aceh adalah ajaran Islam yang
telah diatur dengan Qanun. Ruang lingkup pelaksanaan syariat Islam secara jelas
dinyatakan dalam Qanun No. 5 tahun 2000.13q
Kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(UUPA), kewenangan Aceh dalam melaksanakan keistimewaannya di bidang syariah
termasuk jinayat (hukum pidana Islam). UU tersebut menjadi landasan juridis peraturan
pidana Islam di Aceh yang lumrah disebut dengan Qanun Jinayat, lahir pada 2014
silam. Qanun Jinayat Aceh merupakan produk hukum yang sah dan diakui di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Qanun sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-
undangan di Indonesia bukanlah barang baru. Khususnya di Aceh, Qanun sudah dikenal
sejak lama. Salah satu naskah yang dapat dirujuk adalah tulisan dari Tengku di Mulek
pada tahun 1257 yang berjudul Qanun Syara’ Kerajaan Aceh.18 Al Yasa’ Abu Bakar.
Menurut Liaw Yock Fang istilah Qanun semakna dengan adat dan biasa digunakan
untuk membedakan antara hukum yang tertuang di dalam fikih dan hukum yang tertera
dalam adat.19 Untuk konteks sekarang dan khusus di Aceh, Qanun berdasarkan
UUPAnya adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang
mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan kehidupan masyarakat

13
Anggriani Jum, ‘Kedudukan Qanun Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Dan Pengawasannya’, Jurnal Hukum,
Vol. 18 No (2011).

12
Aceh. Qanun21 pada level negara biasanya setara dengan Undang-Undang. Secara
bahasa, Qanun memang berarti Undang-Undang.
Menurut Jasser Audah, Qanun merupakan hukum positif yang dikonstruksi dari fikih
dan ‘urf. Istilah Qanun biasanya sering dipandang sinonim dengan terma syariah
(syariah), fikih (fiqh), dan adat istiadat (‘urf).
Menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, kedudukan Qanun Jinayat Aceh
berada pada posisi keenam atau selevel dengan Peraturan Daerah Provinsi. Artinya,
Qanun Jinayat Aceh selevel dengan Perda di daerah lain sebagaimana telah disinggung
di awal. Di atas Qanun ada Perpres, PP, UU/Perppu, TAP MPR, dan terakhir UUD
1945. Jadi, Qanun, selain merupakan Perda Provinsi Aceh, ia juga merupakan bagian
dari syariat Islam yang dilegislasi dalam bentuk Qanun oleh DPRA dan disetujui oleh
Gubernur Aceh.
Qanun Jinayat Aceh juga merupakan bagian dari sistem perundang-undangan Indonesia
yang diakui melalui UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Qanun Jinayat itu sendiri awalnya merupakan Qanun yang
terpisah-pisah.
1. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’ah Islam bidang’
Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam
2. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar dan sejenisnya.
3. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maisir (judi).
4. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (mesum).
5. Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat, juga terdapat
beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai jarimah (tindak pidana) yang menjadi
kewenangan Mahkamah Syar’iyah mengadilinya. Perbuatan dimaksud adalah sebagai
berikut:
a) Tidak membayar zakat setelah jatuh tempo.
b) Membayar zakat tidak menurut yang sebenarnya
c) Memalsukan surat Baitul Mal;
d) Melakukan penggelapan zakat atau harta agama lainnya;
e) Petugas Baitul Mal yang menyalurkan zakat secara tidak sah.Kini, semua jenis
jarîmah dan ‘uqûbâtnya dikodifikasi ke dalam satu Qanun, bahkan bertambah27 secara
signifikan jarîmah dan ‘uqubatnya.28 Pasal 3 Ayat 2 Qanun Jinayat Aceh menyebutkan
bahwa Qanun ini hanya mengatur 10 jenis jarîmah (delik) dengan variannya masing-
masing. Kesepuluh jarîmah atau tindak pidana itu adalah: khamr; maisir; khalwat;
13
ikhtilâth; zina; pelecehan seksual; pemerkosaan; qadzaf; liwath; dan musâhaqah.
Khalwat, pelecehan seksual, (khamr) minuman keras, (maisir) judi, dan pemerkosaan
memiliki kesamaan dengan KUHP. Perbedaannya lebih kepada jenis dan bentuk sanksi
saja.
Jika dilihat dari hierarki dan klasifikasi sanksi, maka Qanun Jinayat Aceh menetapkan
sanksi sebagai berikut.30 Pertama, hudûd. Hudûd berbentuk cambuk dan merupakan
hukuman pokok. Hukuman tambahan tidak mengenal istilah hudûd. Hudûd dalam
Qanun Jinayat Aceh dan ilmu hukum pidana Islam (fiqh jinâyat) dipandang sebagai
sanksi terberat dan serius. Perbuatan yang diancam dengan hukuman ini tergolong ke
dalam serious crime yang harus ditangani secara serius pula.
Kedua, ta‘zîr. Pemahaman tentang ‘uqûbât ta‘zîr dibagi dua, yaitu ‘uqûbât ta‘zîr utama
dan ‘uqûbât ta‘zîr tambahan. Untuk ‘uqûbât ta’zîr utama terdiri dari cambuk, denda,
penjara, dan restitusi. Sedangkan‘uqûbât ta’zîr tambahan terdiri dari pembinaan oleh
negara, restitusi oleh orang tua/wali, pengembalian kepada orang tua/wali, pemutusan
perkawinan, pencabutan izin dan pencabutan hak, perampasan barang-barang tertentu,
dan kerja sosial.
Qanun atau hukum jinayat di Aceh tidak bisa dilepaskan dari Qanun Aceh Nomor 7
Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat dan Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014
tentang Hukum Jinayat. Qanun Hukum Jinayat Aceh merupakan bagian dari Qanun
Aceh yang substansinya berisikan tentang jarîmah (delik/tindak pidana) dan ‘uqûbât
(pidana, sanksi, atau hukuman). Dengan begitu, Qanun Acara Jinayat atau Hukum
Acara Jinayat merupakan Qanun Aceh yang isinya berbicara tentang bagaimana
menegakkan hukum jinayat atau Qanun Jinayat, yaitu Qanun yang substansinya
berbicara berkenaan dengan kebenaran materil dari suatu perkara jinayat.14

14
Khamami.

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses pemberlakuan syariat Islam di Aceh bukanlah suatu proses yang genuine dan
alamiah, tapi lebih merupakan suatu move dan kebijakan politik dalam rangka
mencegah Aceh dari upaya pemisahannya dari NKRI. Penerapan syariat Islamya
pada tahap ini, yakni untuk meminimalisir ketidakpuasan Aceh terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintah pusat, dan lebih merupakan political, langkah politik darurat,
untuk menyelamatkan Aceh dalam pangkuan republik, yang bertujuan untuk
mendatangkan kenyamanan psikologis bagi masyarakat Aceh. Kedua; gagasan atau
tujuan dari rakyat Aceh. Artinya bahwa pemberlakuan syariat Islam di Aceh
merupakan cita-cita dan hasrat yang sudah lama terpendam sejak zaman DI/TII
yang dipimpin oleh Teuku Muhammad Daud Beureueh.
Berdasarkan analisis dengan menggunakan optik teori sistem terhadap pelaksanaan
syariat Islam di Aceh dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan dan pelaksanaan
syariat Islam di Aceh masih berada dalam kerangka sistem hukum nasional
Indonesia. Dengan demikian, kedudukan syariat Islam di Aceh beserta undang
undang atau peraturan yang mendasarinya merupakan bahagian dari sistem hukum
nasional Republik Indonesia.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abidin Nurdin, ‘Revitalisasi Kearifan Lokal Di Aceh: Peran Budaya Dalam Menyelesaikan
Konflik Masyarakat’, Anlisis, Vol. 13 No (2013)

Hamka Haq, Syariat Islam Dan Wacana Penerapannya, Cetakan 1 (Ujung Pandang: Yayasan
al-Ahkam, 2001)

Hasnil Basri Siregar, ‘Lessons Learned From The Implementation Of Islamic Shari’ah
Criminal Law In Aceh, Indonesia’, Journal of Law and Religion, Vol. 24, N (2009)

Jum, Anggriani, ‘Kedudukan Qanun Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Dan


Pengawasannya’, Jurnal Hukum, Vol. 18 No (2011)

Khamami, Pemberlakuan Hukum Jinayat Di Aceh Dan Kelantan (Tangerang Selatan: LSIP,
2014)

Mawardi, Umar, dan al-Chaidar, Darul Islam Aceh: Pembrontakan Atau Pahlawan?, Kedua
(Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Pemprov NAD, 2006)

Misran, ‘Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh: Analisis Kajian Sosiologi Hukum’, Legitimasi,
Vol 11, No (2012)

Ti Aisyah, Subhani dan Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik


Pembrontakan Regional Di Indonesia 1953-1964 (Lhokseumawe: Unimal Pers, 2008)

Yusni Saby, Apa Pentingnya Studi Aceh, Dalam M. Jakfar Puteh, Sistem Sosial Budaya Dan
Adat Masyarakat Aceh (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2012)

16

Anda mungkin juga menyukai