OLEH:
KELOMPOK 5
Andong Guntur Maulana (1903101010246)
Muhammad Rausyan Fikra (1903101010343)
Nurul Fatia (1903101010025)
Keberadaan Lembaga Wali Nanggroe sebagai salah satu lembaga yang mengoordinasi
lembaga adat di Aceh sebagai bentuk penguatan kearifan lokal. Keberadaan Wali Nanggroe
diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dimana
lembaga ini dimaksudkan sebagai simbol pemersatu rakyat Aceh. Lahirnya lembaga ini tidak
lepas dari faktor kesejarahan Aceh, sehingga tulisan ini akan membahas sejarah lahirnya
lembaga wali nanggroe, peran dan posisi lembaga tersebut dalam konteks NKRI dan penguat
kearifan lokal Aceh. Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan
undang-undang (statue approach) yaitu dilakukan dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur
mengenai Lembaga Wali Nangroe.
ABSTRACT
The existence of the Wali Nanggroe Institute as one of the institutions that
coordinates traditional institutions in Aceh as a form of strengthening local wisdom. The
existence of Wali Nanggroe is regulated in Law No. 11 of 2006 concerning the Government
of Aceh where this institution is intended as a symbol of unifying the people of Aceh. The
birth of this institution cannot be separated from Aceh's historical factors, so this paper will
discuss the history of the birth of the wali nanggroe institution, the role and position of this
institution in the context of the Republic of Indonesia and strengthening Acehnese local
wisdom. This writing is done using the statute approach method (statue approach), which is
carried out with the provisions governing the Wali Nangroe Institution.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Aceh merupakan sebuah provinsi yang terletak di ujung barat wilayah Republik
Indonesia dengan penduduk sebagian besar beragama Islam dan daerah yang memperkuat
peraturan Islam atau yang disebut syariat Islam dalam menjalankan roda pemerintahan, dari
kekentalan peradaban masyarakat tersebut khususnya berkaitan dengan agama menjadikan
salah satu bukti bahwa Aceh merupakan salah satu daerah sangat unik dan berbeda dengan
daerah-daerah lain di Indonesia maupun di Negara-negara lain di Dunia.
Setelah melewati berbagai perjuangan panjang dari masa kerajaan sampai pada masa
perang melawan kolonial Belanda, dari masa setelah kemerdekaan sampai pemberontakan
DI/TII, dan dilanjutkan dengan pemberontakan GAM yang menuntut kemerdekaan dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). Namun, pada tanggal 26 Desember 2004
terjadi Gempa dan Tsunami yang memaksa GAM untuk menandatangani kesepakatan damai
pada tahun 2005 di ibu kota Finlandia, Helsinki. Yang kemudian bernama MoU Helsinki.
Aceh diberikan otonomi Khusus dalam hal Agama, Pendidikan, dan Adat Istiadat yang
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Salah satu hal yang di atur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh yang berkaitan dengan adat istiadat serta kearifan-kearifan lokal yang ada
di Aceh adalah dengan adanya Lembaga Wali Nanggroe, terbentuknya Lembaga Wali
Nanggroe ini bertujuan untuk mengatur adat dan kepemimpinan adat. Lembaga ini
mempunyai sejarah yang sangat panjang karena lembaga ini ada sejak masa kesultanan Aceh.
2. Rumusan Masalah
1
www.katibulwali.acehprov.go.id
2
Al Chaidar dkk, Aceh Bersimbah Darah, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998).
3
Penjelasan UUPA
4
Abdullah, M. Adli. “Kedudukan Wali Nanggoroe Setelah Lahirna Undang-Undang Pemerintah Aceh.” Kanun
Jurnal Ilmu Hukum. Volume 18. No. 2, Agustustus 2016.
B. Sejarah Lahirnya Lembaga Wali Nanggroe
Setelah Belanda mengalami kekalahan pada masa itu, maka pihak Belanda membuat
ekspedisi yang kedua pada tanggal 25 Desember 1873 yang dipimpin oleh Jenderal Jan
van Swieten, sedangkan pihak Aceh dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah. Saat itu,
pasukan Aceh di benteng Kuta Radja dikalahkan oleh pasukan Belanda. Pada tanggal 28
Januari 1874, ketua Majelis tuha Peut Kerajaan Aceh Tuwanku Muhammad Raja
Keumala mengambil keputusan bahwa : “dalam keadaan huru hara/perang kafir, maka
untuk mempersatukan kita semua mengambil keputusan bahwa kekuasaan adat, hukum,
reusam di bawah pimpinan tertinggi maka diangkatlah : Al-Mutabbir, Al-Malik, Al-
Mukarram (Wali Nanggroe) Tengku Tjik Di tiro Muhammad Saman bin Abdullah”.
Tengku Tjik Di Tiro Muhammad Saman memimpin perang selama 17 tahun, hingga
pada tanggal 29 Desember 1891 beliau diracun di Kuta Aneuk Galong yang merupakan
Benteng Aceh pada masa itu. Pada tanggal 31 Desember 1891, pada pukul 5 sore di
benteng Aneuk Galong, pasukan laki-laki duduk beriringan di sebelah kiri Tgk Tjik Di
Tiro dan sebelah kanannya pasukan wanita juga duduk beriringan.
Wasiat paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Tengku Tjik Di Tiro Muhammad Saman
bin Abdullah, yaitu:
Tgk Tjik Di Tiro Muhammad Saman bin Abdullah berpesan : “jangan kamu hidup
kalau tidak perangi kafir dan jangan kamu mati kalau bukan mati syahid, adakah
kamu semua mendengarkannya ?” ; “samiek na wa ath’ak na (kami dengar dan kami
taat)” jawab pasukan laki-laki.
Pada tanggal 1 Januari 1892, Tengku Tjik Di Tiro Muhammad Amin bin
Muhammad Saman diangkat menjadi Wali Nanggroe ke-2 dan beliau syahid pada
tahun 1896 di Kuta Aneuk Galong atas pengkhianatan oleh Teuku Umar Johan
Pahlawan. Selanjutnya, Tgk Tjik DI Tiro Abdussalam bin Muhammad Saman
diangkat menjadi Wali Nanggroe yang ke-3 dan beliau syahid pada tahun 1898, yang
digantikan oleh Tgk Tjik Di Tiro Sulaiman bin Muhammad Saman yang diangkat
menjadi Wali Nanggroe ke-4, beliau syahid pada tahun 1902.
Pada tahun 1902, Tgk Tjik Di Tiro Ubaidillah bin Muhammad Saman
diangkat menjadi Wali Nanggroe ke-5. Tidak lama berkuasa, beliau pun syahid pada
tahun 1905. Pada tahun 1905, Tgk Tjik Di Tiro Mahyiddin bin Muhammad Saman
diangkat menjadi Wali Nanggroe ke-6 dan beliau syahid pada tanggal 11 Desember
1910. Pemangku sementara Wali Nanggroe adalah Tgk Tjik Ulhee Tutue alias Tjik Di
Tiro Di Garot Muhammad Hasan, yang syahid pada tannggal 3 Juni 1911.
Wali Nanggroe Tgk Tjik Di Tiro Muaz bin Muhammad Amin, pada tanggal 4
Juni 1911 terjadi perang Alue Bout. Pasukan Belanda dipimpin oleh Kapten Smith
dan pasukan Aceh dipimpin oleh Tgk Tjik Di Tiro Muaz bin Muhammad Amin.
Kapten Smith menyerang 44 pasukan Tentara Negara Aceh dimana Tgk Tjik Di Tiro
Muaz terdapat di dalam pasukan tersebut. Putra mahkota pantang menyerah dan
akhirnya syahid bersama pasukannya. Kapten Smith menyatakan ; “saya bangga
sekali dapat membunuh putra mahkota Aceh, akan tetapi saya sangat malu sebab
beliau pantang menyerah dan masih berusia muda belia”. Pada tanggal 3 Desember
1911, Wali Nanggroe Tgk Tjik DI Tiro Muaz bin Muhammad Amin Syahid, pihak
Belanda mengambil Surat Wali Nanggroe di dalam kupiah (tengkulok). Lalu, surat
tersebut dibawa ke Belanda dan disimpan di Museum Bronbeek Belanda.
Pada tahun 1968, surat tersebut diambil kembali oleh Tgk Hasan Muhammad
Di Tiro yang diserahkan oleh Ratu Belanda (bernama Ratu Beatrix) kepada beliau.
Pada tahun 1971, Tgk Hasan Muhammad Di Tiro pulang ke Aceh setelah 25 tahun
merantau ke beberapa negara. Kemudian, Tgk Hasan Muhammas Di Tiro
menyerahkan surat tersebut kepada Tgk Tjik Di Tiro Umar bin Mahyiddin, dan pada
saat itulah Tgk Hasan Muhammad Di Tiro disahkan dan diangkat menjadi Wali
Nanggroe.
Pada tahun 1974, Tgk Muhammad Di Tiro pulang untuk kedua kalinya ke
Aceh dan bermusyawarah dengan pemuka agama dan mantan pejuang DI/TII. Dari
hasil musyawarah tersebut, maka pada tanggal 4 Desember 1976, dinyatakan
Deklarasi Kerajaan Sambungan, yang melahirkan perjuangan kemerdekaan Aceh.
Pengesahan Qanun Wali Nanggroe juga dikuatkan oleh asas-asas hukum yang
diterima secara universal yaitu: (1) asas lex specialis derogate legi generale (ketentuan
hukum yang khusus diutamakan daripada ketentuan hukum yang umum); (2) asas
pacta sunt servanda(asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi
kontrak/perjanjian yang dibuat oleh para pihak dengan itikad baik atau good faith).
Pemimpin lembaga dikenal dengan nama Wali Nanggroe dengan laqab atau
gelar Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik. Laqab tersebut berdasarkan
peralihan perangkat kerajaan Aceh. Pada 16 Desember 2013 Paduka Yang Mulia
Teungku Malik Mahmud Al-Haytar dilantik sebagai Wali Nanggroe Aceh ke-9.
C. Posisi Lembaga Wali Nanggroe dalam Konteks NKRI dan Lembaga Penguat
Kearifan Lokal Aceh
Wali Nanggroe lebih tepat diletakkan dalam satu institusi independen yang
berfungsi sebagai pelindung, pengayom, dan penjaga adat budaya serta menjadi
simbol penyatu masyarakat Aceh. Tidak seperti ditentukan pada dua UU yang
mengatur tentang Wali Nanggroe, kewenangan yang diberikan kepada institusi ini
seharusnya juga mencakup tentang pemerintahan dan politik, meskipun minim.
Dalam kedudukan dan fungsinya itu, Wali Nanggroe memiliki kewenangan,
pertama, dalam bidang adat istiadat dan syariat (ajaran) Islam yang meliputi:
membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat
istiadat, pemberian gelar kehormatan dan derajat adat serta upacara-upacara adat
Aceh dan dalam hal syari’at (ajaran) Islam di Aceh. Kedua, dalam bidang politik dan
pemerintahan, meliputi: memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada
Pemerintahan Aceh dalam menetapkan kebijakan terkait adat istiadat, syariat Islam,
pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan;
kewenangan untuk mengontrol Pemerintahan Aceh dalam penyelenggaraan
pemerintahan, memberi teguran serta peringatan kepada pemerintahan; dan
menyelesaikan konflik kelembagaan antara eksekutif dan legislatif serta konflik antar
lembaga adat yang berdasar pada asas musyawarah.5
Bagi masyarakat Aceh yang menganut agama Islam, maka agama, budaya,
dan kearifan lokalnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
kesehariannya. Semboyan Adat ngon hukom lagee zat ngon sifeuet merupakan
cerminan bahwa bagi masyarakat Aceh adat-budaya, termasuk di dalamnya kearifan
lokal dan hukum-Syariat Islam adalah satu, seperti zat dan sifat, tidak dapat
dipisahkan dan berlaku bolak-balik. Hal ini disebabkan karena sesungguhnya budaya
Aceh pada dasarnya berazaskan hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan
Hadits.
5
https ://dspace.uii.ac.id/handle/12345679/8937
6
Drs. Nurdin AR, M.Hum
sebagai daerah istimewa. Lembaga wali nangroe yang dipimpin oleh Teuku Malik
Mamud merupakan hasil dari keistimewaan Aceh. Posisi lembaga kehormatan adat
menjadikan lembaga wali nanggroe memiliki peran yang sangat kuat dalam proses
pembangunan politik di Aceh. Sehingga dengan posisisi adat inilah lembaga wali
nanggroe dapat berperan penting dalam proses pembangunan politik di Aceh.7
Lembaga Wali Nanggroe adalah konsep baru yang dapat mempersatukan suku-
suku di Aceh jika diakomodir dan dijalankan dengan baik. Namun, lembaga ini belum
mampu menjawab masalah-masalah dalam masyarakat Aceh. Selain itu, kewenangan
lembaga tersebut melampaui apa yang diamanahkan UUPA sendiri.Peran dan fungsi
yang ditentukan dalam QLWN dimana Wali Nanggroe boleh memberikan pendapat
terhadap kebijakan yang dibuat oleh Gubernur dan DPRA menunjukkan bahwa posisi
Wali Nanggroe bisa jadi sejajar atau bahkan lebih tinggi dari Gubernur dan DPRA.
Dalam pasal 96 ayat (1) BAB XII Undang-Undang Pemerintah Aceh sangat
jelas diatur mengenai hal ini dengan menyebutkan bahwa:“Lembaga Wali Nanggroe
adalah kepemimpinan adat, merupakan pemersatu masyarakat yang independen,
berwibawa, dan berwenang, membina, dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan
lembaga adat, adat-istiadat, dan pemberian gelar, derajat, dan upacara-upacara adat
lainnya”. Semua yang diatur dalam pasal tersebut menyangkut tugasnya sebagai
lembaga adat yang mengurusi urusan adat.
Kesimpulan
Lembaga wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu
masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya di Aceh yang termasuk di
dalamnya adalah kearifan-kearifan lokal yang ada di dalam kehidupan masyarakat
Aceh yang berazaskan Hukum Islam . Dengan kedudukannnya tersebut LembagaWali
8
Taqwaddin,2013;26
Nanggroe ini dapat menguatkan kearifan lokal yang ada di Aceh yang sekarangSudah
ada beberapa yang mulai di tinggalkan.
Saran
Secara pengaturannya Lembaga Wali Nanggroe tujuannya sudah sangat bagus akan
tetapi di dalam implementasinya masih terdapat beberapa kekurangan. Saran dari
kami Lembaga Wali Nanggroe dapat menjalankan tugas dan wewenangnya seperti
yang diatur di dalam Undang-Undang maupun Qanun yaitu dapat merangkum seluruh
lembaga-lembaga adat yang ada di bawahnya untuk melakukan penguatan dan tetap
mempertahankan tradisi-tradisi dan kearifan-kearifan lokal di wilayah adatnya
masing-masing agar tradisi-tradisi dan kearifan-kearifan lokal tersebut tidak sampai
ditinggalkan dan akan hilang untuk selama-lamanya. Ada sebuah kutipan “Matee
aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita” (Mati anak ada kuburan, hilang adat
dimana kita cari).
DAFTAR PUSTAKA
Haikal Ghulsyani. 2017. Peran Wali Nanggroe Dalam Pembangunan Politik di Aceh
[skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara
https://eproceeding.undiksha.ac.id/index.php/senari/article/download/339/230.
Diakses pada April 2021