Anda di halaman 1dari 14

PAPER

PENGARUH LEMBAGA WALI NANGGROE TERHADAP


PENGUATAN KEARIFAN LOKAL DI ACEH

Tugas Mata Kuliah Hukum Pemerintah Daerah Kelas 04

OLEH:
KELOMPOK 5
Andong Guntur Maulana (1903101010246)
Muhammad Rausyan Fikra (1903101010343)
Nurul Fatia (1903101010025)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
TAHUN AJARAN 2021
ABSTRAK

Keberadaan Lembaga Wali Nanggroe sebagai salah satu lembaga yang mengoordinasi
lembaga adat di Aceh sebagai bentuk penguatan kearifan lokal. Keberadaan Wali Nanggroe
diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dimana
lembaga ini dimaksudkan sebagai simbol pemersatu rakyat Aceh. Lahirnya lembaga ini tidak
lepas dari faktor kesejarahan Aceh, sehingga tulisan ini akan membahas sejarah lahirnya
lembaga wali nanggroe, peran dan posisi lembaga tersebut dalam konteks NKRI dan penguat
kearifan lokal Aceh. Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan
undang-undang (statue approach) yaitu dilakukan dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur
mengenai Lembaga Wali Nangroe.

ABSTRACT
The existence of the Wali Nanggroe Institute as one of the institutions that
coordinates traditional institutions in Aceh as a form of strengthening local wisdom. The
existence of Wali Nanggroe is regulated in Law No. 11 of 2006 concerning the Government
of Aceh where this institution is intended as a symbol of unifying the people of Aceh. The
birth of this institution cannot be separated from Aceh's historical factors, so this paper will
discuss the history of the birth of the wali nanggroe institution, the role and position of this
institution in the context of the Republic of Indonesia and strengthening Acehnese local
wisdom. This writing is done using the statute approach method (statue approach), which is
carried out with the provisions governing the Wali Nangroe Institution.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Aceh merupakan sebuah provinsi yang terletak di ujung barat wilayah Republik
Indonesia dengan penduduk sebagian besar beragama Islam dan daerah yang memperkuat
peraturan Islam atau yang disebut syariat Islam dalam menjalankan roda pemerintahan, dari
kekentalan peradaban masyarakat tersebut khususnya berkaitan dengan agama menjadikan
salah satu bukti bahwa Aceh merupakan salah satu daerah sangat unik dan berbeda dengan
daerah-daerah lain di Indonesia maupun di Negara-negara lain di Dunia.

Setelah melewati berbagai perjuangan panjang dari masa kerajaan sampai pada masa
perang melawan kolonial Belanda, dari masa setelah kemerdekaan sampai pemberontakan
DI/TII, dan dilanjutkan dengan pemberontakan GAM yang menuntut kemerdekaan dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). Namun, pada tanggal 26 Desember 2004
terjadi Gempa dan Tsunami yang memaksa GAM untuk menandatangani kesepakatan damai
pada tahun 2005 di ibu kota Finlandia, Helsinki. Yang kemudian bernama MoU Helsinki.
Aceh diberikan otonomi Khusus dalam hal Agama, Pendidikan, dan Adat Istiadat yang
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Salah satu hal yang di atur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh yang berkaitan dengan adat istiadat serta kearifan-kearifan lokal yang ada
di Aceh adalah dengan adanya Lembaga Wali Nanggroe, terbentuknya Lembaga Wali
Nanggroe ini bertujuan untuk mengatur adat dan kepemimpinan adat. Lembaga ini
mempunyai sejarah yang sangat panjang karena lembaga ini ada sejak masa kesultanan Aceh.

2. Rumusan Masalah

1. Apa itu Lembaga Wali Nanggroe?


2. Bagaimana sejarah terbentuknya Lembaga Wali Nanggroe?
3. Bagaimana posisi Lembaga Wali Nanggroe dalam konteks NKRI ?
4. Apa saja Kearifan lokal yang ada di Aceh?
5. Bagaimana peran Lembaga Wali Nanggroe ?
6. Bagaimana hubungan Lembaga Wali Nanggore dengan penguatan kearifan lokal di
Aceh ?
PEMBAHASAN

A. Pengertian Lembaga Wali Nanggroe

Pasal 1 angka (17) UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa


Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu
masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya. Lembaga wali nanggroe
merupakan sebuah lembaga yang mengatur kepemimpinan adat di Aceh. Lembaga ini
bertindak sebagai pemersatu masyarakat Aceh dibawah prinsip-prinsip yang independen.
Lembaga wali nanggroe juga memangku kewibawaan dan kewenangan dalam membina
serta mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, upacara-upacara
adat, serta melaksanakan penganugerahan gelar/derajat kehormatan. Lembaga Wali
Nanggroe adalah satu bentuk kekhususan Aceh sebagai amanah dari kesepakatan damai
(MoU Helsinki) kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh serta pasal 96 ayat (4) dan Pasal 97 tentang Wali Nanggroe,
yang ketentuan lebih lanjutnya diatur oleh qanun.1

Untuk mengetahui persis lahirnya pengaturan tersebut dalam UU Pemerintahan Aceh,


maka harus dilihat kembali semangat yang terbangun dari proses tersebut. Dalam hal ini,
ada dua hal yang saling berkaitan yang tidak mungkin dipisahkan, yakni penyelesaian
konflik Aceh yang sudah berpuluh tahun terjadi.2 serta terjadinya gempa dan tsunami
pada 26 Desember 2004.3

Semangat lain terkait lahirnya UUPA adalah sebagaimana disebutkan dalam


konsideransnya, yakni mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan bersifat
khusus atau bersifat istimewa, dimana Aceh adalah salah satu daerah yang bersifat khusus
atau istimewa terkait dengan perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan
daya juang yang tinggi yang bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat
Islam. Di samping itu ada kesadaran bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di Aceh belum sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan
serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM sehingga pemerintah Aceh perlu
dikembangkan dan dijalankan dengan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik.4

1
www.katibulwali.acehprov.go.id
2
Al Chaidar dkk, Aceh Bersimbah Darah, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998).
3
Penjelasan UUPA
4
Abdullah, M. Adli. “Kedudukan Wali Nanggoroe Setelah Lahirna Undang-Undang Pemerintah Aceh.” Kanun
Jurnal Ilmu Hukum. Volume 18. No. 2, Agustustus 2016.
B. Sejarah Lahirnya Lembaga Wali Nanggroe

Masyarakat Aceh, amat terkait dengan perkembangan politik, ekonomi, pendidikan


dan sosial budaya, serta hubungan internal dan eksternal masyarakat pada lingkungannya.
Masuknya agama Islam ke Aceh pada abad 13, dimana Sultan Aceh Ali Mughayat Syah,
merupakan sultan pertama yang memberi contoh untuk memeluk agama Islam (1507-
1522), kemudian digantikan oleh anaknya Sultan Salahuddin (1522-1530), telah
membangun dan menanam aspek–aspek kepemimpinan dalam sistem pemerintahan yang
bersifat monarkis sebagai simbol persatuan dan kesatuan monarkis kekhalifahan.

Sistem kepemimpinan monarkis ini yang berkelanjutan, dapat dimaknai sebagai


kesinambungan perwalian sistem pemerintahan (turun temurun), meskipun pada masa
Sultan Iskandar Muda (1607-1636), ada perubahan dengan mengangkatIskandar Tsani
(bukan anaknya) untuk melanjutkan tugas-tugas kesultanan dan perkembangan
selanjutnya pada era pemerintahan ke Sultanan Aceh berakhir, perkembangan sosiologis
dari akhir kepemimpinan masyarakat Aceh, beralih kedalam suasana Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dimana wilayah Aceh menjadi salah satu Provinsi di dalamnya.
Sejarah Aceh menjelaskan bahwa perang Aceh terjadi pada tanggal 26 Maret 1873.
Pasukan Aceh dipimpin oleh Tgk. Tjik DI Tiro MuhammadSaman bin Abdullah dan
pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler. Pasukan Belanda
dapat dikalahkan oleh pasukan Aceh, dan Jenderal Kohler dihukum mati oleh Mahkamah
Kerajaan Aceh.

Setelah Belanda mengalami kekalahan pada masa itu, maka pihak Belanda membuat
ekspedisi yang kedua pada tanggal 25 Desember 1873 yang dipimpin oleh Jenderal Jan
van Swieten, sedangkan pihak Aceh dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah. Saat itu,
pasukan Aceh di benteng Kuta Radja dikalahkan oleh pasukan Belanda. Pada tanggal 28
Januari 1874, ketua Majelis tuha Peut Kerajaan Aceh Tuwanku Muhammad Raja
Keumala mengambil keputusan bahwa : “dalam keadaan huru hara/perang kafir, maka
untuk mempersatukan kita semua mengambil keputusan bahwa kekuasaan adat, hukum,
reusam di bawah pimpinan tertinggi maka diangkatlah : Al-Mutabbir, Al-Malik, Al-
Mukarram (Wali Nanggroe) Tengku Tjik Di tiro Muhammad Saman bin Abdullah”.

Tengku Tjik Di Tiro Muhammad Saman memimpin perang selama 17 tahun, hingga
pada tanggal 29 Desember 1891 beliau diracun di Kuta Aneuk Galong yang merupakan
Benteng Aceh pada masa itu. Pada tanggal 31 Desember 1891, pada pukul 5 sore di
benteng Aneuk Galong, pasukan laki-laki duduk beriringan di sebelah kiri Tgk Tjik Di
Tiro dan sebelah kanannya pasukan wanita juga duduk beriringan.

Wasiat paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Tengku Tjik Di Tiro Muhammad Saman
bin Abdullah, yaitu:

1. Untuk pasukan laki-laki :

Tgk Tjik Di Tiro Muhammad Saman bin Abdullah berpesan : “jangan kamu hidup
kalau tidak perangi kafir dan jangan kamu mati kalau bukan mati syahid, adakah
kamu semua mendengarkannya ?” ; “samiek na wa ath’ak na (kami dengar dan kami
taat)” jawab pasukan laki-laki.

2. Untuk pasukan perempuan :


Tengku Tjik Di Tiro Muhammad Saman bin Abdullah berpesan, hai anak perempuan,
jangan kamu hidup kalau tidak mengerjakan shalat dan jangan kamu mati kalau tidak
dalam iman, adakah kamu semua mendengarkannya ?; samiek na wa ath’ak na (kami
dengan dan kami taat)” jawab pasukan perempuan. Setelah itu , tengku Tjik Di Tiro
mengucapkan dua kalimah syahadat; “laa Ilaaha illallah tujuh kali berulang-ulang”,
beliaupun mangkat.

Pada tanggal 1 Januari 1892, Tengku Tjik Di Tiro Muhammad Amin bin
Muhammad Saman diangkat menjadi Wali Nanggroe ke-2 dan beliau syahid pada
tahun 1896 di Kuta Aneuk Galong atas pengkhianatan oleh Teuku Umar Johan
Pahlawan. Selanjutnya, Tgk Tjik DI Tiro Abdussalam bin Muhammad Saman
diangkat menjadi Wali Nanggroe yang ke-3 dan beliau syahid pada tahun 1898, yang
digantikan oleh Tgk Tjik Di Tiro Sulaiman bin Muhammad Saman yang diangkat
menjadi Wali Nanggroe ke-4, beliau syahid pada tahun 1902.

Pada tahun 1902, Tgk Tjik Di Tiro Ubaidillah bin Muhammad Saman
diangkat menjadi Wali Nanggroe ke-5. Tidak lama berkuasa, beliau pun syahid pada
tahun 1905. Pada tahun 1905, Tgk Tjik Di Tiro Mahyiddin bin Muhammad Saman
diangkat menjadi Wali Nanggroe ke-6 dan beliau syahid pada tanggal 11 Desember
1910. Pemangku sementara Wali Nanggroe adalah Tgk Tjik Ulhee Tutue alias Tjik Di
Tiro Di Garot Muhammad Hasan, yang syahid pada tannggal 3 Juni 1911.

Wali Nanggroe Tgk Tjik Di Tiro Muaz bin Muhammad Amin, pada tanggal 4
Juni 1911 terjadi perang Alue Bout. Pasukan Belanda dipimpin oleh Kapten Smith
dan pasukan Aceh dipimpin oleh Tgk Tjik Di Tiro Muaz bin Muhammad Amin.
Kapten Smith menyerang 44 pasukan Tentara Negara Aceh dimana Tgk Tjik Di Tiro
Muaz terdapat di dalam pasukan tersebut. Putra mahkota pantang menyerah dan
akhirnya syahid bersama pasukannya. Kapten Smith menyatakan ; “saya bangga
sekali dapat membunuh putra mahkota Aceh, akan tetapi saya sangat malu sebab
beliau pantang menyerah dan masih berusia muda belia”. Pada tanggal 3 Desember
1911, Wali Nanggroe Tgk Tjik DI Tiro Muaz bin Muhammad Amin Syahid, pihak
Belanda mengambil Surat Wali Nanggroe di dalam kupiah (tengkulok). Lalu, surat
tersebut dibawa ke Belanda dan disimpan di Museum Bronbeek Belanda.

Pada tahun 1968, surat tersebut diambil kembali oleh Tgk Hasan Muhammad
Di Tiro yang diserahkan oleh Ratu Belanda (bernama Ratu Beatrix) kepada beliau.
Pada tahun 1971, Tgk Hasan Muhammad Di Tiro pulang ke Aceh setelah 25 tahun
merantau ke beberapa negara. Kemudian, Tgk Hasan Muhammas Di Tiro
menyerahkan surat tersebut kepada Tgk Tjik Di Tiro Umar bin Mahyiddin, dan pada
saat itulah Tgk Hasan Muhammad Di Tiro disahkan dan diangkat menjadi Wali
Nanggroe.

Pada tahun 1974, Tgk Muhammad Di Tiro pulang untuk kedua kalinya ke
Aceh dan bermusyawarah dengan pemuka agama dan mantan pejuang DI/TII. Dari
hasil musyawarah tersebut, maka pada tanggal 4 Desember 1976, dinyatakan
Deklarasi Kerajaan Sambungan, yang melahirkan perjuangan kemerdekaan Aceh.

Perubahan tatanan kepemimpinan dari sistem Sultan, kepada sistem negara


nasional, masyarakat Aceh dari aspek sosiologis politik berdampak penggiringan
kepada sistem demokrasi dan pilihan rakyat, meskipun pada saat itu penerapan sistem
ini amat sarat dengan nilai-nilai politik sentralisasi. Hal itu terbukti dengan tidak
pernah dilakukan pemilihan umum, untuk menghasilkan pemimpin yang dipilih oleh
rakyat, baik tingkat nasional maupun Provinsi, Kabupaten dan Kota. Kondisi ini telah
membuat masyarakat Aceh, pada akhirnya kehilangan makna “kepemimpinan Wali
Nanggroe”, baik dari aspek literatur maupun aspek kelanjutan kepemimpinan
kesultanan.

Pasca Mou Helsinki. Lembaga Wali Nanggroe dibentuk sebagai implementasi


salah satu butir Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM
di Helsinki, 15 Agustus 2005 (MoU Helsinki). Dalam angka 1.1.7. MoU Helsinki
disebutkan bahwa di Aceh akan dibentuk Lembaga Wali Nanggroe dengan segala
perangkat upacara dan gelarnya. Menindak lanjuti butir kesepakatan tersebut maka
melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ketentuan
tentang pembentukan Lembaga Wali Nanggroe kelak ditetapkan melalui sebuah
Qanun.

Pengesahan Qanun Wali Nanggroe juga dikuatkan oleh asas-asas hukum yang
diterima secara universal yaitu: (1) asas lex specialis derogate legi generale (ketentuan
hukum yang khusus diutamakan daripada ketentuan hukum yang umum); (2) asas
pacta sunt servanda(asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi
kontrak/perjanjian yang dibuat oleh para pihak dengan itikad baik atau good faith).

Pemimpin lembaga dikenal dengan nama Wali Nanggroe dengan laqab atau
gelar Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik. Laqab tersebut berdasarkan
peralihan perangkat kerajaan Aceh. Pada 16 Desember 2013 Paduka Yang Mulia
Teungku Malik Mahmud Al-Haytar dilantik sebagai Wali Nanggroe Aceh ke-9.

C. Posisi Lembaga Wali Nanggroe dalam Konteks NKRI dan Lembaga Penguat
Kearifan Lokal Aceh

Dalam kerangka keistimewaan Aceh, Lembaga Wali Nanggroe muncul


pertama kali dalam UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Aceh.
Materi tentang Wali Nanggroe dalam UU ini tidak terealisasi hingga rumusan tentang
Wali Nanggroe kembali muncul dalam MoU Helsinki dan diformalisasi oleh UU No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Rumusan tentang Wali Nanggroe dalam
dua UU ini memiliki substansi yang sama, padahal sejak awal substansi yang diingini
anggota GAM ketika proses perundingan di Helsinki sangat jauh berbeda. Hal ini
menjadi titik dasar Raqan Wali Nanggroe yang dirumuskan setelahnya selalu buntu.
Pertama, Raqan tentang Lembaga Wali xv Nanggroe diterbitkan oleh DPR Aceh pada
tahun 2007.

Perdebatan antara legislatif dan eksekutif Aceh terus bergulir mengenai


substansi Raqan tersebut dan tidak mencapai titik temu, hingga pada masa-masa akhir
jabatannya pada tahun 2009, DPR Aceh periode 2004-2009 mengesahkan Raqan
tersebut secara sepihak, namun pihak eksekutif justru menolak dan tidak
mengesahkan Raqan itu menjadi Qanun sehingga tetap tidak dapat direalisasikan.
Hingga kemudian tersebar ke ruang publik Raqan baru tentang Lembaga Wali
Nanggroe pada tahun 2010, wacana Wali Nanggroe kembali bergulir di Aceh dan
mengundang perhatian publik yang lebih besar dari sebelumnya. Sehingga banyak
menua kritik bahkan Kecaman dari berbagai kalangan di Aceh.

Wali Nanggroe lebih tepat diletakkan dalam satu institusi independen yang
berfungsi sebagai pelindung, pengayom, dan penjaga adat budaya serta menjadi
simbol penyatu masyarakat Aceh. Tidak seperti ditentukan pada dua UU yang
mengatur tentang Wali Nanggroe, kewenangan yang diberikan kepada institusi ini
seharusnya juga mencakup tentang pemerintahan dan politik, meskipun minim.
Dalam kedudukan dan fungsinya itu, Wali Nanggroe memiliki kewenangan,
pertama, dalam bidang adat istiadat dan syariat (ajaran) Islam yang meliputi:
membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat
istiadat, pemberian gelar kehormatan dan derajat adat serta upacara-upacara adat
Aceh dan dalam hal syari’at (ajaran) Islam di Aceh. Kedua, dalam bidang politik dan
pemerintahan, meliputi: memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada
Pemerintahan Aceh dalam menetapkan kebijakan terkait adat istiadat, syariat Islam,
pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan;
kewenangan untuk mengontrol Pemerintahan Aceh dalam penyelenggaraan
pemerintahan, memberi teguran serta peringatan kepada pemerintahan; dan
menyelesaikan konflik kelembagaan antara eksekutif dan legislatif serta konflik antar
lembaga adat yang berdasar pada asas musyawarah.5

D. Kearifan Lokal di Aceh

Kearifan lokal (local wisdom) didefinisikan sebagai suatu kebijakan hidup,


pandangan atau cara hidup yang bijak yang diwariskan secara turun temurun dari
generasi ke generasi baik melalui tradisi lisan, seperti pepatah, hadih maja, pribahasa,
ungkapan, dan cerita rakyat, maupun melaui tradisi tulis, seperti manuskrip, dan
benda-benda pakai (etnografika).

Bagi masyarakat Aceh yang menganut agama Islam, maka agama, budaya,
dan kearifan lokalnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
kesehariannya. Semboyan Adat ngon hukom lagee zat ngon sifeuet merupakan
cerminan bahwa bagi masyarakat Aceh adat-budaya, termasuk di dalamnya kearifan
lokal dan hukum-Syariat Islam adalah satu, seperti zat dan sifat, tidak dapat
dipisahkan dan berlaku bolak-balik. Hal ini disebabkan karena sesungguhnya budaya
Aceh pada dasarnya berazaskan hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan
Hadits.

Kearifan lokal masyarakat Aceh mencakup segala aspek kehidupannya, seperti


aspek budaya, politik dan pemerintahan, ekonomi dan mata pencaharian, sosial dan
kemasyarakatan, ibadah dan muamalah, pendidikan, konservasi alam dan lingkungan,
dan lain-lain.6

E. Peran Lembaga Wali Nanggroe

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh


merupakan hasil dari MoU Helsinki yang memuat kesepatakan perdamaian antara
Aceh dengan Pemerintah Republik Indonesia.Kesepakatan itu menjadikan Aceh

5
https ://dspace.uii.ac.id/handle/12345679/8937
6
Drs. Nurdin AR, M.Hum
sebagai daerah istimewa. Lembaga wali nangroe yang dipimpin oleh Teuku Malik
Mamud merupakan hasil dari keistimewaan Aceh. Posisi lembaga kehormatan adat
menjadikan lembaga wali nanggroe memiliki peran yang sangat kuat dalam proses
pembangunan politik di Aceh. Sehingga dengan posisisi adat inilah lembaga wali
nanggroe dapat berperan penting dalam proses pembangunan politik di Aceh.7

Lembaga Wali Nanggroe adalah konsep baru yang dapat mempersatukan suku-
suku di Aceh jika diakomodir dan dijalankan dengan baik. Namun, lembaga ini belum
mampu menjawab masalah-masalah dalam masyarakat Aceh. Selain itu, kewenangan
lembaga tersebut melampaui apa yang diamanahkan UUPA sendiri.Peran dan fungsi
yang ditentukan dalam QLWN dimana Wali Nanggroe boleh memberikan pendapat
terhadap kebijakan yang dibuat oleh Gubernur dan DPRA menunjukkan bahwa posisi
Wali Nanggroe bisa jadi sejajar atau bahkan lebih tinggi dari Gubernur dan DPRA.

F. Hubungan Lembaga Wali Nanggroe dengan Penguatan Kearifan Lokal di Aceh

Dalam pasal 96 ayat (1) BAB XII Undang-Undang Pemerintah Aceh sangat
jelas diatur mengenai hal ini dengan menyebutkan bahwa:“Lembaga Wali Nanggroe
adalah kepemimpinan adat, merupakan pemersatu masyarakat yang independen,
berwibawa, dan berwenang, membina, dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan
lembaga adat, adat-istiadat, dan pemberian gelar, derajat, dan upacara-upacara adat
lainnya”. Semua yang diatur dalam pasal tersebut menyangkut tugasnya sebagai
lembaga adat yang mengurusi urusan adat.

Hubungan Lembaga Wali Nanggroe dengan Kearifan lokal di Aceh


sebagaimana yang disebutkan seperti yang disebutkan dalam pasal 96 Ayat 1 Undang-
Undang No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh bahwa Lembaga Wali
Nanggroe merupakan Kepemimpinan Adat.

Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh adalah


tindak lanjut dari Memorandumo Understanding(MoU) antara Republik Indonesia
dan Gerakan Aceh Merdeka(GAM) di Helsinke tanggal15 Agustus 2005. Pada butir
1.1.7 MoU Helsinke menegaskan bahwa lembaa Wali Nanggaroe akan dibentuk
7
http ://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/17198
dengan segala perangkat upacara dan gelarnya. Ini berarti lembaga inilebih mengarah
kepada lembaga adat dari pada lembaga pemerintahan dan politik.8

Lembaga Wali Nanggroe mempunyai pengaruh untuk mempertahankan


Lembaga-Lembaga Adat di Aceh sebagai bentuk kearifan lokal yang ada di Aceh
seperti yang disebutkan di dalam pasal 98 Ayat 3 Undang-Undang No.11 Tahun 2006
Tentang pemerintahan Aceh adanya Majelis Adat Aceh, Imuem Mukim, Imum chik,
Keuchik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Panglima Laot, Syahbanda, dll. Dan berperan juga
untuk mempertahankan Kearifan lokal kemasyarakatan Aceh seperti Khanduri
Blang/Kenduri Sawah, Khanduri Apam/Kenduri di Bulan Rajab, Khanduri Laot,
Peusijuek, dll.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Lembaga wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu
masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya di Aceh yang termasuk di
dalamnya adalah kearifan-kearifan lokal yang ada di dalam kehidupan masyarakat
Aceh yang berazaskan Hukum Islam . Dengan kedudukannnya tersebut LembagaWali

8
Taqwaddin,2013;26
Nanggroe ini dapat menguatkan kearifan lokal yang ada di Aceh yang sekarangSudah
ada beberapa yang mulai di tinggalkan.

Saran
Secara pengaturannya Lembaga Wali Nanggroe tujuannya sudah sangat bagus akan
tetapi di dalam implementasinya masih terdapat beberapa kekurangan. Saran dari
kami Lembaga Wali Nanggroe dapat menjalankan tugas dan wewenangnya seperti
yang diatur di dalam Undang-Undang maupun Qanun yaitu dapat merangkum seluruh
lembaga-lembaga adat yang ada di bawahnya untuk melakukan penguatan dan tetap
mempertahankan tradisi-tradisi dan kearifan-kearifan lokal di wilayah adatnya
masing-masing agar tradisi-tradisi dan kearifan-kearifan lokal tersebut tidak sampai
ditinggalkan dan akan hilang untuk selama-lamanya. Ada sebuah kutipan “Matee
aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita” (Mati anak ada kuburan, hilang adat
dimana kita cari).

DAFTAR PUSTAKA

Al Chaidar dkk, 1998, Aceh Bersimbah Darah, Pustaka Al Kautsar, Jakarta.

Abdullah, M. Adli. “Kedudukan Wali Nanggoroe Setelah Lahirna Undang-Undang


Pemerintah Aceh.” Kanun Jurnal Ilmu Hukum. Volume 18. No. 2, Agustustus
2016.
Sufriadi. 2012. Wali Nanggroe Dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia
[tesis]. Yogyakarta 9 (ID): Universitas Islam Indonesia.
Drs. Nurdin AR, M.Hum. https://maa.acehprov.go.id/news/detail/beberapa-catatan-
tentang-kearifan-lokal-masyarakat-aceh#:~:text=Kearifan%20lokal
%20diwariskan%20baik%20melalui,benda%2Dbenda%20pakai%20atau
%20etnografika.&text=Kearifan%20lokal%20masyarakat%20Aceh
%20berazaskan,%2C%20hadits%2C%20ijmak%20dan%20qiyas. Diakses pada
April 2021.

Haikal Ghulsyani. 2017. Peran Wali Nanggroe Dalam Pembangunan Politik di Aceh
[skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara

https://eproceeding.undiksha.ac.id/index.php/senari/article/download/339/230.
Diakses pada April 2021

Anda mungkin juga menyukai