Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Aceh adalah Daerah Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat

hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

sesuai dengan peraturan perundang-undagan dalam sistem dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. (UUD

1945, Pasal 18, Ayat 4)

Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah Provinsi sebagai suatu kesatuan

masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

peraturan perundang-undagan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota. (UUD 1945,

Pasal 18, Ayat 4)

Adat adalah aturan perbuatan dan kebiasaan yang telah berlaku dalam

masyarakat yang dijadikan pedoman dalam pergaulan hidup, diwariskan secara

turun temurun dari generasi ke generasi dan juga menjadi landasan hukum bagi

masyarakat itu sendiri. Sementara hukum Adat adalah hukum yang hidup, karena

ia menjelma sebagai perasaan hukum yang nyata dari rakyat, betapapun sederhana

dan kecilnya masyarakat itu, maka hukum itulah yang menjadi cerminnya, karena

1
2

tiap masyarakat, tiap rakyat, mempunyai kebudayaan sendiri, dengan corak dan

sifatnya sendiri.

Adat istiadat adalah merupakan kebiasaan atau tradisi-tradisi yang

dijalankan dalam kebiasaan hidup sehari-hari oleh masyarakat di mana pun,

kebiasaan tersebut menjadi landasan untuk berpijak bagi masyarakat setempat

dalam melakukan sesuatu.

Kebiasaan adalah sikap dan perbuatan yang dilakukan secara berulang

kali untuk hal yang sama, yang hidup dan berkembang serta dilaksanakan oleh

masyarakat. (Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan

Adat dan Adat;)

Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang dibentuk oleh

suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan

mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk

mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat.

Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan

perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-

nilai syariat islam. (Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat)

UUPA dan Lembaga Adat Aceh, Dari berbagai kelebihan yang dimiliki oleh

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, diantaranya

adalah, diakuinya keberadaan lembaga-lembaga adat Aceh secara resmi.

Pencantuman secara tegas lembaga-lembaga adat tersebut di dalam UUPA

merupakan bukti bahwa Pemerintahan Republik Indonesia, disatu sisi mengakui

eksistensi kekayaan budaya Aceh, dan disisi lain merupakan implementasi dari

ketentuan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi “negara mengakui dan
3

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang”.

Dalam Pasal 114 UUPA disebutkan, dalam wilayah kabupaten/kota

dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong. Ketentuan lebih lanjut

mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim diatur dengan qanun

kabupaten/kota. Fakta saat ini, sekalipun UUPA sudah memasuki usianya yang

ketiga, tetapi Qanun Kabupaten tentang Pemerintah Mukim masih minim sekali.

Padahal eksistensi lembaga-lembaga adat tersebut baru akan mendapat ruang

justifikasi dan implementasi jika dikukuhkan dalam Qanun Kabupaten tentang

Pemerintahan Mukim.

Saat ini memang telah ada Qanun Aceh (qanun provinsi) yang mengatur

tentang lembaga-lembaga adat yaitu Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008.

Sebaiknya, materi aturan dalam qanun ini dapat dijadikan pedoman untuk

disesuaikan dengan tugas dan fungsi lembaga-lembaga adat sesuai kekhasan

masing-masing yang akan diatur di dalam Qanun Kabupaten tentang

Pemerintahan Mukim.

Idealnya, eksistensi dan tupoksi lembaga-lembaga adat cukup tampak

kinerja produktifitasnya pada level mukim di setiap kabupaten/kota. Oleh karena

itu, perlu pula pengaturannya pada tingkat kabupaten/kota. Hemat penulis, untuk

tingkat kabupaten/kota, pengaturan mengenai lembaga-lembaga adatnya tidak

usah diatur dengan qanun tersendiri, tetapi dapat diatur sebagai satu kesatuan

dalam Qanun Kabupaten tentang Pemerintahan Mukim. Hal ini dimaksudkan demi

integrasi dan efesiensi pengaturan.


4

Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat

dan Adat Istiadat, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat,

Saat ini, ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, hak dan kewajiban

lembaga adat, pemberdayaan adat dan pembinaan kehidupan adat istiadat, telah

pula dijabarkan dalam dua qanun tersebut.

Mencermati dengan seksama bunyi Pasal 98 ayat (1) dan (2) UUPA, dapat

dipahami seakan-akan keberadaan lembaga-lembaga adat sebagaimana yang

ditegaskan dalam ayat (3) berperan sebagai wahana partisipasi dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota.

Agar masyarakat Aceh mengetahui dan memahaminya, apalagi bagi

kaum muda yang lahir era diatas 1970-an, hampir tidak pernah mengetahui

keberadaan lembaga-lembaga adat.

Partisipasi masyarakat dalam pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat

dapat dilihat dari sikap dan perilaku masyarakat hampir tidak ada yang tidak

didasari pada kaedah-kaedah dan norma-norma agama, seolah-olah hidup dibawah

kehendak “adat” sama atau hampir sama hidup dibawah kendali ajaran Islam.

Hukum adat itu sendiri lahir dari renungan ulama yang kemudian dipraktekkan,

dikembangkan dan dilestarikan lalu disimpulkan menjadi “adat bak poe

teumeureuhoem (pemegang kekuasaan adat/politik ditangan sultan/raja), hukoem

bak syiah kuala (pemegang kekuasaan hukum/Islam ditangan ulama/qadhi malikul

adil), qanun bak putroe phang (pembuat undang-undang adalah menteri

pertahanan) reusam bak laksamana (pemegang reusam/keprotokolan adalah

laksamana/menteri pertahanan), hukom ngoen adat lagee zat ngon siefeut (hukum

dengan adat seperti zat dengan sifat)”. Maksudnya, adat diarahkan oleh sultan
5

Iskandar Muda yang dimasa pemerintahannya kepada pemangku adat, sedangkan

masalah hukum dinisbatkan kepada Syiah Kuala, yaitu seorang ulama besar

dimasanya.

Filsafat itu sendiri pada dasarnya menyebutkan relasi antara adat dan

hukum tak ubahnya seperti zat dan sifat, untuk itu pelaksanaanya telah diatur

dengan qanun. (Badruzzaman Ismail, Penerapan Hukum Adat dan Hubungannya

Dengan Hukum Positif, (Workshop antar pengurus MAA Se-Provinsi Aceh di

Meulaboh, 8 Nopember 2012)

Dari peristilahan di atas (pribahasa ureung Aceh), menjadi cukup jelas

kiranya bahwa hukum adat tidak akan menyimpang atau sejalan dengan hukum

agama (syari’at).

Dalam pelaksanaannya, hukum adat merupakan sumber hukum dan masih

diakui sebagai hukum positif (hukum yang masih berlaku) di Indonesia,

dikarenakan hukum adat dianggap sakral dan merupakan cerminan dari kehidupan

leluhur yang harus dilestarikan dan diterapkan sebagai aturan hukum

bermasyarakat disuatu daerah atau tempat. Oleh karena itu hukum adat atau

aturan lain yang dianggap sah (legal) tidak boleh luput dari asas-asas hukum,

yaitu asas kepastian hukum, asas kemanfaatan dan asas keadilan.

Disamping itu hukum adat tidak pernah mengutamakan atau menonjolkan

kesalahan dalam penghukuman, tetapi mulia mengusahakan kerukunan dan

perdamaian, setiap sengketa dan segala bentuk perselisihan, selalu diupayakan

untuk berdamai dengan fariasi. Ini pun menjadi tugas utama Tuha Peut Gampoeng

dan Tuha Peut Mukim. Namun dapat dipahami bahwa bukan adat istiadat yang
6

dapat dijadikan alat pemersatu orang, juga bukan bahasa dan budaya, tetapi adalah

syari’at Islam dan hukum adat.

Di Indonesia hukum adat sudah dimulai pada jaman kolonial Belanda,

sebagaimana yang tertuang dalam pasal peralihan UUD 1945 Jo UU NO. 2 Tahun

1945 yang memuat berlaku kembali peraturan kolonial Belanda sebelum diadakan

yang baru menurut UUD 1945 asal tidak bertentangan. Hukum adat pada saat itu

sudah dianggap sebagai hukum positif, karena dalan setiap penyelesaian kasus

selalu mengedepankan asas-asas hukum.

Penyelesaian kasus dalam kehidupan masyarakat juga banyak di selesaikan

secara adat (hukum adat). Dasar hukum pembentukan Peradilan Adat didukung

oleh sejumlah peraturan perundang-undangan, dengan kata lain payung hukum

pemberdayaan lembaga-lembaga adat dan hukum adat sangat memadai. Di dalam

berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa

penguatan hukum adat harus dimulai dari Gampoeng sebagai Pemerintahan

terendah, yaitu suatu kawasan/wilayah tetorial kelompok penduduk yang

berbatasan dengan gampoeng lain, yang memiliki pemerintahan sendiri, memiliki

tatanan aturan, ada kepengurusan dan kekayaan sendiri dan Mukim yaitu kesatuan

masyarakat hukum dalam Provinsi Aceh yang terdiri atas gabungan beberapa

Gampoeng yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri

yang dipimpin oleh Imeum Mukim. (Badruzzaman Ismail, Fungsi Meunasah

Sebagai Lembaga (Hukum) Adat dan Aktualisasinya Di Aceh, (Banda Aceh:

Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh, 2009), h. 147)

Adapun badan-badan resmi yang menyelenggarakan peradilan adat yaitu

Lembaga Gampoeng dan Lembaga Mukim. Peraturan-peraturan hukum yang


7

mengatur pelaksanaan adat di antaranya Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh, bab XIII tentang penyelesaian masalah sosial

ditempuh melalui lembaga adat, serta Peraturan Daerah (perda) Nomor 7 Tahun

2000, Peraturan Daerah tersebut sekarang diganti dengan Qanun No. 9 Tahun

2008, tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.

Umumnya penyelenggaraan Peradilan Adat dilakukan oleh lembaga

Gampoeng dan Mukim, hal yang sama berlaku untuk seluruh Aceh, kecuali Aceh

Tengah dan Aceh Tamieng, mereka menggunakan istilah lain, namun fungsinya

tetap sama yaitu sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau perkara adat.

Kaedah hukum, (UUD 1945, Pasal 18, Ayat 4) lazimnya diartikan

“sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu seyogianya

berprilaku, bersikap, dan bertindak ditengah-tengah masyarakat agar kepentingan

hukumnya dan kepentingan hukum orang lain itu terlindungi”. Kaedah hukum

pada hakikatnya merupakan perumusan suatu pandangan objektif yang berlaku

menyeluruh mengenai penilaian atau sikap yang seyogianya dilakukan atau tidak

dilakukan, yang dilarang atau yang dianjurkan untuk dijalankan.

Pengertian kaedah hukum meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam

arti sempit atau norma dan peraturan hukum kongkrit. Kaedah hukum dalam

pengertian yang luas seperti itu berhubungan satu sama lain yang merupakan satu

sistem hukum. Kaedah-kaedah hukum diantaranya:

a. Setiap individu harus diperlakukan sama dihadapan hukum.

b. Hukum menjamin perlindungan kepada setiap individu.

c. Adat dianggap sebagai dasar pertimbangan hukum, apabila terus-

menerus dihormati dan dipelihara oleh orang banyak.


8

d. Tindakan pemerintah terhadap rakyatnya harus berlindung dibawah

permasalahatan orang banyak.

Sejalan dengan sifat-sifat hukum tersebut, maka untuk menemukan dan

menggali semaksimal mungkin asas-asas hukum adat, Majelis Adat Aceh (MAA)

Provinsi Aceh, pada tahun 2007 telah melakukan kerjasama penelitian dengan

Proyek Keadilan Aceh bersama United Nations Development Programme

(UNDP). Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa hukum dan peradilan

adat masih hidup, bahkan berlaku dalam mendukung pembangunan asas-asas

hukum baru dalam pemerintahan Aceh.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melihat

bagaimana pelaksanaan Peradilan Adat dalam prinsip-prinsip hukum dan Adat Isti

Adat yang digunakan oleh masyarakat Gampong Karak. Untuk itu penulis

mengangkat judul penelitian yaitu : Implementasi Qanun Nomor 9 Tahun 2008

Tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Adat Istiadat Dan Qanun Nomor

10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. (Studi Kasus di Gampong Karak

Kecamatan Woyla Barat, Kabupaten Aceh Barat).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pelaksanaan Peradilan Adat masyarakat Gampong Karak.

2. Bagaimana asas-asas yang digunakan oleh Peradilan Adat di Gampong

Karak.

3. Bagaimana Etika/Akhlak yang harus dimiliki oleh para pelaksana hukum

adat dalam pelaksanaan peradilan adat di Gampong Karak.


9

4. Bagaimana Pemahaman masyarakat Gampong Karak tentang pelaksanaan

peradilan adat.

1.3. Tujuan Penelitiaan

Berdasar rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini ialah:

1. Untuk mengetahui seluruh rangkaian pelaksanaan Peradilan Adat

masyarakat Gampong Karak .

2. Untuk mengetahui asas-asas yang digunakan dalam Peradilan Adat di

Gampong Karak.

3. Untuk mengetahui Etika/Akhlak yang harus dimiliki oleh para pelaksana

hukum adat dalam pelaksanaan peradilan adat di Gampong Karak.

4. Untuk mengetahui tentang pemahaman masyarakat Gampong Karak dalam

pelaksanaan peradilan adat.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini ialah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis.

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam

melaksanakan penelitian dikemudian hari, serta dapat menambah teori

yang berkenaan dengan pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat di

dalam masyarakat khususnya masyarakat Gampong Karak

2. Manfaat Praktis.

a. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi instansi

terkait dalam mengambil kebijakan dan perhatian terhadap pembinaan

kehidupan adat dan adat istiadat di dalam masyarakat.


10

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi informasi bagi

masyarakat dan pemerintah Gampong Karak.

c. Bagi penulis penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah ilmu

pengetahuan dan pengalaman di bidang ilmu adaministrasi Negara

1.5 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis akan menguraikan tetang latarbelakang yang

menjadi alasan mengapa judul ini menjadi pilihan untuk melakukan

penelitian, selanjutnya rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Pada bab ini penulis akan memberikan gambaran tentang penelitian

terdahulu yang dilakukan sebelumnya oleh peneliti sebelumnya di

tempat dan waktu yang berbeda dan memaparkan beberapa teori

maupun konsep yang berhubungan dengan penelitian yang akan

dilakukan sebagai variabel atau indikator-indikator yang akan

dijadikan sebagai tolak ukur dalam penelitian ini.

BAB III METODELOGI PENELITIAN


Pada bab ini penulisan akan memaparkan tentang merode penelitian

yang menjelaskan unsur-unsur penelitian yaitu metodelogi penelitian,

sumber data, tehnik pengumpulan data, jadwal penelitian, instrument

penelitian, tehnis analisis data, pengujian kredibilitas data dan tehnik


11

penetuan informan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


Bab ini membahas mengenai hasil temuan dilapangan yang

menyangkut tentang objek penelitian serta relevansinya dengan

landasan teori sebagai pijakan sertan pembahasan mengenai

keseluruhan penelitian.

BAB V PENUTUP
Pada bab terakhir memaparkan kesimpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai