Pendahuluan berbagai ketetapan yang telah disepakati.
Rintangan dan hambatan tersebut bukan saja
Syariat Islam telah menjadi bagian dari ke- terdiri dari aspek hukum itu sendiri, tetapi dari hidupan masyarakat Aceh, ini berlaku sejak di- berbagai aspek kehidupan masyarakat. Salah nobatkan Serambi Mekkah menjadi “Kawasan satu upaya yang memungkinkan untuk Syariat”. Terwujudnya pelaksanaan Syariat mendongkrat terselenggaranya Syariat dengan Islam di Aceh merupakan hasil perjuangan baik, di samping dukungan aspek-aspek lainnya berke- sinambungan para pejuang Syariat yang adalah dilihat dari segi kultur yang telah melalui masa yang panjang bahkan nyaris terbentuk dan mengakar dalam masyarakat terputus di tengah jalan. Masyarakat Aceh Aceh sejak masa silam. Dari segi ini, dalam dengan sabar menunggu “tamu istimewa” masyarakat Aceh dikenal beberapa lembaga tersebut dengan tujuan menciptakan kehidupan adat yang telah berperan sebagai pelaksana yang aman dan tenteram serta saling hukum, di samping hukum yang berlaku di menghargai, saling membantu antar sesama bawah kekuasaan Negara (Hukum Nasional). masyarakat. Sudah sepantasnya masyarakat Lembaga-lembaga tersebut ternyata masih Aceh mensyukuri setinggi-tingginya kepada berlaku dalam masyarakat Aceh walaupun Allah Swt. atas nikmat ini. Bentuk rasa syukur dalam berbagai keterbatasannya. Namun tersebut bukan hanya dalam bentuk sujud demikian, dalam melanggengkan pelaksanaan syukur serta ungkapan puji-pujian kepada Syariat Islam, lembaga-lembaga adat tersebut Allah, tetapi yang lebih penting lagi adalah mempunyai peranan yang cukup signifikan masyarakat Aceh harus mempergunakan karena adat yang dipraktekkan dalam nikmat tersebut secara maksimal, berupa masyarakat sebagian besar tidak bertentangan pengimplementasian Syariat Islam secara dengan hukum Islam, serta mudah diterapkan menyeluruh (kaffah) dan sepenuh hati. karena sudah mengakar dalam masyarakat. Pengimplementasian Syariat Islam di Aceh Sejarah Singkat Perkembangan Hukum Adat di tidak terlepas dari peran lembaga-lembaga Aceh adat1 yang ada di berbagai tingkatan komunitas masyarakat. Lembaga-lembaga Dalam sejarah, Aceh dikenal sebagai sebuah tersebut selama ini memiliki otoritas yang “Negara Islam” dengan berbagai keterbatasan cukup luas bagi pelaksanaan hukum-hukum dan kelebihan yang memerlukan penjelasan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi yang benar-benar lurus dan dan netral dari oleh masyarakat Aceh. Hukum-hukum yang berbagai muatan subjektivitas. Pada satu sisi, berlaku sebelum disahkan pemberlakuan puncak keemasan Negara Aceh terjadi pada Syariat Islam dalam banyak hal merujuk Masa Kerajaan Iskandar Muda yang masih kepada hukum yang terbentuk dalam dijadikan symbol kemegahan dan kebesaran masyarakat sejak masa yang telah lampau. Negara Aceh hingga sekarang. Ketenaran Hukum-hukum tersebut dilaksanakan oleh Negara Aceh tersebut selain karena kekuatan lembaga-lembaga yang terdapat dan diakui armada perang yang disegani oleh berbagai oleh masyarakat sebagai salah satu sumber Negara lain, juga karena ia memiliki hukum rujukan pelaksanaan hukum dalam berbagai yang kuat sehingga menjamin tegaknya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat masyarakat yang aman dan tenteram. setempat. Penerapan Syariat Islam, sejauh Kestabilan politik ketika itu yang tidak sanggup yang sedang diimplementasikan oleh digoyahkan oleh kekuatan intern maupun ektern masyarakat dan Pemerintah Aceh, menjadi salah satu modal untuk mengantarkan pelaksanaannya memang tidak semudah Aceh menjadi Negara yang patut disegani. merumuskan undang-undang ketika hal itu Penerapan hukum Islam pada masa Kejayaan dilegalkan. Hambatan dan rintangan muncul Negara Aceh juga dihiasi dengan berbagai dan terlihat ketika sedang dipraktekkan kebijakan yang berasal dari kebijakan- kebijakan yang bersifat “kultural” yang dianggap sesuai dan seirama dengan hukum Memadukan Syariat Islam dan Adat Istiadat: Syariat. Karena itu patut dikaji kembali bagaimana fungsi dan peran lembaga adat Solusi Krisis Hukum tersebut, setelah terjadinya perubahan Salah satu tuntutan reformasi di Indonesia perubahan yang bersifat historis dalam adalah penegakan keadilan dalam kehidupan dinamika negara Aceh hingga masa sekarang. berbangsa dan bernegara. Sistem sentralisasi Kutipan tersebut sukar dinyatakan sebagai pemerintahan selama ini dinilai oleh berbagai tidak asli setelah dibaca apa yang ditulis pihak telah merugikan kepentingan daerah. Beaulieu:4 “Ada berbagai peraturan lain yang Jalan keluar yang diberikan untuk masala ini dibuat olehnya tetapi yang terlalu panjang adalah otonomi daerah secara keseluruhan yang untuk dikutip sehingga saya sisihkan karena meliputi seluruh wilayah tingkat dua dan mau membicarakan kekayaannya.”5 Berikut otonomi khusus untuk beberapa wilayah tingkat ini isi bagian pertama dan ketiga naskah adat satu. Memanfaatkan situasi yang ada, maka yang kedua-duanya harus dianggap berasal daerah-daerah menyampaikan keinginan untuk dari pemerintahan Iskandar Muda. Bagian mengembangkan potensi yang menjadi ciri pertama berjudul: “Perintah segala Raja-Raja”. khasnya. Salah satu perkembangan yang Judul itu adalah terjemahan Melayu dari judul menarik dalam bidang ini adalah keinginan Arab “Mabain Al-Salatin”; G.W.J. Drewes dan beberapa daerah untuk menerapkan Syariat P. Voorhoeve mengemukakan bahwa mabain Islam di daerahnya sebagai suatu usaha untuk itu istilah yang dipakai di istana Turki dengan mengatasi krisis hukum. arti: “ruang penghadapan”.6 Teks bagian pertama itu terbagi atas 31 fasal, dan setiap pasal bernama majelis yang dapat diartikan Lembaga-Lembaga Adat Aceh: Legalitas dan dengan “peraturan”. Pasal-pasal pertama Peranannya mengenai kekuasaan dan kewajiban Raja serta mengingatkan akan beberapa makota Raja- Masyarakat Aceh dikenal dengan masyarakat Raja tentang kekuasaan tertinggi. Bagian yang memiliki budaya yang khas dan mengakar ketiga berjudul: “Adat mejelis raja-raja” yang sejak masa pemerintahan kerajaan, masa penjajahan sampai masa sekarang. Dalam Perda oleh para penyunting naskah diterjemah- kan No. 7/2000 tentang penyelenggaraan kehidup- dengan “Customs and Regulations of the an Adat, dijelaskan antara lain peranan dan Kings”, melihat makna majelis yang pertama, kewenangan lembaga-lembaga adat yang ada di yaitu “sidang, upacara resmi”, barangkali lebih Aceh. Peraturan Daerah (Perda) ini merupakan baik diterjemahkan dengan “tatatertib upacara- penjabaran salah satu cirri keistimewaan dan upacara kerajaan”; soalnya memang terutama Otonomi Khusus Aceh, seperti terlihat dalam mengenai upacara. Selain beberapa keterangan UU No. 4/1999, Perda tentang penyelenggaraan mengenai pegawai, ada pemberian yang kehidupan adat juga dirumuskan selaras dengan seksama mengenai cara berlangsungnya semangat pemberlakuan Syariat Islam (pasal upacara-upacara istana yang paling penting 2). Dengan demikian, adat yang dimaksudkan (ikrar khidmat, arak- arakan besar, dan lain dalam oleh Perda ini adalah adat yang selaras sebagainya). Selanjutnya, perjalanan hukum dengan Islam: Adat hanya bisa diberlakukan nasional tidak dapat dipisahkan juga dari apabila tidak bertentangan dengan Syariat. sejarah panjang kolonialisme di nusantara. Ketentuan-ketentuan Perda ini tentang Fase ini merupakan masa peralihan antara kewenangan sejumlah lembaga adat untuk masa kekuasaan raja-raja di berbagai daerah di menyelesaikan sengketa dalam masyarakat. Perda Indonesia menuju fase terbentuknya sebuah menetapkan bahwa putusan adat bisa menjadi negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). pertimbangan partat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara, yang memungkinkan orang yang terlibat perkara adat itu mengajukan Dalam Perda ini ditetapkan bahwa penegak- kasusnya ke pengadilan, jika dia tidak dapat an hukum perlu memberi kesempatan kepada menerima keputusan adat (bab V).21 lembaga adat yaitu geuchik dan imum mukim Dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh untuk menyelesaikan sengketa/perselisihan (Bab XIII pasal 98 ayat 1 dan 2) dijelaskan di gampong/mukim masing-masing sebelum bahwa Lembaga adat berfungsi dan berperan ditangani oleh aparat penegak hukum (pasal sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam 10), untuk ini geuchik diberi kesempatan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pe- menyelesaikan sengketa/perselisihan tersebut merintahan kabupaten/kota di bidang ke- melalui rapat adat dalam waktu dua bulan (Pasal amanan, ketenteraman, kerukunan, dan 11). Setelah itu, kalau tidak selesai pada tingkat ketertiban masyarakat. Secara lebih khusus geuchik, maka kesempatan yang sama diberikan penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan kepada imum mukim dengan tenggang waktu secara adat ditempuh melalui lembaga adat. yang lebih pendek, hanya satu bulan (pasal 15). Kalau pada tingkat ini pun sengketa tersebut Lembaga adat sebagaimana dimaksud dalam tidak selesai, atau para pihak tidak puas, barulah ayat 1 dan 2 meliputi: 1.Majelis Adat Aceh; sengketa itu ditangani oleh parat penegak 2. Imuem Mukim; 3.Imuem Chik; 4. hukum. Putusan yang dibuat lembaga adat Geuchik; 5. Tuha peut; 6. Tuha lapan; 7. tadi akan menjadi salah satu pertimbangan Imuem meunasah; aparat penegak hukum (hakim), begitu juga 8. Keujreun Blang; 9. Panglima Laot; 10. geuchik dan imum mukim dapat dijadikan Pawang Glee; 11. Peutua seuneubok; 12. saksi ahli dalam sengketa itu setelah diputuskan Haria peukan; 13. Syahbanda. oleh rapat adat yang bersangkutan (pasal 15 Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai dan 17). tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga Lembaga adat lainnya juga dapat membuat adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat kebijakan yang berhubungan dengan adat, diatur dengan Qanun Aceh. Dengan ketentuan yang seperti kita ketahui intinya tentu akan yang telah ditetapkan secara resmi melalui merupakan pelaksanaan Syariat Islam dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh tersebut, sampai batas tertentu juga berwenang maka seyogyanya menjadi sumbangan yang menyelesaikan sengketa di antara para pihak, cukup memadai bagi pelaksanaan Syariat seperti pembagian air di sawah, serta biaya dan Islam karena penetapan tersebut memberikan tanggung jawab pemeliharaan tali air keujruen makna bahwa lembaga- lembaga adat tersebut blang, tertib menangkap ikan, pembagian telah menjadi lembaga yang legal yang dapat kerja antar nelayan satu kapal/perahu, dipergunakan sebagai pendukung atau penguat pembagian wilayah tangkapan, aturan di serta pelengkap bagi Syariat Islam. pelabuhan dan penjualan ikan oleh panglima Dalam hubungan dengan pelaksanaan la’ot dan seterusnya. berbagai kebijakan dalam Syariat Islam, Perda No. 7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan adat Lembaga-Lembaga Adat Pasca Penandatangan telah memberi wewenang kepala lembaga adat, khususnya Imuem Mukim, Geuchik, Teungku MoU Helsinki Imuem, Tuha Peut dan Tuha Lapan untuk Dalam perkembangan selanjutnya, ber- membuat kebijakan yang berkaitan dengan dasarkan butir-butir UUPA yang merupakan pelaksanaan Syariat Islam, baik yang implementasi dari MOU Perdamaian RI dan merupakan Syariat Islam murni, atau Syariat GAM, dalam pasal 10 ayat (1), (2) dan (3) Islam yang sudah menjadi adat yaitu yang berbicara tentang Wali Nanggroe dan Tuha berkaitan dengan ketertiban dalam gampong. Nanggroe sebagai penyelenggara adat, budaya, Lebih dari itu lembaga adat ini diberi dan pemersatu masyarakat. kewenangan menjatuhkan sanksi terhadap sengketa atau pelanggaran yang terjadi di (1) Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah gampong mereka masing-masing.22 lembaga yang merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan Sejauh tulisan ini dibuat, lembaga Wali adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di Nanggroe dan Tuha Nanggroe yang merupakan Provinsi NAD. lembaga yang lahir setelah terjalinnya kesepakatan (2) Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe damai antara RI dan GAM, belum dapat di- buan merupakan lembaga politik dan fungsikan sebagaimana yang dimaksudkan dalam pemerintahan dalam Provinsi NAD. butir-butir Undang-Undang Pemerintahan (3) Hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat Aceh, karena belum adanya Qanun sebagaimana dijelaskan dalam pasal 3 di atas. Sebelum lahirnya UU NAD, telah diterbitkan dua buah Peraturan Daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan otonomi khusus pada tanggal 26 Juli 2000. Pertama adalah Perda No. 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syariat Islam dan Perda No. 7 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan Kehidupan Adat. Dalam Perda No. 5 tersebut dalam ayat (3) dijelaskan bahwa “Selain sanksi pidana umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kepada pelanggar dapat juga dikenakan sanksi adat sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat”. Sementara itu, penyelenggaraan Kehidupan Adat yang dimaksud oleh Perda No. 7 dijelaskan dalam pasal 2: “Hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang masih berlaku, hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh, sepanjang tidak bertentangan dengan Syariat Islam, harus dipertahankan”. Menurut Rifyal Ka’bah, adat yang dimaksud oleh peraturan daerah ini adalah adat Islamiyyah atau berdasarkan teori receptio a contrario bahwa “hukum adat baru berlaku kalau tidak ber- tentangan dengan hukum Islam,” dan bukan berdasarkan teori receptie seperti yang diper- kenalkan oleh Snouck Hurgronje dan Van Vallenhoven bahwa hukum Islam baru berlaku bila telah diterima hukum adat. Dengan de- mikian, maka kedua Perda ini sebenarnya mendukung pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Berdasarkan ketetapan dan batasan berlakunya hukum adat tersebut, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya lembaga- lembaga adat mempunyai peranan yang cukup signifikan bagi penegakan Syariat. Artinya lembaga-lembaga adat yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam memiliki pengaruh bagi tegaknya Syariat Islam, dengan ketentuan tidak bertolak berlakang dengan prinsip-prinsip hukum Islam itu sendiri. Hal ini tentu dapat dimaklumi, mengingat hukum Syariat merupakan produk Tuhan yang Maha Sempurna, sedangkan hukum adat merupakan produk manusia yang mempunyai keterbatasan. Pengaturan tentang hukum Islam dan hukum adat ini juga menjadi keunikan Nanggroe Aceh Darussalam seperti terlihat pada pasal-pasal mengenai Mahkamah Syari’ah, Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe. Dengan demikian, adat Aceh pada dasarnya merupakan lembaga-lembaga yang sudah mengakar dalam masyarakat, dan masyarakat Aceh merupakan mayoritas masyarakat Islam yang sangat religius. Oleh sebab itu, maka hukum adat yang berlaku juga tidak menyimpang dari ajaran Islam. Adapun hal-hal yang dinilai kurang sejalan, hanya sebatas masalah-masalah teknis pelaksanaan yang bisa segera diperbaiki, karena tidak begitu besar pengaruhnya dan tidak menyentuh esensi atau substansi ketentuan dasar syariat Islam itu sendiri.