Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum adat adalah sistem hukum yang hidup dalam bentuk kearifan
masyarakat secara tidak tertulis namun dipatuhi,. Sumber hukum adat adalah
peraturan-peraturan yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat dan dipertahankan dengan kesadarah hukum masyarakat
tersebut. Karena peraturan yang ada dalam hukum adat tidak tertulis dan
tumbuh kembang, Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang
terikat dengan tatanan hukum adat sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar
keturunan.
Dalam catatan sejarah kota palembang merupakan kota tertua di
Indonesia, hal ini didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit (683 M) yang
ditemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat kota Palembang yang
dinyatakan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada
tanggal 16 Juni 683 Masehi (tanggal 5 bulan Ashada tahun 605 Syaka). Maka
tanggal tersebut di jadikan patokan hari lahir kota Palembang. Selain itu juga
dipercaya orang melayu sebagai tanah leluhurnya, karena di Kota Palembang
ini awal mula raja melayu pertama yaitu Parameswara yang turun dari Bukit
SiguntangKota Palembang Sumatera Selatan telah dikenal sebagai pusat
perdagangan, dan kota ini dikelilingi oleh air yang bersumber dari rawa, air
sungai dan juga air hujan. Maka dari itu kota Palembang dikenal sebagai
pusat perdagangan karena air menjadi sarana transportasi yang sangat vital
dan ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan kecepatan yang tinggi.
Selain itu, juga merupakan letak kota yang strategis ini yang berada dalam
satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas perdagangan, oleh
karenanya budaya masyarakat Palembang sangat beraneka dan banyak
dipengaruhi oleh unsur unsur budaya asing disamping budaya masyarakat
asli yang sudah ada dan juga beraneka ragam suku masyarakat Palembang,
sehingga sangat menarik untuk membahas struktur adat masyarakat dan
hukum adat yang hidup dan dipatuhi oleh masyarakat Palembang dalam hal
ini Sumatera Selatan pada khususnya.

1.2 Tujuan
Tujuan dari dibuatnya makalah ini untuk mengetahui lebih jauh
mengenai struktur hukum adat di Palembang serta implementasi dan
keberlakuan Hukum adat dalam struktur masyarakat Palembang.

1.3 Permasalahan
1. Apa itu hukum adat ?
2. Bagaimana Hukum keluarga Sumatera Selatan ?
3. Bagaimana Hukum Perkawinan Sumatera Selatan ?
4. Bagaimana Hukum Waris Sumatera Selatan ?

BAB II
PEMBAHASAN
Dasar filosofis dari Hukum Adat adalah sebenarnya nilai-nilai dan sifat
Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir
Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah
mufakat dan keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari
Hukum Adat.
Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang
yang diikuti oleh orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini
menunjukkan begitu luasnya pengertian adat-iatiadat tersebut. Tiap-tiap
masyarakat atau Bangsa dan Negara memiliki adat-istiadat sendiri-sendiri,
yang satu satu dengan yang lainnya pasti tidak sama.
Adat-istiadat dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat atau bangsa
dan merupakan suatu kepribadian dari suatu masyarakat atau bangsa.
Tingkat peradaban, cara hidup yang modern sesorang tidak dapat
menghilangkan tingkah laku atau adat- istiadat yang hidup dan berakar dalam
masyarakat.
Pada mulanya, Hukum Adat disebut dengan sebutan Hukum
Kebiasaan. Dibeberapa peraturan undang–undang disebut hukum kebiasaan
dan bukan hukum adat. Kebiasaan adalah segala sesuatu (perbuatan,
tingkah laku, perilaku) yang diulang ulang di dalam menghadapi yang sama
akan berbuat yang sama untuk waktu yang sama.

1. Pengertian Hukum Adat


Istilah Hukum Adat berasal dari terjemahan Adatrecht, yang mula-mula
dikemukakan oleh Snouck Hurgronje, kemudian dipakai oleh Van
Vollenhoven.

Istilah yang dipergunakan sebelumnya dalam perundang-undangan


adalah Peraturan Keagamaan (Godsdienstige Wetten) karena pengaruh
ajaran Receptio in Complexu dari Van Den Berg dan Salmon Keyzer.

Pada masa Hindia Belanda ada Adatrecht (Hukum Adat) yang berlaku
bagi orang-orang yang tidak tunduk kepada KUH Perdata dan Gewoonte
Recht (Hukum Kebiasaan) yang berlaku bagi mereka yang tunduk kepada
Hukum KUHPerdata.

Menurut Prof. Dr. Soepomo


Hukum adat adalah hukum tidak tertulis yang tidak melalui badan
legislatif, yang meliputi peraturan-peraturan hidup yang ditaati dan didukung
oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan
tersebut mempunyai kekuatan hukum

Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven


Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah
keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi
(hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah
laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku di sini dan
sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari
pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang
kodifikasi dapat berarti sebagai berikut.
• menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kodifikasi berarti himpunan
berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab
perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang
berdasarkan asas-asas tertentu dl buku undang-undang yang baku.
• menurut Prof. Djojodigoeno kodifikasi adalah pembukuan secara
sistematis suatu daerah / lapangan bidang hukum tertentu sebagai kesatuan
secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan
tuntas (diatur semua soal yang mungkin terjadi).

Menurut Ter Haar


Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan
pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat.
Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat
hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat
(kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-
perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para
hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan
tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan
dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senapas dan seirama dengan
kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya
ditoleransi.
Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat
dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan
tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut.
Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang
resmi tetapi juga di luar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan).
Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam
rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.

Dari pengertian Hukum Adat oleh ahli-ahli diatas maka dapat


disimpulkan bahwa Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis dan yang
tidak dibentuk melalui badan legislatif, yang terbentuk dari keputusan-
keputusan kepala adat, yang jika dilanggar maka akan dikenakan sanksi.
Dengan begitu, hukum Adat adalah hukum yang memaksa.

2. Hukum Keluargaan Sumatera Selatan


Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini didasarkan
pada prasasti Kedukan Bukit yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah
barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang
ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya

Pada tanggal 16 Juni 683 Masehi. Maka tanggal tersebut dijadikan


patokan hari lahir Kota Palembang. Kota Palembang juga dipercayai oleh
masyarakat melayu sebagai tanah leluhurnya. Karena di kota inilah tempat
turunnya cikal bakal raja Melayu pertama yaitu Parameswara yang turun dari
Bukit Siguntang. Kemudian Parameswa meninggalkan Palembang bersama
Sang Nila Utama pergi ke Tumasik dan diberinyalah nama Singapura kepada
Tumasik. Sewaktu pasukan Majapahit dari Jawa akan menyerang Singapura,
Parameswara bersama pengikutnya pindah ke Malaka disemenanjung
Malaysia dan mendirikan Kerajaan Malaka. Beberapa keturunannya juga
membuka negeri baru di daerah Pattani dan Narathiwat (sekarang wilayah
Thailand bagian selatan). Setelah terjadinya kontak dengan para pedagang
dan orang-orang Gujarat dan Persia di Malaka, maka Parameswara masuk
agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Shah.
Secara teratur, sebelum masa NKRI pertumbuhan Kota Palembang
dapat dibagi menjadi beberapa fase utama:
 Fase Sebelum Kerajaan Sriwijaya
Merupakan zaman kegelapan, karena mengingat Palembang telah ada jauh
sebelum bala tentara Sriwijaya membangun sebuah kota dan penduduk asli
daerah ini seperti yang tertulis pada manuskrip lama di hulu Sungai Musi
merupakan penduduk dari daerah hulu Sungai Komering.
 Fase Sriwijaya Raya
Palembang menjadi pusat dari kerajaan yang membentang mulai dari barat
pulau jawa, sepanjang pulau sumatera, semenanjung malaka, bagian barat
kalimantan sampai ke indochina. Runtuhnya Sriwijaya sendiri utamanya
karena penyerbuan bangsa-bangsa pelaut ‘yang tidak terdefinisikan’,
sebagian sejarahwan mengatakan bahwa mereka adalah pasukan barbar laut
dari Srilanka (Ceylon). Akibat hancurnya kekuatan maritim mereka, Sriwijaya
menjadi lemah dan persekutuan daerah-daerah kekuasaanya terlepas dan
ketika datangnya Ekspedisi Pamalayu dari Jawa (majapahit) ke jambi dalam
melakukan isolasi kepada Palembang, untuk mencegah Sriwijaya bangkit
kembali.
 Fase Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya
Di sekitar Palembang dan sekitarnya kemudian bermunculan kekuatan-
kekuatan lokal seperti Panglima Bagus Kuning di hilir Sungai Musi, Si Gentar
Alam di daerah Perbukitan, Tuan Bosai dan Junjungan Kuat di daerah hulu
Sungai Komering, Panglima Gumay di sepanjang Bukit Barisan dan
sebagainya. Pada fase inilah Parameswara yang mendirikan Tumasik
(Singapura) dan Kerajaan Malaka hidup, dan pada fase inilah juga terjadi
kontak fisik secara langsung dengan para pengembara dari Arab dan Gujarat.
 Fase Kesultanan Palembang Darussalam
Hancurnya Majapahit di Jawa secara tidak langsung memberikan andil pada
kekuatan lama hasil dari Ekspedisi Pamalayu di Sumatera. Beberapa tokoh
penting di balik hancurnya Majapahit seperti Raden Patah, Ario Dillah (Ario
Damar) dan Pati Unus merupakan tokoh-tokoh yang erat kaitanya dengan
Palembang. Setelah Kesultanan Demak yang merupakan 'pengganti' dari
Majapahit di Jawa berdiri, di Palembang tak lama kemudian berdiri pula
'Kesultanan Palembang Darussalam' dengan 'Susuhunan Abddurrahaman
Khalifatul Mukmiminin Sayyidul Iman' sebagai raja pertamanya. Kerajaan ini
mengawinkan dua kebudayaan, maritim peninggalan dari Sriwijaya dan
agraris dari Majapahit dan menjadi pusat perdagangan yang paling besar di
Semenanjung Malaka pada masanya. Salah satu raja yang paling terkenal
pada masa ini adalah Sultan Mahmud Badaruddin II yang sempat menang
tiga kali pada pertempuran melawan Eropa (Belanda dan Inggris).
 Fase Kolonialisme
Setelah jatuhnya Kesultanan Palembang Darussalam pasca kalahnya Sultan
Mahmud Badaruddin II pada pertempuran yang keempat melawan Belanda
yang pada saat ini turun dengan kekuatan besar pimpinan Jendral de Kock,
maka Palembang nyaris menjadi kerajaan bawahan. Beberapa Sultan setelah
Sultan Mahmud Badaruddin II yang menyatakan menyerah kepada Belanda
berusaha untuk memberontak tetapi kesemuanya gagal dan berakhir dengan
pembumihangusan bangunan kesultanan untuk menghilangkan simbol-simbol
kesultanan. Setelah itu Palembang dibagi menjadi dua keresidenan besar,
dan pemukiman di Palembang dibagi menjadi daerah Ilir dan Ulu

Penduduk Palembang merupakan cabang dari masyarakat melayu,


dan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa sehari-hari, namun para
pendatang daerah seringkali menggunakan bahasa daerahnya sebagai
bahasa sehari-hari, seperti bahasa komering, rawas, lahat, dsb. Pendatang
dari luar Sumatera Selatan terkadang juga menggunakan bahasa daerahnya
sebagai bahasa sehari-hari dalam keluarga atau komunitas kedaerahan,
seperti pendatang dari Pulau Jawa dan daerah-daerah lain di Indonesia.
Namun untuk berkomunikasi dengan warga Palembang lain, penduduk
umumnya menggunakan Bahasa Palembang sebagai bahasa pengantar
sehari-hari.
Selain penduduk Palembang asli, di Palembang terdapat pula warga
pendatang dan warga keturunan, warga pendatang seperti dari Pulau Jawa,
Madura, Sulawesi (Makassar dan Manado), Papua, Wilayah Sumatera
Lainnya. Warga Keturunan terutama Tionghoa, Arab dan India.

Kesenian yang terdapat di Palembang antara lain:


 Kesenian Dul Muluk (semacam pentas drama)
 Tari-tarian seperti Gending Sriwijaya yang diadakan sebagai
penyambutan kepada tamu-tamu, dan tari Tanggai yang diperagakan
dalam resepsi pernikahan
 Lagu Daerah seperti Cuk Mak Ilang
 Rumah Adat Palembang adalah Rumah Limas dan Rumah Rakit

Kota Palembang mengadakan berbagai festival setiap tahunnya antara


lain Festival Sriwijaya setiap bulan Juni memperingati Hari Jadi Kota
Palembang, Festival Bidar dan Perahu Hias merayakan Hari Kemerdekaan.
Serta berbagai festival memperingati Tahun Baru Hijriah, Bulan Ramadhan,
Tahun Baru Masehi, dsb.

Kota Palembang memiliki beberapa wilayah yang menjadi ciri khas dari
suatu komunitas seperti Kampung Kapitan yang merupakan wilayah
Komunitas Tionghoa dan Kampung Al Munawwar yang merupakan wilayah
Komunitas Arab.

Kota Palembang juga dipercayai oleh masyarakat melayu sebagai tanah


leluhurnya. Karena di kota inilah tempat turunnya cikal bakal raja Melayu
pertama yaitu Parameswara yang turun dari Bukit Siguntang. Kemudian
Parameswa meninggalkan Palembang bersama Sang Nila Utama pergi ke
Tumasik dan diberinyalah nama Singapura kepada Tumasik. Sewaktu
pasukan Majapahit dari Jawa akan menyerang Singapura, Parameswara
bersama pengikutnya pindah ke Malaka disemenanjung Malaysia dan
mendirikan Kerajaan Malaka. Beberapa keturunannya juga membuka negeri
baru di daerah Pattani dan Narathiwat (sekarang wilayah Thailand bagian
selatan). Setelah terjadinya kontak dengan para pedagang dan orang-orang
Gujarat dan Persia di Malaka, maka Parameswara masuk agama Islam dan
mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Syah.
Berbicara mengenai asal usul kota Palembang, memang tidak bisa
dilepaskan dari sejarah perkembangan kerajaan Sriwijaya, yang pernah
menjadikan kota Palembang sebagai ibukotanya. Kejayaan Sriwijaya seolah-
olah diturunkan kepada Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman
madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara. Palembang
pernah berfungsi sebagai pusat kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 (tahun 683
Masehi) hingga sekitar abad ke-12 di bawah Wangsa Sailendra/Turunan
Dapunta Salendra dengan Bala Putra Dewa sebagai Raja Pertama.

SUKU-SUKU PALEMBANG SUMATERA SELATAN :


 Suku Komering
Komering merupakan salah satu suku atau wilayah budaya di Sumatra
Selatan, yang berada di sepanjang aliran Sungai Komering. Seperti halnya
suku-suku di Sumatra Selatan, karakter suku ini adalah penjelajah sehingga
penyebaran suku ini cukup luas hingga ke Lampung.
Suku Komering terbagi atas dua kelompok besar: Komering Ilir yang tinggal di
sekitar Kayu Agung dan Komering Ulu yang tinggal di sekitar kota Baturaja.

Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya marga Paku


Sengkunyit, marga Sosoh Buay Rayap, marga Buay Pemuka Peliyung, marga
Buay Madang, dan marga Semendawai.
Wilayah budaya Komering merupakan wilayah yang paling luas jika
dibandingkan dengan wilayah budaya suku-suku lainnya di Sumatra Selatan.
Selain itu, bila dilihat dari karakter masyarakatnya, suku Komering dikenal
memiliki temperamen yang tinggi dan keras. 

Berdasarkan cerita rakyat di masyarakat Komering, suku Komering


dan suku Batak, Sumatra Utara, dikisahkan masih bersaudara. Kakak beradik
yang datang dari negeri seberang.
Setelah sampai di Sumatra, mereka berpisah. Sang kakak pergi ke selatan
menjadi puyang suku Komering, dan sang adik ke utara menjadi puyang suku
Batak. 
 Suku Palembang
Kelompok suku Palembang memenuhi 40 - 50% daerah kota
palembang. Suku Palembang dibagi dalam dua kelompok : Wong Jeroo
merupakan keturunan bangsawan/hartawan dan sedikit lebih rendah dari
orang-orang istana dari kerajaan tempo dulu yang berpusat di Palembang,
dan Wong Jabo adalah rakyat biasa.
 Seorang yang ahli tentang asal usul orang Palembang yang juga keturunan
raja, mengakui bahwa suku Palembang merupakan hasil dari peleburan
bangsa Arab, Cina, suku Jawa dan kelompok-kelompok suku lainnya di
Indonesia. suku Palembang sendiri memiliki dua ragam bahasa, yaitu Baso
Palembang Alus dan Baso Palembang Sari-Sari.

Suku Palembang masih tinggal/menetap di dalam rumah yang didirikan


di atas air. Model arsitektur rumah orang Palembang yang paling khas adalah
rumah Limas yang kebanyakan didirikan di atas panggung di atas air untuk
melindungi dari banjir yang terus terjadi dari dahulu sampai sekarang

 Suku Gumai
Suku Gumai adalah salah satu suku yang mendiami daerah di
Kabupaten Lahat. Sebelum adanya Kota Lahat, Gumai merupakan satu
kesatuan dari teritorial GUMAI, yaitu Marga Gumai Lembak, Marga Gumai
Ulu dan Marga Gumai Talang. 

Setelah adanya kota Lahat, maka Gumai menjadi terpisah dimana


Gumai Lembak dan Gumai Ulu menjadi bagian dari Kecamatan Pulau Pinang
sedangkan Gumai Talang menjadi bagian dari Kecamatan Kota Lahat. 

 Suku Semendo
Suku Semendo berada di Kecamatan Semendo, Kabupaten Muara
Enim, Propinsi Sumatera Selatan. Menurut sejarahnya, suku Semendo
berasal dari keturunan suku Banten yang pada beberapa abad silam pergi
merantau dari Jawa ke pulau Sumatera, dan kemudian menetap dan beranak
cucu di daerah Semendo. Hampir 100% penduduk Semendo hidup bertani
dengan keagamaan Islam yang taat.

 Suku Lintang
Kawasan pegunungan Bukit Barisan di Sumatera Selatan merupakan
tempat tinggal suku Lintang, diapit oleh suku Pasemah dan Rejang. Suku
Lintang merupakan salah satu suku Melayu yang tinggal di sepanjang tepi
sungai Musi di Propinsi Sumatera Selatan. 
Suku Melayu Lintang hidup dari bercocok tanam atau bertani.
Orang Lintang adalah penganut Islam yang cukup kuat. Hal ini terlihat dengan
banyaknya mesjid-mesjid dan pesantren untuk melatih kaum mudanya.

 Suku Kayu Agung


Suku Kayu Agung berdomisili di Sumatera Selatan, tepatnya di
Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan ibukotanya Kayu Agung. Wilayah ini
dialiri sungai Komering. Bahasanya terdiri atas dua dialek, yaitu dialek Kayu
Agung dan dialek Ogan.

Mata pencaharian suku ini bertani, berdagang, dan membuat gerabah


dari tanah liat. Bentuk pertanian kebanyakan bersawah tahunan karena
daerahnya terdiri dari rawa-rawa. Jadi sawah hanya dikerjakan saat musim
hujan. 

Suku Kayu Agung mayoritas beragama Islam, tetapi mereka juga


mempertahankan kepercayaan lama, yaitu kepercayaan mengenai dunia roh.
Suku Kayu Agung percaya bahwa roh-roh nenek moyang dapat mengganggu
manusia. Oleh karena itu, sebelum mayat dikubur harus dimandikan dengan
bunga-bunga supaya arwah roh yang mati lupa jalan ke rumahnya. Mereka
juga percaya akan dukun yang membantu dalam upacara pertanian, baik saat
menanam maupun saat panen.
 Suku Lematang
Suku Lematang tinggal di daerah Lematang yang terletak di antara
Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat. Daerah ini berbatasan dengan
daerah Kikim dan Enim. Suku ini menempati wilayah di sepanjang sungai
Lematang, di sekitar kota Muaraenim dan kota Prabumulih. 

Asal usul orang Lematang dari kerajaan Majapahit, keturunan orang


Banten dan Wali Sembilan. Orang Lematang sangat terbuka dan memiliki
sifat ramah tamah dalam menyambut setiap pendatang yang ingin
mengetahui seluk beluk dan keadaan daerah dan budayanya. Mereka juga
memiliki rasa kebersamaan yang tinggi.
Hal itu terbukti dari sikap gotong royong dan tolong menolong bukan hanya
kepada masyarakat Lematang sendiri tetapi juga kepada masyarakat luar.

 Suku Ogan
Suku Ogan terletak di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Ogan
Komering Ilir. Mereka mendiami tempat sepanjang aliran Sungai Ogan dari
Baturaja, Baturaja adalah ibukota Kabupaten Ogan Komering Ulu, yang
terbagi menjadi 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Baturaja Timur (terdiri atas 9
kelurahan dan 5 desa) dan Kecamatan Baturaja Barat (terdiri atas 5
kelurahan dan 7 desa). Ibukota kabupaten yang dibelah oleh Sungai Ogan
dan Sungai Lengkayap ini memiliki destinasi wisata seperti Lesung Bintang,
Gua Kelambit, Bukit Katung, Bukit Pelawi dan Bukit Balau. Berdasarkan data
Kementerian Dalam Negeri tahun 2021, Baturaja memiliki penduduk
berjumlah 143.006 jiwa dengan luas wilayah 274,38 kmsampai ke Selapan.
Orang ogan biasa juga disebut orang Pagagan.
Suku Ogan terbagi menjadi 3 (tiga) sub-suku, yakni: Suku Pegagan Ulu, Suku
Penesak, dan Suku Pegagan Ilir. Kelompok masyarakat ini adalah penduduk
asli dan bertani, tetapi banyak juga yang menjadi pegawai negeri. Makanan
pokok suku ini ialah hasil pertanian.

 Suku Pasemah
Suku Pasemah adalah suku yang mendiami wilayah kabupaten Empat
Lawang, kabupaten Lahat, Ogan Komering Ulu, dan di sekitar kawasan
gunung berapi yang masih aktif, gunung Dempo. Suku bangsa ini juga
banyak yang merantau ke daerah-daerah di provinsi Bengkulu. 

Menurut sejarah, suku ini berasal dari keturunan Raja Darmawijaya


(Majapahit) yang menyeberang ke Palembang (pulau Perca). Suku ini banyak
yang tersebar di pegunungan Bukit Barisan, khususnya di lereng-lerengnya.
Menurut mitologi nama Pasemah berasal dari kata Basemah yang berarti
berbahasa Melayu. Hasil utama masyarakat suku ini ialah kopi, sayur-sayuran
dan cengkeh dengan makanan pokoknya ialah beras.

 Suku Sekayu
Suku Sekayu terletak di Propinsi Sumatera Selatan. Dalam wilayah
Kabupaten Musi Banyuasin. Mayoritas penduduknya petani.
Suku Sekayu merupakan "manusia sungai" dan senang mendirikan rumah-
rumah yang langsung berhubungan dengan sungai Musi. Suku Sekayu bukan
suku yang senang merantau. Keinginan untuk lebih maju dan mencari
keberuntungan mereka lakukan hanya sampai di ibukota propinsi. 

Suku Sekayu yang tinggal di Palembang menduduki sektor-sektor


pekerjaan yang penting, mulai dari guru besar/dosen universitas, ahli riset,
hartawan dan pengembang lahan, pekerja galangan dan penarik becak.

 Suku Rawas
Suku ini terletak di wilayah propinsi Sumatera Selatan, tepatnya di
sekitar dua aliran sungai Rawas dan sungai Musi bagian utara. Suku ini
menempati wilayah di Kecamatan Rawas Ulu, Rawas Ilir, dan Muararupit, di
Kabupaten Musi Rawas. Bahasa Rawas masih tergolong ke dalam rumpun
melayu.

 Suku Banyuasin
Suku ini terutama tinggal di kab. Musi Banyuasin yaitu di kec. Babat Toman,
Banyu Lincir, Sungai Lilin, dan Banyuasin Dua dan Tiga, Kabupaten
Banyuasin merupakan daerah dataran rendah yang didomonasi oleh
kawasan pesisir yang wilayahnya terbentang disepanjang pantai utara dari
perbatasan Provinsi Jambi hingga perbatasan Kabupaten Ogan Komering Ilir
dan kawasan pasang surut serta rawa-lebak yang meliputi hampir 80% luas
wilayah Kabupaten Banyuasin. Dengan kondisi tersebut, maka aksesibilitas
menjadi tantangan bagi Kabupaten Banyuasin, berdasarkan aksesibilitas
wilayah, Kabupaten Banyuasin memiliki tingkat dari sangat mudah hingga
sangat sulit. Beberapa Kecamatan dengan tingkat Aksesibilitas mudah
meliputi Kecamatan Talang Kelapa, Kecamatan Sembawa, Kecamatan
Banyuasin III, Kecamatan Betung, Kecamatan Suak tapeh, Kecamatan
Banyuasin I, Kecamatan Banyuasin II, Kecamatan Air Kumbang dan
Kecamatan Rambutan. Sedangkan Kecamatan dengan Aksesibilitas sedang
meliputi Kecamatan Muara Padang, Kecamatan Tanjung Lago. Sedangkan
beberapa wilayah kecamatan masih memiliki aksesibilitas dalam kategori sulit
hingga sangat sulit dijangkau yang meliputi wilayah Kecamatan Muara
Sugihan, Kecamatan Air Saleh, Kecamatan Makarti Jaya, Kecamatan Sumber
Marga Telang, Kecamatan Tungkal Ilir, Kecamatan Selat Penuguan dan
Kecamatan Karang Agung Ilir.
Sungai terbesar adalah sungai Musi yang memiliki banyak anak
sungai. Mata pencaharian pokoknya adalah bertani di sawah dan ladang.
Mereka masih percaya terhadap berbagai takhyul, tempat keramat dan
benda-benda kekuatan gaib. Mereka juga menjalani beberapa upacara dan
pantangan.

Hubungan Anak dengan Kerabatnya

Masyarakat Palembang yang menganut sistem patrilineal dalam


keluarga yang sangat --membatasi gerak kerabat perempuan mereka. Di
dalam keluarga, laki-Iaki bertugas menjaga martabat saudara perempuan dan
keluarganya .Posisi laki-Iaki tersebut banyak disimbolkan dalam acara-acara
adat sehingga dapat disimpulkan Iaki-Iaki menduduki posisi yang tinggi dan
penting . Sedangkan prinsip hubungan kekerabatan masyarakat Suku
Palembang adalah bilateral. Walaupun begitu pola menetap sesudah kawin
biasanya adalah uksorilokal, karena pasangan baru biasanya mendirikan
rumah tangganya dekat lingkungan pemukiman keluarga luas pihak
perempuan.

Dalam upacara adat perkawinan, ada 3 bagian makan-makan


(semacam resepsi) selain tamu yaitu pihak yang dituakan (khusus laki-Iaki).
Pasangan pengantin diarak dalam kain putih ang panjangnya sampai 60
meter yang bagian tepinya dipegangi oleh sebagian pemuda .  Ritual tersebut
menyimbolkan bahwa pengantin laki-Iaki akan menjamin keamanan dan
kehormatan keluarga mertuanya .Dengan kata lain tanggung jawab seorang
Ielaki sangat berat, hal ini menunjukkan masih kuatnya perbedaan gender
yang terjadi. Kehormatan dan harga diri merupakan hal penting bagi
masyarakat Sumatra Selatan. Akan tetapi mereka sangat pantang mengakui
kesalahan di depan orang banyak, Dikenal juga harta pusaka tinggi dan harta
pusaka rendah . Harta pusaka tinggi adalah harta turun temurun yang
diwariskan berdasarkan garis keturunan ayah. Dengan kata lain laki-Iaki
berkedudukan tinggi dan layak menerima harta pusaka sedangkan harta
pusaka rendah merupakan harta pencarian yang diwariskan secara hukum
islam. Selain itu, pada acara adat atau pesta, perempuan biasanya bekerja
pada bagian memasak atau menyiapkan lauk pauk sedangkan laki-Iaki
ditempatkan pada pekerjaan dekorasi dan angkat mengangkat barang. Hal ini
menunjukkan steriotif gender dimana perempuan lebih dominan bekerja
disektor domestik sedangkan pria bekerja disektor publik .

Nilai dalam keluarga menempatkan sosok laki-Iaki sebagai sosok


tertinggi dan pantas mendapat harta pusaka yang sangat berbilai. Nilai
keluarga juga mengatur pergaulan pemuda-pemudinya dimana perempuan
dan laki-laki tidak boleh terlalu dekat bahkan untuk bergandengan tangan
dilarang sebelum menikah. Nilai-nilai keluarga menganggap bahwa anak
perempuan tidak baik pulang malam atau berkeliaran di luar rumah pada
maIam hari dan hamil di luar nikah. Hal ini dianggap hal tabu dan dapat
menurunkan rnartabat keluarga. Oleh sebab itu, anak laki-Iaki dianggap
bertanggung jawab dalam menjaga saudara perempuannya agar martabat
keluarga tetap dianggap baik dimata masyatakarat.

Bermacam lapisan sosial terbentuk memberikan warna khas pada


daerah kesultanan. Sultan beserta para pembesar yang terdiri dari kelompok
bangsawan menempati puncak pirarnida dalam stratifikasi sosial. Kelompok
ini menggunakan regalia dan sistem gelar untuk menunjukkan derajat
kebangsawanannya, seperti temenggung, pangeran, raden dan yang paling
rendah tingkatannya adalah mas agung .Meskipun gelar kebangsawanan ini
pada mulanya diperoleh dari kelahiran, tetapi dapat juga dihadiahkan oleh
sultan kepada orang-orang yang dianggap berjasa, antara lain pasirah yaitu
kepala marga, jenang atau raban, orang kepercayaan sultan yang diangkat
sebagai pegawai yang bertugas memungut pajak, upeti di daerah-daerah
Kepungutan.Seperti kebanyakan kelompok masyarakat di Surnatera Selatan,
sistem kemasyarakatan dipengaruhi adat Simbur Cahaya. Simbur Cahaya
adalah kumpulan hukum adat setempat yang diterapkan oleh Kesultanan
Palembang. Hukum adat itu selain mengatur penguasaan kesultanan
terhadap berbagai sumberdaya juga mengatur beragam aspek sosial, mulai
dari perkara pegangan tangan antara laki~laki dan perempuan,kegiatan
ekonomi, masalah keamanan lingkungan, hingga politik dalam organisasi
pemerintahan marga .Undang-undang tersebut juga mengatur wilayah
kekuasaan sultan ditingkat marga. Pemimpin marga disebut Pasirah.
Bawahannya adalah para kepala dusun yang disebut Kerio. Selain struktur
pemerintahan marga, ada tingkatan-tingkatan keluarga raja adat yang masih
keturunan Kesultanan Palembang.Simbur cahaya berlaku sebagai undang-
undang dengan menerapkan sanksi yang tegas. Saat hukum adat masih
dipegang laki-Iaki yang mengganggu perempuan bisa dikenai denda atau
sanksi hukum adat berperan besar dalam menjaga keterlibatan masyarakat
komering. Sehingga dapat disimpulkan nilai~nilai adat dalam keluarga sangat
dijungjung tinggi, Pada zaman dahulu, karena pergaulan antar muda mudi
sangat dibatasi, orang-orang tua menyelenggarakan pesta adat untuk
memberi kesempatan pada kaum muda bertemu, dengan mengengenakan
kain sarung dan baju kurung, para muda-mudi duduk berhadap-
hadapan,bercakap-cakap dengan diawasi orang-orang tua dari kejauhan.
Kalau ada yang ingin berkenalan, biasanya menulis pesan dalam secarik
kertas lalu disampaikan oleh anak-anak kecil yang mendapat imbalan gula-
gula, Tradisi yang juga rnasih melekat pada adalah para wanitanya masih
memanjangkan rambut,stigma yang selalu melekat pada masyarakat Sumatra
selatan  sangat kental akan watak dan perangai yang keras dan
tempramental,hal ini banayak di jumpai dalam hampir setiap literatur dan ada
dalam perbincangan baik secara forum yang formal dan non formal.
Kebiasaan yang masih ada sampai sekarang yaitu kebiasaan GORO (gotong
royong) yang dilakukan dengan suka rela tanpa “diupah”, segala aktifitas
dalam pernikahan dilakukan secara gotong royong mulai dari mempersiapkan
dekorasi rumah pengantin sampai pada tahap pembersihan peralatan,dari
GORO yang dilakukan biasanya disertai memasak makanan ringan seperti
empek-empek, model,tekwan dan sebagainya yang akan dibagikan kepada
orang yang ikut dalam GORO ini,baik makan ditempat maupun dibagikan
kerumah-rumah sebagai ucapan terima kasih atas keikuut sertaannya,dan
masakan yang akan digunakan untuk tuan rumah sebagai hidangan santap
pada hari pernikahan, GORO juga dihadiri oleh pemuda dan pemudi dimana
ajang ini juga disebut ajang mencari jodoh yang biasanya beberapa malam
sebelum pernikahan berlangsung anak lelaki “menjemput”anak perempuan
(dengan modal lampu petromaks keliling kampung) untuk diikut sertakan
dalam kegiatan GORO yang tentunya harus meminta izin kedua orang
tuanya, dan si perempuan hanya akan keluar bila mendapat izin dari orang
tuanya biasanya sang ayah dan apabila goro pada malam hari itu telah
selesai kewajiban pemuda untuk mengantarkan pemudi sampai bertemu
dengan orang tua sipemudi tersebut didepan rumah.

3. HUKUM PERKAWINAN SUMATERA SELATAN


Adat perkawinan Palembang adalah suatu pranata yang dilaksanakan
berdasarkan budaya dan aturan Palembang. Melihat adat perkawinan
Palembang, jelas terlihat bahwa busana dan ritual adatnya mewariskan
keagungan serta kejayaan raja-raja dinasti Sriwijaya yang mengalami
keemasan berpengaruh di Semananjung Melayu berabad silam. Pada zaman
kesultanan Palembang berdiri sekitar  abad 16 lama berselang setelah
runtuhnya dinasti Sriwijaya, dan pasca Kesultanan pada dasarnya
perkawinan ditentukan oleh keluarga besar dengan pertimbangan bobot, bibit
dan bebet.

Uraian tata cara dan pranata yang berkaitan dengan


perkawinan Palembang :
 Tunangan
Sejak saat itu pasangan gadis dan bujang resmi ditunagkan. Sebagai
tanda, akan diberikan hadiah emas berlian. Belakangan ini bisa diberikan
dalam bentuk cincin pertunangan. Pada saat itu dilakukan juga beberapa
tahapan secara adat. Dan selanjutnya kedua keluarga besat itu akan saling
kunjung mengunjungi sambil membawa hantaran aneka ragam benda. Yang
pertama kali mengunjungi umumnyaadalah keluarga pihak pria yang
kemudian akan dibalas berkunjung pula oleh pihak keluarga si gadis.
Dalam bulan puasa, malam likuran dan pada malam hari raya, kedua
belah pihak saling bergantian membawa hantaran kerumah masng-masing.ini
tentunya dilakukan saling membalas. Pada malam tersebut si bjang
membantu melakukan persiapan hari raya, baik didalam maupun diluar
rumah.Saat hari raya tiba, si bujang datang kerumah tunangannya untuk
menghatur sujud sambil membawa buah tangan untuk si gadis dan
keluarganya.Sebagai balasan ketika pulang, si gadis mengisi wadah antaran
untuk si bujang tunangan dan keluarganya dirumah.
Keterikatan si bujang semakin dekat. Ini dibuktikan dari cara pamitan
setiap kali si bujang hendak bepergian. Apalagi hendak pergi jauh misalnya,
si bujang harus pamit secara resmi. Si ibu calon mertua akan mempersiapkan
aneka bekal yang mungkin diperlukan si bujang selama perantauannya.
Sekembalinya dari rantau, si bujang harus melapor ke rumah si gadis
serta menghatur sembah pada calon mertua sebagai tanda keseriusannya
yang tak pernah luntur. Saat itu si penganten. Ramuan beras dengan putih
telur ayam, garam, rempah-rempah serta daun sawu abang atau sawo kecik
yang dihaluskan, akan menjadi bedak boreh mujarab. Selain ramuan tadi,
dilengkapi puladengan bertanggas, yaitu duduk diatas kursi sambil diuapi
pedupaan berisi api dan cabe rawit. Upaya ini untuk mengeluarkan keringat
sebanyak mungkin, agar saat bersanding nanti tak lagi banyak mengeluarkan
keringat.Selanjutnya persiapan pesta.Diantaranya, majang rumah, masang
tarub, ngocek bawang besar, danmengulem atau mengundang kaum kerabat
yang akan terlibat dalam kerja
 Milih calon
Calon dapat diajukan oleh si anak yang akan dikawinkan, dapat juga
diajukan oleh orang tuannya. Bila dicalonkan oleh orang tua, maka mereka
akan menginventariskan dulu siapa-siapa yang akan dicalonkan, anak siapa
dan keturunan dari keluarga siapa.

 Madik
Madik Berasal dari kata bahasa Jawa Kawi yang berarti  mendekat
atau pendekatan. Madik adalah suatu proses penyelidikan atas seorang gadis
yang dilakukan oleh utusan pihak keluarga pria.Tujuannya untuk perkenalan,
mengetahui asal usul serta silsilah keluarga masing-masing serta melihat
apakah gadis tersebut belum ada yang meminang.

 Menyengguk
Menyengguk atau sengguk berasal dari bahasa Jawa kuno yang
artinya memasang "pagar" agar gadis yang dituju tidak diganggu oleh
sengguk (sebangsa musang, sebagai kiasan tidak diganggu perjaka lain).
Menyengguk dilakukan apabila proses Madik berhasil dengan baik, untuk
menunjukkan keseriusan, keluarga besar pria mengirimkan utusan resmi
kepada keluarga si gadis.Utusan tersebut membawa tenong atau sangkek
terbuat dari anyaman bambu berbentuk bulat atau segi empat berbungkus
kain batik bersulam emas berisi makanan, dapat juga berupa telor, terigu,
mentega, dan sebagainya sesuai keadaan keluarga si gadis.

  Ngebet
Bila proses sengguk telah mencapai sasaran, maka kembali keluarga
dari pihak pria berkunjung dengan membawa tenong sebanyak 3 buah,
masing-masing berisi terigu, gula pasir dan telur itik. Pertemuan ini sebagai
tanda bahwa kedua belah pihak keluarga telah "nemuke kato" serta sepakat
bahwa gadis telah 'diikat' oleh pihak pria. sebagai tanda ikatan, utusan pria
memberikan bingkisan pada pihak wanita berupa kain, bahan busana,
ataupun benda berharga berupa sebentuk cincin, kalung, atau gelang tangan.

 Berasan
Berasal dari bahasa Melayu artinya bermusyawarah, yaitu
bermusyawarah untuk menyatukan dua keluarga menjadi satu keluarga
besar. Pertemuan antara dua pihak keluarga ini dimaksudkan untuk
menentukan apa yang diminta oleh pihak si gadis dan apa yang akan
diberikan oleh pihak pria. Pada kesempatan itu, si gadis berkesempatan
diperkenalkan kepada pihak keluarga pria. Biasanya suasana berasan ini
penuh dengan pantun dan basa basi. 

Setelah jamuan makan, kedua belah pihak keluarga telah bersepakat


tentang segala persyaratan perkawinan baik tata cara adat maupun tata
cara agama Islam. Pada kesempatan itu pula ditetapkan kapan hari
berlangsungnya acara "mutuske kato". Dalam tradisi adat Palembang dikenal
beberapa persyaratan dan tata cara pelaksanaan perkawinan yang harus
disepakati oleh kedua belah pihak keluarga, baik secara syariat agama Islam,
maupun menurut adat istiadat. Menurut syariat agama Islam, kedua belah
pihak sepakat tentang jumlah mahar atau mas kawin, Sementara menurut
adat istiadat, kedua pihak akan menyepakati adat apa yang akan
dilaksanakan, apakah adat Berangkat Tigo Turun, adat Berangkat duo
Penyeneng, adat Berangkat Adat Mudo, adat Tebas, ataukah adat Buntel
Kadut, dimana masing-masing memiliki perlengkapan dan persyaratan
tersendiri.

 Mutuske kato
Acara ini bertujuan kedua pihak keluarga membuat keputusan dalam
hal yang berkaitan dengan:"hari ngantarke belanjo" hari pernikahan, saat
Munggah, Nyemputi dan Nganter Penganten, Ngalie Turon, Becacap atau
Mandi Simburan dan Beratib. Untuk menentukan hari pernikahandan acara
Munggah, lazim dipilih bulan-bulan Islam yang dipercaya memberi barokah
bagi kedua mempelai kelak yakni bulan Robiul Awal, Robiul Akhir,
Jumadilawal, Jumadilakhir. Bulan-bulan tersebut konon dipercayah bahwa
bulan purnama sedang cantik-cantiknya menyinari bumi sehingga cahayanya
akan menjadi penerang kehidupan bagi kedua mempelai secerah purnama.
Saat 'mutuske kato' rombongan keluarga pria mendatangi kediaman pihak
wanita dimana pada saat itu pihak pria membawa 7 tenong yang antara lain
berisi gula pasir, terigu, telur itik, pisang dan buah-buahan. Selain membuat
keputusan tersebut, pihak pria juga memberikan (menyerahkan) persyaratan
adat yang telah disepakati saat acara berasan. sebagai contohnya, bila
sepakat persyaratan adat Duo Penyeneng, maka pihak pria pada saat
mutoske kato menyerahkan pada pihak gadis dua lembar kemben tretes
mider, dua lembar baju kurung angkinan dan dua lembar sewet songket
cukitan. Berakhirnya acara mutuske kato ditutup dengan doa keselamatan
dan permohonan pada Allah SWT agar pelaksanaan perkawinan berjalan
lancar. Disusul acara sujud calon pengantin wanita pada calon mertua,
dimana calon mertua memberikan emas pada calon mempelai wanita sebagai
tanda kasihnya.

Menjelang pulang 7 tenong pihak pria ditukar oleh pihak wanita dengan
isian jajanan khas Palembang untuk dibawa pulang.

 Persiapan menjelang akad nikah


Prosesi nganterke belanjo biasanya dilakukan sebulan atau setengah
bulan bahkan beberapa hari sebelum acara Munggah. Prosesi ini lebih
banyak dilakukan oleh kaum wanita, sedangkan kaum pria hanya mengiringi
saja. Uang belanja (duit belanjo) dimasukan dalam ponjen warna kuning
dengan atribut pengiringnya berbentuk manggis. Hantaran dari pihak calon
mempelai pria ini juga dilengkapi dengan nampan-nampan paling sedikit 12
buah berisi aneka keperluan pesta, antara lain berupa terigu, gula, buah-
buahan kaleng,  hingga kue-kue dan jajanan. Lebih dari itu diantar
pula'enjukan' atau permintaan yang telah ditetapkan saat mutuske kato, yakni
berupa salah satu syarat adat pelaksanaan perkawinan sesuai kesepakatan.
Bentuk gegawaan yang juga disebut masyarakat Palembang 'adat
ngelamar' dari pihak pria (sesuai dengan kesepakatan) kepada pihak wanita
berupa sebuah ponjen warna kuning berisi duit belanjo yang dilentakan dalam
nampan, sebuah ponjen warna kuning berukuran lebih kecil berisi uang
pengiring duit belanjo, 14 ponjen warna kuning kecil diisi koin-koin logam
sebagai pengiring duit belanjo, selembar selendang songket, baju kurung
songket, sebuah ponjen warna kuning berisi uang'timbang pengantin' 12
nampan berisi aneka macam barang keperluan pesta, serta kembang
setandan yang ditutup kain sulam berenda.

 Upacara akad nikah

Ada beberapa ritual yang biasanya dilakukan terhadap calon pengantin


wanita yang biasanya dipercaya berkhasiat untuk kesehatan kecantikan, yaitu
betangas. Betangas adalah mandi uap, kemudian Bebedak setelah betangas,
dan berpacar (berinai) yang diberikan pada seluruh kuku kaki dan tangan dan
juga telapak tangan dan kaki yang disebut pelipit.

Menyatukan sepasang kekasih menjadi suami istri untuk memasuki


kehidupan berumah tangga. Upacara ini dilakukan dirumah calon pengantin
pria, seandainya dilakukan dirumah calon pengantin wanita, maka dikatakan
'kawin numpang'. Akan tetapi sesuai dengan perkembangan masa, kini
upacara akad nikah berlangsung dikediaman mempelai wanita. Sesuai tradisi
bila akad nikah sebelum acara Muggah, maka utusan pihak wanita terlebih
dahulu ngantarke keris ke kediaman pihak pria.

 Ngocek bawang
Ngocek Bawang diistilahkan untuk melakukan persiapan awal dalam
menghadapi hari munggah. Pemasangan tapup, persiapan bumbu-bumbu
masak dan lain sebagainya disiapkan pada hari ini. Ngocek bawang kecik ini
dilakukan dua hari sebelum acara munggah.
Selanjutnya pada esok harinya sehari sebelum munggah, dilakukan
acara ngocek bawang besak. Seluruh persiapan berat dan perapian segala
persiapan yang belum selesai dikerjakan pada waktu ini. Daging, ayam dan
lain sebagainya disiapkan saat munggah, mengundang (ngulemi) ke rumah
besannya, dan si pihak yang di ulemi pada masa ngocek bawang wajib
datang, biasannya pada masa ini diutus dua orang yaitu wanita dan pria.

 Munggah
Prosesi ini merupakan puncak rangkaian acara perkawinan adat
Palembang. Hari munggah biasanya ditetapkan hari libur diantara sesudah
hari raya Idul Fitri & Idul Adha. Pada pagi hari sebelum acara, dari pihak
mempelai wanita datang ke pihak laki-laki (ngulemi) dengan mengutus satu
pasang lelaki & wanita.

Selain melibatkan banyak pihak keluarga kedua mempelai, juga


dihadiri para tamu undangan. Munggah bermakna agar kedua pengantin
menjalani hidup berumah tangga selalu seimbang atau timbang rasa, serasi
dan damai. Pelaksanaan Munggah dilakukan dirumah kediaman keluarga
pengantin wanita. Sebelum prosesi Munggah dimulai terlebih dahulu dibentuk
formasi dari rombongan pria yang akan menuju kerumah kediaman keluarga
pengantin wanita. Sebelum prosesi Munggah dimulai terlebih dahulu dibentuk
formasi yang akan berangkat menuju rumah pengatin wanita. Formasi itu
adalah :
Pengatin Pria diapit oleh kedua orang tua, dua orang pembawa
tombak, seorang pembawa payung pengantin, didampingi juru bicara,
pembawa bunga langsih dan pembawa ponjen adat serta pembawa hiasan
adat dan gegawan.

  Nyanjoi
Nyanjoi dilakukan disaat malam sesudah munggah dan sesudah
nyemputi. Biasannya nyanjoi dilakukan dua kali, yaitu malam pertama yang
datang nyanjoi rombongan muda-mudi, malam kedua orang tua-tua.
Demikian juga pada masa sesudah nyemputi oleh pihak besan lelaki
 Nyumputi
Dua hari sesudah munggah biasannya dilakukan acara nyemputi.
Pihak pengantin lelaki datang dengan rombongan menjemputi pengantin
untuk berkunjung ketempat mereka, sedangkan dari pihak wanita sudah siap
rombongan untuk nganter ke pengantin. Pada masa nyemputi penganten ini
di rumah pengantin lelaki sudah disiapkan acara keramaian (perayaan).
Perayaan yang dilakukan untuk wanita-wanita pengantin ini baru dilakukan
pada tahun 1960-an, sedangkan sebelumnya tidak ada.

 Ngater penganten
Pada masa nganter penganten oleh pihak besan lelaki ini, di rumah
besan wanita sudah disiapkan acara mandi simburan. Mandi simburan ini
dilakukan untuk menyambut malam perkenalan antara pengantin lelaki
dengan pengantin wanita. Malam perkenalan ini merupakan selesainya tugas
dari tunggu jeru yaitu wanita yang ditugaskan untuk mengatur dan
memberikan petunjuk cara melaksanakan acara demi acara disaat
pelaksanaan perkawinan. Wanita tunggu jeru ini dapat berfunsi sebagai
penanggal atau penjaga keselamatan berlangsungnya selauruh acara
perkawinan yang kemungkinan akan ada gangguan dari orang yang tak
senang.

Dalam upacara perkawinan adat Palembang, peran kaum


wanita sangat domonan, karena hampir seluruh kegiatan acara demi acara
diatur dan dilaksanakan oleh mereka. Pihak lelaki hanya menyiapkan "ponjen
uang". Acara yang dilaksanakan oleh pihak lelaki hanya cara perkawinan dan
acara beratib yaitu acara syukuran disaat seluruh upacara perkawinan sudah
diselesaikan.

Harta Perkawinan dalam Hukum adat Sumatera Selatan


Tidak sedikit seorang suami atau istri telah memiliki harta kekayaan
sendiri yang diperolehnya dari kerja kerasnya sendiri. Harta kekayaan
tersebut harta penghasilan. Harta penghasilan pribadi ini terlepas dari
pengaruh kekuasaan kerabat, pemiliknya dapat saja melakukan transaksi
atas harta kekayaan tersebut tanpa bermusyawarah dengan para anggota
kerabat yang laim. Namun demikian, apabila barangnya adalah barang tetap,
pada umumnya masih harus bermusyawarah.

Barang-barang yang diperoleh sebelum perkawinan di Sumatera


Selatan disebut Harta Pembujangan kalau suami yang memperolehnya,
sedangkan kalau yang memperolehnya adalah istri maka disebut Harta
Penantian. Di Bali tanpa melihat siapa yang memperolehnya disebut Guna
Kaya. Barang-barang yang diperoleh dalam masa perkawinan pada
umumnya jatuh kedalam Harta Perkawinan, milik bersama suami istri dan
apabila terjadi perceraian maka masing-masing dapat menuntut bagiannya.
Azas ini sudah menjadi umum sehingga dimana azas ini tidak dapat diterima
maka orang dapat mengatakan bahwa di tempat itu terjadi pengecualian.

4. HUKUM WARIS SUMATERA SELATAN


Banyak pendapat yang salah dengan beranggapan Hukum waris adat
sumatera selatan menggunakan system kewarisan mayorat perempuan,
dimana harta peninggalan jatuh ke anak perempuan tertua, dimana anak
anak perempuan tertua itu sebagai ahli waris tunggal, lalu ahli waris
bermusyawarah untuk membagikan kepada saudara-saudara yang lainnya
seperti di Dayak Tayan, dan Dayak Sandak, namun tidak demikian dengan
beberapa suku besar disumatera selatan sebutlah contoh suku Ogan dan
Masyarakat adat Besemah yang menganut sistem kekerabatan patrilineal,
yang berhak mewarisi adalah anak laki-laki tertua yang sudah dewasa
dan/atau berkeluarga, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahli waris.
Akibat hukum yang timbul dari sistem patrilineal ini adalah, bahwa istri karena
perkawinannya (biasanya perkawinan dengan sistem pembayaran uang
jujur), dikeluarkan dari keluarganya, kemudian masuk dan menjadi keluarga
suaminya. Seiring dengan perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh
perkembangan ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadi
keinginan untuk menyeimbangkan hak dan kedudukan laki-laki dan
perempuan terutama dalam hal pewarisan. Menurut ketentuan waris adat
terdapat ketidakseimbangan antara kewenangan dan hak kaum perempuan
dan kaum laki-laki. Keadaan tersebut bertentangan dengan ketentuan UU No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengakui adanya persamaan hak
dan kedudukan setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun
perempuan. Karena itu maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
pembahagian harta warisan pada masyarakat adat Besemah. Lokasi
penelitian adalah di Kota Pagaralam (kecamatan Dempo utara, Dempo
selatan dan Dempo tengah) Propinsi Sumatera Selatan. Penelitian ini bersifat
deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris dilakukan
dengan cara kualitatif. Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan
pendekatan Induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya
anak perempuan dan janda bukanlah ahli waris pada masyarakat adat
Besemah, mereka hanya dapat menikmati hasil dari pemanfaatan tanaman
dan tumbuhan di tanah yang dikuasai oleh anak lakilaki tertua. Akan tetapi,
pada sebagian masyarakat adat Besemah, anak perempuan juga mendapat
bagian harta warisan jika kebutuhan ekonominya dianggap membutuhkan.
Pada masyarakat adat Besemah yang mayoritas beragama Islam, faktor
agama Islam sangat mempengaruhi terhadap pembagian harta warisan yang
memahami bahwa dalam Islam terdapat persamaan hak, yaitu setiap
keluarga (lakilaki atau perempuan) mendapat bagian tertentu sesuai dengan
ketetapan agama terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Hukum adat merupakan nilai nilai komunal yang patut diresapi sebagai
norma norma kehidupan walau bersifat komunal hukum adat memberi ciri
khas bagi keberlakuan hukum khususnya dalam masyarakat sumatera
selatan dimana hukum adat terjaga dengan baik dan diresapi serta dipatuhi
dalam kehidupan bermasyarakat.
Hukum adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga
terkesan sangat lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama
dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan
tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat kecuali menyangkut soal
dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan
(tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat
istiadat,namun demikian hukum adat seringkali menjadi acuan bagi
penyelesaian masalah yang bersifat abstrak dan tidak teratur dengan jelas
didalam hukum positif
Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-
nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya
berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat,
yang sebagian besar tidak tertulis, tetapi senantiasa ditaati dan dihormati oleh
rakyat, karena mempunyai sanksi atau akibat tertentu.

B. SARAN
Saya berharap kepada pembaca khususnya mahasiswa Fakultas
Hukum bahwa kita harus melihat Hukum Adat sebagai warisan budaya
bangsa yuang hidup dan dimaknai sebagai kepatuhan yang bmebawa nilai
nilai moral serta nilai nilai dari sendi kehidupan bangsa aspek psikologis
Hukum adat tidak bisa dihilangkan dan dipisahkan dengan hukum yang ada
sekarang ini. Dan diadakannya studi khususnya mahasiswa Hukum untuk
langsung turun ke lapangan Hukum Adat yang ada dalam masyarakat agar
pendatailan data dan esensi Hukum Adat sendiri lebih nyata.

DAFTAR PUSTAKA

Bushar, Muhammad. 1981. Asas-Asas Hukum Adat (suatu


pengantar). Jakarta: _______Pradnya Paramitha.
Erwin Ibrahim, S.T., M.M., M.B.A. 2019. Pokok Pikiran Kebudayaan
Daerah Kabupaten Banyu Asin Sumatera Selatan. Kabupaten Banyu
Asin____________Bappeda Litbang Kabupaten Banyu Asin.

Windi Dwi Lastari. 2018. Akulturasi Islam Dan Budaya Lokal di


Palembang. Yogyakarta_______________Makalah

H.A.M. Effendy. 1994. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Mahdi Offset.


Id.m.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat
Keebet von Benda-Beckmann. 2006. Pluraisme Hukum. Jakarta: Ford
Fondation.
Lukito, Ratno. 1998.  Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di
Indonesia. ______Jakarta: INIS.

Prof. Drs. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 2016. Kesultanan Palembang


Darussalam – Sejarah Dan Warisan Budayanya. Jember:__________ Jember
University Press

Soekanto. 1981. Meninjau Hukum Adat Indonesoia. Jakarta:


CV.Rajawali.
Soepomo. 1993. Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Sudiyat, Imam. 1978. Asas-asas Hukum Adat, sebagai Bekal


Pengantar. ________Yogyakarta:  Liberty.

Wignjodipoero, Soerojo. 1967. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat.


Jakarta: _____________CV. Haji Masagung.
Warjiyati, Sri. 2006. Memahami Hukum Adat. Surabaya: IAIN
Surabaya.
STRUKTUR DAN KEBERLAKUAN HUKUM ADAT
SUMATERA SELATAN
(PALEMBANG)

MATA KULIAH: HUKUM ADAT


DOSEN: DR. ENDANG PANDAMSARI, S.H.,M.H

Disusun oleh:

IDHAM RABBANI ELGIFFARI


NIM: 010002100478

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
2022

Anda mungkin juga menyukai