Anda di halaman 1dari 24

HUKUM DAN ISLAM

KELOMPOK I

Oleh:
ANDHIKA VISNU
IDRIAN
Rimun Wibowo
…….
HUKUM ISLAM DAN KEDUDUKAN
Sesungguhnya, ketentuan dan hukum bagi manusia disyariatkan
Allah adalah untuk mengatur tata kehidupan mereka, baik dalam
masalah dunia maupun ukhrawi. Dengan mengikuti hukum tersebut,
manusia akan memperoleh ketentraman dan kebahagian hidup
sejati.
Fungsi hukum Islam dinyatakan secara tegas oleh Allah SWT.
dalam surah An-Nisa’ ayat 105:

َ ‫اس بِ َما َأ َرا‬


ۚ ُ ‫ك هَّللا‬ ِ َّ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ن‬
َ ْ
‫ي‬ َ ‫ب‬ ‫م‬
َ ُ
‫ك‬ ‫ح‬ْ َ ‫ت‬ِ ‫ل‬ ِّ
‫ق‬ ‫ح‬
َ ْ
‫ال‬ِ ‫ب‬ ‫اب‬
َ َ ‫ت‬‫ك‬ِ ْ
‫ال‬ ‫ك‬
َ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬‫ِإ‬ ‫ا‬َ ‫ن‬‫ل‬ْ َ
‫ز‬ ْ
‫ن‬ ‫َأ‬ ‫إِنَّا‬ •

َ ِ‫َواَل تَ ُك ْن لِ ْل َخاِئن‬
ِ ‫ين َخ‬
‫صي ًما‬
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu dapat hukum kepada manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.
CIRI CIRI HUKUM ISLAM
Membentuk Adab dan Akhlak Yang Baik

Syariat Islam mewajibkan kepada


pemeluknya mempunyai akhlak yang baik,
tujuan tak lain adalah untuk memproteksi
hawa nafsu agar tidak melakukan tindakan
kriminal.

Tak Lekang Oleh Waktu

Allah memberikan suatu kelebihan kepada


syariat ini untuk mampu beradaptasi dalam
mewujudkan kemaslahatan bagi umat
manusia diakhir zaman. Ajaran-ajaran Islam
selalu bersifat fleksibel dalam merespons
segala sesuatu yang muncul. Dasar hukum
untuk merespons segala keadaan dan tempat
telah dijelaskan oleh Allah di dalam Alquran
dan Sunnah.
Pada dasarnya tujuan Syar’i dalam mensyariatkan ketentuan-ketentuan
hukum kepada mukallaf (orang yang dibebani hukum) adalah untuk
mewujudkan kebaikan bagi kehidupan mereka, baik melalui
ketentuan-ketentuan yang dharuri (pokok), hajiy (sekunder), ataupun
tahsini (aksesoris).
Dharuri adalah ketentuan hukum untuk memelihara kepentingan
hidup dan kemaslahatan manusia.
Hajiy adalah ketentuan hukum yang memberi peluang bagi mukallaf
untuk memperoleh kemudahan dalam kondisi kesukaran guna
mewujudkan ketentuan-ketentuan dharuri.
Tahsini adalah berbagai ketentuan hukum yang memberi peluang
bagi mukkalaf untuk memperoleh kemudahan dalam keadaan
kesukaran guna menjalankan ketentuan dharuri dengan cara yang
paling baik.
Ketentuan Syari‘ terhadap mukallaf (orang yang telah dibebani
hukum) ada tiga bentuk, yaitu :

1. Tuntutan
2. Pilihan,
3. Wadh ‘i

Ketentuan yang dinyatakan dalam bentuk tuntutan disebut hukum


taklifi, yang dalam bentuk pilihan disebut takhyiri, sedang yang
mempengaruhi perbuatan taklifi disebut hukum wadh’i.
HUKUM TAKLIFI (Al-Ahkam Al-Khamsah)
ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf (aqil-baligh) atau
orang yang dipandang oleh hukum cakap melakukan perbuatan
hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban, maupun dalam bentuk
larangan

1. WAJIB
Ketentuan yang menuntut para mukhallaf untuk melakukannya dengan tuntutan yang
mengikat, serta diberi pahala bagi yang melaksanakannya dan ancaman dosa bagi
yang meninggalkannya, Surah An-Nuur ayat 56-57. Perintah mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan perintah menaati Rasul. Allah Subhaanahu wa Ta’aala
berfirman:
ِ ‫بِس ِْم هَّللا ِ الرَّحْ َم ِن الر‬
‫َّح ِيم‬
ِ ْ‫ين ِفي األر‬
‫ض‬ ِ ‫ين َكفَرُوا ُمع‬
َ ‫ْج ِز‬ َ ‫َوَأ ِقي ُموا الصَّالةَ َوآتُوا ال َّز َكاةَ َوَأ ِطيعُوا ال َّرسُو َل لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُم‬
َ ‫ )ال تَحْ َسبَ َّن الَّ ِذ‬٥٦( ‫ون‬
)٥٧( ‫صي ُر‬ ِ ‫س ْال َم‬ َ ‫َو َمْأ َواهُ ُم النَّا ُر َولَبِْئ‬

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad),
agar kamu diberi rahmat. Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang kafir
itu dapat luput dari siksaan Allah di bumi; sedang tempat kembali mereka (di
akhirat) adalah neraka. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S. An-Nuur :
56-57)
Wajib dibagi jadi 4 segi:
1. Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan
yang dituntut, terdiri dari :
a. Wajib mu’ ayyan; yaitu yang telah ditentukan macam
perbuatannya. Misalnya: membaca fatihah dalam
shalat.
b. Wajib mukhayyar; yaitu yang boleh pilih salah satu dari
beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan.
Misalnya: kifarat sumpah yang memberi tiga alternatif,
memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi
pakaian sepuluh orang miskin,atau memerdekakan
budak.

2. Dilihat dari segi waktu mengerjakannya dan waktu yang


tersedia untuk mengerjakan, terdiri dari :
a. Wajib muwassa’; yakni waktu yang tersedia untuk
melaksanakan yang diwajibkan itu lebih luas atau lebih
banyak dari waktu mengerjakan kewajiban itu.
Misalnya shalat zuhur.
b. Wajib mudhayyiq; yakni yang waktunya yang tersedia
persis sama atau sama banyak dengan waktu
mengerjakan kewajiban itu. Seperti puasa bulan
Ramadhan.

3. Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya.


Terdiri dari :
a. Wajib ‘ain; yaitu tuntutan syara’ untuk melaksanakan
sesuatu perbuatan dari setiap mukallaf dan tidak boleh
diganti oleh orang lain. Seperti kewajiban mengerjakan
shalat, puasa, zakat, dan haji.
b. Wajib kifayah; yakni wajib yang dibebankan kepada
sekelompok orang dan jika ada salah seorang yang
mengerjakannya maka tuntutan itu dianggap sudah
terlaksana, namun bila tidak ada seorangpun yang
mengerjakannya, maka berdosalah sekelompok orang
tersebut. Seperti : amar ma’ruf dan nahi munkar, shalat
jenazah, mendirikan rumah sakit, sekolah, dll

4. Dilihat dari segi kadar (kuantitas)nya dan bentuk tuntutan,


terdiri dari :
a. Wajib muhaddad; yakni wajib yang ditentukan oleh syara’
bentuk perbuatan yang dituntut dan mukallaf dianggap
belum melaksanakan tuntutan itu sebelum melaksanakan
seperti yang telah dituntut oleh syara’ atau dengan kata
lain adalah kewajiban yang telah ditentukan kadar atau
jumlahnya. Contohnya shalat, zakat, dan pelunasan hutang.
b. Wajib ghairu muhaddad; yakni :
perbuatan yang wajib dan tidak wajib yang
tidak ditentukan cara pelaksanaanya dan
waktunya atau kewajiban yang tidak
ditentukan batas bilangannya, seperti infak fi
sabilillah, memberi bantuan kepada orang
yang berhajat, tolong menolong, dan lain
sebagainya. Wajib ghairu muhaddad jika
tidak dilaksanakan tidak menjadi hutang dan
tidak boleh dipaksa.
HUKUM TAKLIFI

2. Haram
Tuntutan Syari’ kepada mukallaf untuk meninggalkannya sebagai tuntutan yang
mengikat, beserta imbalan pahala bagi yang menaatinya, dan balasannya dosa bagi
yang melanggarnya. Contoh : makan daging babi, minum miras, dll
Ayat Al-Qur’an

ْ ‫ِإنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ا ْل َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَ ْح َم ا ْل ِخ ْن ِزي ِر َو َما ُأ ِه َّل بِ ِه لِ َغ ْي ِر هَّللا ِ ۖ فَ َم ِن‬
ٍ َ‫اضطُ َّر َغ ْي َر ب‬
‫اغ َواَل‬
‫“ َعا ٍد فَاَل ِإ ْث َم َعلَ ْي ِه ۚ ِإ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. Tetapi barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah : 173)
Haram secara garis besar dibagi jadi 2 :
1. Haram li zatihi; yakni Haram karena perbuatan itu
sendiri, atau haram karena zatnya. Haram seperti ini
pada pokoknya adalah haram yang memang
diharamkan sejak semula. Misalnya membunuh,
berzina, mencuri, dan lain-lain.
2. Haram li gairihi; yakni Haram karena berkaitan dengan
perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang
datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum
asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika azan
jum’at sudah berkumandang. Begitu juga dengan
puasa Ramadhan yang semulanya wajib berubah
berubah menjadi haram kerena dengan berpuasa itu
akan menimbulkan sakit yang mengancam
keselamatan jiwa.
HUKUM TAKLIFI

3. MANDUB (SUNNAH)
Ketentuan-ketentuan Syari’ tentang berbagai amaliah yang harus dikerjakan mukhallaf
dengan tuntutan yang tidak mengikat. Pelakunya diberi imbalan pahala tanpa ancaman
dosa bagi yang meninggalkannya. Mandub dibagi tiga, yaitu sunnah mu’akkadah,
za’idah, dan fadhilah. Contoh : Sholat sunnah, puasa senin kamis, dll
Tidak adanya ancaman siksa akibat meninggalkannya, seperti hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam :
‫((إ ن هللا يح ب أن تؤت ى رخص ه كم ا يح ب أن تؤت ى عزائم ه)) (رواه أحم د وال بيهقي‬
.)‫والطبراني‬

Sesungguhnya Allah mencintai bila rukhshahNya digunakan


sebagaimana ia mencintai jika azimahNya digunakan. (HR. Ahmad,
Al-Baihaqi, dan Ath-Thabarani).
Mandub secara garis besar dibagi jadi 2 :
1. Mandub berdasarkan kalangan mazhab Hanafi.
Terdiri dari :
a. Sunat ‘ain; yakni segala perbuatan yang dianjurkan
kepada setiap pribadi mukallaf untuk dikerjakan.
Misalnya shalat sunat rawatib.
b. Sunat kifayah; yakni segala perbuatan yang
dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah
seorang saja dari suatu kelompok. Seperti
mengucapkan salam, mendoakan orang bersin,
dan lain sebagainya.
2. Mandub berdasarkan kalangan mazhab Syafi’i.
Terdiri dari :
a. Sunat Muakkad; yakni perbuatan yang dituntut
memperbuatnya namun tidak dikenakan siksa bagi yang
meninggalkannya tetapi dicela. Contohnya perbuatan
sunat yang menjadi pelengkap perbuatan wajib seperti
azan, shalat berjamaah, shalat hari raya, berkurban dan
akikah.
b. Sunat Ghairu muakkad; yakni segala perbuatan yang
dituntut memperbuatnya namun tidak dicela
meninggalkannya tetapi Rasulullah SAW. sering
meninggalkannya, atau dengan kata lain yaitu segala
macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan
Rasulullah.
HUKUM TAKLIFI

4. MAKRUH
Ketentuan-ketentuan syara’ yang menuntut mukallaf untuk meninggalkannya, dengan tuntutan
yang tidak mengikat. Meninggalkan perbuatan makruh memperoleh imbalan pahala, sementara
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut tidak menimbulkan konsekuensi ancaman
dosa., tetapi jika ditinggalkan akan mendapat pahala dari Allah SWT. Contoh:
Dalam QS. An Nahl ayat 116, Allah SWT berfiman sebagai berikut.

َ ‫ُوا َعلَى هّللا ِ ْال َك ِذ‬


‫ب ِإ َّن‬ ْ ‫ب هَـ َذا َحالَ ٌل َوهَـ َذا َح َرا ٌم لِّتَ ْفتَر‬
َ ‫ف َأ ْل ِسنَتُ ُك ُم ْال َك ِذ‬
ُ ‫ص‬ ْ ُ‫َوالَ تَقُول‬
ِ َ‫وا لِ َما ت‬
‫ُون‬َ ‫ب الَ يُ ْفلِح‬ َ ‫ُون َعلَى هّللا ِ ْال َك ِذ‬ َ ‫ين يَ ْفتَر‬َ ‫الَّ ِذ‬

Artinya, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’ untuk mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah tiadalah beruntung.”
Makruh pada umumnya dibagi jadi 2 :
1. Makruh tanzih; yaitu segala perbuatan yang
meninggalkannya lebih baik daripada mengerjakannya.
Contoh: memakan daging kuda ketika
membutuhkannya di waktu perang. Sebagian ulama
Hanafiyah berpendapat hal tersebut haram namun
bisa dianggap makruh bila memang didasari dengan
kebutuhan mendesak
2. Makruh tahrim; yaitu segala perbuatan yang dilarang,
tetapi dalil yang melarangnya itu zhanny, bukan qath’i.
Misalnya: bermain catur, memakan kalajengking, dan
memakan daging ular (menurut mazhab Hanafiyah dan
Malikiyah), larangan memakai perhiasan emas bagi
laki-laki atau poligami bagi orang yang khawatir tidak
dapat berbuat adil.
5. Mubah
Mubah adalah salah satu hukum Islam. Secara bahasa, mubah artinya diizinkan
atau dibolehkan.

Adapun secara terminologi, mubah adalah suatu perbuatan yang memberikan


pilihan kepada mukalaf untuk melakukannya atau meninggalkannya.

Apabila dilakukan tidak dijanjikan ganjaran pahala, pun bila ditinggalkan tidak akan
mendapat dosa atau pun siksa.

Ketentuan hukum mubah merupakan ketentuan yang bersifat fleksibel dalam Islam.
Sebab itu, ketentuan ini dikembalikan kepada masing-masing pribadi. Apakah
perbuatan yang hendak dikerjakan akan mendatangkan manfaat atau justru
membawa mudharat bagi diri sendiri.
Mubah, halal atau jaiz adalah apa saja yang tidak diperintah atau tidak dilarang
karena dzatnya, contohnya: Makan dan minum, jual beli, bepergian untuk rekreasi,
mencari rizeki, berhubungan suami istri pada malam hari di bulan Ramadhan.

Pada definisi mubah di atas terikat dengan kata “li dzatihi”; namun terkadang
sesuatu itu berkaitan dengan hal-hal yang diluar sesuatu tersebut, maka akan
berubah menjadi diperintah atau menjadi dilarang.
Membeli air misalnya, hukum asalnya adalah mubah, akan tetapi jika berkaitan
dengan keperluan berberwudu untuk mendirikan shalat fardhu, maka membeli
air berubah menjadi wajib; karena jika ada sesuatu yang kewajiban tidak sempurnya
kecuali dengan sesuatu tersebut, maka sesuatu itu hukumnya juga ikut wajib.

Bepergian untuk rekreasi misalnya, hukum asalnya mubah, namun jika bepergian
tersebut menuju negara non muslim yang di sana banyak terdapat fitnah dan
kejahatan, merajalelanya kekejian, maka bepergian tersebut berubah hukumnya
menjadi haram; karena hal itu akan menuntun kepada perbuatan haram.
Para ulama ushul mengemukakan ada tiga bentuk mubah berdasarkan
keterkaitannya dengan mudharat dan manfaat. Tiga bentuk mubah yang dimaksud
yakni,

1. Mubah yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, perbuatannya tidak


mengandung mudharat. Contohnya, makan, minum, berpakaian, dan berburu.

2. Mubah yang apabila dilakukan tidak ada mudharatnya, sementara perbuatan


tersebut pada dasarnya diharamkan. Misalnya, makan daging babi dalam keadaan
darurat.

3. Mubah yang pada dasarnya bersifat mudharat dan tidak boleh menurut syara'.
Namun, Allah memaafkan pelakunya sehingga perbuatan itu menjadi mubah.
Misalnya, mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus.
Contoh Dalil Mubah
Salah satunya termaktub dalam surat Al Jumu'ah ayat 10,

َ ‫ض َوا ْبتَ ُغ وا ِمْنفَ ضْ ِل هَّللا ِ َو ْاذ ُكرُوا هَّللا َ َك ثِيرً ا لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِح‬
‫ُون‬ ِ ْ‫صاَل ةُ فَ ا ْنتَ ِشرُوا فِ يا َأْلر‬ ِ ُ‫فَ ِإ َذا ق‬
َّ ‫ضيَ ِتا ل‬

Artinya: "Apabila sholat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung."

Al Ma'idah ayat 2. Berikut bunyi suratnya,


‫َوِإ َذا َحلَ ْلتُ ْم فَاصْ طَا ُدوا‬

Artinya: "...Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu..."
Cara menentukan hukum mubah (jaiz)
Ada beberapa cara menentukan apakah sesuatu tersebut dihukumi jaiz.
Pertama, adanya nas yang jelas yang menunjukkan kebebasan seseorang untuk memilih apakah
mengerjakan atau meninggalkan.
Kedua, apabila terdapat nas yang meniadakan dosa bagi pelakunya.  Seperti hanya dalam firman Allah SWT,
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
di sembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS al-
Baqarah [2]: 173)
Ketiga, tidak ada nas yang melarangnya atau mengharamkannya. Seperti membaca koran, mendengar
siaran radio, naik sepeda motor, dan sebagainya.
Keempat, ada perintah untuk melakukan sesuatu, tapi ada tanda-tanda jika perintah itu hanya
menunjukkan kebolehan. Salah satu contohnya adalah firman Allah SWT dalam surah al-Jumu'ah ayat 10,
"Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung."
Kelima, adanya nas yang menyatakan jika sesuatu itu halal, seperti hanya dalam firman Allah SWT, "Pada
hari ini Ku-halalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang- orang yang diberi Alkitab itu halal
bagimu."
Keenam, pada dasarnya sesuatu itu diperbolehkan karena tidak ada yang melarang dan tidak ada yang
memerintah. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang menyebut, "Segala sesuatu itu hukum asalnya boleh
jika tidak ada nas yang melarang."
Macam Mubah
Imam asy-Syatibi membagi mubah menjadi empat bagian.
Pertama, mubah yang juz\'i (parsial) tidak menuntut untuk dikerjakan, namun secara
kulli (menyeluruh) hukumnya menjadi wajib. Misalnya, makan dan minum. Bagi satu
orang makan dan minum adalah kebebasan. Ia boleh memilih mengerjakan atau
menunda. Namun, bagi manusia secara umum, makan dan minum adalah kewajiban
demi menjaga kelangsungan hidup.
Kedua, mubah yang juz'i namun dapat dijadikan sunah. Misalnya, makan dan minum
sendiri pada dasarnya adalah mubah juz'i, namun ia makan mencontoh Rasulullah
dengan tidak mubazir atau berlebih-lebihan. Maka, ada nilai sunah ada ganjaran
dalam hal mencontoh perbuatan Rasulullah.
Ketiga, mubah juz'i dapat menjadi haram jika ditinjau secara kulli. Misalnya, menunda
makan dan minum. Hukum awalnya mubah, namun jika menunda terus- menerus
hingga menyiksa diri, hukumnya jatuh menjadi haram.
Keempat, mubah juz'i dapat menjadi makruh secara kulli. Misal, menurut Imam asy-
Syatibi hukum mendengarkan nyanyian. Hukum asalnya yang boleh bisa menjadi
makruh jika dilakukan terus-menerus hingga melalaikan keperluan lainnya. 

Anda mungkin juga menyukai