Anda di halaman 1dari 23

“ TRADISI ISLAMIC LAW ”

Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Nilai Tugas

Mata Kuliah Teori Hukum

DOSEN PENGAMPU :

PROF. DR. HERLAMBANG, S.H., M.H

Disusun Oleh :

Hillary Araya Oprecia


( Kelas : 1B )

PROGRAM STUDI PASCASARJANA ILMU HUKUM

UNIVERSITAS BENGKULU

2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum tentu harus memiliki

hukum nasional sendiri yang dimaksudkan sebagai pedoman untuk melaksanakan roda

pemerintahan. Dalam membentuk hukum nasional bangsa Indonesia mengambil dari tiga

sistem hukum. Tiga sistem hukum dimaksud adalah hukum adat, hukum Islam dan

hukum eks-Barat. Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur

paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan

dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas

teritorial kenegaraan. Masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut ajaran agama

Islam, tentu harus senantiasa melaksanakan ajaran-ajaran itu. Namun sebagai bangsa

yang berfalsafahkan Pancasila juga harus dapat mengkoomodir seluruh kepentingan

komponen bangsa. Oleh karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami hukum

islam dalam tata hukum dan pembinaan hukum nasional di tengah-tengah komunitas

Islam terbesar di dunia ini

Berbicara tentang hukum islam di indonesia ,hukum islam di indonesia

berkembang dimasyarakat menjadi sistem hukum di indonesia atau nasional. Meskipun di

indonesia ada hukum adat ,akan tetapi hukum islam tidak bertentangan dengan hukum

adat, Hukum adalahproduk yang lahir dari dinamika kehidupan manusia. Di mana ada ma

syarakat di sana ada hukum. Akan tetapi, masyarakat berkembang terus menerus mulai

dari masyarakat purbakala sampai dengan masyarakat maju dan modern.

Oleh sebab itu, hukum harus selalu mengiringi dan mengikuti irama perkembangan

masyarakat modern. Dalam masyarakat yang maju dan modern, hukum harus maju dan

modern pula.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tradisi Islamic Law ?
2. Bagaimana Sejarah Islamic Law , Faktor Pendukung dan Implementasi Islamic Law?
PEMBAHASAN
A. Tradisi Islamic Law
Hukum islam pada dasarnya merupakan hukum kepercayaan agama islam. Istilah
“islam” itu sendiri mempunyai arti penyerahan diri, dan orang berserah diri itu disebut
“muslim”. Seorang muslim adalah orang yang menyerah kepada kehendak tuhan (dalam
islam disebut Allah) yang diwahyukan kepada nabi muhammad, nabi terakhir dari sekian
banyak nabi-nabi tuhan. Perintah-perintah Allah tersebut tertulis didalam AL-QURAN,
kitab suci agama islam. Disini jelas betapa sejak awalnya karakter normatif telah melekat
dalam ajaran-ajaran islam. Dengan demikian, esensi memeluk agama islam adalah
ketundukan kepada Allah, dan mengikuti dengan sadar hukum-hukum-nya. Dalam
kepercayaan islam, hukum tidak sekadar bangunan sekuler untuk mengatur kehidupan
manusia di dunia fana ini tetapi lebih sebagai jalan lurus menuju akhirat, yang diyakini
akan kekal dan tidak berujung. Dunia fana ini akan dilanjutkan di akhirat nanti, dan
melalui hukumlah kehidupan seorang muslim menjadi benar di kedua kehidupan.

Hukum islam diturunkan dari Tuhan, tetapi dalam proses emanasinya seorang
agen diperlukan kehadirannya untuk menjadi mediator antara sumber sakral tersebut
(Tuhan) dengan dunia manusia yang fana ini. sebagai penerima risalah tersebut,
Muhammad dipercayai menjadi agen yang sakral dalam proses emanasi tersebut di mana
kehendak Tuhan diterjemahkan ke dalam kosa kata manusia. Dengan demikian, peran
nabi dalam islam sangatlah besar. ia tidak hanya sebagai utusan Tuhan tetapi juga model
percontohan bagi seluruh umat manusia dalam menjalani hukum Tuhan demi
keselamatan hidup mereka di dunia ini dan di akhirat nanti. Karenanya tidaklah
mengherankan kalau kenabian Muhammad memainkan peran yang amat penting dalam
tradisi hukum islam, yang tanpanya tidak akan ada hubungan antara yang sakral dan yang
profan, atau antara teologi dan hukum. Karenanya hukum di dalam ajaran islam dipahami
sebagai institusi yang tidak berakar maupun dicangkokkkan pada sosiologi. Hukum islam
adalah hukum yang dipahami sebagai sarana untuk mengabdi kepada Tuhan dan bukan
kepada masyarakat.
Prinsip yang berkerja di sini adalah, manusialah yang harus menaati hukum dan
bukannya hukum yang harus diciptakan sesuai dengan keinginan manusia. Hukum dalam
islam secara teoretis bukanlah hukum yang diciptakan oleh orang islam melainkan oleh
Tuhan untuk seluruh orang islam. Akal manusia tidaklah mampu menciptakan hukum;
tetapi akal hanya berfungsi sebagai alat untuk menemukan hukum tersebut. Jadi hukum
dalam islam berdiri secara organik terpisah dari tuntutan sosial karena ia berakar dari
Tuhan, bukan otoritas sekuler. Di samping itu, karena hukum islam mengandung
kehendak Tuhan, maka ia dipahami oleh semua orang islam sebagai jalan ideal untuk
mengabdi kepada Tuhan di dunia ini. ia adalah hukum yang berhubungan dengan segala
aspek kehidupan, mencakup setiap perbuatan manusia, baik dari masalah sepele hingga
masalah rumit penataan negara. inilah karakter yang menonjol dari hukum islam,
sehingga banyak yang melabelinya sebagai tradisi hukum yang kaku dan tidak kenal
perubahan.

Hukum islam secara teoritis mengatur semua aspek kehidupan manusia, karena ia
tidak lain adalah jalan Tuhan untuk menyelamatkan kehidupan manusia baik di dunia
maupun di akhirat. Hukum islam mengontrol, mengatur dan meregulasi semua perilaku
privat maupun publik seseorang. Cakupan yang begitu luas tersebut berakibat kepada
pendekatan hukum islam yang begitu generalis dan eklektis dalam mendekati setiap
persoalan. Tingkah laku manusia diatur dan dibagi dalam dua klasifikasi besar yang
diyakini terpisah dan saling memengaruhi.

Pertama adalah hubungan Tuhan dan manusia, di mana aturan ibadah diwajibkan
kepada setiap orang islalm dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai refleksi atas
ketundukan mereka kepada Tuhan, sementara yang kedua adalah hubungan antar-sesama
manusia di mana hukum di dalamnya diturunkan untuk mengatur segala aktifitas dalam
kehidupan manusia sehari-hari dengan sesamanya. Di sini kita mendapati teori hukum
yang tidak hanya holistik dalam pandangannya tentang cakupan hukum tetapi juga
menyatukan persoalan sekuler dan agama dalam satu entitas. Hukum islam memberi
aturan yang spesifik tentang shalat, puasa, zakat dan haji sebagaimana juga masalah
bantuan sosial maupun hal-hal lainnya.ia juga berisi aturan tentang makanan halal, diet,
hubungan seksual, pemeliharaan anak dan masalah-masalah domestik lainnya. Terlebih
dari itu, di samping mengatur masalah yang berhubungan dengan tingkah laku individual,
hukum islam juga penuh dengan aturan yang berhubungan dengan urusan kehidupan
lainnya yang lebih kompleks. Paling tidak secara teoretis, kita dapat menemukan dalam
hukum islam tatanan tentang bagaimana seseorang harus bertingkah laku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bagaimana satu kelompok berinteraksi dengan kelompok
lainnya. Di samping aturan tentang transaksi bisnis sebagaimana aturan tentang
pertengkaran, konflik dan perang.

Namun begitu, aspek historis hukum islam menunjukkan dengan jelas bahwa
perkembangan aspek substantif hukum ini sejak fase awal pertumbuhannya tidak resistan
terhadap pengaruh asing. sejak masa awal pertumbuhannya, hukum islam senantiasa
menyambut positif nilai-nilai dari luar yang dipandang masih masuk dalam batas ajaran
islam. Hal ini tentu dapat dimengerti jika kita menyadari fakta bahwa meskipun hukum
mempunyai peran penting dalam teologi islam, masa kehidupan nabi sendiri terlalu
pendek untuk berurusan dengan segala macam kasus yang muncul di dalam masyarakat.

Aspek-aspek substantif hukum islam yang dibawa oleh nabi Muhammad dapat
dikatakan sudah mengalami percampuran antara ide hukum sakral yang diambil dari
ajaran-ajaran wahyu dan entitas tradisi hukum lain (yang sebagian besarnya adalah
hukum adat masyarakat Arab) yang hidup saat itu. Di sini kita bisa melihat fenomena
yang menarik di mana ide dan ajaran tentang hukum yang bersifat sakral dan hukum yang
profan mengalami percampuran pada masa awal proses penciptaan hukum islam. Hukum
Keluarga. Dari semua aspek substantif hukum islam, regulasi tentang keluarga
tampaknya merupakan ajaran hukum yang sifatnya paling sakral. Aspek kesakralan inilah
yang paling bertahan hingga kini di tengah benturan modernisasi yang berakibat kepada
tersingkirkannya berbagai aturan lain dari hukum islam saat ini. Maka nabi menghapus
beberapa praktik adat Arab yang berlangsung sejak lama seperti poliandri, hubungan
seksual di luar nikah, adopsi, perceraian berulang-ulang, dan sebagainya, sementara nabi
juga melakukan modifikasi terhadap beberapa praktik hukum pada saat itu seperti dalam
kasus poligami dan mahar. Jadi, tujuan utama dari perkawinan dalam islam adalah untuk
menjaga kemurnian dan kebersihan hubungan genealogis ras manusia. Hal ini dapat
dilaksanakan pertama melalui upacara ritual yang digunakan sebagai sarana untuk
mengekspresikan kehendak dan kemauan kedua belah pihak yang melakukan perkawinan
tersebut. upacara perkawinan itulah yang secara esensial menjadi titik awal penghalalan
suatu perbuatan yang sebelumnya diharamkan, yaitu hubungan seksual. Namun
demikian, ini tidak berarti bahwa perkawinan dalam islam itu tidak dapat dibina tanpa
adanya upacara tersebut. Hukum islam tidak mensyaratkan ritual khusus atau formalitas
yang bertele-tele dalam hal perkawinan; persyaratan yang esensial adalah adanya ijab
(tawaran) dari satu pihak dan qabul (penerimaan) dari pihak lain untuk menerima kontrak
perkawinan itu. Oleh karenanya dapat dimengerti bahwa perkawinan itu mempunyai nilai
yang sangat penting dalam hukum islam. ia bukanlah sekadar kontrak legal saja,
melainkan titik awal pembentukan sebuah keluarga yang dengan sendirinya merupakan
faktor fundamental dalam bangunan masyarakat. itulah mengapa hukum islam mengatur
perkawinan ini secara detail dan komprehensif.

Dari aspek-aspek itulah maka dapat dikatakan bahwa hukum islam sejatinya telah
berhasil meningkatkan posisi wanita dalam masyarakat Arab. Kalau masyarakat Arab
pra-islam melihat kaum wanita sebagai makhluk tanpa hak, maka nabi kemudian
mengubah situasi itu dengan mereformasi institusi perkawinan dari bentuk hubungan
yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak laki-laki menjadi hubungan yang relatif seimbang
antara laki-laki dan perempuan di mana persetujuan perempuan menjadi faktor yang
sangat penting. Tentu saja, pengaruh adat dan kultur Arab pra- islam cukup dominan
sehingga nabi saat itu pasti tidak mudah membuang nilai-nilai lama tanpa mengadopsi
sebagian nilai-nilai tersebut untuk masuk dalam sistem hukum islam. Jalan tengah
tampaknya di sini menjadi alternatif terbaik agar ajaran-ajaran islam dapat diterima oleh
masyarakat. untuk itu, nabi pada saat itu tidak sekadar mengganti praktik hukum lama
dengan yang baru tetapi mempertahankan kultur lama yang tidak bertentangan dengan
nilai islam yang dibawa oleh wahyu. Maka Islam dimaknai sebagai sebuah ketundukan
dan penyerahan diri seorang hamba saat berhadapan dengan Tuhannya. Hal ini berarti
bahwa manusia dalam berhadapan dengan Tuhannya (Allah) haruslah merasa kerdil,
bersikap mengakui kelemahan dan membenarkan kekuasaan Allah swt. Kemampuan akal
dan budi manusia yang berwujud dalam ilmu pengetahuan tidaklah sebanding dengan
ilmu dan kemampuan Allah swt. Kemampuan manusia bersifat kerdil dan sangat terbatas,
semisal hanya terbatas pada kemampuan menganalisis, menyusun kembali bahan-bahan
alamiah yang telah ada untuk diolah menjadi bahan yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia, tetapi tidak mampu menciptakan dalam arti mengadakan dari yang tidak ada
menjadi ada (invention).1

B. Sejarah Perkembangan Islamic Law

Perkembangan hukum islam mulai menunjukkan perkembangan dinamisnya sejak


kurun waktu yang relative lama. Dalam potret sejarah penetapan hukum Islam,
perkembangan pemikiran hukum Islam dalam realitas empiric dapat diidentifikasi secara
sistematis sejak periode Rasulullah SAW. Hingga era kontemporer saat ini.Nabi
Muhammad SAW. Nabi Muhammad adalah orang yang pertama kali memberikan fatwa
fatwa ke pada manusia yang beragama islam, nabi muhammad memberi kan fatwa ke
pada umat muslim yang diterima dari malikat jibril. pada saat khulafa urasidin Pada saat
nabi muhammad wafat, nabi muhammad tidak meninggalkan wasiat ke pada para sahabat
untuk siapa yang akan menjadi pemipin selanjutnya.
Di kalangan sahabat nabi yang paling terkenal di zaman nabi adalah Abu bakar
As-Sidiq dan banyak juga yang lain nyah,tapi yang terpilih menjadi khalifah pertama
adalah abu bakar lah yang terpilih menjadi khalifah pertama setelah nabi Muhammad
wafat yang di lanjutkan oleh Umab bin Khatab sebagai khalifah ke dua, kemudian
Ustman bin Affan sebagai khalifah ke tiga, dan oleh Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah
ke empat. Masa khulafa urasidin harus di tiru dan di contoh oleh generasi selanjutnyah
karena sangat penting dalam perkembangan hukum islam maka harus di jadikan contoh.
Penyebaran agama Islam di kepulauan Indonesia melalui media perdagangan, tanpa
mission dan kekuatan. Masuknya Islam dengan perangkat budayanya sangat
mendominasi, seimbang dengan berkembangnya agama Islam yang merata dari Sabang
sampai Merauke. Dapat diambil suatu benang merah bahwa proses yang ditempuh dalam
penyebaran Islam adalah proses penetration pacifique (pembebasan secara damai), dan
dapat dikatakan pula bahwa penyebaran Islam di Indonesia itu tidak didasarkan atas misi
1
Mardani, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015)
atau dorongan kekuasaan, melainkan penyebaran Islam berlangsung secara evolusi atau
berlangsung secara perlahan. Proses itu juga berlangsung secara continue (terus-menerus)
dengan berdasar pada kesadaran bahwa penyebaran agama Islam menjadi tanggung
jawab dari setiap pemeluknya.
Terdapat tiga faktor utama yang dapat mempercepat proses islamisasi di
Nusantara menurut Fachry Ali dan Bahtiar Effendy. Pertama, prinsip tauhid dalam Islam
sangat mengimplikasikan pembebasan manusia dari kekuatan-kekuatan selain Allah;
kedua, ajaran Islam yang lentur mampu mengakomodasi nilai-nilai lokal yang tidak
bertentangan dengan Islam; ketiga, sifat Islam yang anti penjajahan. Sejak Islam dikenal
di Indonesia itulah, Islam terus berkembang dengan pesat. Menurut para sejarawan, Islam
masuk ke Indonesia melalui berbagai jalur, sehingga dengan cepat diterima oleh
masyarakat Indonesia yang waktu itu masih kuat menganut paham lama, yaitu menganut
agama Hindu, Buddha, bahkan Animisme dan Dinamisme. Dapat disimpulkan bahwa
jalur-jalur yang mula-mula dilakukan oleh para penyebar Islam di Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. Jalur perdagangan
Pada taraf permulaan, saluran islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan lalu-lintas
perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M memnuat para pedagang Muslim (Arab,
Persia, dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian
barat, tenggara, dan timur benua Asia. Islamisasi melalui perdagangan ini sangat
menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan
perdagangan. Mereka melakukan dakwah Islam, sekaligus menjajakan dagangannya
kepada penduduk pribumi.
2. Jalur perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik
daripada kebanyakan pribumi sehingga penduduk pribumi, terutama putriputri
bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagarsaudagar itu. Sebelum menikah
mereka diislamkan lebih dahulu. Setelah mereka memiliki keturunan, lingkungan
mereka semakin luas. Akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah, dan
kerajaan-kerajaan muslim. Melalui jalur perkawinan, para penyebar Islam melakukan
perkawinan dengan penduduk pribumi. Melalui jalur ini mereka menanamkan cikal-
bakal kader Islam.
3. Jalur tasawuf
Para penyebar Islam juga dikenal sebagai pengajar pengajar tasawuf. Mereka
mengajarkan teosofi yangbercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh
masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam hal magis dan memiliki kekuatan
pengobatan. Di antara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan
setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi
mempunyai persamaan alam pikiran yang sebelumnya menganut agama Hindu,
sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima masyarakat. Kehidupan
mistik bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi kepercayaan, oleh karena itu,
penyebaran Islam kepada masyarakat Indonesia melalui jalur tasawuf atau mistik ini
mudah diterima karena sesuai dengan alam pikiran masyarakat Indonesia. Misalnya,
menggunakan ilmu-ilmu riyadat dan kesaktian.
4. Jalur pendidikan
Islamisasi Indonesia juga dilakukan melalui jalurpendidikan seperti pesantren, surau,
atau masjid yang diinisiasi oleh guru agama, kiai, dan ulama. Jalur pendidikan
digunakan oleh para wali khususnya di Jawa dengan membuka lembaga pendidikan
pesantren sebagai tempat kaderisasi mubalig-mubalig Islam. Setelah lulus dari
pondok pesantren, mereka pulang ke kampung masingmasing atau berdakwah ke
tempat tertentu. Pesantren tertua didirikan oleh Raden Rahmat Sunan Ampel di
Ampel Denta Surabaya. Serta pesantren Giri yang didirikan oleh Sunan Giri di
Gresik. Alumnus pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk
berdakwah.
5. Jalur kesenian
Para penyebar Islam juga menggunakan kesenian dalam rangka penyebaran Islam.
Wujudnya antara lain wayang, sastra, dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan
jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam seperti Walisongo untuk menarik
perhatian masyarakat luas, sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik pada
ajaran-ajaran Islam sekalipun pada awalnya mereka Islam pun secara otomatis
diberlakukan dalam kerajaan-kerajaan tersebut.
Di beberapa kerajaan, dibentuk lembaga-lembaga keagamaan untuk menegakkan
keberadaan hukum Islam. Salah satu lembaga tersebut adalah peradilan agama yang
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara orang Islam. Para hakim dalam lembaga
ini diangkat sendiri oleh Sultan di kerajaan masing-masing. Dapat diambil contoh pada
kerajaan Aceh, pelaksanaan hukum Islam menyatu dengan peradilan negara dan
dilakukan secara bertingkat, mulai dari peradilan tingkat kampung, kemudian peradilan
balai hukum mukim yang merupakan tingkat banding, dan jika masih terdapat
ketidakadilan bisa dilakukan kasasi kepada Sultan, yang anggotanya terdiri dari Sri
Paduka Tuan, Raja Bandahara, dan Faqih. Pelaksanaan hukum Islam di kerajaan Mataram
di bawah kendali Sultan Agung dibagi menjadi peradilan Surambi yang menangani
perkara-perkara kejahatan pidana (qishâs). Selanjutnya di Minangkabau, perkara agama
diadili pada rapat Nagari dan kepala-kepala nagari, pegawai-pegawai masjid dan
ulamaulama yang dilakukan pada hari Jumat, sehingga sidang tersebut dinamakan Sidang
Jumat.
Demikianlah berbagai macam bentuk pengadilan agama di wilayah Nusantara.
Terdapat beberapa daerah seperti Aceh, Jambi, dan Kalimantan yang telah menerapkan
sebuah bentuk peradilan dengan hakim-hakim yang dipilih langsung oleh penguasa
setempat. Namun di beberapa daerah tidak terdapat bentuk pengadilan agama secara
khusus. Sedang di daerah Jawa, eksistensi Pengadilan Agama sudah terlihat pada abad
ke-16 M. Begitulah hukum Islam berlaku dan dilaksanakan dalam masyarakat Nusantara.
Hampir seluruh wilayah Nusantara menggunakan hukum Islam dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari, meski harus diakui terdapat beberapa daerah di Jawa yang masih
bercampur dengan unsur-unsur yang berbau pra-Islam. Hukum Islam mulai mengalami
resistensi saat penjajah Belanda mulai datang ke Nusantara. Politik hukum kolonial
Belanda berusaha meminggirkan peranan hukum Islam dari kehidupan masyarakat.

1. Masa Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia


a. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia yang
didirikan pada sekitar abad ke-13 yang lahir sebagai tonggak sejarah awal berdirinya
kerajaan Islam di Indonesia pada saat itu. Kerajaan ini merupakan hasil dari proses
Islamisasi daerah-daerah pantai yang dulu pernah disinggahi oleh para pedagang muslim
sejak abad ke-7 M sampai seterusnya. Menurut Ibnu Batutah, kerajaan ini sangat bagus
dalam mengislamkan daerah Jawa dan Malaka. Adapun mazhab hukum islam yang
berkembang dikerajaan Samudera Pasai pada saat itu adalah Mazhab Imam Syafi’I yang
kemudian dikenal di Indonesia sampai pada saat ini.
b. Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh merupakan kelanjutan dari kerajaan Samudera Pasai yang pernah
dijajah oleh Bangsa Portugis pada sekitar Tahun 1512 M atau sekitar abad ke-14. Kerajaan ini
terletak di Bandar Aceh Bengawan. Menurut sejarah, pada Tahun 1496-1903 Aceh telah
memiliki banyak perkembangan, diantaranya yaitu :
1) Memiliki kemampuan dalam segi pengembangan pola dan sistem pendidikan militer
2) Memiliki komitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa
3) Memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik
4) Memiliki kemampuan dalam hal diplomatic
5) Memiliki kemampuan untuk mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan.
Selain hal diatas, aceh juga bisa dikatakan sukses dalam hal mengadakan kerjasama militer
dengan negara Turky dan Italia.2 Adapun mazhab hukum Islam yang dianutnya pada masa
itu adalah mazhab Imam Syafi‟I yang kemudian disebar diberbagai daerah di Indonesia. Tidak
hanya itu, pada masa kerajaan Aceh terdapat pula Kitab Siratul Musthaqim yang
merupakan sebuah karya dari ulama besar Nuruddin Arraini yang kemudian digunakan
sebagai sarana penyebaran Islam untuk dijadikan pedoman bagi para guru agama.
c. Kerajaan Demak
Kerajaan Islam selanjutnya adalah Kerajaan Demak yang memiliki Raja yang
bernama Raden Patah dan telah memiliki qadhi dalam kesultanan yang dijabat
oleh Sunan Kaliaga. Setelah terkalahkan dibidang hukum, kerajaan Demak kemudian
mengambil inisiatif untuk menyusun himpunan undang-undang dan peraturan dalam hal
pelaksanaan hukum yang dinamakan “Salokantara” yang kemudian dijadikan sebagai
kitab hukum.3

2
Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam (Dinamika dan Perkembangannya di
Indonesia, (Jogjakarta: Kreasi, Total Media, 2008), hlm. 90.
3
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.
153
d. Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram merupakan kerajaan Islam di Pulau Jawa yang didirikan
oleh Sutawijaya, kemudian digantikan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Pada
masa pemerintahan Sultan Agung inilah kemudian hukum Islam mulai mengalami
perkembangan setelah sebelumnya tidak terlalu berpengaruh dimasa itu. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya perubahan pada struktur tata hukum di Kerajaan Mataram
yang mengadili permasalahan yang dianggap dapat mengancam keselamatan
kerajaan.
Pada masa pergantian kekuasaan (dalam bidang pemerintahan) Sultan Agung,
terjadi peperangan antara Kerajaan Mataram dengan VOCyang diakibatkan adanya
pengaruh dari VOC yang berpusat di Batavia pada saat itu yang kemudian dapat
diselesaikan dengan diadakannya pembagian wilayah Mataram pada Tahun 1755
menjadi dua bagian yakni Kesultanan Ngayogyakarta dan Kesultanan Surakarta.
Pembagian wilayah kesultanan tersebut tertuang pada “Perjanjian Giyanti” yang
disertai dengan tanda tangan sebagai bukti bahwa pada wilayah kesultanan tersebut
telah sah dilakukan pembagian wilayah kesultanan. Dengan adanya bukti tersebut,
maka era kerajaan Mataram berakhir sebagai satu kesatuan wilayah dan politik.
e. Kerajaan Cirebon
Cirebon merupakan kerajaan islam pertama di Jawa Barat. Tome Peres
menyebutkan bahwa islam sudah ada di cirebon sekitar tahun 1470-1475 M orang
yang berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi kerajaan yaitu Syarif Hidayat
yang terkenal dengan Sunan Gunung Jati dialah pendiri kerajaan Cirebon. Hukum
Islam di kerajaan Cirebon dapat berkembang dengan baik, terutama hukum-hukum
yang berhubungan dengan masalah kekeluargaan. Di bawah pengaruh dan
kepemimpinan Fatahillah, seorang tokoh wali sango, Hukum Islam di kerajaan ini
mengalami perkembangan yang sangat pesat dan pengaruh hukum Islam yang sangat
kuat sehingga pada bidang hukum tertentu hukum ini mampu menggantikan
kedudukan hukum jawa kuno sebagai hukum asli yang diterapkan oleh penduduk
setempat pada masa kerajaan Cirebon tersebut.
2. Hukum Islam Masa Hindia Belanda
Masa penjajahan Belanda sangat berpengaruh terhadap perkembangan hukum
Islam di Indonesia. Politik Belanda terhadap Islam dan ketentuan hukumnya di Indonesia
dapat dibagi ke dalam dua periode. Pertama adalah periode pemerintahan VOC sejak
1596 hingga pertengahan abad ke-19. Periode ini diselingi dengan masa pemerintahan
Inggris pada 1811-1816. Kedua adalah periode pertengahan abad ke-19 hingga
berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia.4 Pemerintah Belanda melalui pemerintahan
VOC (Vereenigde Oost Inlandse Compagnie) atau Kongsi Dagang Hindia Belanda pada
mulanya mencoba menerapkan hukum Belanda kepada masyarakat pribumi, namun tidak
berjalan efektif. Akhirnya, VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada di
masyarakat.
Disebutkan dalam Statuta Batavia tahun 1642 bahwa soal kewarisan orang-orang
pribumi yang beragama Islam hukum yang digunakan adalah hukum yang digunakan
sehari-hari, yakni hukum Islam. Kemudian pemerintah VOC meminta kepada D.W.
Freijer untuk menyusun suatu compendium (ringkasan) tentang hukum perkawinan dan
kewarisan Islam. Compendium Freijer ini kemudian diterima pengadilan dan diterapkan
untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah-daerah yang
dikuasai oleh VOC. Terdapat juga beberapa kitab hukum lainnya yang dibuat oleh
pemerintah VOC, di antaranya Compendium Mugharrar yang dipakai untuk pengadilan
Semarang, Cirbonsch Rechtboek (Pepakem Cirebon) dan koleksi hukum Hindia Belanda
untuk daerah Bone dan Gowa (Compendium Indiansche Wetten bij Hoven van Bone en
Goa).5
Posisi hukum ini berlangsung demikian, selama kurang lebih dua abad. (1602-
1800). Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan kolonial Belanda
menguasai sungguh-sungguh kepulauan Indonesia. Sikapnya terhadap hukum Islam
mulai berubah, namun perubahan itu dilaksnakan secara perlahan, berangsur-angsur, dan
sistematis.

4
Muhammad Iqbal, Hukum Islam Indonesia Modern, Dinamika Pemikiran dari Fiqih Klasik ke Fiqih Indonesia,
(Tangerang: Gaya Media Pratama, 2009), hlm. 40.
5
Arso Sastroatmojo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,(Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 11-
12.
Setelah Indonesia dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda berdasarkan
konvensi yang ditandatangani di London pada 13 Agustus 1814, pemerintah kolonial
Belanda membuat suatu UndangUndang tentang kebijaksanaan pemerintah, susunan
pengadilan, pertanian, dan perdagangan terhadap daerah jajahannya di Asia. Undang-
undang ini mengakibatkan perubahan di hampir semua bidang kehidupan orang
Indonesia, termasuk bidang hukum, yang akan merugikan perkembangan bidang hukum
Islam selanjutnya. Belanda sangat berambisi mengekalkan kekuasaannya di Indonesia,
sehingga selain upaya di atas, pemerintah Kolonial Belanda mulai melaksanakan sebuah
“Politik Hukum yang Sadar” terhadap Indonesia. Yang dimaksud dengan politik hukum
yang sadar adalah politik hukum yang sadar hendak menata dan mengubah kehidupan
hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Politik ini didorong oleh keinginan
menerapkan kodifikasi hukum yang terjadi Belanda serupa di Indonesia, karena mereka
yang berlaku mengikuti agama yang dianut. Jika orang itu memeluk agama Islam, hukum
Islamlah yang berlaku baginya.
3. Internalisasi Hukum Islam
Pemeliharaan syariat Islam di Indonesia diwujudkan dalam bentuk internalisasi di
masyarakat. Internalisasi adalah upaya penyampaian syariat Islam dari satu generasi ke
generasi lainnya melalui pengajaran, baik formal maupun informal, dan mewujudkan
keyakinan/keyakinan dan kesadaran itu dalam perilaku mereka. Internalisasi ini
dilakukanoleh masyarakat baik secara individu maupun kelompok melalui penanaman
nilai, materi, dan kaidah syariat Islam. Internalisasi ini lebih spontan; berdasarkan
kesadaran dan kemauan masyarakat, didorong oleh rasa tanggung jawab dan keterikatan
pada agama (Horak, 2017).
Pemeliharaan ini dalam bentuk internalisasi dilakukan oleh masyarakat di
beberapa tempat seperti rumah, masjid, majelistaklimi madrasah, sekolah, pesantren, dan
universitas. Internalisasi berupa pengajaran dan indoktrinasi.Pada umumnya mazhab-
mazhab hukum Islam yang dipilih untuk diinternalisasikan dalam masyarakat Indonesia
adalah ajaran dan doktrin mazhab Syafi'i, meskipun mazhab-mazhab lain yang diajarkan
hanya pengenalan sederhana. Internalisasi madzhab Syafi'I lebih dominan dibandingkan
madzhab lainnya karena Indonesia merupakan wilayah yang pernah dikuasai oleh Arab
Yaman yang tergabung dalam ekspedisi militer Turki Usmani ke wilayah Nusantara.
Internalisasi hukum yang dapat dikatakan berhasil dalam masyarakat Indonesia adalah
dalam bidang hukum keluarga, perkawinan dan pewarisan, tentunya dalam kerangka
mazhab Syafi'i. Mayoritas masyarakat muslim Indonesia mengikuti aturan hukum
perkawinan Islam dalam lembaga perkawinan. Hal ini terlihat dalam kegiatan akad nikah
yang memenuhi semua ketentuan nikah di mazhab Syafi'i. Dalam bidang kewarisan,
masyarakat muslim Indonesia menjadikan ketentuan-ketentuan hukum Islam sebagai
pedoman mereka dalam pembagian harta warisan. Ketentuan jatah ahli waris mengikuti
ketentuan yang diatur dalam hukum Islam, termasuk dalam hal ketentuan ahli waris yang
berhak atas harta warisan.6
4. Formalisasi Hukum Islam

Bentuk pengembangan hukum Islam selanjutnya adalah formalisasi, yaitu


menjadikan hukum Islam sebagai bagian dari substansi/peraturan perundang-undangan.
Hal itu dilakukan melalui upaya politik dalam proses legislasi. Formalisasi ini merupakan
jawaban atas kebutuhan masyarakat dalam bentuk konstitusi. Melalui formalisasi, hukum
Islam tidak hanya hidup di masyarakat, tetapi juga menjadi hukum positif yang
diberlakukan oleh negara. Selain itu, melalui formalisasi ini, hukum Islam perlu
mengkompromikan sistem hukum lain yang ada di Indonesia. Sebagai substansi hukum,
hukum Islam bekerja sama dengan hukum adat ('ādah) dan hukum Barat untuk
merumuskan tindakan/hukum yang sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.
Peluang formalisasi menjadi lebih luas sejak reformasi politik pada tahun 1998.
Gerakan untuk menjadikan hukum Islam ada dalam sistem hukum nasional menjadi lebih
luas dan masif. Sedangkan pada masa Orde Baru dan Orde Lama perkembangan Hukum
Islam terhambat, karena hubungan antara Islam dan negara cenderung berkonflik.
Kemajuan formalisasi hukum Islam di Indonesia terjadi pada masa Orde Reformasi.
Setelah Orde Baru digulingkan, aspirasi formalisasi hukum Islam muncul secara masif
karena demokrasi terbuka lebar. Kebebasan berekspresi dan berpendapat dimanfaatkan
oleh kelompok Islamis di Indonesia untuk memasukkan hukum Islam sebagai bahan
perumusan undang-undang dalam proses legislasi di DPR. Juga, aspirasi formalisasi

6
Suntana, I. From Internalization To Formalization; Islamic Law Development in Indonesia. The Islamic Quarterly:
The Islamic Quarterly, Volume 64, hal 115-126
menemukan jalan terbuka lebar melalui beberapa partai Islam yang berhasil di parlemen
Indonesia.
Formalisasi hukum Islam di Indonesia menghasilkan beberapa undang-undang
yang sumber bahan hukumnya diambil dari hukum Islam (Ma'u, 2017), yaitu undang-
undang tentang perkawinan, perbankan syariah, penyelenggaraan haji, pengelolaan zakat,
wakaf, surat berharga syariah (suqūq), larangan pornografi dan pornoaksi , serta jaminan
kehalalan produk. Keberhasilan formalisasi tersebut dibarengi dengan proses politik yang
cukup krusial di parlemen. Terjadinya opini di kalangan anggota parlemen yang
mengakibatkan proses pemungutan suara dan pemogokan dalam pemberlakuan beberapa
undang-undang tersebut.7
C. Faktor Pendukung Perkembangan Hukum Islam

Adapun faktor faktor yang menjadi pendukung perkembangan Hukum islam


kedudukan hukum islam, penganut yang mayoritas, ruang lingkup hukum islam yang
luas, serta dukungan aktif organisasi kemasyarakatan islam. Kedudukan hukum islam
sejajar dengan hukum yang lain. Faktor lain, kenyataan bahwa islam merupakan agama
dengan penganut mayoritas merupakan aset yang menjanjikan. Dengan modal mayoritas
ini, umat islam bisa masuk dalam berbagai lembaga pemerintahan, baik eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif, yang mempunyai kewenangan menetapkan politik hukum.
Logikanya, semakin banyak populasi muslim, maka semakin banyak pula aspirasi yang
masuk dan terwakili. Namun realitas ini tidak serta merta menjadi menjadi niscaya,
karena sangat tergantung pada bagaimana keinginan dan upaya umat islam
mengimplementasikannya. Faktor pendukung lain terletak pada cakupan bidang hukum
yang luas. Dengan keluasan bidangnya, hukum islam merupakan alternatif utama dalam
pembentukan tata hukum,karena mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan hukum
masyarakat. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan mengambil nilai-nilai islam yang
bersifat universal (sebagai norma abstrak) untuk dijadikan sebagai konsep teoritis guna
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Faktor keempat yang juga penting
adalah peran aktif lembaga atau organisasi islam. Secara struktural keberadaan
organisasi-organisasi islam dalam sistem politik Indonesia menjadi pengimbang bagi
kebijakan pemerintah.
7
Ibid.
D. Implementasi Hukum islam

Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat dapat dari sisi
penerapan atau perilaku hukum di masyarakat khususnya yang berkaitan dengan masalah
individu dan keluarga. Pembentukan hukum Islam di Indonesia erat kaitannya dengan
faktor historis yang diwariskan kerajaan Islam di nusantara sebelum datangnya VOC
dengan munculnya dua teori perkembangan hukum Islam, yaitu penerimaan hukum Islam
sebagai sumber persuasif yakni hukum Islam al Qur’an dan al sunnah. Penerimaan itu
tertuang dalam Piagam Jakarta yang ditanda tangani tanggal 22 Juni 1945 yang
berlangsung sampai tanggal 5 Juli 1959.
Penerimaan hukum Islam sebagai sumber autoritif yakni sumber hukum yang
telah dianut oleh semua imam mazhab. Pada awal kedatangan VOC tahun 1602 M
pelaksanaan hukum Islam telah dilaksanakan ini dapat dilacak dengan ditemukan
beberapa buku sebagai pegangan penerapan hukum Islam misalnya didaerah Mataram
disebut ”Pengadilan Surambi”, karena diselenggarakan diserambi Masjid Agung, di
Banten pengadilan dipimpin oleh seorang qadhitunggal, di Cirebon pengadilan
dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili sultan, di Sulawesi ada kitab
ammana gappa, di Aceh ada kitab Sirathal Mustaqim karangan Nuruddin al-Raniry
(1628). Melihat perkembangan hukum Islam tersebut, VOC menyusun suatu buku
Compendium (buku ringkasan) yang dikenal Compendium Freijer yang memuat hukum
perkawinan dan kewarisan Islam (1760), sesudah Belanda mengefektifkan kekuasaan di
Indonesia (1816-1942) beberapa aturan dikeluarkan misalnya Vanden Berg (1845-1927)
mengelurkan teori Receptio in Complexubahwa hukum mengikuti agama yang dianut.
Kemudian Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) mengeluarkan teori Receptio bahwa
hukum Islam yang hendak diberlakukan terlebih dahulu diresepsi oleh hukum adat.

Upaya untuk melakukan institusionalisasi atau pelembagaan Hukum Islam dalam


tata hukum di Indonesia merupakan kebutuhan sejarah perkembangan hukum Islam di
Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai salah satu strategi pengembangan ajaran Islam yang
lebih menyatu dengan karakter dan kebutuhan akan rasa keadilan dan kedamaian dalam
kehidupan bermasyarakat. Implementasi-institusionalisasi Hukum Islam di Indonesia
termanifestasi dari pergulatan hukum dalam upaya perumusan perundang-undangan dan
tata hukum di Indonesia. Pemikiran ini mencoba menganalisa perkembangan hukum
Islam dalam perspektif sejarah dan yuridis formal dalam tata hukum di Indonesia.
Institusionalisasi atau legislasi hukum Islam adalah upaya yang dilakukan untuk
mempositifkan hukum Islam secara nasional di bumi Indonesia. Hukum Islam dalam
pengertian ini adalah segala norma hukum yang berasal dari syari’at Islam seperti halnya
hukum keluarga, perbankan yang berdasarkan prinsip bagi hasil atau perbankan syari’ah.
Hukum ibadah yang membutuhkan keterlibatan negara dalam mengatur terselenggaranya
ritual agama secara lebih baik. Demikian juga dengan sistem hukum publik yang
berusaha mengatur dan mencegah terjadi pelanggaran yang lebih besar, sehingga legislasi
hukum publik Islam menjadi salah satu alternatif dalam pelaksanaannya.
Hukum Islam adalah hukum yang berlaku dan menyatu dengan kenyataan,
meskipun hukum tersebut belum menjadi penyelesaian resmi dalam formal
(pemerintahan seperti hukum positif yang berlaku saat ini. Namun secara defacto
kenyataan berlakunya hukum Islam adalah paralel dengan kesadaran umat Islam dalam
kehidupan sehari-hari dalam menyelesaikan berbagai kemelut sosial yang ada. 8 Lahirnya
peraturan perundang-undangan tentang perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), izin
perkawinan dan perceraian bagi PNS (PP No. 10 Tahun 1983), peraturan tentang
perwakafan tanah milik (PP No. 28 Tahun 1977), dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di
Indonesia merupakan dinamika pembaruan pemikiran hukum Islam yang patut
diapresiasi dan disyukuri.
Pada akhir 1989, juga disusul dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama. Pada akhirnya setelah melalui perdebatan panjang, pada 10 Juni 1991
Presiden RI sebuah intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang KHI.82 Penyebarluasan
KHI ke seluruh ketua Pengadilan Agama dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama
didasarkan kepada Inpres No. 1 Tahun 1991. Pada saat itulah, secara formal dan secara
de jure KHI diberlakukan sebagai hukum materiil bagi lingkungan Pengadilan Agama di
seluruh Indonesia. Penyebarluasann KHI dilakukan menggunakan Surat Edaran Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam No. 3694/EV/ HK.033/AZ/91 tanggal 25 Juli
1991 yang dikirim kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan

8
Muhammad Julijanto, , IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA SEBUAH PERJUANGAN POLITIK
KONSTITUSIONALISME, Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN ,Surakarta. Hlm. 675-676.
Agama di seluruh Indonesia. Demikianlah, ketentuan di dalam UndangUndang di atas
berlaku secara keseluruhan dalam pengaturan masalah-masalah perkawinan, perwakafan,
dan kewarisan bagi umat Islam di Indonesia khususnya dan warga negara Indonesia pada
umumnya. Pokok-pokok pengaturan dalam peraturan perundang-undangan tersebut ialah
sebagai berikut:
a. Hukum Perkawinan
Terdapat enam prinsip dalam UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang kemudian
diperjelas dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI), di antaranya ialah:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,
b. Ukuran sah-tidaknya perkawinan adalah hukum agama, dan harus dicatat oleh Pegawai
Pencatat Nikah,
c. Asas perkawinan adalah monogami. Poligami hanya dibenarkan jika dilakukan atas
izin istri dan pengadilan,
d. Usia calon mempelai telah dewasa masak jiwa dan raganya,
e. Perceraian dapat dilakukan apabila memenuhi ketentuan Undang-Undang,
f. Dikembangkan prinsip musyawarah suami-istri.
Terdapat enam syarat lainnya yang juga harus dipenuhi selain prinsip-prinsip di atas,
yakni:
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;
b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin kedua orangtua dan dispensasi dari Pengadilan Agama;
c. Jika salah satu orangtua sudah meninggal atau tidak mampu, dapat diberikan kepada
yang mampu;
d. Perbedaan pendapat dari wali atau yang memelihara, izin dapat diberikan pengadilan di
wilayahnya;
e. Ketentuan persyaratan tersebut berlaku sepanjang sejalan dengan hukum agamanya.
b. Hukum Kewarisan
Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa hukum
waris yang dipraktekkan di pengadilan agama adalah hukum waris Islam.
c. Hukum Perwakafan
Wakaf adalah tindakan jariyyah. Artinya, meskipun orang yang mewakafkan telah
meninggal dunia, pahalanya akan terus mengalir selama benda wakaf tersebut
dimanfaatkan untuk kepentingan kebaikan. Selanjutnya, pasal 1 PP No 28 Tahun 1977
dan pasal 215 KHI mendefinisikan wakaf sebagai perbuatan hukum seseorang atau
sekelompok orang atau badan hukum dengan cara memisahkan sebagian harta bendanya
dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat dan keperluan
umum lainnya sesuai ajaran Islam.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Islamic Law adalah hukum yang bersumber dan merupakan bagian dari ajaran agama
Islam. Berbeda dengan hukum lainnya, hukum Islam tidak hanya hasil pemikiran
manusia yang dipengaruhi oleh kebudayaannya, tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah
melalui wahyu-Nya dan dijelaskan oleh Rasulullah melalui sunnahnya. Sehingga
sistem hukum islam atau syariat islam adalah kaidah kaidah yang di sandarkan pada
allah swt dan sunnah rasul mengenai tingkah laku mukalaf atau seseorang. Hukum
islam juga tidak saja mengatur tentang masalah ibadah saja , akan tetapi juga
mengatur masalah perkawinan, masalah zakat , masalah pembagian warisan dan
banyak juga yang lainnya. Islam juga tidak hanya mengajar kan kita tentang
beribadah saja ke pada Allah Swt dan islam juga mengajarkan kita untuk
berhubungan sesama manusia. Bagi setiap muslim apa yang di lakukan nya di dalam
kehidupan harus sesuai kehendak Allah Swt sebagai bentuk keimanannya kepada
Allah Swt.
2. Perkembangan Hukum Islam dalam realitas dapat diidentifikasi secara sistematis
sejak periode Rasulullah SAW – Perkembangan Kerajaan Islam – Masa Penjajahan
Hindia Belanda – Internalisasi Hukum Islam - Hingga Formalisasi Hukum Islam saat
ini.
3. Adapun faktor-faktor menjadi pendukung perkembangan Hukum islam kedudukan
hukum islam ; penganut yang mayoritas, ruang lingkup hukum islam yang luas, serta
dukungan aktif organisasi kemasyarakatan islam, Faktor yang juga penting adalah
peran aktif lembaga atau organisasi islam. Secara struktural keberadaan organisasi-
organisasi islam dalam sistem politik Indonesia menjadi pengimbang bagi kebijakan
pemerintah.
4. Implementasi-institusionalisasi Hukum Islam di Indonesia termanifestasi dari
pergulatan hukum dalam upaya perumusan perundang-undangan dan tata hukum di
Indonesia. Institusionalisasi atau legislasi hukum Islam adalah upaya yang dilakukan
untuk mempositifkan hukum Islam secara nasional di bumi Indonesia. Demikian juga
dengan sistem hukum publik yang berusaha mengatur dan mencegah terjadi
pelanggaran yang lebih besar, sehingga legislasi hukum publik Islam menjadi salah
satu alternatif dalam pelaksanaannya. Demikianlah, ketentuan di dalam Undang-
Undang di atas berlaku secara keseluruhan dalam pengaturan masalah-masalah
perkawinan, perwakafan, dan kewarisan bagi umat Islam di Indonesia khususnya dan
warga negara Indonesia pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, 2008, Hukum Islam (Dinamika dan
Perkembangannya di Indonesia, (Jogjakarta: Kreasi, Total Media)

Arso Sastroatmojo dan Wasit Aulawi, 1977, Hukum Perkawinan di Indonesia,(Jakarta: Bulan
Bintang)

Maswir, 2019, IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF


SIYASAH SYAR’IYAH, Vol XIX No. 1, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Mardani, 2015, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar)

Muhammad Iqbal, 2009, Hukum Islam Indonesia Modern, Dinamika Pemikiran dari Fiqih
Klasik ke Fiqih Indonesia, (Tangerang: Gaya Media Pratama), hlm. 40.

Muhammad Julijanto, , IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA SEBUAH


PERJUANGAN POLITIK KONSTITUSIONALISME, Fakultas Syari’ah dan Ekonomi
Islam IAIN ,Surakarta. Hlm.

Musyrifah Sunanto,2005 , Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada), hlm. 153

Josept Schacht, 1971, An Introduction to Islamic Law (London: Oxford University Press)

Rohidin, 2016, PENGANTAR HUKUM ISLAM , Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books.

Suntana, I. , From Internalization To Formalization; Islamic Law Development in Indonesia.


The Islamic Quarterly: The Islamic Quarterly, Volume 64.

Yusa Muksalmina, 2022, MAKALAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM ,FAKULTAS


SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS UIN SUNAN GUNUNG DJATI,
BANDUNG.

Internet :

Bantuanhukum-sbm.com

Anda mungkin juga menyukai