Anda di halaman 1dari 10

1.

Eksistensi Nilai-Nilai Hukum Adat dalam UUPA

Sebelum membahas lebih lanjut tentang eksistensi dari nilai-nilai hukum adat dalam
UUPA, maka sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian dari hukum adat itu
sendiri. Hukum adat menurut Prof. Djojodiguno adalah suatu hukum yang tidak bersumber
pada peraturan-peraturan, tetapi timbul langsung sebagai pernyataan kebudayaan dalam
masyarakat dan rasa keadilan dalam hubungan pamrih, sedangkan menurut Konvensi hukum
adat, dijelaskan bahwa hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam
bentuk peraturan perundangan yang disana-sini terdapat masalah yang berhubungan dengan
keagamaan. Dari pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum adat
adalah sebuah hukum yang bersifat “folk law” yang merupakan hukum yang ditetapkan oleh
rakyat, berlaku untuk rakyat, dan dipertahankan oleh rakyat. Hukum adat merupakan suatu
bentuk hukum yang masih sangat sederhana, karena sejatinya hukum tersebut tidak dibuat
oleh orang/badan hukum tertentu melainkan terbentuk dan berkembang dengan sendirinya di
masyarakat.1
Hukum adat adalah salah satu dari cagar kehidupan dan kebudayaan yang di
dalamnya terdapat saripati yang tersusun dari kebutuhan hidup, cara hidup, dan pandangan
hidup bangsa Indonesia.2 Selain itu, hukum adat yang ada di masyarakat juga berbeda satu
sama lain karena hukum adat itu sendiri terbentuk dari pola perilaku dan kebiasaan
masyarakat di suatu daerah yang berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan itu juga bisa
terjadi karena adanya bahasa yang berbeda, kebudayaan yang berbeda, dan tentunya norma-
norma yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, akan tetapi walaupun
berbeda-beda, hukum adat mempunyai beberapa wujud yang secara umum memiliki
kesamaan antara satu masyarakat dengan yang lainnya.
Hukum adat secara umum dapat berwujud sebagai suatu komplek ide/gagasan yang
hidup dalam masyarakat dan dapat juga berwujud sebagai suatu kumpulan norma-norma
yang dulunya dijadikan pedoman bagi masyarakat untuk mengatur kehidupan sehari-hari.
Hukum adat juga dapat berwujud sebagai suatu kompleksitas pola perilaku masyarakat dalam
suatu masyarakat yang dianggap baik dan dilakukan secara terus menerus. Oleh karena sudah
sangat tertanam sejak lama dan sudah dilakukan secara terus menerus, maka hukum adat ini
tidak mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat.

1
Saleh Adiwinata, Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun 1960, Bandung, Penerbit Alami, hlm. 12.
2
Bushar Muhammad, Pengantar Hukum Adat, Jakarta, Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, hlm. 47.
Salah satu wujud nyata dari hukum adat yang akan saya bahas kali ini adalah
mengenai permasalahan tanah dan hubungannya dengan masyarakat adat. Zaman dahulu
tanah adat mempunyai hubugan yang bersifat religio-magis dan sangat erat dengan
masyarakat hukum adat. Hubungan ini menyebabkan masyarakat adat memiliki hak untuk
memiliki dan memanfaatkan tanah dan berhak untuk mengambil tumbuhan-tumbuhan atau
berburu binatang yang terdapat di atas tanah tersebut. Hak masyarakat ini sering kita sebut
dengan hak persekutuan atau hak ulayat.
Perkembangan zaman yang semakin pesat dan kebutuhan masyarakat yang semakin
kompleks membuat kondisi di atas tidak sesuai lagi untuk diterapkan pada saat ini.
Bertambahnya jumlah masyarakat adat dan semakin kompleksnya kebutuhan hidup membuat
pemanfaatan tanah yang bersifat gotong royong dan kebersamaan tidak mungkin lagi dapat
berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk mendapatkan suatu
hak yang dapat menjamin kehidupan mereka, oleh karena itu mulai timbullah suatu gagasan
untuk membagi tanah tersbut kepada masing-masing masyarakat sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan, yang mana nantinya akan menjadi dasar dari lahirnya hak milik perorangan.
Hubungan antara hak milik dengan hak persekutuan itu bersifat “tarik menarik”
dimana jika kekuatan hak milik di masyarakat semakin besar, maka hak persekutuan yang
ada menjadi semakin kecil dan kondisi ini sering terjadi di daerah yang sudah cukup modern.
Selain itu, jika kekuatan hak persekutuan semakin besar maka kekuatan hak milik di
masyarakat menjadi semakin kecil dan kondisi ini biasa terjadi di suku-suku yang masih
belum terlalu terpengaruh dengan perkembangan informasi dan tekhnologi. Perubahan yang
seperti ini memang akan terjadi dan walaupun nantinya kekuatan hak milik di suatu
masyarakat sudah semakin kuat, sangat diharapkan bahwa pemanfaatannya juga harus
melihat kondisi sosial di masyarakat setempat.
Permasalahan diatas mengharuskan pemerintah untuk membuat suatu peraturan yang
bertujuan untuk meyeragamkan bentuk pengaturan terhadap permasalahan yang menyangkut
pertanahan, hak milik, maupun hak persekutuan atau hak ulayat, yang nantinya akan kita
kenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria. Dengan mulai berlakunya UUPA,
maka terjadi perubahan fundamental pada hukum agraria di Indonesia, terutama hukum di
bidang pertanahan, yang kita sebut hukum tanah, yang di kalangan pemerintah dan
masyarakat umum sering kita kenal dengan sebutan hukum agraria. Perubahan itu bersifat
mendasar atau fundamental, karena baik mengenai struktur perangkat hukumnya, mengenai
konsepsi yang mendasarinya, maupun isinya, harus sesuai dengan kepentingan rakyat
Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut perkembangan zaman.3

Pokok masalah yang harus dihadapi adalah bagaimana cara agar UUPA itu dapat
diterima dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sehingga nantinya diharapakan
dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu maka UUPA itu
sendiri harus menggunakan hukum adat yang merupakan hukum asli masyarakat pribumi
sebagai dasar dari pembentukannya. Hal ini juga disebutkan dalam konsiderans UUPA huruf
(a) yang menyatakan bahwa “ perlu adanya suatu hukum agraria nasional yang berdasarakan
atas hukum adat”. Dengan ini sudah dapat ditarik kesimpulan cepat bahwa dasar dari UUPA
adalah hukum adat yang berlaku di masyarakat Indonesia.
Keputusan ini memang sangat tepat, karena melihat kondisi hukum adat kita yang
penuh dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang menjiwai Pancasila. Nilai-nilai diatas
diantaranya adalah nilai keagamaan, nilai perikemanusiaan/nilai sosial, nilai persatuan, nilai
permusyawaratan perwakilan, dan nilai keadilan sosial. Jika semua nilai itu sudah menjadi
landasan atau dasar filosofis dari suatu UUPA maka diharapkan peraturan dan keputusan
yang dibuat dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat, yang nantinya
diharapkan dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang mengarah pada
terciptanya cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia.

Nilai-nilai luhur diatas diantaranya tercermin dalam beberapa pasal UUPA, yaitu :

1. Nilai ketuhanan secara jelas mengharuskan bahwa dalam pelaksanaanya, UUPA tidak
boleh mengabaikan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama, karena hal ini
termasuk salah satu komponen dari nilai-nilai ketuhanan yang terdapat dalam sila pertama
pancasila. Selain itu dalam hukum adat, hubungan antara masyarakat dengan tanah dan bumi
merupakan suatu hubungan yang sifatnya bukan hanya sosial-ekonomis atau yuridis saja,
tetapi juga merupakan suatu hubungan yang bersifat religio magis. Hal ini dapat dibuktikan
dari berbagai upacara adat, seperti upacara tedak siti, upacara panen, upacara jual beli tanah,
dll, yang semuanya itu merupakan bentuk pengucapan syukur atas karunia yang diberikan
oleh Tuhan Yang Maha Esa.4 Nilai ketuhanan/keagamaan dari hukum adat ini juga tercermin
dari pasal 1 UUPA yang menyatakan bahwa, “Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia

3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 1.
4
Ibid, hlm. 164.
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia
dan merupakan kekayaan nasional.
2. Nilai kemanusiaan dalam hukum adat dapat kita lihat dalam pasal 6 UUPA yang
menyatakan bahwa, “Semua hak atas tanah memiliki nilai sosial”. Dalam pasal ini secara
tersirat sudah sangat menjelaskan bahwa bangsa Indonesia bukan merupakan suatu bangsa
yang bersifat liberalistik maupun individualistik, akan tetapi bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang didasarkan atas sifat gotong royong, kebersamaan, dan rasa kekeluargaan. Hal
ini dibuktikan dalam pengaturan permerintah terhadap penggunaan tanah untuk usaha, yang
mana harus memperhatikan kondisi dan fungsi sosial dari tanah tersebut terhadap masyarakat
sekitar.

3. Nilai persatuan dalam hukum adat tercermin dalam pasal 6 UUPA yang menyatakan
bahwa,”Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia,
yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”. Pasal ini lebih jauh menjelaskan bahwa Hukum
Tanah Nasional sudah barang tentu harus sesuai dengan kepentingan rakyat banyak, yang
artinya rakyat Indonesia, dan bukan merupakan kepentingan rakyat secara perorangan
ataupun golongan, apalagi kepentingan rakyat asing.5

4. Nilai permusyawaratan perwakilan diwujudkan dalam pasal 14 ayat (2) UUPA yang
menyatakan bahwa “Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat 1 ini dan mengingat
peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan
dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan
daerah masing-masing”. Permusyawaratan perwakilan disini dilihat dari adanya pelimpahan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang mana Pemerintah Daerah merupakan
perwakilan dari pemerintah pusat untuk mengatur penggunaan dan pemanfaaatan sumber
daya diatas sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.

5. Nilai keadilan sosial dapat dilihat dari pasal 9 angka (2) yang menyatakan bahwa, “Tiap-
tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang
sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Nilai keadilan disini sudah terwujud dari adanya
pengakuan terhadap persamaan gender untuk tetap dapat menikmati hasil dari sumber daya
diatas.

2. Kedudukan Hukum Adat dalam UUPA


5
Ibid, hlm. 167.
Setelah kita mengetahui, bahwa dalam Konsiderans huruf (a) UUPA yang menyatakan
bahwa, ”perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang
tanah”, dan dalam pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa, “Hukum agraria yang berlaku
atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat”. Pernyataan tersebut membuat banyak
penafsiran yang terfokus pada kata “berdasarkan”, yang diantaranya menganggap bahwa
dengan pernyataan tersebut, pembangunan hukum tanah nasional harus dilakukan dalam
bentuk penuangan norma-norma hukum adat dalam peraturan-peraturan perundang-undangan
menjadi hukum yang tertulis. Dan selama peraturan-peraturan tersebut masih belum ada,
maka norma-norma hukum adat yang bersangkutan tetap berlaku penuh. 6
Berangkat dari permasalahan tersebut, banyak sekali pihak yang menyimpulkan
bahwa apa yang dikatakan dalam UUPA tersebut hanyalah perkataan kosong belaka, karena
setidak-setidaknya hukum adat yang dijadikan sebagai dasar pembentukan UUPA bukanlah
hukum adat yang sebenarnya, melainkan hukum adat yang sudah hilang isinya dan tinggal
bajunya saja.7 Bahkan ada juga beberapa pihak yang berusaha memisahkan hukum adat dan
mempertentangkannya dengan sistem hukum tanah nasional atau Undang-Undnag Pokok
Agraria.
Setelah menimbang dan menelaah lebih jauh, maka menurut saya apa yang
dicantumkan dalam UUPA mengenai hukum adat sebagai dasar pembentukan UUPA,
bukanlah sekedar suatu pernyataan kosong atau pemanis belaka, melainkan harus kita terima
dan tafsirkan sebagai kehendak yang sebenarnya dari Pembentuk Undang-Undang yang
melahirkan UUPA. Saya berpendapat bahwa hubungan antara hukum adat dengan hukum
tanah nasional memiliki suatu hubungan yang bersifat fungsional. Hal ini didasarkan atas
pertimbangan, bahwa dalam pembangunan hukum tanah nasional, hukum adat berfungsi
sebagai sumber utama dalam mengambil bahan-bahan yang diperlukan, sedangkan dalam
huukm tanah nasional positif, norma-norma hukum adat berfungsi sebagai hukum yang
melengkapi hukum tersebut.

Kedudukan hukum adat dalam hukum tanah nasional adalah :

A. Hukum adat sebagai sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional
Dalam rangka membangun hukum tanah nasional, hukum adat merupakan sumber
utama untuk memperoleh bahan-bahannya berupa konsepsi, asas-asas, dan lembaga-lembaga
hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum yang tertulis, yang disusun

6
Ibid, hlm. 204.
7
Ibid, hlm. 205.
menurut sistem hukum adat. Hukum tanah nasional yang dibentuk dengan menggunakan
bahan-bahan dari hukum adat, berupa norma-norma hukum yang dituangkan dalam
peraturan-peraturan perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis.
Hukum tanah nasional disusun sebagai bentuk norma hukum tertulis yang di
dalamnya tersusun dari suatu sistem dalam bentuk hukum adat yang tidak tertulis. Jadi UUPA
adalah produk murni dari hukum adat itu sendiri. Hal itu terlihat antara lain dalam sistem
hak-hak penguasaan tanah, yang dimulai dengan :
 Hak Bangsa Indonesia, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek
hukum keperdataan dan publik ;
 Hak Menguasai dari Negara yang bersumber pada hak bangsa dan beraspek hukum
publik semata. Pelaksanaan sebagian kewenangannya dapat dilimpahkan kepada pihak
lain dalam bentuk hak pengelolaan
 Hak-hak penguasaan Individual, yang terdiri atas :
a. Hak-hak atas tanah
b. Wakaf
c. Hak jaminan atas tanah, yang disebut juga hak tanggungan8

B. Hukum adat sebagai pelengkap hukum tanah nasional positif yang tertulis
Pembentukan suatu hukum agraria yang dapat mewujudkan suatu kesatuan hukum,
memberikan jaminan kepastian hukum, dan memberikan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas tanah merupakan suatu proses yang tidak singkat dan membutuhkan
waktu yang lama, oleh karena itu dalam hubungannya dengan proses pembentukan yang
belum sempurna maka hukum adat disini berfungsi sebagai pelengkap. 9 Hal ini juga
dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 56 UUPA , yang menyatakan bahwa, “Selama Undang-
Undang mengenai Hak Milik sebagaimana tersebut dalam Pasal 50 (1) belum terbentuk,
maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan
lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberikan wewenang sebagaimana atau mirip
dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan Undang-undang ini”.

Dari pernyataan tersebut diterangkan lebih jelas bahwa dalam hubungannya dengan hukum
tanah nasional tertulis yang belum lengkap, maka hukum adat menjadi pelengkap dari
8
Ibid, hlm. 208.
9
Ibid, hlm. 209.
undang-undang tersebut. Penetapan hukum adat sebagai pelengkap dari hukum agraria
memang merupakan suatu keputusan yang bisa dibilang sangat tepat, karena dengan adanya
hukum adat tidak akan terjadi kekosongan hukum yang dapat mengakibatkan pelaku
kejahatan atau terdakwa bebas dari hukuman. Sebagai pelengkap hukum adat juga bisa
menjadi masukan dalam penyempurnaan hukum agraria agar bisa mewujudkan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat yang mengarah pada tercapainya cita-cita dan tujuan nasional bangsa
Indonesia.

3. Kualifikasi Hukum Adat dalam UUPA


Indonesia adalah sebuah negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam pulau
yang antara satu dengan lainnya dipisahkan oleh lautan, teluk ataupun selat. Kondisi ini
menyebabkan Indonesia menjadi negara yang sangat kaya akan keragaman, mulai dari
keragaman suku, bahasa, agama, dan kebudayaan yang berbeda-beda. Semua unsur
keragaman tadi semakin lama semakin mengendap menjadi suatu komplek aktivitas kelakuan
berpola manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, dilakukan secara terus menerus, dan
dijadikan pedoman untuk mengatur kehidupan masyarakat. Kompleksitas inilah yang
nantinya akan menjadi dasar dari terbentuknya hukum adat dari suatu masyarakat yang
tentunya berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Perbedaan inilah yang nantinya akan menimbulkan kebingungan, mengenai hukum
adat manakah yang akan digunakan sebagai dasar dalam pembentukan UUPA. Berangkat dari
permasalahan tersebut, di dalam UUPA juga sudah terdapat kualifikasi atau persyaratan
tertentu yang harus dipenuhi dari hukum adat yang akan dijadikan sebagai dasar dalam
pembentukan UUPA. Hal inilah yang akan saya bahas lebih lanjut dalam pembahasan
masalah kali ini.
Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa, “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama”. Sepintas mungkin kita bisa membenarkan bahwa keputusan
ini sangat tepat karena menggunakan hukum adat sebagai dasar dalam pembentukan UUPA,
akan tetapi permasalahan lain yang tidak kalah penting yaitu bagaimanakah kualifikasi
hukum adat yang digunakan sebagai sumber dalam pembentukan UUPA.
Diadakannya kualifikasi atau persyaratan bagi norma hukum adat disebabkan karena
pada zaman ini hukum adat sudah tidak lagi terbebas dari pengaruh-pengaruh luar, yaitu
pemikiran-pemikiran masyarakat barat yang individualistika-liberal dan pengaruh masyarakat
feodal, yang tidak sesuai dengan asas-asas tata susunan dan semangat masyarakat Pancasila
yang sedang kita bangun. Melihat kenyataan tersebut, maka norma-norma hukum adat yang
akan digunakan sebagai sumber dari UUPA harus dibersihkan dari unsur-unsurnya yang
asing dan harus di “saneer” terlebih dahulu sehingga menjadi murni kembali.
Hal-hal mendasar yang harus diperhatikan mengenai hukum adat yang akan dijadikan
sebagai sumber pembentukan UUPA adalah :

A. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional negara


Hukum tanah itu harus mengabdi terhadap kepentingan nasional dan cita-cita dan
tujuan nasional bangsa Indonesia. Hal ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena
banyak kasus UUPA mengakui adanya hak ulayat tersebut, tetapi tidak menutup
kemungkinan terhadap para penguasa yang menyalahgunakan wewenangnya untuk
menghalang-halangi atau merintangi usaha-usaha Pemerintah untuk mencapai kemakmuran
rakyat yang sebesar-besarnya. Misalnya banyak penguasa yang merintangi pemberian dan
pengakuan hak ulayat, karena ingin melaksanakan pembukaan tanah yang luas untuk areal
perkebunan.10
Untuk menghindari dan memberantas hal yang seperti ini maka pemerintah
seharusnya lebih intensif dalam melakukan pembinaan dan sosialisasi mengenai hukum adat
dalam kaitannya dengan dasar pembentukan UUPA. Hukum adat ini harus selalu kita bina
dan kita uji kelayakannya dengan kualifikasi-kualifikasi tertentu bukan karena untuk
menghentikan atau menghalang-halangi perkembangan masyarakat hukum, akan tetapi untuk
mewujudkan suatu masyarakat yang benar-benar terintegrasi ke dalam masyrakat nasional
Indonesia yang adil dan makmur seperti yang kita idam-idamkan.

B. Tidak boleh bertentangan dengan Sosialisme Indonesia


Indonesia bukanlah suatu negara dengan paham individualistik yang hanya
mengutamakan kepentingan satu golongan saja dan bukan juga negara dengan paham
liberalistik yang hanya mengutamakan keuntungan saja, akan tetapi Indonesia adalah negara
dengan jiwa sosialisme yang megutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi
yang didasarkan atas sifat gotong royong dan dilandasi oleh asas kekeluargaan. Oleh karena

10
Ibid, hlm. 215.
itu, salah satu tujuan perjuangan bangsa Indonesia yaitu mewujudkan suatu masyarakata yang
adil dan makmur yang mengarah pada tercapainya cita-cita dan tujuan nasional bangsa
Indonesia.
Berangkat dari permasalahan tersebut, maka hukum tanah nasional kita yang baru
sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan perjuangan tersebut, dengan sendirinya tidak boleh
memuat ketentuan yang bertentangan dengan sosialisme yang ada di Indonesiaa. Pemerintah
sedikit demi sedikit telah melakukan usaha untuk ini, yang diantaranya dengan mengubah
dan mengatur ulang tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian Undang-Undang no.2 tahun
1960 dan tentang bagi hasil perikanan Undang-Undang no.16 tahun 1964. Kaidah hukum
tersebut dirubah karena dianggap mengandung unsur pemerasan yang sangat tidak sesuai
dengan jiwa nasionalisme yang terdapat di Indonesia.11
Hukum adat harus berlaku sesuai dengan jiwa sosialisme yang ada di Indonesia,
karena jika tidak, maka hukum adat tersebut sudah dianggap tidak berlaku lagi. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka untuk menghindari keragua-raguan dari para pelaksana hukum dan
pihak yang berkepentingan, diperlukan adanya penegasan oleh pembentuk Undang-Undang
itu sendiri. Jika selama pembentukan undang-undang belum selesai dengan sempurna, maka
keinginan dan kesadaran pribadi masyarakatlah yang harus berusaha untuk mewujudkan
tujuan perjuangan bangsa Indonesia selama ini.

C. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan UUPA


Dengan diundangkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960, maka telah terjadi
perubahan yang bersifat mendasar dan fundamental terhadap sistem pertanahan di Indonesia,
karena baik mengenai struktur perangkat hukumnya, maupun mengenai isinya harus sesuai
dengan kepentingan rakyat Indonesia dan memenuhi keperluannya sesuai dengan
perkembangan zaman. Setelah itu, terjadilah unifikasi yang dengan sendirinya melarang
bentuk peraturan tanah baik tertulis maupun tidak tertulis, yang bertentangan dengan
kekuatan UUPA.12
Selain itu sebenarnya di dalam UUPA, ingin lebih ditekankan lagi terhadap
permasalahan keadilan sosial dalam UUPA, yang dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 9 angka
(2) yang menyatakan bahwa, “Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun
wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta
untuk mendapat manfaat dari hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Jadi jika

11
Ibid, hlm. 216.
12
Ibid, hlm. 217.
diimplikasikan, maka sebenarnya UUPA sudah menjamin keadilan bagi seluurh rakyat
Indonesia.

D. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya


Wewenang untuk memberi izin terhadap pembukaan tanah yang didasarkan atas
ketentuan hukum adat seringkali disalahgunakan oleh Penguasa adat yang bersangkutan.
Sebeagai contohnya adalah kasus pemberian izin membuka tanah yang diikuti dengan
pemberian hak milik selaus 25 kilometer persegi oleh seorang Kepala Kampung Sarang-
Halang di daerah Kalimantan Selatan, kepada seorang warga negara Indonesia keturunan
asing.13 Berangkat dari permasalahan ini maka dibutuhkan suatu pengaturan yang lebih tegas
dan mendalam terhadap UUPA yang mengharuskan hukum adat tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang bersangkutan terhadap UUPA tersebut.
Peraturan yang terdapat dalam hukum adat yang akan dijadikan sumber dari UUPA
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lain, yang dijelaskan lebih
dalam padapasal 53 UUPA yang mengharuskan diadakannya peraturan mengenai hak gadai,
hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian. Dengan berlakunya
undang-undang tersebut, maka secara otomatis sesuatu yang terdapat dalam hukum adat tidak
boleh bertentangan dengan perturan-peraturan tersebut.

13
Ibid, hlm. 218.

Anda mungkin juga menyukai