Anda di halaman 1dari 5

PENGERTIAN HUKUM ADAT

Dalam kehidupan sehari-hari dikalangan masyarakat secara umum istilah hukum adat sangat
jarang kita jumpai,dimasyarakat umum biasanya kita jumpai hanya dengan menyebut istilah adat
yang berarti sebuah kebiasaan dalam masyarakat tertentu,

Secara etimologi (bahasa) kata adat berasal dari bahasa arab yakni “Adah” Yang berarti sebuah
kebiasaan yaitu sebuah tingkah laku masyarakat yang sering terjadi sedangkan kata hukum
secara etimologi berasal dari bahasa arab kata ‘’Huk‟m yang artinya ketentuan atau suruhan, jadi
bila digabung antara hukum dan adat yang berarti suatu perilaku masyarakat yang selalu terjadi
secara terus menerus dan lebih tepatnya lagi bisa dinamakan sebuah hukum kebiasaan.
Namun sejauh ini perundang – undangan di Indonesia membedakan antara istilah “adat” dan
“kebiasaan” , sehingga “hukum adat” tidak sama dengan “hukum kebiasaan”. “Kebiasaan” yang
diakui di dalam perundangan merupakan “Hukum Kebiasaan”, sedangkan “Hukum Adat” adalah
hukum kebiasaan di luar perundangan.

CIRI-CIRI HUKUM ADAT


Hukum Adat memiliki sifat dinamis dibandingkan dengan hukum barat. Hal ini dikarenakan
hukum adat selalu berkembang dan berubah-ubah mengikuti pengaruh luar yang masuk ke dalam
suatu adat di suatu tempat yang berbeda. Keaslian akan hukum adat pada saat ini bisa dikatakan
hampir punah, seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan tingkat pendidikan suatu
masyarakat, pengaruh budaya eksternal, dan pengaruh agama yang dianut oleh masyarakat
tempatan.
Hukum Adat mempunyai ciri khas yang dapat dijadikan sebagai sumber identifikasi dengan
hukum lain, yaitu :

1. Keagamaan/ Kepercayaan
Corak agama dan kepercayaan sangat kental dalam hukum adat di suatu tempat. Hal ini
disebabkan pengaruh dari awal kerajaan yang memerintah di suatu wilayah. Hal ini diperkuat
dengan adanya Pepatah lama Minangkabau yang berbunyi: "Adat basanding Syara', Syara'
basanding kitabullah. Adat dan Syara' manyanda, Syara' mangato, adat mamakai."
yang bermakna:
"Adat berpatokan dengan Syariat Islam, Syariat Islam berpatokan pada Kitabullah. Adat dan
syariat sangat erat, yang dikatakan oleh Syariat harus diterapkan menjadi adat kebiasaan."

2. Kebersamaan (Komunal)
Sebagian besar Hukum Adat di Indonesia lebih memprioritaskan kepentingan bersama dalam
segala aspek kehidupan, walaupun kepentingan pribadi tidaklah diabaikan.

3. Tradisional

 Hukum adat bersifat tradisional yang bermakna berdasarkan tradisi di suatu tempat. Hal ini
menyebabkan tidak adanya kesatuan dalam hukum dengan wilayah adat yang lain. Walaupun
tidak menutup kemungkinan adanya kesamaan dalam beberapa aspek.

4. Konkrit dan visual


Sifat hubungan hukum dalam Hukum Adat adalah konkret dan visual artinya nyata, terang, dan
tunai, tidak samar-samar, dapat dilihat, diketahui, disaksikan dan didengar orang lain. misalnya
pada “ijab kabul”, pemberian ”panjer” sebelum terjadinya jual beli dan ”peningset” sebelum
perkawinan.

5. Dinamis dan plastis


Dinamis artinya dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan masyarakat,
sedangkan plastis artinya dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.

6. Tidak dikodifikasikan
Hukum Adat kebanyakan tidak tertulis, karena bentuknya yang tidak tertulis maka mudah
berubah menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat jika mereka menginginkannya.
Sifat hukum adat bersifat tidak tertulis ini menurut ahli bidang hukum adat menyebutkan hukum
adat bukan hukum statuta. Hukum statuta yaitu hukum yang dikodifikasikan, yang bersifat
tertulis.
Adapun unsur hukum adat terbagi menjadi dua, yakni:

a. Unsur asli (bagian besar) yang mempunyai sifat tradisional/ turun-temurun;

b. Unsur agama (bagian kecil): yang dibawa oleh agama Islam, agama Hindu.

7. Musyawarah dan Mufakat


Hukum Adat mementingkan musyawarah dan mufakat dalam melakukan perbuatan dan
hubungan hukum di dalam keluarga, kekerabatan dan masyarakat bahkan dalam penyelesaian
sengketa. Hukum Adat, menurut Prof. Koesnoe, sebagai hukum rakyat, pembuatnya rakyat
sendiri, mengatur kehidupan mereka yang terus menerus berubah dan berkembang malalui
keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai
temu rasa dan temu pikir lewat musyawarah. Hal-hal lama yang tidak dipakai diubah atau
ditinggalkan secara tidak mencolok.

MANFAAT HUKUM ADAT :

ada dua manfaat yang bisa didapatkan dengan mempelajari hukum adat, di antaranya:

1. Memahami Budaya Hukum Indonesia

Hukum adat dapat dipelajari untuk memahami budaya hukum di Nusantara. Dengan mempelajari
hukum adat, kita dapat mengetahui hukum adat mana yang tidak relevan lagi dengan perubahan
zaman dan hukum adat mana yang dapat mendekati keseragaman yang bisa diberlakukan sebagai
hukum nasional.

2. Tolak Ukur Mempelajari Hukum


Hukum adat sebagai hukum yang lahir dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri harus
dipertahankan sebagai hukum positif. Dengan begitu, hukum adat mampu dijadikan tolak ukur
dalam mempelajari hukum yang digunakan masyarakat penganutnya.

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat


Ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat faktor-faktor tersebut adalah :

1. Faktor Magis dan Animisme


Pada masyarakat hukum adat, faktor magis dan animisme ini pengaruhnya begitu besar atau
belum dapat terdesak oleh agama-agama yang kemudian datang. Hal ini terlihat dalam wujud
pelaksanaan-pelaksanaan upacara adat yang bersumber pada kepercayaan atau kekuatan ghaib
yang dapat dimohonkan bantuannya.
2. Faktor Agama
Adanya pengaruh-pengaruh dari agama yang masuk kemudian ke Indonesia dan dianut oleh
masyarakat hukum adat bersangkutan, seperti agama Hindu, agama Islam dan agama Kristen.
3. Faktor Kekuasaan yang Lebih Tinggi dan Persekutuan Hukum Adat
Kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan adat ini adalah kekuasaan yang mempunyai
wilayah yang lebih luas dari persekutuan hukum adat seperti kerajaan dan Negara.
4. Hubungan Dengan Orang-orang ataupun Kekuasaan Asing
Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Bahkan kekuasaan asing ini yang menyebabkan hukum
adat terdesak dari beberapa bidang kehidupan hukum. Selain itu, alam pikiran Barat yang dibawa
oleh orang-orang asing (Barat) ke Indonesia dan kekuasaan asing dalam pergaulan sangat
mempengaruhi perkembangan cara berpikiran orang Indonesia. Sebagai contoh dapat
dikemukakan proses individual sering di kota-kota yang berjalan lebih cepat dari pada
masyarakat di pedesaan.

Bentuk-bentuk Masyarakat Hukum Adat


Masyarakat hukum adat di Indonesia tersusun atas dua faktor dominan, yakni faktor genealogis
dan teritorial.Pada mulanya faktor genealogis mempunyai dominasi yang sangat kuat terhadap
pembentukan suatu masyarakat hukum adat, disebabkan oleh hubungan daerah antara satu
dengan lainnya di antara mereka terikat dan terbentuk dalam satu ikatan yang kokoh.Tetapi
karena semakin meluasnya hubungan antar suku bangsa maka dominasi faktor genealogis sedikit
demi sedikit mulai tergeser oleh faktor teritorial.

Berdasarkan dua faktor tersebut dapat dibedakan 3 (tiga) bentuk masyarakat hukum adat yaitu:
1. Masyarakat hukum adat genealogis;
2. Masyarakat hukum adat teritorial; dan
3. Masyarakat hukum adat genealogis-teritorial.

Mengenai ketiga bentuk masyarakat dijelaskan sebagai berikut:


1. Masyarakat Hukum Genealogis
Masyarakat hukum genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat di mana para anggotanya
terikat oleh suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur baik secara langsung karena
hubungan darah atau tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Pada jenis
masyarakat hukum genealogis pengikat anggota persekutuan adalah kesamaan keturunan dalam
arti semua anggota dari persekutuan terikat dan mempunyai ikatan yang kuat karena mereka
berasal dari satu nenek moyang yang satu atau sama.
Masyarakat hukum genealogis ini dibedakan dalam 3 (tiga) macam pertalian keturunan:

a. Masyarakat hukum menurut garis laki-laki (patrilineal), yaitu masyarakat yang susunannya
ditarik menurut garis keturunan bapak (garis laki-laki). Setiap anggota merasa dirinya sebagai
keturunan dari seorang laki-laki asal. Bentuk masyarakat ini terdapat dalam masyarakat Batak,
Lampung, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Irian.

b. Masyarakat hukum menurut garis perempuan (matrilineal), yaitu masyarakat yang tersusun
berdasarkan garis keturunan ibu (garis wanita). Setiap anggota merasa dirinya sebagai keturunan
dari seorang ibu asal. Bentuk masyarakat semacam ini terdapat pada masyarakat Minangkabau,
Kerinci, Semendo di Sumatera Selatan, dan beberapa suku di Timor.

c. Masyarakat hukum menurut garis ibu dan bapak (bilateral/parental), adalah masyarakat yang
tersusun berdasarkan garis keturunan orang tua, yaitu bapak dan ibu secara bersama-sama.
Bentuk masyarakat seperti ini terdapat di masyarakat hukum adat orang Bugis, Dayak, dan Jawa.
Bilateral artinya dua pihak, yaitu pihak ibu dan pihak ayah.

2. Masyarakat Hukum Teritorial


Masyarakat hukum teritorial adalah masyarakat hukum yang anggota-anggota masyarakatnya
terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi maupun dalam kaitan
rohani. Terdapat ikatan yang kuat sebagai pengikat di antara anggotanya karena mereka merasa
dilahirkan dan menjalani kehidupan bersama serta tumbuh dan berkembang di tempat yang
sama. Masyarakat hukum teritorial dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yatu sebagai berikut:

a. Masyarakat hukum/persekutuan desa, adalah sebagaimana desa dijumpai di Jawa, merupakan


suatu tempat kediaman bersama di dalam daerahnya sendiri termasuk beberapa persekutuan yang
terletak di sekitarnya yang tunduk pada perangkat desa yang berkediaman di pusat desa. Jadi
warga terikat pada suatu tempat tinggal yang meliputi desa-desa/perkampungan yang jauh dari
pusat kediaman di mana pemimpin desa bertempat tinggal dan semua tunduk pada pimpinan
tersebut. Contohnya, desa di Jawa dan di Bali. Desa di Jawa merupakan persekutuan hukum
yang mempunyai tata susunan tetap, mempunyai pengurus, mempunyai wilayah, dan harta
benda, bertindak sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar dan tidak mungkin desa itu
dibubarkan.
b. Masyarakat hukum/persekutuan daerah, adalah kesatuan dari beberapa tempat kediaman yang
masing-masing mempunyai pimpinan sendiri dan sederajat, tetapi kediaman itu merupakan
bagian dari satu kesatuan yang lebih besar. Bentuk seperti ini, misalnya kesatuan nagari di
Minangkabau, marga di Sumatera Selatan dan Lampung, dan kuria di Tapanuli. Desa di Jawa
terdiri dari bagian-bagian yaitu dusun dan tiap dusun mempunyai pimpinan. Kuria di Tapanuli
merupakan kesatuan dan bagian-bagian yang disebut huta. Huta mempunyai pemimpin sendiri.
c. Masyarakat hukum/perserikatan desa, adalah apabila di antara beberapa desa atau marga yang
terletak berdampingan yang masing-masing berdiri sendiri mengadakan perjanjian kerja sama,
misalnya kepentingan mengatur pemerintahan adat bersama, kehidupan ekonomi, pertanian, dan
pemasaran. Beberapa desa bergabung dan mengadakan permufakatan untuk melakukan kerja
sama untuk kepentingan bersama. Untuk itu dibentuk suatu badan pengurus yang terdiri dari
pengurus desa, seperti subak di Bali.

3. Masyarakat Hukum Genealogis-Teritorial


Timbulnya masyarakat genealogis-teritorial disebabkan bahwa dalam kenyataannya tidak ada
kehidupan tidak tergantung dari tanah, tempat ia dilahirkan, mengusahakan hidup, tempat
kediaman, dan mati. Masyarakat genealogis-teritorial adalah kesatuan masyarakat di mana para
anggotanya tidak saja terikat pada tempat kediaman, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan
dalam ikatan pertalian darah dan atau kekerabatan.Bentuk masyarakat ini terdapat pada
masyarakat kuria dengan huta-huta di lingkungan masyarakat Tapanuli Selatan (Angkola,
Mandailing), umi (Mentawai), euri (Nias), nagari (Minangkabau), Marga dengan dusun-dusun di
Sumatera Selatan, dan marga dengan tiyuh-tiyuh di Lampung.

DAFPUS:

Hajati, Sri, Dkk. (2018). Bahan Ajar Hukum Adat. Jakarta: Kencana.

Muzamil, Mawardi. (2014). Perbandingan Sistem Hukum (Hukum Barat, Adat, dan
Islam).Semarang: Madina.

Wulansari, Dewi. (2016). Hukum Adat Indonesia (Suatu Pengantar). Jakarta: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai