Anda di halaman 1dari 18

MASYARAKAT HUKUM ADAT

( Persekutuan hukum adat, struktur Masyarakat hukum adat, genealogis,


organisasi Masyarakat hukum adat, struktur sosial Masyarakat hukum adat)

MAKALAH

Disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata Hukum Adat

Dosen pengampu :

Disusun oleh :

Nafis Fatih An-Najih 224110302078


Naufal Hilmi 224110302079
Nizar Mahvur 224110302080
Nur Aisah 224110302081

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K.H. SAIFUDIN ZUHRI

PURWOKERTO

2024
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Selama perkembangan peradaban, suatu bangsa memiliki adat kebiasaan yang memiliki
ciri unik yang membedakan mereka satu sama lain. Perbedaan adat ini sangat penting dan
dapat memberikan ciri dan identitas bangsa tersebut.
Ternyata perkembangan peradaban, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi serta
kehidupan modern tidak sepenuhnya menghapus adat kebiasaan yang ada di masyarakat.
Sebaliknya, adat kebiasaan dipengaruhi oleh proses kemajuan zaman sehingga harus sesuai
dengan tuntutan dan perkembangan zaman agar tetap hidup di tengah kemajuan zaman.
Menurut perkembangan kehidupan manusia, hukum itu bermula dari diri manusia, yang
diberikan akal pikiran dan tingkah laku oleh Tuhan. Kebiasaan pribadi muncul sebagai hasil
dari perilaku yang dilakukan seseorang secara terus menerus. Kebiasaan pribadi dapat
menjadi kebiasaan seseorang jika orang lain mengikutinya secara teratur. Kebiasaan itu juga
dilakukan dengan lambat di antara anggota masyarakat. Pada akhirnya, kebiasaan itu
berkembang menjadi kebiasaan masyarakat.
Adat tidak hanya mencerminkan kepribadian tetapi juga merupakan representasi jiwa
masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, adat adalah kebiasaan masyarakat dan
secara bertahap menjadi hukum adat yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Yang
perlu diperhatikan adalah sistem dan asas hukum adat tersebut. karena perubahan dalam
bidang politik, sosial, dan kebudayaan masyarakat seringkali dipengaruhi oleh nilai-nilai
yang sudah ada, sehingga diperlukan penilaian baru tentang hukum adat. Dimana proses
evaluasi harus sesuai dan seimbang antara keyakinan masyarakat akan keadilan dan kekuatan
hukum.1

B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui terkait Persekutuan hukum adat
2. Untuk mengetahui bagaimana struktur hukum adat
3. Untuk mengetahui genealogis Masyarakat hukum adat
4. Untuk mengetahui bagaimana territorial Masyarakat hukum adat
1
Dr. Sri Warjiyanti, S.H., M.H. Ilmu Hukum Adat, 2020, hal 3
5. Untuk mengetahui genealogis territorial Masyarakat hukum adat
6. Untuk mengetahui bagaimana organisasi Masyarakat hukum adat
7. Untuk mengetahui bagaimana struktur sosial Masyarakat hukum adat
PEMBAHASAN

A. Persekutuan Hukum Adat


Mengutip karya Muhammad Rayhan Fasya akbar ia menjelaskan bahwa
secara teoritis, terbentuknya Masyarakat hukum adat desebabkan adanya berbagai
faktor pengikat yang mana hal tersebut tentunya mengikat setiap anggota
Masyarakat hukum adat secara bersama-sama. Menurut Rayhan, faktor pemersatu
yang teoritis membentuk Masyarakat adat dan suku dibagi menjadi dua yaitu
faktor genealogis (keturunan) dan faktor territorial (wilayah).
Sedangkan hal tersebut dalam hukum adat terbagi lagi menjadi tiga jenis
utama serikat adat yaitu:
1. Persekutuan hukum genealogis
2. Persekutuan hukum territorial
3. Persekutuan hukum genealogis-teritorial atau gabungan dari dua
Persekutuan tersebut
Persekutuan Hukum genealogi, dalam genealogi masyarakat hukum, dasar
utama pengikatan anggota kelompok adalah persamaan keturunan, yaitu
keyakinan bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang sama. Masyarakat
hukum kekeluargaan ini dapat dibedakan, menurut para ahli hukum adat Hindia
Belanda. Ada tiga jenis: patrilineal, matrilineal, dan bilateral, atau parental. 2
Menurut Dr. Ahmad Tholabi Kharlie Persekutuan teritorial berbeda
dengan Persekutuan genealogi, Persekutuan teriorial (wilayah) terbagi menjadi
tiga Persekutuan hukum, yaitu Persekutuan desa, Persekutuan daerah dan
perserikatan desa. Persekutuan desa adalah apabila suatu tempat kediaman
bersama mengkiat suatu Persekutuan manusia diatas daerahnya sendiri. Dalam
Persekutuan biasanya dijabat oleh salah seorang warga yang juga tinggal
didalamnya. Msyarakat Persekutuan des aini terdapat dibeberapa desa pedalaman
dijawa dan wilayah bali.
Apabila didesa hanya pada ruang lingkup kecil, Persekutuan daerah justru
lebih besar. Dalam Persekutuan ini terdapat kebebasan dalam Tingkat tersetntu

2
Muhamad Rayhan fasya akbar Persekutuan Hukum Adat 2023 hal 6-7
yang mana masing-masing dikepalai oleh pejabat yang merupakan bagian dari
suatu Persekutuan yang meliputi seluruhnya dan mempunyai batas dan
pemerintahannya sendiri, serta hak wilayah atas tanah dan hutan yang terletak
disekitar tanah yang digunakan warga ataupun yang sudah ditinggalkan.
Perserikatan desa dapat terwujud bila Persekutuan desa masing-masing
lenhkap dengan pemerintahan dan daerah sendiri yang terletak berdekatan
melakukan perjanjian untuk memelihara kepentingan bersama atau hubungan
yang berdasarkan tradisi dan mengadakan suatu pemerintahan yang besifat
Kerjasama antara pemerintah tersebut.3
Prof. Dr. Sri Hajati dalam karyanya Menyebutkan bahwa Masyarakat
Persekutuan genealogi territorial sebagai kesatuan Masyarakat atau komunitas
sosial yang tetap dan teratur, para anggota Masyarakat terikat tidak hanya secara
gealogi namun juga terikat oleh suatu wilayah tertentu (territorial) pada model
Persekutuan berdasarkan faktor genealogi teritoral pada sebuah daerah atau
wilayah hanya ditinggali oleh orang-orang yang berasal dari satu keturunan.
Seperti Masyarakat buru, flores, seram dan enggano. Meski hanya terdiri dari satu
keturunan tetapi dalam perkembangannya secara bertahap Masyarakat pesisir
mengalami percampuran. Masing-masing ketururnan, antara keturunan satu
dengan ketururnan yang lain tidak ada hubungan kekeluargaan tinggal pada desa
yang memiliki daerah masing-masing. Terdapat juga pendapat untuk menjadi
anggota Persekutuan tersebut harus memenuhi dua syarat sekaligus yaitu:
1. Harus masuk dalam satu kesatuan genealogi
2. Harus berdiam didalam daerah Persekutuan yang bersangkutan.4

3
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie Hukum Keluarga Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2022, hal 119
4
Prof. dr. Sri Hajati S.H., M.S. Dr. Ellyne Dwi Poespasari, S.H., M.H. Dr. Soelistyowati S.H., M.H. Buku
Ajar Hukum Adat, kencana, 2018, hal 93-95
B. Struktur Hukum Adat

Penggolongan Masyarakat hukum adat dibagi menjadi dua yaitu Masyarakat hokum
adat yang strukturnya berdasarkan azas keturunan (azas genealogis) dan masyarakat
hukum adat yang strukturnya bersifat territorial (menurut azas asal daerah).

1. Masyarakat hukum adat yang strukturnya berdasarkan azas keturunan (azas


gealogis)
Hal ini bermaksud bahwa Masyarakat hukum adat yang anggotanya
merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka
semua berasal dari satu keturunan yang sama. Artinya, seseorang menjadi anggota
hukum adat yang brsangkutan karena ia menjadi atau menganggap diri keturunan
dari seorang bapak asal (nenek moyang dari laki-laki) Tunggal melalui garis
keturunan laki-laki atau dari seorang ibu asal (nenek moyang dari perempuan)
Tunggal melalui garis keturunan Perempuan. Sehingga menjadikan semua
anggota-anggota tersebut sebagai satu kesatuan dan tunduk pada peraturan-
peraturan hukum (adat) yang sama.
Dalam Masyarakat hukum adat yang ditentukan berdasarkan keturunan
dibagi menjadi empat, yaitu: struktur Masyarakat patrilineal, matrilineal, struktur
Masyarakat beralih-alih, dan struktur Masyarakat parental atau bilateral.

2. Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat territorial (menurut azas asal
daerah)
Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial yaitu
masyarakat hukum adat yang disusun berazaskan lingkungan daerah, adalah
masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu dan bersama- sama
merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Oleh karena itu,
merasa ada ikatan antara mereka masing-masing dengan tanah tempat tinggal
mereka Landasan yang mempersatukan para anggota masyarakat hukum adat
yang strukturnya bersifat teritorial adalah ikatan antara orang yang anggota
masing-masing Masyarakat tersebut dengan tanah yang didiami sejak
kelahirannnya, yang didiami oleh orang tuanya, yang didiami oleh neneknya,
yang dialami oleh nenek moyangnya, secara turun-temurun ikatan dengan tanah
menjadi inti azas teritorial.
Meninggalkan tempat tinggal bersama, lingkungan daerah untuk
sementara waktu, tidaklah membawa hilangnya keangotaan masyarakat.
Sebaliknya, orang asing (orang yang berasal dan datang dari luar lingkungan-
daerah) tidak dengan begitu saja diterima dan diangkat menurut hukum adat
menjadi anggota masyarakat hukum adat. Mereka akan menjadi teman
segolongan, teman hidup sedesa, seraya mempunyai hak dan kewajiban sebagai
anggota sepenuhnya (misalnya, berhak ikut serta dalam rukun desa). Supaya dapat
menjadi anggota penuh masyarakat hukum adat, maka orang asing berstatus
sebagai pendatang. Di dalam kehidupan nyata sehari-hari di desa, perbedaan
antara penduduk inti dan pendatang kelihatan dengan terang, biarpun dalam
suasana desa yang sudah modern. Perbedaan tersebut makin lama makin lenyap
sesuai dengan keadaan sosial struktur desa. Terdapat tiga jenis Masyarakat hukum
adat yang strukturnya bersifat territorial diantaranya.
a. Masyarakat hukum desa
Masyarakat hukum desa adalah segolongan atau sekumpulan orang yang
hidup bersama berazaskan pandangan hidup, cara hidup dan system
kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu tempat yang sama,
merupakan suatu kesatuan tata susunan tertentu, baik keluar maupun kedalam.
b. Masyarakat hukum wilayah (Persekutuan desa)
Masyarakat hukum wilayah adalah suatu kesatuan sosial yang teritorial
yang melingkupi beberapa masyarakat hukum desa yang masing-masingnya
tetap merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri tersendiri. Masyarakat hukum
desa yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah itu masing-masing
mempunyai tata susunan dan pengurus sendiri-sendiri, namun masih juga
masyarakat hukum wilayah tersebut merupakan bagian yang tak terpisah dari
keseluruhan, yaitu merupakan bagian yang tak terpisah dari masyarakat,
hukum wilayah sebagai kesatuan sosial teritorial yang lebih tinggi. Oleh
karena itu, masyarakat hukum wilayah itu merupakan masyarakat hukum
bawahan yang juga memiliki harta benda, menguasai hutan dan rimba yang
terletak di antara masing-masing kesatuan yang tergabung dalam masyarakat
hukum wilayah dan tanah. Harta benda tersebut baik yang tergabung dalam
masyarakat hukum wilayah dan tanah, yang ditanami maupun yang
ditinggalkan atau yang belum dikerjakan. Desa merupakan suatu masyarakat
hukum adat yang disebut Gemeinschaft, dan berbeda dengan kampung yang
merupakan suatu Gesellschaft. Kampung di kota-kota besar itu bukanlah
masyarakat hukum, karena tidak mempunyai tata susunan yang wajar, dan di
antara penduduk-penduduk kampung tidak ada ikatan batin.
c. Masyarakat hukum serikat desa (perserikatan desa)
Masyarakat hukum serikat desa adalah suatu kesatuan sosial yang
teritorial, yang selalu dibentuk atas dasar kerjasama diberbagai-bagai lapangan
demi kepentingan bersama masyarakat hukum desa yang tergabung dalam
masyarakat hukum serikat desa tersebut. Kerjasama tersebut dimungkinkan
karena secara kebetulan berdekatan letaknya masyarakat hukum desa yang
bersama-sama membentuk masyarakat hukum serikat desa. Masyarakat
hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu secara
kebetulan, masih juga kerjasama tersebut bersifat tradisionil. Dalam
menjalankan kerjasama, mempunyai pengurus bersama, yang biasanya, yaitu:
1) mengurus pengairan
2) menyelesaikan perkara-perkara delik adat
3) mengurus hal-hal yang bersangkut paut dengan keamanan
bersama, dan kadang-kadang kerjasama ini diadakan karena
ada
4) keturunan yang sama
Berdasarkan ketiga jenis masyarakat hukum adat teritorial tersebut di atas, maka yang
merupakan pusat pergaulan sehari-hari adalah desa, hutan dan dusun. hal ini ditinjau
dari baik segi organisasi sosial maupun dari perasaaan perikatan yang bersifat
tradisionil. Segala aktifitas masyarakat hukum desa dipusatkan dalam tangan kepala
desa, yang menjadi bapak masyarakat desa dan yang dianggap mengetahui segala
peraturan-peraturan adat dan hukum adat masyarakat hukum adat yang dipimpinnya,
sehingga kepala desa adalah juga kepala adat.5

C. Organisasi Masyarakat Hukum Adat


1. Persekutuan Hukum
Dalam kepustakaan hukum, masyarakat hukum adat dibedakan dari
persekutuan hukum adat berdasarkan sifat pengertiannya. Masyarakat hukum
adat memiliki pengertian yang umum dan luas, merujuk pada berbagai
komunitas adat seperti masyarakat hukum adat Batak, Minangkabau, Sunda,
Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagainya. Di sisi lain, persekutuan
hukum adat memiliki pengertian yang lebih khusus dan terbatas, seperti
persekutuan hukum adat berdasarkan kekerabatan, ketetanggaan, atau
keorganisasian. Contohnya, untuk masyarakat hukum adat Minangkabau,
terdapat persekutuan hukum adat seperti Bodi-Caniago6, Koto-Piliang, Pesisir,
Pepadun, dan Pesisir di Lampung. Dalam perkembangan masyarakat yang
maju, seseorang tidak hanya terikat pada satu persekutuan, tetapi bisa menjadi
anggota dari beberapa kesatuan sekaligus. Sebagai contoh, seorang warga desa
bisa menjadi anggota persekutuan kekerabatan (misalnya, ȋsanak-sedulurȌ),
anggota persekutuan ketetanggaan (lembaga sosial desa), dan anggota
persekutuan keorganisasian (seperti golongan karya, partai politik,
perkumpulan pengajian, dll).
2. Bentuk-bentuk Persekutuan Hukum dan Sistim Pemerintahan
Persekutuan hukum adat dibedakan dalam ͵ 3 bentuk, yaitu:
a. Persekutuan kekerabatan (keluarga, kerabat, marga)
Persekutuan kekerabatan mengacu pada hubungan kekerabatan
dalam keluarga, kerabat, atau marga yang terbentuk melalui ikatan darah,
baik dari garis ayah (patrilineal), garis ibu (matrilineal), atau kedua orang
tua (bilateral). Anggota dalam persekutuan kekerabatan juga termasuk
mereka yang terhubung melalui perkawinan atau ikatan adat. Persekutuan
kekerabatan umumnya memiliki aturan adat dan kepemimpinan internal,
5
Dr. Yulia, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat, UNIMAL PRESS, 2016 hal 21-26
6
Dr. Yulia, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat, UNIMAL PRESS, 2016 hal 27-28
bahkan dalam beberapa kasus memiliki kepemilikan bersama atas harta
untuk kepentingan bersama.7
Di Indonesia, ada ͵3 contoh daerah yang menganut sistim persekutuan kekerabatan, yaitu:
i. Di daerah Batak, hubungan kekerabatan adalah Patrilinial, artinya ditentukan oleh
garis keturunan ayah. Dalam sistem ini, istilah "marga" digunakan untuk
menyatakan anggota keluarga yang memiliki garis keturunan yang sama dari satu
bapak asal. Nama-nama marga sering mencerminkan asal daerah, nama kampung,
dan leluhur. Contohnya, di daerah Toba terdapat beragam nama marga seperti
Utabarat, Utapea, Utasoit, dan lainnya, yang beberapa di antaranya mengambil
nama leluhur seperti Panggabean atau Simatupang. Di daerah Karo, konsep serupa
disebut "merga", dengan contoh seperti merga Silima yang mencakup Ginting,
Karo-Karo, dan lain-lain.
ii. Di Lampung, untuk mengidentifikasi kerabat sejalan dengan garis ayah, istilah
yang digunakan adalah "buway". Nama-nama buway biasanya diambil dari nama
bapak asal, seperti Buway Nunyai, Buway Unyi, dan Buway Nuban. Selain itu,
istilah "Punyimbang" juga ditemukan, yang berasal dari "pun" yang berarti "yang
dihormati" dan "nyimbang" yang berarti "yang mewarisi". Punyimbang digunakan
untuk merujuk kepada kepala kelompok keturunan, seperti Punyimbang Buway
untuk kepala keturunan, Punyimbang Menyanak untuk kepala kerabat kecil,
Punyimbang Nuwou untuk kepala kerabat serumah besar, dan Punyimbang Marga
untuk kepala kerabat dalam satu marga. Para Punyimbang terdiri dari satu
keturunan inti atau gabungan dari beberapa keturunan, yang dipilih berdasarkan
keturunan yang dilimpahkan kepada anak laki-laki tertua dari keturunan yang
paling tua.8
iii. Di Minangkabau, dimana sistem persekutuan kekerabatannya mengikuti pola
Matrilinial, istilah yang dipakai untuk merujuk pada kerabat satu keturunan dari
ibu asal adalah "Paruik", yang secara harfiah berarti "perut". Sebuah Paruik
dipimpin oleh seorang Penghulu yang dipilih dari kalangan anggota kerabat pria
yang dianggap memenuhi syarat dan memiliki kemampuan yang sesuai.9

7
Dr. Yulia, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat, UNIMAL PRESS, 2016 hal 28
8
Dr. Yulia, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat, UNIMAL PRESS, 2016 hal 28-29
9
Dr. Yulia, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat, UNIMAL PRESS, 2016 hal 30
b. Persekutuan Ketetanggaan (Kampung, Dusun, Desa, Kuria, Nagari, Marga)
Persekutuan ketetanggaan adalah ikatan antar-rumah yang didasarkan pada rasa
kekeluargaan di antara anggotanya yang tinggal dalam satu lingkungan, pedukuhan,
atau desa. Peribahasa Jawa "dudu sanak dudu kadang ning yen mati melu kelangan"
mencerminkan loyalitas dan perasaan kehilangan saat sesama tetangga meninggal.
Prinsip saling membantu tanpa memandang ikatan kekerabatan, suku, agama,
golongan, atau aliran sangat kuat dalam hubungan tetangga. Persekutuan
ketetanggaan dapat dibagi menjadi dua jenis: yang hanya didasarkan pada wilayah
(seperti Meunasah di Aceh atau dusun di Sumatera Selatan) dan yang juga
mempertimbangkan kesatuan wilayah serta keturunan atau kekerabatan (seperti
Huta di Batak atau Kampuang di Minangkabau). Struktur kepemimpinan di desa
dipengaruhi oleh jenis persekutuan ketetanggaan tersebut. Di desa yang hanya
didasarkan pada wilayah, kepala desa juga menjadi ketua Lembaga Musyawarah
Desa (LMD) dan kepala adat. Namun, di desa yang memperhitungkan juga
kesatuan kerabat atau adat, kepemimpinan desa dan adat dipegang oleh individu
yang berbeda dengan musyawarah adatnya masing-masing.10
c. Persekutuan Keorganisasian ( Perkumpulun sosial budaya-agama, sosial-
ekonomi-politik).
Persekutuan keorganisasian adalah ikatan anggota dalam suatu organisasi
atau perkumpulan di mana solidaritas antaranggota didasarkan pada rasa
kekeluargaan karena tergabung dalam entitas organisasi yang sama. Organisasi
atau perkumpulan tersebut dapat memiliki struktur yang sederhana tanpa aturan
tertulis atau lebih modern dengan mengadopsi anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga yang tertulis. Jenis organisasi ini meliputi berbagai bidang seperti
keagamaan, seni budaya, pemuda-pemudi, olahraga, ekonomi, karya, politik, dan
lain-lain. Kedudukan organisasi ini dapat bersifat lokal atau lebih luas, dan
sering mencerminkan beragam tujuan, lokasi, atau kepemimpinan. Beberapa
perkumpulan keagamaan mungkin tidak memiliki nama resmi, seperti pengajian
yang sering kali dipimpin oleh seorang guru agama atau dilakukan secara
bergantian. Selain itu, ada juga perkumpulan yang dibentuk untuk mempererat

10
Dr. Yulia, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat, UNIMAL PRESS, 2016 hal 30-31
hubungan kekeluargaan antara mahasiswa dan pelajar dari berbagai daerah di
Indonesia.11
Beberapa pendapat para sarjana mengenai persekutuan hukum adat
menyatakan bahwa organisasi tersebut, yang juga dikenal sebagai himpunan atau
komite, memiliki pemerintahan organisasi tersendiri. Mereka memiliki pengurus
yang tetap dan teratur, yang diatur berdasarkan hukum adat yang berlaku di
masing-masing wilayah. Dengan demikian, organisasi ini merupakan suatu
sistem yang mengatur hubungan antarpribadi berdasarkan aturan hukum adat,
yang seringkali berbeda dengan hukum ketatanegaraan yang umum. Para sarjana
telah mengemukakan berbagai pandangan tentang sifat dan peran persekutuan
hukum adat.12
i. Soeroyo W.P. menggambarkan persekutuan hukum adat sebagai
kesatuan yang memiliki struktur yang teratur dan tetap, dengan pengurus
sendiri serta memiliki kekayaan baik dalam bentuk materiil maupun
immateriil.
ii. Djaren Saragih, persekutuan hukum adat adalah sekelompok orang yang
membentuk satu kesatuan dalam susunan yang teratur, yang bersifat
abadi dan memiliki pimpinan, serta memiliki kekayaan baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud. Mereka mendiami wilayah
tertentu dalam kehidupan mereka.
iii. Van Vollenhoven, persekutuan hukum adalah masyarakat hukum yang
menampilkan konsep-konsep kesatuan manusia dengan struktur yang
teratur, wilayah tetap, kepemimpinan, dan kekayaan.
iv. Ter Haar menggambarkan persekutuan hukum adat sebagai sebuah
entitas manusia yang teratur, tinggal secara tetap di suatu wilayah
tertentu, dipimpin oleh penguasa atau pengurus, dan memiliki kekayaan
yang bisa berwujud atau tidak. Setiap anggota dalam kesatuan tersebut
menjalani kehidupan masyarakat sebagai hal yang alami dan tak

11
Dr. Yulia, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat, UNIMAL PRESS, 2016 hal 31-32
12
Dr. Yulia, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat, UNIMAL PRESS, 2016 hal 32-33
terhindarkan, serta tidak ada yang berkeinginan untuk membubarkan
atau meninggalkan ikatan tersebut selamanya.13
Contoh persekutuan hukum adat dapat dilihat dalam masyarakat di Minangkabau
yang memperlihatkan unsur-unsur tersebut di atas, yaitu:
i. Di Minangkabau, kepemimpinan famili dipegang oleh Penghulu Andiko,
dan setiap bagian famili tinggal dalam sebuah rumah yang disebut "jurai".
Rumah ini dikelola oleh seorang Tungganai atau Mamak sebagai kepala
waris. Meskipun kepemimpinan rumah bergantian dipegang oleh beberapa
nenek, namun kepala famili tetap merupakan seorang laki-laki yang
menjabat sebagai Penghulu Andiko.
ii. Terhadap berbagai entitas lain seperti famili lain, desa (Nagari), individu
asing, kelompok internal, atau pemerintahan yang lebih tinggi, famili
tersebut selalu berperilaku sebagai satu kesatuan yang solid dan bersatu.
iii. Setiap famili memiliki harta pusaka berupa kekayaan materiil yang
diwariskan dari generasi ke generasi dan dikelola secara langsung oleh
Penghulu Andiko. Selain aset materiil, terdapat juga kekayaan immateriil
seperti gelar-gelar.14
iv. Tidak ada anggota famili yang berkeinginan atau bermaksud untuk
mengakhiri atau meninggalkan famili tersebut. Situasi di mana seseorang
meninggalkan famili hanya terjadi dalam keadaan yang sangat luar biasa,
seperti punahnya famili, pelanggaran norma yang serius, atau
ketidaksepakatan yang tidak dapat diperbaiki. Famili dipandang sebagai
suatu entitas organisasi yang stabil dan kokoh.
v. Famili diatur dan terikat oleh serangkaian aturan tertentu yang membentuk
sebuah sistem hukum internal yang dijaga oleh kepala famili masing-
masing. Aturan-aturan ini ditaati oleh para anggota famili dengan penuh
rasa hormat dan kepercayaan.15 Famili di Minangkabau merupakan entitas
terkecil dalam struktur hukum adat, namun memiliki organisasi yang
teratur. Berbeda dengan keluarga di Jawa dan Aceh, dalam budaya

13
Dr. Yulia, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat, UNIMAL PRESS, 2016 hal 33-34
14
Dr. Yulia, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat, UNIMAL PRESS, 2016 hal 34-35
15
Dr. Yulia, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat, UNIMAL PRESS, 2016 hal 34-35
Minangkabau, keluarga tidak dianggap sebagai kesatuan yang tetap, dan
biasanya akan terbagi setelah anak-anak dewasa. Dan meninggalkan
keluarga untuk membentuk keluarga baru.

D. Struktur Sosial Masyarakat Hukum Adat


Seto Soemardjan pada faktor perbedaan “kultur” dari setiap suku bangsa,
yang menjadi titik tolak adanya suatu masyarakat majemuk. Konsepsi tersebut di
atas, kemudian diperhalus dan diperluas dengan mengambil kriteria ciri-ciri
struktur sosial dan kebudayaan, sehingga menimbulkan klasifikasi tiga bentuk
masyarakat sebagai berikut:
1. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana, yang ciri-ciri
utamanya adalah:
a. Hubungan dalam keluarga dan dalam masyarakat setempat amat kuat.
b. Organisasi sosial pada pokoknya didasarkan atas adat istiadat yang
terbentuk menurut tradisi.
c. Kepercayaan kuat pada kekuatan-kekuatan gaib yang mempengaruhi
kehidupan manusia akan tetapi dapat dikuasai olehnya.
d. Tidak ada lembaga-lembaga khusus untuk memberi pendidikan dalam
bidang teknologi; keterampilan diwariskan oleh orang tua kepada anak
sambil berpraktek dengan sedikit teori dan pengalaman, dan tidak dari
hasil pemikiran ataupun eksperimen.
e. Tingkat buta huruf tinggi.
f. Hukum yang berlaku tidak ditulis, tidak kompleks dan pokok-
pokoknya diketahui dan dimengerti oleh semua anggota dewasa dari
masyarakat.
g. Ekonominya sebagai besar meliputi produksi untuk keperluan keluarga
sendiri atau buat pesanan kecil setempat, sedangkan uang sebagai alat
penukar dan alat pengukur harga berperan terbatas.
h. Kegiatan ekonomi dan sosial yang memerlukan kerja sama orang
banyak dilakukan secara tradisional dengan gotong royong tanpa kerja
antara buruh dan majikan.16
2. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan madya, yang ciri-ciri
utamanya:
a. Hubungan dalam keluarga tetap kuat, tetapi hubungan dalam
masyarakat setempat sudah mengendur dan menunjukkan gejala-gejala
hubungan atas dasar perhitungan ekonomi.
b. Adat istiadat masih dihormati, tetapi sikap masyarakat mulai terbuka
bagi pengaruh dari luar.
c. Dengan timbulnya rasionalitas dalam cara berpikir orang maka
kepercayaan pada kekuatan-kekuatan gaib baru timbul apabila orang
sudah kehabisan akal untuk menanggulangi suatu masalah.
d. Di dalam masyarakat timbul lembaga-lembaga pendidikan formal kira-
kira sampai tingkat sekolah lanjutan pertama, tapi masih jarang sekali
adanya lembaga pendidikan keterampilan atau kejuruan.
e. Tingkat buta huruf bergerak menurun.
f. Hukum tertulis mulai mendampingi hukum tidak tertulis
g. Ekonomi masyarakat memberi kesempatan lebih banyak kepada
produksi buat pasaran, hal mana mulai menimbulkan diferensiasi
dalam struktur masyarakat; dengan sendirinya peranan uang
meningkat
h. Gotong royong tradisional tinggal buat keperluan sosial di kalangan
keluarga besar dan tetangga, tetapi gotong royong buat keperluan
umum dan buat kegiatan ekonomis dilakukan atas dasar upah uang.17
3. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan pra modern dan modern,
yang mempunyai ciri-ciri:
a. Hubungan antar manusia didasarkan terutama atas kepentingan-
kepentingan pribadi.

16
Soepomo. Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramitha. 1993 Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya
Paramitha. 1996
17
Surojo Wignjodipuro. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Bandung: Alumni. 1979
b. Hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain dilakukan secara
terbuka dalam suasana saling mempengaruhi, kecuali dalam penjagaan
rahasia penemuan baru dalam industry.
c. Kepercayaan kuat pada manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai sarana untuk senantiasa meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
d. Masyarakat terbagi-bagi menurut bermacam-macam profesi serta
keahlian yang masing-masing dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam
lembaga-lembaga pendidikan keterampilan dan kejuruan.
e. Tingkat pendidikan formal adalah tinggi dan merata.
f. Hukum yang berlaku pada pokoknya hukum tertulis yang amat
kompleks adanya.
g. Ekonomi hampir seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang
didasarkan atas penggunaan uang dan alat-alat pembayaran lain.
KESIMPULAN
Masyarakat adat dan suku dibagi menjadi dua yaitu faktor genealogis (keturunan) dan
faktor territorial (wilayah). Sedangkan hal tersebut dalam hukum adat terbagi lagi menjadi tiga
jenis utama serikat adat yaitu: Persekutuan hukum genealogis, Persekutuan hukum territorial,
dan Persekutuan hukum genealogis-teritorial atau gabungan dari dua Persekutuan tersebut.
Prof. Dr. Sri Hajati dalam karyanya Menyebutkan bahwa Masyarakat Persekutuan
genealogi territorial sebagai kesatuan Masyarakat atau komunitas sosial yang tetap dan teratur,
para anggota Masyarakat terikat tidak hanya secara gealogi namun juga terikat oleh suatu
wilayah tertentu (territorial) pada model Persekutuan.
Penggolongan Masyarakat hukum adat dibagi menjadi dua yaitu Masyarakat hokum adat
yang strukturnya berdasarkan azas keturunan (azas genealogis) dan masyarakat hukum adat yang
strukturnya bersifat territorial (menurut azas asal daerah).
Dalam kepustakaan hukum, masyarakat hukum adat dibedakan dari persekutuan hukum
adat berdasarkan sifat pengertiannya. Masyarakat hukum adat memiliki pengertian yang umum
dan luas, merujuk pada berbagai komunitas adat seperti masyarakat hukum adat Batak,
Minangkabau, Sunda, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagainya. Di sisi lain,
persekutuan hukum adat memiliki pengertian yang lebih khusus dan terbatas, seperti persekutuan
hukum adat berdasarkan kekerabatan, ketetanggaan, atau keorganisasian. Contohnya, untuk
masyarakat hukum adat Minangkabau, terdapat persekutuan hukum adat seperti Bodi-Caniago,
Koto-Piliang, Pesisir, Pepadun, dan Pesisir di Lampung.
Seto Soemardjan pada faktor perbedaan “kultur” dari setiap suku bangsa, yang menjadi
titik tolak adanya suatu masyarakat majemuk. Konsepsi tersebut di atas, kemudian diperhalus
dan diperluas dengan mengambil kriteria, ciri-ciri struktur sosial dan kebudayaan, sehingga
menimbulkan klasifikasi tiga bentuk masyarakat sebagai berikut:
1. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana
2. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan madya
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Sri Warjiyanti, S.H., M.H. Ilmu Hukum Adat, 2020, hal 3
Muhamad Rayhan fasya akbar Persekutuan Hukum Adat 2023 hal 6-7
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie Hukum Keluarga Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2022, hal 119
Prof. dr. Sri Hajati S.H., M.S. Dr. Ellyne Dwi Poespasari, S.H., M.H. Dr. Soelistyowati S.H.,
M.H. Buku Ajar Hukum Adat, kencana, 2018, hal 93-95
Dr. Yulia, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat, UNIMAL PRESS, 2016 hal 21-35
Soepomo. Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramitha. 1993 Bab-Bab Tentang Hukum Adat.
Jakarta: Pradnya Paramitha. 1996
Surojo Wignjodipuro. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Bandung: Alumni. 1979

Anda mungkin juga menyukai