Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH HUKUM ADAT

MASYARAKAT HUKUM ADAT

Dosen Pengampu: Fauzan Ghafur, S.H., M.H.


Kelompok 4:
 Fajar Ramadhan 0206212123
 Edward Nawansyah Pasaribu 0206212140
 Rafli Khairy 0206212114
 Muhammad Restu 0206213165

PRODI HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUMATERA UTARA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan
selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materi.
Penyusun sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami
berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca pahami
dan pelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharap kan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari
awal sampai akhir baik yang secara langsung maupun tidak
langsung. semoga allah SWT senantiasa meridhoi segala ikhtiar
kita.
Aamiin.
Medan, 12 Sep 2022
Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
B.Rumusan Masalah
C.Kerangka Teori
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Masyarakat Hukum adat
B.Faktor-faktor timbulnya Persekutuan Hukum adat
C.Pembagian Masyarakat Hukum Adat
D.Benda dalam Hukum Adat
E.Corak Masyarakat Hukum Adat
F.Masyarakat Hukum Adat pada masa sekarang
G.Lembaga Masyarakat desa
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
B.Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam literatur ilmu hukum adat yang dikembangkan dalam zaman
pemerintahan Hindia Belanda, masyarakat hukum adat atau adat
rechtsgemeenschappen adalah sama dan sebangun maknanya dengan desa
atau volks gemeenschappen, dan diatur dengan dua buah ordonansi tentang
desa, sebuah untuk pulau Jawa dan sebuah untuk pulau-pulau di luar Jawa.
Kedua ordonansi tersebut menghormati hak-hak tradisional masyarakat
hukum adat, sehingga desa serta masyarakat hukum adat disebut sebagai
republik-republik desa (dorps republiek).
Ditinjau dari latar belakang sejarah, masyarakat hukum adat di Kepulauan
Indonesia mempunyai latar belakang sejarah serta kebudayaan yang sudah
sangat tua dan jauh lebih tua dari terbentuknya kerajaan ataupun negara.
Secara historis, warga masyarakat hukum adat di Indonesia serta etnik yang
melingkupinya, sesungguhnya merupakan migran dari kawasan lainnya di
Asia Tenggara.
Secara kultural mereka termasuk dalam kawasan budaya Austronesia, yaitu
budaya petani sawah, dengan tatanan masyarakat serta hak kepemilikan
yang ditata secara kolektif, khususnya hak kepemilikan atas tanah ulayat.
Dalam kehidupan politik, beberapa etnik berhasil mendominasi etnik lain
beserta wilayahnya, dan membentuk kerajaan-kerajaan tradisional, baik
yang berukuran lokal maupun yang berukuran regional.
Moh. Koesnoe, dalam bukunya3 “, menulis antara lain ada empat fungsi
yang berkaitan dengan hak-hak tradisional dalam persekutuan masyarakat
pedesaan berkenaan dengan menjaga tata harmoni antara masyarakat
dengan tata semesta meliputi : Fungsi pemerintahan, Fungsi pemeliharan
roh, Fungsi pemeliharaan agama, Fungsi pembinaan hukum adat.
Pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap kesatuan masyarakat
hukum adat mengalami pasangan surut seiring dengan perkembangan
Bentuk negara Indonesia yang merupakan negara kesatuan berbentuk
republik.
Konsep negara kesatuan republik Indonesia merupakan konsep yang telah
menjadi kesepakatan para pendiri negara ini dalam sidang BPUPK maupun
sidang PPKI.
Sebelum proklamasi kemerdekaan yang menandai berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dalam teritori Indonesia terdapat lebih kurang
250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen. Istilah
zelfbesturende landschappen adalah kata lain untuk daerah-daerah
swapraja atau daerah kerajaan, yaitu daerah yang sejak semula memiliki
sistem pemerintahan sendiri seperti kesultanan Yogyakarta.
Sedangkan istilah volksgemeenschappen digunakan untuk menyebut dan
menjelaskan desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau.
Adapun keberadaan daerah volksgemeenschappen (daerah adat) seperti
desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang huta
dan kuria di Tapanuli, dan gampong di Aceh saat ini sulit kita temui, padahal
keberadaannya tetap diakui dan dihormati sebagai satuan pemerintahan
terkecil.
Pada kurun waktu tahun 1999-2002 terjadi perubahan UUD 1945.
Perubahan dilakukan sekali dalam empat tahap.
UUD 1945 pasca perubahan membedakan satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus dan bersifat istimewa dengan pengaturan tentang
volksgemeenschappen (daerah masyarakat hukum adat) diatur dalam ayat
tersendiri.
Oleh karenanya pengaturan tentang volksgemeenschappen diatur dalam
ayat tersendiri.
Pengakuan terhadap volksgemeenschappen juga harus didasarkan pada
syarat konstitusional tertentu.
Hal ini tentunya berbeda dengan UUD 1945 sebelum perubahan yang
menyamaratakan zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen
sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Perlindungan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat untuk
mempertahankan hak konstitusionalnya apabila terdapat undang-undang
yang merugikan hak konstitusionalnya termaktub dalam UU No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konsitusi jo. UU No. 8 Tahun 2011 tentang
perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UU MK). Namun
ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar kesatuan masyarakat
hukum adat memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi karena
tidak semua masyarakat hukum adat mempunyai kedudukan hukum dalam
pengujian undang-undang.

B.Rumusan Masalah
1.Apa itu masyarakat hukum adat ?
2.Apa yang menimbulkan persekutuan hukum adat ?
3.Bagaimana pembagian masyarakat hukum adat ?
4.Apa saja benda dalam hukum adat ?
5.Bagaimana corak masyarakat hukum adat ?
6.Bagaimana masyarakat hukum adat masa sekarang ?
7.Apa saja lembaga masyarakat desa ?
C.Kerangka Teori
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh
Cornelius Van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius Van
Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum
adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat
hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu
daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai
kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak
terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami
kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat
alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran
atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu
atau meninggalkan dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu
untuk selama-lamanya (Husen Alting,2010:30).
Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan
hukum itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat territorial
dangeneologis.
Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman
Hindia Belanda, yang dimagsud dengan masyarakat hukum atau
persekutuan hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan
teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah
kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan
maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh
leluhur (Hilman,2003:108)
Balam buku De Commune Trek in bet Indonesische, F.D. Hollenmann
mengkontruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu
magis religius, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam
uraian singkat sebagi berikut (Husen Alting,2010:46)
1) Sifat magis religius diartikan sebagai suatu pola pikir yang
didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu
yang bersiafat sakral. Sebelum masyarakat bersentuhan dengan
sistem hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam cara
berfikir yang frologka, animism, dan kepercayaan pada alam gahib.
Masyarakat harus menjaga kehamonisan antara alam nyata dan
alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal sistem
hukum agama perasaan religius diwujudkan dalam bentuk
kepercayaan kepada Tuhan (Allah). Masyarakat percaya bahwa
setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan
dan hukuman tuhan sesuai dengan derajat perubahannya.
2) Sifat komunal (Commuun), masyarakat memiliki asumsi bahwa
setiap setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian
integral dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini bahwa
kepentingan individu harus sewajarnya disesuaikan dengan
kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada individu
yang terlepas dari masyarakat.
3) Sifat kongkrit diartikan sebagai corak yang seba jelas atau nyata
menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam
masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar.
4) Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagai
kesertamertaan terutama dalam pemenuhan prestasi yang diberikan
secara sertamerta/seketika.
Pengertian masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 1 ayat 15
Peraturan Menteri Agraria dab Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak
Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang
Berada dalam Kawasan Tertentu, menyebutkan bahwa pengakuan hak
masyarakat hukum adat adalah pengakuan pemerintah terhadap
keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya
masih ada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat
hukum adat adalah sekelompok orang yang mempunyai ketentuan
sendiri, batas wilayah sendiri, serta norma-norma yang berlaku
dimasyarakat itu dan dipatuhi oleh kelompok masyarakat yang ada di
kelompok tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian masyarakat hukum adat.
Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat
tradisional” atau the indigenous (Inggris), dalam kehidupan sehari-hari
lebih sering dan lebih populer disebut denganistilah “masyarakat
adat”.Beberapa pakar hukum membedakan istilah masyarakat hukum
adat dengan masyarakat adat.Perbedaan itu ada yang melihatnya bahwa
“masyarakat hukum adat” merupakan terjemahan dari istilah
adatrechtsgemeenschap,sedangkan “masyarakat hukum” terjemahan dari
kata indigenous people (bahasa Inggris).
Istilah masyarakat adat dan masyarakat hukum adat memiliki sejarah
dan pemaknaan yang berbeda.Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan
dan digunakan oleh pakar hukum adat, yang lebih banyak difungsikan
untuk keperluan teoritik-akademis.Istilah ini diberikan untuk memberi
identitas kepada golongan pribumi yang memiliki sistem dan tradisi
hukum tidak tertulis. Secara terminologi kedua istilah tersebut
berbeda.Kusumadi Pujosewojo memberikan arti masyarakat
hukum sebagai masyarakat yang menetap, terikat, dan tunduk pada
tatanan hukumnya sendiri.Sedangkan masyarakat hukum adat adalah
masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, berdirinya
tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi
atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas sangat besar diantara
anggota, memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang dan
menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat
dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggota.
Masyarakat hukum adat menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, Masyarakat hukum adat adalah
sekelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di
wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,dan
hukum.Masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Para ahli mendeskripsikan masyarakat hukum adat.
Ten Haar
Mengemukakan bahwa masyarakat hukum adat adalah kesatuan
manusia yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai
penguasa-penguasa dan mempunyai kekayaan, yang berwujud dan
tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing-masing
mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar
menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu
mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membukakan ikatan
yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya, dalam melepaskan diri
dari ikatan itu untuk selama-lamanya (Ten Haar, 1).

Dr. Sukanto, S.H.

Selanjutnya, definisi hukum adat menurut Dr. Sukanto, S.H. adalah


sebuah kompleks adat yang pada umumnya tidak ditulis atau dikitabkan,
tidak dikodifikasikan serta memiliki sifat memaksa. Hukum ini juga
memiliki sanksi oleh sebab itu ada pula akibat hukumnya.

Sukardi

Sukardi dalam bukunya Sistem Hukum Indonesia juga menjelaskan,


hukum adat adalah keseluruhan kaidah maupun norma baik yang dibuat
secara tertulis ataupun tidak tertulis dan berasal dari kebiasaan
masyarakat Indonesia atau adat istiadat yang di dalamnya digunakan
untuk mengatur tingkah laku kehidupan masyarakatnya, sanksi juga
akan dikenakan pada pihak yang melanggarnya.

B.Faktor-faktor timbulnya persekutuan hukum adat


Faktor azas keturunan (Genealogis)
Faktor azas asal daerah (Teritorial)
C.Pembagian Masyarakat hukum adat
Masyarakat Hukum Genealogis
Masyarakat hukum genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat di
mana para anggotanya terikat oleh suatu garis keturunan yang sama dari
satu leluhur baik secara langsung karena hubungan darah atau tidak
langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Pada jenis
masyarakat hukum genealogis pengikat anggota persekutuan adalah
kesamaan keturunan dalam arti semua anggota dari persekutuan terikat
dan mempunyai ikatan yang kuat karena mereka berasal dari satu nenek
moyang yang satu atau sama. Masyarakat hukum genealogis ini
dibedakan dalam 3 (tiga) macam pertalian keturunan, yaitu sebagai
berikut:
a. Masyarakat hukum menurut garis laki-laki (patrilineal), yaitu
masyarakat yang susunannya ditarik menurut garis keturunan bapak
(garis laki-laki). Setiap anggota merasa dirinya sebagai keturunan dari
seorang laki-laki asal. Bentuk masyarakat ini terdapat dalam masyarakat
Batak, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Irian.
b. Masyarakat hukum menurut garis perempuan (matrilineal), yaitu
masyarakat yang tersusun berdasarkan garis keturunan ibu (garis
wanita). Setiap anggota merasa dirinya sebagai keturunan dari seorang
ibu asal. Bentuk masyarakat semacam ini terdapat pada masyarakat
Minangkabau, Kerinci, Semendo di Sumatera Selatan, dan beberapa
suku di Timor.
c. Masyarakat hukum menurut garis ibu dan bapak (bilateral/parental),
adalah masyarakat yang tersusun berdasarkan garis keturunan orang tua,
yaitu bapak dan ibu secara bersama-sama.
Bentuk masyarakat seperti ini terdapat di masyarakat hukum adat orang
Bugis, Dayak, dan Jawa. Bilateral artinya dua pihak, yaitu pihak ibu dan
pihak ayah.
Masyarakat Hukum Teritorial
Masyarakat hukum teritorial adalah masyarakat hukum yang anggota-
anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu,
baik dalam kaitan duniawi maupun dalam kaitan rohani.
Terdapat ikatan yang kuat sebagai pengikat di antara anggotanya karena
mereka merasa dilahirkan dan menjalani kehidupan bersama serta
tumbuh dan berkembang di tempat yang sama. Masyarakat hukum
teritorial dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yaitu sebagai berikut:
a. Masyarakat hukum/persekutuan desa, adalah sebagaimana desa
dijumpai di Jawa, merupakan suatu tempat kediaman bersama di dalam
daerahnya sendiri termasuk beberapa persekutuan yang terletak di
sekitarnya yang tunduk pada perangkat desa yang berkediaman di pusat
desa.
Jadi warga terikat pada suatu tempat tinggal yang meliputi
desa-desa/perkampungan yang jauh dari pusat kediaman di mana
pemimpin desa bertempat tinggal dan semua tunduk pada pimpinan
tersebut. Contohnya, desa di Jawa dan di Bali. Desa di Jawa merupakan
persekutuan hukum yang mempunyai tata susunan tetap, mempunyai
pengurus, mempunyai
wilayah, dan harta benda, bertindak sebagai satu kesatuan terhadap
dunia luar dan tidak mungkin desa itu dibubarkan.
b. Masyarakat hukum/persekutuan daerah, adalah kesatuan dari beberapa
tempat kediaman yang masing-masing mempunyai pimpinan sendiri dan
sederajat, tetapi kediaman itu merupakan bagian dari satu kesatuan yang
lebih besar. Bentuk seperti ini, misalnya kesatuan nagari di
Minangkabau, marga di Sumatera Selatan dan Lampung, dan kuria di
Tapanuli.
Desa di Jawa terdiri dari bagian-bagian yaitu dusun dan tiap dusun
mempunyai pimpinan.
Kuria di Tapanuli merupakan kesatuan dan bagian-bagian yang disebut
huta. Huta mempunyai pemimpin sendiri.
c. Masyarakat hukum/perserikatan desa, adalah apabila di antara
beberapa desa atau marga yang terletak berdampingan yang masing-
masing berdiri sendiri mengadakan perjanjian kerjasama, misalnya
kepentingan mengatur pemerintahan adat bersama, kehidupan
ekonomi,pertanian, dan pemasaran. Beberapa desa bergabung dan
mengadakan permufakatan untuk melakukan kerja sama untuk
kepentingan bersama. Untuk itu dibentuk suatu badan pengurus yang
terdiri dari pengurus desa, seperti subak di Bali.
Masyarakat Hukum Genealogis-Teritorial
Timbulnya masyarakat genealogis-teritorial disebabkan bahwa dalam
kenyataannya tidak ada kehidupan tidak tergantung dari tanah, tempat ia
dilahirkan, mengusahakan hidup, tempat kediaman, dan mati.
Masyarakat genealogis-teritorial adalah kesatuan masyarakat di mana
para anggotanya tidak saja terikat pada tempat kediaman, tetapi juga
terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau
kekerabatan.Bentuk masyarakat ini terdapat pada masyarakat kuria
dengan huta-huta di lingkungan masyarakat Tapanuli Selatan (Angkola,
Mandailing), umi (Mentawai), euri (Nias), nagari (Minangkabau), Marga
dengan dusun-dusun di Sumatera Selatan, dan marga dengan tiyuh-tiyuh
di Lampung.
D.Benda dalam hukum adat
Hukum adat
kebendaan adalah keseluruhan kaedah yang mengatur tentang
benda dan hak-hak kebendaan. Benda adalah segala sesuatu yang
dapat dipunyai oleh seseorang dan/atau masyarakat hukum adat
baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Hak kebendaan ada-
lah kewenangan yang melekat pada seseorang dan/atau masyarakat
hukum adat baik karena alam maupun oleh hukum adat/moral.

E.Corak masyarakat hukum adat


1. Tradisional
Hukum adat sudah turun-temurun sejak dahulu kala.
Dari nenek leluhur sampai anak cucu, ekssitensinya tetap dipertahankan.

2. Keagamaan (Religio Magis)


Hukum adat mengandung kaidah-kaidah kekuatan gaib dan kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mayoritas masyarakat Indonesia percaya bahwa Tuhan itu ada.
Namun banyak juga yang percaya, bahwasanya yang ada di semesta ini
memiliki jiwa (contoh : animisme), dan setiap kegiatan di bumi ini
diawasi oleh makhluk-makhluk lain.

3. Kebersamaan (Komunal)
Dalam hukum adat, kepentingan individu berada dibawah kepentingan
bersama.
Kepentingan bersama jauh lebih penting daripada kepentingan individu
(pribadi).
Dan hal ini juga diserap dalam konsitutusi kita yakni :
Pasal 33 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaaan.
4. Konkret dan Visual
Konkret artinya : jelas nyata.
Visual artinya : tidak tertutup/kelihatan. Jelas tidak tersembunyi.

Hal tersebut terlihat dalam kegiatan-kegiatan seperti :

 Transaksi tunai dilakukan saat itu juga, disaksikan oleh banyak


orang, penyerahannya saat itu juga. Contohnya : transaksi jual beli
tanah.
 Ada janji /boroh saat membeli. Jadi, kalau A sudah memberi boroh
(tanda jadi) kepada B, maka B tidak boleh lagi menjual kepada
orang lain lagi.

5. Terbuka dan Sederhana


Terbuka artinya : menerima masuknya unsur-unsur asing sepanjang
tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat hukum adat tersebut.
Sederhana artinya : bersahaja, tidak bertele-tele, mudah dalam
administrasinya, dan saling percaya.

6. Tidak dikodifikasi
Hukum adat tidak "dibukukan" (tidak dibuat jadi satu buku), tidak ditulis
seperti layaknya kitab Undang-undang (misalnya KUHP).

Hal ini membuat hukum adat mudah diubah.

Namun, ada yang tertulis, tapi tidak mengikat semua kalanagan, hanya
untuk orang tertentu saja.
Misalnya, hanya untuk keluarga orang-orang kerajaan atau bangsawan.

Adapun yang tertulis, namun tidak secara sistematis.

7. Dapat berubah dan Menyesuaikan Diri


Hukum adat juga dapat disesuaikan dengan kesesuaian.
Misalnya dahulu harta hanya diberikan pada laki-laki saja, dan
perempuan hanya diberikan karena rasa kasihan (iba).

Namun hal ini berubah karena saat ini sudah ada persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan.

Jika dahulu tidak boleh menikah (kawin) dengan satu marga, maka
sekarang sudah bisa.
8. Musyawarah dan Mufakat
Dalam hukum adat hal ini bertujuan untuk menyelesaikan beberapa
konflik.
Sangat jarang ada kasus yang sampai ke meja pengadilan.

Hal ini pula yang  menjadi cirikhas kita bangsa Indonesia,


murah bertememann, murah senyum, dan suka berdamai.
F.Masyarakat hukum adat pada masa sekarang
Keberadaan hukum adat sering menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
apakah aturan hukum adat ini tetap dapat digunakan untuk mengatur
kegiatan sehari-hari masyarakat dan menyelesaikan suatu permasalahan-
permasalahan yang timbul di masyarakat hukum adat. 

Sementara itu negara kita juga mempunyai aturan hukum yang dibuat
oleh badan atau lembaga pembuat undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Antara hukum adat dengan hukum negara
mempunyai daya pengikat yang berbeda secara konstitusional bersifat
sama tetapi terdapat perbedaan pada bentuk dan aspeknya.

Namun, keberadaan hukum adat ini secara resmi telah diakui oleh
negara, akan tetapi dengan penggunaan yang terbatas. Merujuk pada
pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang mana menyebutkan: 

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat


hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” 

Artinya bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat dan


konstitusional haknya dalam sistem hukum Indonesia. Memahami
rumusan pasal tersebut, maka: 
 Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak
tradisionalnya
 Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup
 Sesuai dengan perkembangan masyarakat
 Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
 Diatur dalam undang-undang. 

Dengan demikian dalam konsitusi memberikan jaminan pengakuan dan


penghormatan hukum adat apabila memenuhi syarat:

1. Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai


perkembangan masyarakat
2. Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang

Sehingga pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi hukum adat


dalam konstitusi sampai saat ini masih relevan dan telah memberikan
gambaran yang jelas bahwasanya bangsa Indonesia memiliki kultur atau
budaya yang khas dalam hukum. (Manarisip, 2012)

Karena hukum adat itu sendiri lahir dari kebutuhan kebiasaan rakyat
Indonesia. Maka dengan sendirinya hukum adat dapat mampu menjawab
segala masalah-masalah hukum yang dihadapi oleh rakyat dalam
kehidupan sehari-hari di suatu daerah tertentu. 

Hukum adat harus dikaji dalam rangka pembangunan hukum nasional


karena secara alamiah situasi dan kondisi masyarakat di masing-masing
daerah berbeda. Perbedaan itu juga selanjutnya menimbulkan variasi
dalam nilai-nilai sosial budaya mereka, termasuk nilai-nilai hukum
sebagai produk budaya.

Dengan demikian, walaupun di satu sisi hukum adat tetap


mempertahankan nilai-nilai tradisional yang dimilikinya namun di sisi
lain hukum adat pun dapat menerima perubahan yang
mempengaruhinya. (Maladi, 2010)
Oleh karena itu dapat terlihat letak fleksibilitas dari hukum adat.
Konstitusi sebagai hukum yang bersifat organik, memberikan sebuah
jaminan kepastian hukum kepada hukum adat dan masyarakat
hukumnya dengan mencantumkan pengakuan dan penghormatan
terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat. 

Jaminan kepastian hukum oleh konstitusi juga diwujudkan dengan


mewajibkan kepada para hakim (hakim dan hakim konstitusi) sebagai
pemberi dan pencipta keadilan di masyarakat untuk wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.

Masing-masing masyarakat memiliki otonomi terhadap nilai-nilai


hukumnya, karena masyarakat itulah yang membutuhkan adanya nilai-
nilai hukum tersebut. 

Adanya konstitusi sebagai aturan normatif tertinggi dalam hierarki


perundang-undangan yang telah memberikan tempat tersendiri terhadap
pengakuan dan penghormatan pada hukum adat harus dimaknai sebagai
semangat dan cita-cita bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan
negara hukum yang mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan
kepada rakyatnya.

G.Lembaga masyarakat desa


Lembaga Adat Desa atau sebutan lainnya (LAD) dalam ketentuan umum
Permendagri 18 tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan
Lembaga Adat Desa adalah lembaga yang menyelenggarakan fungsi
adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan
berkembang atas prakarsa masyarakat Desa. Sebagaimana Badan
Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain atau BPD
dalam Permendagri 18 tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan
Desa dan Lembaga Adat Desa adalah lembaga yang melaksanakan
fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk
Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara
demokratis.

Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 pada Bab XII pasal 94, disebutkan
bahwa :

(1) Desa mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa yang ada


dalam membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.   

(2) Lembaga kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


merupakan wadah partisipasi masyarakat Desa sebagai mitra Pemerintah
Desa.

(3) Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas melakukan pemberdayaan


masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan
pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.

(4) Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah,


Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan
lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan
lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.

Tugas Lembaga Kemasyarakatan sebagai berikut : 

1. menyusun rencana pembangunan secara partisipatif;


2. melaksanakan, mengendalikan, memanfaatkan, memelihara dan
mengembangkan pembangunan secara partisipatif;
3. menggerakkan dan mengembangkan partisipasi, gotong-royong
dan swadaya masyarakat;
4. menumbuhkembangkan kondisi dinamis masyarakat dalam rangka
pemberdayaan masyarakat;

Jenis Lembaga Kemasyarakatan Desa/Kelurahan, yaitu :

1. Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW),


2. Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK),
3. Karang Taruna (KARTAR), dan
4. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM)
5. Lembaga Adat
6. LINMAS

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Masyarakat hukum adat memiliki budaya masing masing dalam adatnya


dan memiliki peraturan-peraturan yang berbeda dalam mengatur adatnya
sendiri, banyak keunikan dalam masyarakat adat di setiap daerahnya
yang menyebabkan banyaknya budaya dan sosialisasi dalam suatu adat
tersebut. Indonesia memiliki budaya yang beragam dari sabang smpai
merauke, jadi mari kita lestarikan budaya tersebut akan cucu-cucu kita
mengetahui bahwa Indonesia itu sangatlah beragam budayanya.
Saran
Pada kenyataanya, makalah ini masih bersifat sangat sederhana dan
simpel. Serta dalam penyusunan makalah ini pun masih memerlukan
kritikan dan saran oleh bapak yang lebih mengerti akan masalah ini, dan
semoga kritik serta saran dari bapak dan teman-teman dapat
memberikan kami pengetahuan tentang pembuatan makalah yang benar.

DAFTAR PUSTAKA
http://repository.uhn.ac.id/bitstream/handle/123456789/1472/Dewi
%20Sartika.pdf?sequence=1&isAllowed=y
BUKU AJAR HUKUM ADAT DR. YULIA, S.H.,MH.
BUKU HUKUM BENDA DAN HARTA KEKAYAAN ADAT PROF.
DR. DOMINIKUS RATO, S.H., M.Si.
https://www.satuhukum.com/2020/04/corak-hukum-adat.html
https://heylawedu.id/blog/eksistensi-hukum-adat-dalam-sistem-hukum-
nasional-masih-relevankah
https://www.akah.desa.id/artikel/2020/6/10/lembaga-masyarakat
http://e-journal.uajy.ac.id/8875/3/2MIH02207.pdf

Anda mungkin juga menyukai