PRODI HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUMATERA UTARA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan
selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materi.
Penyusun sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami
berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca pahami
dan pelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharap kan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari
awal sampai akhir baik yang secara langsung maupun tidak
langsung. semoga allah SWT senantiasa meridhoi segala ikhtiar
kita.
Aamiin.
Medan, 12 Sep 2022
Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
B.Rumusan Masalah
C.Kerangka Teori
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Masyarakat Hukum adat
B.Faktor-faktor timbulnya Persekutuan Hukum adat
C.Pembagian Masyarakat Hukum Adat
D.Benda dalam Hukum Adat
E.Corak Masyarakat Hukum Adat
F.Masyarakat Hukum Adat pada masa sekarang
G.Lembaga Masyarakat desa
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
B.Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam literatur ilmu hukum adat yang dikembangkan dalam zaman
pemerintahan Hindia Belanda, masyarakat hukum adat atau adat
rechtsgemeenschappen adalah sama dan sebangun maknanya dengan desa
atau volks gemeenschappen, dan diatur dengan dua buah ordonansi tentang
desa, sebuah untuk pulau Jawa dan sebuah untuk pulau-pulau di luar Jawa.
Kedua ordonansi tersebut menghormati hak-hak tradisional masyarakat
hukum adat, sehingga desa serta masyarakat hukum adat disebut sebagai
republik-republik desa (dorps republiek).
Ditinjau dari latar belakang sejarah, masyarakat hukum adat di Kepulauan
Indonesia mempunyai latar belakang sejarah serta kebudayaan yang sudah
sangat tua dan jauh lebih tua dari terbentuknya kerajaan ataupun negara.
Secara historis, warga masyarakat hukum adat di Indonesia serta etnik yang
melingkupinya, sesungguhnya merupakan migran dari kawasan lainnya di
Asia Tenggara.
Secara kultural mereka termasuk dalam kawasan budaya Austronesia, yaitu
budaya petani sawah, dengan tatanan masyarakat serta hak kepemilikan
yang ditata secara kolektif, khususnya hak kepemilikan atas tanah ulayat.
Dalam kehidupan politik, beberapa etnik berhasil mendominasi etnik lain
beserta wilayahnya, dan membentuk kerajaan-kerajaan tradisional, baik
yang berukuran lokal maupun yang berukuran regional.
Moh. Koesnoe, dalam bukunya3 “, menulis antara lain ada empat fungsi
yang berkaitan dengan hak-hak tradisional dalam persekutuan masyarakat
pedesaan berkenaan dengan menjaga tata harmoni antara masyarakat
dengan tata semesta meliputi : Fungsi pemerintahan, Fungsi pemeliharan
roh, Fungsi pemeliharaan agama, Fungsi pembinaan hukum adat.
Pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap kesatuan masyarakat
hukum adat mengalami pasangan surut seiring dengan perkembangan
Bentuk negara Indonesia yang merupakan negara kesatuan berbentuk
republik.
Konsep negara kesatuan republik Indonesia merupakan konsep yang telah
menjadi kesepakatan para pendiri negara ini dalam sidang BPUPK maupun
sidang PPKI.
Sebelum proklamasi kemerdekaan yang menandai berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dalam teritori Indonesia terdapat lebih kurang
250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen. Istilah
zelfbesturende landschappen adalah kata lain untuk daerah-daerah
swapraja atau daerah kerajaan, yaitu daerah yang sejak semula memiliki
sistem pemerintahan sendiri seperti kesultanan Yogyakarta.
Sedangkan istilah volksgemeenschappen digunakan untuk menyebut dan
menjelaskan desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau.
Adapun keberadaan daerah volksgemeenschappen (daerah adat) seperti
desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang huta
dan kuria di Tapanuli, dan gampong di Aceh saat ini sulit kita temui, padahal
keberadaannya tetap diakui dan dihormati sebagai satuan pemerintahan
terkecil.
Pada kurun waktu tahun 1999-2002 terjadi perubahan UUD 1945.
Perubahan dilakukan sekali dalam empat tahap.
UUD 1945 pasca perubahan membedakan satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus dan bersifat istimewa dengan pengaturan tentang
volksgemeenschappen (daerah masyarakat hukum adat) diatur dalam ayat
tersendiri.
Oleh karenanya pengaturan tentang volksgemeenschappen diatur dalam
ayat tersendiri.
Pengakuan terhadap volksgemeenschappen juga harus didasarkan pada
syarat konstitusional tertentu.
Hal ini tentunya berbeda dengan UUD 1945 sebelum perubahan yang
menyamaratakan zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen
sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Perlindungan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat untuk
mempertahankan hak konstitusionalnya apabila terdapat undang-undang
yang merugikan hak konstitusionalnya termaktub dalam UU No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konsitusi jo. UU No. 8 Tahun 2011 tentang
perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UU MK). Namun
ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar kesatuan masyarakat
hukum adat memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi karena
tidak semua masyarakat hukum adat mempunyai kedudukan hukum dalam
pengujian undang-undang.
B.Rumusan Masalah
1.Apa itu masyarakat hukum adat ?
2.Apa yang menimbulkan persekutuan hukum adat ?
3.Bagaimana pembagian masyarakat hukum adat ?
4.Apa saja benda dalam hukum adat ?
5.Bagaimana corak masyarakat hukum adat ?
6.Bagaimana masyarakat hukum adat masa sekarang ?
7.Apa saja lembaga masyarakat desa ?
C.Kerangka Teori
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh
Cornelius Van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius Van
Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum
adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat
hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu
daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai
kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak
terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami
kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat
alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran
atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu
atau meninggalkan dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu
untuk selama-lamanya (Husen Alting,2010:30).
Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan
hukum itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat territorial
dangeneologis.
Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman
Hindia Belanda, yang dimagsud dengan masyarakat hukum atau
persekutuan hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan
teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah
kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan
maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh
leluhur (Hilman,2003:108)
Balam buku De Commune Trek in bet Indonesische, F.D. Hollenmann
mengkontruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu
magis religius, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam
uraian singkat sebagi berikut (Husen Alting,2010:46)
1) Sifat magis religius diartikan sebagai suatu pola pikir yang
didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu
yang bersiafat sakral. Sebelum masyarakat bersentuhan dengan
sistem hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam cara
berfikir yang frologka, animism, dan kepercayaan pada alam gahib.
Masyarakat harus menjaga kehamonisan antara alam nyata dan
alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal sistem
hukum agama perasaan religius diwujudkan dalam bentuk
kepercayaan kepada Tuhan (Allah). Masyarakat percaya bahwa
setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan
dan hukuman tuhan sesuai dengan derajat perubahannya.
2) Sifat komunal (Commuun), masyarakat memiliki asumsi bahwa
setiap setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian
integral dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini bahwa
kepentingan individu harus sewajarnya disesuaikan dengan
kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada individu
yang terlepas dari masyarakat.
3) Sifat kongkrit diartikan sebagai corak yang seba jelas atau nyata
menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam
masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar.
4) Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagai
kesertamertaan terutama dalam pemenuhan prestasi yang diberikan
secara sertamerta/seketika.
Pengertian masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 1 ayat 15
Peraturan Menteri Agraria dab Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak
Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang
Berada dalam Kawasan Tertentu, menyebutkan bahwa pengakuan hak
masyarakat hukum adat adalah pengakuan pemerintah terhadap
keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya
masih ada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat
hukum adat adalah sekelompok orang yang mempunyai ketentuan
sendiri, batas wilayah sendiri, serta norma-norma yang berlaku
dimasyarakat itu dan dipatuhi oleh kelompok masyarakat yang ada di
kelompok tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian masyarakat hukum adat.
Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat
tradisional” atau the indigenous (Inggris), dalam kehidupan sehari-hari
lebih sering dan lebih populer disebut denganistilah “masyarakat
adat”.Beberapa pakar hukum membedakan istilah masyarakat hukum
adat dengan masyarakat adat.Perbedaan itu ada yang melihatnya bahwa
“masyarakat hukum adat” merupakan terjemahan dari istilah
adatrechtsgemeenschap,sedangkan “masyarakat hukum” terjemahan dari
kata indigenous people (bahasa Inggris).
Istilah masyarakat adat dan masyarakat hukum adat memiliki sejarah
dan pemaknaan yang berbeda.Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan
dan digunakan oleh pakar hukum adat, yang lebih banyak difungsikan
untuk keperluan teoritik-akademis.Istilah ini diberikan untuk memberi
identitas kepada golongan pribumi yang memiliki sistem dan tradisi
hukum tidak tertulis. Secara terminologi kedua istilah tersebut
berbeda.Kusumadi Pujosewojo memberikan arti masyarakat
hukum sebagai masyarakat yang menetap, terikat, dan tunduk pada
tatanan hukumnya sendiri.Sedangkan masyarakat hukum adat adalah
masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, berdirinya
tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi
atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas sangat besar diantara
anggota, memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang dan
menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat
dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggota.
Masyarakat hukum adat menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, Masyarakat hukum adat adalah
sekelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di
wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,dan
hukum.Masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Para ahli mendeskripsikan masyarakat hukum adat.
Ten Haar
Mengemukakan bahwa masyarakat hukum adat adalah kesatuan
manusia yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai
penguasa-penguasa dan mempunyai kekayaan, yang berwujud dan
tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing-masing
mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar
menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu
mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membukakan ikatan
yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya, dalam melepaskan diri
dari ikatan itu untuk selama-lamanya (Ten Haar, 1).
Sukardi
3. Kebersamaan (Komunal)
Dalam hukum adat, kepentingan individu berada dibawah kepentingan
bersama.
Kepentingan bersama jauh lebih penting daripada kepentingan individu
(pribadi).
Dan hal ini juga diserap dalam konsitutusi kita yakni :
Pasal 33 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaaan.
4. Konkret dan Visual
Konkret artinya : jelas nyata.
Visual artinya : tidak tertutup/kelihatan. Jelas tidak tersembunyi.
6. Tidak dikodifikasi
Hukum adat tidak "dibukukan" (tidak dibuat jadi satu buku), tidak ditulis
seperti layaknya kitab Undang-undang (misalnya KUHP).
Namun, ada yang tertulis, tapi tidak mengikat semua kalanagan, hanya
untuk orang tertentu saja.
Misalnya, hanya untuk keluarga orang-orang kerajaan atau bangsawan.
Namun hal ini berubah karena saat ini sudah ada persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan.
Jika dahulu tidak boleh menikah (kawin) dengan satu marga, maka
sekarang sudah bisa.
8. Musyawarah dan Mufakat
Dalam hukum adat hal ini bertujuan untuk menyelesaikan beberapa
konflik.
Sangat jarang ada kasus yang sampai ke meja pengadilan.
Sementara itu negara kita juga mempunyai aturan hukum yang dibuat
oleh badan atau lembaga pembuat undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Antara hukum adat dengan hukum negara
mempunyai daya pengikat yang berbeda secara konstitusional bersifat
sama tetapi terdapat perbedaan pada bentuk dan aspeknya.
Namun, keberadaan hukum adat ini secara resmi telah diakui oleh
negara, akan tetapi dengan penggunaan yang terbatas. Merujuk pada
pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang mana menyebutkan:
Karena hukum adat itu sendiri lahir dari kebutuhan kebiasaan rakyat
Indonesia. Maka dengan sendirinya hukum adat dapat mampu menjawab
segala masalah-masalah hukum yang dihadapi oleh rakyat dalam
kehidupan sehari-hari di suatu daerah tertentu.
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 pada Bab XII pasal 94, disebutkan
bahwa :
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.uhn.ac.id/bitstream/handle/123456789/1472/Dewi
%20Sartika.pdf?sequence=1&isAllowed=y
BUKU AJAR HUKUM ADAT DR. YULIA, S.H.,MH.
BUKU HUKUM BENDA DAN HARTA KEKAYAAN ADAT PROF.
DR. DOMINIKUS RATO, S.H., M.Si.
https://www.satuhukum.com/2020/04/corak-hukum-adat.html
https://heylawedu.id/blog/eksistensi-hukum-adat-dalam-sistem-hukum-
nasional-masih-relevankah
https://www.akah.desa.id/artikel/2020/6/10/lembaga-masyarakat
http://e-journal.uajy.ac.id/8875/3/2MIH02207.pdf