Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

HUKUM ADAT

“PERSEKUTUAN HUKUM”

Dosen Pengampu :
Dr. Sri Warjiyati, SH., MH.

Disusun oleh :
Anisa Sulistiya
Alya Zulfana Rahman

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA


2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat kepada
kita. Tak lupa juga kami curahkan shalawat serta salam kepada Rasululah SAW yang telah
membimbing semua umatnya agar terlepas dari kehidupan yang penuh dengan kebodohan dan
kesesatan. Berkat dari nikmat dan rahmat-Nya yang telah diberikan, kita mampu menjalankan
kewajiban kita sebagai seorang mahasiswa dengan baik, salah satunya adalah kami mampu
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Persekutuan Hukum”

Dalam proses penyusunan makalah ini, tentunya kami juga menemui berbagai
hambatan. Akan tetapi kami menyadari bahwa kelancaran dalam proses penyusunan makalah
ini tentunya tidak lepas dari dorongan dan bimbingan dari dosen pembimbing, yaitu ibu Dr. Sri
Warjiyati, M.H. Serta kesuksesan dalam menyelesaikan makalah ini juga tidak terlepas dari
peran semua anggota kelompok dalam mencurahkan isi pikirannya, sehingga makalah ini bisa
terselesaikan dengan baik.

Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi seluruh pembaca. Akan tetapi kami
pun sadar apabila makalah yang disusun saat ini masih memiliki beberapa kekurangan, dan
dapat dikatakan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dari para pembaca, guna meningkatkan
kemampuan kami dalam menyusun makalah dikemudian hari.

Surabaya, 13 September 2023

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 1


DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 2
BAB I ......................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 3
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4
C. Tujuan ............................................................................................................................. 4
BAB II ........................................................................................................................................ 5
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 5
A. Pengertian Persekutuan Hukum...................................................................................... 4
B. Struktur Persekutuan Hukum.......................................................................................... 6
BAB III .................................................................................................................................... 11
PENUTUP ............................................................................................................................... 11
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 12

2
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara majemuk dengan berbagai keragaman yang hidup
serta melekat di dalamnya dari masa ke masa. Perlu diketahui bahwa faktanya, setiap
provinsi di Indonesia memiliki kesatuan masyarakat hukum adat yang telah ada sejak
ratusan tahun yang lalu. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang
teratur, tetap di suatu tempat, memiliki penguasapenguasa, memiliki hukum adat
1
sendiri, dan memiliki kekayaan sendiri, baik secara nampak maupun tidak nampak.
Golongan-golongan yang hidup dalam kesatuan dengan dunia lahir dan batin ditemukan
di seluruh Kepulauan Indonesia di lingkungan masyarakat banyak. Golongan-golongan
ini memiliki struktur yang konsisten, dan anggota mereka menjalani kehidupan mereka
secara sesuai. Tidak ada satu pun dari mereka yang berpikir atau mampu menghapus
kelompok itu. Pada golongan ini terdiri dari kelompok-kelompok yang terhubung satu
sama lain melalui alam bawah sadar, alam luar, dan alam kebendaan. Untuk
memberikan gambaran yang lebih lengkap, kelompok-kelompok ini disebut masyarakat
hukum (rechts gemeenschappen). 2
Saragih menyatakan bahwa anggota persekutuan hukum diikat oleh dua
komponen, yaitu genealogis dan territorial, yang menghasilkan tiga jenis utama
persekutuan hukum: genealogis, territorial, dan genealogis-teritorial. Namun, faktor
genealogi secara bertahap mulai tergeser oleh faktor teritorial karena hubungan antar
suku semakin erat. 3 Masyarakat genealogis memiliki dua jenis persekutuan—unilateral
dan bilateral/parental—serta satu jenis tambahan yang dikenal sebagai alternerend.
Anggota masyarakat unilateral diklasifikasikan berdasarkan garis keturunan satu pihak,
yaitu pihak ayah atau pihak ibu. Garis keturunan dari pihak ibu adalah matrilineal, dan
garis keturunan dari pihak ayah adalah patrilineal. Selain itu, dalam masyarakat
bilateral, anggota menarik garis keturunan dari pihak ayah dan ibu, sedangkan dalam
masyarakat alternerend, anggota menarik garis keturunan berganti-ganti berdasarkan
bentuk perkawinan orang tua mereka.

1
Henry Arianto and Nin Yasmin Lisasih, “Masyarakat Hukum Adat Di Indonesia,” Fakultas Hukum Universitas Esa
Unggul, 1989, https://lms-
paralel.esaunggul.ac.id/pluginfile.php?file=/130647/mod_resource/content/2/MASYARAKAT%20HUKUM%20AD
AT.pdf.
2
B Ter Haar, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001).
3
Dewi Sartika, “Hukum Atas Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Batak Toba Di Desa Hutalontung,
Kecamatan Muara,” 2018.
3
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan persekutuan hukum ?
2. Bagaimana struktur persekutuan hukum tersebut ?
3. Apa dasar hukum berlakunya hukum adat ?

C. Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk agar mahasiswa mampu memahami
persukutuan hukum dan struktur-strukturnya khususnya di masyarakat adat.

4
BAB II

PEMBAHASAN
A. PERSEKUTUAN HUKUM
Persekutuan hukum (rechts gemeenschap) adalah perkumpulan atau perkumpulan orang
yang merasa terikat satu sama lain dalam satu kesatuan yang penuh solidaritas, dengan anggota
tertentu memiliki otoritas untuk bertindak atas nama kesatuan untuk mencapai kepentingan atau
tujuan bersama. Menurut beberapa ahli, persekutuan hukum didefinisikan berbeda. Soerojo
mendefinisikannya sebagai sekelompok orang yang bersatu dalam susunan yang teratur dan
4
abadi dengan pengurus dan kekayaan materiil dan imateriil. Sedangkan menurut Djaren
Saragih, persekutuan hukum adalah sekelompok orang yang bersatu dalam susunan yang teratur
dan abadi dengan pengurus dan kekayaan materiil dan imateriil. 5
Masyarakat hukum adat dan persekutuan hukum adat berbeda dalam kepustakaan
hukum. Ini berbeda karena masyarakat hukum adat mengandung definisi yang luas, seperti
Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagainya. Namun,
persekutuan hukum adat memiliki definisi yang khusus dan terbatas, seperti kekerabatan,
ketetanggaan, atau kelompok. Selain itu, persekutuan hukum adat dapat dilihat dari
komunitasnya sendiri, seperti di Minangkabau, persekutuan hukum adat Bodi-Caniago, Koto-
Piliang, dan Pesisir atau di Lampung, persekutuan hukum adat Pepadun dan Pesisir. Sebagai
anggota masyarakat di negara-negara maju, seseorang terikat pada lebih dari satu kelompok.
Misalnya, seorang warga desa adalah anggota persekutuan kekerabatan sanak sedulur, anggota
persekutuan ketetanggaan lembaga sosial desa dan anggota persekutuan keorganisasian
golongan karya, partai politik, perkumpulan pengajian dan sebagainya.6
Suatu contoh persekutuan yang disebut sebagai persekutuan lain adalah sebagai berikut:
a. Famili di Minangkabau adalah suatu persekutuan hukum karena memiliki:
1) Tata susunan yang tetap, yaitu keluarga terdiri dari beberapa bagian yang disebut rumah.
Rumah ini juga terdiri dari nenek dan saudara laki-laki dan perempuan.
2) Pengurus sendiri, yang diketahui oleh seorang penghulu andiko dan diketuai oleh kepala
waris.
3) Harta pusaka sendiri, yang harus diurus oleh penghulu andiko
b. Ini berbeda dengan suatu keluarga Jawa, di mana keluarga ini tidak merupakan persekutuan
hukum, dan meskipun memiliki harta benda, keluarga tersebut akan bubar karena anak-anak

4
Soerojo Widnjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Haji Masagung, 1987).
5
S. H. Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Tarsito, 1984).
6
Yulia, Buku Ajar Hukum Adat (Unimal Press, 2016), 37,
https://repository.unimal.ac.id/3799/1/HUKUM%20ADAT-%20Dr%20Yulia.pdf.
5
mereka akan berpencar setelah mereka dewasa sebab telah memiliki keluarga kecil barunya
masing-masing. Perceraian dapat menjadi sebab dari bubarnya suatu persekutuan. Demikian
sama juga dengan sebuah kampong yang terletak di Jakarta bukan dikategorikan sebagai
suatu persekutuan hukum, hal tersebut disebabkan karena didalamnya tidak ada susunan
yang wajar serta minim hingga ketiadaan ikatan batin antar warga kampong tersebut. 7

B. STRUKTUR PERSEKUTUAN HUKUM

Persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) adalah perikatan atau


perkumpulan antar manusia yang mempunyai anggota-anggota yang merasa dirinya
terikat satu-sama lainnya dalam satu kesatuan yang penuh solidaritas, dimana dalam
anggota-anggota tertentu berkuasa untuk bertindak atas nama mewakili kesatuan itu dalam
mencapai kepetingan atau tujuan bersama.8
Pada dasarnya perserikatan (persekutuan) hukum di Indonesia dapat dibagi menjadi
tiga menurut dasar suatu susunannya, yaitu:9
a. Persekutuan hukum yang berdasar pertalian suatu keturunan (genealogis)
Persekutuan hukum yang berdasar pertalian suatu keturunan dimana orang-orang
yang menjadi anggota perserikatan hukum tersebut termasuk ke dalam satuan pertalian yang
sama. Dasar dalam perserikatan hukum yang didasarkan pada pertalian keturunan ini,
persamaan keturunan merupakan pengikat utama, yang berarti bahwa anggota kelompok
terikat karena mereka percaya bahwa mereka berasal dari keluarga yang sama.
1. Hubungan darah menurut garis bapak (patrilineal).
Sebagai contoh, orang Batak, Nias, dan Sumba berasal dari garis patrilineal, di mana
susunan masyarakatnya didasarkan pada garis turunan dari bapak (garis laki-laki),
sedangkan garis ibu disingkirkan. Orang Batak yang termasuk dalam kategori "marga
geneologis" ini dapat diidentifikasi melalui nama marga (satu turunan) mereka, seperti
Sinaga, Sitomurang, Aritonang, Siregar, Simatupang, Harahap, Simanjuntak, dan lain-lain.
2. Hubungan darah menurut garis ibu (matrilineal).
Dalam masyarakat matrilineal ini, susunan masyarakat disusun menurut garis
keturunan ibu, atau garis keturunan perempuan, sedangkan garis keturunan bapak
dihilangkan, seperti halnya dalam masyarakat Minangkabau. Karena mereka jarang
menggunakan nama turunan sukunya secara umum, masyarakat matrilineal ini membuatnya
7
Sri Warjiyati, Ilmu Hukum Adat (Deepublish, 2020).
8
Evi Nur Fitria, “Persekutuan Hukum Adat,” Evi Nur Fitria (blog), December 5, 2015,
https://evinurfitria.wordpress.com/2015/12/05/persekutuan-hukum-adat/.
9
Sri Warjiyati, Ilmu Hukum Adat (Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2020).
6
sulit dikenali. Dalam masyarakat dengan garis patrilineal, suku dianggap sama dengan
"marga". Artinya, suku dianggap sebagai kelompok orang yang berasal dari satu turunan
menurut "matriarchat", bukan suku bangsa.
3. Hubungan darah menurut garis bapak dan menurut garis ibu(parental)
Orang Jawa, Sunda, Aceh, dan Kalimantan memiliki hubungan darah dengan garis
bapak dan ibu. Pada masyarakat yang dikenal sebagai bilateral/parental, susunan
masyarakatnya ditarik dari turunan orang tuanya, yaitu Bapak dan Ibu. Untuk
menyeimbangkan ikatan kekerabatan antara pihak bapak dan ibu, masing-masing anggota
kelompok masuk ke klen bapak dan ibu. Untuk menentukan hak dan kewajiban seseorang,
keluarga bapak adalah sama dengan keluarga ibu.
Tidak semua orang dapat menjadi anggota masyarakat hukum tanpa ikatan
keturunan, karena masyarakat hukum genealogis biasanya tertutup. Kesatuan sosial yang
berdasar genealogis ini disebut kerabat/wangsa. Dua orang dikatan kerabat/wangsa yang
satu dari pada yang lain apabila dua orang itu tinggal keturunan. Oleh karena itu,
kewangsaan adalah hubungan darah yang didasarkan pada keturunan. Dalam kenyataannya,
seseorang yang berhubungan darah dengan orang lain selalu diakui dalam hubungan
sosialnya juga.
b. Persekutuan hukum berdasar suatu lingkungan daerah (teritorialis)
Persekutuan hukum yang berdasarkan lingkungan daerah, juga disebut sebagai
persekutuan hukum teritorial, adalah suatu persekutuan hukum di mana anggota termasuk
dalam satu tempat tinggal di dalam lingkungan persekutuan tersebut. tertulis. Sebagai
contoh, beberapa desa di Jawa dan Bali atau garis keturunan di Palembang. Orang dapat
meninggalkan rumahnya dengan baik untuk sementara dan tetap menjadi anggota kelompok
tersebut. Di sisi lain, individu dari luar tidak dapat secara otomatis menjadi anggota,
sehingga diperlukan untuk diterima sebagai teman komunitas menurut hukum adat
(diizinkan berpartisipasi) dalam aturan desa dan lainnya) khusus untuk mereka yang secara
historis, tinggal di daerah tersebut mempunyai peran penting dalam komunitas. Perserikatan
hukum yang berdasar lingkungan daerah ini terbagi dalam 3 macam: 10
1. Perserikatan desa (drop)
Drop (desa) adalah suatu masyarakat manusia yang terikat oleh suatu lingkungan
tanah karena lingkungan tanah itu merupakan tempat tinggal bersama untuk
menyelenggarakan penghidupan bersama. Beberapa desa mungkin masih membagi satu
sama lain ke dalam daerah tanah yang lebih kecil (dukuh = taratak semacam desa) selalu
10
Warjiyati, Ilmu Hukum Adat.
7
berfokus pada tanah tempat kepala adatnya tinggal diam. Desa ini hanya memiliki satu
kesatuan dalam administrasinya atau sistem yang berpusat pada kepala adatnya. jenis
masyarakat hukum teritorial ini. Ini dapat ditemukan di desa-desa di Jawa dan Bali.
Desa-desa di Jawa Tengah dan Timur terletak di suatu tempat Krajan atau kelurahan
adalah nama kepala adat. Jika suatu desa ada banyak kelompok perumahan yang
merupakan bagian dari desanya yang dikenal sebagai padukuhan "kamituwo".
Pengertian desa ini juga berlaku di Bali dan Lombok, tetapi dengan beberapa
perbedaan. Di Bali dan Lombok, desa merupakan masyarakat hukum territorial yang
juga terikat oleh unsur-unsur keagamaan. Persekutuan desa, juga dikenal sebagai
masyarakat dusun, adalah apabila suatu tempat kediaman bersama mengikat suatu
perserikatan manusia di atas daerahnya sendiri, mungkin bersama-sama dengan
beberapa dusun atau dukuh yang tak bebas dan terletak di sebelah pedalaman wilayah
yang diawasi oleh suatu badan tata urusan yang berwenang di wilayahnya.
Konsep kehidupan yang harmonis (levensgemeenschap) di Indonesia mencakup
keyakinan agama, kehidupan masyarakat, kewarganegaraan masyarakat, dan demokrasi.
Kepercayaan agama didasarkan pada keyakinan bahwa individu terpisah dari
lingkungan mereka dan tidak memiliki koneksi dengan dunia di luar rumah mereka.
Konsep kehidupan komunal didasarkan pada keyakinan bahwa orang-orang terhubung
dengan komunitas mereka, dan demokrasi didasari pada norma-norma hukum, yang
secara universal diakui sebagai tingkat tertinggi kekuasaan pemerintah.
2. Perserikatan daerah
Persekutuan daerah adalah lingkungan tanah terikat sejumlah manusia yang
bersama kepala tinggal dan memiliki kebebasan sampai tingkat tertentu di bawah kepala
adatnya. Pola persekutuan daerah adalah pemerintahan atau pengurusan yang
bersusun/bertingkat dan mempunyai hak atas tanah yang berlapis artinya ada hak
bersama dari masyarakat hukum yang rendahan dan hak bersama dari pada masyarakat
hukum yang lebih tinggi. Pola persekutuan hukum yang demikian itu dapatkan di
Sumatera Selatan, deli dan Sumatera Utara. Marga adalah masyarakat hukum rendahan
yang dinamakan dusun, dan marga adalah masyarakat hukum rendahan yang dinamakan
dusun. Angkola dan Mandailing masyarakat hukum tertinggi itu disebut kuria dan
masyarakat hukum rendahan yang disebut Huta.
3. Perserikatan desa-desa
Perserikatan desa adalah sejumlah desa yang biasanya berdekatan, masing-
masing dengan lingkungan tanah dan pemerintahan sendiri. karena ada kesamaan
8
kepentingan mengadakan kesepakatan untuk mengadakan suatu hubungan fundamental.
Perserikatan desa ini hanya memiliki satu pemerintahan. berkolaborasi untuk mencapai
tujuan Namun, ia tidak memiliki hak atas tanahnya sendiri. Contoh di Batak Toba. huta-
huta yang bekerja sama untuk menyelenggarakan kepentingan kerja bersama antara
huta-huta, misalnya, mengadakan peradilan, pengairan sawah, dll. Tanah yang ada di
bawah perserikatan hukum itu tetap ada. dalam huta-huta yang relevan, yang tidak
memiliki pemerintahan pusat dan pemerintahan bersama-sama, itu hanya diperoleh dari
huta-huta sendiri.
c. Persekutuan Hukum Genealogis Territorials
Persekutuan hukum geneologis territorials merupakan gabungan antara
geneologis dan territorial, contohnya adalah hukum Sumba, Seram, Buru, Minangkabau,
dan Ranjang, di mana hukum geneologis dan territorial bergabung. Setiap perserikaan
hukum bertanggung jawab atas kepala perserikatan, oleh karena itu di antaranya:
1. Tindakan yang berkaitan dengan tanah, seperti pengaturan penggunaan tanah,
penjualan, gadai, perjanjian tanah, agar sesuai dengan hukum adat, karena ikatan
yang dekat antara tanah dan kelompok yang menguasai tanah. menjadi saksi setiap
transaksi tanah yang merupakan syarat utama untuk transaksi hukum tanah adat,
agar transaski tersebut jelas (tidak malam/gelap);
2. Penyelenggaraan hukum, yang berarti supervisi dan pelatihan hukum. Contoh:
menjadi saksi dari adanya, membantu dalam pembagian kekayaan tindakan seperti
perjanjian kerja, hutang-piutang, dan lainnya;
3. Sebagai pengadilan yang menangani perdamaian di desa;
4. Memelihara keseimbangan lahir dan batin;
5. Campur tangan dalam bidang perkawinan;
6. Menjalankan tugasnya pemerintahannya secara demokrasi dan kekeluargaan;
7. Dan lain-lain.
Untuk menjadi persekutuan hukum bersifat genelogis teritorial ini diperlukan
adanya 2 syarat: 1) Orang yang bersangkutan harus termasuk dalam suatu kesatuan
geneologis 2) Orang yang bersangkutan harus bertempat tinggal di dalam daerah
persekutuan hukum tersebut.
Menurut soepomo ada lima jenis masyarakat hukum adat genealogis dan
territorial (Soerjono Soekanto, 2011), diantaranya:11

11
Muhammad Rayhan Fasya Akbar dkk, “(PDF) PERSEKUTUAN HUKUM ADAT DISUSUN OLEH,” 2022,
https://www.researchgate.net/publication/371165955_PERSEKUTUAN_HUKUM_ADAT_DISUSUN_OLEH.
9
1. Suatu daerah atau kampong yang dipakai sebagai tempat kediaman oleh hanya satu
bagian golongan (clanded). Tidak ada golongan lain yang tinggal didalam daerah itu.
Daerah atau kampong-kampong yang berdekatan juga dipakai sebagai tempat tinggal
oleh hanya satu bagian clan.
2. Di Tapanuli terdapat tata susunan rakyat sebagai berikut. Bagian-bagian calan (marga)
masing-masing mempunyai daerah tersendiri, akan tetapi didalam daerah tertentu dari
suatu marga, didalam huta-huta yang didirikan oleh suatu marga itu, ada juga terdapat
satu atau beberapa marga lain yang masukmenjadi anggota badan persekutuan huta
didaerah itu, yang mendirikan huta-huta didaerah tersebut, disebut marga asal, marga
raja, atau marga tanah, yaitu marga-marga yang menguasai tanah-tanah didaerah itu,
sedang marga-marga yang kemudian masuk didaerah itu disebut marga rakyat.
Kedudukan suatu marga rakyat didalam suatu huta adalah kurang daripada kedudukan
marga raja. Antar marga rakyat dan marga asal ada hubungan perkawinanya yang erat
3. Jenis ketiga dari suatu persekutuan masyarakat hukum adat genealogis territorial ialah
yang kita dapati di Sumba Tengah dan Sumba Timur. Disitu terdapat suatu clan yang
mula-mula mendiami suatu daerah yang tertentu dan berkuasa didaerah itu, akan tetapi
kekuasaan itu kemudian berpindah kepada clan lain, yang masuk kedaerah tersebut dan
merebut kekuasaan pemerintah dari clan yang asli itu. Kedua clan itu kemudian
berdamai dan bersama-samamerupakan kesatuan badan persekutuan daerah kekuasaan
pemerintah dipegang oleh clan yang datang kemudian, sedangkan clan yang asli
tetap menguasai tanah-tanah didaerah itu sebagai wali tanah.
4. Jenis keempat dari suatu persekutuan masyarakat hukum adat genealogis territorial
ialah ini kita dapati dibeberapa nagari Minangkabau dan dibeberapa marga
diBengkulu. Disitu tidak ada golongan yang menumpang atau menguasai tanah,
melainkan segala golongan suku yang bertempat didaerah nagari yang berkedudukan
sama (setingkat) dan bersama-sama merupakan suatu badan persekutuan territorial
(nagari) sedang daerah nagari itu terbagi dalam daerah-daerah golongan (daerah suku)
dimana tiap-tiap golongan mempunyai daerah sendiri-sendiri.\
5. Jenis kelima dari suatu persekutuan masyarakat hukum adat genealogis territorial ialah
terdapat dinagari-nagari lain di Minangkabau dan pada dusundidaerah Rejang
(Bengkulen), dimana dalam satu nagari atau dusun berdiambeberpa bagian clan, yang
satu sama lain tidak bertalian family. Seluruhdaerah-daerah nagari atau dusun menjadi
daerah bersama (yang tidak dibagi-bagi) dan segala bagian clan pada badan persekutuan
nagari (dusun) itu.”
10
Pembagian wilayah generologis dibagi menjadi lima model: 1) satu wilayah yang
dikendalikan oleh satu klan, seperti Buru, Enggano, Seram, dan Flores; 2) sebuah klan
dengan beberapa wilayah, seperti Asli, Raja, dan Rakyat; 3) sebuah wilayah yang dikuasai
oleh klan baru, seperti Sumba Tengah dan Sumba Timur; 4) sebuah daerah dengan klan
yang berbeda dengan wilayah yang berbeda, seperti Nagari Minangkabau, Marga di
Bengkulu; dan 5) sebuah wilayah dengan beberapa klan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Persekutuan hukum dikenal dengan suatu perkumpulan masyarakat yang memiliki
anggota serta merasa saling terikat satu sama lain dengan konsep kekeluargaan yang kental
penuh dengan solidaritas. Di Indonesia sendiri, famili di Minangkabau menjadi salah satu
contoh dari persekutuan hukum, hal tersebut disebabkan karena adanya strukturalisasi yang
tetap serta pengurus dan harta pusaka sendiri. Persekutuan hukum dibagi menjadi tiga
struktur inti, yakni persekutuan hukum genealogis, territorial, dan genealogis-teritorial.
Persekutuan hukum genealogis dikenal dengan persekutuan dengan ikatan pertalian suatu
keturunan, seperti pertalian darah menurut garis Bapak (Patrilineal), pertalian darah
menrut garis Ibu (Matrilineal), pertalian darah menurut garis Bapak dan Ibu (Unilateral).
Pada masyarakat genealogis terdapat dua macam persekutuan, yakni unilateral dan
bilateral/parental, dan ditambah satu bentuk khusus, yakni alternerend (berganti-ganti).
Persekutuan kedua yaitu territorial yang berdasarkan lingkungan dalam suatu wilayah yang
didalamnya terbagi atas tiga macam, yaitu persekutuan desa, persekutuan daerah dan
persekutuan. Persekutuan ketiga yaitu genealogis-teritorial yang merupakan gabungan dari
kedua persekutuan sebelumnya. Dari keseluruhan persekutuan tersebut memberikan
dampak tersendiri bagi kesatuan dalam suatu wilayah maupun negara sehingga berdampak
positif bagi kerukunan antar masyarakat di Indonesia.

11
DAFTAR PUSTAKA

Arianto, Henry, and Nin Yasmin Lisasih. “Masyarakat Hukum Adat Di Indonesia.” Fakultas
Hukum Universitas Esa Unggul, 1989. https://lms-
paralel.esaunggul.ac.id/pluginfile.php?file=/130647/mod_resource/content/2/MASYAR
AKAT%20HUKUM%20ADAT.pdf.
Djaren Saragih, S. H. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Tarsito, 1984.
dkk, Muhammad Rayhan Fasya Akbar. “(PDF) PERSEKUTUAN HUKUM ADAT DISUSUN
OLEH,” 2022.
https://www.researchgate.net/publication/371165955_PERSEKUTUAN_HUKUM_AD
AT_DISUSUN_OLEH.
Fitria, Evi Nur. “Persekutuan Hukum Adat.” Evi Nur Fitria (blog), December 5, 2015.
https://evinurfitria.wordpress.com/2015/12/05/persekutuan-hukum-adat/.
Haar, B Ter. Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 2001.
Sartika, Dewi. “Hukum Atas Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Batak Toba Di
Desa Hutalontung, Kecamatan Muara,” 2018.
Sri Warjiyati. Ilmu Hukum Adat. Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2020.
Warjiyati, Sri. Ilmu Hukum Adat. Deepublish, 2020.
Widnjodipoero, Soerojo. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Haji Masagung,
1987.
Yulia. Buku Ajar Hukum Adat. Unimal Press, 2016.
https://repository.unimal.ac.id/3799/1/HUKUM%20ADAT-%20Dr%20Yulia.pdf.

12

Anda mungkin juga menyukai