FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kegiatan yang berjudul "Bahasa
Hukum Ketatanegaraan Adat" dengan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa laporan kegiatan ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karenanya, diharapkan saran dan kritik yang membangun agar penulis
menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
A. Latar Belakang................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..........................................................................................4
C. Tujuan.............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................6
A. Pancasila.........................................................................................................6
D. Swastika..........................................................................................................9
E. Musyawarah.................................................................................................10
G. Persekutuan Kekerabatan.............................................................................13
H. Persekutuan Ketetanggaan............................................................................14
I. Persekutuan Keorganisasian.........................................................................15
A. Kesimpulan...................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik
terdiri dari ribuan kepulauan “archipelago” dengan berbagai suku bangsa
yang mempunyai adat istiadat dan agama yang berlainan pula sebagai
warisan budaya bangsa Indonesia yang hidup dan berkembang di tengah
pergaualan dunia. Warisan yang beraneka ragam ini terus berkembang dan
harus dibina dan dipupuk terus menerus sepanjang masa sebagai warisan
untuk anak cucu bangsa Indonesia di kemudian hari, dalam rangka filosofi
Bhineka Tunggal Ika Negara Kesatuan Republik Indonesia. Begitupun
hukum yang ada di Indonesia, sebelum adanya hukum yang diterpakan
sebagai hukum nasional untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat
juga dikenal hukum adat.
Hukum adat berbagai aspek kehidupan termasuk dalam perdata,
pidana termasuk dalam pemerintahan. Yang menjadi fokus utama penulis
adalah mengenai pemerintahan adat atau dikenal hukum adat
ketatanegaraan. Hukum Adat Tata Negara adalah bagian hukum adat
mengenai susunan Pemerintahan. Sebagaimana kuliah yaitu Hukum Tata
Negara, adalah hukum tertulis memuat peraturan-peraturan mengenai hak
dan kewajiban alat-alat perlengkapan Negara menurut konstitusi yang
berlaku. Kita telah ketahui bahwa sebagian besar rakyat Indonesia didesa-
desa, tersusun bedasarkan persekutuan-persekutuan kecil, merupakan
masyarakat adat. Didalam Hukum Tata Negaraterkenal bagian yang paling
bawah didalam pembagian kenegaraan sesudah propinsi/kabupaten adalah
desa dan daerah-daerah istimewa merupakan daerah swapraja yang
3
diperintah oleh seorang sultan. Umumnya persekutuan rakyat yang kita
sebut masyarakat adat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu
berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial).
Konsekuensi dari konsep atau gagasan hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) bukan saja hanya desentralisasi kewenangan
kepada daerah otonom yang melahirkan otonomi daerah, melainkan lebih
dari itu yakni pengakuan ataupun perlindungan terhadap adanya otonomi
desa sebagai otonomi asli bangsa Indonesia sejak sebelum datangnya
kolonial Belanda. Pengakuan bukan hanya di atas kertas saja seperti
kebebasan memberi nama desa dan sebagainya, tetapi juga harus
memberikan implementasi pengakuan terhadap kewenangan-kewenangan
desa, terutama kewenangan asli yang telah turun temurun diketahui
sebagai kewenangan desa. Dalam hal ini yang harus dijadikan patokan
adalah pengakuan atas “keanekaragaman” sebagai dasar pemikiran dalam
desain otonomi desa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Pancasila?
2. Apa yang dimaksud bhineka tunggal ika?
3. Apa yang dimaksud sang bhumi ruwa jurai?
4. Apa yang dimaksud dengan swastika?
5. Apa yang dimaksud dengan musyawarah?
6. Apa itu masyarakat hukum adat?
7. Apa itu persekutuan kekerabatan?
8. Apa itu persekutuan ketetanggaan?
9. Apa itu persekutuan keorganisasian?
C. Tujuan
1. Apa yang dimaksud Pancasila?
2. Apa yang dimaksud bhineka tunggal ika?
4
3. Apa yang dimaksud sang bhumi ruwa jurai?
4. Apa yang dimaksud dengan swastika?
5. Apa yang dimaksud dengan musyawarah?
6. Apa itu masyarakat hukum adat?
7. Apa itu persekutuan kekerabatan?
8. Apa itu persekutuan ketetanggaan?
9. Apa itu persekutuan keorganisasian?
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pancasila
Pancasila sebagai ideologi bangsa, yang artinya Pancasila sebagai
cita-cita bangsa atau cita-cita yang menjadi basis bagi suatu teori atau
sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Kedudukan
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia tidak terlepas dari kedudukan
Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara bangsa Indonesia.
Keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia merupakan suatu
realitas yang tidak bisa bantah sebagai suatu bentuk perjalanan sejarah
perjuangan bangsa Indonesia sejak masyarakat Indonesia ada, mulai
memproklamirkan kemerdekaannya, hingga saat sekarang ini dalam
menuju terwujudnya masyarakat yang dicita-citakan.
Makna Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah sebagai
keseluruhan pandangan, cita-cita, keyakinan dan nilai-nilai bangsa
Indonesia yang secara normatif perlu diimplementasikan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini secara tegas tercantum
dalam pembukaan UUD 1945 yang bunyinya “…membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial…” berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
6
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dalam mewujudkan suatu Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
7
pendahulu merupakan suatu nilai (norma), identitas dan kedaulatan
pemikiran bangsa, bahwa kita sudah memiliki nilai luhur yang dibangun
dengan pemikiran mendalam dan waktu yang tidak singkat. Bhinneka
Tunggal Ika selayaknya digaungkan kembali guna memperkokoh Negara
Kesatuan Republik Indonesia disetiap golongan generasi, level
kemasyarakatan, pelaku pemerintahan, aparat keamanan dan seluruh
komponen negara dan bangsa Indonesia.
8
(93.55%), Kristen Protestan (2.32%), Hindu (1.63%), Katolik (1.62%),
Buddha (0.87%), hingga Konghucu (0.01%). Heterogenitas masyarakat
Lampung juga terlihat dari bahasa, tetapi karena berasal dari etnis yang
berbeda-beda, untuk berkomunikasi masyarakat Lampung menggunakan
Bahasa Indonesia.
Keanekaragaman tak selamanya bernilai positif, ada beberapa
dampak negatif yang lahir dari heterogenitas diantaranya pergeseran
budaya asli, sikap primordialisme (paham yang memandang daerah
asalnya lebih baik dari daerah lain) terhadap etnis lain, diskriminasi sosial,
serta perbedaan sudut pandang antara masyarakat pendatang dan lokal.
Untuk menangani permasalahan konflik diperlukan penerapan dari
semboyan Sang Bumi Ruwa Jurai. Sang Bumi Ruwa Jurai sendiri
merupakan sistem nilai masyarakat Lampung yang bersandar pada
falsafah masyarakat Lampung yang dikenal dengan Piil Pesenggiri.
D. Swastika
Kata swastika berasal dari akar bahasa Sansekerta su (baik)
dan asti (berhasil), yang berarti kesejahteraan, kemakmuran atau
keberuntungan, dan telah digunakan dalam doa-doa Rig Veda, kitab suci
Hindu tertua. Dalam filsafat Hindu, simbol ini mewakili berbagai hal yang
terdiri dalam empat hal, dari empat yuga atau siklus waktu, empat tujuan
atau sasaran hidup, empat tahap kehidupan, dan empat Veda. Swastika
bahkan nama perempuan di beberapa bagian India.
Sementara dalam agama Buddha, lambang tersebut menandakan
langkah kaki Buddha. Adapun bagi penganut agama Jain, simbol ini
berarti guru spiritual. Di India, ini adalah simbol dewa matahari dengan
orientasi searah jarum jam dan simbol keberuntungan ini dapat dilihat.
Lambang ini sering digambar dengan kunyit di ambang pintu dan pintu
toko sebagai tanda selamat datang, atau pada kendaraan, kitab suci agama,
dan kop surat.
9
Lambang ini ditampilkan pada pernikahan dan acara-acara
perayaan lainnya, digunakan untuk menyucikan rumah baru, saat
membuka buku rekening di awal tahun keuangan, atau memulai usaha
baru.
Dalam buku Abad ke-19 'Swastika: Simbol Paling Awal yang
Diketahui dan Migrasinya', Thomas Wilson mendokumentasikan
bagaimana swastika ditemukan di seluruh dunia kuno, dari selimut dan
tameng hingga perhiasan. Beberapa percaya bahwa bentuknya terinspirasi
oleh komet kuno. Orang Yunani Kuno menggunakan motif swastika untuk
menghias pot dan vas mereka. Druid dan Celtic kuno juga menggunakan
tanda suci ini, sementara dalam mitologi Nordik, swastika mewakili palu
Thor.
E. Musyawarah
Musyawarah dapat berarti nasehat, perundingan pikiran,
konsideren permufakatan atau konsultasi dengan cara meminta
nasehat/pendapat kepada orang lain untuk dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, musyawarah
dapatjuga diartikan sebagai konsultasi timbal balik antara khalifah dan
umatnya. Dalam konteks seperti tersebut berarti warga mempunyai
kemerdekaan dan kebebasan untuk mengkritik dan menegluarkan
pendapat.
Musyawarah yang dilaksanakan dalam lingkup rumah tangga
untuk mencapai keluarga bahagia, sakinah, mawaddah, warohmah.
Musyawarah yang dilaksanakan dalam lingkup masyarakat dengan
harapan terciptanya masyarakat yang ideal dan harmonis. Musyawarah
yang dilaksanakan lebih umum yakni dalam wilayah Negara beserta
lembaga-lembaganya untuk mewujudkan kemaslahatan umat di
Negaranya.Adapun hikmah yang bisa diambil dari pelaksanaan
musyawarah sendiri seperti berikut:
1. Memperkuat silaturahim dan memperkokoh persaudaraan
10
2. Saling belajar dari satu sama lain
3. Dapat bertukar pikiran antar satu dengan yang lain
4. Menyadarkan kekurangan dan kelebihan orang lain
5. Pekerjaan menjadi keputusan bersama dan menjadi ringan untuk
dilakukan
6. Menghidupkan gairah warga untuk saling berlomba dalam berbuat
kebaikan
Pandangan lain tentang musyawarah atau syura lazimnya diartikan
dalam arti umum mencakup segala bentuk pemberian advis (pendapat) dan
bertukar pendapat, sedangkan dalam arti sempit syura berarti ketentuan
yang harus ditetapi sebagai hasil keputusan jamaah. Secara universal, asas
syura ialah eksistensi jamaah, hak²hak, dan pertanggungjawabannya
diambil dari seluruh individu sebagai bagian darinya, pendapat jamaah
merupakan pendapat keseluruhan dari mereka, serta kehendaknya yang
kolektif juga tidak lain merupakan kehendak seluruh individu atau
orang²orang yang mukallaf dari mereka. Jadi, prinsip syura memiliki
pengertian bahwa setiap ketetapan yang ditentukan dalam jamaah harus
merupakan bukti dari kehendak atau segenap individunya. Luasnya
jangkauan musyawarah, merupakan faktor utama yang membedakannya
dengan demokrasi yang esensinya hari ini ialah, pemilihan umun yang
dilakukan oleh masyarakat dalam memilih orang-orang yang akan
mengatur dan mengurus urusan mereka. Oleh karenanya, dapat dilihat
bahwa jangkauan ruang lingkup musyawarah jauh lebih luas dibandingkan
dengan demokrasi yang tidak hanya pada mempersoalkan pemilihan
pemimpin, akan tetapi juga berkaitan dengan persoalan-persoalan lainnya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai Negara Kebangsaan
yang bangsanya dulu terlahir baru membentuk negaranya kemudian, telah
menetapkan prinsip musyawarah, mufakat, perwakilan sebagai landasan
pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia untuk
tegaknya kedaulatan rakyat. Hal ini sesuai dengan sifat kehidupan
masyarakat asli Indonesia yang telah ada sejak dahulu kala. Sementara
11
demokrasi yang terbangun dari Barat sebagai sistem negara demokrasi
tidak sesuai dengan kehidupan rakyat Indonesia.
12
masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat hukum adat adalah
sekelompok orang yang mempunyai ketentuan sendiri, batas wilayah
sendiri, serta norma-norma yang berlaku dimasyarakat itu dan dipatuhi
oleh kelompok masyarakat yang ada di kelompok tersebut.
G. Persekutuan Kekerabatan
Dalam setiap masyarakat sebenarnya mempunyai tatanan berupa
adat – istiadat dan aturan – aturan. Tatanan ini muncul untuk menjaga
kesatuan dalam masyarakat. Kesatuan sosial yang paling dekat dan erat
adalah kesatuan kekerabatan, yang berupa keluarga inti / batih dan kaum
kerabat yang lain. Dalam Kamus Sosiologi, Sistem Kekerabataan dapat
juga dikatakan sebagai Organisasi sosial yang dinyatakan sebagai cara –
cara perilaku manusia yang terorganisasi secara social. Dikatakan
terorganisasi secara sosial karena adanya sekelompok individu yang
merasa terikat oleh aturan – aturan atau adat – istiadat tertentu yang
mengatur kehidupan kelompoknya. Itulah sebabnya kelompok sosial
semacam ini disebut kesatuan sosial. Dalam system kekerabatan terdapat
lagi pengelompokan social dalam masyarakat yaitu system kekerabatan
Matrilineal, system kekerabatan Patrilineal dan system kekerabatan
Bilateral. Dalam Ilmu Antroplogi menelaah manusia secara luas yaitu
meliputi perkembangan manusia secara ragawi, social budaya dan perilaku
manusia sejak pertama kali muncul dimuka bumi ini yang mana
memeperhatikan masalah sejarah asal dan perkembangan manusia
( evolusinya ) secara biologis, mengenai asas – asas dari kebudayaan
manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa, masalah
perkembangan, penyebaran dan terjadinya aneka warna kebudayaan
manusia diseluruh dunia. Dengan semua itu lah salah satunya dengan
unsure sistem kekerabatan ini sehinggga dapat secara langsung memahami
dan mempelajari dari suatu kebudayaan tersebut. Kekerabataan yaitu suatu
unit sosial yang tiap – tiap individu mempunyai hubungan keturunan atau
13
hubungan darah ( genous ) baik melalui ayah maupun ibu. Dengan
demikian system kekerabataan biasanya menyangkut keluarga baik kecil
maupun besar, system kekerabataan ini pada umunya diperlukan untuk
menyelesaikan berbagai masalah di keluarga.
Berdasarkan undang – undang yang mengatur perkawinan yaitu
UU No. 1 tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga ( rumah tangga ) yang bahgia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Adapun bentuk perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Eksogami, yaitu perkawinan di luar kesatuan unit sosialnya atau di luar
batas lingkungan tertentu. Misalnya perkawinan antar desa,
antarmarga, antarkasta, antar suku bangsa, dan sebagainya.
2. Monogami, Yaitu perkawianan antara seorang laki – laki dengan
seorang perempuan.
3. Endogami, Yaitu perkawinan di dalam unit sosialnya sendiri. Misalnya
perkawianan dalam satu sukku, perkawinan dengan orang yang sama
masih ada hubungan keluarga, dan sebagainya.
4. Poligami, Yaitu perkawinan antara seorang dengan lebih dari seorang.
5. Homogami adalah perkawinan pria dan wanita dari lapisan sosial yang
sama;
6. Heterogami adalah perkawinan pria dan wanita dari lapisan sosial yang
berbeda.
H. Persekutuan Ketetanggaan
Persekutuan ketetanggaan mengandung arti hubungan
berseberangan rumah yang ikatannya didasarkan atas rasa kekeluargaan
antara sesama anggota karena mendiami satu kesatuan tempat kediaman,
di pedukuhan atau di desa. Peribahasa Jawa mengatakan bahwa, duduk
sanak dudu kadang ning yen mati melu kelangan, maksud peribahasa ini
berarti “sanak bukan saudara bukan, jika ada yang mati merasa ikut
kehilangan.” Peribahasa ini menunjukkan kepribadian bangsa Indonesia
14
asli yang tradisional di pedesaan namun pengaruhnya terbawa pula oleh
masyarakat di kota-kota yang rasa kekeluargaannya masih kuat dalam
kehidupan bertetangga. Dalam kepribadian ini berlaku asas tolong
menolong tanpa melihat adanya hubungan kekeluargaan, kesukuan,
keagamaan, golongan dan aliran. Dalam hubungan ini yang dilihat adalah
hubungan ketetanggan sebagai tetangga satu lingkungan tempat kediaman,
sekampung, sedesa atau juga setempat bekerja.
Bentuk persekutuan ketetanggaan dibedakan dalam dua macam
yaitu:
1. Persekutuan yang organisasi kemasyarakatannya berdasarkan kesatuan
wilayah semata-mata (teritorial); dan
2. Persekutuan yang organisasi kemasyarakatannya berdasarkan kesatuan
wilayah dan kesatuan keturunan atau kekerabatan (teritorial-
genealogis.
I. Persekutuan Keorganisasian
Persekutuan keorganisasian adalah hubungan keanggotaan dalam
satu organisasi atau perkumpulan, di mana para anggotanya terikat satu
sama lain berdasarkan rasa kekeluargaan karena terhimpun dalam satu
kesatuan organisasi. Organisasi atau perkumpulan dapat berbentuk
sederhana yang tidak teratur dan modern yang teratur dengan memakai
15
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang tertulis, misalnya:
perkumpulan keagamaan, seni budaya, muda-mudi, olah raga, golongan
ekonomi, golongan karya, golongan politik dan sebagainya. Istilah
perkumpulan berasal dari kata kumpul, yang berarti bersama-sama
menjadi satu. Kumpulan artinya kelompok yang telah berkumpul,
sedangkan perkumpulan berarti tempat berkumpul atau tempat berhimpun
menjadi satu. Di Indonesia, terdapat banyak perkumpulan dengan berbagai
nama, menurut tujuan perkumpulan, nama tempat atau pemimpinnya dan
sebagainya. Perkumpulan keagamaan yang sederhana sering tidak
memakai nama tertentu misalnya pengajian. Pengajian dipimpin oleh guru
agama tertentu atau secara berganti-ganti. Perkumpulan juga ada yang
bersifat lokal, terbatas pada lingkungan tertentu atau tempat tertentu,
misalnya: perkumpulan mahasiswa dan pelajar dari berbagai daerah di
Indonesia yang tujuannya memperkuat kekeluargaan sedaerah asal.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pancasila sebagai ideologi bangsa, yang artinya Pancasila sebagai
cita-cita bangsa atau cita-cita yang menjadi basis bagi suatu teori atau
sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Bhinneka
Tunggal Ika mengandung makna: mendorong makin kukuhnya persatuan
Indonesia; Mendorong timbulnya kesadaran tentang pentingnya pergaulan
demi kukuhnya persatuan dan kesatuan; Tidak saling menghina,
mencemooh, atau saling menjelekkan diantara sesama bangsa; Saling
menghormati dan saling mencintai antar sesama; Meningkatkan identitas
dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia; dan Meningkatkan nilai
kegotongroyongan dan solidaritas. Keanekaragaman tak selamanya
bernilai positif, ada beberapa dampak negatif yang lahir dari heterogenitas
diantaranya pergeseran budaya asli, sikap primordialisme (paham yang
memandang daerah asalnya lebih baik dari daerah lain) terhadap etnis lain,
diskriminasi sosial, serta perbedaan sudut pandang antara masyarakat
pendatang dan lokal. Untuk menangani permasalahan konflik diperlukan
penerapan dari semboyan Sang Bumi Ruwa Jurai. Pengertian masyarakat
hukum adat diatur dalam Pasal 1 ayat 15 Peraturan Menteri Agraria dab
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015
tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat
Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu,
menyebutkan bahwa pengakuan hak masyarakat hukum adat adalah
pengakuan pemerintah terhadap keberadaan hak-hak masyarakat hukum
adat sepanjang kenyataannya masih ada.
17
DAFTAR PUSTAKA
18