Oleh :
FARINDARTI GUNTINA 8051901009
FINTANIA VELLINDA 8051901011
VIKTOR NEKUR 80520001015
1
Besse Sugiswati, Perlindungan Hukum Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia, Jurnal Perspektif
Vol. XVII No. 1 Tahun 2012 Edisi Januari, hlm. 31.
2
Ibid.
3
Ibid, hlm . 31-32
1
masyarakat tidak bersifat otonom dan terlepas dari proses integrasi kedalam
organisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka dapat dikatakan
rumusan masyarakat hukum adat sebelum masa kemerdekaan cenderung
bersifat kaku/statis, sedangkan setelah kemerdekaan rumusan mengenai
masyarakat adat bersifat lebih dinamis yang mana adanya perubahan dalam
masyarakat adat.4 Lebih lanjut, menurut Maria S.W. Sumardjono; masyarakat
hukum ada adalah sebagai masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah
tertentu dengan rasa solidaritas yang cukup tinggi, di mana para anggotanya
menganggap di antara anggota masayarakat adat bukan sebagai orang luar,
dan masyarakat hukum adat juga menggunakan wilayahnya sebagai sumber
kekayaan yang hanya dapat digunakan sepenuhnya oleh anggota masyarakat
hukum ada tersebut, yang apabila orang luar ingin memanfaatkan suatu
wilayah masyarakat hukum adat harus dengan izin dan pemberian imbalan
yaitu recognisi.5
Apabila memperhatiakan perspektif ilmu hukum yang mengatakan hukum
yang baik adalah hukum yang diciptakan berdasarkan hukum yang hidup dan
berkembang di masyarakat (living law) berdasarkan pendapat dari Von
Savigny dengan mahzab sejarahnya di mana hukum merupakan fenomena
historis, maka keberadaan hukum bergantung pada tempat dan waktu
berlakunya hukum dan hukum harus dipahami sebagai penjelmaan jiwa suatu
bangsa. Sehingga hukum adat yang ada di Indonesia merupakan pengaruh
pandangan dari mahzab ini yang kemudian dilanjutkan oleh pemikir yang
mengemukakan teori hukum adat seperti Van Vollenhoven, Ter Haar, dsb.6
Berdasarkan uraian di atas, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat
hukum adat sudah ditegaskan dalam Pasal 18 huruf B Undang – Undang Dasar
1954 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati
kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak – hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan bangsa, masyarakat
dan prinsip – prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
4
Martua Sirati, dkk, Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur,
Souteast Asia Policy Research Working Paper, No. 24, hlm. 5
5
Abrar Saleng, HUkum Pertambangan, hlm.51, UII Press Andico Multiplay, Yogyakarta, 2004
6
Hayatul Ismi, Pengakuan Dan Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat Atas Tanah Ulayat Dalam Upaya
Pembaharuan Hukum Nasional, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 3 No. 1, hlm. 2
2
undang – undang. Lebih lanjut berkaitan dengan pengakuan eksistensi hak
ulayat juga sudah diatur dalam Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945 Perubahan Kedua
yang pada intinya menyatakan indentitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Kemudian dalam Pasal 32 ayat 1 UUD 1945 Perubahan Keempat yang pada
intinya menyatakan Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai – nilai kebudayaannya.
Lebih lanjut berkaitan dengan pengakuan negara terhadapa lembaga adat
sejatinya sudah diatur dalam Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa (“UU Desa”) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga
Adat Desa (“Permendagri Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat
Desa”).
Faktanya banyak terjadi konflik karena kurangnya sikap pemerintah dalam
menata norma hukum mengenai pengelolaan sumber daya alam di beberapa
wilayah Indonesia,7 selain itu juga terdapat konflik normatif antara hukum
adat dengan hukum nasional mengenai penguasaan, pemanfaatan, dan
distribusi sumber daya alam, kegiatan ekonomi masyarakat dan kepadatan
penduduk, dsb.
Berkaitan dengan uraian di atas, apabila memperhatian prinsip dari Legal
Realism/Realisme Hukum yang pada intinya menolak eksistensi hukum
sebagai institusi yang berdasarkan pada rasionalitas kaum positivisme yang
pada prinsipnya hanya sebatas kajian formal saja, tapi dalam realisme hukum
ini lebih menekankan pada pentingnya experience sebagai upaya dalam
mengembangkan penalaran hukum agar pemikirkan yuridis dapat lebih
realistis, dan supaya hukum bisa lebih bernuansa sosiologis serta
mendatangkan manfaat sebagai a bit of social engineering yang lebih
futuristik demi terwujudnya kehidupan yang lebih baik.8
7
Ibid, hlm.3
8
https://media.nelti.com/media/publications/23328-ID-realisme-hukum-dan-kritiknya-terhadap-positivisme-
hukum-pdf diakses pada tanggal 12 Juli 2021 pukul 20. 32 WIB.
3
1.2 Rumusan Masalah
4
BAB II
PEMBAHASAN
Adat dan hukum adat pada dasarnya adalah berbicara tentang hakekat atau
sifat dasar dari hukum itu sendiri, menurut B. Malinowski yang menyatakan
bahwa semua aktifitas kebudayaan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
manusia yang mana diantarnya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan naluri
manusia yaitu prinsip timbal balik/resiprositas (Principle Of Reciprocity).
Menurut Van Vollenhoven, hukum adat masih dalam pertumbuhan yang
memungkinkan adanya perbedaan pendapat dalam pemahaman dan
pengertian hukum, selanjutnya menurut Van Vollenhoven suatu peraturan
adat baru mempunyai sifat hukum apabila prinsip – prinsip adat dan tingkah
laku masyarakat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta terdapat
perasaan umum bahwa prinsip tersebut harus dipertahankan oleh kepala adat
dan penegak hukum lainnya.9 Selain itu, Van Vollenhoven juga menyatakan
hukum adat merupakan hukum yang tidak bersumber dari prinsip – prinsip
pemerintahan Hindia Belanda dan berlaku bagi masyarakat pribumi dan Timur
Asing10. Selanjutnya ia juga berpendapat bahwa untuk membedakan antara
adat dan hukum adat adalah mengacu kepada unsur sanksi sehingga tidak
semua adat adalah hukum adat. Hanya adat yang memiliki sanksi yang dapat
digolongkan sebagai hukum adat.
Berkaitan dengan hal di atas, dalam lingkup masyarakat hukum adat
terdapat suatu hak asal – usul yang berbeda satu dengan yang lainnya
sebagaimana dkemukan oleh Sujamto yaitu :11
1. Struktur Kelembagaan;
2. Mengatur dan mengurus urusan pemerintahan khususnya di bidang
pelayanan publik dan pembebanan;
9
Prof. Dr. Soepomo, Bab – Bab Tentang Hukum Adat, hlm. 33, Universitas, 1963
10
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas – Azas Hukum Adat, hlm. 15, Gunung Agung, Jakarta, 1995
11
Sujamto, Daerah Istimewa Dalam Kesatuan Negara Republik Indonesia, hlm. 13, Bina Aksara, Jakarta 1988
5
3. Menentukan sendiri cara memilih dan memberhentikan pimpinannya.
12
Dr. Yulia, S.H.,M.H. Buku Ajar Hukum Adat, hlm. 21-22, Unimal Press, Sulawesi, 2016
13
Ibid, hlm. 23-24.
6
Masyarakat hukum adat dibedakan dengan persekutuan hukum adat, yang
mana perbedaannya terletak pada sifat pengertiannya. Masyarakat hukum
adat memiliki pengertian yang lebih umum dan luas seperti masyarakat hukum
adat Batak, Minangkabau, Sunda, dsb, sedangkan persekutuan hukum adat
memeiliki pengentian yang lebih khusus dan sempit seperti persekutuan
hukum adat kekerabatan, keorganisasian, dsb. Persekutuan hukum adat dapat
dilihat juga dari segi lingkungan masyarakatnya misalnya untuk masyarakat
hukum ada Minangkabau disebut dengan persekutuan hukum adat Bodi-
Caniago, Koto-Pilang. Dalam kehidupan masyarakat yang berkembang cukup
maju seseorang sebagai anggota masyarakat tidak hanya terikat pada satu
keanggotaan melainkan lebih dari satu kesatuan misalnya seorang warga desa
adalah anggota persekutan kekerabatan dan anggota keorganisasian. 14
Pada dasarnya masyarakat sendirilah yang mewujudkan Hukum Adat dan
masyarakat pulalah tempat berlakunya hukum adat. Masyarakat dalam
pengertian hukum adat adalah suatu kesatuan manusia yang berhubungan
dengan pola yang terus berulang yaitu suatu masyarakat dengan pola perilaku
yang sama dimana perilaku yang sama tersebut tumbah dan diwujudkan oleh
masyarakat dan dari pola tersebutlah diwujudkan aturan untuk mengatur
pergaulan hidup.15 Maka dapat dikatakan, pada awalnya aturan hukum adat
itu tumbuh dan berkembang serta diwujudkan oleh suatu komunitas kecil yang
mana anggota masyarakatnya tidak banyak/besar, dan oleh karena itu dalam
suatu masyarakat yang mempunyai jumlah besar serta menempati daerah
yang luas akan terbagi lagi dalam komunitas kecil dengan wilayah yang relatif
lebih kecil.
14
Ibid, hlm. 27-28
15
Sigit Sapto NUgroho, S.H.,M.Hum, Pengantar Hukum Adat di Indonesia, hlm 64,Pustaka Iltizam, Solo 2016
7
berhak. Pengakuan secara nyata terhadap entitas tertentu unutk menjalankan
kekuasaan efektif suatu wilayah disebut dengan pengakuan de facto,
pegnakuan de facto ialah pengakuan yang bersifat sementara karena
pengakuan ini ditujukkan kepada kenyataan mengenai kedudukan
pemerintahan yang baru, sedangkan pegnakuan de jure ialah pengakuan yang
bersifat tetap yang diikuti dengan tindakan – tindakan hukum lainnya.16
Menurut Simon Thompson pengakuan merupakan suatu tindakan untuk
tidak mendiskriminasi individu maupun kelompok tertentu, sehingga dapat
dikatakan latar belakang pengakuan adalah sebuah tindakan seperti tindakan
diskriminasi yang dilakukan oleh individu maupun kelompok denga alasan
perbedaan golongan, bahasa, adat, ras atau yang lainnya sebagai tindakan
yang tidak menghargain perbedaan tersebut. Demikian halnya pada
masyarakat hukum adat pengakuan secara de facto pada dasarnya berasal dari
masyarakat hukum adat itu sendiri dan masyarakat disekitarnya sehingga
diperoleh pengakuan dari kelompok masyarakat lain yang juga memerlukan
pengakua secara de jure, yang mana pengakuan secara de jure inilai yang
dibutuhkan untuk memperoleh pengakuan atas hak – hak masyarakat hukum
adat.
Secara hukum dikenal dengan istilah pengakuan konstitutif dan pengakuan
deklaratif. Pengakuan konstitutif bertujuan untuk mengadakan ataupun
memberikan hak kepada seseorang yang dilakukan oleh suatu negara,
sehingga hak akan muncul dikarenakan penetapan oleh negara. Pengakuan
deklaratif yaitu suatu tindakan untuk menegaskan kembali atau mengukuhkan
kepada hak – hak yang sudah ada. Apabila dikaitan dengan kedua pengakuan
tersebut maka dapat dikatakan masyakarakat hukum adat secara langsung
memperoleh pengakuan dari masyarakat sekitarnya dan juga pengakuan dari
pemerintah yang dikukuhkan sebagai suatu masyarakat hukum adat.
Pengakuan konstitutif dan deklaratif pada umumnya dapat dijumpai dalam
hukum tanah nasional termasuk pendaftaran tanah. Misalnya dalam
pengakuan konstitutif adalah berkaitan dengan pemeberian hak atas tanah
kepada seseorang yang sebelumnya tanah tersebut merupakan tanah milik
16
Moh. Kusnadi dan Bintan R Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang – Undang Dasar
1945, hlm. 82-83, Gramedia, Jakarta, 1989
8
negara, sedangkan untuk pengakuan deklaratif seperti halnya penegasan hak
dalam pendaftaran tanah dimana sebelmnya tanah sebelumhya masih
memiliki hak lama (sebelum berlakunya peraturan perundang – undangan)
yang diperoleh melalui Hukum Barat ataupun Hukum Adat 17, maka dari itu
penegasan ini dilakukan untuk memberikan kepastian hukum bahwa tanah
yang didaftarkan tersebut sudah memiliki hak baru.
Masyarakat hukum adat mempunyai ciri menegaskan keberadaanya yang
sudah ada sebelum negara terbentuk, artinya masyarakat hukum adat
terbentuk secara alamiah melalui berbagai proses politik hingga proses sosial
dan kemudian merupakan self regulating communities yang secara
keseluruhan mampu untuk menyelenggarakan suatu pemerintahan.
Pengakuan dengan jenis tersebut adalah jenis yang paling efisien bagi
masyarakat hukum adat yang berfungsi menegaskan maupun memberikan
peneguhan atas hal – hal yang sudah ada. Kaitannya dengan kewenagnan
ataupun hak tidak memerlukan pemberikan ataupun penetapan karena pada
dasarnya masyarakat hukum ada telah memilikinya dan juga sudah digunakan
dalam kehidupan sehari – hari yang berlangsung dari generasi ke generasi guna
menegakkan aturan dan bertanggungjawab terhadap moral masing – masing.
Selanjutnya, masyarakat hukum adat membutuhkan perlindungan apabila
terjadi pelanggaran dan karenanya membutuhkan pengakuan pemerintah
yang diperoleh dari Pemerintah Daerah hingga Pemerintah Pusat seabgai
wujud pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan kemudian negara
juga memberikan pernyataan pengakuan sebagai masyarakat hukum adat
yang mampu membangun hubungan dengan komunitas masyarakat lain.
Pada dasarnya setiap bangsa dan peradaban memiliki karakternya masing –
masing, di mana karakter ini terbentuk berdasarkan sejarah dan
perkembangan budaya masyaraktnya yang memiliki karakter dan kualitas
tersendiri. Sama halanya dengan pembentukan sistem hukum yang memiliki
kaitan erat dengan budaya masyarakatnya, seperti yang disampaikan oleh Von
Savigny bahwa sistem hukum iadalah bagian dari budaya masyarakat, dan
17
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, hlm. 469, Djambatan, Jakarta, 2005
9
hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas tetapi dibangun dan dapat
ditemukan dalam jiwa masyarakat.
18
Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negra Pasca Amandemen, hlm 452-453, Mimbar
Hukum, Vol. 22 No. 3, 2010.
19
Ibid, hlm. 454.
10
tidak terbatas pada perlindungan diri saja melainkan perlindungan terhadap
hak konstitusional masyarakat di bidang hukum adat. Hal ini tentu terlihat
dalam beberapa ketentuan yang bersumber pada norma – norma dasar mulai
dari UUD 1945 sampai dengan peraturan daerah.
Lebih lanjut, pada dasarnya pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum
adat khususnya sebagai badan hukum publik terkait dengan Pasal 18 UUD 1945.
Dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen jelas bahwa susunan
masyarakat hukum adat adalah dalam bentuk desa, nagari atau nama lain
yang mempunyai kewenangan publik berdasarkan hak asal – usul yang bersifat
istimewa termasuk kewenagna terhadap wilayah dan sumber daya alam yang
terkandung didalamnya. Namun sejak adanya amandemen pada Pasasl 18 UUD
1945 terdapat kaburnya posisi masyarakat hukum adat sebagai badan hukum
publik dalam penyelenggaraan negara yang mempunyai hal asal usul yang
berkaitan dengan kepastian wilayahnya, hal ini dikarenakan :20
1. Hanya mengenal pembagian wilayah negara ke dalam daerah propinsi dan
daerah propinsi dibagi kepada daerah kabupaten berdasarkan asas
otonomi daerah
2. Tidak mengenal lagi wilayah susunan asli masyarakt hukum adat yang
mempunyai hak asal – usul
Artinya, perubahan Pasal 18 UUD 1945 ini berakibat pada pengakuan
masyarakat hukum ada sebagai subjek hukum tapi tidak dengan wilayahnya,
yang mana pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum adat diakui
melalui rezim hukum pemerintahan daerah.
Masyarkat hukum adat sebagai subjek hukum merupakan badan hukum yang
bersifat gemeenschaap yaitu persekutuan hukum yang terbentuk secara
alamaiah karena perkembangan – perkembangan sosial, ekonomi dan politik
bukan yang terbentuk dengan sengaja untuk kepentingan ekonomi anggotanya.
Sebagai badan hukum, masyarakat hukum adat mempunyai hak yang bersifat
publik. Berkaitan dengan hal tersebut dalam UU Desa mengamanatkan
Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa dibentuk oleh
Pemeerintah Desa berdasarkan peraturan yang ditetapkan dalam peraturan
20
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt507fb134859a9/pengakuan-masyarakat-hukum-adat--kemana-
mau-melangkah-broleh-nurul-firmansyah-/ diakses pada tanggal 14 Juli 2021 pukul 21.46 WIB.
11
menteri yaitu Permendagri Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat
Desa
Adapun yang dimaksud dengan Lembaga Adat Desa adalah lembaga yang
menyelenggarakan fungsi adat istiadaat dan menjadi bagian dari susunan asli
Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat desa. Lembaga
Adat Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa dan Masyarakat Desa dengan
memenuhi persyaratan yaitu :21
1. Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
2. Aktif mengembangkan nilai dan adat istiadat setempat yang tidak
bertentangan denga hak asasi manusia dan dipatuhi oleh masyarakat;
3. Berkedudukan di desa setempat;
4. Keberadaannya bermanfaata dan dibutuhkan masyarakat desa;
5. Memiliki kepengurusan yang tetap;
6. Memiliki secretariat yang bersifat tetap;
7. Tidak berafiliasi kepada partai politik
21
Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga
Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa.
12
perlu bekerja keras untuk menemukan hukum dalam keputusannya 22 dan
tidak boleh hanya berpegang pada hukum yang tertulis saja, tetapi juga harus
menggali fakta sosial yang terjadi.
Legal Realism melahirkan pemikiran baru yang berpendapat bahwa pada
dasarnya hukum adalah apa yang tercermin dalam hasil pekerjaan hakim
dalam memutus suatu perkara berdasarkan peristiwa konkrit. Legal Realism
menerapkan ilmu sosial beserta metode empiris kedalam semua aspek hukum,
yang mana terdapat campur tangan politik dan tidak pernah lepas dari tujuan
untuk mementingkan kepentingan pribadi, serta menawarkan solusi guna
mempromosikan perubahan sosial yang progresif.
Aliran Legal Realism cenderung menitik-beratkan pada setiap tindakan
hukum daripada hukum secara teori. Pandangan ini beranggapan bahwa
hukum yang ada adalah penting, namun di sisi lain juga terdapat sikap skeptis
tentang rangkaian aturan yang menghasilkan pertentangan, juga pokok dari
beragam faktor yang mendukung dibuatnya suatu keputusan.
Brian Z. Tamanaha telah merangkum perspektif Legal Realism yang
berpandangan bahwa:
a. Hukum dipenuhi oleh kesengajaan dan kontradiksi, oleh karena itu
hukum tidak dapat ditentukan;
b. Setiap prinsip hukum memiliki pengecualian, sehingga preseden dapat
menciptakan hasil yang berbeda – beda;
c. Hakim memutus perkara berdasarkan referensi pribadi, kemudian
membangun analisis hukum untuk membenarkan hasil yang
diinginkannya.
Secara teknis, Legal Realism mendasarkan pemikirannya pada konsep
radikal mengenai proses peradilan. Menurut mereka yang menganut aliran ini,
hakim lebih banyak disebut sebagai pembuat hukum daripada menemukannya.
Di mana mereka harus selalu menemukan pilihan atas hal – hal apa yang perlu
diutamakan, serta apa yang perlu dikedepankan. Aliran Legal Realism lebih
menekankan pada hakikat manusia berdasarkan tindakan tersebut.
22
Karl Llewellyn, Jurispurdence In Theory and Practice, Page 221-222, Roledge 1st edition: London, 2008.
13
Llewellyn menjabarkan secara garis besar sembilan titik balik yang
menyimpulkan bahwa masalah hukum harus diteliti menggunakan pendekatan
proporsional berciri khas Realisme, yaitu23:
23
Llewellyn, dalam Nadir & Win Yuli Wardani, PERCIKAN PEMIKIRAN TIGA ALIRAN HUKUM: SEJARAH HUKUM,
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE, DAN LEGAL REALISME DALAM KHASANAH HUKUM INDONESIA, hlm. 46, Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan, Madura, 2019.
14
(Menegaskan penolakan terhadap aturan yang bersifat preskriptif dalam
pembuatan keputusan di pengadilan);
g. A stress on the importance of grouping cases into very narrow categories
(Menegaskan pentingnya pengelompokkan perkara dalam kategori yang
dipersempit);
h. A stress on evaluation of the law in term of its impact and effects on
society
(Menegaskan pentingnya evaluasi terhadap hukum dalam hal pengaruhnya
di dalam masyarakat);
i. A belief in significance of what can be achieved by a sustained planned
attack on legal problem
(Keyakinan terhadap pentingnya pencapaian terencana yang
berkelanjutan dalam hal menghadapi permasalahan hukum).
Berdasarkan uraian Llewellyn di atas, tampak bahwa hukum harus diterima
sebagai sesuatu yang mengalami perubahan terus menerus. Tujuan hukum
senantiasa dihubungkan dengan tujuan masyarakat tempat hukum itu berada,
sebab masyarakat merupakan proses yang terus menerus mengalami
perubahan. Hukum merupakan sarana dalam mencapai tujuan sosial, sehingga
sekalipun mengalami ketertinggalan dari perubahan masyarakat, hukum itu
harus terus dikembangkan. Dengan hukum yang selalu dikaji, perlu adanya
pemisahan dari asumsi – asumsi, atau hal – hal yang dinilai dapat menodainya.
Legalitas Hukum Adat pada dasarnya telah diakui, dan terdapat dalam Pasal
18 B ayat (2) UUD 1945, maka sudah sewajarnya bila hakim menggali dan
memahami nilai – nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dan putusan yang
dibuat oleh seorang hakim harus memuat alasan yang menjadi dasar, baik itu
bersumber dari hukum tertulis, maupun dari sumber hukum tidak tertulis, yang
mana dijadikan dasar untuk mengadili.
Peraturan adat disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat istiadat di
wilayah adat masing – masing diakui kekuatan mengikatnya hanya untuk
15
masyarakat lingkungan tersebut, namun sepanjang tidak bertentangan dengan
undang – undang nasional yang berlaku. Wewenang desa adat untuk
menyelesaian permasalahan hukum masyarakatnya diakui melalui pasal 103
huruf d dan e UU Desa, yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa adat
berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras
dengan prinsip hak asasi manusia, dan mengutamakan penyelesaian secara
musyawarah, di mana penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa
Adat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.
Kelembagaan pengadilan Desa Adat yang telah hadir berfungsi untuk
memutus atau mendamaikan sengketa adat berdasarkan aturan kelompok adat
masing – masing, yang artinya pengadilan – pengadilan yang dikenal oleh
masyarakat hukum adat itulah yang diakui menjadi pengadilan Desa Adat
dalam Undang – undang Desa.
Pengadilan Adat tidak memiliki keterikatan dalam hubungan hierarki
dengan badan peradilan formal di Indonesia, serta keterkaitan struktural
dalam hal sumber hukumnya yang tidak tertulis. Sehingga, pada dasarnya tidak
ada kewajiban bagi seorang hakim untuk mematuhi keputusan pengadilan adat
tersebut. Hanya ada hubungan fungsional yang tidak mengikat antara
pengadilan negara dengan keputusan peradilan adat, yang dalam hal ini
pengadilan negara mengakui kewenangan – kewenangan yang dimiliki
peradilan adat dalam menjatuhkan keputusan perdamaian atau sanksi,
walaupun keputusan itu tidak memiliki sifat mengikat bagi hakim. Keputusan
yang dilakukan melalui mekanisme adat hanya berlaku sebagai pedoman bagi
hakim pengadilan negeri, dan apabila terdapat alasan hukum yang kuat, hakim
dapat menyimpagi keputusan pengadilan adat tersebut.
Karena tidak adanya keterikatan tersebut, maka hakim dapat menguatkan
suatu akta atau putusan adat melalui putusan pengadilan yang dibuatnya,
tetapi juga dapat mengesampingkan keputusan pengadilan adat yang
dihadapkan kepadanya, sepanjang memiliki alasan kuat untuk itu.
Otoritas hakim di pengadilan dalam hal memutus atau tidak memutus suatu
sengketa adat yang dihadapkan kepadanya merupakan ciri Realisme. Sebab
hukum dalam pandangan Legal Realism bukan hanya yang tertulis, melainkan
lebih besar ditentukan oleh pertimbangan – pertimbangan terkait suatu
16
peristiwa. Sikap hakim yang demikian dalam mengambil keputusan pun
sebagian kecil dipengaruhi oleh pengakuan negara yang terkesan hanya
sebatas pengakuan deklaratif terhadap Lembaga Adat dan Peradilan Adat.
Legal Realisme yang mengharapkan adanya kemajuan hukum mengikuti
perkembangan masyarakat di depannya jelas tidak bisa diterapkan dalam
masyarakat adat yang selalu memegang teguh nilai – nilai kebiasaan yang ada
di dalam lingkungannya, sehingga sudah benar apabila peradilan adat berada
di bawah peradilan umum dengan hakim sebagai perwakilan negara cukup
dengan hanya mengakomodir nilai – nilai adat di dalam putusannya.
Bentuk pengakuan negara melalui putusan – putusan hakim terkait
permasalahan adat terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 984
K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996 yang pada intinya dalam putusan ini
menyatakan jika pelaku perzinahan telah dijatuh sanksi adat yang mana hukum
adat itu masih dihormati dan hidup subur maka tuntutan jaksa harus
dinyatakan tidak dapat diterima 24 . Artinya berdasarkan Putusan Mahkamah
Agung tersebut negara mengakui eksistensi hukum adat yang masih hidup di
Indonesia. Hal ini juga dipertegas menurut Wakil Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Utara Lilik Mulyadi yang menyatakan sebenarnya lembaga adat diakui
dalam sistem peradilan Indonesia yang pengakuannya dapat dilihat dari hakim
yang telah menggali nilai – nilai adat ketika membuat suatu putusan.25 Lebih
lanjut menurut Lilik Mulyadi mengatakan model penyelesaiannya adalah
apabila sebuah kasus adat sudah diselesaikan di lembaga adat maka terhadap
kasus tersebut sudah dianggap selesai dan apabila ternyata tidak selesai juga
baru dijalankan ke peradilan nasional, yang mana sejatinya pengadilan telah
mengakui putusan dari lembaga adat tersebut.
Berdasarkan ajaran Legal Realism berkaitan dengan pengakuan dan
penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum
di Indonesia pada dasarnya sudah diakui dengan jelas yang terlihat dalam UUD
1945, UU Desa, Permendagri Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga
Adat Desa, dan Putusan dari Lembaga Adat yang tentunya diakui juga oleh
24
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt57dd6e1ea96c/sudah-dipidana-secara-adat--
dapatkah-dipidana-lagi-berdasarkan-hukum-nasional diakses pada tanggal 15 Juli 2021 pukul 2020 WIB
25
Ibid.
17
hakim dalam Peradilan di Indonesia. Disisi lain, hakim dalam peradilan di
Indonesia seperti yang kita ketahui dalam memutus dan mengadili suatu
perkara tidak selalu berdasarkan pertimbangan yang sebaik – baiknya dimana
hakim tersebut bisa saja dipengaruhi oleh unsur – unsur politik atau hal lainnya
yang dapat mempengaruhi putusannya.
Lebih lanjut, apabila memperhatikan Pasal 18 UUD 1945 setelah perubahan
berakibat kaburnya pengakuan negara secara hukum terhadap masyarakat
hukum adat sebagai badan hukum publik beserta dengan hak – haknya dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang memiliki asal usul terutama atas
kepastian wilayahnya. Artinya perubahan dalam Pasal 18 UUD 1945 tersebut
hanya mengakui masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum, tetapi tidak
mengakui keseluruhan hak – hak masyarakat hukum adat termasuk wilayahnya.
Hal tersebut dikarenakan negara telah mengakomodir dengan dikeluarkannya
peraturan tertulis yang membatasi sebagian kecil hak masyarakat hukum adat
yang dinilai kurang selaras dengan prinsip – prinsip kehidupan bernegara.
Dengan demikian, dapat dikatakan Legal Realism dianggap kurang memadai
atau kurang sesuai apabila dihadapkan dengan eksistensi masyarakat hukum
adat karena di satu sisi memang betul negara telah mengakui eksistensi
masyarakat hukum adat tersebut melalui peraturan tertulis dan putusan
lembaga adatnya. Namun di sisi lain tidak serta merta memandang putusan
pengadilan adalah hukum yang paling benar karena masyarakat hukum adat
itu sudah memiliki adat dan hukumnya sendiri yang sudah ada sebelum negara
Indonesia terbentuk, maka masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum
sebenarnya tidak perlu untuk di bentuk oleh lembaga pemerintahan melalui
UU Desa maupun Permendagri Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga
Adat Desa. Masyarakat Hukum Adat juga telah berdiri sendiri yang mana
mereka lebih mengakui putusan dari lembaga adat sebagai hukum yang
mengikat bagi masyarakat hukum adat dibandingkan dengan putusan
pengadilan di Indonesia.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
19
menyelenggarakan fungsi adat istiadaat dan menjadi bagian dari susunan asli
Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat desa.
Ajaran Legal Realism yang pada mulanya berkembang di Amerika Serikat
yang dimulai oleh H.L.A Hart menentang pandangan Positivisme Hukum. Yang
mana menurutnya hukum dilaksanakan dalam praktek dan bukan hanya
sekedar tertuju pada peratura tertulis yang belum tentu dilaksanakan. Legal
Realism memisahkan antara das sollen dan das sein supaya tujuan hukum
terlihat jelas dan diperhatikan adanya nilai – nilai umum yang tidak
mendasarkan pada konsep positivistik, yang artinya lebih berfokus pada
pengadilan. Lebih lanjut pemikiran Legal Realism ini memberikan kebebasan
pada hakim untuk mengambil keputusan yang didasarkan pada asas keadilan
karena hakim perlu untuk mrlakukan penemuan hukum dalam putusannya dan
tidak hanya berpegang pada hukum tertulis saja melainnya juga harus
menggali pada fakta sosial yang terjadi.
Otoritas hakim di pengadilan dalam hal memutus atau tidak memutus suatu
sengketa adat yang dihadapkan kepadanya merupakan ciri Legal Realism,
karena hukum dalam pandangan Legal Realism bukan hanya peraturan tertulis,
melainkan lebih besar ditentukan oleh pertimbangan – pertimbangan terkait
suatu peristiwa. Sikap hakim yang demikian dalam mengambil keputusan pun
sebagian kecil dipengaruhi oleh pengakuan negara yang terkesan hanya
sebatas pengakuan deklaratif terhadap Lembaga Adat dan Peradilan Adat.
Bentuk pengakuan negara melalui putusan – putusan hakim terkait
permasalahan adat terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 984
K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996 yang mana berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung tersebut negara mengakui eksistensi hukum adat yang masih
hidup di Indonesia yang dipertegas juga oleh Lilik Mulyadi selaku Wakil Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menyatakan sebenarnya lembaga adat
diakui dalam sistem peradilan Indonesia yang pengakuannya dapat dilihat dari
hakim yang telah menggali nilai – nilai adat ketika membuat suatu putusan dan
model penyelesaiannya adalah apabila sebuah kasus adat sudah diselesaikan
di lembaga adat maka terhadap kasus tersebut sudah dianggap selesai, apabila
ternyata tidak selesai juga baru dijalankan ke peradilan nasional, yang mana
sejatinya pengadilan telah mengakui putusan dari lembaga adat tersebut.
20
Berdasarkan ajaran Legal Realism berkaitan dengan pengakuan dan
penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum
di Indonesia pada dasarnya sudah diakui dengan jelas yang terlihat dalam UUD
1945, UU Desa, Permendagri Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga
Adat Desa, dan Putusan dari Lembaga Adat yang tentunya diakui juga oleh
hakim dalam Peradilan di Indonesia. Disisi lain, hakim dalam peradilan di
Indonesia seperti yang kita ketahui dalam memutus dan mengadili suatu
perkara tidak selalu berdasarkan pertimbangan yang sebaik – baiknya dimana
hakim tersebut bisa saja dipengaruhi oleh unsur – unsur politik atau hal lainnya
yang dapat mempengaruhi putusannya. Selanjutnya apabila memperhatikan
Pasal 18 UUD 1945 setelah perubahan berakibat kaburnya pengakuan negara
secara hukum terhadap masyarakat hukum adat sebagai badan hukum publik
beserta dengan hak – haknya dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
memiliki asal usul terutama atas kepastian wilayahnya. Hal tersebut
dikarenakan negara telah mengakomodir dengan dikeluarkannya peraturan
tertulis yang membatasi sebagian kecil hak masyarakat hukum adat yang
dinilai kurang selaras dengan prinsip – prinsip kehidupan bernegara. Sehingga
dengan demikian dapat dikatakan Legal Realism dianggap kurang memadai
atau kurang sesuai apabila dihadapkan dengan eksistensi masyarakat hukum
adat.
3.2 Saran
Legal Realism kurang sesuai apabila ingin diterapkan pada pengakuan dan
penghormatan negara terhadap eksistensi masyarakat hukum adat sebagai
subjek hukum di Indonesia karena Legal Realism cenderung melihat putusan
hakim sebagai hukum yang lebih mengikat. Oleh karena itu masyarakat hukum
adat sebagi subjek hukum harus bersedia untuk tunduk pada aturan tertulis
termasuk putusan hakim, yang mana peraturan tersebut membatasi sebagian
kecil hak – hak masyarakat hukum adat karena dinilai kurang sesuai dengan
moral dan perkembangan jaman serta tanpa menghilangkan identitas
“keadatnya”.
21
DAFTAR PUSTAKA
22