Anda di halaman 1dari 37

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Kedudukan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam Sistem Hukum


Nasional
Keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia sangat plural dengan
kekasan atau ciri masing-masing daerah.. C.Van vollenhoven membagi wilayah
kepulauan nusantara menjadi 19 wilayah hukum adat yang berbeda-beda,
berdasarkan budaya, bahasa, adat dan kebiasaan, masing-masing wilayah tersebut
memiliki hukum yang berlainan dengan dialek hukum yang berbeda satu sama
lain.1 Menurut penelitiannya, 19 wilayah hukum adat tersebut adalah (1)Aceh, (2)
Gay, Alas, Batak dan Nias (2) Minangkabau, Mentawai, (4) Sumatera Selatan,
Enggano, (5) Melayu, (6) Bangka, Belitung, (7) Kalimantan, (8) Minahasa, (9)
Gorontalo, (10) Toraja, (11) Sulawesi Selatan, (12) Kabupaten Ternate, (13)
Maluku, (14) Irian Barat, (15) Kepulauan Timor, (16) Bali, Lombok, (17) Jawa
Tengah, Jawa Timur, Madura, (18) Solo, Yogyakarta, (19) Jawa Barat, Jakarta.
Setiap masyarakat hukum adat memiliki bentuk dan jenis kearifan lokal
berbeda-beda. Memiliki tampilan yang tangible (terwujud) meliputi kelembagaan,
tatacara adat, nilai-nilai adat, prosedur hubungan dengan alam, dan mekanisme
pemanfaatan ruang. Kearifan lokal tidak terlepas dari keberadaan masyarakat
hukum adat. Kesamaan teritorial, geneologis atas kesamaan teritorial, geneologis
dan teritorial geneologis yang kemudian berimplikasi pada kewenangan yang
dimilikinya.2
Beberapa sarjana anak didik van vollenhoven, seperti penerusnya sebagai
profesor hukum adat di Leiden, F.D. Holleman dan murid dari Indonesia yang
sangat berpengaruh, Soepomo memperkuat daya pikat ini mengangkat
orientalisme dan idealisme yang tersirat dalam karya Cornelis Van Vollenhoven
sampai ke tingkat abstraksi yang menjadikan bahwa adat cocok untuk dimasukkan

1
Muhammad Roy Purwanto, “Hukum Islam dan hukum adat masa kolonial: Sejarah Pergolakan antara hukum
Islam dan hukum adat masa kolonial Belanda" 2017, hlm 6.
2
Danggur Konradus, "Kearifan lokal terbonsai arus globalisasi: Kajian terhadap eksistensi masyarakat hukum
adat,” Masalah-Masalah Hukum 47, no. 1 (2018): 81–88, hlm. 85.

44
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menjadi bagian dari ideologi kaum nasionalis. Menekankan pada harmoni,


solidaritas dan keutamaan komunitas sebagai sebuah keseluruhan diatas
perlindungan terhadap hak-hak perorangan dan hak atas tanah yang bersifat
komunal atau hak ulayat.3 Menurut Cornelis Van Vollenhoven, apabila seseorang
ingin mengetahui tentang hukum yang hidup di bumi ini, karena keragaman
bentuknya pada zaman lampau dan sekarang, maka keseluruhan aturan Hindia
merupakan sumber yang tak kunjung kering untuk dipelajari, pernyataan ini yang
mengandung pengakuan bahwa pluralisme hukum di lingkungan adat merupakan
hal yang unik, menarik dan merupakan ciri masyarakat Indonesia. 4 Adat
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat, tidak dapat dipisahkan dari jiwa
dan cara berpikir dari masyarakat.
Menurut Ter Haar, Persekutuan hukum adat (adatrechtsgemeenschap)
dimaknai sebagai masyarakat hukum dari golongan masyarakat Indonesia asli
yang terikat dalam satu kesatuan secara lahir dan batin yang bertindak sebagai
satu kesatuan organisasi menurut tingkah laku tertentu, di mana segala sesuatu
dalam kesatuan masyarakat tersebut terjadi dan berlangsung akibat adanya suatu
aturan tertentu yang tiada lain adalah aturan hukum adat. Secara legalistik, istilah
masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang tercantum dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (telah diperbarui menjadi Undang-Undang No.9 Tahun
2015 tentang perubahan kedua Undang-Undang No.23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah), dan peraturan perundang-undangan lainnya. Istilah
masyarakat hukum adat dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat yang
lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik akademis. Sedangkan istilah
masyarakat adat adalah istilah yang biasa diungkapkan dalam bahasa sehari-hari

3
Jamie S Davidson, David Henley, and Sandra Moniaga, Adat Dalam Politik Indonesia (Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2010), hlm. 27.
4
Lastuti Abubakar, “Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam Membangun Sistem Hukum
Indonesia,” Jurnal Dinamika Hukum 13, no. 2 (2013): 319–31, hlm. 320.

45
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

oleh kalangan non-hukum yang mengacu pada sejumlah kesepakatan


5
internasional. .
Istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous people.
Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan
internasional, yaitu: Convention of International Labor Organixation Concerning
Indigeneous and Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi Cari
Oca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo
(1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai
(1993), De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh
United Nations World Conference on Human Rights (1993). Sekarang istilah
indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi
PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights
of Indegenous People) pada tahun 2007.
Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus
dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan
pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu.
Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang
menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat
tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin
yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (keluar dan kedalam), dan
memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.6Dalam disertasi ini,
masyarakat adat disamakan artinya dengan pengertian masyarakat hukum adat,
sebagaimana ditemukan dalam peraturan perundang-undangan.
Secara faktual setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada
ratusan tahun yang lalu. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat
yang teratur, yang bertingkah laku sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah
tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing

5
Taqwaddin, 2010, Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat(Mukim) di
Provinsi Aceh, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2, hlm. 36.
6
Ibid.,hlm. 38.

46
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak
berwujud serta menguasai sumberdaya alam dalam jangkauannya.7
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh
Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van
Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter
Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah
kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai
kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang
terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing
mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat
alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau
kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau
meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-
lamanya.
Para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat
Adat Nasional (AMAN) merumuskan masyarakat hukum adat sebagai
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan. Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan
persekutuan hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat
territorial dan geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum
di zaman Hindia Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau
persekutuan hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur,
yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu,
baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani
sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.8 Sedangkan, masyarakat atau
persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat
yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang

7
Ibid.
8
Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: CV Mandar Maju, hlm. 108.

47
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan
atau pertalian adat.
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
mengatur keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum yang
berbeda dengan subyek hukum lainnya. keberadaan hukum adat telah
dicantumkan dalam rumusan Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan;
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.”

Pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat tersebut juga


sekaligus pengakuan terhadap hukum adatnya. Dengan demikian berlakunya
hukum adat bukanlah tergantung kepada penguasa negara atau tergantung kepada
kemauan politik penyelenggara negara, melainkan bagian dari kehendak
konstitusi. Bahkan, keberadaan hukum adat semakin kuat dengan adanya
Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat hukum adat antara lain menyatakan,
mengakui dan menegaskan kembali bahwa masyarakat hukum adat diakui, tanpa
perbedaan dalam semua hak-hak asasi manusia yang diakui dalam hukum
internasional.
Hukum harus bertujuan menciptakan keserasian dan harmoni secara
optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat.
Pada masyarakat hukum adat, untuk mewujudkan kesejahteraan itu maka dalam
masyarakat hukum adat tersebut harus memiliki struktur pemerintahan atau
kepemimpinan. Dalam hal ini mempunyai kedaulatan penuh (soverign) atas
wilayah kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga mempunyai
kewenangan (authority) penuh untuk mengelola, mengatur dan menata hubungan-
hubungan antara warga dengan alam sekitar, hal ini tentunya bertujuan untuk
mencari keseimbangan hubungan sehingga kedamaian dan kesejahteraan yang
menjadi tujuan tersebut terwujud.9

9
Ibid.

48
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Merujuk pada amanat konstitusi pada alinea IV Undang-undang Dasar


1945 dan Pasal 18B ayat (2), dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/ PUU-
X/2012 serta fakta empirik maka persoalan mengenai ketidakadilan pada
masyarakat adat masih sering terjadi sampai saat ini. Dilihat dari sejarah,
masyarakat adat pada masa Orde Baru (1966-1998) tidak diakui keberadaannya
apalagi hak-haknya. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru
mengabaikan hak-hak masyarakat adat atas wilayah dan sumber daya alamnya.
Setalah itu pada masa Reformasi dengan amandemen tahap kedua UUD NRI
Tahun 1945, masyarakat adat sudah mulai diakui dalam konstitusi, dimana
berbunyi:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”

Didukung dalam beberapa kebijakan yang ada dibawahnya seperti seperti


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dan beberapa Undang-Undang di bidang sumber daya alam
terkait yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-
Undang, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
Pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat juga dilakukan
melakui konvensi-konvensi internasional yang menunjukkan betapa pentingnya
peran masyarakat hukum adat secara aktif dalam mengkonstruksi kebijakan
pembangunan sumber daya alam yang berkelanjutan. Meskipun demikian,
konvensi internasional maupun kebijakan perundang-undangan di Indonesia
secara substansi masih belum bisa menyentuh sendi kehidupan masyarakat hukum
adat. Kenyataan yang terjadi beberapa kebijakan masih menegasikan hak-hak
masyarakat adat.
YLBHI menyebutkan bahwa data dari Aliansi Masyarakat Adat (AMAN)
terdapat 125 masyarakat adat di 10 wilayah menjadi korban kriminalisasi di
kawasan hutan. Mereka tersebar di Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Bengkulu,

49
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,


Nusa Tenggara Timur dan Maluku Utara. Selain kasus kehutanan juga terdapat
kriminalisasi masyarakat di sektor perkebunan dan pertambangan.10 Keberadaan
masyarakat adat dan hukum masyarakat adat adalah suatu kenyataan sejarah
dimana tidak dapat disangkal atau dihindari oleh pemerintah. Masih banyaknya
fakta ketidakadilan berupa perampasan wilayah, kriminalisasi, diskriminasi dan
pelanggaran HAM terhadap masyarakat yang terjadi, pemerintah seakan-akan
masih bersikap setengah hati menerima, mengakui dan membenarkan adanya
masyarakat adat dengan segala hak dan kewajibannya.
Beberapa prinsip-prinsip landasan bagi kebijakan tentang hak masyarakat
hukum adat adalah Tanah Negara (Public Land), Tanah Milik (Privat Land),
Hutan Negara (Public Forest), dan Hutan Milik (Private Forest). Prinsip tersebut
merupakan landasan bagi kebijakan tentang hak-hak masyarakat hukum adat
antara pemberian hak (Granting) dan pengakuan hak (Recognition). Prinsip yang
merupakan landasan bagi kebijakan tentang hak-hak masyarakat adat atas tanah,
sumber daya alamnya, termasuk hak milik masyarakat adat lainnya yang tidak
terlihat. Prinsip-prinsip tersebut perlu diperjelas agar tidak tumpang tindih
kebijakan yang berakibat pada kasus pengambilan secara sepihak dan rampasan
atas tanah adat, air adat, wilayah adat dan sumber daya alam lainnya. Selain
melindungi juga ada pada kearifan lokalnya dan keanekaragamannya
dikonstruksikan dengan norma kebijakan terkait keberadaan masyarakat adat di
daerah. Kebijakan yang mengacu pada norma yang pro pada masyarakat hukum
adat, pro pada keadilan dan pro pada kearifan lokal.
Hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat menurut Komisi Hak
Asasi Manusia dan Konvensi International Labour Organization (ILO) Tahun
1986 meliputi:11

10
Siti Rakhma Mary Herwati, “Kriminalisasi Masyarakat Adat : Ancaman Dan Usulan Kebijakan,”
www.ylbhi.or.id,2019, https://ylbhi.or.id/publikasi/artikel/kriminalisasi-masyarakat-adat-ancaman-dan-
usulan-kebijakan/.
11
Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Aktualisasi Masyarakat
Hukum Adat (MHA): Perspektif Hukum dan Keadilan terkait dengan status MHA dan Hak-Hak
Konstitusionalnya, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan
Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

50
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1) Hak untuk menentukan nasib sendiri;


2) Hak untuk turut serta dalam pemerintahan;
3) Hak atas pangan, kesehatan, habitat dan keamanan ekonomi;
4) Hak atas pendidikan;
5) Hak atas pekerjaan;
6) Hak anak;
7) Hak pekerja;
8) Hak minoritas dan masyarakat hukum adat;
9) Hak atas tanah;
10) Hak atas persamaan;
11) Hak atas perlindungan lingkungan;
12) Hak atas administrasi pemerintahan yang baik;
13) Hak atas penegakan hukum yang adil.
Hak atas tanah dan sumber daya alam merupakan salah satu hak paling
penting bagi masyarakat adat sebab keberadaan hak tersebut menjadi salah satu
ukuran keberadaaan suatu komunitas masyarakat adat. Oleh karena itu, di dalam
deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat, persoalan hak atas tanah dan
sumber daya alam ini diatur:
Pasal 26 ayat (1) Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat
“Mayarakat adat memiliki hak atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan
sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara
tradisional atau sebaliknya tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber
daya-sumber daya yang telah digunakan atau yang telah didapatkan.”
Pasal 26 ayat (2) Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat
“Mayarakat adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan,
mengembangkan dan mengontrol tanah-tanah, wilayah-wilayah dan
sumber daya yang mereka atas dasar kepemilikan tradisional atau
penempatan dan pemanfaatan secara tradisional lainnya, juga tanah-
tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya sumber daya yang dimiliki
dengan cara lain.”

2012.http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/contetinfoumum/penelitian/pdf/2-Penelitian%20MHA-
upload.pdf (diakses tanggal 11Agustus 2021).

51
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sedangkan Abdon Nababan menyebutkan dari sekian banyak kategori hak


yang berhubungan dengan masyarakat adat, setidaknya ada empat hak masyarakat
adat yang paling sering disuarakan, antara lain:12
a. Hak untuk “menguasai” (memiliki, mengendalikan) dan mengelola
(menjaga, memanfaatkan) tanah dan sumber daya alam di wilayah
adatnya;
b. Hak untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat (termasuk
peradilan adat) dan aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh
masyarakat adat;
c. Hak untuk mengurus diri sendiri berdasarkan sistem
kepengurusan/kelembagaan adat;
d. Hak atas identitas, budaya, sistem kepercayaan (agama), sistim
pengetahuan (kearifan) dan bahasa asli.

Berkaitan dengan hak atas tanah, Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 juga
menegaskan bahwa “bumi, air dan kekayaanalam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat”. Pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 ini tersirat bahwa
secara konstitusional negara diberi kebebasan dan kewenangan untuk mengatur
dan mengelola serta mengawasi pemanfaatan bumi, air dan seluruh kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya yang kemudian digunakan “sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”. Selanjutnya implementasi dari hak menguasai negara
dijabarkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana
ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) wewenang negara hanya
berkaitan untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan persediaan dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;

12
Yance Arizona, Satu Dekade Legislasi Masyarakat adat,
http://epistema.or.id/wpcontent/uploads/2012/01/Working_Paper_Epistema_Institute_07-2010.pdfdiakses
tanggal 11 Agustus 2021

52
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang


dengan bumi, air dan ruang angkasa itu;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
danperbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Berdasarkan Pasal 5 dan bagian penjelasan umum bagian III (1) UUPA
mengakui bahwa hukum yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa di
Indonesia adalah hukum adat sebagai hukum asli rakyat Indonesia. Dengan
demikian maka UUPA juga menerima konsep hak adat atas tanah yang disebut
sebagai hak ulayat.
Kekuasaan Negara atas tanah, sebagaimana penjelasan umum bagian II
(2) UUPA, dapat diartikan Negara boleh memberi tanah kepada perorangan atau
badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluan.Misalnya,
melalui hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau
memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen,
Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya
masing-masing.Kekuasaan Negara atas tanah ini dibatasi oleh hak ulayat dari
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, akan tetapi apabila ditinjau dari Pasal
2 ayat (4), Pasal 3, dan Pasal 5, serta Penjelasan Umum bagian II (3) UUPA
penerimaan hukum adat dan hak ulayat dalam UUPA ini belum dilakukan dengan
sepenuh hati melainkan dengan syarat yaitu hukum adat dan hak ulayat tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara, serta
harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah
Indonesia.

Mengenai keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah yang


lasim disebut hak ulayat terdapat di seluruh wilayah Indonesia, dimana bagian
terbesar dari hak-hak atas tanah masih dalam penguasaan masyarakat hukum adat
terutama di daerah-daerah. Masalah tanah bagi masyarakat hukum adat di
Indonesia mempunyai arti penting karena tidak hanya sebagai aset yang berharga
namun juga sekaligus berkaitan dengan religius magis yang masih berhubungan

53
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan roh-roh nenek moyang sebagaimana yang dinyatakan oleh Boedi Harsono
bahwa;
“Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama, yang diyakini
sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang
kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat, sebagai
pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut
sepanjang masa. Disini tampak sifat religius dan unsur keagamaan dalam
hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat dan tanah
ulayatnya itu”.13

Hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa dan peraturan yang tercantum dalam Undang-
Undang. Dari bunyi pasal di atas, maka dapat diketahui bahwa hukum agraria
(UUPA) mengakui keberadaan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat Indonesia.
Dalam konteks hak menguasai negara atas tanah, maka kedudukan hak menguasai
tersebut termasuk hak menguasai berada di atas hak ulayat masyarakat hukum
adat. Hal ini selaras dengan pendapat Ida Nurlinda bahwa;
“Dalam kamus umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta hlm 528), kata
menguasai berarti kedudukan berkuasa atas suatu atau memegang
kekuasaan atas sesuatu. Dengan mengacu pada ketentuan konstitusi di atas
berarti hak menguasai negara meliputi semua tanah tanpa kecuali. Maka
rumusannya adalah bahwa negara memegang kekuasaan atas sumber-
sumber agraria sebagaimana tertera dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945”.14

Dalam catatan sejarah hukum, pada tahun 2012 Mahkamah Konstitusi


mengabulkan gugatan pengujian terhadap UU Kehutanan yang diajukan oleh 3
aliansi masyarakat hukum adat yakni Aliansi Masyarakat Adat Nusantara,
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat Kasepuhan Cisitu. Dalam gugatannya, ketiganya mempersoalkan
UU Kehutanan selama 10 tahun masa berlakunya telah digunakan sebagai payung
hukum tindakan sewenang-wenang pemerintah untuk mengambil alih hak
kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya untuk kemudian
dijadikan hutan negara, yang selanjutnya justru atas nama negara diberikan dan

13
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, hlm 186.
14
Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta.

54
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

atau diserahkan pada para pemilik modal melalui berbagai skema perizinan untuk
dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta kearifan lokal kesatuan masyarakat
hukum adat di wilayah tersebut. Dalam pertimbangan putusannya, UUD 1945,
yakni Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) telah memberikan pengakuan dan
perlindungan atas keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak
ulayat suatu masyarakat hukum adat. Hal demikian merupakan konsekuensi
pengakuan terhadap hukum adat sebagai “living law” yang sudah berlangsung
sejak lama, dan diteruskan sampai sekarang. Oleh karena itu, menempatkan hutan
adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak
masyarakat hukum adat, MK akhirnya memutuskan “hutan adat adalah hutan
yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, bukan sebagaimana
mengartikan “hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat”.15Hal ini memperkuat legal potition hukum adat di
Indonesia sebagai hukum yang konstitusional.
Living law merupakan paradigma hukum yang memandang hukum adat
sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (that true law living law) yakni
kepentingan-kepentingan dan praktik-praktik di dalam masyarakat.16Hukum adat
merupakan pengaruh dari madzhab ini, kemudian dilanjutkan oleh para pemikir-
pemikir Belanda yang mengemukakan teori-teori hukum adat seperti
VanVollenhoven, Ter Haar, Hollenman dan lainnya mengenai keberagaman
hukum adat di Indonesia.
Madzhab sociological jurisprudence memandang tentang pentingnya
living law. Eugen Ehrlich (1862-1922) merupakan salah satu tokoh madzhab
sociological jurisprudence berkebangsaan Austria, ia memperkenalkan konsep
living law dan tidak lantas menolak kehadiran hukum negara.17 Menurut Eugen
Ehrlich, hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila
berisikan kaidah-kaidah yang hidup dalam masyarakat. Sumber dan bentuk

15
https://mkri.id/index.php?id=8475&page=web.Berita diakses pada tanggal 11 Agustus 2021
16
Damanik, “Jalannya Hukum Adat Simalungun.", hlm. 18.
17
W.M. Herry Susilowati, “Kritik terhadap aliran sociological jurisprudence Eugen Ehrlich,” Perspektif,
2000, https://doi.org/10.30742/perspektif.v5i1.230, hlm.32.

55
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

hukum yang utama adalah kebiasaan.18Gravitasi dari hukum tidak ditemukan dari
hukum itu sendiri, melainkan dari masyarakat.
Ajaran Sociological Jurisprudence dari Eugen Ehrlich mulai dengan
supremasi hukum dari kekuasaan atau adat kebiasaan sangat sepaham dengan
Savigny. Friedrizh Carl Von Savigny pemikir utama sejarah hukum yang dikenal
dengan konsep jiwa bangsa (volksgeist) sebagai sumber hukum, menurutnya
hukum tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Savigny
mendorong agar hukum sesuai dengan sejarah perkembangannya, menyatu
dengan kehidupan sosial masyarakat seperti halnya bahasa yang digunakan, tata
krama, dan lain sebagainya. Bahwa keberadaan setiap hukum adalah berbeda,
tergantung tempat dan waktu berlakunya hukum, hukum harus dipandang sebagai
penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa yang dimanifestasikan dalam nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat adat sebagai perwujudan kristalisasi nilai-
nilai kebudayaan asli penduduk Indonesia.19 Menurut Mochtar Kusumaatmadja,
hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku disuatu
masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan
dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Di setiap kesatuan masyarakat hukum adat dikenal adanya pranata atau
lembaga yang berfungsi sebagai penyelesai setiap pelanggaran hukum atau
sengketa yang dikenal dengan sebutan dan nama yang berbeda-beda. Lembaga
tersebut dalam studi hukum modern dikenal dengan sebutan peradilan adat
(customary court). Peradilan adat sebagai lembaga yang tumbuh dalam
masyarakat merupakan penyelesai perkara yang efektif untuk menyelesaikan
sengketa dan pelanggaran hukum dalam masyarakat adat.20 Menurut Ehrlich pada
pembuat undang-undang hendaklah memperhatikan apa yang hidup dalam
masyarakat mengingat karena kesadaran masyarakat itulah ditemukan hukum
yang tidak dibuat serta tumbuh melekat pada jiwa mereka. Wakil rakyat yang
duduk di lembaga legislatif harus mampu menggali dan wajib menampung

18
Abd Shomad and Prawitra Thalib, Pengantar Filsafat Hukum (Airlangga University Press, 2020), hlm. 89.
19
M Jamin, 2018, “Peradilan Adat dan Masyarakat Hukum Adat di Tengah Pengaturan Pemerintahan
Desa”, Surakarta: UNS Press, hlm. 13
20
Ibiid., hlm 2

56
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat terlebih mengenai hak-hak


masyarakat adat karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia berasal
dari masyarakat adat, hukum masyarakat adat dan keanekaragamannya yang ada
pada masing-masing daerahnya. Ehrlich menekankan pada pertimbangan dalam
diversitas institusi sosial dengan kekuatan normatif yang memaksa. Pandangannya
sangat berguna dan merupakan cerminan dari interaksi yang tumbuh antara
institusi hukum dan sosial.21
Sociological Jurisprudence sebenarnya diawali dengan legal realism
melihat pentingnya realitas (fakta) kehidupan sebagai pembentuk hukum, yaitu
fakta atau realitas yang merupakan hasil hubungan-hubungan yang telah terpola di
dalam kehidupan masyarakat. Kajian hukum yang berbasis legal realism inilah
yang kemudian mendorong lahirnya aliran hukum sociological jurispridence.
Secara garis besar, berbeda mind-set yang dibangun antara jurisprudence dengan
sociological jurisprudence: jurisprudence dibangun berbasis landasan teori yang
logis, berbasis hubungan sebab-akibat, sedangkan sociological jurisprudence
dibangun berbasis pengalaman hidup (experience). Dalam sociological
jurisprudence, fakta (pengalaman hidup) menjadi landasan utama.22
Sociological Jurisprudence mengamati bagaimana hukum dengan segala
karakteristiknya diterapkan dan digunakan oleh masyarakat. Pada saat hukum
dijalankan terjadilah interaksi antara hukum dan perilaku masyarakat yang
menggunakannya. Sociological Jurisprudence berbicara mengenai makna sosial
hukum (the sosial meaning of law). Makna sosial diberikan kepada hukum
melalui kontak-kontak dengan lingkungan sosial di mana hukum itu diterapkan.
Pandangan Sociological Jurisprudence mengatakan bahwa peraturan hukum tidak
dapat memaksakan agar isi peraturan dijalankan secara mutlak, melainkan dalam
banyak hal dikalahkan oleh struktur sosial di mana hukum itu dijalankan.
Lahirnya UUPA ini disebabkan adanya dualisme hukum dalam pengaturan
hukum tanah nasional, yaitu adanya tanah-tanah yang tunduk pada hukum Barat
dan terdapatnya tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat. Untuk menghilangkan

21
Besse Sugiswati, “Perlindungan Hukum Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat Di Indonesia,” Perspektif 17,
no. 1 (2012): 31–43, hlm. 90.
22
Adji Samekto, 2015, Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Indept Publishing, Lampung, hlm. 69

57
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dualisme dalam hukum tanah di Indonesia tersebut, maka diberlakukanlah UUPA


sehingga tercipta hukum tanah nasional. Secara substansial, UUPA dibuat dalam
rangka melaksanakan lebih lanjut Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UUPA tidak dihadirkan untuk mengatur
mengenai keberadaan masyarakat hukum adat. Penyebutan masyarakat hukum
adat dalam UUPA berkenaan dengan kedudukannya sebagai subyek yang berhak
menerima kuasa dari Negara dalam rangka melaksanakan hak menguasai Negara
dan memiliki hak ulayat. UUPA memegang kuat konsep bahwa pemilik hak
ulayat adalah masyarakat hukum adat. Hal ini terlihat pada Pasal 3 yang
menyatakan;
“pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa hungga seuai dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi”.

UUPA mengatur mengenai ketentuan tentang kepemilikan tanah setiap


warga negara indonesia. Dalam pasal tersebut, subjek yang ditujukan adalah
Masyarakat Hukum Adat, yang menurut Kusumadi Pudjosewojomerupakan
masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu yang berdirinya tidak
ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa
lainnya, dengan atau solidaritas yang sangat besar diantara para anggotanya, yang
memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan
wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya
oleh anggotanya.23
UUPA tidak memberikan penjelasan yang jelas mengenai hak ulayat,
kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud hak ulayat adalah beschikkingsrecht
dalam kepustakaan hukum adat.24 Dalam istilah teknis yuridis hak ulayat adalah
kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas

23
Kusumadi Pujosewojo, Pedoman pelajaran tata hukum Indonesia, (PT. Penerbitan Universitas –
Yogyakarta, 1959), hal.56
24
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012),
hal.82

58
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya yang memperbolehkan


masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah
dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Dengan demikian hubungan
antara masyarakat hukum adat dengan tanah/wilayahnya adalah hubungan
menguasai, bukan hubungan memiliki sebagaimana halnya dalam konsep
hubungan antara negara dengan tanah menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.25
Pasal 3 UUPA memberikan pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat
hukum adat, tetapi pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan nasional dan
Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa
misalnya berdasarkan hak ulayat yang bersumberkan hukum adat, masyarakat-
masyarakat hukum adat yang bersangkutan menghalangi pemberian hak guna
usaha yang dilakukan oleh pemerintah, jika pemerintah hendak melaksanakan
pembukaan secara besar-besaran dan teratur dalam rangka proyek-proyek besar
untuk penambahan makanan, perkebunan dan transmigrasi, maka hak ulayat dari
suatu masyarakat hukum adat tidak boleh dijadikan penghalang. Atau dengan kata
lain kepentingan suatu masyarakat hukum adat harus dikesampingkan demi
kepentingan nasional dan negara. Hal ini bisa berakibatkan tidak adanya keadilan
terhadap masyarakat Hukum Adat.
Padahal, perlindungan hukum bagi hak ulayat masyarakat hukum adat
secara implisit telah dijamin dalam konstitusi sebagaimana yang ditegaskan dalam
Pasal 18B ayat (2). Pasal ini menjelaskan bahwa negara memberikan
perlindungan terhadap hak-hak tradisional mayarakat hukum adat yang di
dalamnya termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat. Akan tetapi dalam kondisi
yang sebenarnya hak ulayat masyarakat hukum adat masih belum mendapatkan
perlindungan yang memadai karena masih banyak masyarakat hukum adat yang
kehilangan wilayahnya. Sebagai contoh, masyarakat hukum adat yang kehilangan
wilayahnya akibat dari masuknya tanah ulayat tersebut dalam wilayah konsesi
seperti perkebunan dan pertambangan.
25
Rosmidah, “Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hambatan
Implementasinya.”, (https://online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/view/370), Vol 2 No
4, Januari 2010, diakses tanggal 17 Februari 2022, hal. 96.

59
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pada tataran pelaksanaan perlindungan hukum terhadap hak ulayat


masyarakat hukum adat masih terdiskriminasikan apabila berhadapan dengan
berbagai kepentingan Nasional yang berkaitan dengan pembangunan untuk
kepentingan umum sedangkan batasan kepentingan umum itu sendiri masih
bersifat bias sehingga kepentingan umum tersebut dapat ditafsirkan oleh pihak-
pihak tertentu sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya, sehingga semakin
meminggirkan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat. Terlebih dalam UUPA
sendiri telah memberikan celah yang dapat ditafsir sesuai dengan kebutuhan pihak
berkepentingan yang mempunyai akses. Hal ini dapat dilihat dari bunyi penjelasan
umum II angka 3 UUPA yang menyatakan bahwa masyarakat hukum adat yang
memiliki hak ulayat dilarang untuk menghalang-halangi pemberian hak guna
usaha (HGU) atau menolak pembukaan hutan untuk keperluan penambahan bahan
makanan dan pemindahan penduduk (Penjelasan Umum II angka 3). Dengan
menggunakan konsep tersebut, UUPA mengakui keberadaan masyarakat hukum
adat selaku subyek yang memiliki hak ulayat (obyek).
Hak ulayat sebagai obyek tidak mungkin ada tanpa keberadaan
masyarakat hukum adat sebagai subyek. Dalam konteks hukum agraria
pengaturan mengenai masyarakat hukum adat terdapat di dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA disebutkan bahwa, “pelaksanaan hak menguasai
dari negara dalam pelaksanaannya bisa dikuasakan kepada daerah-daerah
Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat.” Dalam hal ini masyarakat
hukum adat bisa menerima delegasi kewenangan penguasaan negara atas bumi,
air, ruang angkasa dan kekayaan alam. Apabila dicermati lebih lanjut, UUPA
tidak hanya memuat perubahan-perubahan mendasar dalam pengaturan ke-
agrariaan tetapi juga mengatur penggunaan tanah dan retribusi tanah melalui
informasi penguasaan dan pemilikan tanah yang dimaksud, agar bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya membawa manfaat dan hasil yang
sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika ada bidang tanah yang
dikuasai langsung oleh negara (tanah negara), termasuk yang berasal dari tanah
bekas hak erfpacht bahkan bekas hak guna usaha (HGU), penguasaannya dapat

60
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

didelegasikan kepada masyarakat hukum adat, agar tujuan untuk sebesar-besar


kemakmuran rakyat bisa dicapai.
Unifikasi hukum pertanahan yang diatur oleh UUPA bertujuan untuk
menata hukum pertanahan dalam rangka sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Maka hak ulayat masyarakat hukum adat sudah sepantasnya memperoleh tempat
yang penting dalam tatanan hukum nasional karena hak-hak tradisional
masyarakat hukum adat juga merupakan hak-hak konstitusional sebagaimana
yang diatur dalam pasal 18B ayat (2) sehingga asas-asas dalam hukum adat dapat
dijadikan dasar penyusunan hukum agraria di Indonesia.

B. Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Indoenesia Pasca


Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Salah satu dasar hukum dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 11


Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah TAP MPR RI No.IX/MPR/2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang mengamanatkan
kepada pemerintah untuk mengubah dan/mengganti semua undang-undang dan
peraturan pelaksanaanya yang tidak sejalan dengan TAP MPR yang
mengharuskan pembaruan agraria dan pengelolaan SDA dilaksanakan sesuai
prinsip-prinsip: menghormati dan menjunjung tinggi HAM serta mengakui,
menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman
budaya bangsa atas sumber daya agraria. Namun isi UU Nomor 11 Tahun 2020
tersebut tidak mencerminkan amanat dari TAP MPR IX/2001 yang digunakan
sebagai salah satu dasar hukum pembentukanya karena UU Nomor 11 Tahun
2020 menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi nasional, percepatan proyek
strategis nasional, serta realisasi kemudahan berusaha khususnya terkait dengan
perizinan dan pengaturan hukum yang sebelumnya dianggap masih kurang efektif
dan efisien guna meningkatkan iklim investasi di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih bersifat
diskriminatif terhadap pengakuan masyarakat adat dan wilayah adatnya, hal ini
dikarenakan tidak adanya perubahan pada Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang

61
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam pasal 67 tersebut mengatur


pengukuhan Masyarakat Adat dilakukan melalui mekanisme Peraturan Daerah,
padahal di sisi lain pemerintah memberikan kemudahan dalam berinvestasi yang
tertuang pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 6
huruf b dan d dalam meningkatkan ekosistem investasi dalam berusaha dapat
dilakukan dengan cara penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha dan
penyederhanaan persyaratan investasi. Selain itu Undang-Undang Cipta Kerja
juga berpotensi mengabaikan persoalan penyelesaian konflik tenurial di kawasan
hutan, hal ini karena undang-undang ini berorientasi pada investasi yang
tercermin dalam Pasal 36 butir 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja yang mengubah Pasal 15 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dimana pemerintah pusat akan memprioritaskan
percepatan pengukuhan kawasan hutan pada daerah strategis yang nantinya akan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Padahal, berdasarkan data dari
Fakultas Kehutanan IPB hingga pada tahun 2017 terdapat 17,4 ha penguasaan
tanah di dalam kawasan hutan termasuk izin tambang dan perkebunan26 sementara
itu berdasarkan data dari Fakultas Kehutanan UGM juga menyatakan terdapat 2,8
juta ha perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan dimana 35% diantaranya
dikuasai oleh masyarakat sedangkan 65% lainya dikuasai oleh korporasi27.
1. Akses Masyarakat Hukum Adat Terhadap Kawasan Hutan

Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terdapat


skema perhutanan sosial yang menyasar perseorangan, kelompok tani hutan, dan
koperasi. Ketentuan ini diformulasikan pada Pasal 36 butir 8 dengan
menambahkan ketentuan baru dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan melalui Pasal 29A dan 29B dimana Pasal 29A berbunyi
“Pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 26 dan pasal 28 dapat dilakukan kegiatan perhutanan sosial”.Sedangkan
pasal 29B berbunyi “ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha

26
http://agroindonesia.co.id/2017/12/titik-kritis-penyelesaian-penguasaan-tanah-dalam-kawasan-hutan-2/
(diakses 10 Juni 2021)
27
https://www.mongabay.co.id/2018/11/04/kajian-ugm-28-juta-hektar-kebun-sawit-di-kawasan-hutan-65-
milik-pengusaha-solusinya/(diakses 10 Juni 2021)

62
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pemanfaatan hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam peraturan


pemerintah”. Secara hierarkis payung hukum yang melindungi kegiatan
Perhutanan Sosial menjadi lebih kuat karena diatur oleh Undang-Undang Cipta
Kerja. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan dan Kehutanan No.83 Tahun
2016 tentang Perhutanan Sosial mendefinisikan bahwa Perhutanan Sosial adalah
sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara
atau hutan hak/adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat
hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraanya,
keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa,
hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat dan
kemitraan kehutanan.
Akan tetapi yang menjadi persoalan terkait perhutanan sosial adalah
adanya kategori perseorangan yang dimasukkan sebagai subyek pelaku
perhutanan sosial hal ini direalisasikan pada PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan khususnya pada Pasal 24 ayat (1) dan (2)yang
berpotensi mendorong perseorangan yang memiliki modal besar untuk bersaing
dengan masyarakat adat sehingga membuka ruang swasta asing untuk berinvestasi
dalam usaha hutan sosial. Adanya kategori perseorangan yang menjadi subyek
pelaku Perhutanan Sosial dalam Undang-Undang Cipta Kerja tidak mengukuhkan
prinsip komunal dalam pengelolaan hutan negara oleh masyarakat, selain itu juga
tidak ada penegasan koperasi sebagai wadah masyarakat untuk memanfaatkan
kawasan hutan.
Lebih lanjut lagi, pada Pasal 36 butir 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja terdapat adanya penambahan ketentuan tentang sanksi
administrasi yang dijatuhkan pada masyarakat setempat ketentuan baru tersebut
berupa Pasal 50A UU Kehutanan yang menyatakan:
“Dalam pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2)
hurufc, huruf d dan/atau huruf e [memungut, menyimpan hasil hutan,
danmenggembalakan ternak] dilakukan oleh orang perseorangan atau
kelompokmasyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar
kawasan hutanpaling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus dikenai
Sanksi Administrasi”

63
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penambahan ketentuan di atas telah mendistorsi Putusan MK No.95/PUU-


XII/2014 yang telahmeninjau ulang ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf c, d, dan e
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Meskipun rumusan
baru pada UU Cipta Kerja ini tidak mengulang ancaman pidana terhadap kegiatan
yang dilarang oleh Pasal 50 ayat (3) huruf c, d, dan e (khususnya bagi masyarakat
yang tinggal di dalam maupun di sekitar kawasan hutan) akan tetapi dengan
memberikan sanksi administrasi juga dapat menimbulkan kerugian bagi
masyarakat adat yang hidup di kawasan huan dan hidupnya menggantungkan hasil
hutan tersebut, terlebih sanksi administratif dalam UU Cipta Kerja ini juga tidak
dijelaskan bagaimana bentuknya dan mekanismenya.
2. Mekanisme Bank Tanah dalam Perizinan Berusaha/Berinvestasi dan
Dampaknya pada Masyarakat Hukum Adat

Pada Pasal 125 sampai dengan Pasal 135 bagian keempat Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur mekanisme Bank Tanah
yang kemudian terkait dengan pelaksanaan ketentuanya diatur pada PP No. 64
Tahun 2021 yang disahkan oleh Presiden pada tanggal 29 April 2021. Konsep
Bank Tanah sebagai penguasa dan pengelola tanah negara berpotensi
menghidupkan kembali adanya domain verklaring yang pernah berlangsung pada
zaman penjajahan Belanda. Konsep domein verklaring yang terdapat pada
Undang-Undang Cipta Kerja ini dapat kita lihat dari Pasal 6 PP No.64 Tahun
2021 tentang Bank Tanahyang menjelaskan bahwa perolehan tanah berasal
daritanah hasil penetapan pemerintah dan/atau tanah dari pihak lain. Kemudian
pada Pasal 7 dijelaskan kembali bahwa tanah dari hasil penetapan pemerintah
tersebut terdiri atas tanah negara yang bersumber dari:
a. Tanah bekas hak;
b. Kawasan dan tanah terlantar;
c. Tanah pelapasan kawasan hutan;
d. Tanah timbul;
e. Tanah hasil reklamasi;
f. Tanah bekas tambang;

64
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

g. Tanah pulau-pulau kecil;


h. Tanah yang terkena kebijakan tata ruang; dan
i. Tanah yang tidak ada penguasaan diatasnya.
Adapun isi domein verklaring yakni seluruh tanah yang tidak dapat
dibuktikan kepemilikanya oleh pihak lain dianggap tidak ada penguasaan tanah di
atasnya, maka otomatis tanah tersebut dianggap sebagai tanah negara. Kemudian
dari hasil penetapan tanah negara oleh pemerintah tanah tersebut akan dijadikan
hak pengelolaan (HPL) dan dimasukkan sebagai sumber tanah bagi Bank Tanah,
dalam hal ini berarti negara maupun pemerintah memiliki hak absolut terhadap
kepemilikan tanah. Padahal konsep domain verklaring secara tegas telah dihapus
dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang terdapat pada
bagian “memutuskan” dalam pembukaan. Pada butir 2, huruf a sampai dengan
huruf c, yang menyatakan bahwa berlakunya UUPA disertai dengan pencabutan
“Domeinverklaring, Algemene Domeinverklaring, Domeinverklaring untuk
Sumatera, Domeinverklaring untuk keresidenan Manado, dan Domeinverklaring
untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo”.
Lebih lanjut lagi, berdasarkan ketentuan pelaksanaan dari Pasal 135
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,yakni PP No. 64
Tahun 2021 tentang Bank Tanah khususnya pada Pasal 19 menjamin bahwa Bank
Tanah memberikan dukungan terhadap ketersediaan tanah dalam rangka
peningkatan ekonomi dan investasi, sumber tanah yang dikuasi Bank Tanah ini
ditetapkan pemerintah melalui klaim tanah negara yang diatur dalam PP No. 18
Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan yang menyatakan bahwa tanah negara
berasal dari tanah petani, nelayan, masyarakat adat yang belum bersertifikat yang
tidak dapat dibuktikan kepemilikanya. Asas Domein Verklaring dan sistem HPL
tersebut berdampak pada masyarakat hukum adat karena proses perolehan
tanahnya berpotensi tumpang tindih dengan wilayah hidup masyarakat sehingga
hal ini dapat memperparah terjadinya konflik agraria. Dukungan terhadap
ketersediaan tanah untuk peningkatan ekonomi dan investasi dapat melegalkan
praktek liberalisasi pertanahan yang cenderung memberikan tanah pada kelompok
masyarakat yang memiliki posisi tawar kuat secara ekonomi dan politik.

65
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3. Peran Partisipasi Publik dalam Pengambilan Keputusan Pengelolaan


Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menghapus
ketentuan Pasal19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang menyatakan bahwa:
“Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang berdampak penting dan cakupanya yang luas serta bernilai
strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat”

Penghapusan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999


tentang Kehutanan ini memiliki konsekuensi tidak adanya kewajiban pemerintah
pusat untuk mendapatkan persetujuan DPR terlebih dahulu dalam melakukan
peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan. Penghapusan klauasal
persetujuan DPR dalam peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan
menunjukkan adanya pelanggaran prinsip Kedaulatan Rakyat sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” Padahal
persetujuan DPR yang merupakan representasi dari rakyat menunjukkan bahwa
adanya proses demokrasi di dalam pengambilan keputusan yang berpengaruh
terhadap masyarakat termasuk masyarakat adat.
Lebih dari itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
juga menghapus ketentuan Pasal 26 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dimana ayat (2) berbunyi “Pelibatan masyarakat harus
dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap
serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan”. Kemudian pada ayat (4)
berbunyi “masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal”
melalui perubahan pada Pasal 26 tersebut terdapat tiga implikasi penting yakni:
1. Masyarakat semakin kesulitan untuk memperoleh informasi yang
transparan dan lengkap yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan
hidup;

66
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Hilangnya hak pemerhati lingkungan hidup dan anggota masyarakat


yang terpengaruh atas segala bentuk putusan dalam proses Amdal; dan
3. Hilangnya hak masyarakat untuk mengajukan keberatan terhadap
dokumen Amdal.

Selain menghapus ketentuan Pasal 26, Undang-Undang Cipta Kerja juga


menghapus ketentuan Pasal 38 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana Pasal 38
menyatakan berbunyi “Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (2) izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha
negara”. Penghapusan pasal ini berpotensi menghilangkan akses masyarakat
terhadap keadilan, termasuk akses terhadap proses peradilan yang dijamin dalam
Prinsip 10 Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan Hidup dan Manusia,
sedangkan ketentuan Pasal 40 menyatakan:
(1) Izin lingkungan merupakan prasayarat untuk memperoleh izin usaha
dan/atau kegiatan.
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan
dibatalkan.
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung
jawab usaha dan/atau keegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.
Penghapusan Pasal 40 ini dapat dimaknai sebagai hilangnya kontrol
langsung pengelolaan lingkungan terhadap suatu usaha dan/atau kegiatan karena
pembatalan persetujuan lingkungan berpotensi tidak serta merta membatalkan
perizinan berusaha. Berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh
informasi yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, terdapat
perubahan pada Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dimana
Pasal ini sebelumnya berbunyi “Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan cara yang mudah diketahui masyarakat” kemudian pada
Undang-Undang Cipta Kerja berubah menjadi “Pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem elektronik dan atau cara lain
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat” perubahan pasal 39 ayat (2) ini tidak

67
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengatur kewajiban pemerintah pusat memastikan masyarakat bisa mengakses


informasi atau tidak tetapi hanya mengatur cara informasi itu diumumkan,
masyarakat dengan keterbatasan kemampuan dalam mengakses informasi akan
kesulitan dalam memperoleh informasi tersebut dan semakin sulit berpartisipasi
dalam proses permohonan sampai penerbitan Surat Keputusan Kelayakan
Lingkungan Hidup (SKKLH), padahal hak atas informasi telah dijamin pada Pasal
28F UUD 1945 yang merupakan pilar penting bagi masyarakat demokratis karena
menjadi prasyarat pemenuhan hak asasi manusia. Beberapa perubahan di atas juga
bertentangan dengan Pasal 28 huruf I UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dijamin secara penuh oleh konstitusi
Indonesia, dimana hak atas lingkungan yang baik dan sehat didukung atas tiga
pilar akses informasi, partisipasi publik, dan akses keadilan.
Adanya kontradiksi antara pengaturan hukum yang memprioritaskan
kemudahan berinvestasi dibandingkan dengan kebutuhan penyelesaian konflik
tenurial di lapangan akan berdampak pada memperluasnya ancaman perampasan
wilayah masyarakat adat terutama di kawasan hutan untuk kepentingan investasi
yang kemudian akan meningkatkan konflik dan kriminalisasi masyarakat adat
yang mempertahankan hak atas wilayah adatnya yang selama ini diklaim
pemerintah sebagai kawasan hutan negara.
4. Kebijakan Resolusi Konflik Tenurial Pasca Terbitnya Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Menurut pandangan kriesberg yang dikutip oleh Riza Noer Arfani, konflik
memiliki tahapan-tahapan yang bersifat siklikal, bermula dari sumber,
kemunculanya, pemicunya, ekskalasi, dan deekskalasinya, terminasi, sampai ke
hasil dan konsekuensinya, kemudian berawal lagi dari sumber konflik yang baru
dan seterusnya.28 Secara sederhana konflik merupakan kondisi sosial ketika dua
pihak atau lebih memanifestasikan keyakinanakan mereka akan suatu tujuan yang
saling berbeda.29 Timbulnya konflik dapat membawa dampak negatif bagi para

28
Lihat Riza Noer Arfani , “Governance Sebagai Pengelolaan Konflik”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Vol. 8 No. 3, Maret 2005, hlm. 317
29
Ibiid.,

68
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pihakyang terlibat. Oleh karena itu, diperlukan upaya intervensi untuk


menyelesaikan masalah yang terjadi sampai pada sumber konfliknya. Intervensi
dalam hal ini dilakukan pada suatu obyek tertentu yang memiliki kepentingan
yang saling berlawanan. Intervensi penyelesaian tersebut kemudian disebut juga
dengan resolusi konflik, menurut Weitman & Weitzman sebagaimana dikutip oleh
Sudarhono mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah upaya untuk
menyelesaikan permasalahan secara bersama.30Hal ini menunjukkan bahwa
resolusi konflik yang ideal tidak bisa dicapai apabila hanya dijalankan oleh satu
pihak secara tunggal. Sebaliknya, resolusi konflik harus mengakomodasi berbagai
kepentingan para pihak yang terlibat. Dewasa ini konflik penguasaan sumber daya
alam yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan
perusahaan, maupun antar pemegang izin menjadi isu makro yang cukup
kompleks. Menurut Buckles terdapat empat penyebab timbulnya konflik sumber
daya alam termasuk hutan, yakni:31
1. Adanya perbedaan akses antara aktor sosial dan/institusi terhadap pusat
kekuasaan;
2. Aktivitas manusia yang mengubah keseimbangan ekosistem di suatu
wilayah dapat menimbulkan masalah lingkungan di wilayah lainya
(negative eksternalities);
3. Adanya peningkatan kelangkaan sumber daya alam; dan
4. Ideologi dan etik yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat yang
berpengaruh terhadap pengolaan sumber daya alam dan pengelolaan
konflik atasnya.

Selain itu, konflik pengelolaan sumber daya alam sering terjadi karena
ketidakjelasan status hukum atas kepemilikan sumber daya oleh suatu pihak,
penataan regulasi yang tidak harmonis, dan adanya ketimpangan penguasaan
sumber daya akibat praktik penyelenggaraan pengelolaan yang tidak maksimal.

30
Wisnu Suhardono, “Konflik dan Resolusi”, Jurnal Sosial dan Budaya Syar’I Vol. II No. 1 Juni 2015,
hlm. 4.
31
Gamal Pasya, 2017, Penanganan Konflik Lingkungan: Kasus Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung
Bukit Rigis Lampung, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 3

69
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pertentangan kepentingan atas penguasaan sumber daya terutama berkaitan atas


status hukum atas suatu obyeknya yang kemudian sering disebut dengan konflik
tenurial. Secara harfiah tenurial berasal dari kata “tenure” yang berasal dari
bahasa latin “tenere” yang berarti memelihara, memegang, dan
memiliki.32Menurut Anne M. Larson, tenurial merujuk pada kandungan atau
hakikat dari hak dan jaminan atas hak. Hak disini diartikan dari sudut pandang
yang berbeda, yaitu terhadap hak yang tumpang tindih atau terdapat dua orang
atau lebih secara bersamaan mengaku berhak atas sumber daya yang sama.33
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa hakikat hak tenurial dapat dijabarkan baik
secara de jure maupun de facto.
Hak menurut undang-undang atau de jure berkenaan dengan seperangkat
aturan yang dibuat dan dilindungi oleh negara (misalnya, bukti kepemilikan yang
terdaftar, kontrak konsesi,peraturan perundang-undangan tentang kehutanan).
Sedangkan, hak de facto merupakan pola interaksi yang ditetapkan di luar lingkup
hukum formal.Ini mencakup hak ulayat, seperangkat aturan dan peraturan
masyarakat yang diwarisi dari nenek moyang dan diterima, ditafsirkan ulang, dan
ditegakkan oleh masyarakat, dan yang mungkin diakui atau tidak oleh negara.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh Anne M. Larson dapat disimpulkan
bahwa untuk memperoleh kepastian penguasaan atas sumber daya secara kuat dan
legitimate maka syarat de jure dan de facto harus terpenuhi dengan baik. Selain
itu dari segi hak asasi manusia, Negara harus melindungi warga negara atas
sumber daya agraria dari ancaman pihak non-negara. Bentuk dari kewajiban
tersebut adalah mencegah atau menindak para pihak yang melanggar. 34 Negara
juga berkewajiban memenuhi hak warga negara terkait usaha-usaha pertanian

32
Agus Marzuki, Disertasi, : “Penyelesaian Konflik Tenurial Kawasan Hutan Register 45 Mesuji
Lampung dalam Perspektif Keadilan” (Yogyakarta : UGM, 2016), hlm. 10
33
Anne M. Larson, 2013, Hak Tenurial dan Akses ke Hutan, Center for Intenational Forestry Research,
Bogor, hlm. 9
34
Erlina, “Kebijakan Reformasi Agraria pada Masa Pemerintahan Joko Widodo Ditinjau dari Kajian
HAM dan Gender”, Riau Law Journal Vol. 1 No.2, November 2017, hlm. 257

70
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Negara. Di Indonesia, kebijakan kehutanan umumnya didasarkan pada model


kepemilikan dan penguasaan negara atas lahan hutan dan sumber dayanya.35
Kepastian penguasaan atas suatu sumber daya berkaca pada pengaturan
hak ulayat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agrariamenyatakan bahwa eksistensi hak ulayat diakui. Pasal 5
Undang-Undang a quo yang menyatakan bahwa “hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa adalah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan pada hukum agama”. Namun
demikian, terdapat batasan diatur dalam Pasal 3 yang secara tidak langsung
mereduksi muatan dalam Pasal 5 UU aquo. Pasal 3 menyatakan bahwa
pelaksanaan hak ulayat harus “sesuai dengan kepentingan nasional dan negara
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang danperaturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Lebih lanjut lagi, berkaitan dengan klasifikasi hak yang terkandung dalam
tenurial,menurut Food and Agriculture Organization (FAO) sebagaimana dikutip
oleh Sylviani &Ismatul Hakim36menyatakan bahwa secara teori tenurial
digambarkan sebagai bundle ofrights yaitu sekumpulan hak atas tanah yang
disederhanakan menjadi 3 (tiga) hak, yaitu hakpakai, hak mengontrol dan hak
mentransfer. Pertama, hak pakai yaitu hak untuk menggunakan lahan
(pengembalaan, menanam subsisten, mengumpulkan produk-produk kehutanan:
kayu bakar, madu dan lain-lain). Kedua, hak untuk mengontrol yaitu hak untuk
membuat keputusan bagaimana lahan harus digunakan, termasuk memutuskan apa
yang harus ditanam dan mengambil keuntungan finansial dari penjualan tanaman,
dan ketiga, hak mentransfer yaitu hak untuk menjualatau menggadaikan tanah,

35
Ahmad Maryudi dkk. “The emerging power of peasant farmers in the tenurial conflicts over the uses of
state forestland in Central Java, Indonesia”, Journal Forest Policy and Economics Volume 67, June 2016,
hlm. 70
36
Sylviani & Ismatul Hakim, “Analisis Tenurial dalam Pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH): Studi Kasus KPH Gedong Wani, Provinsi Lampung”, JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi
Kehutanan Vol. 11 No. 4 Desember 2014, hlm. 310

71
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

hak untuk menyampaikankepada orang lain melalui intrakomunitas relokasi,


untuk mengirimkan tanah kepada ahliwaris melalui warisan dan realokasi hak
guna dan kontrol.
Menurut Anne M. Larson, secara sederhana terdapat dua hak yang
terkandung dalam sistem tenurial yaitu hak ekslusi dan hak pengalihan. Hak
eksklusi diartikan sebagai hak untuk menetapkan siapa saja yang boleh
menggunakan sumber daya dan siapa yang dilarang menggunakannya.37 Hak
eksklusi ini merupakan elemen yang cukup penting untuk mengendalikan konflik
tenurial yang terjadi di masyarakat. Disisi lain, hak ekslusi juga dapat menjaga
kualitas sumber daya, mengingat hak inijuga disertai dengan tata cara penggunaan
suatu sumber daya. Sedangkan, hak pengalihan dipahami sebagai menjual,
mengalihkan atau menyewakan lahan yang juga mencakup hak-hak lain.38Seperti
misalnya, masyarakat yang memiliki hak atas lahan yang diakui oleh negara,
dapat dipastikan bahwa ia memiliki hak pengalihan resmi.
Konflik sumber daya alam merupakan bentuk ketidakharmonisan
hubungan antara masyarakat, pemerintah, pengusaha, atau investor.39 Hubungan
yang tidak harmonis tersebut berawal dari ketika pemerintah melakukan monopoli
dan manipulasi proses eksploitasi sumber daya alam sehingga terjadi perbedaan
akses.40 Sampai saat ini dari sekian banyak konflik tenurial yang terjadi dari tahun
ke tahun permasalahanya hanya seputar isu hak dan akses, distribusi sumber daya,
dan manajemen serta regulasi.41 Tenurial lahan hutan berkaitan dengan siapa yang
memiliki lahan hutan dan siapa yang memanfaatkan, mengelola, dan memutuskan
perihal sumber daya hutan. Tenurial lahan hutan menentukan peruntukan
perizinan, sumber daya apa yang diizinkan, dikelola dengan cara bagaimana,
berapa lama waktunya dan dengan syarat apa, serta siapa yang berhak
mengalihkan hak kepada pihak lain dan bagaimana caranya.42 Konflik tenurial di

37
Anne M. Larson, Op. Cit., hlm. 14
38
Ibiid.,
39
San Afri Awang, 2007, Politik Kehutanan Masyarakat, Kreasi Wacana, Yogyakarta, hlm. 19
40
Ibiid.,
41
Jeffrey Y. Campbell, “Differing Perspectives on Community Forestry in Indonesia” dalam Carol J.
Pierce Colfer dan Ida Aju Pradnja Resosudarmo (Ed.), 2002, Which Way Forward? People, Forests, and
Policymaking in Indonesia, RFF Press Book, Washington, hlm. 112
42
Anne M. Larson, Op. Cit., hlm. 8

72
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

era Presiden Joko Widodo sering terjadi, berdasarkan laporan dari KPA
(Konsorsium Pembaruan Agraria) tercatat bahwa pada periode pertama
Pemerintahan Presiden Joko Widodo konflik tenurial meningkat hampir dua kali
lipat dibandingkan dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY).43 Berdasarkan catatan KPA selama periode pemerintahan
Presiden Joko Widodo tahun 2015-2019 telah terjadi 2.047 kasus konflik tenurial
sedangkan semasa era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
terdapat 1.038 konflik. Pada periode pertama Presiden Joko Widodo, sektor
perkebunan menjadi penyumbang konflik tertinggi yakni 729 kasus, yang
kemudian diikuti dengan sektor properti 499 kasus, sektor pertanian 145 kasus,
sektor kehutanan 188 kasus, sektor pertambangan 117 kasus, pesisir dan pulau-
pulau kecil 60 kasus, serta sektor militer 10 kasus. Sementara itu, konflik lahan
akibat pembangunan infrastruktur di era kepemimpinan Presidan Joko Widodo
meningkat drastis pada tahun 2018 ad 16 kasus dan bertambah menjadi 83 kasus
pada tahun 2019 dengan penyumbang konflik terbanyak berasal dari
pembangunan fasilitas umum yang berjumlah 28 kasus, kemudian proyek fasilitas
sosial 13 kasus, dan pembangunan jalan tol terdapat 11 kasus.44
Konflik kehutanan dapat menciptakan iklim yang tidak kondusif serta
memperberat upaya-upaya dalam mewujudkan pengelolaan sumberdaya yang
lestari.45Hal tersebut ditinjau dari berbagai sisi, Pertama, dari sisi ekonomi
konflik mengakibatkan tidak adanya insentif dan kepastian dalam berusaha di
bidang kehutanan. Kedua, dari sisi sosial konflik bisa membawa tuntutan
(claiming) atas wilayah sehingga dapat mempersulit upaya pengelolaan hutan
yang memperhatikan aspek bentang alam dan satu kesatuan ekosistem. Ketiga,
dari sisi ekologis mengancam daya dukung (carrying capacity) kawasan hutan,
dan akhirnya hanya menyisakan kerusakan sumberdaya yang makin besar.46

43
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200106132321-20-462771/konflik-lahan-era-jokowi-2-kali-
lipat-dari-2-periode-sby (diakses 4 Oktober 2021)
44
Ibiid.,
45
Mustofa Agung Sardjono, 2004, Mosaik Sosiologi Kehutanan : Masyarakat Lokal, Politik dan
Kelestarian Sumberdaya, Debut Wahana Sinergi, Yogyakarta, hlm. 149
46
Ibiid.,

73
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Padahal, kebijakan resolusi konflik sumber daya alam telah menjadi


Nawacita pemerintahan Presiden Joko Widodo, secara normatif kebijakan resolusi
konflik tersebut sebenarnya telah direalisasikan dengan dibentuknya Peraturan
Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum
dan KepalaBadan Pertanahan Nasional Nomor 79Tahun 2014, PB.3/Menhut-
II/2014,17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian
Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan (Perber 4 Menteri).
Peraturan bersama 4 menteri mengupayakan penyelesaian konflik penguasaan
tanah yang terdapat di dalam kawasan hutan melalui pelembagaan, inventarisasi,
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (IP4T), sebagai
kegiatan pendataan yang diolah dengan sistem informasi geografis untuk
menghasilkan peta dan informasi mengenai penguasaan tanah. Pelaksanaan
program IP4T dilakukan oleh Tim yang dibentuk oleh Bupati/Walikota di masing-
masing wilayah kewenanganya sesuai kawasan hutan terkait berada atau oleh
gubernur apabila penyelesaiaan konflik penguasaan tanah berada dalam kawasan
hutan yang sifatnya lintas kabupaten/kota.47

47
Pasal 2 dan 3 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Kehutanan
Republik Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, dan Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang
Berada di Dalam Kawasan Hutan

74
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bagan 1.2 Alur Penyelesaian Penguasaan Tanah di dalam Kawasan Hutan


sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama 4 Menteri

Bupati/Walikota/ Tim IP4T


Gubernur menerima Verifikasi Pendataan
membentuk Tim pendaftaran Lapangan
IP4T permohonan

Analisis data Rekomendasi ke Kanwil BPN/ Kajian dan


yuridis dan data Kanwil BPN/ Kantor Pertanahan penataan
fisik Kantor Pertanahan menyampaikan ke batas ulang
Kemenhut kawasan
hutan

SK perubahan batas Penegasan hak,


kawasan hutan pengakuan hak, Revisi RTRW
Negara dari SK pengakuan hak
perubahan kawasan ulayat
hutan

Akan tetapi dalam faktanya kebijakan resolusi konflik yang berkeadilan


belum bisa terealisasikan dengan baik, Peraturan Bersama 4 Menteri tersebut
memiliki kedudukan yang lemah karena eksistensinya tidak didukung oleh
Undang-Undang sehingga rentan untuk mengalami perubahan dan keberlakuanya
menjadi tidak kontinyu seiring dengan pergantian pemerintahan yang
menyebabkan perubahan nomenklatur Kementrian.
Peraturan bersama 4 Menteri tersebut kemudian direvisi dengan Peraturan
Presiden No. 88 Tahun2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam
Kawasan Hutan (Perpres88/2017) menjadi salah satu instrument untuk
menyelesaikan konflik lahan terutama dengan masyarakat. Akan tetapi Perpres

75
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

No.88 Tahun 2017 tersebut juga belum memberikan resolusi konflik sumber daya
alam yang terbaik karena salah satu bentuk penyelesaian tanah dalam kawasan
hutan (PTKH) adalah melalui resettlement yakni pemindahan penduduk dari
kawasan hutan keluar kawasan hutan. Dimana hal ini merupakan resolusi konflik
tenurial yang tidak realistis untuk dilaksanakan di kawasan hutan, karena tanah
adalah ruang hidup yang didalamnya terdapat relasi emosional, sosial, dan budaya
dengan penghuninya maka penyelesaian PTKH dalam bentuk resettlement
merupakan penyederhanaan persoalan secara sewenang-wenang karena
masyarakat hukum adat harus dipindahkan keluar kawasan yang merupakan
wilayah ulayatnya dan teritori leluhurnya (ancestral territory).48
Selain peraturan bersama 4 menteri, diterbitkan pula Peraturan Menteri
P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018 tentang Tata Cara Pelepasan dan
Perubahan Batas Kawasan Hutan untuk Sumber Tanah Objek Reforma Agraria
(TORA) peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini merupakan
peraturan yang lahir sebagai upaya mengurangi ketimpangan, penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang mengakibatkan ketimpangan
struktur ekonomi masyarakat sebagaimana yang terdapat pada Nawacita Presiden
Joko Widodo. Mekanisme penyelesaian konflik tenurial yang diatur dalam
Peraturan Menteri Tahun 2018 ini adalah “revisi” kawasan hutan dalam bentuk
pelepasan kawasan hutan dari Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) tidak
produktif, dan perubahan batas kawasan hutan dari kawasan hutan yang telah
dikuasai, dimiliki, digunakan dan dimanfaatkan sebagai permukiman, lahan
garapan, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial.49
Perbedaan dua mekanisme ini terletak pada peruntukannya, dimana untuk
pelepasan HPK yang tidak produktif diperuntukkan untuk program pembangunan
nasional dan daerah/pengembangan wilayah terpadu; pertanian tanaman
48
Agung Wibowo, dkk, “Dari Reformasi Kembali ke Orde Baru: Tinjauan Kritis Perpres No. 88 Tahun
2017”, Opini Hukum AMAN, Epistema Institute, dan Perkumpulan Huma Oktober 2017, hlm. 4,
http://epistema.or.id/wp-content/uploads/dlm_uploads/2017/10/Opini_Hukum_2017.pdf, diakses 4 Oktober
2021
49
Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018 tentang Tata Cara Pelepasan dan Perubahan Batas Kawasan
Hutan untuk Sumber Tanah Objek Reforma Agraria (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 738)

76
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pangan/pencetakan sawah baru; kebun rakyat; perikanan; peternakan; atau


fasilitas pendukung budidaya pertanian. Sementara pada mekanisme perubahan
batas kawasan hutan peruntukannya adalah permukiman, lahan garapan, fasilitas
umum dan/atau fasilitas sosial sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai
kawasan hutan. Atau dengan kata lain adalah pada kawasan hutan yang telah
terdapat tumpang tindih kepentingan, utamanya berupa peruntukan kegiatan yang
sifatnya non-kehutanan.
Norma dalam Peraturan Menteri P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018
ini belum mengatur mekanisme perubahan batas kawasan hutan secara jelas
karena ketentuan-ketentuan yang ada belum memberikan terobosan yang
signifikan sebagai sebuah instrument kebijakan resolusi konflik tenurial kawasan
hutan. Norma di dalam peraturan ini hanya menegaskan kembali bahwa kawasan
hutan yang dapat dikeluarkan dari kawasan hutan (enclave), adalah kawasan yang
harus berada dalam Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan
TORA.Keluarnya peraturan ini juga tidak memberi kabar baik bagi tawaran
resolusi konflik kawasan hutan melalui TORA. Apabila merujuk pada kebijakan
ini, maka perubahan kawasan hutan yang telah ditunjuk melalui perubahan batas
(enclave) untuk tujuan mengakomodasi fenomena penguasaan tanah dalam
kawasan hutan yang bentuknya adalah lahan garapan, permukiman dan fasilitas
umum/sosial tidak dimungkinkan terjadi di kawasan hutan lindung maupun hutan
produksi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30 persen. Sehingga untuk
wilayah-wilayah yang berada di Jawa, Lampung, dan Bali, yang kondisinya
memiliki luas kawasan hutan kurang dari 30 persen hanya dapat dilakukan
resolusi konflik dengan skema Perhutanan Sosial, dan itupun untuk konteks
kawasan hutan sebagai lahan garapan.
Dalam rangka penyelesaian konflik tenurial dan memperkuat keberadaan
masyarakat hukum adat di Indonesia, terlebih pasca diterbitkanya Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka diperlukan reformasi
kebijakan tenurial agar terciptanya kepastian dan keadilan tenurial bagi seluruh
warga negara Indonesia yang merupakan mandat dari UUD NRI Tahun 1945,
Ketetapan (Tap) MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan

77
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang


(Pokok-Pokok Agraria), serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Maka berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, pelaksanaan reformasi
kebijakan tenurial ini perlu di dasarkan pada aspek-aspek sebagai berikut:
1) Pengejawantahan negara hukum Indonesia (Pasal 1 ayat 3)
2) Pelaksanaan desentralisasi yang adil dan bertanggungjawab (Pasal
18A)
3) Pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat
adat (Pasal 18B dan 28I)
4) Alat bagi pelaksanaan hak menguasai negara yang efektif untuk
mencapai tujuan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya (Pasal 3
Ayat 3)
5) Pelaksanaan tanggung jawab negara untuk menjamin perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia terutama dalam hal:
a. Hak rakyat untuk memperoleh pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum;
b. Hak rakyat untuk hidup sejahtera, bertempat tinggal, dan
memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat; serta
c. Hak rakyat untuk mempunyai hak milik pribadi yang tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang.

Reformasi kebijakan tenurial harus dilaksanakan dengan berlandaskan


pada sembilan prinsip penting dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
diantaranya adalah:
1) Pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat dan hukum adat
mereka (Pasal 3 dan Pasal 5);
2) Hak menguasai negara atas tanah dan kekayaan alam sebagai
kewenangan publik untuk mengatur penguasaan, pengalokasian,
pemanfaatan, perlindungan, kelestarian tanah dan hutan secara adil
memberikan kemakmuran pada rakyat (Pasal 2);

78
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3) Fungsi sosial atas tanah (Pasal 6);


4) Distribusi tanah dan hutan yang adil dan larangan konsentrasi
penguasaaan tanah dan hutan (Pasal 7 dan Pasal 13);
5) Asas nasionalitas dimana warga negara mendapatkan prioritas dalam
distribusi penguasaan dan pemanfaatan tanah dan hutan (Pasal 9 ayat
1);
6) Keadilan gender yang terwujud dalam kesempatan yang sama bagi
laki-laki dan perempuan untuk memperoleh hak atas tanah dan hutan
(Pasal 9 ayat 2);
7) Kemandirian rakyat (Pasal 10);
8) Perlindungan terhadap kelompok miskin (Pasal 11); dan
9) Kewajiban melestarikan hutan bagi pemegang hak atas tanah dan
hutan (Pasal 15).

Implementasi dari kebijakan resolusi konflik tenurial dalam rangka


memperkuat keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia pasca terbitnya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dapat diukur melalui
elemen-elemen sebagai berikut:
1) Adanya perbaikan kebijakan dan proses pelaksanaan pengukuhan
kawasan hutan secara partisipatif, dapat diterima oleh semua pihak,
dan mampu memberikan legalitas yang kuat bagi pemerintah,
masyarakat, dan kelompok usaha;
2) Diterbitkanya segera Undang-Undang Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat agar dapat memberikan jaminan dan perlindungan yang
kuat dalam rangka pelaksanaan pengakuan masyarakat hukum adat di
Indonesia;
3) Diakuinya peta-peta yang diperoleh melalui pemetaan oleh
masyarakat ke dalam pemetaan kawasan hutan dan pengalokasian
kawasan hutan untuk masyarakat;

79
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4) Tersedianya sistem pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat


maupun masyarakat lokal atas tanah dan kawasan hutan dengan
prosedur pengakuan hak yang sederhana dan mudah diakses;
5) Adanya institusi dan mekanisme independen untuk penyelesaian
konflik tenurial;
6) Terselesaikanya kasus-kasus konflik agraria dan berkurangnya
kemunculan konflik-konfliik baru;
7) Meluasnya kawasan kelola rakyat yang meliputi kawasan hutan untuk
masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal lainya;
8) Meningkatnya kesejahteraan masyarakat hukum adat dan masyarakat
lokal; dan
9) Meningkatnya kelestarian kawasan hutan yang dikelola oleh
pemerintah, masyarakat hukum adat, dan kelompok usaha.

80

Anda mungkin juga menyukai