id
BAB IV
PEMBAHASAN
1
Muhammad Roy Purwanto, “Hukum Islam dan hukum adat masa kolonial: Sejarah Pergolakan antara hukum
Islam dan hukum adat masa kolonial Belanda" 2017, hlm 6.
2
Danggur Konradus, "Kearifan lokal terbonsai arus globalisasi: Kajian terhadap eksistensi masyarakat hukum
adat,” Masalah-Masalah Hukum 47, no. 1 (2018): 81–88, hlm. 85.
44
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3
Jamie S Davidson, David Henley, and Sandra Moniaga, Adat Dalam Politik Indonesia (Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2010), hlm. 27.
4
Lastuti Abubakar, “Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam Membangun Sistem Hukum
Indonesia,” Jurnal Dinamika Hukum 13, no. 2 (2013): 319–31, hlm. 320.
45
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5
Taqwaddin, 2010, Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat(Mukim) di
Provinsi Aceh, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2, hlm. 36.
6
Ibid.,hlm. 38.
46
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak
berwujud serta menguasai sumberdaya alam dalam jangkauannya.7
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh
Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van
Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter
Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah
kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai
kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang
terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing
mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat
alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau
kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau
meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-
lamanya.
Para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat
Adat Nasional (AMAN) merumuskan masyarakat hukum adat sebagai
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan. Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan
persekutuan hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat
territorial dan geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum
di zaman Hindia Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau
persekutuan hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur,
yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu,
baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani
sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.8 Sedangkan, masyarakat atau
persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat
yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang
7
Ibid.
8
Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: CV Mandar Maju, hlm. 108.
47
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan
atau pertalian adat.
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
mengatur keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum yang
berbeda dengan subyek hukum lainnya. keberadaan hukum adat telah
dicantumkan dalam rumusan Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan;
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.”
9
Ibid.
48
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10
Siti Rakhma Mary Herwati, “Kriminalisasi Masyarakat Adat : Ancaman Dan Usulan Kebijakan,”
www.ylbhi.or.id,2019, https://ylbhi.or.id/publikasi/artikel/kriminalisasi-masyarakat-adat-ancaman-dan-
usulan-kebijakan/.
11
Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Aktualisasi Masyarakat
Hukum Adat (MHA): Perspektif Hukum dan Keadilan terkait dengan status MHA dan Hak-Hak
Konstitusionalnya, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan
Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
50
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2012.http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/contetinfoumum/penelitian/pdf/2-Penelitian%20MHA-
upload.pdf (diakses tanggal 11Agustus 2021).
51
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Berkaitan dengan hak atas tanah, Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 juga
menegaskan bahwa “bumi, air dan kekayaanalam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat”. Pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 ini tersirat bahwa
secara konstitusional negara diberi kebebasan dan kewenangan untuk mengatur
dan mengelola serta mengawasi pemanfaatan bumi, air dan seluruh kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya yang kemudian digunakan “sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”. Selanjutnya implementasi dari hak menguasai negara
dijabarkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana
ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) wewenang negara hanya
berkaitan untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan persediaan dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
12
Yance Arizona, Satu Dekade Legislasi Masyarakat adat,
http://epistema.or.id/wpcontent/uploads/2012/01/Working_Paper_Epistema_Institute_07-2010.pdfdiakses
tanggal 11 Agustus 2021
52
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dengan roh-roh nenek moyang sebagaimana yang dinyatakan oleh Boedi Harsono
bahwa;
“Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama, yang diyakini
sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang
kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat, sebagai
pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut
sepanjang masa. Disini tampak sifat religius dan unsur keagamaan dalam
hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat dan tanah
ulayatnya itu”.13
Hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa dan peraturan yang tercantum dalam Undang-
Undang. Dari bunyi pasal di atas, maka dapat diketahui bahwa hukum agraria
(UUPA) mengakui keberadaan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat Indonesia.
Dalam konteks hak menguasai negara atas tanah, maka kedudukan hak menguasai
tersebut termasuk hak menguasai berada di atas hak ulayat masyarakat hukum
adat. Hal ini selaras dengan pendapat Ida Nurlinda bahwa;
“Dalam kamus umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta hlm 528), kata
menguasai berarti kedudukan berkuasa atas suatu atau memegang
kekuasaan atas sesuatu. Dengan mengacu pada ketentuan konstitusi di atas
berarti hak menguasai negara meliputi semua tanah tanpa kecuali. Maka
rumusannya adalah bahwa negara memegang kekuasaan atas sumber-
sumber agraria sebagaimana tertera dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945”.14
13
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, hlm 186.
14
Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta.
54
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
atau diserahkan pada para pemilik modal melalui berbagai skema perizinan untuk
dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta kearifan lokal kesatuan masyarakat
hukum adat di wilayah tersebut. Dalam pertimbangan putusannya, UUD 1945,
yakni Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) telah memberikan pengakuan dan
perlindungan atas keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak
ulayat suatu masyarakat hukum adat. Hal demikian merupakan konsekuensi
pengakuan terhadap hukum adat sebagai “living law” yang sudah berlangsung
sejak lama, dan diteruskan sampai sekarang. Oleh karena itu, menempatkan hutan
adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak
masyarakat hukum adat, MK akhirnya memutuskan “hutan adat adalah hutan
yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, bukan sebagaimana
mengartikan “hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat”.15Hal ini memperkuat legal potition hukum adat di
Indonesia sebagai hukum yang konstitusional.
Living law merupakan paradigma hukum yang memandang hukum adat
sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (that true law living law) yakni
kepentingan-kepentingan dan praktik-praktik di dalam masyarakat.16Hukum adat
merupakan pengaruh dari madzhab ini, kemudian dilanjutkan oleh para pemikir-
pemikir Belanda yang mengemukakan teori-teori hukum adat seperti
VanVollenhoven, Ter Haar, Hollenman dan lainnya mengenai keberagaman
hukum adat di Indonesia.
Madzhab sociological jurisprudence memandang tentang pentingnya
living law. Eugen Ehrlich (1862-1922) merupakan salah satu tokoh madzhab
sociological jurisprudence berkebangsaan Austria, ia memperkenalkan konsep
living law dan tidak lantas menolak kehadiran hukum negara.17 Menurut Eugen
Ehrlich, hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila
berisikan kaidah-kaidah yang hidup dalam masyarakat. Sumber dan bentuk
15
https://mkri.id/index.php?id=8475&page=web.Berita diakses pada tanggal 11 Agustus 2021
16
Damanik, “Jalannya Hukum Adat Simalungun.", hlm. 18.
17
W.M. Herry Susilowati, “Kritik terhadap aliran sociological jurisprudence Eugen Ehrlich,” Perspektif,
2000, https://doi.org/10.30742/perspektif.v5i1.230, hlm.32.
55
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
hukum yang utama adalah kebiasaan.18Gravitasi dari hukum tidak ditemukan dari
hukum itu sendiri, melainkan dari masyarakat.
Ajaran Sociological Jurisprudence dari Eugen Ehrlich mulai dengan
supremasi hukum dari kekuasaan atau adat kebiasaan sangat sepaham dengan
Savigny. Friedrizh Carl Von Savigny pemikir utama sejarah hukum yang dikenal
dengan konsep jiwa bangsa (volksgeist) sebagai sumber hukum, menurutnya
hukum tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Savigny
mendorong agar hukum sesuai dengan sejarah perkembangannya, menyatu
dengan kehidupan sosial masyarakat seperti halnya bahasa yang digunakan, tata
krama, dan lain sebagainya. Bahwa keberadaan setiap hukum adalah berbeda,
tergantung tempat dan waktu berlakunya hukum, hukum harus dipandang sebagai
penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa yang dimanifestasikan dalam nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat adat sebagai perwujudan kristalisasi nilai-
nilai kebudayaan asli penduduk Indonesia.19 Menurut Mochtar Kusumaatmadja,
hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku disuatu
masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan
dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Di setiap kesatuan masyarakat hukum adat dikenal adanya pranata atau
lembaga yang berfungsi sebagai penyelesai setiap pelanggaran hukum atau
sengketa yang dikenal dengan sebutan dan nama yang berbeda-beda. Lembaga
tersebut dalam studi hukum modern dikenal dengan sebutan peradilan adat
(customary court). Peradilan adat sebagai lembaga yang tumbuh dalam
masyarakat merupakan penyelesai perkara yang efektif untuk menyelesaikan
sengketa dan pelanggaran hukum dalam masyarakat adat.20 Menurut Ehrlich pada
pembuat undang-undang hendaklah memperhatikan apa yang hidup dalam
masyarakat mengingat karena kesadaran masyarakat itulah ditemukan hukum
yang tidak dibuat serta tumbuh melekat pada jiwa mereka. Wakil rakyat yang
duduk di lembaga legislatif harus mampu menggali dan wajib menampung
18
Abd Shomad and Prawitra Thalib, Pengantar Filsafat Hukum (Airlangga University Press, 2020), hlm. 89.
19
M Jamin, 2018, “Peradilan Adat dan Masyarakat Hukum Adat di Tengah Pengaturan Pemerintahan
Desa”, Surakarta: UNS Press, hlm. 13
20
Ibiid., hlm 2
56
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21
Besse Sugiswati, “Perlindungan Hukum Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat Di Indonesia,” Perspektif 17,
no. 1 (2012): 31–43, hlm. 90.
22
Adji Samekto, 2015, Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Indept Publishing, Lampung, hlm. 69
57
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23
Kusumadi Pujosewojo, Pedoman pelajaran tata hukum Indonesia, (PT. Penerbitan Universitas –
Yogyakarta, 1959), hal.56
24
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012),
hal.82
58
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26
http://agroindonesia.co.id/2017/12/titik-kritis-penyelesaian-penguasaan-tanah-dalam-kawasan-hutan-2/
(diakses 10 Juni 2021)
27
https://www.mongabay.co.id/2018/11/04/kajian-ugm-28-juta-hektar-kebun-sawit-di-kawasan-hutan-65-
milik-pengusaha-solusinya/(diakses 10 Juni 2021)
62
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Pada Pasal 125 sampai dengan Pasal 135 bagian keempat Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur mekanisme Bank Tanah
yang kemudian terkait dengan pelaksanaan ketentuanya diatur pada PP No. 64
Tahun 2021 yang disahkan oleh Presiden pada tanggal 29 April 2021. Konsep
Bank Tanah sebagai penguasa dan pengelola tanah negara berpotensi
menghidupkan kembali adanya domain verklaring yang pernah berlangsung pada
zaman penjajahan Belanda. Konsep domein verklaring yang terdapat pada
Undang-Undang Cipta Kerja ini dapat kita lihat dari Pasal 6 PP No.64 Tahun
2021 tentang Bank Tanahyang menjelaskan bahwa perolehan tanah berasal
daritanah hasil penetapan pemerintah dan/atau tanah dari pihak lain. Kemudian
pada Pasal 7 dijelaskan kembali bahwa tanah dari hasil penetapan pemerintah
tersebut terdiri atas tanah negara yang bersumber dari:
a. Tanah bekas hak;
b. Kawasan dan tanah terlantar;
c. Tanah pelapasan kawasan hutan;
d. Tanah timbul;
e. Tanah hasil reklamasi;
f. Tanah bekas tambang;
64
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
65
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
67
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Menurut pandangan kriesberg yang dikutip oleh Riza Noer Arfani, konflik
memiliki tahapan-tahapan yang bersifat siklikal, bermula dari sumber,
kemunculanya, pemicunya, ekskalasi, dan deekskalasinya, terminasi, sampai ke
hasil dan konsekuensinya, kemudian berawal lagi dari sumber konflik yang baru
dan seterusnya.28 Secara sederhana konflik merupakan kondisi sosial ketika dua
pihak atau lebih memanifestasikan keyakinanakan mereka akan suatu tujuan yang
saling berbeda.29 Timbulnya konflik dapat membawa dampak negatif bagi para
28
Lihat Riza Noer Arfani , “Governance Sebagai Pengelolaan Konflik”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Vol. 8 No. 3, Maret 2005, hlm. 317
29
Ibiid.,
68
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Selain itu, konflik pengelolaan sumber daya alam sering terjadi karena
ketidakjelasan status hukum atas kepemilikan sumber daya oleh suatu pihak,
penataan regulasi yang tidak harmonis, dan adanya ketimpangan penguasaan
sumber daya akibat praktik penyelenggaraan pengelolaan yang tidak maksimal.
30
Wisnu Suhardono, “Konflik dan Resolusi”, Jurnal Sosial dan Budaya Syar’I Vol. II No. 1 Juni 2015,
hlm. 4.
31
Gamal Pasya, 2017, Penanganan Konflik Lingkungan: Kasus Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung
Bukit Rigis Lampung, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 3
69
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32
Agus Marzuki, Disertasi, : “Penyelesaian Konflik Tenurial Kawasan Hutan Register 45 Mesuji
Lampung dalam Perspektif Keadilan” (Yogyakarta : UGM, 2016), hlm. 10
33
Anne M. Larson, 2013, Hak Tenurial dan Akses ke Hutan, Center for Intenational Forestry Research,
Bogor, hlm. 9
34
Erlina, “Kebijakan Reformasi Agraria pada Masa Pemerintahan Joko Widodo Ditinjau dari Kajian
HAM dan Gender”, Riau Law Journal Vol. 1 No.2, November 2017, hlm. 257
70
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35
Ahmad Maryudi dkk. “The emerging power of peasant farmers in the tenurial conflicts over the uses of
state forestland in Central Java, Indonesia”, Journal Forest Policy and Economics Volume 67, June 2016,
hlm. 70
36
Sylviani & Ismatul Hakim, “Analisis Tenurial dalam Pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH): Studi Kasus KPH Gedong Wani, Provinsi Lampung”, JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi
Kehutanan Vol. 11 No. 4 Desember 2014, hlm. 310
71
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37
Anne M. Larson, Op. Cit., hlm. 14
38
Ibiid.,
39
San Afri Awang, 2007, Politik Kehutanan Masyarakat, Kreasi Wacana, Yogyakarta, hlm. 19
40
Ibiid.,
41
Jeffrey Y. Campbell, “Differing Perspectives on Community Forestry in Indonesia” dalam Carol J.
Pierce Colfer dan Ida Aju Pradnja Resosudarmo (Ed.), 2002, Which Way Forward? People, Forests, and
Policymaking in Indonesia, RFF Press Book, Washington, hlm. 112
42
Anne M. Larson, Op. Cit., hlm. 8
72
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
era Presiden Joko Widodo sering terjadi, berdasarkan laporan dari KPA
(Konsorsium Pembaruan Agraria) tercatat bahwa pada periode pertama
Pemerintahan Presiden Joko Widodo konflik tenurial meningkat hampir dua kali
lipat dibandingkan dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY).43 Berdasarkan catatan KPA selama periode pemerintahan
Presiden Joko Widodo tahun 2015-2019 telah terjadi 2.047 kasus konflik tenurial
sedangkan semasa era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
terdapat 1.038 konflik. Pada periode pertama Presiden Joko Widodo, sektor
perkebunan menjadi penyumbang konflik tertinggi yakni 729 kasus, yang
kemudian diikuti dengan sektor properti 499 kasus, sektor pertanian 145 kasus,
sektor kehutanan 188 kasus, sektor pertambangan 117 kasus, pesisir dan pulau-
pulau kecil 60 kasus, serta sektor militer 10 kasus. Sementara itu, konflik lahan
akibat pembangunan infrastruktur di era kepemimpinan Presidan Joko Widodo
meningkat drastis pada tahun 2018 ad 16 kasus dan bertambah menjadi 83 kasus
pada tahun 2019 dengan penyumbang konflik terbanyak berasal dari
pembangunan fasilitas umum yang berjumlah 28 kasus, kemudian proyek fasilitas
sosial 13 kasus, dan pembangunan jalan tol terdapat 11 kasus.44
Konflik kehutanan dapat menciptakan iklim yang tidak kondusif serta
memperberat upaya-upaya dalam mewujudkan pengelolaan sumberdaya yang
lestari.45Hal tersebut ditinjau dari berbagai sisi, Pertama, dari sisi ekonomi
konflik mengakibatkan tidak adanya insentif dan kepastian dalam berusaha di
bidang kehutanan. Kedua, dari sisi sosial konflik bisa membawa tuntutan
(claiming) atas wilayah sehingga dapat mempersulit upaya pengelolaan hutan
yang memperhatikan aspek bentang alam dan satu kesatuan ekosistem. Ketiga,
dari sisi ekologis mengancam daya dukung (carrying capacity) kawasan hutan,
dan akhirnya hanya menyisakan kerusakan sumberdaya yang makin besar.46
43
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200106132321-20-462771/konflik-lahan-era-jokowi-2-kali-
lipat-dari-2-periode-sby (diakses 4 Oktober 2021)
44
Ibiid.,
45
Mustofa Agung Sardjono, 2004, Mosaik Sosiologi Kehutanan : Masyarakat Lokal, Politik dan
Kelestarian Sumberdaya, Debut Wahana Sinergi, Yogyakarta, hlm. 149
46
Ibiid.,
73
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47
Pasal 2 dan 3 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Kehutanan
Republik Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, dan Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang
Berada di Dalam Kawasan Hutan
74
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
75
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
No.88 Tahun 2017 tersebut juga belum memberikan resolusi konflik sumber daya
alam yang terbaik karena salah satu bentuk penyelesaian tanah dalam kawasan
hutan (PTKH) adalah melalui resettlement yakni pemindahan penduduk dari
kawasan hutan keluar kawasan hutan. Dimana hal ini merupakan resolusi konflik
tenurial yang tidak realistis untuk dilaksanakan di kawasan hutan, karena tanah
adalah ruang hidup yang didalamnya terdapat relasi emosional, sosial, dan budaya
dengan penghuninya maka penyelesaian PTKH dalam bentuk resettlement
merupakan penyederhanaan persoalan secara sewenang-wenang karena
masyarakat hukum adat harus dipindahkan keluar kawasan yang merupakan
wilayah ulayatnya dan teritori leluhurnya (ancestral territory).48
Selain peraturan bersama 4 menteri, diterbitkan pula Peraturan Menteri
P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018 tentang Tata Cara Pelepasan dan
Perubahan Batas Kawasan Hutan untuk Sumber Tanah Objek Reforma Agraria
(TORA) peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini merupakan
peraturan yang lahir sebagai upaya mengurangi ketimpangan, penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang mengakibatkan ketimpangan
struktur ekonomi masyarakat sebagaimana yang terdapat pada Nawacita Presiden
Joko Widodo. Mekanisme penyelesaian konflik tenurial yang diatur dalam
Peraturan Menteri Tahun 2018 ini adalah “revisi” kawasan hutan dalam bentuk
pelepasan kawasan hutan dari Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) tidak
produktif, dan perubahan batas kawasan hutan dari kawasan hutan yang telah
dikuasai, dimiliki, digunakan dan dimanfaatkan sebagai permukiman, lahan
garapan, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial.49
Perbedaan dua mekanisme ini terletak pada peruntukannya, dimana untuk
pelepasan HPK yang tidak produktif diperuntukkan untuk program pembangunan
nasional dan daerah/pengembangan wilayah terpadu; pertanian tanaman
48
Agung Wibowo, dkk, “Dari Reformasi Kembali ke Orde Baru: Tinjauan Kritis Perpres No. 88 Tahun
2017”, Opini Hukum AMAN, Epistema Institute, dan Perkumpulan Huma Oktober 2017, hlm. 4,
http://epistema.or.id/wp-content/uploads/dlm_uploads/2017/10/Opini_Hukum_2017.pdf, diakses 4 Oktober
2021
49
Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018 tentang Tata Cara Pelepasan dan Perubahan Batas Kawasan
Hutan untuk Sumber Tanah Objek Reforma Agraria (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 738)
76
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
77
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
78
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
79
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
80