DAYAK AGABAG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Ditinjau dari perspektif sejarah instrumen hak asasi manusia secara
umum, pengakuan yuridis terhadap hak asasi masyarakat hukum adat sebagai
suatu komunitas antropologis yang secara turun temurun, sesungguhnya
merupakan suatu fenomena yang and Tribal People in Independent Countries.
Namun bagaimanapun juga manusia adalah makhluk sosial ( zoon
politicon ) yang dalam kehidupannya selalu terkait secara melembaga dengan
manusia lainnya, baik dalam hubungan paguyuban (gemeinschaftich) yang
lazim terdapat dalam masyarakat tradisional maupun dalam hubungan
patembayan (gesellschftilich) yang umumnya digunakan dalam dunia modern.
Kecenderungan umum yang terlihat dengan jelas adalah tatanan masyarakat
bergerak dari hubungan paguyuban kearah hubungan patembayan.
Perlu kita perhatikan bahwa dalam mendirikan Negara kesatuan Republik
Indonesia pada tahun 1945, visi para pendiri Negara tentang Negara baru yang
akan dibentuk itu adalah suatu Negara yang tetap memelihara semangat
hubungan paguyuban antara rakyat dan pemerintah dan sebaliknya antara
pemerintah dengan rakyat walaupun mau tidak mau tatanan kenegaraan secara
formal akan bersifat hubungan patembayan. Itulah sebabnya mengapa hampir
tanpa kecuali para pendiri Negara menolak dicantumkannya pasal-pasal hak
asasi manusia dalam Undang-Undang 1945, yang pada saat itu dipahami
sebagai manifestasi dari individualisme dan liberalisme yang bersifat
perseorangan belaka. Sayangnya visi kenegaraan yang bersifat mendasar ini
tidak tercantum secara eksplisit dalam dictum pasal 18 Undang-Undang Dasar
1945, tetapi hanya dalam penjelasannya sehingga bukan saja tidak mempunyai
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
kekuatan hukum yang mengikat, tetapi juga tidak cukup kuat untuk dijadikan
rujukan untuk membentuk Undang-Undang organik Yang diperlukan sebagai
payung hukum untuk melindungi masyarakat hukum adat sebagai suatu
masyarakat yang bersifat paguyuban. Sebagai akibatnya, secara berkelanjutan
masyarakat hukum adat yang merupakan komunitas antropologi yang berskala
kecil, dan berada pada posisi lemah baik dari segi sosial, ekonomi, maupun
politik, dan hidup tersebar diseluruh pelosok Tanah Air, telah terpinggirkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Syukurnya, pada tataran internasional kesadaran akan perlunya
perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat yang umumnya disebut
sebagai indigenous peoples-berlanjut terus, sebagai bagian dari keseluruhan
kelompok rentan ( vulnerable groups ) yang memerlukan perlindungan khusus,
baik oleh karena perjuangan yang tidak henti-hentinya dari para pegiat hak asasi
manusia maupun sebagai tindak lanjut dari komitmen Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), seperti tercantum dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
(Juni 1945) maupun dalam Deklarasi Universal hak asasi manusia (Desember
1948). Mau tidak mau, kemajuan yang dicapai pada tatanan internasionol ini
telah menciptakan suatu situasi yang menguntungkan bagi perlindungan hak
masyarakat hukum adat ini pada tataran internasional.
Di Indonesia, peluang untuk memberikan perlindungan konstitusional
yang lebih kuat terhadap masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya ini
baru terbuka dalam era reformasi. Perlindungan terhadap masyarakat hukum
adat ini secara kronologis tercantum dalam pasal 41 ketetapan MPR Nomor TAP
XVII/MPR/1998 Tentang hak asasi manusia, pasal 6 Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan dalam Pasal 19 B ayat (2) serta
Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua tahun 2000.
dengan kata lain, visi kenegaraan para pendiri bangsa tentang pentingnya
penghormatan terhadap semangat paguyuban yang antara lain terkandung pada
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
tatanan masyarakat hukum adat pada tahun 1945 itu baru dapat dituangkan ke
dalam instrumen hukum positif setelah berlalu waktu selama 53 tahun dan
setelah terjadi goncangan besar dalam kehidupan politik dan kehidupan
ekonomi.
Walaupun demikian, pengakuan yuridus konstitusional terhadap
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya terebut tidaklah dapat di
tindaklanjuti secara serta marta, oleh karena itu keseluruhan sistem hukum
positif nasional yang berkembang selama lebih dari setengah abad bukan saja
tentang tidak memberi legal standing kepada masyarakat hukum adat, tetapi
juga telah mengeluarkan demikian kebijakan, peraturan, serta keputusan yang
secara efektif telah menghasilkan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisional itu. Sebagai akibatnya, telah terjadi demikian banyak konflik, sebagian
di antaranya telah menimbulkan Korban nyawa, terutama berkisar pada masalah
pertahanan, antara masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga, baik dengan
institusi pemerintahan sendiri maupun dengan perusahan-perusahan swata yang
memperoleh berbagai bentuk perizinan untuk mempergunakan tanah ulayat
masyarakat hukum adat dari institusi pemerintahan tersebut.
Sesuai dengan tujuan pembentukan Komosi Nasional Hak Asasi Manusia
yang tercantum dalam Pasal 75 Undang-undang No. 29 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manuisa, dan telah mengadakan penataan kembali organisasi sejak
bulan juni tahun 2004, Komisi Hak Asasi Manusia cq Sub Komisi Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya telah memasukkan tema perlindungan masyarakat hukum
adat ini ke dalam program kerjanya, dan untuk itu telah menugaskan seseorang
komesioner untuk menengani dan menindak lanjuti tema ini.
Sehubungan dengan itu, bekerja sama dengan rekan-rekan komisioner di
Sub Komisi Hak sipil dan Politik dan Sub Komisi Perlindungan Kelompol Khusus,
serta dengan berbagai stakeholders laninya dalam lembaga-lembaga Negara
dan dalam masyarakat, sejak bulan juni 2004 tersebut Sub Komisi Hak Ekonomi,
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
nenek moyang yang sama, dan mempunyai budaya yang khas yang ingin
mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun sejarah yang selanjutnya.
2. Rician Krteria
a. kretaria obyektif
1. merupakan komunitas antropologis, yang sedikit banayknya homogen.
2. mendiami dan mempunyai keterkaitan sejarah, baik lahiriah maupun
rohaniah suatu wilayah leluhur (homeland) tertentu atau , sekurang-
kurangnya dengan sebagain daerah tersebut.
3. adanya suatu Identitas dan budaya yang khas, serta sistem sosial dan
hukum yang
4. bersifat tredisional, yang sunguh-sungguh diupayakan mereka untuk
melestarikannya dengan berbagai upaya untuk tetap melestarikan.
5. tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik
yang ada tapi terkadang menjadi suatu kekuatan patrialis untuk
menyatukan suatu kekuatan politik dalam mengangkat derajat dan
martabat kaumnya dalam bidang politik dan ekonomi.
b. kriteria subyektif
1) Identifikasi diri (self Identification) sebagai suatu komunitas antropologi dan
Mempunyai keinginan yang kuat untuk secara aktif memilihara identitas diri
mereka
2) Dipandang oleh pihak lain di luar komunitas antropologi tersebut sebagai
suatu Komunitas yang terpisah.
Catatan
Dari sisi kewilayahan, suatu masyarakat hukum adat adalah berdiri
sendiri, tetapi dari segi kultural masyarakat hukum adat yang
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
1. Tinjauan antropologik
a. Masyarakat hukum adat dikepulauan Indonesia mempunyai latar
belakang sejarah serta kebudayaan yang sudah amat tua jauh lebih tua
dari terbentuknya kerajaan ataupun Negara Indonesia.
b. Secara historia warga masyarakat hukum di Indonesia serta etnik yang
melingkupinya sesungguhnya merupakan migran dari kawasan lainnya di
Asia, yaitu budaya berladang berpindah-pindah, petani sawah dengan
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
2. Kontak Dengan Dunia Barat: Dekrit Tordesilas doktrin 1494 rex nullius
dan Asas Regalia
a. Sestela Christopher Columbus ‘menemukan ‘ benua África pada tahun
1492, dengan Dekrit Tordesilas tahun 1994 kerajaan Portugal dan
Spanyol membagi dunia dalam dua wilayah pengaruh. Kepulauan
indonesia dinyatakan sebagai wilayah pengaruh kerajaan portugis, yang
baru datang kepulauan ini pada tahun 1511. sekadar catatan: kepulauan
Filipina dinyataka berada dibawah pengaruh kerajaan Spanyol.
b. Sesuai dengan doktrin rex nillius dan asa regalia yang dianut pada saat
itu, seluruh wilayah pengaruh tersebut dinyatakan secara sepihak
sebagai milik raja yang bersangkutan, termasuk wilayah kerajaan-
kerajaan tradisoinal serta tanah ulayat suku-suku bangsa indonesia.
Doktrin rex nillius dan asal regalia ini dilanjutkan oleh rangkaian kerajaan
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
sensus kedua ini menampilkan banyak data baru yang bukan saja
telah mengubah banyak asumís yang dianut mengenai masalah
etnik dan masyarakat hukum adat ini, tetapi juga mempunyai
implikasi ke bidang kebijakan, khusus kebijakan pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia yang menjadi tugas pokok
komnas HAM. Dari sensus tahun 2000 ini, dengan memakai tolok
ukur sel-identification, telah dapat dicatat adanya 1.072 buah
etnik atau suku bangsa. Hukum adat.
BAB II
PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT
2. Analisis Konseptual
a. Untuk mengatasi keterbatasan paradigma positivisme hukum dalam
memahami arti dan makna konsep dari pasal-pasal yang terdapat dalam
konstitusi dan undang-undang harus didalami paradigma dan ide yang
melatarbalakanaginya, bersamaan dengan selalu mengaitkan ide dan
konsep tersebut dengan kenyataan, serta meresapinya dengan empathy,
care, dan concern. Pasal-pasal undang-undang tidak dapat dipahami
suatu yang sudah selesai dan bersifat finite, tetapi sebagai sesuatu yang
selalu berproses. Sehubungan dengan itu, bersamaan dengan
melaksanakan hukum positif perlu diberikan perhatian yang seimbang
kepada pengembangan politik hukum dan konteks sosial-budayanya.
b. Dalam hubungan ini dikhawatirkan bahwa rangkaian refomasi yang
dicapai dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 baru terbatas
pada reformasi norma, dan belum menyatuh pada reformasi roh,dan
semangatnya.
c. Aliran positivisme dalam hukum ditengarai telah merupakan salah satu
penyebab dari tereliminasinya masyarakat hukum adat. Pada gilirannya
hai itu telah menimbulkan kerugian besar bagi negara, sehubungan
dengan lenyapnya faktor kendali sosial dalam menangani konflik,
hancurnya hutan, kerusakan lingkungan dan pemiskinan sosial maupun
ekonomis.
d. Perlu diakui, bahwa di lura otoritas konstitusi juga ada otoritsa hukum
lainnya, termasuk otoritas hukum adat, yang lebih berakar dalam
masyarakat. Lebih dari itu, hukum tidak boleh dipahami secara ststis,
tetapi harus secara dinamis.
e. Dalam hubungannya dengan konteks sejarah politik, adalah merupakan
kenyataan bahwa masyarakat hukum adat telah ada lebih dahulu dari
adanya negara. Berbeda dengan yang terbentuk secara artifisial,
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
masyarakat hukum adat tumbuh karena memang perlu ada dan bersifat
alami. Sedangkan menurut sejarahnya, negara lahir sebagai respon
terhadap industrialisasi dan kapitalisme,serta menuntut hegemoni
terhadap kekuasaan dan wilayah. Dalam konteks ini berkembang
penafsiran yang tidak tepat bahwa hukum adat dan masyarakat hukum
adat masih ada, jika diakui oleh negara.
f. Tuntutan hegemoni negara tersebut tidak selalu diterima oleh masyarakat
hukum adat, sehingga terdapat perimbangan dinamis, terkadang
dikotomis, antara kekuatan masyarakat hukum adat dengan kekuasaan
negara. Kalau kekuasaan masyarakat hukum adat melemah. Sebaliknya,
kalau kekuasaan negara melemah, hukum adat dan masyarakat hukum
adat akan menguat (stong state and weak society strong society and
weak state).
g. Empat persyaratan yurdis terhadap masyarakat hukum adat ditengarai,
dengan memandang hukum Negara dan hukum adat sebagai dua system
hukum yang distink. Hal ini sangat merugikan perlindungan masyarakat
hukum adat dan hak-haknya. Meskipun secara histories, mungkin oleh
pertimbangan etis atau oleh perimbangan pragmatis pemerintah colonial
Hindia Belanda justru mengakui masyarakat hukum adat tanpa
mengajukan syarat-syarat apapun juga. Masyarakat hukum adat tersebut
sebagai dorpsrepublieken (republic desa) yang selain mempunyai harti
kekayaannya sendiri juga berwenang mengatur dan mengurus rumah
tengganya sendiri.
h. Hal penting yang harus diperhatikan dan didorong dalam melihat
hubungan antara Negara dan masyarakat hukum adat adalah perinsip-
perinsip yang berkembang di lingkungan masyarakat hukum adat,yaitu:
(1) masyarakat hukum adat adalah unsure pembentuk bangsa karena itu
upaya perlindungan dan penghormatan bangsa karena harus diletakkan
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
BAB III
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
Grafik 2:
Jumlah Penduduk Berdasarkan Etnis
( Jiwa )
30.000 -
25.000 -
20.000 -
15.000 -
10.000 -
5.000 -
a.1. Tofografi
lereng dan ketinggian dari permukaan laut. Perbukitan terjal terdapat di sebelah
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
utara Kecamatan Lumbis dan Sebuku dan pada bagian tengah sedikit berbukit
sedangkan pada bagian timur dan selatan merupakan dataran rendah yang
Kecamatan Sembakung. Perbukitan terjal disebelah utara bagian barat pada tiga
lebih dari 30%. Pada daerah dataran tinggi kemiringan berkisar antara 8-15 %.
terdapat sungai utama yaitu Sungai Sembakung yang berasal dari sungai
terdapat juga sungai besar lainnya seperti sungai Sumalumung, Sungai Saludan,
besar adalah sungai Sabuluan dan sungai Mambulu serta sungai Tujung dan
a.2. Fisiografi
Agabag sebagian besar didomisili oleh satuan fisiografi gunung ( mountain) dan
dataran ( plain). Satuan fisografi gunung sebagian besar berada di bagian utara
dan barat yang memanjang dari Sabah Malaysia hingga Selatan Kecamatan
Sembakung
hutannya masih potensial, masih banyak hutan rimba yang belum di garap
jenis kayu komersial yang dominan dari beberapa kelompok hutan di tiga wilayah
kelompok rimba capuran dan kelompok kayu yang dilindungi. Untuk lebih
Tabel 4: Beberapa Jenis Kayu Hasil Hutan yang Dominan dan Mempunyai Nilai
Komersial
No Nama Perdagangan Suku/Famili Nama Botani
(!) (2) (3) (4)
I Dipterocarpaceae
1 Kapur Diptercarpaceae Dryobalanops Becarii Dyer
2 Majau Diptercarpaceae Shorea Seminis SI
3 Bengkirai Diptercarpaceae Shorea Laevis
4 Merawan Diptercarpaceae Hopea Sanga Korth
5 Giam Diptercarpaceae Cotylelobium spp
6 Keruing Diptercarpaceae Dipterocarpus Kutaianus V.SI
7 Meranti Batu Diptercarpaceae Shoera Sp
8 Meranti Merah Diptercarpaceae Shorea Leprosula Miq
9 Meranti Kuning Diptercarpaceae Shorea Sp
10 Melapi Diptercarpaceae Shorea lamellate Foxw
11 Mersawa Diptercarpaceae Hopea Spp
12 Tengkawang Sheora Pinanga Scheff
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
II Non Dipterocarpaceae
1 Agathis Araucariceae Agathis Becarii Warb
2 Durian Bombacaceae Durio Zibethinus Sp
3 Jelutung Apocynaceae Dyera Costulata
4 Merpayung Sterculiaceae Scaphium Macropodum J.B
5 Kulim Olacaceae Ccrodocarpus borneensis Becc
6 Membacang Anacardiaceae Mangifera Foetida Lour
selain itu hasil hutan non kayu adalah produk hutan non kayu yang
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dalam hal ini masyarkat Dayak Agabag
non kayu lainnya adalah sarang burung walet yang terdapat di gua-gua terutama
di daerah Kecamatan Sebuku, jenis hutan non kayu ini sangat penting untuk
keperluan masyarakat karena dapat menjadi sumber uang tunai (cash) bagi
mereka.
menjadi ada menurut mitologi yang hidup, berkembang dan diyakini oleh
masyarakat Dayak Agabag dari zaman dahulu sampai pada saat ini adalah
bersumber dari Tujuh Bersaudara yang di sebut sebagai Tulu Aga~aka. Tulu
Aga~aka sudah ada sebelum yang lain di dunia ini ada dan sebelum permulaan
dunia ini.
Dalam Mitologi Dayak Agabag mereka di yakini sebagai zat yang pernah
ada untuk membentuk semua yang ada di dunia ini ( Namisi da Tanah ). Dari
Tulu Aga~aka ini tiga di antaranya diketahui namanya yaitu Yaki Kaligot,
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
Apaling dan Alomod (kisah Tulu Aga~aka akan ditulis dalam buku tersendiri).
mereka bertujuh Yaki kaligot memilih bertahan untuk tinggal di daerah Dayak
Agabag. Yaki kaligot memiliki ukuran tubuh yang tinggi di perkirakan sekitar 20
meter dan hidup di daerah pegunungan hulu sungai yang Sekarang dikenal
sungai Sumalumung
hewan buruan di hutan Yaki Kaligot bertemu dengan seorang perempuan yang
memiliki tubuh besar juga yang bernama Yadu Kulimbong/Yadu Boton mereka
pun hidup bersama dimana daerah Dayak Agabag Belum ada satupun manusia
pada zaman itu. Begitu lama mereka hidup bersama akhirnya Yadu
dan anak kedua mereka seorang perempuan yang diberi nama Dalaaiti
Sekarang masih ada di daerah Sungai Sumalumung ) tak berselang lama Yadu
Yaki Sadol merupakan anak Yaki Pangimong dengan Dalaaiti. Yaki Sadol dalam
temurun dipercayai oleh orang Agabag terdapat bekas kaki Yaki Sadol dimana
sekarang dapat yang kita temui diatas batu-batu di wilayah Sungai Long Bulu.
Batu dan bekas kaki Yaki Sadol masih ada sampai saat ini.
Yaki Sadol memiliki istri bernama Yadu Polod, Yadu Polod berasal dari
tumbuhan Polod sendiri. Dalam sejarah Dayak Agabag, mulai pada zaman ini
manusia menggunakan api pertama kali. Yadu Polod memiliki anjing yang setia,
mencari makanan. Suatu ketika anjingnya ikut dengan Yadu Polod. Dalam
perjalanan tiba-tiba anjingnya menggonggong daun. Yadu Polod pun melihat dan
adalah daun ( Dayak Agabag memberi nama pada daun itu, Daun Apa, daun
Setelah itu Yadu Polod melanjutkan perjalanannya, tidak jauh dari tempat
semula dia mendapatkan Daun Apa. Anjingnya menggonggong lagi dan Yadu
Polod pun berkata dalam hati apa lagi yang digonggong anjingnya?. Yadu Polod
terdapat lumut yang mirip dengan kapas. Yadu Polod pun mengikisnya dari
anjing Yadu Polod menggongong lagi kali ini yang digonggong anjingnya adalah
batu putih, Yadu Polod pun memungut batu itu. Setelah sampai di rumah Yadu
polod bertanya dalam hatinya apa arti dan apa kegunaan dari semuanya ini?
Dalam tidurnya, Yadu Polod bermimpi bahwa itu adalah bahan untuk
menyalakan api dan Daun Apa sebagai penyedap rasa ( masih digunakan
petunjuk mimpinya ternyata terbukti dan pada saat itu mulailah masyarakat adat
Dayak Agabag mengenal adanya api. Tak lama kemudian Yadu Polod bertemu
dengan Yaki Sadol dan Yaki Sadol pun mengambil Yadu Polod sebagai istrinya.
Setelah sekian lama Yaki Sadol hidup bersama dengan Yadu Polod
mereka pun memiliki beberapa anak salah satunya bernama Yadu Bongon.
Yadu Bongon hidup bersama Yaki Sadol dan Yadu Polod, berbeda dengan
keluarganya yang lain. Setelah kedua orang tuanya meninggal hiduplah Yadu
Bongon sebatang kara tak tahu dimana sanak saudaranya yang lain.
sungai kecil. Suatu ketika Yadu Bongon mendapat udang sungai yang lebih
kelamaan tempat Yadu Bongon memelihara Gampasan tersebut tidak muat lagi,
maka Yadu Bongon pun melepaskan Gampasan tersebut ke sungai dan setiap
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
hari di beri makan. Suatu saat Gampasan itu bertarung dengan buaya kedua-
duanya mengalami luka yang serius dimana buaya kalah dan lari sementara
Gampasan naik di pinggir sungai dan mati. Setelah Yadu Bongon mengetahui hal
Pada suatu saat Yadu Bongon bermimpi dimana dia harus mengumpulkan
Ogong ). Tempayan itu diletakkan diatas kayu bakar yang berasal dari dahan
pohon rambutan lalu di bakar. Setelah bangun dari tidurnya Yadu Bongon pun
melaksanakan apa yang terdapat dalam mimpinya. Pada saat tengah membakar
Tempayan tempat tulang Gampasan dimasukkan Tempayan itu pecah dan pada
saat yang bersamaan berdirilah seorang laki-laki yang muda, kekar dan Yadu
Bongon memberi nama laki-laki itu Manigan. Setelah hidup bersama sekian
lama mereka memiliki banyak anak, Yaki Manigan dan Yadu Bongon memiliki
umur panjang. Pada zaman kejayaan Yaki Manigan banyak tantangan yang
Kusta ). Sejak Zaman kudong ini, anak cucunya Yaki Manigan terpencar ke
diri. Mulai pada zaman ini terjadi penyebaran Masyarakat Adat Dayak Agabag di
daerah pegunungan dimana pada masa itu cara mempertahankan hidup dengan
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
Setelah terpisah dalam waktu yang lama Dayak Agabag terjebak pada
Fase Mengayau ( Agaayou ), pada masa ini hiduplah beberapa orang pemberani
( Ulun Masioog ) diantaranya mulai dari Yaki Bumbulis, Yaki Sukat Balungkung,
Kalamuku Nansyak, Yaki Pangkayungon, Yaki Linggit, Yaki Lumbis, dan banyak
lagi Ulun Masiaoog lainnya yang tersebar di seluruh sungai yang ada di Kec.
Lumbis, Sembakung dan Sebuku ( Sekarang ini ) dan Sungai Sadimulut, bahkan
menegakkan Hukum Adat, dimana Ulun Masioog disegani oleh masyarakat yang
lain. Untuk menyandang gelar Ulun Masioog pada masa itu tidak semuda kita
bayangkan. Hal itu di ukur dari banyaknya kepala manusia yang di penggal,
apabila terdapat sesorang yang paling banyak dapat kepala dialah menjadi
Penamaan diri secara endonem adalah penamaan yang diri yang luhur
dan hakiki karena merupakan nama penamaan komunitas yang diwariskan oleh
leluhur secara lahiriah dan batiniah yang keluar dalam hati tanpa ada pengaruh
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
dari orang luar atau tidak berasal dari penamaan orang luar dari komunitas
cara hidup, hasil-hasil karya, nilai-nilai adat dari kehidupannya bersama alam
pada kegiatan berburu dan meramu dari gunung ke gunung (olot), dari sungai ke
Semanggaris yang hidup secara nomaden yang terjadi kurang lebih dari tahun
2500 sebelum masehi (SM) - 1650 masehi (M) di wilayah pulau borneo bagian
utara. Lahirnya peradaban hidup dayak Agabag oleh leluhur nenek moyang
dayak Agabag terjadi pada masa tahun 2500 sebelum masehi (SM), nenek
sungai Sembakung, sungai Sebuku, sungai Tulid, sungai Sadalid dan sungai
peradaban yang dilahirkan oleh nenek moyang dayak Agabag adalah bahasa,
sistem kepercayaan, seni kukuy (seni budaya), ritual dolop (hukum adat
menyelam dalam air untuk mencari kebenaran), ritual limbai atau talumaag
masyarakat hukum adat Dayak Agabag tergolong ras Proto Melayu (Melayu
Tua), yang hidup turun temurun dan beranak pinak diatas daratan pulau Borneo
bagian utara, sekitar tahun ± 2500 Sebelum Masehi, menurut Profesor KMA M.
sudah sampai dan menghuni Pulau Kalimantan (Usop, 1996: 8). Menurut
merupakan bagian dari keturunan (geneologis) Rumpun Murut yang ada di pulau
borneo bagian utara, hal itu terlihat dari sebaran wilayah (territorial) bahwa
masyarakat hukum adat Dayak Agabag satu wilayah (teritorial) sungai dan
yang sama dengan rumpun murut dalam hal bahasa, sistem kepercayaan,
merupakan bagian dari bangsa Dayak menurut ikatan wilayah (territorial) dan
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
menurut kesamaan kebudayaan, yang hidup turun temurun dan beranak pinak
diatas daratan pulau kalimantan sekitar tahun ± 2500 Sebelum Masehi (SM).
dalam kehidupan baloi abuat dan kehidupan kampung disetiap wilayah sungai
besar dan sungai kecil baik itu sungai besar dan sungai kecil di daratan pulau
borneo bagian utara pada wilayah sungai Sembakung, sungai Sebuku, sungai
Sungai Tadungus, Sungai Long Bulu, Sungai Sodongon, Sungai Taluan, Sungai
masyarakat hukum adat Dayak Agabag di wilayah sungai besar dan sungai kecil
melindungi untuk wilayah masyarakat hukum adat Dayak Agabag dari serangan
sebagai pemimpin wilayah yang disebut dengan “ulun masiog”, pada setiap olot
(gunung), gana (dataran), sungai besar dan sungai kecil di wilayah Dayak
Agabag di sungai Sembakung, sungai Sebuku, dan sungai Tulid, dan masa adat
antabug tersebut terjadi pada 1650– 1942. Turut pula mempengaruhi pola
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
Sembakung, sungai Sebuku, sungai Tulid adalah tradisi tumalun (berburu dan
meramu) dengan tujuan untuk mencari bahan makanan setiap hari ditengah
(ubi), bilod (padi). Berkaitan dengan identitas Dayak Agabag tersebut para
nenek moyang dayak Agabag merupakan sebuah sebutan endonem kuno diri
yang paling asli dan tertua sering digunakan nenek moyang dayak Agabag untuk
menamai atau menyebut diri mereak pada masa zaman kuno atau zaman batu
tahun 2500 sebelum masehi (SM)-1850 masehi (M), masa Antabug (Ngayau)
sungai Sembakung, sungai Tikung dan sungai Tulid, sungai Sebuku, sungai
Agabag dari waktu ke waktu pada masa lampau, bahwa penamaan dan atau
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
penyebutan identitas diri atau kedirian oleh nenek moyang dayak Agabag pada
masa lampau adalah “Agabag” kata Agabag adalah sebuah sebutan diri dalam
sungai Tikung, sungai Tulid secara endonem atau secara spontan yang lahir dari
sanubari para leluhur dayak Agabag tanpa pengaruh dari pihak luar.
sebagai penamaan diri yang menunjukkan identias diri mereka di masa lampau
dalam interaksi komunikasi manusia dayak Agabag yang masih hidup dengan
sang leluhurnya yang sudah meninggal dunia dengan menyebut diri Agabag
manusia yang hidup dengan leluhur nenek moyang yang sudah meninggal dunia
secara ikatan emosional-geneologis yang kuat pada masa itu dalam upacara
ada tamu atau orang Agabag yang datang berkunjung ke baloi abuat saudaranya
tuan rumah menyuruh salah satu keluarganya melihat di sungai siapa yang
datang maka salah satu orang pergi melihat di sungai untuk mempersilakan naik
lalu salah satu orang tadi menyampaikan bahwa yang datang itu orang Agabag
(atu ulun da tunon giano ile bai atu giano, am lakou kono nu dono agilong, am uli
kono kono da baaloi amala ulun Agabag nga giano atau yabag nga giano)”.
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
untuk menyebut diri dengan identitas Agabag dalam ritual memanggil dan
meminta izin dengan penghuni alam semesta dalam ritual “anyambah” dan pada
masa ini belum ada interaksi nenek moyang dayak Agabag dengan suku lain dan
belum ada pemerintahan yang berkuasa seperti Belanda, Jepang dan Indonesia.
Pada masa Antabug (Ngayau) sejak tahun 1650-1941 nenek moyang dayak
Agabag yakni para ulun masiog ketika pulang dari Antabug (Ngayau) mereka
dengan bahasa “akai no gitu ulun Agabag (yabag) nakaalap da ulu nu tabug
(inilah kami orang Agabag mendapatkan kepala manusia hasil dari Ngayau)”,
melakukan ritual pesta adat sebagai ucapan syukur karena dituntun oleh leluhur
puluh tujjuh) desa memiliki nama adat di wilayah adat dayak Agabag
Atulai. Artinya bahwa leluhur nenek moyang dayak Agabag dahulu mengikat
Agabag secara turun temurun melalui adanya nama imbalut setiap wilayah adat
desa di wilayah sungai besar yakni sungai Sembakung, sungai Sebuku, sungai
Tulid, sungai Sadalid dan sungai Sumalumung dan sungai Sumanggaris. Agabag
identitas (identity) kedirian oleh leluhur nenek moyang masyarakat hukum adat
Dayak Agabag, artinya bahwa leluhur nenek moyang masyarakat hukum adat
hukum adat Dayak Agabag, dimana sebutan Agabag itu sendiri oleh leluhur
nenek moyang Dayak Agabag menjadi satu istilah kuno sebagai ikatan, tanda,
kedirian diri sebagai satu keturunan (geneologis) dan satu wilayah (teritorial)
diri dari berbagai ancaman kehidupan pada masa kehidupan kuno, dimana
Identitas komunitasnya lahir dari lingustic artinya nama Dayak Agabag lahir dari
Agabag yang terbentuk oleh kekuasaan adat masyarakat hukum adat Dayak
Agabag sejak tahun ± tahun 2500 SM -1971 masehi (M).Sejak tahun 1971
masyarakat hukum adat Dayak Agabag yang berjalan sejak tahun 2500 SM –
1970 masehi sampai sekarang. Dimana kekuasaan adat pada masa kehidupan
desa tersebut di wilayah adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag tetap dan
adat Dayak Agabag dan nilai-nilai adat Dayak Agabag. Uraian diatas termuat
dalam Buku I Keputusan Adat Dayak Tentang Asal Usul Dayak Agabag halaman
1-63 dan Klarifikasi dan Penegasan Sejarah Sebutan Identitas Diri Dayak
Pangasaan. Karena kesuburan tanah dan kekayaan alam yang membuat Dayak
Agabag diserang dari berbagai penjuru mata angin dari suku lain karena ingin
Sodongon. Dari arah muara Sungai Sembakung yang masuk adalah yang
leluhur Dayak Agabag menyebutnya “Ulun Nu Ilui” dari Muara Sungai Sebuku
dan Semangaris Masuk Menyerang “Ulun Segai” dari arah timur masuk Tagalog
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
(tentara Kerajaan sulu), dari arah Utara “Ulun Salawak” dan dari arah Barat “Ulun
Putuk” dan Pada fase mengayau inilah para Ulun Masiog Dayak Agabag
membentuk pertahanan suku yang sangat ketat dimana pada masa itu setiap
orang yang tidak bisa berbahasa Agabag akan ’dipenggal” dan setiap muarah
sungai dikirim para pengintai, hingga hal ini yang membuat Dayak Agabag sulit
dimasakui dan akhirnya dapat mempertahankan suatu wilayah yang kaya dan
subur yang saat ini dikenal dengan istilah wilayah Kabudaya, tetapi setelah
dari “savety” pada masa itu berakibat buruk terhadap lambatnya perkembangan
Dayak Agabag dari berbagai sektor yang secara perlahan dan pati saat ini mulai
terus perbaiki.
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
(Dokumen Of Sebuku)
Pada masa perang Mengayau (Antabug) ini seluruh wilayah sungai besar
sungai Tulid, sungai Sadalid dan sungai Sumalumung dan sungai Sumanggaris
dijaga oleh nenek moyang dayak Agabag dengan menempatkan pemimpin “ulun
masiog” disetiap muara sungai yang dinilai merupakan jalur masuk orang dari
luar, sehingga selama masa serangan musuh Ngayau pada 1650-1900, hanya
sungai Sebuku, sungai Tulid, sungai Sadalid dan sungai Sumalumung dan
sungai Sumanggaris, karena suku lain sebagai musuh Antabug (Ngayau) yang
menyerang wilayah dayak Agabag masa itu sulit untuk melawan masuk ke
wilayah suku dayak itu Agabag. Hal ini diakui sendiri oleh Sultan Bulungan dan
dan Pangeran Anum meminta ijin kepada Sultan Alim Al-Din (Alimudin) kisah ini
empat jenis sumber sejarah: tulisan, lisan, benda, dan sumber visual. Tanpa
empat tahapan kerja yang perlu dilalui sejarawan, yakni tahapan heuristik atau
menjadi pembicaraan pada masa itu baik disampaikan melalui “mulut ke mulut”
atau Spirit atau semangat perdamaian Tumbang Anoi ini juga merupakan bagian
dari misi Belanda untuk melakukan hal yang sama di wilayah dayak lainnya.
Hukum Adat Dayak Agabag dari dulu hingga saat ini dan sedang diusulkan oleh
mejadi Cagar Budaya. Batu Pangasaan adalah nama sebuah Batu dan Giram
sekaligus hamparan pasir yang luas dan satu deretan dengan Giram Tunangon,
secara arafiah Pengasaan adalah kosa kata Bahasa Dayak Agabag berasal dari
yang merujuk pada mengasa Mandau dan Tombak, Batu Pengasaan terletak
dalam peta adat Desa Nantukidan yang merupakan batas wilayah adat desa
Nantukidan dan Labang tempat ini adalah menjadi saksi sejarah Dayak Agabag
tempat itulah digelar prosisi ritual adat perdamaian untuk menghentikan Agayou
(memengal kepala) yang dihadiri oleh seluruh Ulun Masiog Dayak Agabag
(Sabah), Sungai Pinango (Sabah) dan Sungai Kuamud (Sabah). Menurut tuturan
para orang tua dari cerita secara terun temurun Perdamian ini di perkasai oleh
beberapa Ulun Masing pada masa itu diantaranya Yaki Linggit (Nantukidan), Yaki
dan di hadiri oleh Yaki Tliason (Samunti), Yaki Ibit (Bantul), Yaki Balanai
(Suyadon), Yaki Bugangon (Sungai Sebuku), Yaki Kulumbus (Sungai Tulid), Yaki
Sukad Balungkung (Sungai Sumalumung), Yaki Bakie atau Ubong (Hulu Sungai
Perdamaian Batu Pangasan itu tak diketahui persis tanggal dan tahunnya
berdasarkan nama para leluhur tersebut dan generasi dari para pelaku sejarah
perdamaian tersebut terdapat 4-5 genarasi pada saat ini dan argumentasi ini
pada tahun 1907, setelah perang suku dalam sungai ini "aman" Belanda baru
berani masuk pada tahun 1907 hanya untuk mengumpulkan informasi awal saja
yang dipimpin oleh Kapitein Fischer Kapitein Fischer yang awalnya melalui
Pansiangan karena dia merasa perjalan “tidak aman” dan setelah turun dari
pembeliangan (die in 1907 aankwam bij de Sedalid rivier vanaf de top van de
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
informatie. De Sedalid rivier afvarend (Labang) ging hij de Jentjiangan rivier niet
op , meenende zich riet te dicht bij de grens te beyinden. (Dit bleek zeer juist
gezien te zijn. Daarna de Sembakoeng Afarend, ging hij over land naar
keamanan dari perang suku dan kondisi wilayah dinilai sudah aman maka
komite atau panitia dari Belanda melakukan rapat di Batavia (Jakarta) untuk
persiapan ekspidisi dan pada tanggal 28-31 April 1911 dimana masing-masing
anggota survie berangkat ke Surabaya dan 6-15 mei pemimpin ekspidisi pergi ke
tanjung selor dan untuk memperlancar survei Belanda membangun pos di Palaju
masih kosong tidak ada orang sehingga untuk menujang kelecaran ekspidisi
de lider en deleden resp. 31 en 28 April 1911 naar Soerabaja. Den Mei Vertrok
pada tahun 1913 dengan judul Uitzetiting Op Het Terrein Van De Tusschen Het
Terdapat tiga (3) fakta yang tak terbenatahkan terhadap validitas peristiwa
dapat dilihat saat ini dimana batu-batu itu terdapat bekas mengasa mandau
dan tombak yang terlihat tempat mengasa dalam kurun waktu yang lama,
karena temapt mengasa Mandau dan Tombak lah pula menjadi salah satu
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
pada masa itu sebagai tempatnya Tuluh Agaka (Tujuh Bersaudara) mengasa
tulang belikatnya Landak (Butun) untuk menebang Batu Punggul, dari Mitos
ini para Ulun Masiog saling bergantian untuk mengasa Mandau dan Tombak
di Batu tersebut karena mereka meyakini bahwa jika Mandau atau Tombak di
asa pada batu tersebut akan menjadi pembuka “Kebal” hingga saat ini
parang atau sejenisnya di Batu Pengasaan jika tidak dipakai untuk memotong
hewan hasil buruan, maka parang itu akan melukai kita sendiri jika dipakai
berkerja.
yang tentunya penuh dengan simbol-simbol adat pada masa itu diantaranya
melompati kerbau yang telah dibungkus dengan anyaman dari rotan dengan
perdamaian Tubah itu mereka rendam dimana air tubah itu menyerupai air
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
susu sebagai simbol perdamaian dan tidak akan ada lagi darah yang
kesepakatan itu ditutup dengan keputusan menikahkan adik laki-laki dari Yaki
Lumbis yang bernama Muntalan dari pihak “hilir” dengan Yadu Nyapoi adik
perempuan dari Yaki Angkawot dari Sungai Sumatalun dari pihak “hulu” dan
anak dari Muntalan dan Nyapoi adalah Yaki Gading dan saat ini ada adalah
Putih dan Awan Hitam” Sadjak ini merujuk bahwa mereka adalah keturunan
pengasaan saat ini masih ada dan mengetahui terhadap terjadinya peristiwa
tersebut.
suku Dayak, dimana Mengayau pada saat itu disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya:
satu wilayah adat atau untuk mas kawin (Mika Okosima, dokumen of
sebuku 1918).
Masa Penjajahan
wilayah Kalimantan Utara melalui pulau Tarakan pada tahun 1923 dengan
Belanda sejak penemuan minyak di pulau Tarakan tahun 1896 oleh perusahaan
melakukan ekspidisi sebagai mana laporan yang termuat Verslag Der Commisse
Simanggaris pada tahun 1907, setelah perang suku dalam sungai ini "aman"
Belanda baru berani masuk pada tahun 1907 hanya untuk mengumpulkan
informasi awal saja yang dipimpin oleh Kapitein Fischer Kapitein Fischer yang
Pansiangan dan Sembakung (Labang) namun Fischer tidak terlalu jauh mausk
ke sungai Pansiangan karena dia merasa perjalan “tidak aman” dan setelah
pembeliangan (die in 1907 aankwam bij de Sedalid rivier vanaf de top van de
informatie. De Sedalid rivier afvarend (Labang) ging hij de Jentjiangan rivier niet
op , meenende zich riet te dicht bij de grens te beyinden. (Dit bleek zeer juist
gezien te zijn. Daarna de Sembakoeng Afarend, ging hij over land naar
keamanan dari perang suku dan kondisi wilayah dinilai sudah aman maka
komite atau panitia dari Belanda melakukan rapat di Batavia (Jakarta) untuk
persiapan ekspidisi dan pada tanggal 28-31 April 1911 dimana masing-masing
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
anggota survie berangkat ke Surabaya dan 6-15 mei pemimpin ekspidisi pergi ke
tanjung selor dan untuk memperlancar survei Belanda membangun pos di Palaju
masih kosong tidak ada orang sehingga untuk menujang kelecaran ekspidisi
de lider en deleden resp. 31 en 28 April 1911 naar Soerabaja. Den Mei Vertrok
sungai Sebuku, sungai Tulid, sungai Sadalid dan sungai Sumalumung dan
sungai Sumanggaris, hal itu dapat dilihat dari seringnya tentara KNIL Belanda
masa itu tinggal di rumah-rumah panjang sebagaimana dikatakan G.N Appel The
Tulid Agabag no longer live in their traditional villages. Several years ago the
government brought them down from their traditional areas, many above difficult
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
rapids, and have aggregated them into three resettlement areas. While the
Dayak Agabag masih hidup “Savety ” bahkan masa itu Belanda juga dianggap
suku dayak Agabag sebagai bagian dari musuh dan bahkan beberapa serdadu
kampung pada masa itu sebagai pemberitahuan bahwa masih ada musuh yang
masuk ke wilayah Dayak Agabag yang model kulit dan rambutnya berbeda,
sehingga pada masa itu terdapat beberapa tentara KNIL Belanda dipenggal
kepala dan dilakukan pesta adat dengan memakan daging tentara Belanda masa
itu dalam pesta adat baloi abuat oleh suku dayak Agabag. Dalam perang pasifik
Jepang menyerang pasukan KNIL Belanda pada 11 januari 1942 selama satu
hari satu malam di pulau Tarakan, akhirnya pasukan Belanda KNIL menyerah
pada tanggal 12 januari 1942, maka pulau Tarakan sebagai ladang minyak yang
selama 3 (tiga) tahun, namun pada akhirnya ladang minyak pulau Tarakan
direbut oleh Australia pada bulan mei 21 juli 1945. Pada masa pertempuran
antara pasukan KNIL Belanda dengan pasukan tentara Jepang Right Wing Unit
dibawah Mayor Jenderal Sakaguchi tersebut, dimana pada masa itu wilayah
udara dari pulau Tarakan untuk menghalau pasukan KNIL Belanda, dengan
wilayah sungai Sembakung, sungai Tikung, sungai Tulid, sungai Sebuku, sungai
baloi abuat (rumah panjang) dayak Agabag di bom oleh pesawat-peswat tempur
Jepang melalui serangan udara pada masa itu dan tidak sedikit warga
masyarakat dayak Agabag meninggal dunia dan luka-luka dalam serangan udara
Jepang tersebut.
(1) (2)
Masa Penjajahan Jepang Masyarkat mulai kembali ke tepi sungai
Masyarakat Dayak Agabag menjadi budak oleh
jepang
Dayak Agabag melakukan perlawanan
terhadap Jepang oleh dengan cara gereliya
( Daerah Sumalumung, Sumentobol dan
Labang)
Masyarakat Dayak Agabag diburu oleh Jepang
sehingga mereka lari lagi kehulu-hulu sungai
Masa Kemerdekaan Masyarakat Dayak Agabag mulai berkelompok
dan membangun rumah panjang di pinggir
sungai
Masyarakat mulai tau teknik berniaga dengan
cara barter
Hasil hutan yang mereka jual adalah Damar,
Tengkawang, Minyak Kapur dan Rotan untuk
ditukarkan dengan garam dan gula
Penguasa kampung adalah Ketua adat
(1) (2)
Kabupaten Bulungan dimekarkan
sehingga terbentuk Kabupaten Nunukan
dan Kecamatan Lumbis, Kecamatan
Sembakung dan Kecamatan Sebuku
masuk wilayah Kabupaten Nunukan
Pemerintah Kabupaten Nunukan
mengeluarkan Peraturan daerah tentang
kreteria Hak Ulayat
Intelektual Dayak Agabag sudah mulai
terpolarisari
Mulai genarasi Dayak Agbag Kuliah
Pengkajian terhadap Dayak Agabag
Ilau dilaksanakan
Sumber: Data Primer, diolah 2007
kawasan sekitar daerah aliran sungai karena kawasan tersebut sangat subur.
Selain usaha tani masyarkat juga melakukan usaha ikan dan menanam tenaman
Hanya memili lahan yang subur di pinggiran sungai dan hanya untuk
Memungut hasil hutan dan memburu hewan yang dianggap sebagai hama
tanaman
kondisi lingkungan.
penggunaan lahan.
dan Kakau
2 Perikanan Jelawat, Gedawang dan Subsitem
Selaung
3 Meramu Madu, Durian, Komersil
Cempedak, Gaharu,
bebek
5 Berburu Rusa dan Aneka Burung Subsistem
ladang Hutan/Ulayat
Sistem Pemanfaatan Individu dan Rumah tangga Masyarakay Adat/Ulayat
Sumber Penguasaan Membuka Hutan dan Tanah Ulayat
Pewarisan
Luas Penguasaan 0,5 – 1,5 Ha/KK Puluhan-Ribuan Hektar
Batas Penguasaan Tanaman Kehidupan Batas alam (Sungai, Bukit
dan Gunung )
Agabag
oleh hukum yaitu hukum adat. Hukum adat memegang peranan penting bagi
Hukum adat Dayak Agabag sudah berlangsung dari nenek moyang masyarakat
Dayak Agabag dan di teati oleh masyarakat Dayak Agabag samapi sekarang.
Pelestarian hukum adat dari awal samapi sekarang dengan cara meningat setiap
permasalahan yang diselesaikan dan apabila hal tersebut terjadi lagi baik
kepada orang yang sama atau pada orang lain putusan atau denda yang pernah
dijatuhkan kepada orang yang terdahulu akan diambil acuan untuk mejatuhkan
denda, hal ini juga tergantung dengan wilayah ketua adat atau ketua adat besar
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
yang memutuskan. Hal ini terungkap dengan wawancara penilis dengan ketua
” Akay ulun Agabag sinono ukum may intad da matuo dali tiap nu ulusan lo am
asil nu putusan lo apanayan nu ulun suang jadi pas sino kejadian po am ukumon
ilain masala no atuki agat atau alangka misal no sino kesalahan nu dono ulun
antakou da buah nu ulun bokon dan napanayan ulun gino ukumon dengan
permasalahn gino terjadi baik yo da ulun yang anggilad atau ulun bokon putusan
gino akan pakaion sobob putusan pagulu ili berhasil menyelesai da masalah jadi
maka no putusan TAK gino tiluin may daino tu” maka no akai mengharap supaya
Wawancara 2008)
( Kami Dayak Agabag sudah ada Hukum adat dari nenek moyang kami dulu,
setiap kasus dan berhasil mereka selesaikan putusan denda yang mereka
jatuhkan dulu akan kami pakai sekarang seberapa besar denda yang mereka
putuskan akan kami ikuti. Biasanya putusan terhadap suatu masalah diketahui
oleh kelahyak ramai. Misal ada suatu kasus orang mencuari buah dikebun orang
lain dan dan terbukti rang tersebut mencuri akan di denda dengan Ayam Putih
hal ini biasanya di lihat dari berat dan ringannya kasus dan putusan ini akan kami
juga lakukan pada kasus yang serupa karena kami yakin bawa putusan yang
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
dulu berhasil mendamaikan, makanya kami mengharap agar hukum adat ini
Agabag hal terlihat pada banyaknya kasus yang diselesaikan oleh lembaga adat.
Pembunuhan Ambasa
Pencurian Antakow
Penghiaan Aguyai
Perselingkuhan Antongoi/Akatongoi
Dalam penelesayan suatu kasus denda akan ditentukan oleh ketua adat
dan apabila pada suatu kasusu lembaga adat mengelami kebuntuhan dalam
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
menyelesaikan dikernakan orang yang bersalah tidak mengaku dan adat sulit
untuk membuktikan karena tidak ada saksi dan bukti yang kuat, dalam
masyarakat Dayak Agabag masih ada hukum tertinggi yang tidak diselesaikan
oleh Ketua Adat atau Kepala Adat Besar atau pun anggota masyarakat teapi
diputuskan oleh kekeuatan Alam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tebel
berikut :
Tabel 6. Hukum Adat Dayak Agabag Yang Memiliki Kekuatan Hukum yang Tertinggi
Dalam hukum adat ini apapun yang putusannya itulah yang akan diterima
oleh masyarakat tanpa menggugatnya. Untuk Dolop dan Tugi apabila sesorang
bersalah melalui dengan kedua hukum tersebut tidak adalagi namanya denda
adat tetapi yang ada ”Taruhan” antara yang orang yang menudu dan dituduh
sedangkan hukum sumpah tidak ada denda ataupun taruhan karena hukum ini
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
Dalam hukum adat dolop apapun yang putusannya itulah yang akan
diterima oleh masyarakat tanpa menggugatnya. Untuk Dolop dan Tugi apabila
sesorang bersalah melalui dengan kedua hukum tersebut tidak adalagi namanya
denda adat tetapi yang ada ”Taruhan” antara yang orang yang menudu dan
dituduh sedangkan hukum sumpah tidak ada denda ataupun taruhan karena
hukum ini menjaminkan nyawa dengan denda meninggal dalam jangka waktu
tahun 1987 hingga tahun 2019, telah terjadi beberapa penerapan hukum Adat
diselesaikan melalui hukum adat Dolop artinya kearifan lokal budaya ini Dayak
Agabag yang menjaga dari para leluhurnya dan melestarikanya hingga pada
saat ini, selain itu pelaksanaan hukum adat dolop ini adalah bentuk eksistensi
pelaksanaan Hukum Adat Dolop ada beberapa Dolop yang menyita perhatian
besar yang melibatkan kehadiran oleh negara yang direfresentasi oleh pihak
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
berikut:
1. Pelaksanaan Hukum Adat Dolop antara Yagai dari desa Ubol Alung
dengan Yanseng dengan pembaca Uwok Kepala Adat Desa Ubol Alung
2. Dolop antara Yamad dari desa Ubol Alung dengan Pajak pada tahun
2002, dengan pembaca Uwok Injam penyesaian atas perkara Goa Sarang
Burung.
menuduh Antang “menganggu” isterinya karena tidak ada saksi dan kedua
diputuskan oleh “hakim tertinggi” dalam hukum adat Dayak Agabag yaitu
ditengani polisi selama 2 bulan tetapi tidak ada titik terangnya maka pihak
dengan keputusan Lembaga Adat Dayak Agabag Lumbis Hilir pada tahun
(Roben Yangkat dan Samadik) yang disaksikan oleh Dewan Adat Dayak
melakukan hukum adat Dolop yang diputuskan oleh seluruh kepala adat
(Mantra) Pabilik
difasilitasi oleh Dewan Adat Dayak Agabag (Roben Yangkat) dan Ketua
Komando Pertahanan Adat Dayak Agabag (Bajib Misak) yang dihadiri oleh
Hukum Adat Dayak Agabag. Ikatan batin yang dimaksud adalah karena di hutan
” Hak Wilayat gino sadjio nu tanah baya di katanan tinatangan numatuo dali
ditaka. Tana gino sino hubungan no dito sobob da daerah gino intokon taka
Selain hal diatas, hak ulayat pada dasarnya adalah milik bersama oleh
bersamaan dengan adanya desa maka mereka membagi hak ulayat tersebut
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
untuk menjadi hak ulayat masyarakat Dayak Agabag yang tinggal pada masing-
masing desa. Dan perlu diketahui keberadaan desa di daerah Dayak Agabag
memiliki asal usul sesuai dengan adat istiadat dimana nama desa merupakan
nama tanah atau daerah asal masyarkat tersebut meskipun mereka di relokasi
oleh pemerintah pada lain tempat. Sebagai contoh kasus pada tagun 1981 –
Liang, Tubus, nainsid, Ngawol, Sumantipal, Nantukidan, Bulu Laun Hilir dan
lainnya di pindahkan dari tempat asalnya ke Lokasi Intin dan beringin tetapi
nama desa tersebut diatas tetap dan nama desa ini adalah nama sungai atau
tanah adat asal mereka dan masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag sangat
di daerah tersebut sebelum ijin kepada ketua adat mereka. Hal ini tergambar
pada kehidupan sehari hari, dimana masyarakat desa lain yang ingin mencari
ikan atau mencari hewan buruan di Sungai Sumalumung, Samalat atau Saludan
atau wilayah Adat desa lain walupun sesama masyarakat Hukum Adat Dayak
Agabag harus mendapatkan ijin dari ketua adat desanya dan apabila tidak ada
ijin msayarakat desa tersebut akan mendenda orang tersebut sesuai dengan
hukum adat Dayak Agabag. Selain itu hukum adat Dayak Agabag juga mengatur
penggunan lahan. Apabila masyarakat lain desa masuk atau meminta wilayah
adat desa tertentu untuk dimiliki karena mungkin didesa asalnya diusir atau lari
yang punya wilayah dalam bahasa daerahnya (Ulipon). Ulipon tersebut harus
mengabdi kepada masyarakat desa tersebut dan menjadi orang yang harus
sepanjang hidupnya. Selain itu kalau salah satu masyarakat dari desa lain ingin
meminjam wilayah adat desa lain untuk berladang atau berkebun yang sifatnya
sementara orang yang memijam lahan tersebut harus membayar dengan 1 ekor
Sapi dan manik lama 12 pasang dalam bahasa daerahnya disebut (Bungkas
Sangabitan) hal tersebut dilakukan apabila lahan yang dipinjam adalah berupa
yang dipijam adalah hutan jagau atau sudah pernah digarap biasanya orang
yang meminjam hanya membagi hasil kepada masyarakat yang punya yang
hukum adat terhadap orang luar terdapat juga hukum yang tidak tertulis tetapi
menggunakan duluan suatu lahan berarti itu sudah tidak dapat diganggu oleh
orang lain dan diakui oleh ketua adat dalam bahasa daerahnya di sebut
(Taluun/Gima). Dari uraian diatas jelas bahwa masyarakat hukum Adat Dayak
Karena dalam hukum adat masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang berlaku
yang bukan Dayak Agabag tetapi tinggal atau yang berdomisili diwilayah adat
masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag. Sebagai contoh orang yang bersuku
berladang tanpa sepengetahuan orang yang punya wilayah adat, begitu pula
dengan orang luar seperti orang bugis, jawa atau Timur ayng tinggal di wilayah
adat Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag akan menjadi objek dari pada
Pembagian wilayah adat pada Kecamatan Sebuku di bagi dalam dua wilayah
adat Besar wilayah adat besar sungai Tikung dan Sungai Tulid sedangkan untuk
Kecamatan Sembakung hanya satu wilayah adat besar dan Kecamatan Lumbis
di bagi dalam tiga wilayah adat besar yaitu Lumbis Hulu, Lumbis Tengah dan
Lumbis Hilir. ( Yang sekarang dimekarkan Lumbis terbagi dua dengan Lumbis
Pada masing-masing wilayah adat ini hukum adatnya hanya satu yaitu
hukum adat Dayak Agabag hal ini di pengaruhi oleh kepatuhan masyarakat
Dayak Agabag terhadap hukum adatnya. Selain kepala adat besar pada setiap
desa juga terdapat ketua-ketua Adat Desa. Di zaman yang kian hari kian
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
berkembang hukum adat tetap memiliki eksistensi ditengah masyarakat hal ini
terlihat dengan keberadaan kepala-kepala adat besar, ketua adat desa dan tokoh
massyarakat. Dalam hukum adat selsilah penegaknya akan terus lestari seperti
silsilah nenek moyang dari pada masyarakat Tulid di sungai Tikung yaitu
Pangiran Yaki Limbus setelah itu diturunkan kepada Pangiran Yaki Idong setelah
itu Pangeran Yaki Tinunggung disusul Pangeran Yaki Lipai dan Terakir Yaki
Batulis. Sedangkan untuk Sungai Tikung Keta Adat Besar secara berurutan di
besar di bagi dalam tiga wilayah adat besar. Ketua adat besar Lumbis Tengah (
Pangeran Bakumpul ) dan Ketua adat besar Lumbis Hilir ( Pangeran Pantalon ).
oleh Bapak Pangasilan. Pengangkatan ketua adat besar ini bisa secara
demokrasi bisa juga turun temurun, dalam hal ini ketua-ketua adat besar di
Kecamatan Lumbis dan Sembakung adalah keturunan dari Pangeran Taali dan
sangat dihormati dan dipatuhi tergantung jenis perkara yang diselesaikan adat,
historis batas adat desa tersebut dan pada waktu tertentu seluruh ketua adat
baik ketua adat desa maupun ketua adat besar melakukan pertemuan yang
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
dinama ILAU DAYAK AGABAG guna membahas hukum-hukum adat dan cara
Ketua Adat Ketua Adat Ketua Adat Besar Ketua Adat Ketua Adat Besar Ketua Adat
Besar Lumbis Besar Lumbis Lumbis Hulu: Besar Tikung: Besar Tulid
Hilir: Tengah: Sekretaris Pantau Sembakung: P. H. Ismail Sukiam
P. Pantalon P.Bakumpul Pangasilan
Garis Konsultasi
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
BAB IV
Hukum Adat Dayak Agabag. Ikatan batin yang dimaksud adalah karena di hutan
” Hak Wilayat gino sadjio nu tanah baya di katanan tinatangan numatuo dali
ditaka. Tana gino sino hubungan no dito sobob da daerah gino intokon taka
Selain hal diatas, hak ulayat pada dasarnya adalah milik bersama oleh
bersamaan dengan adanya desa maka mereka membagi hak ulayat tersebut
untuk menjadi hak ulayat masyarakat Dayak Agabag yang tinggal pada masing-
masing desa. Dan perlu diketahui keberadaan desa di daerah Dayak Agabag
memiliki asal usul sesuai dengan adat istiadat dimana nama desa merupakan
nama tanah atau daerah asal masyarkat tersebut meskipun mereka di relokasi
oleh pemerintah pada lain tempat. Sebagai contoh kasus pada tagun 1981 –
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
Liang, Tubus, nainsid, Ngawol, Sumantipal, Nantukidan, Bulu Laun Hilir dan
lainnya di pindahkan dari tempat asalnya ke Lokasi Intin dan beringin tetapi
nama desa tersebut diatas tetap dan nama desa ini adalah nama sungai atau
tanah adat asal mereka dan masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag sangat
di daerah tersebut sebelum ijin kepada ketua adat mereka. Hal ini tergambar
pada kehidupan sehari hari, dimana masyarakat desa lain yang ingin mencari
ikan atau mencari hewan buruan di Sungai Sumalumung, Samalat atau Saludan
atau wilayah Adat desa lain walupun sesama masyarakat Hukum Adat Dayak
Agabag harus mendapatkan ijin dari ketua adat desanya dan apabila tidak ada
ijin msayarakat desa tersebut akan mendenda orang tersebut sesuai dengan
hukum adat Dayak Agabag. Selain itu hukum adat Dayak Agabag juga mengatur
penggunan lahan. Apabila masyarakat lain desa masuk atau meminta wilayah
adat desa tertentu untuk dimiliki karena mungkin didesa asalnya diusir atau lari
yang punya wilayah dalam bahasa daerahnya ( Ulipon ). Ulipon tersebut harus
mengabdi kepada masyarakat desa tersebut dan menjadi orang yang harus
sepanjang hidupnya. Selain itu kalau salah satu masyarakat dari desa lain ingin
meminjam wilayah adat desa lain untuk berladang atau berkebun yang sifatnya
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
sementara orang yang memijam lahan tersebut harus membayar dengan 1 ekor
Sapi dan manik lama 12 pasang dalam bahasa daerahnya disebut (Bungkas
Sangabitan) hal tersebut dilakukan apabila lahan yang dipinjam adalah berupa
yang dipijam adalah hutan jagau atau sudah pernah digarap biasanya orang
yang meminjam hanya membagi hasil kepada masyarakat yang punya yang
orang luar terdapat juga hukum yang tidak tertulis tetapi dihormati terhadap
penggunaan lahan kepada masyarakat desa yang punya wilayah adat dimana
lahan berarti itu sudah tidak dapat diganggu oleh orang lain dan diakui oleh
ketua adat dalam bahasa daerahnya di sebut ( Taluun/Gima). Dari uraian diatas
masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang berlaku secara universal kepada
masyarkat Dayak Agabag termasuk masyarakat lain yang bukan Dayak Agabag
tetapi tinggal atau yang berdomisili diwilayah adat masyarakat Hukum Adat
Dayak Agabag. Sebagai contoh orang yang bersuku Dayak Lundayeh di daerah
orang yang punya wilayah adat, begitu pula dengan orang luar seperti orang
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
bugis, jawa atau Timur ayng tinggal di wilayah adat Masyarakat Hukum Adat
Dayak Agabag akan menjadi objek dari pada Hukum Adat tanpa kecuali.
a. Nama dan Dasar Hak Ulyat Dayak Agabag Menurut Hukum Adat
Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag
Berdasarkan pada hukum adat Dayak Agabag secara terun tenurun
nama Hak Ulayat Dayak Agabag ( Ilau Dayak Agabag di Kelompok Intin ) adalah
TANA NU AKION yang memiliki arti suatu luasan wilayah dimana suku Dayak
Agabag hidup secara terun temurun dari nenek moyang (tanah nayagan nu Ulun
Agabag intad da akion ili) hal ini di dasarkan pada ;
1. Setiap itakau angkibala da woktu makau da katanaan aguyum da kiyum
baya da inakano bokon da katanaan ulun matuo intad di takau pasti
minagu gitu no tanah nu akion ili.
(Setiap kita bertanya kepada kita kehutan mencari nafka orang tua dan
nenek kita bilang kita mencari di sini karena inilah tanah/wilayah nenek
moyang kita)
2. Atu yak bengalan da Ulun Agabag kano pembatasan da masalah nu
tanah untuk intokon aguyum da bayag namun kano terlepas akiijin da
Ukum nu Adat da mengenai da pembatsan da tanah adat masing-masing
nu pagun yang pongo senepakati.
( Semua masyarakat Dayak Agabag dapat mencari nafka dimana saja
diluasan cakupan wilayah Dayak Agabag asal meminta ijin kepada
masyarakat yang punya wilayah adat sesuai dengan hukum adat Dayak
Agabag)
Dasar Kongkrit Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang tidak
bisa di pungkiri adalah hal-hal berikut ini :
a. Hak Ulayat secara adat sudah ada dari jaman dahulu.
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
BAB I
NAMA-NAMA HUKUM YANG MENGATUR TENTANG PENGUASAAN HUTAN
ADAT
Pasal 1
Tanu/Tandu
Tanu/Tandu adalah suatu tanda yang di tujukan kepada penguasaan hutan adat
dalam artian bahwa telah direncanakan suatu luasan wilayah untuk di
manfaatkan
Pasal 2
Bati/Babat
Bati/Babat adalah sesuatu yang di akui oleh masyarakakat Hukum Adat Dayak
Agabag mengawali kepemilikan perseorangan dari tanah adat
Pasal 3
Lolot
Lolot adalah suatu batas wilayah adat satu desa dengan desa yang lain yang
terdiri dari dua macam yaitu:
a. Batas Alam : dapat berupa olot ( Pegunungan), Batu, Sungai, Igot dan
Pohon .
b. Batas Buatan : Kayu Ulin atau jalanan lintas batas.
Pasal 4
Giman/Gimbaan
Giman/Gimban adalah suatu luasan hutang yang masih perawan dan belum
pernah dikelola dan masih di miliki kolektif
Pasal 5
Tabong
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
Suatu kewajiban yang berupa pajak kepada siapa saja yang mencari hasil hutan di
suatu wilayah adat Dayak Agabag
BAB II
JENIS HASIL HUTAN YANG DI LINDUNGI
Pasal 6
Jenis tanaman yang di lindungi dan dapat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari
adalah Daun Apa, Bantudu, Limpasu, Manging, Bunatol, Paluon, Labungan,
Tamaka Angi, Silad, Iluy, Meranti, Kapur, Tengkawang, Sadaman, Mangagis,
Ulapiu, Palaju, Pugi, Totungon, Buntung, Pulutan, Kalulaw, Dumokot, Kulibon,
Kalamuku, Te, Pamutodon, Kilamu/Kayabon, Inangai, Luas, Lampun,
Sangkulapa, Sakut, Tunyok, Panjuga, Pampalang Talisoy, Timbua, Lasing,
BAB III
LARANGAN
Pasal 7
Dilarang meramba hutan tanpa ijin dari ketua adat masyarakat hukum adat
Dayak Agabag setempat
Pasal 8
Dilarang membakar hutan tanpa ijin dari ketua adat masyarakat hukum adat
Dayak Agabag setempat
Pasal 9
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
Dilarang memburu atau mencari ikan tanpa ijin ketua adat masyarakat hukum
adat Dayak Agabag setempat
Pasal 10
Dilarang mencari atau mengumpul hasil hutan tanpa ijin ketua adat masyarakat
hukum adat Dayak Agabag setempat
Pasal 11
Dilarang menjual tanah adat tanpa ijin ketua adat masyarakat hukum adat Dayak
Agabag setempat
Pasal 12
Dilarang memberi tanda berupa ( Lolot, Tanu, Bati dll ) di suatu batas wilayah
adat desa dengan desa yang lain tanpa persetujuan kedua belah pihak terlebih
dahulu
Pasal 13
Dilarang menggunakan kekarasan, mengancam dalam menyelasaikan suatu
sengketa batas arel Hak Ulayat
Pasal 14
Dilarang meramba atau menebang pohon di areal GUA SARANG BURUNG
WALET masyarakat hukum adat Dayak Agabag sejauh 1KM ke seluruh penjuru
mata angin dari Gua Sarang Burung Walet
BAB IV
SANKSI-SANKSI
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
Pasal 15
Jika terdapat seseorang atau kelompok orang meramba hutan tanpa ijin dari
ketua ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat maka akan di
denda 1 ekor sapi setiap ektarnya ( Salalab ) atau 2 Guliyabay Alagang tiap
ektarnya
Pasal 16
Jika terdapat seseorang atau kelompok orang membakar hutan tanpa ijin dari
ketua adat dan mengakibatkan kerusakan hutan masyarakat hukum adat Dayak
Agabag setempat maka akan di denda melakukan penanaman kembali dan
membayar denda e ekor sapi kepada pemilik lahan atau hutan
Pasal 17
Jika terdapat seseorang atau kelompok orang memburu atau mencari ikan tanpa
ijin ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat maka hasil yang
di peroleh akan disita dan didenda 1 buah Guliyabai Alagang
Pasal 18
Jika sesorang atau kelompok orang mencari atau mengumpul hasil hutan tanpa
ijin ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat maka :
a. Jika Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang melakukan
pelanggaran maka hasil yang di peroleh disita seluruhnya dan didenda
1 Guliyabai Alagang
b. Jika yang melakukan pelenggaran bukan masyarakat Hukum Adat
Dayak Agabag maka hasil yang diperoleh akan disita dan didenda 10
kali lipat dari hasil yang diperoleh serta 2 buah Guliyabay Alagang.
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
Pasal 19
Jika terdapat orang/kelompok orang yang menjual tanah adat tanpa ijin ketua
adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat maka;
a. Jika yang menjual salah satu anggota masyarakat hukum Adat Dayak
Agabag maka orang tersebut di larang lagi untuk merimba atau
membuka lahan baru
b. Jika yang menjual orang lain dengan tidak memiliki surat-surat
kepemilikan sah secara Hukum Adat atau pun secara Hukum Positif
maka orang tersebut didenda 10 ekor sapi dan tanah yang dia jual
akan diambil kembali oleh Lembaga Adat Dayak Agabag.
Pasal 20
Jika terdapat orang atau kelompok orang yang memberi tanda berupa ( Lolot,
Tanu, Bati dll ) di suatu batas wilayah adat desa dengan desa yang lain tanpa
persetujuan kedua belah pihak terlebih dahulu maka yang memberi batas di
anggap menyerobot dan didenda 1 ekor sapi dan 1 buah Guliyabai Alagang
Pasal 21
Jika terdapat seseorang atau kelompok yang menggunakan kekarasan atau
mengancam orang lain ( sesama masyarakat hukum Adat Dayak Agabag )
dalam menyelasaikan suatu sengketa batas arel Hak Ulayat maka akan didenda
3 ekor sapi dan 2 buah guliyabai Alagang
Pasal 22
Jika terdapat orang atau kelompok orang atau badan hukum usaha yang
meramba atau menebang pohon di areal GUA SARANG BURUNG WALET
masyarakat hukum adat Dayak Agabag tanpa ijin dan melewati ketentuan 5 KM
ke seluruh penjuru mata angin dari Gua Sarang Burung Walet maka akan di
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
denda membayar seluruh penghasilan dari pada isi Gua Sarng Burung Walet
tersebut.
BAB V
PENYELESAIAN SENGKETA BATAS AREL HAK ADAT
Pasal 23
Apabila terdapat perseorangan atau kelompok masyarakat masyarakat hukum
adat Dayak Agabag yang tidak jelas atau memperebutkan batas hak adatnya
dengan batas hak adat kelompok masyarakat yang lainnya maka akan dilakukan
tahapan sebagai berikut:
a. Ketua Lembaga Adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag yang
kelompoknya bersengketa segera melakukan pertemuan untuk
membahas pembagian wilayah atau batas antar kelompok tersebut
secarah masyawarah dan kekeluargaan.
b. Mensosialisasi hasil kesepakatan tersebut kepada anggota
masyarakat adat
c. Arel yang di sengketakan dapat di jadikan hutan kas atar kedua
kelompok apabila di sepakati.
d. Apabila tidak ada kesepakatan atar ketua adat yang batasnya
bersengketa maka permasalahan dapat di ajukan kepada Adat Besar
di wilayah Masing-Masing.
e. Kepala Adat Besar segera melakukan pertemuan membahas
permasalahan tersebut
f. Kelompok masyarakat adat yang bersangketa batas atau lahan
membuat silsila keturunan dan keterangan yang menjadi dasar
argumentasi mempertahankan Wilayah dan hal inilah yang menjadi
pertimbangan Kepala Adat Besar
g. Keputusan Kepala Adat Besar adalah keputusan pinal dan tidak bisa
diganggu gugat.
h. Permasalahan sengketa batas atau lahan aeral hak adat tidak dapat di
selesaikan di kecamatan atau jenjang pemerintahan manapun karena
mempengaruhi ke eksistensian hak adat masyarakat hukum adat
Dayak Agabag kecuali secara yuridis formal di pengadilan
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Hak Ulayatnya harus terus dilestarikan oleh generasi setiap pribadi masyarakat
Hukum Adat Dayak Agabag.