Anda di halaman 1dari 85

SEJARAH DAN HUKUM ADAT

DAYAK AGABAG

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengantar
Ditinjau dari perspektif sejarah instrumen hak asasi manusia secara
umum, pengakuan yuridis terhadap hak asasi masyarakat hukum adat sebagai
suatu komunitas antropologis yang secara turun temurun, sesungguhnya
merupakan suatu fenomena yang and Tribal People in Independent Countries.
Namun bagaimanapun juga manusia adalah makhluk sosial ( zoon
politicon ) yang dalam kehidupannya selalu terkait secara melembaga dengan
manusia lainnya, baik dalam hubungan paguyuban (gemeinschaftich) yang
lazim terdapat dalam masyarakat tradisional maupun dalam hubungan
patembayan (gesellschftilich) yang umumnya digunakan dalam dunia modern.
Kecenderungan umum yang terlihat dengan jelas adalah tatanan masyarakat
bergerak dari hubungan paguyuban kearah hubungan patembayan.
Perlu kita perhatikan bahwa dalam mendirikan Negara kesatuan Republik
Indonesia pada tahun 1945, visi para pendiri Negara tentang Negara baru yang
akan dibentuk itu adalah suatu Negara yang tetap memelihara semangat
hubungan paguyuban antara rakyat dan pemerintah dan sebaliknya antara
pemerintah dengan rakyat walaupun mau tidak mau tatanan kenegaraan secara
formal akan bersifat hubungan patembayan. Itulah sebabnya mengapa hampir
tanpa kecuali para pendiri Negara menolak dicantumkannya pasal-pasal hak
asasi manusia dalam Undang-Undang 1945, yang pada saat itu dipahami
sebagai manifestasi dari individualisme dan liberalisme yang bersifat
perseorangan belaka. Sayangnya visi kenegaraan yang bersifat mendasar ini
tidak tercantum secara eksplisit dalam dictum pasal 18 Undang-Undang Dasar
1945, tetapi hanya dalam penjelasannya sehingga bukan saja tidak mempunyai
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

kekuatan hukum yang mengikat, tetapi juga tidak cukup kuat untuk dijadikan
rujukan untuk membentuk Undang-Undang organik Yang diperlukan sebagai
payung hukum untuk melindungi masyarakat hukum adat sebagai suatu
masyarakat yang bersifat paguyuban. Sebagai akibatnya, secara berkelanjutan
masyarakat hukum adat yang merupakan komunitas antropologi yang berskala
kecil, dan berada pada posisi lemah baik dari segi sosial, ekonomi, maupun
politik, dan hidup tersebar diseluruh pelosok Tanah Air, telah terpinggirkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Syukurnya, pada tataran internasional kesadaran akan perlunya
perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat yang umumnya disebut
sebagai indigenous peoples-berlanjut terus, sebagai bagian dari keseluruhan
kelompok rentan ( vulnerable groups ) yang memerlukan perlindungan khusus,
baik oleh karena perjuangan yang tidak henti-hentinya dari para pegiat hak asasi
manusia maupun sebagai tindak lanjut dari komitmen Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), seperti tercantum dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
(Juni 1945) maupun dalam Deklarasi Universal hak asasi manusia (Desember
1948). Mau tidak mau, kemajuan yang dicapai pada tatanan internasionol ini
telah menciptakan suatu situasi yang menguntungkan bagi perlindungan hak
masyarakat hukum adat ini pada tataran internasional.
Di Indonesia, peluang untuk memberikan perlindungan konstitusional
yang lebih kuat terhadap masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya ini
baru terbuka dalam era reformasi. Perlindungan terhadap masyarakat hukum
adat ini secara kronologis tercantum dalam pasal 41 ketetapan MPR Nomor TAP
XVII/MPR/1998 Tentang hak asasi manusia, pasal 6 Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan dalam Pasal 19 B ayat (2) serta
Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua tahun 2000.
dengan kata lain, visi kenegaraan para pendiri bangsa tentang pentingnya
penghormatan terhadap semangat paguyuban yang antara lain terkandung pada
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

tatanan masyarakat hukum adat pada tahun 1945 itu baru dapat dituangkan ke
dalam instrumen hukum positif setelah berlalu waktu selama 53 tahun dan
setelah terjadi goncangan besar dalam kehidupan politik dan kehidupan
ekonomi.
Walaupun demikian, pengakuan yuridus konstitusional terhadap
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya terebut tidaklah dapat di
tindaklanjuti secara serta marta, oleh karena itu keseluruhan sistem hukum
positif nasional yang berkembang selama lebih dari setengah abad bukan saja
tentang tidak memberi legal standing kepada masyarakat hukum adat, tetapi
juga telah mengeluarkan demikian kebijakan, peraturan, serta keputusan yang
secara efektif telah menghasilkan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisional itu. Sebagai akibatnya, telah terjadi demikian banyak konflik, sebagian
di antaranya telah menimbulkan Korban nyawa, terutama berkisar pada masalah
pertahanan, antara masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga, baik dengan
institusi pemerintahan sendiri maupun dengan perusahan-perusahan swata yang
memperoleh berbagai bentuk perizinan untuk mempergunakan tanah ulayat
masyarakat hukum adat dari institusi pemerintahan tersebut.
Sesuai dengan tujuan pembentukan Komosi Nasional Hak Asasi Manusia
yang tercantum dalam Pasal 75 Undang-undang No. 29 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manuisa, dan telah mengadakan penataan kembali organisasi sejak
bulan juni tahun 2004, Komisi Hak Asasi Manusia cq Sub Komisi Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya telah memasukkan tema perlindungan masyarakat hukum
adat ini ke dalam program kerjanya, dan untuk itu telah menugaskan seseorang
komesioner untuk menengani dan menindak lanjuti tema ini.
Sehubungan dengan itu, bekerja sama dengan rekan-rekan komisioner di
Sub Komisi Hak sipil dan Politik dan Sub Komisi Perlindungan Kelompol Khusus,
serta dengan berbagai stakeholders laninya dalam lembaga-lembaga Negara
dan dalam masyarakat, sejak bulan juni 2004 tersebut Sub Komisi Hak Ekonomi,
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Sosial, dan Budaya telah mengadakan serangkaian pengkajian, baik dalam


bentuk focused group discussions, lokarya nasional, maupun seminar nasional.
Tujuan seluruh pengkajian ini adalah selain untuk memperoleh pemahaman
serta informasi mutakhir tentang masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisionalnya, untuk menyusun saran kebijakan yang perlu untuk disampaikan
kepda Negara, dalam hal ini kepada pemrintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
RI, yang secara konytitusional merupakan duty bearer dari perlindungan,
penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia ini.
Untuk diketahui suatu momen bersejarah, baik bagi masyarakat hukum
adat Indonesia maupun bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, telah terjadi
pada tanggal 9 Agustus 2006, dalam rangka peringatan pertama hari Nasional
Masyarakat hukum adat se-dunia di ruang sasono Langen Budoyo Taman Mini
Indonesia Indah ( TMII) di Jakarta. Acara yang baru pertama kalinya ini di
adakan di Indonesia, yang disponsori bersama oleh Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Mahkamah konstitusi, Deperteman Sosial, Deperteman Kehutanan,
Badan koordinasi Survai dan pemetaan Nasional, dan the united nations
development Program Regional Centre Bangkok.

B. Pengertian, kretaria, dan Hak Masyarakat Hukum Adat


1. Pengertian
Yang dimaksud dengan ‘Masyarakat Hukum Adat’-atau istilah lain yang
sejenis seperti ‘masyarakat adat’ atau ‘masyarakat tradisional’ atau the
indigenous people-dalam persefiktif ini adalah suatu komonits antropoligi yang
bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu,
mempunyai hubungan histories dalam mesteri dengan sejarah masa lampau
mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal dari satu
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

nenek moyang yang sama, dan mempunyai budaya yang khas yang ingin
mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun sejarah yang selanjutnya.

2. Rician Krteria
a. kretaria obyektif
1. merupakan komunitas antropologis, yang sedikit banayknya homogen.
2. mendiami dan mempunyai keterkaitan sejarah, baik lahiriah maupun
rohaniah suatu wilayah leluhur (homeland) tertentu atau , sekurang-
kurangnya dengan sebagain daerah tersebut.
3. adanya suatu Identitas dan budaya yang khas, serta sistem sosial dan
hukum yang
4. bersifat tredisional, yang sunguh-sungguh diupayakan mereka untuk
melestarikannya dengan berbagai upaya untuk tetap melestarikan.
5. tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik
yang ada tapi terkadang menjadi suatu kekuatan patrialis untuk
menyatukan suatu kekuatan politik dalam mengangkat derajat dan
martabat kaumnya dalam bidang politik dan ekonomi.

b. kriteria subyektif
1) Identifikasi diri (self Identification) sebagai suatu komunitas antropologi dan
Mempunyai keinginan yang kuat untuk secara aktif memilihara identitas diri
mereka
2) Dipandang oleh pihak lain di luar komunitas antropologi tersebut sebagai
suatu Komunitas yang terpisah.

Catatan
Dari sisi kewilayahan, suatu masyarakat hukum adat adalah berdiri
sendiri, tetapi dari segi kultural masyarakat hukum adat yang
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

bersangkutan merupakan bagian dari komunitas antropologi yang lebih


besar, yang disebut etnik dan suku bangsa.
Sebagai komunitas antropologi yang lebih besar, etnik dan suku bangsa
selain terdiri dari masyarakat hukum adat yang masih berdiam ditanah
leluhurnya juga mencakup warga masyarakat hukum adat rantau, yang
walaupun tidak lagi berdiam ditanah leluhur mereka tetapi masih merasa
mempunyai dan memelihara ikatan historis,cultural,sosial, dan psikologis
dengan masyarakat hukum adatnya tersebut.
Antara sesama warga etnik terdapat jeringan komunitas sosial yang
berlanjut, baik bersifat formal maupun bersifat informal.

3. Hak-hak Masyarakat Hukum Adat


a. Hak Perseorangan sebagai warga negara
Sebagai warga negara, warga masyarakat hukum adat mempunyai hak
asasi yang sama dengan warga negara lain.
b. Hak kolektif sebagai masyarakat hukum adat
Sebagai suatu komunitas antropologis, masyarakat hukum adat
mempunyai yang diperlukannya baik untuk memelihara eksistensi dan
identitas kulturalnya maupun untuk membangun dan mengembangkan
potensi kemanusiaan warganya untuk mencapai taraf kesejahteraan yang
lebih tinggi, terutama hak atas tanah ulayat dan lainnya yang
berhubungan dengan hukum adat.
c. Hak Atas Pembangunan
Hak-hak tersebut diatas merupakan bagian dari atas pembangunan, yang
menurut deklarasi PPB tentang hak atas pembangunan,1986 dan
konvensi ILO Tahun 1989 Tentang kelompok Minoritas dan masyarakat
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

hukum adat dinegara- negara merdeka secara menyeluruh terdiri dari


sebagai berikut :
1. Hak untuk menentukan nasib sendiri (right of internal self determination).
2. Hak ikut turut serta dalam pemerintahan (right of participation).
3. Hak atas pangan, kesehatan, habitat, dan keamanan ekonomi (right to
good, healeth, habitat, and economic security).
4. Hak atas pendidikan (right to iducation).
5. Hak atas pekerjaan (right of work).
6. Hak anak ( right of children).
7. Hak pekerja ( right of workers).
8. Hak minoritas dan masyarajat hukum adat (right of minorities and
indigenous people).
9. Hak atas tanah (right to land).
10. Hak atas persamaan (right to equality).
11. Hak atas perlindungan lingkungan (right to environmental protection).
12. Hak atas pelayanan administrasi pemerintah yang baik (right to
administrative due process).
13. Hak atas penegakan hukum yang adil (right to the rule of law).

C. Latar Belakang Sejarah Tentang Keberadaan Masyarakat Hukum Adat

1. Tinjauan antropologik
a. Masyarakat hukum adat dikepulauan Indonesia mempunyai latar
belakang sejarah serta kebudayaan yang sudah amat tua jauh lebih tua
dari terbentuknya kerajaan ataupun Negara Indonesia.
b. Secara historia warga masyarakat hukum di Indonesia serta etnik yang
melingkupinya sesungguhnya merupakan migran dari kawasan lainnya di
Asia, yaitu budaya berladang berpindah-pindah, petani sawah dengan
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

tanaman masyarakat serta hak kepemilikan yang ditaati secara konflik,


khususnya hak kepemilikan atas tanah ulayat.
c. Masing-masing masyarakat hukum adat mulanya mempunyai agama
sukunya sendiri, yang kemudian beralkulturasi dengan agama dunia yang
datang dari luar, seperti agama agama hindu,agama budha, agama islam,
agama Kristen. Kelihatannya kedatangan agama-agama tidaklah
menghapuskan sama sekali pengaruh agama-agama suku yang ada
sebelumnya.
d. Dalam politik, beberapa teknik berhasil mendominasi etnik lain beserta
wilayahnya dan membentuk kerajaan-kerajaan tradisional, baik yang
berukuran lokal maupun yang berukuran regional, seperti Sriwijaya dan
Majapahit atau suatu kesadaran bersama mau menyatukan kekuatan
politik untuk mensejajarkan keberadaan suatu suku tertentu bagi mereka
yang tidak memiliki adat dan budaya patrialis ataupun kerajaan-kerajaan.

2. Kontak Dengan Dunia Barat: Dekrit Tordesilas doktrin 1494 rex nullius
dan Asas Regalia
a. Sestela Christopher Columbus ‘menemukan ‘ benua África pada tahun
1492, dengan Dekrit Tordesilas tahun 1994 kerajaan Portugal dan
Spanyol membagi dunia dalam dua wilayah pengaruh. Kepulauan
indonesia dinyatakan sebagai wilayah pengaruh kerajaan portugis, yang
baru datang kepulauan ini pada tahun 1511. sekadar catatan: kepulauan
Filipina dinyataka berada dibawah pengaruh kerajaan Spanyol.
b. Sesuai dengan doktrin rex nillius dan asa regalia yang dianut pada saat
itu, seluruh wilayah pengaruh tersebut dinyatakan secara sepihak
sebagai milik raja yang bersangkutan, termasuk wilayah kerajaan-
kerajaan tradisoinal serta tanah ulayat suku-suku bangsa indonesia.
Doktrin rex nillius dan asal regalia ini dilanjutkan oleh rangkaian kerajaan
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

eropa lainnya, yang secara berurutan menguasai kepulauan indonesia,


yaitu kerajaan Belanda / 1 (1799-1808), Kerajaan Perancis (1808-1811),
dan sebagai penyela, Kekaisaran Jepang (1942-1945).

3. Kolonialisme Belanda, asas Divide et Impera


a. Kerajaan Belanda menjabarkan asas regalia 1494 tersebut dengan
domein verklaring dalam Agrarische wet 1870, yang secara eksplisit
menyatakan bahwa seluruh tanah yang tidak dapat dibuktikan adanya
kepemilikan atasnya adalah milik kerajaan.
b. Sudah barang tentu pelaksanaan asas regalia dan domein verklaring
tersebut tidak bisa diterima baik oleh kerajaan-kerajaan tradisional
maupun masyarakat hukum adat, yang sudah ada selama ratusan tahun
dikepulauan nusantara. Mereka melancarkan perlawanan yang
gigih,yang mengharuskan kerajaan-kerajaan eropa tersebut mencari
strategi yang lebih canggih daripada sekedar penaklukan militer untuk
maksud ini kerajaan Portugal dan kerajaan Belanda menciptakan politik
kolonial yang lumayan canggih untuk mengusai kepulauan nusantara
yang berpeduduk amat mejemuk, yaitu politik devide et impera, pecah
belah dan kuasai. Untuk maksud itu mereka perlu memahami secara
mendalam keanekeragam-an masyarakat indonesia yang Sangat
mejemuk itu.
c. Baik didorong oleh motivasi keilmuan maupun terkait dengan urgenesi
kebijakan pemerintahan kolonial dipelopori oleh prof. C. van Vollenhoven
dan prof. Mr. B. Terhar dalam Zaman Hindia Belanda telah tumbuh dan
berkembang studi hukum adat serta masyarakat hukum adat. Kedua
pakar hukum adat ini menengarai ada 19 buah lingkungan hukum adat
(aeaterechts keringen) di Indonesia. Desa dijawa dan daerah-daerah
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

setingkat seperti nagari di minangkabau dan marga di sumatera selatan


disebut sebagai masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschappen).
d. Berdasar pemahaman yang mendalam tehadap ane-kara-gam hukum
adat indonesia in resmi ko-lo-nial Hindia Belanda mengadakan
penyesuai kebijakannya dengan konteks sosio-kultural masyarakat
indonesia, antara lain dengan menbada-kan antara daertah-daerah
diperintah lang-sung (directe bestuur gemiet) dipulau jawa dan madura,
dengan daerah yang diperintah secara tidak lang-sung (indirecte
bestuur gebied)melalui kepala-kepala adatnya diluar pulau jawa.

4. Dinamika Posisi Etnik dan Masyarakat Hukum Adat


a. Dalam alam kolonial, berdama dengan pengembangan studi masyarakat
hukum adat tersebut, dalam tahun 1930 pemerintahan Hindai Belanda
mengadakan sensus pendudukan, yang mencakup pengumpulan data
mengenai suku bangsa atau etnik masyarakat hukum adat dapat di
pandang sebagai bagai dari etnik atau suku bangsa.
b. Dalam alam kemerdakaan, ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian,
yaitu :
1) Dalam merancang Undang-Undang Dasar 1945, para pendiri
Negara eksisntesis masyarakat hukum adat yang bersifat asli ini
ter-masuk hak ulayat mereka. Pederian ini dilanjutkan oleh
Undang-undang pokok agraria Nomor 5 Tahun 1960, yang
persiapka Sejas Tahun 1948.
2) Walaupun demikian pengakuan terhadap masyarakat uhkum adat
ini tidak dilaksanakan secara kosisten karena tidak sebab,yaitu :
a. Ketidakmengertian pemerintahan pusat tentang kemejemuka
cultural Masyarakat Indo-nesia serta inflikasinya, yang antara
lain yang terlihat pada undan-undang Nomor 5 tahun 1979
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

tentang pemertintahan desa yang menyamaratakan pemerintah


desa menurut model pemerintah desa di pulau jawa.
b. Kebutuhan investor terhadap tanah sejak ta-hun 1967, khususnya
dalam bidang pertambangan, perkebunan, dan kehutanan, yang
menyebabkan pemerintah bersama dengan DPR RI
mengeluarkan serangkaian undan-undang yang secara in
concreto menafikan hak masyarakat hukukm adat atas tanah
ulayat,. Baik langsung maupun secara tidak langsung, seluruh
undang-undang tentang investasi sejak tahun 1967 ini bukan saja
menghidupkan kembali doktrin res nullius dan asas regalia yang
bersifat imperialistic dan merupakan warisan abad ke 16 tersebut,
tetapi juga melaksanakan konsep neo-liberalisme model The
Washington Consensus yang hendak mencabut fungsi
kesejahateraan Negara dan menyerahkannya kepada kekuatan
pasar. Republik Indonesia belum mempunyai data mengenai
jumlah, lokasi, serta luasnya tanah ulayat yang dimiliki
masyarakat hukum adat ini.
c. Tumbuhnya kecnderungan intralisasi pemerintahan yang sangat
kuat, yang menyebabkan kemunduran studi hukum adat dan
masyarakat hukum adat, dan masyarakan hukum adat, antra lain
oleh kerna anggapan bahwa hukum adat dan masyarakat hukum
adat ini inkom-patibel dengan semangat kebansaan dan bahawa
masalah hukum adat dan masyarakat hukum adat ini dipandang
sebagai bagian dari masa-lah SARA(suku, agama, ras, dan
antara golongan ) yang marupakan salah satu ancaman terhadap
nasional.
3) Baru pada tahun 2000-yaitu 70 tahun setelah sensus penduduk
pertama dan setela 45 tahun Indonesia merdeka dapat diadakan
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

sensus kedua ini menampilkan banyak data baru yang bukan saja
telah mengubah banyak asumís yang dianut mengenai masalah
etnik dan masyarakat hukum adat ini, tetapi juga mempunyai
implikasi ke bidang kebijakan, khusus kebijakan pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia yang menjadi tugas pokok
komnas HAM. Dari sensus tahun 2000 ini, dengan memakai tolok
ukur sel-identification, telah dapat dicatat adanya 1.072 buah
etnik atau suku bangsa. Hukum adat.

Keadan Dewasa Ini


1. Adanya Kondisionalitas terhadap Status Yuridis dan Hak Masyarakat
Hukum Adat.
a. Berbeda dengan kebijakan pemerintah Hindia Belanda, yang secara
otomatis memberikan pengakuan terhadap adatrechts gemeenschap,
Pemerintah Republik Indonesia tidak secara otomatis memberikan
pengakuan tersebut. Baik dalam Pasal 28 I ayat (3) undang-undang
Dasar 1945 maupun berbagai undang-undang organiknya terdapat
berbagai klausula dan syarat-syarat yang bersifat limitatif bagai
pengakuan eksistensi hukum adat.
b. Cláusul yang terdapat dalam Pasal 28 I ayat (3) Undang-undang Dasar
1945, TAP No. XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
adalah :
1. Sepanjang masyarakat hukum adat tersebut masih ada.
2. Sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban
3. Sesuai dengan perinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
4. Diatur dalam Undang-undang
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

2. Pelangaran Berlanjut terhadap Hak Masyarakat Hukum Adat


a. Walaupun eksistensi dan hak –hak mesyarakat hukum adat secara formal
diakui di Undang-undang Dasar 1945, terutama hak atas tanah ulayat,
namun dalam kenyataannya hak-hak tersebut secara berkelanjutan telah
dilanggar, baik oleh Pemerintahan maupun pihak Non Pemerintah. Perlu
dicatat bahwa adakalanya pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial, dan
budaya ini berjuang pada pelanggaran hak sipil dan politik. Pelanggaran
hak-hak secara berkelanjutan tersebut merupakan salah satu factor
terjadinya konflik horizontal dan atau konflik vertical, yang tidak jarana
memakan korban nyawa dan harta.
b. Pengakuan yuridis terhadap statu masyarakat hukum adat mampunyai arti
penting, oleh karena itu menurut Pasal 51 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, masyarakat hukum adat dapat
menjadi Pemohon dalam sutatu perkara konstitusional. Sebagai
konsekuensinya, suatu masyarakat hukum adat yang tidak atau belum
mempunyai legalitas akan menghadapai kendala dalam membela hak-
haknya, yang memang sudah sering terjadi baik oleh aparatur negara
maupun oleh pihak ketiga lainnya .
c. Pada beberapa masyarakat hukum adat telah terjadinya pelanggaran
terhadap kebebasan beragama dan untuk beribadah menurut agama dan
keyakinan dari masyarakat hukum adat, baik yang dilakukan oleh Amat
seagama maupun oleh umat yang berlainan agama.

3. Perlindungan Hukum Internasional Hak Asasi Manusia terhadap


Masyarakat Hukum Adat (The-Indigenous Peoples)
a. Berhadapan dengan ketidak konsistenan system hukum nasional
Indonesia terhadap status yuridis dan hak-hak masyarakat hukum adat
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

tersebut,komunitas Perserikatan Bangsa. Bangsa memberikan perhatian


dan perlindungan khusus terhadap eksistensi dan hak-hak masyarakat
hukum adat-adat the indigenous peoples sebagai dari Vulnerable groups.
b. Instrumen hukum internasional hak asasi manusia yang melindungi
masyarakat hukum adat antara lain adalah :
1. Konvensi ILO 169 Tahun 1989 Tentang Masyarakat Hukum Adat dan
Suku Bangsa di Negara-negara merdeka.
2. Draf Declaration on the Rights of the Indigenous People.
c. Di Asia Negara yang selain sudah mencantumkan pengakuan terhadap
eksistensi dan jaminan terhadap hak-hak masyarakat adat adalah Negara
Filipina.
d. Sesuai dengan BAB 2 Pasal 7 Draf Declaration on the Rights of the
Indegenous People beberapa hal-hal yang dapat menyebabkan
pemusnahan etnis atau pengancuran budaya etnis tertentu adalah :
1. Setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau akibat yang
mencerabut masyarakat hukum adat dan integritas mereka
sebagai masyarakat hukum adat yang memiliki kekhasan
dengan nilai-nilai identitas yang di miliki turun temurun.
2. Setiap tindakan yang mempunyai tujuan yang berakibat
dengan perempasan tanah, wilayah, atau sumber daya
alam dengan mengatasnamakan kepentingan Negara atau
undang-undang atau alibi pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi daerah dan Negara.
3. Setiap bentuk pemindahan penduduk ( relokasi ) yang
mempunyai tujuan dan berakibat terhapusnya generasi
yang mengetahui riwayat suatu daerah karena pergentian
generasi baru yang tidak tahu hak-hak mereka dalam
wilayah yang di tinggalkan dulunya.
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

4. Setiap bentuk asimilasi atau akulturasi budaya asal


dengan budaya luar dengan pola hidup yang merupakan
hasil dari asimilasi budaya yang di lakukan sistematik
secara administrative.
5. setap bentuk propaganda yang diarahkan terhadap
masyarakat hukum adat.hukum adat mencakup hak sipil
dan politik dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
e. beberapa organisasi masyarakat hukum adat indonesia telah ikut aktif
dalam kegiatan internasional ini, baik yang tergabung dalam aliansi
masyarakat adat nusantara (AMAN) maupun tidak.

4. Posisi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia


Dalam meleksanakan fungsi dan kegiatannya untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan dalam Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, Posisi Komisi Nasional Hak Asasi manusia adalah menerima,
mengakui, dan menghormati eksistensi dan identitsa kultural dan agama /
keyakinan masyarakat hukum adat seperti yang dirumuskan sendiri oleh
warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Masyarakat hukum adat adalah suatu badan hukum (legalentity) yang
memperoleh legalitas dan legitimasinya dari sejarah dan dari peraturan
per Undang-undangan negara.
Baik masyarakat hukum adat itu sendiri mupun adat istiadat serta
kebudayaan yang menjadi dasar pembentukannya tumbuh dan
berkembang secara dinamis dan perlu memperoleh kesempatan atau
mengambil menfaat dari perkembangan kehidupan budaya diluarnya,
khususnya dalam konteks pembangunan manusia (human develoment).
Sesuai dengan pasal 70 undang-undang tersebut diatas, dalam
menjalankan hak dan kebebasannya sertiap orang tentunya termasuk
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

warga masyarakat hukum adat wajib tunduk kepada pembatasan yang


ditetapkan oleh undang-undang, dengan maksud untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tututan yang adil sesuai dengan pertimbanagan moral,
kaemanan, ketertiban umum dalam sautu masyarakat demokratis.
Dalam meleksanakan pembatasan yang tercantum dalam undang-
undang tersebut, sesuai dengan hak untuk berpatisipasi dalam
pemerintahan dan masyarakat hukum adat diupayakan keikutsertaan dari
lapisan kepemimpinan dari masyarakat hukum adat bersangkutan.

BAB II
PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

Dalam manindak lanjuti pengakuan terhadap masyarakat hukum adat


berdasar Pasal 18 B ayat (2) Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,
Pasal 51 ayat (1) Huruf b UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,
Pasal 6 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tenatang Hak Asasi Manusia.,
Mahkamah Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM), dan
departeman dalam negeri RI memrlukan kejernihan hati, makna dan tafsir dari
empat persyaratan Konstitusional yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

hukum adat atau ‘Masyarakat Tradisonal’ atau ‘Masyarakat Adat’. Dapat


memperoleh lagel standing. Empat syarat Konstitusional itu adalah : (1)
sepanajng masih hidup; (2) sesuai dengan perkembagan masyarakat; (3) sesuai
dengan prisip Negara kesatuan Republik Indonesia; dan (4) diatur dengan
undang-undang.
Untuk memperoleh kejernihan tersebut, Mahkamah Konstitusi,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan depertemen dalam negeri bersama
dengan deperteman / instansi terkait, lembaga swadaya masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, dan akademisi pada 14 dan 15 juni 2005 bertempat dihotel
millinium, jalan kebun sirih, Jakarta, telah menyelenggarakan lokakarya Nasional
Inventarisasi dan Perlindungan Hak Asasi Hukum Adat, yang di ikuti oleh 106
orang baik dari tingkat daerah dan tingkat nasioanal, dengan peninjauan dari the
united nations development faund (UNDP).
“memberikan penghargaan terhadap diselenggarakan lokakarya
nasional mengenai masyarakat hukum adat dan pencarian jati diri
masyararakat hukum adat terutama beberapa kesatuan masyarakat hukum
adat yang penamaan sukunya tidak jelas yang di berikan oleh negara
karena keterbatasan pemerintah pada saat itu yang baru pertama kalinya
diadakan oleh lembaga-lembaga Negara yang bersifat lintas sektor yang
terjadi dalam sejarah Republik Indonesia “dan harapan agar komunikasi
langsung yang telah terbuaka antara para stakeholders masyarakat hukum adat
dengan instansi pemerintah di tingkat pusat ini bisa dipelihara dan
dikembangkan selanjutnya di masa mendatang dan saran kepada setiap sub
suku masyarakat hukum adat agar terus mengkaji keberadaan sukunya
karena banyak kesalahan pemberian nama oleh negara pada saat itu dan
tidak menutup kemungkinan terdapat perubahan nama, pergeseran makna
pada komunitas suku tertentu di nusantara.
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

2. Analisis Konseptual
a. Untuk mengatasi keterbatasan paradigma positivisme hukum dalam
memahami arti dan makna konsep dari pasal-pasal yang terdapat dalam
konstitusi dan undang-undang harus didalami paradigma dan ide yang
melatarbalakanaginya, bersamaan dengan selalu mengaitkan ide dan
konsep tersebut dengan kenyataan, serta meresapinya dengan empathy,
care, dan concern. Pasal-pasal undang-undang tidak dapat dipahami
suatu yang sudah selesai dan bersifat finite, tetapi sebagai sesuatu yang
selalu berproses. Sehubungan dengan itu, bersamaan dengan
melaksanakan hukum positif perlu diberikan perhatian yang seimbang
kepada pengembangan politik hukum dan konteks sosial-budayanya.
b. Dalam hubungan ini dikhawatirkan bahwa rangkaian refomasi yang
dicapai dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 baru terbatas
pada reformasi norma, dan belum menyatuh pada reformasi roh,dan
semangatnya.
c. Aliran positivisme dalam hukum ditengarai telah merupakan salah satu
penyebab dari tereliminasinya masyarakat hukum adat. Pada gilirannya
hai itu telah menimbulkan kerugian besar bagi negara, sehubungan
dengan lenyapnya faktor kendali sosial dalam menangani konflik,
hancurnya hutan, kerusakan lingkungan dan pemiskinan sosial maupun
ekonomis.
d. Perlu diakui, bahwa di lura otoritas konstitusi juga ada otoritsa hukum
lainnya, termasuk otoritas hukum adat, yang lebih berakar dalam
masyarakat. Lebih dari itu, hukum tidak boleh dipahami secara ststis,
tetapi harus secara dinamis.
e. Dalam hubungannya dengan konteks sejarah politik, adalah merupakan
kenyataan bahwa masyarakat hukum adat telah ada lebih dahulu dari
adanya negara. Berbeda dengan yang terbentuk secara artifisial,
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

masyarakat hukum adat tumbuh karena memang perlu ada dan bersifat
alami. Sedangkan menurut sejarahnya, negara lahir sebagai respon
terhadap industrialisasi dan kapitalisme,serta menuntut hegemoni
terhadap kekuasaan dan wilayah. Dalam konteks ini berkembang
penafsiran yang tidak tepat bahwa hukum adat dan masyarakat hukum
adat masih ada, jika diakui oleh negara.
f. Tuntutan hegemoni negara tersebut tidak selalu diterima oleh masyarakat
hukum adat, sehingga terdapat perimbangan dinamis, terkadang
dikotomis, antara kekuatan masyarakat hukum adat dengan kekuasaan
negara. Kalau kekuasaan masyarakat hukum adat melemah. Sebaliknya,
kalau kekuasaan negara melemah, hukum adat dan masyarakat hukum
adat akan menguat (stong state and weak society strong society and
weak state).
g. Empat persyaratan yurdis terhadap masyarakat hukum adat ditengarai,
dengan memandang hukum Negara dan hukum adat sebagai dua system
hukum yang distink. Hal ini sangat merugikan perlindungan masyarakat
hukum adat dan hak-haknya. Meskipun secara histories, mungkin oleh
pertimbangan etis atau oleh perimbangan pragmatis pemerintah colonial
Hindia Belanda justru mengakui masyarakat hukum adat tanpa
mengajukan syarat-syarat apapun juga. Masyarakat hukum adat tersebut
sebagai dorpsrepublieken (republic desa) yang selain mempunyai harti
kekayaannya sendiri juga berwenang mengatur dan mengurus rumah
tengganya sendiri.
h. Hal penting yang harus diperhatikan dan didorong dalam melihat
hubungan antara Negara dan masyarakat hukum adat adalah perinsip-
perinsip yang berkembang di lingkungan masyarakat hukum adat,yaitu:
(1) masyarakat hukum adat adalah unsure pembentuk bangsa karena itu
upaya perlindungan dan penghormatan bangsa karena harus diletakkan
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan bukan dalam rangka


melakukan konservasi sosial; (2) masyarakat hukum adat tumbuh dan
berkembang dari dirinya sendiri, karena itu penghormatan harus
ditemapatkan dalam konteks otonomi komunitas masyarakat hukum adat
yang beragam; (3) pengakuan / penghormatan hak-hak masyarakat
hukum adat perlu didasari pada perinsip ketedakterpisahaan dari jumlah
hak yang dapat dibedakan dan bersifat tidak dapat dicabut (inalienable
rights), dan (4) hukum dalam wujud peraturan perundang-undang
harusnya menjadi berbang terakhir yang disiapkan Negara untuk
menjawab tuntutan keadilan dari masyarakat
i. Republik Indonesia merupakan Negara yang memiliki keanekaragaman
hayati (bio-diversity) dan keanekaragaman budaya (cultural-diversity)
yang paling kompleks didunia, yang pengelolaannhya memerlukan
kecangihan (sophisticacy) dari segala kalangan, terutama dari
pemerintah, yang menurut Pasal 28 I ayat (4) Undang-undang Dasar 1945
memikul tanggung jawab perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia.
j. Berbeda dengan lahirnya Negara nasional di Eropa Barat setelah
perjanjian Westphalia 1648 yang dilatarbelakanagi oleh kesamaan kultur
politik, lahirnya Negara Kesatua Republik Indonesia yang bangsanya
bermasyarakat majemuk justru dilahirkan melalui ikrar, yang legitimasi
sosialnya masi perlu diupayakan secara terus menerus. Dalam
mengupayakan legitimasi sosial terhadap kehidupan bernegara selain
diperlukan kearifan khusus juga harus dihindari pemaksaan agar seluruh
masyarakat Indonesia bisa menerimanya dengan rasa bahagia. Pada
dasarnya masalah ini bukanlah masalah hukum,tetapi masalah kemauan
politik.
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

k. Agar dapat membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih


konsisten dan dinamis, para pembentuk undang-undang serta para legal
drafters yang membentuknya baik yang ada pada badan legislatif maupun
pada badan eksekutif selain perlu memahami dengan baik semangat dan
roh wawasan kenegaraan yang terkandung dalam pembukaan Undang-
undang Dasar 1945, juga perlu dipahami dinamika kehidupan masyarakat
Indonesia, baik pada tataran kenegaraan di tingkat nasional, provinsi,
tingkat kabupaten dan kota, tingkat kecamatan, maupun pada tataran
masyarakat hukum adat. Untuk tujuan ini pada fakultas hukum selain
perlu diwajibkan mata kuliah hukum adat yang kontekstual juga perlu
diwajibkan mata kuliah antropologi budaya, antropologi hukum dan
sosiologi hukum. Pada dasarnya bahwa kesalahan konseptual yang fatal
terdapat pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang
Pemerintahan Desa. Undang-undang ini didasarkan semata-mata pada
konsep desa teritorial seperti yang terdapt dipulau Jawa, dan tidak
mengakui masyarakat hukum adat sebagai masyarakat hukum adat yang
diperlakukan hanya sebagai unit pemerintahan yang terendah. Sebagai
akibatnya, desa-desa teritorial genealogis, kumunitas nomadik dan atau
masyarakat hukum adat yang terdapat di luar pulau Jawa dalam kurun
sejarah yang panjang, telah tereliminasi, di Sulawesi Selatan, maslanya,
hampir tidak terdapat lagi masyarakat hukum adat. Keruntuhan desa
teritorial genelalogis dan atau masyarakat hukum adat di luar pulaw Jawa
ini ditengarai dan memungkinkan tercetusnya kerusuhan sosial secara
horizontal.

BAB III
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

KEADAAN, PENYEBARAN DAN KEBERADAAN SEJARAH HUKUM ADAT


DAYAK AGABAG DARI PERSFEKTIF MITOLOGIS DAN ANTROPOLOGIS
( HASIL KAJIAN ILMIAH DAN PENUTURAN TOKOH-TOKOH ADAT MASYARAKAT HUKUM
ADAT DAYAK AGABAG PADA ILAU DI DESA INTIN KEC. LUMBIS DAN DESA KUNYIT
KEC. SEBUKU )

Berdasarkan data kependudukan tahun 2005 terlihat bahwa penduduk


mayoritas di Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sembakung dan Kecamatan
Sebuku adalah masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag berdasarkan
kepemilikan kartu tanda penduduk ( KTP ) dengan jumlah penduduk Kecamatan
Lumbis 8.576 jiwa atau 80,45 % dari jumlah keseluruhan penduduk kec. Lumbis ,
Kecamatan Sembakung 7.087 jiwa atau 70, 31 dari jumlah keseluruhan
penduduk kec. Sembakung dan kecamatan Sebuku 8.158 jiwa atau 80,18% dari
keseluruhan penduduk Kacamatan sebuku dan terdapat juga penyebaran
Dayak Agabag di Sungai Sadimulud ( Samindurut ) di Kabupaten Malinau
terutama di Desa Balayan yang dulunya di kenal dengan Luba-Salidung.
Selain Suku Dayak Agabag terdapat juga Dayak Lainnya yang merupakan suku
secara turun temurun berdampingan hidup dengan Dayak Agabag dan hampir
relatif sama memiliki bahasa dan adat istiadat yang serupah dengan Dayak
Agabag terutama wilayah Kec. Lumbis misalnya Dayak Akolod/Tahol dan Tidung
yang merupajan asimilasi keturunan Dayak Agabag dengan Tidung pesisir selain
itu terdapat juga suku-suku pendatang seperti Jawa, Bugis, Timor, dan Dayak
Lainnya seperti Lundaye, Kenya). Dari data di atas jumlah keseluruhan
masayrakat Dayak Agabag 23.821 jiwa, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
grafik dan tebel dibawah ini :
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Grafik 2:
Jumlah Penduduk Berdasarkan Etnis

( Jiwa )

30.000 -

25.000 -

20.000 -

15.000 -

10.000 -

5.000 -

Dayak Agabag Bugis Jawa Tidung Timor Lundaye Akolod/Tahol

Sumber: Data Primer (Diolah 2008)

A. Topografi, Fisografi dan Kehutanan

a.1. Tofografi

Tofografi pada Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sembakung dan

Kecamatan Sebuku yang merupakan tempat penyebaran masyarakat hukum

adat Dayak Agabag sangat bervariasi berdasrkan bentuk relief, kemeringan

lereng dan ketinggian dari permukaan laut. Perbukitan terjal terdapat di sebelah
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

utara Kecamatan Lumbis dan Sebuku dan pada bagian tengah sedikit berbukit

sedangkan pada bagian timur dan selatan merupakan dataran rendah yang

landai. Relief dataran rendah dan banyak daerah sawahnya terdapat di

Kecamatan Sembakung. Perbukitan terjal disebelah utara bagian barat pada tiga

kecamatan ini merupakan wilayah pegunungan memanjang yang berasal dari

pegunungan tua Tiagang Sinsiliog di daratan Sabah-Malaysia tepatnya pada

Bandar Nabawan dengan ketinggian rata-rata 1500-3000 meter diatas

permukaan laut.perbukitan disebelah selatan bagian tengah berketinggian 500-

1500 meter diatas permukaan laut. tofografi perbukitan bersudut kemeringan

lebih dari 30%. Pada daerah dataran tinggi kemiringan berkisar antara 8-15 %.

Pada daerah ini juga terdapat sungai-sungai besar, di kecamatan Lumbis

terdapat sungai utama yaitu Sungai Sembakung yang berasal dari sungai

Pansiangan Sabah-Malaysia dan Sungai Sadalid. Selain sungai utama ini

terdapat juga sungai besar lainnya seperti sungai Sumalumung, Sungai Saludan,

Sungai Samalad, Sungai Sumentobol. Sedangkan di daerah Sembakung sungai

besar adalah sungai Sabuluan dan sungai Mambulu serta sungai Tujung dan

Sungai Agison dan Sungai Tikung di Kecamatan Sebuku.

a.2. Fisiografi

Wilayah Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sembakung dan Kecamatan

Sebuku yang merupakan tempat penyebaran masyarakat hukum adat Dayak


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Agabag sebagian besar didomisili oleh satuan fisiografi gunung ( mountain) dan

dataran ( plain). Satuan fisografi gunung sebagian besar berada di bagian utara

dan barat yang memanjang dari Sabah Malaysia hingga Selatan Kecamatan

Sembakung

a.3. Kondisi Sumber Daya Kehutanan dan Pememfaatannya

Wilayah adat ( hutan adat) Dayak Agabag yang berlokasi di Kecamatan

Lumbis, Kecamatan Sembakung dan Kecamatan Sebuku kondisi sumber daya

hutannya masih potensial, masih banyak hutan rimba yang belum di garap

perusahan khususnya sebelah barat Kecamatan Lumbis dan Sebuku. Beberapa

jenis kayu komersial yang dominan dari beberapa kelompok hutan di tiga wilayah

kecamatan ini dapat dikategorikan ke dalam beberapa kelompok yaitu kelompok

Dipterocapaceae, kelompok non Dipterocarpacea, kelompok kayu indah,

kelompok rimba capuran dan kelompok kayu yang dilindungi. Untuk lebih

jelasnya dapat diilihat pada tabel berikut:

Tabel 4: Beberapa Jenis Kayu Hasil Hutan yang Dominan dan Mempunyai Nilai
Komersial
No Nama Perdagangan Suku/Famili Nama Botani
(!) (2) (3) (4)
I Dipterocarpaceae
1 Kapur Diptercarpaceae Dryobalanops Becarii Dyer
2 Majau Diptercarpaceae Shorea Seminis SI
3 Bengkirai Diptercarpaceae Shorea Laevis
4 Merawan Diptercarpaceae Hopea Sanga Korth
5 Giam Diptercarpaceae Cotylelobium spp
6 Keruing Diptercarpaceae Dipterocarpus Kutaianus V.SI
7 Meranti Batu Diptercarpaceae Shoera Sp
8 Meranti Merah Diptercarpaceae Shorea Leprosula Miq
9 Meranti Kuning Diptercarpaceae Shorea Sp
10 Melapi Diptercarpaceae Shorea lamellate Foxw
11 Mersawa Diptercarpaceae Hopea Spp
12 Tengkawang Sheora Pinanga Scheff
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

II Non Dipterocarpaceae
1 Agathis Araucariceae Agathis Becarii Warb
2 Durian Bombacaceae Durio Zibethinus Sp
3 Jelutung Apocynaceae Dyera Costulata
4 Merpayung Sterculiaceae Scaphium Macropodum J.B
5 Kulim Olacaceae Ccrodocarpus borneensis Becc
6 Membacang Anacardiaceae Mangifera Foetida Lour

selain itu hasil hutan non kayu adalah produk hutan non kayu yang

dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dalam hal ini masyarkat Dayak Agabag

baik untuk kepentingan sehari-hari maupun untuk diperdangangkan. Hasil hutan

non kayu lainnya adalah sarang burung walet yang terdapat di gua-gua terutama

di daerah Kecamatan Sebuku, jenis hutan non kayu ini sangat penting untuk

keperluan masyarakat karena dapat menjadi sumber uang tunai (cash) bagi

mereka.

B. Sejarah Dayak Agabag

b.1. Sejarah Dayak Agabag Persfektif Sosio Mitologis

Pada zaman dahulu ( Prasejarah ) sebelum segala sesuatu yang ada

menjadi ada menurut mitologi yang hidup, berkembang dan diyakini oleh

masyarakat Dayak Agabag dari zaman dahulu sampai pada saat ini adalah

bersumber dari Tujuh Bersaudara yang di sebut sebagai Tulu Aga~aka. Tulu

Aga~aka sudah ada sebelum yang lain di dunia ini ada dan sebelum permulaan

dunia ini.

Dalam Mitologi Dayak Agabag mereka di yakini sebagai zat yang pernah

ada untuk membentuk semua yang ada di dunia ini ( Namisi da Tanah ). Dari

Tulu Aga~aka ini tiga di antaranya diketahui namanya yaitu Yaki Kaligot,
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Apaling dan Alomod (kisah Tulu Aga~aka akan ditulis dalam buku tersendiri).

Setelah mereka mengadakan semuanya di dunia ini mereka membuat

kesepakatan untuk meninggalkan daerah Agabag untuk mengembara tetapi dari

mereka bertujuh Yaki kaligot memilih bertahan untuk tinggal di daerah Dayak

Agabag. Yaki kaligot memiliki ukuran tubuh yang tinggi di perkirakan sekitar 20

meter dan hidup di daerah pegunungan hulu sungai yang Sekarang dikenal

sungai Sumalumung

Setelah sekian lama hidup menyendiri Yaki kaligot berpikir untuk

memerlukan seorang pendamping hidup, dalam suatu perjalanan untuk mencari

hewan buruan di hutan Yaki Kaligot bertemu dengan seorang perempuan yang

memiliki tubuh besar juga yang bernama Yadu Kulimbong/Yadu Boton mereka

pun hidup bersama dimana daerah Dayak Agabag Belum ada satupun manusia

pada zaman itu. Begitu lama mereka hidup bersama akhirnya Yadu

Kulimbong/Yadu Boton melahirkan anak laki-laki yang di beri nama Pangimong

dan anak kedua mereka seorang perempuan yang diberi nama Dalaaiti

Beberapa waktu kemudian Yaki Kaligot pun meninggal ( Kuburan

Sekarang masih ada di daerah Sungai Sumalumung ) tak berselang lama Yadu

Kulimbong pun juga meninggal.

Sejalan dengan berputarnya waktu Dalaaiti pun Melahirkan Yaki SADOL.

Yaki Sadol merupakan anak Yaki Pangimong dengan Dalaaiti. Yaki Sadol dalam

hidupnya memiliki kelebihan (orang sakti). Menurut keyakinan yang turun


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

temurun dipercayai oleh orang Agabag terdapat bekas kaki Yaki Sadol dimana

sekarang dapat yang kita temui diatas batu-batu di wilayah Sungai Long Bulu.

Batu dan bekas kaki Yaki Sadol masih ada sampai saat ini.

Yaki Sadol memiliki istri bernama Yadu Polod, Yadu Polod berasal dari

tumbuhan Polod sendiri. Dalam sejarah Dayak Agabag, mulai pada zaman ini

manusia menggunakan api pertama kali. Yadu Polod memiliki anjing yang setia,

dalam kesahariannya Yadu Polod menulusuri sungai dan pegunungan untuk

mencari makanan. Suatu ketika anjingnya ikut dengan Yadu Polod. Dalam

perjalanan tiba-tiba anjingnya menggonggong daun. Yadu Polod pun melihat dan

menghampiri apa yang digonggong anjingnya. Yang digonggong anjingnya

adalah daun ( Dayak Agabag memberi nama pada daun itu, Daun Apa, daun

apa digunakan untuk penyedap rasa).

Setelah itu Yadu Polod melanjutkan perjalanannya, tidak jauh dari tempat

semula dia mendapatkan Daun Apa. Anjingnya menggonggong lagi dan Yadu

Polod pun berkata dalam hati apa lagi yang digonggong anjingnya?. Yadu Polod

mendatangi dan ternyata yang digonggong anjingnya adalah sebatang pohon.

Sambil menggonggong anjingnya mengibaskan kakinya di pohon itu, dimana

terdapat lumut yang mirip dengan kapas. Yadu Polod pun mengikisnya dari

pohon itu ( Dayak Agabag Menyebutnya Todok ). Yadu Polod kemudian

mengambil Todok, selesai mengambil Todok ia pun melanjutkan perjalanan.


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Tidak lama berselang anjingnya menggongong Bambu (Dayak Agabag

Menyebut Tiikan), Yadu Polod mengambilnya juga. Dalam perjalanan pulang

anjing Yadu Polod menggongong lagi kali ini yang digonggong anjingnya adalah

batu putih, Yadu Polod pun memungut batu itu. Setelah sampai di rumah Yadu

polod bertanya dalam hatinya apa arti dan apa kegunaan dari semuanya ini?

Dalam tidurnya, Yadu Polod bermimpi bahwa itu adalah bahan untuk

menyalakan api dan Daun Apa sebagai penyedap rasa ( masih digunakan

samapi sekarang). Setelah bangun dari tidurnya Yadu Polod mempraktikkan

petunjuk mimpinya ternyata terbukti dan pada saat itu mulailah masyarakat adat

Dayak Agabag mengenal adanya api. Tak lama kemudian Yadu Polod bertemu

dengan Yaki Sadol dan Yaki Sadol pun mengambil Yadu Polod sebagai istrinya.

Setelah sekian lama Yaki Sadol hidup bersama dengan Yadu Polod

mereka pun memiliki beberapa anak salah satunya bernama Yadu Bongon.

Yadu Bongon hidup bersama Yaki Sadol dan Yadu Polod, berbeda dengan

keluarganya yang lain. Setelah kedua orang tuanya meninggal hiduplah Yadu

Bongon sebatang kara tak tahu dimana sanak saudaranya yang lain.

Dalam mempertahankan hidupnya Yadu Bongon selalu mencari udang di

sungai kecil. Suatu ketika Yadu Bongon mendapat udang sungai yang lebih

besar dari biasanya Gampasan. Yadu Bongon pun memeliharanya, lama

kelamaan tempat Yadu Bongon memelihara Gampasan tersebut tidak muat lagi,

maka Yadu Bongon pun melepaskan Gampasan tersebut ke sungai dan setiap
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

hari di beri makan. Suatu saat Gampasan itu bertarung dengan buaya kedua-

duanya mengalami luka yang serius dimana buaya kalah dan lari sementara

Gampasan naik di pinggir sungai dan mati. Setelah Yadu Bongon mengetahui hal

itu, dia sangat sedih, setiap hari Yadu Bongon menangis.

Pada suatu saat Yadu Bongon bermimpi dimana dia harus mengumpulkan

tulang Gampasan tersebut dan memasukkannya ke dalam tempayan ( Sampah

Ogong ). Tempayan itu diletakkan diatas kayu bakar yang berasal dari dahan

pohon rambutan lalu di bakar. Setelah bangun dari tidurnya Yadu Bongon pun

melaksanakan apa yang terdapat dalam mimpinya. Pada saat tengah membakar

Tempayan tempat tulang Gampasan dimasukkan Tempayan itu pecah dan pada

saat yang bersamaan berdirilah seorang laki-laki yang muda, kekar dan Yadu

Bongon memberi nama laki-laki itu Manigan. Setelah hidup bersama sekian

lama mereka memiliki banyak anak, Yaki Manigan dan Yadu Bongon memiliki

umur panjang. Pada zaman kejayaan Yaki Manigan banyak tantangan yang

dihadapinya, mulai dari pemusnahan Tanyiow ( Mahluk Raksasa Pemakan

Manusia ), Piak ( Sejenis Naga ), Kanji/Kanyei dan Kudong ( Penyebar Penyakit

Kusta ). Sejak Zaman kudong ini, anak cucunya Yaki Manigan terpencar ke

pegunungan dan hulu-hulu sungai karena masing-masing mau menyelamatkan

diri. Mulai pada zaman ini terjadi penyebaran Masyarakat Adat Dayak Agabag di

daerah pegunungan dimana pada masa itu cara mempertahankan hidup dengan
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

berpindah-pindah dari satu pegunungan ke pegungunan lain, dari sungai yang

satu ke sungai lain dan dari dataran satu ke dataran lainnya.

Setelah terpisah dalam waktu yang lama Dayak Agabag terjebak pada

Fase Mengayau ( Agaayou ), pada masa ini hiduplah beberapa orang pemberani

( Ulun Masioog ) diantaranya mulai dari Yaki Bumbulis, Yaki Sukat Balungkung,

Kalamuku Nansyak, Yaki Pangkayungon, Yaki Linggit, Yaki Lumbis, dan banyak

lagi Ulun Masiaoog lainnya yang tersebar di seluruh sungai yang ada di Kec.

Lumbis, Sembakung dan Sebuku ( Sekarang ini ) dan Sungai Sadimulut, bahkan

sampai di Linuang Kayam, Tanah Lia dan Liu Gau.

Pada masa ini ( Agayou ) orang pemberanilah ( Ulun Masioog ) yang

menegakkan Hukum Adat, dimana Ulun Masioog disegani oleh masyarakat yang

lain. Untuk menyandang gelar Ulun Masioog pada masa itu tidak semuda kita

bayangkan. Hal itu di ukur dari banyaknya kepala manusia yang di penggal,

apabila terdapat sesorang yang paling banyak dapat kepala dialah menjadi

penguasa dan menegakkan Hukum Adat pada komunitasnya.

b.2. Sejarah Eksistensi Dayak Agabag dari Pendekatan Antropologis

Agabag Endone Kuno Yang Diwariskan

Penamaan diri secara endonem adalah penamaan yang diri yang luhur

dan hakiki karena merupakan nama penamaan komunitas yang diwariskan oleh

leluhur secara lahiriah dan batiniah yang keluar dalam hati tanpa ada pengaruh
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

dari orang luar atau tidak berasal dari penamaan orang luar dari komunitas

leluhur Dayak Agabag.

Kehidupan nenek moyang dayak Agabag adalah mengembara dalam

sejarah kehidupan masyarakat hukum adat Dayak Agabag merupakan

kehidupan awal leluhur nenek moyang Dayak Agabag dahulunya, dan

pengembaraan di tengah hutan rimba belantara (katanaan) ini merupakan

peradaban awal leluhur Dayak Agabag dalam menemukan dan menciptakan

cara hidup, hasil-hasil karya, nilai-nilai adat dari kehidupannya bersama alam

semesta atau hutan belantara, dimana dalam kehidupan sehari-hari bergantung

pada kegiatan berburu dan meramu dari gunung ke gunung (olot), dari sungai ke

sungai di sepanjang wilayah sungai Sembakung, sungai Sebuku, sungai Tulid,

sungai Sadalid dan sungai Sumalumung, Sungai Sumentobol dan Sungai

Semanggaris yang hidup secara nomaden yang terjadi kurang lebih dari tahun

2500 sebelum masehi (SM) - 1650 masehi (M) di wilayah pulau borneo bagian

utara. Lahirnya peradaban hidup dayak Agabag oleh leluhur nenek moyang

dayak Agabag terjadi pada masa tahun 2500 sebelum masehi (SM), nenek

moyang dayak Agabag menemukan peradaban-peradaban hidup di wilayah

sungai Sembakung, sungai Sebuku, sungai Tulid, sungai Sadalid dan sungai

Sumalumung dan sungai Sumanggaris sebagai wilayah adat, nilai-nilai

peradaban yang dilahirkan oleh nenek moyang dayak Agabag adalah bahasa,

hukum adat, peradilan adat, kelembagaan adat, unsur-unsur kebudayaan seperti


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

sistem kepercayaan, seni kukuy (seni budaya), ritual dolop (hukum adat

menyelam dalam air untuk mencari kebenaran), ritual limbai atau talumaag

(pengobatan tradisional dengan memnaggil roh-roh leluhur).

Asal usul masyarakat hukum adat Dayak Agabag pada mulanya

berdasarkan pola dan proses penyebaran manusia leluhur bahwa leluhur

masyarakat hukum adat Dayak Agabag tergolong ras Proto Melayu (Melayu

Tua), yang hidup turun temurun dan beranak pinak diatas daratan pulau Borneo

bagian utara, sekitar tahun ± 2500 Sebelum Masehi, menurut Profesor KMA M.

Usop, MA, mantan rektor Universitas Palangkaraya 1981-1988, bahwa pada

masa 3000 sampai dengan 2000 Sebelum Masehi orang-orang Austronesia

sudah sampai dan menghuni Pulau Kalimantan (Usop, 1996: 8). Menurut

keturunan (geneologis) bahwa leuhur masyarakat hukum adat Dayak Agabag

merupakan bagian dari keturunan (geneologis) Rumpun Murut yang ada di pulau

borneo bagian utara, hal itu terlihat dari sebaran wilayah (territorial) bahwa

masyarakat hukum adat Dayak Agabag satu wilayah (teritorial) sungai dan

daratan dengan Rumpun Murut, dan kesamaan identitas (identity) kebudayaan

dimana masyarakat hukum adat Dayak Agabag memiliki nilai-nilai kebudayaan

yang sama dengan rumpun murut dalam hal bahasa, sistem kepercayaan,

sistem pengetahuan, sistem peralatan dan perlengkapan, mata pencaharian,

kekuasaan adat, dan kesenian.Masyarakat hukum adat Dayak Agabag

merupakan bagian dari bangsa Dayak menurut ikatan wilayah (territorial) dan
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

menurut kesamaan kebudayaan, yang hidup turun temurun dan beranak pinak

diatas daratan pulau kalimantan sekitar tahun ± 2500 Sebelum Masehi (SM).

Pola penyebaran leluhur masyarakat hukum adat Dayak Agabag berdasarkan

wilayah (teritorial) menyebar dan berkembang dengan pola kehidupan

mengembara untuk berburu, meramu dan bercocok tanam, kemudian menetap

dalam kehidupan baloi abuat dan kehidupan kampung disetiap wilayah sungai

besar dan sungai kecil baik itu sungai besar dan sungai kecil di daratan pulau

borneo bagian utara pada wilayah sungai Sembakung, sungai Sebuku, sungai

Tulid, sungai Sadalid, Sungai Pasingan, Sungai Sumentobol, Sungai Saludan,

Sungai Tadungus, Sungai Long Bulu, Sungai Sodongon, Sungai Taluan, Sungai

Ubol, Sungai Sumalumung dan sungai Seimangaris. Kemudian penyebaran

masyarakat hukum adat Dayak Agabag di wilayah sungai besar dan sungai kecil

di sepanjang sungai Sembakung, sungai Sebuku, sungai Tulid, Sungai

Sumanggaris dipengaruhi oleh adat antabug (adat mengayau) dengan tujuan

melindungi untuk wilayah masyarakat hukum adat Dayak Agabag dari serangan

musuh yang ingin menduduki wilayah kekuasaan Dayak Agabag, sehingga

leluhur nenek moyang Dayak Agabag menempatkan orangnya yang pemberani

sebagai pemimpin wilayah yang disebut dengan “ulun masiog”, pada setiap olot

(gunung), gana (dataran), sungai besar dan sungai kecil di wilayah Dayak

Agabag di sungai Sembakung, sungai Sebuku, dan sungai Tulid, dan masa adat

antabug tersebut terjadi pada 1650– 1942. Turut pula mempengaruhi pola
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

penyebaran manusia masyarakat hukum adat Dayak Agabag di wilayah sungai

Sembakung, sungai Sebuku, sungai Tulid adalah tradisi tumalun (berburu dan

meramu) dengan tujuan untuk mencari bahan makanan setiap hari ditengah

hutan, sungai berupa tumbuh-tumbuhan (paluon), hewan, ikan dan bercocok

tanam dengan sistem ladang berpindah-pindah dengan tujuan menanam ilui

(ubi), bilod (padi). Berkaitan dengan identitas Dayak Agabag tersebut para

peneliti Belanda masuk ke di wilayah sungai Sembakung, sungai Sebuku, sungai

Tikung, sungai Tulid, sungai Sumanggaris untuk melakukan penelitian-penelitian

di wilayah suku dayak Agabag.

Sebutan kedirian identitas Agabag dalam kehidupan sehari-hari oleh

nenek moyang dayak Agabag merupakan sebuah sebutan endonem kuno diri

yang paling asli dan tertua sering digunakan nenek moyang dayak Agabag untuk

menamai atau menyebut diri mereak pada masa zaman kuno atau zaman batu

tahun 2500 sebelum masehi (SM)-1850 masehi (M), masa Antabug (Ngayau)

1650-1900 walaupun masih terjadi beberapa peristiwa pembunuhan terhadap

serdadu Belanda di Manslong paska Perdamaian Batu Pangasaan, Belanda

(1883-1942), masa Jepang (1942-1945) dan masa Indonesia (1945-1999) dan

masa Indonesia otonomi daerah (1999-sekarang) di wilayah sungai besar yakni

sungai Sembakung, sungai Tikung dan sungai Tulid, sungai Sebuku, sungai

Sumanggaris. Identitas Agabag dalam riwayat hidup nenek moyang dayak

Agabag dari waktu ke waktu pada masa lampau, bahwa penamaan dan atau
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

penyebutan identitas diri atau kedirian oleh nenek moyang dayak Agabag pada

masa lampau adalah “Agabag” kata Agabag adalah sebuah sebutan diri dalam

interaksi sehari-hari nenek moyang dayak Agabag di wilayah sungai Sembakung,

sungai Tikung, sungai Tulid secara endonem atau secara spontan yang lahir dari

sanubari para leluhur dayak Agabag tanpa pengaruh dari pihak luar.

Sebutan Agabag digunakan oleh nenek moyang dayak Agabag dahulu

sebagai penamaan diri yang menunjukkan identias diri mereka di masa lampau

dalam interaksi komunikasi manusia dayak Agabag yang masih hidup dengan

sang leluhurnya yang sudah meninggal dunia dengan menyebut diri Agabag

(ulun Agabag), sehingga terjadi hubungan komunikasi spiritualitas antara

manusia yang hidup dengan leluhur nenek moyang yang sudah meninggal dunia

secara ikatan emosional-geneologis yang kuat pada masa itu dalam upacara

ritual-ritual adat “limbay, talumaag”. Sebutan penamaan diri Agabag juga

digunakan dalam kehidupan sehari-hari sesama dayak Agabag seperti “ketika

ada tamu atau orang Agabag yang datang berkunjung ke baloi abuat saudaranya

di kampung yang lain dengan menggunakan transportasi perahu (padau), maka

tuan rumah menyuruh salah satu keluarganya melihat di sungai siapa yang

datang maka salah satu orang pergi melihat di sungai untuk mempersilakan naik

lalu salah satu orang tadi menyampaikan bahwa yang datang itu orang Agabag

(atu ulun da tunon giano ile bai atu giano, am lakou kono nu dono agilong, am uli

kono kono da baaloi amala ulun Agabag nga giano atau yabag nga giano)”.
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Interaksi nenek moyang dayak Agabag dengan alam semesta sekitarnya

untuk menyebut diri dengan identitas Agabag dalam ritual memanggil dan

meminta izin dengan penghuni alam semesta dalam ritual “anyambah” dan pada

masa ini belum ada interaksi nenek moyang dayak Agabag dengan suku lain dan

belum ada pemerintahan yang berkuasa seperti Belanda, Jepang dan Indonesia.

Pada masa Antabug (Ngayau) sejak tahun 1650-1941 nenek moyang dayak

Agabag yakni para ulun masiog ketika pulang dari Antabug (Ngayau) mereka

mendapatkan kepala hasil Antabug (Ngayau) para ulun masiog agimbalut

dengan bahasa “akai no gitu ulun Agabag (yabag) nakaalap da ulu nu tabug

(inilah kami orang Agabag mendapatkan kepala manusia hasil dari Ngayau)”,

setelah pulang dari Antabug (Ngayau) masyarakat suku dayak Agabag

melakukan ritual pesta adat sebagai ucapan syukur karena dituntun oleh leluhur

dan alam semesta yang disebut dengan “Ilau Apajung Da Ulu”.

Sebutan identitas Agabag digunakan oleh nenek moyang dayak Agabag

menunjukkan adanya hubungan identitas dengan linguafrangka (lingustic) serta

adanya hubungan geneologis-teritorial (keturunan dengan wilayah) dengan

membagi-bagikan wilayah adat desa dengan Imbalut bahwa sekitar 87 (delapan

puluh tujjuh) desa memiliki nama adat di wilayah adat dayak Agabag

Sembakung, Lumbis, Sebuku, Lumbis Ogong, Tulin Onsoi dan Sembakung

Atulai. Artinya bahwa leluhur nenek moyang dayak Agabag dahulu mengikat

keturunan (genologis) dayak Agabag dengan wilayah (territorial) adat dayak


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Agabag secara turun temurun melalui adanya nama imbalut setiap wilayah adat

desa di wilayah sungai besar yakni sungai Sembakung, sungai Sebuku, sungai

Tulid, sungai Sadalid dan sungai Sumalumung dan sungai Sumanggaris. Agabag

merupakan sebuah istilah kuno yang menunjukkan sebuah imbalut (penyebutan)

identitas (identity) kedirian oleh leluhur nenek moyang masyarakat hukum adat

Dayak Agabag, artinya bahwa leluhur nenek moyang masyarakat hukum adat

Dayak Agabag mengidentitas (nagimbalut) atau menunjukkan kediriannya

dengan sebutan Agabag dalam kehidupan sehari-hari oleh leluhur masyarakat

hukum adat Dayak Agabag, dimana sebutan Agabag itu sendiri oleh leluhur

nenek moyang Dayak Agabag menjadi satu istilah kuno sebagai ikatan, tanda,

simbol, ciri khas, lambang, dan kesatuan yang menggambarkan identitas

kedirian diri sebagai satu keturunan (geneologis) dan satu wilayah (teritorial)

sungai dan daratan dalam mempertahankan, menjaga, melindungi kedaulatan

diri dari berbagai ancaman kehidupan pada masa kehidupan kuno, dimana

Identitas komunitasnya lahir dari lingustic artinya nama Dayak Agabag lahir dari

bahasa sehari-hari Dayak Agabag yang menunjukkan Identitas terhadap salah

satu pakaian mereka sehari-hari pada masa itu.

Sungai-sungai besar dalam wilayah masyarakat hukum adat Dayak

Agabag yang terbentuk oleh kekuasaan adat masyarakat hukum adat Dayak

Agabag sejak tahun ± tahun 2500 SM -1971 masehi (M).Sejak tahun 1971

dengan adanya desa berdasarkan pemerintahan republik Indonesia di wilayah


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

masyarakat hukum adat Dayak Agabag, tanpa menghilangkan kekuasaan adat

masyarakat hukum adat Dayak Agabag yang berjalan sejak tahun 2500 SM –

1970 masehi sampai sekarang. Dimana kekuasaan adat pada masa kehidupan

desa tersebut di wilayah adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag tetap dan

masih berperan kuat dalam melaksanakan penegakan hukum adat masyarakat

adat Dayak Agabag dan nilai-nilai adat Dayak Agabag. Uraian diatas termuat

dalam Buku I Keputusan Adat Dayak Tentang Asal Usul Dayak Agabag halaman

1-63 dan Klarifikasi dan Penegasan Sejarah Sebutan Identitas Diri Dayak

Agabag Halaman 2-22.

Zaman Mengayau (Antabug)

Pada tahun 1650-1900 nenek moyang suku dayak Agabag memasuki

pada fase Antabug (mengayau) hingga dilaksanakan Perdamaian di Batu

Pangasaan. Karena kesuburan tanah dan kekayaan alam yang membuat Dayak

Agabag diserang dari berbagai penjuru mata angin dari suku lain karena ingin

menguasai dengan menggeser Dayak Agabag dari aliran Sungai Sembakung,

Sungai Sebuku, Sungai Tulid, Sungai Seimangaris, Sungai Sumalumung, Sungai

Sumentobol, Sungai Sumantipal, Sungai Saludan, Sungai Long Bulu, Sungai

Sodongon. Dari arah muara Sungai Sembakung yang masuk adalah yang

leluhur Dayak Agabag menyebutnya “Ulun Nu Ilui” dari Muara Sungai Sebuku

dan Semangaris Masuk Menyerang “Ulun Segai” dari arah timur masuk Tagalog
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

(tentara Kerajaan sulu), dari arah Utara “Ulun Salawak” dan dari arah Barat “Ulun

Putuk” dan Pada fase mengayau inilah para Ulun Masiog Dayak Agabag

membentuk pertahanan suku yang sangat ketat dimana pada masa itu setiap

orang yang tidak bisa berbahasa Agabag akan ’dipenggal” dan setiap muarah

sungai dikirim para pengintai, hingga hal ini yang membuat Dayak Agabag sulit

dimasakui dan akhirnya dapat mempertahankan suatu wilayah yang kaya dan

subur yang saat ini dikenal dengan istilah wilayah Kabudaya, tetapi setelah

perdamaian Tumbang Anoi dan Perdamaian Pengasaan hubungan menjadi baik

saling mengormati dan menghargai hingga saat ini.

Akibat adanya pemutusan komunikasi dengan pihak luar karena bagian

dari “savety” pada masa itu berakibat buruk terhadap lambatnya perkembangan

Dayak Agabag dari berbagai sektor yang secara perlahan dan pati saat ini mulai

terus perbaiki.
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

(Dokumen Of Sebuku)

Pada masa perang Mengayau (Antabug) ini seluruh wilayah sungai besar

dan sungai kecil di wilayah sepanjang sungai Sembakung, sungai Sebuku,

sungai Tulid, sungai Sadalid dan sungai Sumalumung dan sungai Sumanggaris

dijaga oleh nenek moyang dayak Agabag dengan menempatkan pemimpin “ulun

masiog” disetiap muara sungai yang dinilai merupakan jalur masuk orang dari

luar, sehingga selama masa serangan musuh Ngayau pada 1650-1900, hanya

suku dayak Agabag yang menduduki wilayah sepanjang sungai Sembakung,

sungai Sebuku, sungai Tulid, sungai Sadalid dan sungai Sumalumung dan

sungai Sumanggaris, karena suku lain sebagai musuh Antabug (Ngayau) yang

menyerang wilayah dayak Agabag masa itu sulit untuk melawan masuk ke

wilayah suku dayak itu Agabag. Hal ini diakui sendiri oleh Sultan Bulungan dan

Raja Muda “Panglima Perang’ Kesultanan Bulungan ketika pangeran Djamalul

dan Pangeran Anum meminta ijin kepada Sultan Alim Al-Din (Alimudin) kisah ini

tertulis dalam Dokument Of Sebuku.

Perdamaian Batu Pengasaan

Satu peristiwa sejarah dapat direkonstruksi berupa seni patung

apabila peristiwa tersebut meninggalkan jejak berupa sumber sejarah. Ada

empat jenis sumber sejarah: tulisan, lisan, benda, dan sumber visual. Tanpa

adanya sumber sejarah, mustahil satu sumber sejarah dapat direkonstruksi.


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Dengan demikian, satu rekonstruksi sejarah haruslah selalu didasarkan atas

sumber-sumber sejarah. “The historian works with documents…There is non

substitute for documents: no documents, no history”, begitu ujar Charles-Victor

Langlois dan Charles Seignobos”. Dalam melakukan rekonstruksi sejarah, ada

empat tahapan kerja yang perlu dilalui sejarawan, yakni tahapan heuristik atau

pengumpulan sumber. Kedua, tahapan kritik atau seleksi sumber. Ketiga,

tahapan interpretasi atau penafsiran fakta sejarah. Keempat, tahapan

historiografi atau penulisan sejarah. Kabar perdamaian Tumbang Anoi 1894

menjadi pembicaraan pada masa itu baik disampaikan melalui “mulut ke mulut”

atau Spirit atau semangat perdamaian Tumbang Anoi ini juga merupakan bagian

dari misi Belanda untuk melakukan hal yang sama di wilayah dayak lainnya.

(Situs Batu Pangasaan)


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Batu Pangasaan Merupakan Cagar Budaya yang dilindungi Masyarakat

Hukum Adat Dayak Agabag dari dulu hingga saat ini dan sedang diusulkan oleh

masyarakat adat Dayak Agabag kepada pemerintah daerah Nunukan untuk

mejadi Cagar Budaya. Batu Pangasaan adalah nama sebuah Batu dan Giram

sekaligus hamparan pasir yang luas dan satu deretan dengan Giram Tunangon,

secara arafiah Pengasaan adalah kosa kata Bahasa Dayak Agabag berasal dari

kata “ASA” sehingga Pangasaan dapat diartikan sebagai “Tempat Mengasa”

yang merujuk pada mengasa Mandau dan Tombak, Batu Pengasaan terletak

dalam peta adat Desa Nantukidan yang merupakan batas wilayah adat desa

Nantukidan dan Labang tempat ini adalah menjadi saksi sejarah Dayak Agabag

menghakiri Mengayou/Mengayau dengan suku-suku disekitarnya karena di

tempat itulah digelar prosisi ritual adat perdamaian untuk menghentikan Agayou

(memengal kepala) yang dihadiri oleh seluruh Ulun Masiog Dayak Agabag

Sepanjang Sungai Sembakung, Jujul, Sungai Sumintobol, Sumalumung, Sungai

Saludan, Sungai Samunti, Sungai Ubol Sebuku, Sungai Sadalid, Sungai

Sumatalun, Sungai Pasingan, Sungai Sulon, Sungai Manggaris, Sungai Sepulut

(Sabah), Sungai Pinango (Sabah) dan Sungai Kuamud (Sabah). Menurut tuturan

para orang tua dari cerita secara terun temurun Perdamian ini di perkasai oleh

beberapa Ulun Masing pada masa itu diantaranya Yaki Linggit (Nantukidan), Yaki

Lumbis (Kinokot), Yaki Pangkayungon (Sadalom), Yaki Lopoy (Jujul), Yaki

Balanai (Ngawol), Yaki Kudatakon (Sumintobol), Yaki Panyungkil (Sumintobol)


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

dan di hadiri oleh Yaki Tliason (Samunti), Yaki Ibit (Bantul), Yaki Balanai

(Suyadon), Yaki Bugangon (Sungai Sebuku), Yaki Kulumbus (Sungai Tulid), Yaki

Sukad Balungkung (Sungai Sumalumung), Yaki Bakie atau Ubong (Hulu Sungai

Sumalumung), Yaki Timbaga (Pompong Matus, Sapuyan Sekarang), Yaki Tilason

(Samunti) Yaki Angkawot (Sungai Sumatalun jajahan Inggris sekarang masuk

Sabah), dimana mereka datang dengan pasukannya.

Perdamaian Batu Pangasan itu tak diketahui persis tanggal dan tahunnya

tetapi banyak yang berkesimpulan berdasarkan keterangan para penutur bahwa

Perdamaian Batu Pangasaan dilaksanakan sekitar tahun 1895-1900 karena jika

berdasarkan nama para leluhur tersebut dan generasi dari para pelaku sejarah

perdamaian tersebut terdapat 4-5 genarasi pada saat ini dan argumentasi ini

diperkuat oleh dokumen Verslag Deer Commise 1912-1915 dimana diceritakan

Belanda mulai masuk sungai Sembakung-Lumbis, Tulid, Tikung dan Simanggaris

pada tahun 1907, setelah perang suku dalam sungai ini "aman" Belanda baru

berani masuk pada tahun 1907 hanya untuk mengumpulkan informasi awal saja

yang dipimpin oleh Kapitein Fischer Kapitein Fischer yang awalnya melalui

sungai Sesayap untuk sampai di persimpangan sungai Sedalid, Pansiangan dan

Sembakung (Labang) namun Fischer tidak terlalu jauh mausk ke sungai

Pansiangan karena dia merasa perjalan “tidak aman” dan setelah turun dari

sungai sembakung Fischer melanjutkan perjalanan ke wilayah darat

pembeliangan (die in 1907 aankwam bij de Sedalid rivier vanaf de top van de
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Mongoolse rivier en de gevleugelde in Loembis, verzamelde hier de eerste

informatie. De Sedalid rivier afvarend (Labang) ging hij de Jentjiangan rivier niet

op , meenende zich riet te dicht bij de grens te beyinden. (Dit bleek zeer juist

gezien te zijn. Daarna de Sembakoeng Afarend, ging hij over land naar

Pembeliangan, waar hij dit gebied verliet.)

Foto Belanda di Labang 1907

Setelah melakukan survie di "wilayah Agabag" terutama tentang

keamanan dari perang suku dan kondisi wilayah dinilai sudah aman maka

komite atau panitia dari Belanda melakukan rapat di Batavia (Jakarta) untuk

persiapan ekspidisi dan pada tanggal 28-31 April 1911 dimana masing-masing

anggota survie berangkat ke Surabaya dan 6-15 mei pemimpin ekspidisi pergi ke

Banjarmasin untuk melakukan rapat persiapan terakhir dan seterusnya tim ke


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

tanjung selor dan untuk memperlancar survei Belanda membangun pos di Palaju

setelah itu mereka mudik menyusuri sungai sembakung dan membangun

merkas ekspidisi di Labang, dalam lanjutan catatan ekspidisi tersebut Palaju

masih kosong tidak ada orang sehingga untuk menujang kelecaran ekspidisi

Belanda memperkerjakan orang-orang Dayak Agabag dari Labang sebagai

tukang perahu (Na de voorbereiding der expeditie en eenige besprekingen

tusschen de leden der commissie welke te Batavia waren aangekomen, vertrok

de lider en deleden resp. 31 en 28 April 1911 naar Soerabaja. Den Mei Vertrok

de leider naar Bandjermansin om daar van 6-15 mei de laatste voorbereidselen

voor de expeditie in persoon te regelen), Vertrek Van Labang Naar Palajoe

terdapat dalam keterangan foto ke 24 dalam dokumen Verslag Deer Commise

1912 yang diterbitkan oleh pemerintah Hindia Belanda di Batavia Landsdrkkerij

pada tahun 1913 dengan judul Uitzetiting Op Het Terrein Van De Tusschen Het

Nederlandsche Gebied En Britisch Nood Boreno Vast Gestelde Grens.

Terdapat tiga (3) fakta yang tak terbenatahkan terhadap validitas peristiwa

Perdamaian Batu Pengasaan yaitu:

1. Jejak-jejak bekas mengasa Mandau dan Tombak di batu Pangasaan yang

dapat dilihat saat ini dimana batu-batu itu terdapat bekas mengasa mandau

dan tombak yang terlihat tempat mengasa dalam kurun waktu yang lama,

karena temapt mengasa Mandau dan Tombak lah pula menjadi salah satu
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

faktor dipilihnya Batu Pangasan sebagai tempat perdamaian, karena

sebelumnya Batu Pengasaan ini memiliki mitos yang diyakini masyarakat

pada masa itu sebagai tempatnya Tuluh Agaka (Tujuh Bersaudara) mengasa

tulang belikatnya Landak (Butun) untuk menebang Batu Punggul, dari Mitos

ini para Ulun Masiog saling bergantian untuk mengasa Mandau dan Tombak

di Batu tersebut karena mereka meyakini bahwa jika Mandau atau Tombak di

asa pada batu tersebut akan menjadi pembuka “Kebal” hingga saat ini

masyarakat sekitar meyakini hal tersebut, dimana jika siapuan mengasa

parang atau sejenisnya di Batu Pengasaan jika tidak dipakai untuk memotong

hewan hasil buruan, maka parang itu akan melukai kita sendiri jika dipakai

berkerja.

2. Terdapatnya manusia yang bermukim di Pal atau Bantul sekarang sebagai

keturunan dari keluarga yang dinikahkan sebagai bentuk kongrit dari

Perdamaian, setelah melakukan pembicaraan tentang poin-poin perdamaian

yang tentunya penuh dengan simbol-simbol adat pada masa itu diantaranya

melompati kerbau yang telah dibungkus dengan anyaman dari rotan dengan

motif Pinungu (simbol persatuan), masing-masing Ulun Masiog wajib

membawah akar Tubah (Tunyok/Tunjok) untuk dipakai simbolniasi

menghentikan darah yang berpuluh-puluh tahun mengalir disungai setelah

perdamaian Tubah itu mereka rendam dimana air tubah itu menyerupai air
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

susu sebagai simbol perdamaian dan tidak akan ada lagi darah yang

mengalir di sungai-sungai. Setelah ritual simbolniasi tersebut dilakukan maka

kesepakatan itu ditutup dengan keputusan menikahkan adik laki-laki dari Yaki

Lumbis yang bernama Muntalan dari pihak “hilir” dengan Yadu Nyapoi adik

perempuan dari Yaki Angkawot dari Sungai Sumatalun dari pihak “hulu” dan

diputuskan mereka harus tinggal mendiami Pal (sekarang Kampung Bantul),

anak dari Muntalan dan Nyapoi adalah Yaki Gading dan saat ini ada adalah

keturunan ke empat dan kelima. Semua orang Dayak di hulu sungai

sembakung dan selatan Sabah tentang Sadjak/Syair atau Imbalut Yaki

Gading pada kejayaannya yang berbunyi "Gitu Gading, Sulud Nu Atad

Natalikad Namalolot da Kawanan Apulak Am Atadong" (Ini saya Gading Taji

Ayam (Ayam Jantan) Sebelah-menyebelah Keturunan dari penyatu Awan

Putih dan Awan Hitam” Sadjak ini merujuk bahwa mereka adalah keturunan

dari bentuk kongkrit dari Perdamaian Batu Pengasaan.

3. Keturuan dari para Ulun Masiong yang datang melakukan perdamaian di

pengasaan saat ini masih ada dan mengetahui terhadap terjadinya peristiwa

tersebut.

Perdamaian Batu Pangasaan menghasilkan kesepakatan antara lain

untuk mengakhiri pertikaian (Mengayau) dan Ulipon/Dakop (Budak) sesama


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

suku Dayak, dimana Mengayau pada saat itu disebabkan oleh beberapa faktor

diantaranya:

1. Kekuasaan atau saling menguji Gelar Ulun Masiog

2. Berebut mata air payau (sopon) sebagai sumber garam

3. Berebut Talunon (Sungai dan Hutan Tempat berburuh)

4. Agalau (tunangan orang lain direbut)

5. Mepertahankan wilayah adat yang mau direbut suku lain.

6. Mencari Ulipon (Budak) yang biasanya dipergunakan untuk menukar

satu wilayah adat atau untuk mas kawin (Mika Okosima, dokumen of

sebuku 1918).

Masa Penjajahan

Hindia Belanda masuk membentuk pemerintahan Hindia Belanda di pulau

Kalimantan tahun 1846, sedangkan pemerintahan Hindia Belanda masuk ke

wilayah Kalimantan Utara melalui pulau Tarakan pada tahun 1923 dengan

menempatkan seorang pejabat berkedudukan sebagai asisten residen di pulau

Tarakan untuk penguatan penguasaan ladang minyak yang dikuasai oleh

Belanda sejak penemuan minyak di pulau Tarakan tahun 1896 oleh perusahaan

minyak Belanda (Bataavishe Petroleum Maatchapij).


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Sebelum masuk membentuk pemerintahan Belanda terlebih dahulu

melakukan ekspidisi sebagai mana laporan yang termuat Verslag Der Commisse

1912 Belanda mulai masuk sungai Sembakung-Lumbis, Tulid, Tikung dan

Simanggaris pada tahun 1907, setelah perang suku dalam sungai ini "aman"

Belanda baru berani masuk pada tahun 1907 hanya untuk mengumpulkan

informasi awal saja yang dipimpin oleh Kapitein Fischer Kapitein Fischer yang

awalnya melalui sungai Sesayap untuk sampai di persimpangan sungai Sedalid,

Pansiangan dan Sembakung (Labang) namun Fischer tidak terlalu jauh mausk

ke sungai Pansiangan karena dia merasa perjalan “tidak aman” dan setelah

turun dari sungai sembakung Fischer melanjutkan perjalanan ke wilayah darat

pembeliangan (die in 1907 aankwam bij de Sedalid rivier vanaf de top van de

Mongoolse rivier en de gevleugelde in Loembis, verzamelde hier de eerste

informatie. De Sedalid rivier afvarend (Labang) ging hij de Jentjiangan rivier niet

op , meenende zich riet te dicht bij de grens te beyinden. (Dit bleek zeer juist

gezien te zijn. Daarna de Sembakoeng Afarend, ging hij over land naar

Pembeliangan, waar hij dit gebied verliet.)

Setelah melakukan survie di "wilayah Agabag" terutama tentang

keamanan dari perang suku dan kondisi wilayah dinilai sudah aman maka

komite atau panitia dari Belanda melakukan rapat di Batavia (Jakarta) untuk

persiapan ekspidisi dan pada tanggal 28-31 April 1911 dimana masing-masing
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

anggota survie berangkat ke Surabaya dan 6-15 mei pemimpin ekspidisi pergi ke

Banjarmasin untuk melakukan rapat persiapan terakhir dan seterusnya tim ke

tanjung selor dan untuk memperlancar survei Belanda membangun pos di Palaju

setelah itu mereka mudik menyusuri sungai sembakung dan membangun

merkas ekspidisi di Labang, dalam lanjutan catatan ekspidisi tersebut Palaju

masih kosong tidak ada orang sehingga untuk menujang kelecaran ekspidisi

Belanda memperkerjakan orang-orang Dayak Agabag dari Labang sebagai

tukang perahu (Na de voorbereiding der expeditie en eenige besprekingen

tusschen de leden der commissie welke te Batavia waren aangekomen, vertrok

de lider en deleden resp. 31 en 28 April 1911 naar Soerabaja. Den Mei Vertrok

de leider naar Bandjermansin om daar van 6-15 mei de laatste voorbereidselen

voor de expeditie in persoon te regelen), ( Labang Naar Bivak Palajo)

Keberadaan pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1923-1942 di

pulau Tarakan saat itu menjangkau sampai di wilayah sungai Sembakung,

sungai Sebuku, sungai Tulid, sungai Sadalid dan sungai Sumalumung dan

sungai Sumanggaris, hal itu dapat dilihat dari seringnya tentara KNIL Belanda

masuk ke perkampungan baloi abuat (rumah panjang). Dayak Agabag pada

masa itu tinggal di rumah-rumah panjang sebagaimana dikatakan G.N Appel The

Tulid Agabag no longer live in their traditional villages. Several years ago the

government brought them down from their traditional areas, many above difficult
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

rapids, and have aggregated them into three resettlement areas. While the

Agabag traditionally lived in longhouses (Appel,1962). Pada masa

memerintahnya Belanda pada tahun 1923-1942 sesungguhnya masyarakat

Dayak Agabag masih hidup “Savety ” bahkan masa itu Belanda juga dianggap

suku dayak Agabag sebagai bagian dari musuh dan bahkan beberapa serdadu

Belanda dibuntuh di Mansalong dan tubuh mereka dibagi-bagi ke setiap

kampung pada masa itu sebagai pemberitahuan bahwa masih ada musuh yang

masuk ke wilayah Dayak Agabag yang model kulit dan rambutnya berbeda,

sehingga pada masa itu terdapat beberapa tentara KNIL Belanda dipenggal

kepala dan dilakukan pesta adat dengan memakan daging tentara Belanda masa

itu dalam pesta adat baloi abuat oleh suku dayak Agabag. Dalam perang pasifik

Jepang menyerang pasukan KNIL Belanda pada 11 januari 1942 selama satu

hari satu malam di pulau Tarakan, akhirnya pasukan Belanda KNIL menyerah

pada tanggal 12 januari 1942, maka pulau Tarakan sebagai ladang minyak yang

sebelumnya dikuasai Belanda jatuh ke tangan Jepang sejak tahun 1942-1945

selama 3 (tiga) tahun, namun pada akhirnya ladang minyak pulau Tarakan

direbut oleh Australia pada bulan mei 21 juli 1945. Pada masa pertempuran

antara pasukan KNIL Belanda dengan pasukan tentara Jepang Right Wing Unit

dibawah Mayor Jenderal Sakaguchi tersebut, dimana pada masa itu wilayah

sungai Sembakung, sungai Tikung, sungai Tulid, sungai Sebuku, sungai

Sumanggaris mendapat tekanan patroli dari pesawat-peswat tempur Jepang dari


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

udara dari pulau Tarakan untuk menghalau pasukan KNIL Belanda, dengan

anggapan Jepang bahwa Pasukan KNIL Belanda memiliki markas di wilayah

wilayah sungai Sembakung, sungai Tikung, sungai Tulid, sungai Sebuku, sungai

Semanggaris, sehingga pada masa itu banyak kampung-kampung pemukiman

baloi abuat (rumah panjang) dayak Agabag di bom oleh pesawat-peswat tempur

Jepang melalui serangan udara pada masa itu dan tidak sedikit warga

masyarakat dayak Agabag meninggal dunia dan luka-luka dalam serangan udara

Jepang tersebut.

Tebel 1. Periodinisasi Alur Sejarah Dayak Agabag


Waktu Peristiwa/Sejarah
(1) (2)
Zaman Kudong  Terjadi penyebaran penduduk Dayak
( Penyakit Kusta ) Agabag karena takut dengan penyskit
Kudong. Semula mereka hidup
berkelompok-kelompok di daerah sungan
Sumalumung, Saludan, Sumentobol,
Agison dan Tulid
 Dari Kehidupan Berkelompok-kelompok
mereka menyebar keseluruh daerah
selatan dan disana mereka membentuk
kelompok baru dari generasi mereka
sehingga terbagi dua kelompok beser
yaitu yang menepati di pinggiran sungai
sembakung dan sungai Tikung-Tulid.
Zaman Mengayau  Terjadi perang suku antar Dayak Agabag
( Perang antar Suku ) Dengan Murut Sumatalun ( Yangawot ),
Suku Sigai dari Wilayah Bulungan, Suku
Punan.
 Jumlah Penduduk pada masing-masing
kelompok sangat kecil
 Pakaian untuk menutup tubuh hanya
dengan Cawat ( Kulit Kayu )
 Laki-laki berambut panjang dan berponi
 Rumah masih memanjang
 Mecari keperluan sehari-hari dengan
meramu hasil hutan
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Zaman Belanda  Masyarakat Dayak Agabag masyarakat


pada saat itu sembunyi di hutan
Masyarakat tidak berkebun karena
dilarang
 Pangeran Tali,Pangeran Luayang dan
Pangeran Batulis diangkat oleh Sultan
Bulungan menjadi Pangeran
 Pangeran Tali melakukan perlawanan
terhadap belanda
 Masyarakat Dayak Agabag pada masa
ini masih memiliki sifat vridator
( makan daging Manusia) karena setiap
mereka membunuh belanda pasti
mereka bagi-bagi yang mereka sebut
”Punyng”

(1) (2)
Masa Penjajahan Jepang  Masyarkat mulai kembali ke tepi sungai
 Masyarakat Dayak Agabag menjadi budak oleh
jepang
 Dayak Agabag melakukan perlawanan
terhadap Jepang oleh dengan cara gereliya
( Daerah Sumalumung, Sumentobol dan
Labang)
 Masyarakat Dayak Agabag diburu oleh Jepang
sehingga mereka lari lagi kehulu-hulu sungai
Masa Kemerdekaan  Masyarakat Dayak Agabag mulai berkelompok
dan membangun rumah panjang di pinggir
sungai
 Masyarakat mulai tau teknik berniaga dengan
cara barter
 Hasil hutan yang mereka jual adalah Damar,
Tengkawang, Minyak Kapur dan Rotan untuk
ditukarkan dengan garam dan gula
 Penguasa kampung adalah Ketua adat

Tahun 1950-1965  Masyarakat kembali mengungsi kehulu-hulu


sungai karena terjadi konfrontasi dengan
Malaysia
 Masyarakat Dayak Agabag banyak yang
direkrut menjadi relawan (veteran) untuk
mengangkut bahan makanan tentara indonesia
pada saat konfrontasi
 Terjadi penyerangan tentara malaysia di
daerah Labang, Sumintobol dan Agison
banyak masyarakat Dayak Agabag yang
korban
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Tahun 1965-2009  Terjadi Banjir Besar tepatnya pada tahun 1981


 Pemerintah daerah kabupaten Bulungan
mengadakan regruping terhadap masyarakat
yang tersebar tidak teratur dalam kelompok-
kelompok desa.
 Mengadakan relokasi besar-besaran bagi
desa-desa terkena banjir ( dilokasikan)

(1) (2)
 Kabupaten Bulungan dimekarkan
sehingga terbentuk Kabupaten Nunukan
dan Kecamatan Lumbis, Kecamatan
Sembakung dan Kecamatan Sebuku
masuk wilayah Kabupaten Nunukan
 Pemerintah Kabupaten Nunukan
mengeluarkan Peraturan daerah tentang
kreteria Hak Ulayat
 Intelektual Dayak Agabag sudah mulai
terpolarisari
 Mulai genarasi Dayak Agbag Kuliah
 Pengkajian terhadap Dayak Agabag
 Ilau dilaksanakan
Sumber: Data Primer, diolah 2007

b.3. Mata Pencaharian dan Pendapatan Masyarakat Dayak Agabag

Mata pencaharian Dayak Agabag pada umumnya bertani terutama daerah

kawasan sekitar daerah aliran sungai karena kawasan tersebut sangat subur.

Selain usaha tani masyarkat juga melakukan usaha ikan dan menanam tenaman

sayur-sayuran serta mereka juga memungut hasil hutan.

Aktivitas masyarakat dalam pengelolahan lahan dapat dikelompokkan

kedalam pengelolahan lahan secara individu dan secara bersama-sama. Pada


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

umumnya penguasaan lahan yang dikelola secara individu berkisar 0,5-2 ha

sedangkan lahan yang dikelola bersama-sama dapat mencapai ribuan hektar.

Adapun pola kerja masyarakat Dayak Agabag adalah sebagai berikut :

 Hanya memili lahan yang subur di pinggiran sungai dan hanya untuk

pengembangan usaha tani.

 Memungut hasil hutan dan memburu hewan yang dianggap sebagai hama

tanaman

 Menggunakan peralatan yang manual sederhana yang sesuai dengan

kondisi lingkungan.

 Melakukan kondisi rotasi tanaman dan lahan untuk memelihara kesuburan

lahan sesuai dengan aturan adat.

 Menghormati dan norma-norma adat sesuai dengan adat istiadat tentang

penggunaan lahan.

 Bergotong royong untuk memenuhi kekurangan tenaga kerja.

 Saling menjaga untuk mengetasi kekurangan sehari-hari.

Untuk lebih jelasnya mengenai mata pencahrian masyarkat Dayak

Agabag dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Ragam Aktivitas Usaha Perekonomian Masyrakat Dayak Agabag

No Usaha Komoditi Usaha Sifat Usaha

(1) (2) (3) (4)


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

1 Pertanian Ubi Kayu, Pisang, Kopi, Subsitem

dan Kakau
2 Perikanan Jelawat, Gedawang dan Subsitem

Selaung
3 Meramu Madu, Durian, Komersil

Cempedak, Gaharu,

menebang kayu hutan


4 Peternakan Aayam Kampung dan Subsistem

bebek
5 Berburu Rusa dan Aneka Burung Subsistem

Tabel 3: Sistem Pengelolahan dan Alokasi Pememfaatan Lahan Dayak


Agabag
Uraian Individual Bersama

(1) (2) (3)


Bentuk Lahan Permukiman, Kebun dan Gua Walet, sungai dan

ladang Hutan/Ulayat
Sistem Pemanfaatan Individu dan Rumah tangga Masyarakay Adat/Ulayat
Sumber Penguasaan Membuka Hutan dan Tanah Ulayat

Pewarisan
Luas Penguasaan 0,5 – 1,5 Ha/KK Puluhan-Ribuan Hektar
Batas Penguasaan Tanaman Kehidupan Batas alam (Sungai, Bukit

dan Gunung )

Tabel 4: Bentuk-Bentuk Proses Sosial Dalam Masyarakat Dayak Agabag

No Proses Sosial Keterangan


(1) (2) (3)
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

1 Asosiasi Gotong Royong memperbaiki sarana umum


2 Kerjasama Secara berkelompok melakukan aktivitas pemungutan hasil
hutan
3 Akomodasi Mengakui dan menghormati batas-batas desa sesuai
dengan ketentuan adat istiadat baik secara individu maupun
kelompok
4 Disosiatif Persaingan dalam pemungutan hasil utan ( Gaharu, Sarang
walet)
5 Persaingan Persaingan patron mencari pengaru dan dukungan terhadap
anggota
6 Pertantangan Dalam penentuan batas desa sesuai dengan asal usul desa
dan adat istiadat karena masing masing desa memiliki versi
yang berbeda dalam hal batas desa

C. Hukum, Pembagian Wialayah dan Struktur Lembaga Adat Dayak

Agabag

c.1. Hukum Adat

Dalam kehiduapan sosial sehari-hari masyarakat Dayak Agabag dibatasi

oleh hukum yaitu hukum adat. Hukum adat memegang peranan penting bagi

kehidupuan masyarakat Dayak Agabag karena hukum adat dayak Agabag

mengatur segala hal yang berhubungan tata keharmonisan kehidupan bersama.

Hukum adat Dayak Agabag sudah berlangsung dari nenek moyang masyarakat

Dayak Agabag dan di teati oleh masyarakat Dayak Agabag samapi sekarang.

Pelestarian hukum adat dari awal samapi sekarang dengan cara meningat setiap

permasalahan yang diselesaikan dan apabila hal tersebut terjadi lagi baik

kepada orang yang sama atau pada orang lain putusan atau denda yang pernah

dijatuhkan kepada orang yang terdahulu akan diambil acuan untuk mejatuhkan

denda, hal ini juga tergantung dengan wilayah ketua adat atau ketua adat besar
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

yang memutuskan. Hal ini terungkap dengan wawancara penilis dengan ketua

Adat Besar Lumbis Hilir Pangeran Pantalon seperti di bawa ini:

” Akay ulun Agabag sinono ukum may intad da matuo dali tiap nu ulusan lo am

asil nu putusan lo apanayan nu ulun suang jadi pas sino kejadian po am ukumon

ilain masala no atuki agat atau alangka misal no sino kesalahan nu dono ulun

antakou da buah nu ulun bokon dan napanayan ulun gino ukumon dengan

ANTAK da Ulun Kayampu/katangan da buah da manuk Apulak. Jadi sino po

permasalahn gino terjadi baik yo da ulun yang anggilad atau ulun bokon putusan

gino akan pakaion sobob putusan pagulu ili berhasil menyelesai da masalah jadi

maka no putusan TAK gino tiluin may daino tu” maka no akai mengharap supaya

hukum-hukum adat gitu tulisan/ bukuon supaya yo ingka alawo ( Januari,

Wawancara 2008)

( Kami Dayak Agabag sudah ada Hukum adat dari nenek moyang kami dulu,

setiap kasus dan berhasil mereka selesaikan putusan denda yang mereka

jatuhkan dulu akan kami pakai sekarang seberapa besar denda yang mereka

putuskan akan kami ikuti. Biasanya putusan terhadap suatu masalah diketahui

oleh kelahyak ramai. Misal ada suatu kasus orang mencuari buah dikebun orang

lain dan dan terbukti rang tersebut mencuri akan di denda dengan Ayam Putih

hal ini biasanya di lihat dari berat dan ringannya kasus dan putusan ini akan kami

juga lakukan pada kasus yang serupa karena kami yakin bawa putusan yang
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

dulu berhasil mendamaikan, makanya kami mengharap agar hukum adat ini

supaya di tulis dan dibukukan supaya tidak hilang)

Hukum adat Dayak Agabag masih dihormati oleh masyarakat Dayak

Agabag hal terlihat pada banyaknya kasus yang diselesaikan oleh lembaga adat.

Baik mulai dari kasus pencurian, perkawinan, perceraian, pereselingkuhan

sampai pada kasus pembunuahan akan diselesaikan oleh lembaga adat.

Hukum adat Dayak Agabag dapat di lihat dalam tabel berikut:

Tabel 5: HukumYang di Atur dalam Hukum Adat Dayak Agabag

No Hukum Istilah Adat


Perkawinan Pampulutan

Kematian Agulid, Amakan/Angungkus

Pembunuhan Ambasa

Pencurian Antakow

Penghiaan Aguyai

Perselingkuhan Antongoi/Akatongoi

Penguasan Lahan/Hutan Sumuali, Anak Da Ulipon, Amagima,

Taluun, Bati, Tanu

Pemukulan Ansagit/ Andawak

Petengkaran Ansagit/ Andawak


Sumber: Data Primer, diolah 2008

Dalam penelesayan suatu kasus denda akan ditentukan oleh ketua adat

dan apabila pada suatu kasusu lembaga adat mengelami kebuntuhan dalam
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

menyelesaikan dikernakan orang yang bersalah tidak mengaku dan adat sulit

untuk membuktikan karena tidak ada saksi dan bukti yang kuat, dalam

masyarakat Dayak Agabag masih ada hukum tertinggi yang tidak diselesaikan

oleh Ketua Adat atau Kepala Adat Besar atau pun anggota masyarakat teapi

diputuskan oleh kekeuatan Alam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tebel

berikut :

Tabel 6. Hukum Adat Dayak Agabag Yang Memiliki Kekuatan Hukum yang Tertinggi

dan Hasilnya Tidak Dapat Di Gugat

No Hukum Model Penyelesaian


1 Dolop Sesorang yang dituduh atau pelaku diseruh
menyelam dalam air dan siapa yang keluar
duluan dia yang bersalah/pelaku hal ini
dilakukan setelah ketua adat yang ditunjuk
membacakan UOK
2 Sumpa
Dengan cara meminum darah anjing segar
3 Antugi
Dengan cara memasukkan tangan pada air
yang sedang mendidi dan siapa yang
tangannya terbakar maka ialah pelakunya.

Sumber: Data Primer, diolah 2007

Dalam hukum adat ini apapun yang putusannya itulah yang akan diterima

oleh masyarakat tanpa menggugatnya. Untuk Dolop dan Tugi apabila sesorang

bersalah melalui dengan kedua hukum tersebut tidak adalagi namanya denda

adat tetapi yang ada ”Taruhan” antara yang orang yang menudu dan dituduh

sedangkan hukum sumpah tidak ada denda ataupun taruhan karena hukum ini
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

menjaminkan nyawa dengan denda meninggal dalam jangka waktu tertentu

sesuai dengan kesepakatan lembaga adat.

Dalam hukum adat dolop apapun yang putusannya itulah yang akan

diterima oleh masyarakat tanpa menggugatnya. Untuk Dolop dan Tugi apabila

sesorang bersalah melalui dengan kedua hukum tersebut tidak adalagi namanya

denda adat tetapi yang ada ”Taruhan” antara yang orang yang menudu dan

dituduh sedangkan hukum sumpah tidak ada denda ataupun taruhan karena

hukum ini menjaminkan nyawa dengan denda meninggal dalam jangka waktu

tertentu sesuai dengan kesepakatan lembaga adat.

Dalam dokumen keputusan lembaga adat Dayak Agabag Dalam periode

tahun 1987 hingga tahun 2019, telah terjadi beberapa penerapan hukum Adat

Dolop berikut adalah kasus-kasus dalam masyarakat Dayak Agabag yang

diselesaikan melalui hukum adat Dolop artinya kearifan lokal budaya ini Dayak

Agabag yang menjaga dari para leluhurnya dan melestarikanya hingga pada

saat ini, selain itu pelaksanaan hukum adat dolop ini adalah bentuk eksistensi

dan pelestarian yang berkesinambungan oleh komunitas adat dengan tetap

menjaga keseimbangan hubungannya dengan alam. Dalam perjalanan sejarah

pelaksanaan Hukum Adat Dolop ada beberapa Dolop yang menyita perhatian

publik dan fenomenal dengan adanya peneyelesaian terhadap beberapa kasus

besar yang melibatkan kehadiran oleh negara yang direfresentasi oleh pihak
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Kepolisian Republik Indonesia, TNI dan Pemerintah Daerah yaitu sebagai

berikut:

1. Pelaksanaan Hukum Adat Dolop antara Yagai dari desa Ubol Alung

dengan Yanseng dengan pembaca Uwok Kepala Adat Desa Ubol Alung

Bakalaja, penyelsaian atas perkara kehilangan.

2. Dolop antara Yamad dari desa Ubol Alung dengan Pajak pada tahun

2002, dengan pembaca Uwok Injam penyesaian atas perkara Goa Sarang

Burung.

3. Tuduhan persilingkuhan oleh Sunsui kepada Antang, dimana Sunsui

menuduh Antang “menganggu” isterinya karena tidak ada saksi dan kedua

belah pihak bertahan pada kesaksian masing-masing maka lembaga adat

Dayak Agabag Lumbis Hilir memetapkan untuk perkara tersebut

diputuskan oleh “hakim tertinggi” dalam hukum adat Dayak Agabag yaitu

dolop sebagaimana yang tertuang dalam surat keputusan Lembaga Adat

Dayak Agabag pada tahun 2004.

4. Dolop penyelesaian terhadap kasus meninggalnya Sebaung, yang dikenal

dengan Dolop yang fenomenal dimana kasus tersebut sebelumnya telah

ditengani polisi selama 2 bulan tetapi tidak ada titik terangnya maka pihak

keluarga korban (Sebaung) meminta lembaga Adat Dayak Agabag untuk

melakukan hukum adat Dolop kepada orang-orang yang mereka “curigai”

dan ahkirnya hukum adat Dolop ditetapkan untuk diterapkan sesuai


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

dengan keputusan Lembaga Adat Dayak Agabag Lumbis Hilir pada tahun

2008 yang difasilitasi Dewan Adat Dayak Agabag Kabupaten Nunukan

(Roben Yangkat dan Samadik) yang disaksikan oleh Dewan Adat Dayak

Agabag, camat Lumbis (Elhamsyah), Kapolsek Lumbis (AKP Yance),

Kapolsek Sembakung, Koramil Kecamatan Lumbis dan Koramil Kecmatan

Sembakung. Yang dipercayakan sebagai pembaca Uwook (Mantra) Injam

(Dokentasi Dolop Kasus Meninggalnya Alm. Sebaung)

5. Dolop untuk peneyelesaian secara adat atas hilangnya salah satu

anggota masyarakat Dayak Agabag atas nama Roy dihutan ketika

berburu bersama temannya atas nama Vebry, setelah dilakukan

penelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian tidak ditemukan bukti

yang mengarah para pembunuhan, maka demi bersihnya nama dan

keberlangsungan kekeluargan oleh kedua bela pihak keluarga bersepakat

melakukan hukum adat Dolop yang diputuskan oleh seluruh kepala adat

desa Dayak Agabag se Kecamatan Sembakung dan di putuskan oleh Plt.

Kepala Adat Besar Dayak Agabag Sembakung Alpius Sinju disaksikan


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

oleh pihak Muspika Kecamatan Sembakung yang di laksanakan di

Tanjung Langsat pada Rabu 11 Desember 2013, dengan pembaca Uook

(Mantra) Pabilik

(Doukentasi Dolop Venry dan Roy Tahun 2013)

6. Dolop atas penyelesaian kasus antara Sayati dan Pudun, melalui

keputusan Kepala Adat Besar Dayak Agabag Tulin Onsoi Pangilan

Sukiam yang dilaksanakan di Desa Apas pada 5 November 2018 yang

difasilitasi oleh Dewan Adat Dayak Agabag (Roben Yangkat) dan Ketua

Komando Pertahanan Adat Dayak Agabag (Bajib Misak) yang dihadiri oleh

Muspika Kecamatan Tulin Onsoi dan Kecamatan Sebuku.


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

(Berita Acara Dolop dan Dokumetasi Masyarakat Menyaksikan Dolop)

A. Hukum Adat tentang penguasaan dan pengelolahan hutan adat

Hak ulayat merupakan semua cakupan penyebaran Masyarakat Hukum

Adat Dayak Agabag pada Kecamatan Lumbis, Sembakung dan Kecamatan

Sebuku dimana daerah tersebut memiliki ikatan batin terhadap masyarakat

Hukum Adat Dayak Agabag. Ikatan batin yang dimaksud adalah karena di hutan

hak ulayatlah mereka memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

” Hak Wilayat gino sadjio nu tanah baya di katanan tinatangan numatuo dali

ditaka. Tana gino sino hubungan no dito sobob da daerah gino intokon taka

nayag. Jadi harus jinaga taka sama-sama”

Selain hal diatas, hak ulayat pada dasarnya adalah milik bersama oleh

masyarkat Hukum Adat Dayak Agabag tetapi pada perkembangan dan

bersamaan dengan adanya desa maka mereka membagi hak ulayat tersebut
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

untuk menjadi hak ulayat masyarakat Dayak Agabag yang tinggal pada masing-

masing desa. Dan perlu diketahui keberadaan desa di daerah Dayak Agabag

memiliki asal usul sesuai dengan adat istiadat dimana nama desa merupakan

nama tanah atau daerah asal masyarkat tersebut meskipun mereka di relokasi

oleh pemerintah pada lain tempat. Sebagai contoh kasus pada tagun 1981 –

1987 masyarakat Desa Siawang, Saludan, Sumalumung, Samalat, Dabulon,

Liang, Tubus, nainsid, Ngawol, Sumantipal, Nantukidan, Bulu Laun Hilir dan

lainnya di pindahkan dari tempat asalnya ke Lokasi Intin dan beringin tetapi

nama desa tersebut diatas tetap dan nama desa ini adalah nama sungai atau

tanah adat asal mereka dan masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag sangat

menghormati keberadaan wilayah adat tersebut dan tidak benani semena-mena

di daerah tersebut sebelum ijin kepada ketua adat mereka. Hal ini tergambar

pada kehidupan sehari hari, dimana masyarakat desa lain yang ingin mencari

ikan atau mencari hewan buruan di Sungai Sumalumung, Samalat atau Saludan

atau wilayah Adat desa lain walupun sesama masyarakat Hukum Adat Dayak

Agabag harus mendapatkan ijin dari ketua adat desanya dan apabila tidak ada

ijin msayarakat desa tersebut akan mendenda orang tersebut sesuai dengan

hukum adat Dayak Agabag. Selain itu hukum adat Dayak Agabag juga mengatur

penggunan lahan. Apabila masyarakat lain desa masuk atau meminta wilayah

adat desa tertentu untuk dimiliki karena mungkin didesa asalnya diusir atau lari

mereka harus memberikan “Perempuan Perawan” kepada masyarakat Desa


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

yang punya wilayah dalam bahasa daerahnya (Ulipon). Ulipon tersebut harus

mengabdi kepada masyarakat desa tersebut dan menjadi orang yang harus

patuh dan tunduk kepada masyarakat desa yang memberikan wilayahnya

sepanjang hidupnya. Selain itu kalau salah satu masyarakat dari desa lain ingin

meminjam wilayah adat desa lain untuk berladang atau berkebun yang sifatnya

sementara orang yang memijam lahan tersebut harus membayar dengan 1 ekor

Sapi dan manik lama 12 pasang dalam bahasa daerahnya disebut (Bungkas

Sangabitan) hal tersebut dilakukan apabila lahan yang dipinjam adalah berupa

hutan perawan dalam bahasa daerahnya( Giman/Gimban), lain halnya kalau

yang dipijam adalah hutan jagau atau sudah pernah digarap biasanya orang

yang meminjam hanya membagi hasil kepada masyarakat yang punya yang

dalam bahasan daerahnya (Antalawai/Antinong). Selain aturan

hukum adat terhadap orang luar terdapat juga hukum yang tidak tertulis tetapi

dihormati terhadap penggunaan lahan kepada masyarakat desa yang punya

wilayah adat dimana dalam penggunaannya siapa yang menggarap atau

menggunakan duluan suatu lahan berarti itu sudah tidak dapat diganggu oleh

orang lain dan diakui oleh ketua adat dalam bahasa daerahnya di sebut

(Taluun/Gima). Dari uraian diatas jelas bahwa masyarakat hukum Adat Dayak

Agabag menghormati hukum adatnya termasuk hukum pengaturan hutan.

Karena dalam hukum adat masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang berlaku

secara universal kepada masyarkat Dayak Agabag termasuk masyarakat lain


SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

yang bukan Dayak Agabag tetapi tinggal atau yang berdomisili diwilayah adat

masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag. Sebagai contoh orang yang bersuku

Dayak Lundayeh di daerah malinau melakukan pembabatan hutan atau

berladang tanpa sepengetahuan orang yang punya wilayah adat, begitu pula

dengan orang luar seperti orang bugis, jawa atau Timur ayng tinggal di wilayah

adat Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag akan menjadi objek dari pada

Hukum Adat tanpa kecuali.

c.2. Pembagian Wilayah dan Struktur Adat

Pembagian wilayah adat Dayak Agabag pada tiga kecamatan lokasi

penelitian yaitu Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sembakung dan Kecamatan

Sebuku untuk wilayah adat besar sudah berlangsung secara terun-temurun.

Pembagian wilayah adat pada Kecamatan Sebuku di bagi dalam dua wilayah

adat Besar wilayah adat besar sungai Tikung dan Sungai Tulid sedangkan untuk

Kecamatan Sembakung hanya satu wilayah adat besar dan Kecamatan Lumbis

di bagi dalam tiga wilayah adat besar yaitu Lumbis Hulu, Lumbis Tengah dan

Lumbis Hilir. ( Yang sekarang dimekarkan Lumbis terbagi dua dengan Lumbis

Ogong dan Sebuku terbagi dua dengan Tulid Onsoi )

Pada masing-masing wilayah adat ini hukum adatnya hanya satu yaitu

hukum adat Dayak Agabag hal ini di pengaruhi oleh kepatuhan masyarakat

Dayak Agabag terhadap hukum adatnya. Selain kepala adat besar pada setiap

desa juga terdapat ketua-ketua Adat Desa. Di zaman yang kian hari kian
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

berkembang hukum adat tetap memiliki eksistensi ditengah masyarakat hal ini

terlihat dengan keberadaan kepala-kepala adat besar, ketua adat desa dan tokoh

massyarakat. Dalam hukum adat selsilah penegaknya akan terus lestari seperti

silsilah nenek moyang dari pada masyarakat Tulid di sungai Tikung yaitu

Pangiran Yaki Limbus setelah itu diturunkan kepada Pangiran Yaki Idong setelah

itu Pangeran Yaki Tinunggung disusul Pangeran Yaki Lipai dan Terakir Yaki

Batulis. Sedangkan untuk Sungai Tikung Keta Adat Besar secara berurutan di

pegang oleh Pangeran Bangkangan ( Pangeran Pertama ), Pangeran Kumbang

( Pangeran Kedua ), Pangeran Batumpuk ( Pangeran Ketiga ) dan yang

sekarang adalah H. Pangeran Ismail. Untuk kecamatan Lumbis wilayah adat

besar di bagi dalam tiga wilayah adat besar. Ketua adat besar Lumbis Tengah (

Pangeran Bakumpul ) dan Ketua adat besar Lumbis Hilir ( Pangeran Pantalon ).

Dan Untuk Kecamatan Sembakung ( Alm. Pangeran Kumisi) sekarang dijabat

oleh Bapak Pangasilan. Pengangkatan ketua adat besar ini bisa secara

demokrasi bisa juga turun temurun, dalam hal ini ketua-ketua adat besar di

Kecamatan Lumbis dan Sembakung adalah keturunan dari Pangeran Taali dan

Luayang. Dalam kehidupan sehari-hari putusan ketua-ketua adat besar ini

sangat dihormati dan dipatuhi tergantung jenis perkara yang diselesaikan adat,

misalnya penyelesain masalah batas desa yang selalu di dasarkan secara

historis batas adat desa tersebut dan pada waktu tertentu seluruh ketua adat

baik ketua adat desa maupun ketua adat besar melakukan pertemuan yang
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

dinama ILAU DAYAK AGABAG guna membahas hukum-hukum adat dan cara

pelesatariannya. Untuk lebih jelasnya mengenai struktur lembaga Adat Dayak

Agabag dapat di lihat pada gambar 1 berikut ini

Gambar 1: Struktur Lembaga Adat Dayak Agabag

Hukum Adat Dayak Agabag

Dewan Adat Dayak Agabag


Propinsi

Dewan Adat Dayak


Agabag Kabupaten

Ketua Adat Ketua Adat Ketua Adat Besar Ketua Adat Ketua Adat Besar Ketua Adat
Besar Lumbis Besar Lumbis Lumbis Hulu: Besar Tikung: Besar Tulid
Hilir: Tengah: Sekretaris Pantau Sembakung: P. H. Ismail Sukiam
P. Pantalon P.Bakumpul Pangasilan

Sumber. Data Primer, diolah 2007

Keterangan : Garis Perintah

Garis Konsultasi
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

BAB IV

HUKUM ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAYAK AGABAG


YANG MENGATUR TENTANG PENGUASAAN HAK ULAYAT

Hak ulayat merupakan semua cakupan penyebaran Masyarakat Hukum

Adat Dayak Agabag pada Kecamatan Lumbis, Sembakung dan Kecamatan

Sebuku dimana daerah tersebut memiliki ikatan batin terhadap masyarakat

Hukum Adat Dayak Agabag. Ikatan batin yang dimaksud adalah karena di hutan

hak ulayatlah mereka memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

” Hak Wilayat gino sadjio nu tanah baya di katanan tinatangan numatuo dali

ditaka. Tana gino sino hubungan no dito sobob da daerah gino intokon taka

nayag. Jadi harus jinaga taka sama-sama”

Selain hal diatas, hak ulayat pada dasarnya adalah milik bersama oleh

masyarkat Hukum Adat Dayak Agabag tetapi pada perkembangan dan

bersamaan dengan adanya desa maka mereka membagi hak ulayat tersebut

untuk menjadi hak ulayat masyarakat Dayak Agabag yang tinggal pada masing-

masing desa. Dan perlu diketahui keberadaan desa di daerah Dayak Agabag

memiliki asal usul sesuai dengan adat istiadat dimana nama desa merupakan

nama tanah atau daerah asal masyarkat tersebut meskipun mereka di relokasi

oleh pemerintah pada lain tempat. Sebagai contoh kasus pada tagun 1981 –
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

1987 masyarakat Desa Siawang, Saludan, Sumalumung, Samalat, Dabulon,

Liang, Tubus, nainsid, Ngawol, Sumantipal, Nantukidan, Bulu Laun Hilir dan

lainnya di pindahkan dari tempat asalnya ke Lokasi Intin dan beringin tetapi

nama desa tersebut diatas tetap dan nama desa ini adalah nama sungai atau

tanah adat asal mereka dan masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag sangat

menghormati keberadaan wilayah adat tersebut dan tidak benani semena-mena

di daerah tersebut sebelum ijin kepada ketua adat mereka. Hal ini tergambar

pada kehidupan sehari hari, dimana masyarakat desa lain yang ingin mencari

ikan atau mencari hewan buruan di Sungai Sumalumung, Samalat atau Saludan

atau wilayah Adat desa lain walupun sesama masyarakat Hukum Adat Dayak

Agabag harus mendapatkan ijin dari ketua adat desanya dan apabila tidak ada

ijin msayarakat desa tersebut akan mendenda orang tersebut sesuai dengan

hukum adat Dayak Agabag. Selain itu hukum adat Dayak Agabag juga mengatur

penggunan lahan. Apabila masyarakat lain desa masuk atau meminta wilayah

adat desa tertentu untuk dimiliki karena mungkin didesa asalnya diusir atau lari

mereka harus memberikan “ Perempuan Perawan” kepada masyarakat Desa

yang punya wilayah dalam bahasa daerahnya ( Ulipon ). Ulipon tersebut harus

mengabdi kepada masyarakat desa tersebut dan menjadi orang yang harus

patuh dan tunduk kepada masyarakat desa yang memberikan wilayahnya

sepanjang hidupnya. Selain itu kalau salah satu masyarakat dari desa lain ingin

meminjam wilayah adat desa lain untuk berladang atau berkebun yang sifatnya
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

sementara orang yang memijam lahan tersebut harus membayar dengan 1 ekor

Sapi dan manik lama 12 pasang dalam bahasa daerahnya disebut (Bungkas

Sangabitan) hal tersebut dilakukan apabila lahan yang dipinjam adalah berupa

hutan perawan dalam bahasa daerahnya( Giman/Gimban), lain halnya kalau

yang dipijam adalah hutan jagau atau sudah pernah digarap biasanya orang

yang meminjam hanya membagi hasil kepada masyarakat yang punya yang

dalam bahasan daerahnya ( Antalawai ). Selain aturan hukum adat terhadap

orang luar terdapat juga hukum yang tidak tertulis tetapi dihormati terhadap

penggunaan lahan kepada masyarakat desa yang punya wilayah adat dimana

dalam penggunaannya siapa yang menggarap atau menggunakan duluan suatu

lahan berarti itu sudah tidak dapat diganggu oleh orang lain dan diakui oleh

ketua adat dalam bahasa daerahnya di sebut ( Taluun/Gima). Dari uraian diatas

jelas bahwa masyarakat hukum Adat Dayak Agabag menghormati hukum

adatnya termasuk hukum pengaturan hutan. Karena dalam hukum adat

masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang berlaku secara universal kepada

masyarkat Dayak Agabag termasuk masyarakat lain yang bukan Dayak Agabag

tetapi tinggal atau yang berdomisili diwilayah adat masyarakat Hukum Adat

Dayak Agabag. Sebagai contoh orang yang bersuku Dayak Lundayeh di daerah

malinau melakukan pembabatan hutan atau berladang tanpa sepengetahuan

orang yang punya wilayah adat, begitu pula dengan orang luar seperti orang
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

bugis, jawa atau Timur ayng tinggal di wilayah adat Masyarakat Hukum Adat

Dayak Agabag akan menjadi objek dari pada Hukum Adat tanpa kecuali.

a. Nama dan Dasar Hak Ulyat Dayak Agabag Menurut Hukum Adat
Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag
Berdasarkan pada hukum adat Dayak Agabag secara terun tenurun
nama Hak Ulayat Dayak Agabag ( Ilau Dayak Agabag di Kelompok Intin ) adalah
TANA NU AKION yang memiliki arti suatu luasan wilayah dimana suku Dayak
Agabag hidup secara terun temurun dari nenek moyang (tanah nayagan nu Ulun
Agabag intad da akion ili) hal ini di dasarkan pada ;
1. Setiap itakau angkibala da woktu makau da katanaan aguyum da kiyum
baya da inakano bokon da katanaan ulun matuo intad di takau pasti
minagu gitu no tanah nu akion ili.
(Setiap kita bertanya kepada kita kehutan mencari nafka orang tua dan
nenek kita bilang kita mencari di sini karena inilah tanah/wilayah nenek
moyang kita)
2. Atu yak bengalan da Ulun Agabag kano pembatasan da masalah nu
tanah untuk intokon aguyum da bayag namun kano terlepas akiijin da
Ukum nu Adat da mengenai da pembatsan da tanah adat masing-masing
nu pagun yang pongo senepakati.
( Semua masyarakat Dayak Agabag dapat mencari nafka dimana saja
diluasan cakupan wilayah Dayak Agabag asal meminta ijin kepada
masyarakat yang punya wilayah adat sesuai dengan hukum adat Dayak
Agabag)
Dasar Kongkrit Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang tidak
bisa di pungkiri adalah hal-hal berikut ini :
a. Hak Ulayat secara adat sudah ada dari jaman dahulu.
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

b. Masih adanya pewaris Hak Ulayat ( Masih sino ulun kayampu da


tanah)
c. Penguasaan tanah adat harus seijin Ketua adat daerah yang
bersangkutan.
d. Pembagian Hak Ulayat masing-masing daerah sudah ditentukan
dari dulu yang tidak dapat diubah kecuali ada kesepakatan baru di
atur oleh Dewan Adat Dayak Agabag dan Lembaga Adat Dayak
Agabag.
e. Hak Ulayat berupa Tanah, Hutan, Sungai beserta hasil yang
terkandung di dalamnya yang dipelihara oleh nenek moyong dulu
sebelum Indonesia merdeka.
f. Hak Ulayat Dayak Agabag terdiri dari hak Ulayat Bersama dan Hak
Ulayat perseorangan menurut hukum adat.
g. Adanya Hukum Adat yang mengatur tentang penguasaan hutan.
h. Masih adanya Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang patuh
dan menghormati hukum adatnya.
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

HUKUM ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAYAK AGABAG YANG


MENGATUR TENTANG PENGUASAN LAHAN/ HUTAN HAK ULAYAT

BAB I
NAMA-NAMA HUKUM YANG MENGATUR TENTANG PENGUASAAN HUTAN
ADAT

Pasal 1
Tanu/Tandu
Tanu/Tandu adalah suatu tanda yang di tujukan kepada penguasaan hutan adat
dalam artian bahwa telah direncanakan suatu luasan wilayah untuk di
manfaatkan

Pasal 2
Bati/Babat
Bati/Babat adalah sesuatu yang di akui oleh masyarakakat Hukum Adat Dayak
Agabag mengawali kepemilikan perseorangan dari tanah adat

Pasal 3
Lolot
Lolot adalah suatu batas wilayah adat satu desa dengan desa yang lain yang
terdiri dari dua macam yaitu:
a. Batas Alam : dapat berupa olot ( Pegunungan), Batu, Sungai, Igot dan
Pohon .
b. Batas Buatan : Kayu Ulin atau jalanan lintas batas.

Pasal 4
Giman/Gimbaan
Giman/Gimban adalah suatu luasan hutang yang masih perawan dan belum
pernah dikelola dan masih di miliki kolektif

Pasal 5
Tabong
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Suatu kewajiban yang berupa pajak kepada siapa saja yang mencari hasil hutan di
suatu wilayah adat Dayak Agabag

BAB II
JENIS HASIL HUTAN YANG DI LINDUNGI
Pasal 6
Jenis tanaman yang di lindungi dan dapat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari
adalah Daun Apa, Bantudu, Limpasu, Manging, Bunatol, Paluon, Labungan,
Tamaka Angi, Silad, Iluy, Meranti, Kapur, Tengkawang, Sadaman, Mangagis,
Ulapiu, Palaju, Pugi, Totungon, Buntung, Pulutan, Kalulaw, Dumokot, Kulibon,
Kalamuku, Te, Pamutodon, Kilamu/Kayabon, Inangai, Luas, Lampun,
Sangkulapa, Sakut, Tunyok, Panjuga, Pampalang Talisoy, Timbua, Lasing,

BAB III
LARANGAN
Pasal 7
Dilarang meramba hutan tanpa ijin dari ketua adat masyarakat hukum adat
Dayak Agabag setempat

Pasal 8
Dilarang membakar hutan tanpa ijin dari ketua adat masyarakat hukum adat
Dayak Agabag setempat

Pasal 9
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Dilarang memburu atau mencari ikan tanpa ijin ketua adat masyarakat hukum
adat Dayak Agabag setempat

Pasal 10
Dilarang mencari atau mengumpul hasil hutan tanpa ijin ketua adat masyarakat
hukum adat Dayak Agabag setempat

Pasal 11
Dilarang menjual tanah adat tanpa ijin ketua adat masyarakat hukum adat Dayak
Agabag setempat

Pasal 12
Dilarang memberi tanda berupa ( Lolot, Tanu, Bati dll ) di suatu batas wilayah
adat desa dengan desa yang lain tanpa persetujuan kedua belah pihak terlebih
dahulu

Pasal 13
Dilarang menggunakan kekarasan, mengancam dalam menyelasaikan suatu
sengketa batas arel Hak Ulayat

Pasal 14
Dilarang meramba atau menebang pohon di areal GUA SARANG BURUNG
WALET masyarakat hukum adat Dayak Agabag sejauh 1KM ke seluruh penjuru
mata angin dari Gua Sarang Burung Walet

BAB IV
SANKSI-SANKSI
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Pasal 15
Jika terdapat seseorang atau kelompok orang meramba hutan tanpa ijin dari
ketua ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat maka akan di
denda 1 ekor sapi setiap ektarnya ( Salalab ) atau 2 Guliyabay Alagang tiap
ektarnya

Pasal 16
Jika terdapat seseorang atau kelompok orang membakar hutan tanpa ijin dari
ketua adat dan mengakibatkan kerusakan hutan masyarakat hukum adat Dayak
Agabag setempat maka akan di denda melakukan penanaman kembali dan
membayar denda e ekor sapi kepada pemilik lahan atau hutan

Pasal 17
Jika terdapat seseorang atau kelompok orang memburu atau mencari ikan tanpa
ijin ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat maka hasil yang
di peroleh akan disita dan didenda 1 buah Guliyabai Alagang

Pasal 18
Jika sesorang atau kelompok orang mencari atau mengumpul hasil hutan tanpa
ijin ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat maka :
a. Jika Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang melakukan
pelanggaran maka hasil yang di peroleh disita seluruhnya dan didenda
1 Guliyabai Alagang
b. Jika yang melakukan pelenggaran bukan masyarakat Hukum Adat
Dayak Agabag maka hasil yang diperoleh akan disita dan didenda 10
kali lipat dari hasil yang diperoleh serta 2 buah Guliyabay Alagang.
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Pasal 19
Jika terdapat orang/kelompok orang yang menjual tanah adat tanpa ijin ketua
adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat maka;
a. Jika yang menjual salah satu anggota masyarakat hukum Adat Dayak
Agabag maka orang tersebut di larang lagi untuk merimba atau
membuka lahan baru
b. Jika yang menjual orang lain dengan tidak memiliki surat-surat
kepemilikan sah secara Hukum Adat atau pun secara Hukum Positif
maka orang tersebut didenda 10 ekor sapi dan tanah yang dia jual
akan diambil kembali oleh Lembaga Adat Dayak Agabag.

Pasal 20
Jika terdapat orang atau kelompok orang yang memberi tanda berupa ( Lolot,
Tanu, Bati dll ) di suatu batas wilayah adat desa dengan desa yang lain tanpa
persetujuan kedua belah pihak terlebih dahulu maka yang memberi batas di
anggap menyerobot dan didenda 1 ekor sapi dan 1 buah Guliyabai Alagang

Pasal 21
Jika terdapat seseorang atau kelompok yang menggunakan kekarasan atau
mengancam orang lain ( sesama masyarakat hukum Adat Dayak Agabag )
dalam menyelasaikan suatu sengketa batas arel Hak Ulayat maka akan didenda
3 ekor sapi dan 2 buah guliyabai Alagang

Pasal 22
Jika terdapat orang atau kelompok orang atau badan hukum usaha yang
meramba atau menebang pohon di areal GUA SARANG BURUNG WALET
masyarakat hukum adat Dayak Agabag tanpa ijin dan melewati ketentuan 5 KM
ke seluruh penjuru mata angin dari Gua Sarang Burung Walet maka akan di
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

denda membayar seluruh penghasilan dari pada isi Gua Sarng Burung Walet
tersebut.

BAB V
PENYELESAIAN SENGKETA BATAS AREL HAK ADAT

Pasal 23
Apabila terdapat perseorangan atau kelompok masyarakat masyarakat hukum
adat Dayak Agabag yang tidak jelas atau memperebutkan batas hak adatnya
dengan batas hak adat kelompok masyarakat yang lainnya maka akan dilakukan
tahapan sebagai berikut:
a. Ketua Lembaga Adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag yang
kelompoknya bersengketa segera melakukan pertemuan untuk
membahas pembagian wilayah atau batas antar kelompok tersebut
secarah masyawarah dan kekeluargaan.
b. Mensosialisasi hasil kesepakatan tersebut kepada anggota
masyarakat adat
c. Arel yang di sengketakan dapat di jadikan hutan kas atar kedua
kelompok apabila di sepakati.
d. Apabila tidak ada kesepakatan atar ketua adat yang batasnya
bersengketa maka permasalahan dapat di ajukan kepada Adat Besar
di wilayah Masing-Masing.
e. Kepala Adat Besar segera melakukan pertemuan membahas
permasalahan tersebut
f. Kelompok masyarakat adat yang bersangketa batas atau lahan
membuat silsila keturunan dan keterangan yang menjadi dasar
argumentasi mempertahankan Wilayah dan hal inilah yang menjadi
pertimbangan Kepala Adat Besar
g. Keputusan Kepala Adat Besar adalah keputusan pinal dan tidak bisa
diganggu gugat.
h. Permasalahan sengketa batas atau lahan aeral hak adat tidak dapat di
selesaikan di kecamatan atau jenjang pemerintahan manapun karena
mempengaruhi ke eksistensian hak adat masyarakat hukum adat
Dayak Agabag kecuali secara yuridis formal di pengadilan
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

BAB V
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan dan Saran

Masing masing suku di indonesia memiliki hukum adat masing masing


yang berbeda-beda pula. Hukum adat dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang
komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual,
dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur-
unsur kebersamaan.
Sifat komunalistik disini menunjuk kepada adanya hak bersama para
anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang sering disebut dalam bahasa
hukum sebagai hak ulayat. Tanah ulayat merupakan kepunyaan atau milik
bersama yang diyakini sebagai peninggalan nenek moyang kepada kelompok
masyarakat hukum adat, sebagai unsur pendukung utama kehidupan dan
penghidupan kelompok masyarakat sepanjang masa. Di sinilah tampak pada
kelompok masyarakat tersebut memiliki sifat yang religius atau unsur
keagamaan hubungan hukum antara para warga kelompok masyarakat hukum
adat dengan tanah ulayatnya.
Hukum adat dan Hak Ulayat merupaka nama yang diberikan dan
dilindungi oleh undang-undangan para ahli hukum pada lembaga hukum dan
hubungan antara suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan suatu wilayah
tertentu. Masyarakat hukum adat sendiri tidak memberikan nama pada lembaga
tersebut. Dalam hukum adat yang dikenal adalah sebutan tanahnya yang
merupakan wilayah lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Hak Ulayat dalam pengertian hukum merupakan serangkaian wewenang


dan kewajiban suatu hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang
merupakan ulayatnya, sebagai lingkungan hidup para warga atau masyarakat
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah yang ada
dalam wilayah tersebut. Wewenang-wewenang dan kewajiban-kewajiban
tersebut timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah terun-temurun antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Selain itu
juga merupakan hubungana batiniah yang bersifat religio-magiisch, yaitu
berdasarkan kepercayaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, bahwa
wilayah tersebut merupakan peninggalan nenek moyang yang dipergunakan
bagi kelangsungan hidup dan penghidupan sepajanjang masa. Maka dapat
dikatakan hubungan itu sebagai hubungan abadi.
Dalam perpustakaan hukum adat Hak Ulayat disebut “ beschikkingsrecht
“. Beschikkingsrecht adalah nama yang diberikan oleh Van Vollenhoven untuk
menyebutkan Hukum Adat dan Hak Ulayat. Menurut Van Vollenhoven terdapat
enam tanda-tanda khususnya yaitu :
1. Hanya masyarakat hukum adat itu sendiri beserta warga-warganya
dapat dengan bebas mempergunakan tanah, air dan berburu binatang
liar yang terletak diwilayahnya.
2. Orang asing ( luar masyarakat hukum adat ) hanya boleh
mempergunakan tanah tersebut dengan ijin dapat dipandang suatu
delik.
3. Untuk penggunaan tanah tersebut kadang-kadang bagi warga
masyarakat dipungut recognisi, tetapi bagi orang luar masyarakat
hukum adat selalu dipungut recognisi.
4. Masyarakat adat bertanggung jawab terhadap delik-delik tertentu yang
terjadi dalam wilayahnya, dimana delik tersebut tidak dituntut
pelakunya.
5. Masyarakat adat tidak dapat melepaskan Hak Ulayat, memindah
tangankannya ataupun mengasingkan secara menetap.
6. Masyarakat adat masih mempunyai campur tangan ( intensif atau
kurang intensif ) terhadap tanah-tanah yang sudah diolah.
Berdasarkan hal dan uraian pada pada bab I hingga bab penutup buku ini
Hukum Adat Dayak Agabag terbukti tetap eksis dan tidak dapat di katakana oleh
pihak lain tidak eksis dengan berbagai motif kepentingan serta eksistensinya
SEJARAH DAN HUKUM ADAT
DAYAK AGABAG

Hak Ulayatnya harus terus dilestarikan oleh generasi setiap pribadi masyarakat
Hukum Adat Dayak Agabag.

Anda mungkin juga menyukai