Anda di halaman 1dari 43

STAFF

Penanggung Jawab
Gagas, Brenda

Pemimpin Redaksi
El

Gambar dan Ilustrasi


Aster, Sabiellar, Rickdy, Deoris, Jover

Kontributor
Anonim

Fotografer
Rio

Distributor
Zulkifli Sofiyan

INFORMASI
Dipublikasikan oleh Kanal dan Vox
Populi sebagai karya kolaboratif
antara Udayana Science Club (USC)
dan Serikat Mahasiswa Kerakyatan
(SEMAKRA)

Email:
semakerakyatan@gmail.com
penerbitusc@gmail.com
OA: @tiz2326u
Line: kameradel
Instagram: semakerakyatan
EDITORIAL

Z
INE ini adalah hasil karya kolaboratif antara Pener-
bit Kanal yang dikoordinatori oleh Udayana Science
Club (USC) dan Penerbit Vox Populi yang dikoman-
doi oleh Serikat Mahasiswa Kerakyatan (SEMAKRA).

Zine ini hadir sebagai pelopor di la 'sampah-sampah kritis' yang


tengah kosongnya wacana (diskur- menumpuk di dalam kepala.
sus) alternatif, yang dikerjakan se-
cara kolektif oleh antek-antek mile- Disini tak ada etika penulisan
nialis dari berbagai latar-belakang yang rigid, bahkan 'bahasa kotor'
bidang ilmu dan lintas fakultas. sampai 'orasi' yang membara-bara
pun diperbolehkan untuk dimuat,
Meskipun zine ini adalah karya sebagai bagian dari perlawanan
kolaboratif antara Unit Kegia- simbolik kami atas norma yang
tan Mahasiswa (UKM)--yang mendahulukan kesantunan yang
secara langsung dibawahi oleh kaku, meski bisa jadi substansi
universitas--dengan basis kultur- tuturannya adalah sampah. Na-
al mahasiswa, segala konten di mun, itu bukan berarti segala tu-
zine ini independen dari sega- lisan yang dimuat dilakukan tanpa
la elemen-elemen reaksioner dan kurasi yang bertanggung-jawab.
kontra-revolusioner. Bahkan pen-
danaan untuk menerbitkan zine Semua konten di zine ini ter-
ini pun dilakukan secara kolek- buka untuk diperbanyak dan
tif melalui donasi seikhlasnya dibagikan secara gratis (copyl-
oleh kawan-kawan yang terlibat. eft), karena ilmu memang tidak
seharusnya untuk dimonopoli.
Sebagai "media alternatif", zine
perdana ini menghadirkan suatu Surat pembaca atau umpan balik
analisis wacana filsafat, politik, dapat dikirimkan melalui surel
dan sosial-budaya, sekaligus men- semakerakyatan@gmail.com
jadi ruang katarsis bagi kawan-
kawan untuk melepaskan sega-
Memuja Radikalisme dan Menggugat
Nasionalisme (REFLEKSI ATAS AKSI 9 MEI)

“Kita adalah angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur. Kita kurang
pendidikan resmi di dalam hal keadilan, karena tidak diajarkan berpolitik, dan tidak
diajar dasar ilmu hukum. Kita melihat kabur pribadi orang, karena tidak diajarkan
kebatinan atau ilmu jiwa. Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus, karena tidak
diajar filsafat atau logika. Apakah kita tidak dimaksud untuk mengerti itu semua?
Apakah kita hanya dipersiapkan untuk menjadi alat saja?”
(W.S Rendra, Sajak Anak Muda)

Pete Seeger, seorang musi- ara” di mana sekolah sebenarnya


si Amerika yang masuk ke dalam tak lebih dari ruang cuci otak yang
daftar hitam pada era McCharty, berlangsung dengan nyaris tan-
pernah menyanyikan sebuah lagu pa perlawanan. Disana kita dia-
satirikal yang ditulis oleh Tom jarkan mengenai “nasionalisme”
Paxton di sebuah acara BBC pada yang dimaknai secara sempit
tahun 1964 yang berjudul “What melalui keharusan mencintai neg-
do You Learn in School Today?”. ara untuk memapankan ketundu-
Dengan nada-nada sarkastik, ia kan pada otoritas yang berkuasa.
menuturkan tiap bait protes di Jika dikontekstualisasikan
lagu tersebut: “Aku diajari bahwa secara historis, rezim Orde Baru
pemerintah haruslah kuat. Bah- pernah secara gamblang melaku-
wa mereka selalu benar dan ti- kan hal ini melalui penataran
dak pernah salah. Pemimpin kita Pedoman Penghayatan dan Pen-
adalah figur yang baik. Dan kita gamalan Pancasila (P4) sebagai
memilihnya lagi dan lagi. Itu yang bentuk indoktrinasi agar semua
saya pelajari di sekolah hari ini”. orang patuh pada permainan
Pendidikan formal, memin- kekuasaan rezim saat itu. Bahkan
jam istilah Althusser, adalah ba- sampai saat ini, sejarah yang ditu-
gian dari “aparatus ideologis neg- lis dengan darah jutaan orang yang
dibantai tanpa pengadilan pada kita bertanya, kebhinnekaan seperti
peristiwa Gestok yang menarasikan apa yang sejatinya ingin dirayakan?
Soeharto sebagai pahlawan masih Kelas menengah terdidik
menjadi bagian dari kurikulum ini menolak “radikalisme” untuk
yang diajarkan di sekolah-sekolah. menjadi pembenaran atas pem-
Tapi sejarah memang sela- berangusan organisasi yang distig-
lu memainkan banyolannya: perta- ma sebagai “ladang terorisme”,
ma kali terjadi sebagai sebuah tra- namun tidak sadar pada teror yang
gedi, dan berulang sebagai sebuah dilakukan oleh negara yang di-
lelucon. Dan lelucon ini terman- belanya. Disinilah bagaimana cuci
ifestasi secara sempurna pada ak- otak dalam pendidikan itu ber-
si-aksi khas kelas menengah; yang peran: ada batas-batas yang den-
merayakan kebhinnekaan dalam gan sengaja dibuat kabur dalam
sebuah parade sebagai aksi simbo- mendefinisikan istilah yang digu-
lik; diglorifikasi oleh teriakan-te- nakan. Terorisme direduksi seka-
riakan heroik, dan diikuti oleh dar sebagai aksi “orang-orang ra-
orasi-orasi yang menyatakan pe- dikal”—bahkan radikalisme dalam
nolakan atas paham radikal—yang kalimat tersebut dilihat sebagai
sialnya, justru disuarakan juga oleh terminologi negatif yang identik
kelas terdidik seperti mahasiswa. pada tindakan intoleransi, padahal
Aksi-aksi seperti ini adalah radikal adalah istilah netral yang
sebuah ironi dalam bentuknya yang merujuk pada orang-orang dengan
paling brutal. Itu terlihat dari tidak pemahaman mendalam dan men-
sedikitnya massa aksi yang mem- gakar (radix). Artinya, penggunaan
bawa banner bertuliskan “NKRI bahasa atau istilah selalu diatur
Harga Mati” di parade-parade sep- berdasarkan kepentingan pengua-
erti ini: slogan denotatif yang sama sa. Ada “politik bahasa” disana
yang diagungkan oleh pengua- untuk membuat kita buta pada ke-
sa dan keparat-keparat militern- jahatan negara, dan menjadikan
ya yang merampas tanah petani kita selayaknya bidak catur untuk
di Urutsewu; yang menembaki membela kepentingan penguasa.
rakyat-rakyatnya di Papua yang Lebih menggelikan lagi
berjuang atas kemerdekaannya dan ketika mereka mendukung pemer-
dianggap separatis; hingga yang intah untuk membubarkan “organi-
menggusur orang-orang miskin sasi radikal” sebagai sebuah solusi
karena dianggap ilegal. Dan disini atas sebuah persoalan. Hal ini ten-
tu saja bermasalah. Bukan hanya oleh negara itu sendiri? Semua itu
karena solusi yang diajukannya ti- tetap berjalan, karena hal tersebut
dak demokratis, tapi penyelesaian tidak bertentangan dengan “ide-
tersebut berangkat dari pandangan ologi pasar” yang menghegemo-
bahwa negara adalah institusi yang ni negara secara sistematik dan
netral. Padahal, negara sendiri tidak tidak bertentangan dengan per-
bebas nilai. Selalu ada “ideologi” mainan kekuasaan para penguasa.
yang menghegemoni di sana. Se- “Ideologi pasar” disini
hingga pelarangan yang dilakukan berarti apapun yang bisa diubah
oleh negara selalu berwatak reak- menjadi keuntungan bagi para
sioner, yang hanya terjadi ketika pengusaha dan pejabat, meski den-
kekuatan politik yang ada berpoten- gan cara mengeruk gunung dan
si mengancam permainan kekua- laut hingga menjual keadilan agar
saan yang sedang berlangsung. akumulasi uang tetap berputar ke
Untuk memahami hal ini kantong-kantong mereka, maka
secara sederhana, kita bisa mere- hal itu adalah benar untuk dilaku-
fleksikan pertanyaan-pertanyaan kan. Dan aparatus kekerasan neg-
kecil seperti ini: jika memang kita ara (polisi, TNI, dll) hanya sekadar
bisa percaya pada negara dengan alat yang dipakai untuk menjaga
“kuasa sucinya” untuk menghan- kekuasaan para penguasa ini—
curkan semua kegiatan yang an- membentuk trinitas yang profan
ti-pancasila, lalu mengapa peram- antara pejabat-pengusaha-aparat.
pasan tanah tetap terjadi atas nama Implikasinya, memin-
negara? Mengapa negara mengiz- jam tangan negara untuk meng-
inkan pembangunan pabrik semen gebuk kelompok tertentu hanya
yang berpotensi merusak ekologis akan membenarkan pemberangu-
dan mengusir para petani di Ken- san demokrasi di masa depan:
deng? Mengapa kebijakan terkait bagaimana jika suatu saat tangan
reklamasi teluk benoa tidak juga yang sama dipakai untuk memuku-
dicabut meski rakyat Bali telah li pergerakan mahasiswa yang
menolak selama empat tahun? dianggap “tidak sesuai pancasi-
Apakah semua itu sesuai dengan la?” ketika para mahasiswa mu-
amanat pancasila? Bukankah itu lai bandel melawan negara? Kita
semua adalah manifestasi dari punya lebih banyak alasan untuk
sikap anti-pancasila secara telan- mencurigai negara jika kita tidak
jang, yang ironisnya dilakukan bersikap ahistoris (buta sejarah)
dengan melihat bagaimana Orde peta politik yang saat ini tengah
Baru dulu memonopoli tafsir pan- berkontestasi. Oligarki politik
casila dan menggebuki semua yang juga memiliki kepentingan,
pergerakan rakyat yang berpotensi mengorganisir kelompok-kelom-
mengancam kekuasaannya dan ide- pok “fundamentalis agama”—
ologi yang berkuasa saat itu (hing- fundamentalis adalah istilah yang
ga saat ini!) atas nama pancasila. tepat, bukan radikal—untuk men-
Pada akhirnya, semangat jegal penguasa yang sama berma-
“kebhinnekaan” yang dibawa oleh salahnya. Bedanya, jika kelompok
aksi seperti ini hanyalah cerminan yang satu mempolitisasi agama,
dari dangkalnya kapasitas ber- maka yang satunya mempoliti-
pikir kelas-kelas menengah terdi- sasi narasi kebhinnekaan. Art-
dik yang tercerabut dari realitas inya, aksi seperti ini sebenarn-
sosial masyarakat kelas bawah. ya hanyalah bagian kecil dari
Mereka tidak paham bahwa per- papan catur yang tengah dimaink-
soalan “radikalisme” yang mereka an oleh penguasa dan oposisinya.
tolak itu tidak akan selesai dengan Jika para kelas menengah
membubarkan organisasinya dan terdidik ini benar-benar ingin me-
mempromosikan “nasionalisme” nolak “fundamentalisme agama”
yang hanya menjadi topeng negara dan terorisme secara hakiki, seha-
untuk terlihat suci. Sebab, ideolo- rusnya mereka membawa isu-isu
gi mengakar di dalam kepala, se- yang lebih substansif seperti mem-
hingga solusi yang tepat bukanlah buat aksi solidaritas pada petani
melalui pembubaran organisasi, Kendeng yang terancam terusir
tapi sebaliknya mereka hanya bisa dari tanahnya karena kerusakan
dilawan melalui “radikalisme pe- ekologis; kepada buruh-buruh
mikiran” dengan membudayakan yang masih banyak diupah murah;
kembali filsafat. Karena filsafat ha- pada gerakan massa yang tengah
nya akan membuat ujaran keben- menolak reklamasi; atau yang leb-
cian menjadi hambar. Melatih kita ih dekat kepada kita sebagai ma-
untuk berpikir rumit, namun jernih. hasiswa, yaitu terkait pendidikan
Lagipula, apa yang yang makin mahal karena komer-
disebut sebagai “gera- sialisasi pendidikan. Inilah bentuk
kan radikal” bukanlah akar dari pembelaan bangsa yang se-
dari masalah sebenarnya, me- sungguhnya, “nasionalisme radi-
lainkan gejala dari semrawutnya kal” yang membedakannya dengan
“nasionalisme sampah” sebagai mereka untuk menemukan ruang
produk aparatus ideologis negara. hidup dan kepastian masa depan-
Sebab, fundamentalisme nya kembali. Mereka diorganisir,
itu sendiri tumbuh subur karena didoktrin bahwa sumber mas-
disyaratkan oleh teror negara yang alah mereka adalah “orang-orang
menciptakan ketimpangan kelas. kaya dari ras tertentu (seperti ras
Ia hanyalah “gejala” yang tampak Tionghoa yang distereotip kaya)
di permukaan, bukan “penyakit” yang menghisap mereka” untuk
atau “virus” yang sebenarnya leb- sewaktu-waktu dimanfaatkan se-
ih mendalam. Ibarat sakit kepala bagai alat politik pragmatis, yang
yang menjadi gejala yang terasa kemudian bisa menjadi pemercik
ketika flu, padahal masalah sebe- konflik rasialisme seperti misaln-
narnya ada di virus influenzan- ya yang terjadi pada tahun 1998.
ya. Sekadar mengobati gejalanya Inilah penyakit (ketimpangan ke-
(dengan membubarkan organisasi, las) yang sebenarnya terjadi—dan
misalnya) tidak akan benar-benar filsafat adalah prasyarat untuk
menyembuhkan penyakit itu sela- mampu memahami ini semua.
ma teror negara masih berlangsung. Sehingga alih-alih terli-
Seharusnya para orang hat sebagai pelopor perubahan,
terdidik ini bisa lebih memahami para kelas menengah terdidik ini
bahwa mereka yang diorganisir hanya menelanjangi kegaman-
melalui politisasi agama itu bu- gan berpikirnya sendiri, karena
kanlah orang-orang tolol dan ra- aksi yang dilakukan justru tercer-
sis sejak dalam pikiran. Banyak abut dari persoalaan riil massa
dari mereka adalah orang-orang rakyat, dan hanya dilakukan se-
yang gelisah atas masa depannya; bagai pemuas hasrat narsistik
yang tidak punya kesempatan leb- di instagram—walau sebenarn-
ih untuk berambisi dan bermimpi; ya mereka pun tidak memahami
yang dipersempit ruang hidupnya persoalannya secara mendalam.
karena tidak mampu membayar Meskipun bisa dipahami
biaya pendidikan yang mahal, di- bahwa kegagalan para kelas menen-
gusur, dirampas tanahnya, dan gah terdidik ini untuk memetakan
ditelantarkan oleh negara, hing- persoalan secara jernih bukanlah
ga kemudian kelompok semacam murni kesalahan mereka sebagai
FPI datang dan membantu mereka “individual”. Ini adalah persoalan
membiayai pendidikan; membantu yang berakar pada struktur pendi-
dikan yang bertujuan mengasing- untuk “mengubah dunia dan ti-
kan manusia hanya sebagai “alat” dak sekadar menginterpretasikan-
untuk di lempar di dunia kerja, nya” karena demor (patah arang)
ketimbang dididik untuk berpikir melihat massa yang dangkal? ***
dengan tajam; pada struktur kuasa
yang tidak bebas dari kepentingan;
termasuk juga pada belum berhasil-
nya gerakan mahasiswa pelopor
untuk merebut ruang diskursus
publik untuk melawan itu semua.
Di kampus mereka cuma
diajarkan untuk banyak-banyak
membuat PKM, memenangkan
PIMNAS, atau sering-sering ple-
siran ke luar untuk berkompetisi
dengan kampus lainnya, bahkan
dipertanyakan “nasionalismen-
ya” terhadap kampus dengan re-
torika “jangan tanyakan apa yang
kampus lakukan terhadapmu,
tapi tanyakan apa yang sudah kau
lakukan terhadap kampus ini”—
yang semua itu sebenarnya hanya
kedok untuk meningkatkan daya
tawar kampus di “pasar pendi-
dikan” atas dalih akreditasi, na-
mun tidak pernah benar-benar
memiliki program untuk memba-
ngun nalar kritis mahasiswanya.
Hal ini kemudian menjadi
otokritik tersendiri kepada gera-
kan mahasiswa yang merasa lebih
tersadarkan: bukankah itu menja-
di sebuah dosa tersendiri, ketika
merasa sebagai seorang terpelajar
namun meninggalkan peran etis

“Gerakan mahasiswa harus sadar dua
hal: kesadaran dan arah politik. Apa alat
perubahan konkret bagi mahasiswa?
Organisasi. Perubahan tak akan terjadi
oleh massa yang tak terorganisir. Mas-
sa yang tidak terorganisir alias sendi-
ri-sendiri, hanya akan menjadi massa
reaksioner, tidak strategis, mudah mem-
bebek dan akan tenggelam pada ilusi
dalam kepalanya. Padahal penindasan
itu konkret, jadi ubah juga dengan cara
yang konkret. Tidak abstrak: kepala seo-
lah sudah revolusioner, tapi tubuh belum
keluar dari kamar kosan.”
-- Daniel Indrakusuma --
DELUSI AGEN PERUBAHAN
OLEH: WINDU JUSUF

Tulisan ini kali pertama tayang di majalah EKSPRESI


Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya .

Saya hanya bisa geleng-ge- dan hanya kepingin bersenang-sen-


leng kepala saat mendengar istilah ang. Jika cerita itu mau diteruskan,
“hipokrisi mahasiswa saat ini”. Se- kecerdasan, sikap belarasa, dan
babnya sederhana: bukannya kesi- kekuatan fisik hanya dimiliki oleh
mpulan itu selalu didasari prasang- mahasiswa STOVIA. Atau kalau
ka bahwa generasi mahasiswa hari mau ditarik lebih jauh lagi, cuma
ini dan yang akan datang selalu gerombolan murid-artisan di gil-
saja lebih bodoh, cetek, lembek, da-gilda para empu pembuat ker-
tidak peduli masyarakat, dan ha- is zaman Singosarilah yang jadi
nya kepingin bersenang-senang? juaranya. Begitu seterusnya dan
Kata “lebih” di sini menja- seterusnya hingga Homo sapiens
di problematis. Lebih dari siapa? generasi pertama adalah satu-sa-
Jika hanya “kita” yang dijadikan tunya makhluk paling jenius dan
ukuran, artinya mahasiswa angka- berbudi luhur sepanjang masa.
tan 90-an akan menganggap kita Kekeliruan seperti itu bisa
bodoh, cetek lembek, tidak peduli jadi lahir karena tesis mahasiswa
masyarakat, dan hanya kepingin sebagai agen perubahan tidak kun-
bersenang-senang. Mahasiswa an- jung terwujud. Mungkin ditam-
gkatan 80-an akan menganggap bah lagi dengan kecintaan pada
mahasiswa 90-an bodoh, cetek, yang serba antik, perasaan gam-
lembek, tidak peduli masyarakat, pang terpesona oleh era yang tidak
pernah kita alami; bahwa segala demi sungguh-sungguh mempe-
yang berasal dari zaman dulu pas- lajari kondisi masyarakat jajahan,
ti baik-bijak-bestari, pasti heroik, menuliskannya dalam laporan yang
pasti “penak jamanku, toh?” baik, dan mendistribusikan pen-
Akan tetapi, dengan be- getahuan tersebut seluas-luasnya?
rat hati saya harus mengatakan, Menempatkan mereka da-
anggapan bahwa mahasiswa se- lam posisi agen perubahan artinya
cara esensial adalah agen peru- menihilkan peranan ratusan ribu
bahan itu murni delusi. Orang pemuda lain yang tak pernah seko-
Melayu-Medan bilang “gilba” lah tapi siap bentrok, siap di-Digoel-
alias gila bayangan. Mungkin kan, siap tewas untuk menggergaji
suatu waktu mereka pernah jadi kaki-kaki kekuasaan Belanda saat
pelopor perubahan, tapi saya ragu itu. Memang benar mahasiswa
jika selamanya mahasiswa akan punya peran historis pada 1998.
menempati posisi istimewa itu. Namun, glorifikasi bahwa han-
Memang benar bahwa “ba- ya mahasiswa yang menurunkan
pak-bapak pendiri bangsa” yang Suharto itu, apa namanya kalau
tercatat dalam kanon sejarah Indo- bukan pelupaan peran kaum mi-
nesia pernah makan bangku seko- skin kota (termasuk Wiji Thukul
lah tinggi. Mereka mendapatkan- dan banyak lagi yang tak seko-
nya akibat kebijakan etis kolonial lah)? Memang benar mahasiswa
Belanda yang memberikan kesem- turun membela warga yang digu-
patan kalangan bumiputera untuk sur di zaman pembangunan dan
sekolah. Namun pertanyaannya, Kedung Ombo. Namun lagi, tanpa
jika benar bahwa mahasiswa dari Kedung Ombo sendiri, dan segala
sononya adalah agen perubahan, jenis warga yang mempertahankan
dengan mengambil contoh “ba- hidupnya di sana, tidak akan ada
pak-bapak bangsa yang mantan aktivitas mahasiswa di sana, toh?
mahasiswa itu” (lalu mau dikem- Tidak semua lapangan
anakan Semaun?), apakah ribuan politik di mana mahasiswa turun
orang berstatus mahasiswa bumi- itu niscaya berbuah perubahan
putera lainnya saat itu mau bersusah yang baik dan benar bagi mas-
payah mengorganisasi kaum jelata yarakat luas. Pada 1966 maha-
yang 90 persen buta huruf? Apa- siswa turun ke jalan menggocoh
kah jumlah ribuan itu bersedia re- kekuasaan Soekarno. Namun, di
pot-repot berkorban meringkuk di sinilah kita bisa lihat kecacatan
penjara-penjara kolonial lantaran “gerakan moral” mahasiswa yang
bikin onar? Apakah ribuan cer- berisiko jadi stempel kekuasaan;
das-cendekia itu bersedia mening- ingin pemerintahan bersih, ingin
galkan trilogi buku-pesta-cinta konglomerat brengsek dihajar, in-
gin koruptor dijambak, tapi karena
buta relasi kuasa akhirnya menyer-
ahkan diri untuk ditipu tentara
dan dikerjain teknokrat-teknokrat
PSI. Sederhana saja, orang tidak
bisa mengubah masyarakat han-
ya dengan modal sentimen moral.
Asumsi mahasiswa sebagai
privilese agen perubahan tampa-
knya juga muncul karena mere-
ka dilatih untuk berpikir abstrak,
memiliki kesempatan dan akses ke
pengetahuan global. Apalagi seba-
gian mahasiswa lahir dari golon-
gan kelas menengah dan priayi.
Mereka tak perlu banting tulang
untuk cari biaya kuliah sehingga
diberkahi banyak waktu luang, lalu
sudah pasti mereka akan membe-
la orang kecil dan kaum tertindas. Membenarkan pandangan
Tentu dalam semesta pemikiran ini boleh jadi sama dengan men-
moralis ini, privilese tersebut sulit gamini ideologi pembangunisme
didapat dari rekan-rekan mere- Orde Baru dalam lapangan politik
ka yang tak makan bangku seko- secara murni dan konsekuen. Orde
lah tinggi dan akhirnya terpaksa Baru dan orde-orde kerdil setelahn-
memilih jadi buruh rendahan. ya percaya bahwa agar cita-cita
Jika asumsi ini diterima, masyarakat makmur-adil-sejahtera
celakalah karena aktivisme maha- terwujud, anggota masyarakat yang
siswa hanya jadi hobi paruh waktu perlu dibikin gemuk dulu adalah
yang tak dijamin berlanjut setelah kelas menengah. Barulah setelah
lulus. Namun, di luar itu, pandan- itu kemakmuran menetes dari atas
gan yang diyakini banyak orang ke kelas di bawahnya. Berhasil?
ini pun sudah tidak adil sejak da- Tidak. Sarjana-sarjana liberal pun
lam pikiran. Sebab, implikasinya rata-rata punya pandangan seru-
adalah pemuda manapun yang pa: mendidik kelas menengah ada-
tidak pernah jadi mahasiswa pas- lah jalan surga menuju demokrasi.
tilah bodoh, tidak kosmopolit, tak Berhasil? Tidak. Coba lihat, wong
punya insting belarasa, dan tidak aspirasi politik kelas menengah
bisa membela diri sendiri di hada- terdidik Indonesia tidak pernah
pan kekuasaan politik dan modal. jauh-jauh dari propaganda TNI
“NKRI Harga Mati” dan mimpi tapi bahkan sudah sebelum lulus.
siang bolong mendirikan khila- Barangkali begitulah haki-
fah atau negara syariah. Intelek- kat manusia—termasuk sistem
tual Orde Baru percaya mantra pendidikan yang membesarkann-
trickle down economy. Sementara ya—dalam falsafah neoliberalisme.
kita yang percaya “kelas menen- Tentu yang saya maksud di sini neo-
gah sebagai panglima” (termasuk liberalisme sebagai sebuah weltan-
mahasiswa di dalamnya) diam- schauung di mana tiap orang dan
diam percaya trickle down politics. tiap ihwal yang melekat pada dirin-
Akan tetapi, di sisi lain, ber- ya pada dasarnya bisa dikomersial-
mimpi mahasiswa menjadi agen isasikan dan menghasilkan profit.
perubahan adalah omong kosong Mau jadi penyanyi dan meraup
jika tanpa menengok kondisi di untung besar dari klik? Raihlah
kampus. Pertanyaannya, apakah subscriber sebanyak-banyaknya
kampus hari ini menyediakan ru- di youtube. Punya ide bikin gawai
ang yang kondusif untuk perseb- dan aplikasi brilian? Carilah angel
aran gagasan-gagasan kritis? Apa- investor agar kamu bisa jadi CEO
bila mahasiswa saat ini kurang sebuah startup. Oh iya, tidak sedik-
berminat pada aktivisme dan lebih it pula kampus yang mulai meng-
suka aktif dalam event organizer, adaptasikan hal-ihwal jual diri via
mungkin memang demikianlah media sosial itu ke kurikulumnya.
yang diajarkan kampusnya. Orang Begini. Saya punya perasaan
masih percaya bahwa hal ideal dari campur-aduk mengenai neolib-
sekolah tinggi-tinggi adalah bela- eralisasi kampus. Pada dasarnya
jar sebanyak-banyaknya sebelum saya tidak sepakat dan mungkin ti-
akhirnya mengamalkan ilmu di dak akan pernah sepakat. Namun,
lapangan pekerjaan yang dipilih. bukankah neoliberalisasi kampus
Kenyataannya, di banyak justru menguak kenyataan pahit
kampus hari ini, mahasiswa, se- bahwa saya, Anda, dan kita semua
belum akhirnya lulus dan bekerja, harus mengeksploitasi diri bahkan
perlu bekerja sejak bangku kuli- sejak dalam kampus supaya bisa
ah. Bukan untuk gali lubang tut- kerja-kerja-kerja sampai mampus?
up lubang biaya SPP, tetapi untuk Namun demikian, itu
mendapatkan pengalaman bekerja, juga berarti ada banyak hal
atau membiayai praktikum (yang yang bisa dilawan mahasiswa
tidak melulu ditanggung kampus) dan bersama kaum-kaum lain
hingga hobi (yang kalau bisa juga yang bukan mahasiswa, toh?
menghasilkan duit). Walhasil, ker-
ja-kerja-kerja itu tidak hanya ber-
laku buat kenyataan setelah lulus,
““ We never talked
about men or clothes.
it was always marx,
lenin and revolution:...
real girls talk “

Nina Simone
FEMINISME itu BUKAN CUMA
PERSOALAN IDENTITAS!

B
anyak yang berpikir bahwa feminisme adalah gerakan su-
premasi perempuan yang bertujuan untuk menciptakan kelas
baru di atas laki-laki. Tak sedikit juga yang melihat femi-
nisme hanyalah tentang pemberdayaan personal (personal
empowerment) yang sifatnya individualistik..


Ya, karena aku perempuan maka aku pasti tertindas! Jika aku telah
memiliki otonomi atas tubuhku tanpa harus ada yang mengatur
bagaimana caraku berpakaian, maka aku telah melawan struktur
patriarki yang menindasku dan merasa terberdayakan!
Pandangan yang berangkat menyimboliskan feminisme kare-
dari kacamata seperti ini--bahwa na memerankan Wonder Woman,
perempuan secara inheren adalah meskipun ia pro pada Israel De-
kelas yang tertindas--meskipun fence Forces (IDF) yang mem-
pada banyak hal memang memiliki bantai perempuan dan anak-anak
nilai kebenaran, akan tetapi menja- di Palestina; perempuan yang me-
di problematis jika persoalan dari nempati posisi CEO dianggap se-
entitas yang disebut “perempuan” bagai sesuatu yang empowerment,
itu hanya dilihat dari lensa identi- meskipun banyak buruh-buruh
tas gendernya sebagai perempuan, perempuan di bawahnya masih di-
namun tidak dilihat dari persoalan upah tidak layak.
struktural yang lebih dalam. Terjadi pengkultusan yang
Ketika persoalan perem- berlebihan atas identitas perem-
puan direduksi sekadar sebagai puan sebagai gender, maka diang-
persoalan dirinya sebagai “subjek gapnya, semua hal yang dilakukan
pribadi” di hadapan patriarki yang oleh perempuan atas kebebasannya
sifatnya kultural, maka disanalah pribadi pastilah sesuatu yang mem-
gerakan perempuan menemukan berdayakan dan bernilai feminis di
kebuntuannya: tuntutan-tuntutan bawah patriarkisme.
yang disuarakan pada akhirnya tak Mau bagaimanapun, posisi
lebih dari perayaan atas perbedaan perempuan sebagai “kelas yang ter-
identitas gendernya; kultur patriar- tindas” adalah produk dari struktur
ki digugat bahwa patriarki itu “A masyarakat yang kompleks, yang
B C D..Z,” namun pada akhirnya terdiri dari berbagai macam vari-
sebatas menyuarakan kebebasan abel: dari ekonomi, politik, sosial
pribadi untuk berpakaian (otonomi dan budaya. Lantas, bukan berarti
tubuh), misalnya, namun luput ke- semua tindakan individual perem-
tika berbicara tentang persoalan puan sebagai pribadi pasti mem-
struktural (ekonomi-politik) yang berdayakan, apalagi kalau cuma
dialami buruh perempuan seperti sebatas tindakan individualistik
Marsinah. yang tidak menggugat struktur pa-
Menjadi konyol, ketika triarki secara radikal, seperti yang
misalnya, figur seperti Kardashian disubjeksikan oleh Kardashian.
dianggap sebagai ikon feminis ha- Ketika kemudian fem-
nya karena ia merepresentasikan inisme dilihat sebagai ideologi
perempuan yang otonom atas yang mencerminkan egoisme
tubuhnya; Gal Gadot dianggap perempuan, maka itu bisa diang-
gap sebagai kegagalan “kaum telah kehilangan keperawanannya.
feminis” dalam mendominasi wa- Nilai perempuan direduksi sekadar
cana yang membedah penindasan pada selaput daranya, alih-alih di-
yang dialami perempuan secara manusiakan sebagai manusia yang
struktural: bagaimana relasi struk- utuh.
tur ekonomi-politik yang dialami Di masa Kolonialisme, bah-
oleh buruh-buruh perempuan me- kan hingga saat ini, masih banyak
mapankan patriarkisme; bahwa orang yang berpikir bahwa tugas
penindasan terhadap perempuan perempuan hanyalah di sumur, ka-
adalah perkara relasi-kuasa yang sur, dan dapur. Perempuan diang-
dibentuk oleh struktur, sehingga gap sebatas objek pemuas hasrat
perlu menempatkan wacana perla- bagi laki-laki bahkan setelah me-
wanan perempuan dalam diskursus nikah, yang hakikatnya hanyalah
feminis tidak hanya sebagai “per- bekerja di dapur dan mengurusi
lawanan personal” yang terbatas anak. Perempuan yang memilih in-
pada otonomi tubuh, melainkan dependen dari laki-laki dan bekerja
mesti juga melakukan pengorgan- menghidupi dirinya sendiri, dian-
isiran diri secara politis untuk me- gap sebagai sebuah anomali.
nentang struktur yang menindas Feminisme adalah sesuatu
ini--seperti yang dilakukan oleh yang merusak tabu, menghancur-
aliran feminisme radikal. kan tatanan, dan bahkan dianggap
Meskipun feminisme telah sebagai virus yang menggerogoti
mengalami peyorasi (pergeseran keyakinan suci. Feminisme sejat-
makna ke arah yang buruk), namun inya menentang penindasan terha-
bukan berarti feminisme kehilan- dap perempuan, yang menempat-
gan relevansinya. Sebab, jika dili- kan perempuan hanyalah manusia
hat dari kacamata struktural, per- kelas dua di dalam struktur mas-
empuan secara sistematis memang yarakat.
mengalami represi berdasarkan Jadi, feminisme bukan
gender mereka. cuma tentang perkara identitas se-
Tidak seperti laki-laki, per- bagai perempuan: jika kamu per-
empuan lebih dominan mengalami caya bahwa perempuan berhak
kekerasan seksual. Bahkan banyak memiliki persamaan hak secara
perempuan korban kekerasan sek- ekonomi, politik, dan sosial, bisa
sual yang tidak lagi dianggap se- jadi kamu adalah seorang feminis!
bagai perempuan yang utuh ketika
menjadi korban karena dianggap
Jika aku tidak
bisa berdansa,
maka itu bukan
revolusiku! 1

Emma Goldman

1 Kutipan ini sebenarnya tidak pernah ditulis oleh Emma Goldman sendiri, melainkan hanyalah parafrase
dari otobiografinya "Living my Life" (1931).
PORNO SEBAGAI RUANG
PERTARUNGAN IDEOLOGIS

P
orno bukanlah wacana baru dalam diskursus feminisme. Sebagai
sebuah ideologi yang memperjuangkan kesetaraan atas perem-
puan dalam masyarakat patriarkis, terdapat berbagai macam ka-
camata yang berbeda dalam memandang pornografi di dalam
feminisme: ada yang menentangnya sebagai bentuk "kekerasan simbolik
atas perempuan", hingga yang kontras melihatnya sebagai sesuatu yang
memberdayakan bagi perempuan karena porno diasumsikan sebagai
eksposisi yang mendobrak nilai normatif patriarki atas tubuh peremp-
uan--bahwa perempuan haruslah monogamis, menjaga keperawanan, dan
sebagainya--di dalam porno, semua nilai normatif itu dijungkirbalikkan.
Pandangan pertama da- ran feminisme liberal, mereka
tang dari aliran feminisme radikal, melihat "pemberdayaan" perem-
yang melihat kekerasan peremp- puan hanya dapat hadir melalui
uan dibentuk oleh struktur yang "kebebasan individual" si perem-
kompleks: karena porno adalah puan--termasuk di dalamnya ke-
produk dari "struktur" tersebut, bebasan untuk menggunakan tu-
maka ia secara inheren menindas buhnya dalam aktivitas pornografi.
perempuan. Oleh sebab itu, tin- Dari kedua kutub polar-
dakan-tindakan individualis--sep- itas tersebut, pandangan femi-
erti perempuan yang terlibat da- nisme radikal jauh lebih tajam
lam aktivitas pornografi dengan dalam menganalisis wacana por-
kehendak bebasnya--yang tidak nografi, sebab ia menempatkan
secara langsung menentang "ban- pisau analisisnya dalam wilayah-
gunan struktur" yang menjadi akar wilayah materialistik. Maksudnya,
persoalan penindasan perempuan, pornografi dilihat sebagai entitas
maka itu dilihat sebagai "pember- yang hadir dalam realitas mate-
dayaan semu" (pseudo-empower- rial, yaitu struktur ekonomi-poli-
ment); pemberdayaan yang mun- tik yang tak dapat dilepaskan dari
cul dari realitas subjektif saja. corak produksi dominan yang
Berbeda dengan pandan- terdapat di dalam masyarakat.
gan kedua yang datang dari ali- Di dalam masyarakat ka-
pitalisme di mana relasi sosial par bensin ke dalam api yang berna-
antar manusia digantikan oleh ma patriarki: jika tubuh perempuan
relasi pertukaran komoditas yang yang diperjual-belikan dianggap
dimediasi oleh uang, maka por- memberdayakan, bukankah itu
nografi dapat dilihat sebagai ko- sama halnya mengamini objek-
modifikasi tubuh perempuan tivikasi atas tubuh perempuan?
secara brutal untuk akumu- Meskipun pornografi me-
lasi modal (perputaran uang). mang menjungkir-balikkan nilai-
Perempuan tidak lagi dili- nilai normatif yang dibentuk oleh
hat sebagai "manusia yang utuh", struktur patriarki di masyarakat,
karena di dalam pornografi, tubuh akan tetapi relasi di dalamnya pun
perempuan tak lebih dari komodi- bersifat dialektis: bukankah ban-
tas yang diperjualkan oleh industri yak dari pecandu pornografi jus-
demi keuntungan si pemilik modal. tru adalah orang-orang yang sek-
Dari sudut pandang ini, ke- sis terhadap perempuan? Lalu,
bebasan individual sebagai bentuk sisi mana dari pornografi yang
pemberdayaan (empowerment) memberdayakan, jika pornogra-
terhadap perempuan menjadi ti- fi sendiri justru mengeskalasikan
dak relevan, sebab "kebebasan" seksisme terhadap perempuan?
yang disebutkan oleh kaum fem- Ide fundamental dari kaum
inis liberal ternyata kebebasan feminis-liberal ini--meminjam is-
semu yang sebenarnya dibata- tilah Gramscian--tak lebih dari
si oleh struktur yang menindas. upaya patriarki mempertahankan
Dalam konteks ini, apa- status-quonya melalui hegemoni
kah perempuan yang berkehen- nilai yang dikemas atas nama fem-
dak-bebas untuk ditindas oleh inisme, yang kemudian diterima
struktur, dapat dikatakan sebagai oleh perempuan yang sebenarnya
bentuk pemberdayaan atas dirin- korban dari status-quo tersebut.
ya karena si perempuan dianggap Pornografi, pada akh-
memiliki otonomi atas tubuhnya? irnya, bukan hanya sebuah
Alih-alih memberdayakan produk yang bertujuan untuk
dengan dalih "kebebasan memilih", memuaskan hasrat. Pornografi
hal tersebut justru memperlihatkan juga adalah ruang di mana per-
kecacatan serius tentang kebebasan tentangan ideologis terjadi.***
yang diwacanakan oleh kaum liber-
al, sebab hal tersebut ibarat melem-
CATATAN MERAH REZIM MAHASISWA

B
arangkali kita tidak per- menghasilkan kekacauan yang bisa
lu membaca Zizek den- menghantam orang-orang yang be-
gan segala interpretasi rada di posisi strategis ini. Karena
psikoanalisisnya untuk sebenarnya ada pertunjukan ironi
memahami ironisme dunia yang se- megah yang sedang berlangsung se-
dang berjalan. Kita juga tidak perlu cara telanjang tanpa banyak orang
menghabiskan waktu berjam-jam yang menyadarinya. Oleh karena
di depan layar bioskop untuk me- itu, saya memilih menjadi seorang
nonton Batman: The Dark Knight nabi di sepanjang tulisan ini untuk
untuk memahami bahwa ternyata menyampaikan pesan kebenaran
kestabilan suatu rezim dibangun layaknya Morpheus yang mem-
di atas suatu kebohongan—ka- berikan pilihan kepada Neo untuk
rena jika “kebenaran” itu dikata- menelan pil merah (pengetahuan
kan, maka segala kebobrokan sis- atas kebenaran yang pahit dan men-
tem akan terkuak dan berpotensi yakitkan) ataukah pil biru (kebodo-
han dan ketidaktahuan yang membahagiakan). Aku, seorang nabi, akan
menuturkan sebuah cerita tentang “negeri fiksi” bernama Udayanagakure.

***
2016. Uang Kuliah Tunggal (UKT)
untuk mahasiswa baru mengalami
kenaikan. Kawan-kawan maha-
siswa yang memiliki keresahan
atas tendensi komersialisasi pen-
didikan yang sedang terjadi di
negeri ini memutuskan untuk me-
nemui jajaran Pemerintah Maha-
siswa yang sedang duduk di sing-
gasananya sebagai representatif
rakyatnya. Sang raja mendengar-
kan segala keluh-kesah “rakyatn-
ya” yang sedang resah dan meng-
hasilkan sebuah resolusi yang tidak
memuaskan bagi rakyatnya ini: au-
diensi kepada rektor secara tertut- Para rakyat yang tidak
up melalui perwakilan-perwakilan puas dengan resolusi ini akhirnya
saja. melakukan aksi langsung: pema-
sangan spanduk secara terbuka
“Mengapa tidak melakukan audi- yang menyatakan penolakan atas
ensi terbuka, agar semua rakyat- komersialisasi pendidikan, agar
rakyat yang keresahannya tidak semua orang dapat melihat bahwa
tersampaikan dapat ikut terlibat negeri ini sebenarnya tidak sedang
secara demokratis untuk mema- baik-baik saja. Dan yang terjadi
hami alasan perlunya pendidikan selanjutnya adalah sebuah ironi.
di negeri ini dikomersilkan? Sia- Sang raja menghubungi antek dari
pa yang sebenarnya dilayani oleh Tuan Besar (Wakil Rektor III) un-
sang raja? Rakyatnya atau si Tuan tuk menemui rakyat yang resah ini.
Besar, sehingga ia tidak mampu Si raja dan jajarannya lep-
membuat Tuan Besar duduk sejajar as tangan atas rakyatnya ini, dan
dengan rakyatnya?” hanya melakukan sebuah kompro-
mi agar tidak bermasalah dengan
si Tuan Besar dan antek-anteknya
dengan sebatas mendirikan posko ***
UKT dan berhenti sampai disana, 09 Mei 2017. Tuan Besar (Rek-
alih-alih mempertanyakan trans- tor) mengeluarkan surat edaran
paransi dana UKT kepada si Tuan yang menyerukan untuk dilaku-
Besar yang menjadi akar dari mas- kannya aksi kebhinnekaan—yang
alah. sebenarnya lebih mirip parade hu-
Oh, bukankah negeri ini ra-hura—menolak “paham radikal,
pernah punya catatan buruk? Ko- komunisme, dan narkoba” seperti
rupsi rumah sakit? Bangunan-ba- yang tertulis di surat edarannya,
ngunan yang mangkrak? Dana meski kemudian saat dikonfirma-
kegiatan yang tidak cair yang si kembali kepada si Tuan Besar
mengharuskan BEM berjualan nasi melalui sebuah wawancara, bahwa
jinggo selama dua bulan di tahun ada kesalahan dalam surat edaran
2010 untuk membiayai kegiatann- tersebut ketika terlampirnya lema
ya sendiri? Yang menduduki posisi komunisme dan narkoba—mun-
Tuan Besar mungkin selalu ber- gkin si Tuan Besar tidak membaca
ganti, tapi sistemnya masih sistem apa yang ditandatanganinya sendiri.
yang sama—apa jaminan untuk Konon, surat edaran terse-
percaya pada jajaran birokrasi but adalah sebentuk dukungan oleh
Tuan Besar ini jika hal yang diwa- Tuan Besar kepada inisiatif si raja
jibkan hukum seperti transparansi dan jajarannya untuk melakukan
dana UKT saja tidak pernah diberi- aksi yang memobilisasi rakyatnya
kan secara terbuka? dari 13 fakultas hingga birokrat
Alih-alih memberantas dan jajaran dosennya. Terlepas
akar masalah dengan memper- dari isu yang beredar bahwa aksi
tanyakan transparansi dana, raja ini sarat oleh kepentingan si Tuan
dan jajarannya hanya kompromi Besar dan bukan murni aksi yang
untuk cari aman, dasar para rep- dibentuk secara organik melalui
resentatif rakyat ini! Dia mampu konsolidasi massa yang partisipa-
menghadirkan antek dari birokrat toris, si raja dan jajarannya kemba-
negeri ini hanya dengan chat, na- li mempertontonkan sebuah ironi
mun tidak pernah bisa menghad- secara telanjang. Sebab dari sekian
irkan Tuan Besar sebagai manusia keresahan yang disuarakan oleh
yang sejajar dengan mahasiswanya rakyatnya, mereka memilih un-
secara terbuka di luar acara formal. tuk mengorganisir aksi yang jauh
dari kebutuhan dan persoalan riil penyerahan diri dan meminta ad-
rakyatnya—bahkan tidak menyele- vokasi kepada rakyatnya sendi-
saikan dengan tuntas persoalan dari ri, jika pada akhirnya, ia harus
rakyat-rakyat yang sedang resah berhadapan pada si Tuan Besar.
itu, sampai-sampai yang mengad- Jika ini bukanlah ironisme
vokasi dan membuat kajian soal eksperimental, aku tidak tahu lagi
pungutan liar adalah rakyatnya apa sebenarnya ironisme itu. Bah-
sendiri tanpa bantuan sedikit pun kan sebenarnya, aku sendiri pun
dari raja dan jajarannya. Adakah sempat mengira sang raja sedang
lelucon yang lebih lucu dari ini? memainkan seni kejadian dalam
rezimnya—dan di akhir cerita ia
*** akan memberikan sebuah kejutan
bahwa semua ini hanyalah lelucon.
05 September 2017. Di akun me-
Jika Dan Brown yang
dia sosial sang raja terbit sebuah tu-
menuliskan sebuah epigraf bahwa
lisan yang berjudul “Sang Aktor”.
“tempat tergelap di neraka dise-
Dengan retorika yang ciamik; sang
diakan untuk orang-orang yang
raja yang sering mengutip nama
tetap bersikap netral di situasi kri-
para aktivis hingga revolusioner
sis moral” dalam bukunya yang
mulai dari Soe Hok Gie hingga Tan
berjudul Inferno, melihat kondisi
Malaka ini, merangkai aksara men-
rezim sang raja ini, barangkali be-
jadi sebuah seruan moril—yang ju-
liau akan merevisi kalimatnya itu:
jur saja membuat aku, sebagai sang
“tempat tergelap di neraka dise-
nabi sendiri sedikit terkesan.
diakan untuk orang-orang yang
Namun ada yang luput dari
mengutip kalimat-kalimat rev-
semangat yang sepertinya tampak
olusioner hanya untuk mengek-
di permukaannya saja. Ternya-
spresikan mental narsismenya;
ta dari sekian retorika yang sam-
yang membaca teori-teori revolu-
pai-sampai menuturkan “perjuan-
sioner dan menyerukannya den-
gan melawan kapitalisme”, si raja
gan semangat berapi-api, namun
memilih tunduk di bawah ketiak si
di saat yang sama menutup mata
Tuan Besar yang sebenarnya adalah
pada kegelisahan rakyat di de-
representasi dari kapitalis-birokrat
pannya, agar dirinya aman dari
ketika menaikkan UKT tanpa
"kutukan" si Tuan Besar, meski
memberikan transparansi atasnya.
sejak awal ia telah memilih un-
Bahkan dalam diskusi yang alot,
tuk memikul tanggungjawab se-
mata si raja tampak memerah—
bagai representasi atas rakyatnya”.
yang kemudian mengimplikasikan
Narasi dan alegori yang di- logika seperti, misalnya, sewaktu
ceritakan olehku, sebagai seorang kasus “Zeus” mengkritik kampus
nabi di tulisan ini, disadur dari ke- ini, yang bisa saja membuat Aris-
jadian nyata di kampus yang sela- toteles memaki di dalam kuburnya
lu diglorifikasi sebagai “kampus jika membaca komentar mereka,
berkualitas, tersohor, dan terpan- meski ia telah merumuskan hukum
dang” di pulau para dewa. Sebagai logika formal ribuan tahun yang
seorang penyampai kebenaran, aku lalu—yang pada akhirnya mem-
tidak peduli pada tanggapan para buat komentar tersebut tak ubahn-
nasionalis rezim yang seringkali ya dengan sampah visual di layar
tidak berdasar dan tidak mampu gawai ketika membacanya. Toh,
memahami tradisi kritik-otokri- Aku hanya bertugas sebagai pen-
tik sebagai sebuah bahan untuk yampai pesan, penyeru kebenaran!
melakukan refleksi untuk menjadi Atau mungkin ada yang
lebih baik. Karena saya sendiri lelah memilih untuk lebih menyempit-
dengan komentar-komentar para kan pandangan dengan melihat
nasionalis rezim yang penuh sesat narasi dalam tulisan ini sebagai
usaha untuk mencari perhatian salah, mereka lebih banyak men-
atau sekadar penyerangan sporadis gorganisir event yang entah apa
kepada PM ketimbang sebagai relevansinya. Mereka bisa saja
suatu kritik konstruktif; bahwa PM mengatakan proker yang efektif
sebenarnya baik-baik saja men- berjalan di rezimnya adalah 100%,
jalankan kinerjanya—yang berarti tapi selama mereka masih tunduk
berpijak pada asumsi dasar bahwa pada gembala sang Tuan Besar se-
Pemerintah Mahasiswa sebagai mentara ada rakyatnya yang tidak
representatif telah menjalankan didengarkan dan hanya berakhir
fungsinya dengan benar: mungkin pada mekanisme birokratis yang
seperti fungsi advokasi yang tel- kaku—mendengarkan dalam di-
ah dijalankan melalui Udayana skusi lalu berhenti sampai di meja
Jazz Festival, meski disaat yang rektor sebagai perwakilan tanpa
sama mereka nihil saat ada maha- ada langkah berkelanjutan yang
siswa baru yang keberatan dengan konkrit, mereka sama apatisnya
pungutan liar dan hanya berakh- dengan mahasiswa yang sering
ir pada diskusi yang juga tidak mereka pertanyakan kontribusinya
memberikan jawaban konkret. terhadap kampus ini. Jangan kira
Meskipun demikian, se- hanya karena kalian ikut organisasi
bagai seorang nabi, tentu saja sebagai representatif sentral, kalian
aku harus tetap adil sejak dalam bukan dari bagian “orang-orang
pikiran—seperti kata mbahku si apatis” itu. Justru ini adalah apa-
Pramoedya itu. Dari segala keku- tisme dalam tingkatnya yang paling
rangan rezim PM yang telah aku tinggi: apatisme bertopeng yang
narasikan, bukan berarti mereka dibalut oleh jubah representasi ma-
tidak punya kelebihan. Aku sendi- hasiswa, tapi ternyata tidak merep-
ri pun mengapresiasi konsistensi resentasikan keresahan rakyatnya.
mereka menjadi relawan di de- Jadi, kuserukan padamu
sa-desa pada program Udayana sebuah pilihan! Apa yang kau pi-
Mengajar, misalnya. Tapi tentu lih? Bangun untuk melawan den-
saja “kelebihan” ini tidak men- gan menelan pil merah yang pahit
jadi alasan untuk tutup mata atau tetap menjadi domba yang
pada rezim PM yang tidak ber- bahagia dengan menelan pil biru?
tanggungjawab pada rakyatnya.
Alih-alih mengorganisir maha-
siswa untuk melawan sistem yang
perpeloncoan di universitas adalah bentuk
inisiasi kaum borjuasi menciptakan buruh
yang tunduk
Sekarang matahari semakin tinggi. Lalu akan bertahta juga di atas pun-
cak kepala. Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya: kita ini di-
didik untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan
menjadi alat pembebasan ataukah alat penindasan?
Sepenggal sajak ini dit- mencoba membingkai bagaimana
uliskan oleh W.S. Rendra seki- ketimpangan relasi kuasa seperti
tar empat puluh tahun yang ini memapankan mitos feodalisme
lalu, yang untuk pertama kalin- di dunia pendidikan, meskipun
ya hadir dalam filmografi karya sudah terhitung dua puluh lima
SjumanDjaja, Yang Muda Yang abad logos telah menggantikan mi-
Bercinta—film yang sempat dila- tos dalam tradisi filsafat Yunani—
rang beredar di masa Orde Baru sekaligus melakukan introspeksi
karena dianggap terlalu subversif. atas pertanyaan Rendra di awal
Ada satu adegan dalam film tulisan ini, khususnya bagi orang-
ini ketika Soni, di tengah kegaman- orang yang selalu bersemangat
gannya, berkonflik dengan ayahn- untuk melakukan perpeloncoan
ya yang anti-kritik. Adegan ini kepada mahasiswa baru ketika
menarik, sebab ia menggambarkan masa ospek tiba setiap tahunnya.
dengan gamblang relasi kuasa yang Secara historis, pelonco
tak setara di dalam struktur kelu- yang saat itu disebut dengan isti-
arga nuklir (ayah-ibu-anak), yang lah ontgroening telah dipraktik-
kemudian mengharuskan anak kan oleh senior-senior londo ke-
untuk selalu bersikap tunduk (kon- pada mahasiswa pribumi. Groen
formis) kepada orangtua dengan yang berarti hijau pada istilah
menjadikan ayah sebagai figur otor- tersebut, adalah metafora untuk
itas tertinggi. Karena relasi kuasa menggambarkan mahasiswa baru
yang tak setara, orangtua sebagai yang dianggap sebagai tunas-tu-
pemegang otoritas diperbolehkan nas yang masih hijau. Ontgroening
untuk memukuli si anak yang tidak dilakukan dengan “maksud baik”,
patuh, karena “melawan” dikonota- yaitu untuk menghilangkan war-
sikan sebagai sesuatu yang buruk. na hijau itu agar mahasiswa baru
Dalam tulisan ini, saya akan tersebut menjadi seorang yang de-
wasa—meskipun “maksud baik” dan para ahli psikologi pendidikan
itu sebenarnya tak lebih dari per- yang mengatakan praktik seper-
mainan kekuasaan penjajah lon- ti itu tidak memiliki signifikansi
do karena relasi kuasa yang tim- secara umum dalam memben-
pang antara pribumi dan londo. tuk karakter seseorang dengan
Di era pascakolonial, bu- dinamika psikis yang beragam.
daya feodal seperti ini masih men- Kedua, menggunakan ala-
gakar di tubuh gerakan pelajar san “mempersiapkan diri di dunia
dan dilegitimasi dengan “maksud kerja”, mengimplikasikan bahwa
baik” yang sama: “karena kalian mereka melihat pendidikan ting-
sudah ‘maha’siswa maka kalian gi sekadar sebagai wadah pence-
harus mulai diajari untuk tidak tak tenaga kerja untuk kebutuhan
manja”; tak lupa ditambahi den- industri. Secara tak sadar, orang-
gan retorika banal seperti “pelaut orang ini menjadikan dirinya bak
yang ulung dihasilkan dari om- anjing peliharaan yang bertugas
bak yang deras” untuk menjus- untuk mempertahankan hege-
tifikasi perploncoan yang kerap moni pemodal: karena pengeta-
kali hanya diisi kekerasan ver- huan hanya akan digunakan untuk
bal—dan tak jarang juga kekerasan keperluan akumulasi keuntungan
fisik—atau menggunakan jargon bagi si pemodal/pengusaha, maka
semacam ini: “Toh, dunia ker- memproduksi “manusia mental
ja lebih keras lagi. Baru dibentak baja” yang tunduk pada otoritas
saja sudah melempem, bagaima- adalah sebuah keniscayaan. Dim-
na kalau dibentak bos kalian?” ulai sejak masa orientasi, dengan
Hal seperti ini mengimp- menjadikan generasi tua sebagai
likasikan beberapa hal. Pertama, patron-patron yang dominan ter-
penggunaan lema “manja” secara hadap generasi muda. Mereka ini
agresif mencerminkan machoisme bertindak selayaknya senior-se-
berlebih di dalam kepala orang- nior di masa penjajahan yang
orang ini. Laki-laki yang tidak mempraktikkan ontgroening un-
tahan bentak dianggap memiliki tuk membuat mahasiwa pribu-
karakter lemah seperti perempuan mi tunduk pada relasi kuasa pen-
atau banci, oleh sebab itu mental jajah. Akibatnya, ada ketakutan
mereka harus dibangun dengan tersendiri ketika berhadapan pada
cara-cara yang semi-militeristik— suatu otoritas: rektor dalam skala
oh, ludahi saja jurnal-jurnal ilmiah universitas hingga otoritas mod-
al (bos) dalam dunia kerja—se- da di posisi kelas yang terdidik na-
olah-olah semua otoritas adalah mun ahistoris sebagai borjuis kecil.
Tuhan yang tidak pernah salah. Ahistoris, karena “momen penting”
Implikasi-implikasi ini yang diselenggarakan tiap tahun
adalah gejala dari persoalan struk- ini justru direproduksi dari wari-
tural yang lebih luas. Yang pertama san penjajah kolonial. Niat baik
berangkat dari budaya patriarki— yang dicita-citakan dalam perumu-
budaya yang mengkultuskan ma- san konsep ospek setiap tahunnya
skulinitas secara berlebihan—yang ini menjadi tak lebih dari sekedar
dianggap normal sebagai bagian onani yang dilakukan oleh ma-
dari “norma adat ketimuran”. Yang nusia terdidik tetapi tidak ilmiah.
kedua adalah efek negatif dari Di titik ini menjadi pent-
reformasi pendidikan tinggi sejak ing untuk menarik garis batas dan
liberalisasi pendidikan dimulai, melakukan refleksi kembali atas
yang memang digalakkan untuk orientasi yang ingin dicapai dari
merespons kebutuhan pasar un- “niat baik” tersebut. Karena per-
tuk menjaga ketersediaan buruh soalan sesungguhnya seharusn-
di pasar kerja. Sikap konformis ya menyadari bahwa kita semua
yang dengan suka-rela menun- sebagai mahasiswa pada haki-
dukkan diri kepada sistem de- katnya tak ada bedanya dengan
mikian, adalah bentuk kekalahan “budak terpelajar” yang nantinya
dan penyerahan diri atas struk- akan menjual diri untuk saling-si-
tur yang sebenarnya menindas. kut antar sesama budak terpela-
Lebih jauh, kekalahan jar lainnya di hadapan otoritas
struktural seperti ini menjadikan modal yang menguasai ekonomi.
mahasiswa yang sejatinya ada- Lulusan pertanian akan
lah agensi yang berkerabat paling menghamba pada otoritas per-
dekat dengan kelas pekerja (bu- bankan (bank), karena sawah-
ruh)—karena ia tak lain adalah sawah diubah menjadi apartemen
produk dari pabrik pengetahuan dan mall besar yang dimiliki oleh
bernama kampus—diinisiasikan orang-orang kaya, sehingga hidup
untuk tunduk pada sistem yang akan lebih stabil jika nantinya han-
nantinya hanya menguntungkan ya menjadi pegawai bank. Lulusan
orang-orang kaya (borjuis) sejak kelautan akan menghamba pada
masih hijau-hijaunya; yang kemu- bisnis perhotelan, karena lautan dan
dian, menjadikan mahasiswa bera- ekosistem biotik di dalamnya rusak
karena reklamasi yang lagi-lagi ha-
nya menguntungkan orang-orang
kaya. Kita semua adalah budak
yang diajarkan untuk tunduk pada
otoritas sejak di awal menjejaki
dunia perkuliahan, dan menjad-
ikan omong kosong para motiva-
tor sebagai anestetik pereda rasa
sakit dengan harapan bisa sukses
di dalam sistem yang menindas ini.
Buta pada persoalan seperti ini ha-
nya akan meneruskan siklus prag-
matis generasi moralis yang selalu
merasa superior secara mental dan
etika dari generasi di bawahnya,
sehingga orientasinya lebih ban-
yak berkutat pada “masalah mor-
al” yang kemudian dibungkus
dalam satu keranjang sampah ber-
nama “feodalisme” untuk men-
jaga hegemoni orang-orang kaya
yang akan menindas kita—untuk
menjadi budak terpelajar yang
hanya bisa menghamba pada
otoritas modal suatu saat nanti.
Akhir kata, kepada maha-
siswa yang menolak dibodohi oleh
senior dan segala otoritas lainn-
ya: “Hanya ada satu kata: Lawan!”

Anda mungkin juga menyukai